Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN

PROSEDUR PERAWATAN PADA TINDAKAN KOLABORATIF

A. Pendahuluan
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak
tertentu. Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut
pandang beragam namun didasari prinsip yang sama yaitu mengenai
kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab
dan tanggung gugat. Namun demikian kolaborasi sulit didefinisikan
untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang menjadi esensi dari
kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice
Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa
tidak ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan
kompleknya kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah
bekerja bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989)
menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses berfikir
dimana pihak yang terklibat memandang aspek-aspek perbedaan dari
suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut dan
keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.
American Medical Assosiation (AMA), 1994, setelah melalui
diskusi dan negosiasi yang panjang dalam kesepakatan hubungan
professional dokter dan perawat, mendefinisikan istilah kolaborasi
sebagai berikut ; Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat
merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka
dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai

1
terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu,
keluarga dan masyarakat. (www.nursingword.org/readroom,)
Koaborasi (ANA, 1992), hubungan kerja diantara tenaga kesehatan
dalam memeberikan pelayanan kepada pasien/klien adalah dalam
melakukan diskusi tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam
asuhan kesehatan, saling berkonsultasi atau komunikasi serta masing-
masing bertanggung jawab pada pekerjaannya.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu
pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada
seluruh kolaborator. Efektifitas hubungan kolaborasi profesional
membutuhkan mutual respek baik setuju atau ketidaksetujuan yang
dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership kolaborasi merupakan
usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang lebih baik
bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki
kualitas hidup.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan
sharing pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi
tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi
dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan.
(Lindeke dan Sieckert, 2005). Bekerja bersama dalam kesetaraan
adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan untuk
menggambarkan hubungan perawat dan dokter. Tentunya ada
konsekweksi di balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan
kemungkinan dapat terwujud jika individu yang terlibat merasa
dihargai serta terlibat secara fisik dan intelektual saat memberikan
bantuan kepada pasien.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau
perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan
kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan
pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan

2
kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara
dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan
mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan
dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan
pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi
terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

B. Kolaborasi di Rumah Sakit


Kolaborasi merupakan hubungan kerja sama antara anggota tim
dalam memberikan asuhan kesehatan. Pada kolaborasi terdapat sikap
saling menghargai antar tenaga kesehatan dan saling memberikan
informasi tentang kondisi klien demi mencapai tujuan (Hoffart &
Wood, 1996; Wlls, Jonson & Sayler, 1998).
Hubungan kolaborasi di Rumah Sakit :

Dokter Perawat Ahli Gizi

Fokus
Klien/
Pasien

laboratorium dll

administrasi IPSRS
radiologi

Tim Kerja di Rumah Sakit :


 Tim satu disiplin ilmu:

3
- Tim Perawat
- Tim dokter
- Tim administrasi
- dll
 Tim multidisiplin :
- Tim operasi
- Tim nosokomial infeksi
- dll

 Anggota tim interdisiplin


Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok
profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan
berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya
konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan
terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter,
fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena
itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif,
bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi
pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan
suatu rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien
yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota
tim.
Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam
interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain.
Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan
pemberi pelayanan kesehatan.

4
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan
mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas
pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering
berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat
referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus
bekerja dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk
mencapai kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas,
tanggung jawab, komunikasi, otonomi dan koordinasi seperti skema di
bawah ini.

Communi
cations Responsi
bility
Autonom
y

cooperation
Common Efective
purpose collaborat
ion

Assertiveness
Coordinati
on
Mutuality

 Elemen kunci efektifitas kolaborasi


Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia
untuk memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan

5
kepercayaan. Asertifitas penting ketika individu dalam tim mendukung
pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa
pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai.
Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil
konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya
bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi
penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk
membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim
dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang
dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin
orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi
praktisi profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang
difokuskan kepada pasien. Kolegalitas menekankan pada saling
menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam
team dari pada menyalahkan seseorang atau atau menghindari tangung
jawab. Hensen menyarankan konsep dengan arti yang sama : mutualitas
dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi
suatu proses dinamis antara orang-orang ditandai oleh keinginan maju
untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah
konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya,
kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari
tanggung jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan dan
koordinasi tidak akan terjadi.

Dasar-dasar kompetensi kolaborasi :


 Komunikasi
 Respek dan kepercayaan
 Memberikan dan menerima feed back
 Pengambilan keputusan

6
 Manajemen konflik

Komunikasi sangat dibutuhkan daam berkolaborasi karena


kolaborasi membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks,
dibutuhkan komunikasi efektif yang dapat dimengerti oleh semua
anggota tim. Pada dasar kompetensi yang lain, kualitas respek dapat
dilihat lebih kearah honor dan harga diri, sedangkan kepercayaan dapat
dilihat pada mutu proses dan hasil. Respek dan kepercayaan dapat
disampaikan secara verbal maupu non verbal serta dapat dilihat dan
dirasakan dalam penerapannya sehari-hari.Feed back dipengaruhi oleh
persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri, kepercayaan diri,
kepercayaan, emosi, lingkunganserta waktu, feed back juga dapat bersifat
negatif maupun positif. Dalam melakukan kolaborasi juga akan
melakukan manajemen konflik, konflik peran umumnya akan muncul
dalam proses. Untuk menurunkan konflik maka masing-masing anggota
harus memahami peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi
dan harapan, mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi tumpang
tindih peran serta melakukan negosiasi peran dan tanggung jawabnya.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner
dapat digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team :
- Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan
menggabungkan keahlian unik profesional.
- Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
- Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
- Meningkatnya kohesifitas antar profesional
- Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,
- Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan
memahami orang lain.
Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kreiteria
yaitu : (1) adanya rasa saling percaya dan menghormati, (2) saling

7
memahami dan menerima keilmuan masing-masing, (3) memiliki citra
diri positif, (4) memiliki kematangan profesional yang setara (yang
timbul dari pendidikan dan pengalaman), (5) mengakui sebagai mitra
kerja bukan bawahan, dan (6) keinginan untuk bernegosiasi (Hanson &
Spross, 1996).
Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling
tergantung (interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja sama. Bekerja
bersama dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik.
Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan auat
target yang telah ditentukan dapat dicapai. Selain itu, menggunakan
catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk
berkomunikasi anatar profesi secara formal tentang asuhan klien.

Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :


a) Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
b) Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya
c) Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik
d) Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang
tergabung dalam tim.

Model Praktek Kolaborasi :


a) Interaksi Perawat-Dokter, dalam persetujuan pratek
b) Kolaborasi Perawat-Dokter, dalam memberikan pelayanan
c) Tim Interdisiplin atau komite

Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang


berdasar jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan
bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting
yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi memandang arti

8
kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat
diperoleh persepsi yang sama.
Kolaborasi dan model interdisiplin merupakan fondasi dalam
memberikan asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan hemat biaya.
Melalui pemanfaatan keahlian berbagai anggota tim untuk
berkolaborasi, hasil akhir asuhan kesehatan dapat dioptimalkan Hickey,
Ouimette dan Venegoni, 1996)
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir,
”apa diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola
pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya.
Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir
seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga
diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika,
pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan
pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam
aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti
gabungan bimbingan-pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada
kontak formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional
kesehatan lain. Sebagai praktisi memang mereka berbagi lingkungan
kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk
menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney,
2000)
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini?
Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya?
Dan apa yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk
mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan intervensi,
melaksanakan rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai
kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan.
Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan
didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat

9
dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan
sehingga pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi
dengan pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan
penelitian perawatan dalam praktek rumah sakat dan praktek pelayanan
kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan pasien
bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur
dan menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung
jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam
hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan
Sieckert, 2005).
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau
perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan
kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan
pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan
kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara
dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan
mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan
dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan
pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi
terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama
kemitraan dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi
perubahan dari vokasional menjadi profesional. Status yuridis seiring
perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra
dokter sangat kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah
untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis,
dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah

10
maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab hukum dari
perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga
harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat
mengantisipasi perubahan.
(www. kompas.com.)
Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih
banyak terjadi dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah
sakit dapat menjadi fasilitator demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi
seperti dengan menerapkan sistem atau kebijakan yang mengatur
interaksi diantara berbagai profesi kesehatan. Pencatatan terpadu data
kesehatan pasien, ronde bersama, dan pengembangan tingkat pendidikan
perawat dapat juga dijadikan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.
Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama
antara dokter-perawat dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa
kedokteran, dengan tujuan mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah
dilakukan kepada pasien. Dokter dan perawat saling bertukar informasi
untuk mengatasi permasalahan pasien secara efektif. Kegiatan ini juga
merupakan sebagai satu upaya untuk menanamkan sejak dini pentingnya
kolaborasi bagi kemajuan proses penyembuhan pasien. Kegiatan ronde
bersama dapat ditindaklanjuti dengan pertemuan berkala untuk
membahas kasus-kasus tertentu sehingga terjadi trasnfer pengetahuan
diantara anggota tim.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif,
hal tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat
menyatukan data kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga
menjadi sumber informasi bagi semua anggota team dalam pengambilan
keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan
pasien yang memungkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi
secara efektif.

11
Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan
kesenjangan profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui
pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui
pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat.

 Perawat sebagai Kolaborator


Sebagai seorang kolaborator, perawat melakukan kolaborasi dengan
klien, paper group serta tenaga kesehatan lain. Kolaborasi yang dilakukan
dalam praktek di lapangan sangat penting untuk memperbaiki. Agar
perawat dapat berperan secara optimal dalam hubungan kolaborasi
tersebut, perawat perlu menyadari akuntabilitasnya dalam pemberian
asuhan keperawatan dan meningkatkan otonominya dalam praktik
keperawatan. Faktor pendidikan merupakan unsur utama yang
mempengaruhi kemampuan seorang profesional untuk mengerti hakikat
kolaborasi yang berkaitan dengan perannya masing-masing, kontribusi
spesifik setisp profesi, dan pentingnya kerja sama. Setiap anggota tim
harus menyadari sistem pemberian asuhan kesehatan yang berpusat pada
kebutuhan kesehatan klien, bukan pada kelompok pemberi asuhan
kesehatan. Kesadaran ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman setiap
anggota terhadap nilai-nilai profesional.
Menurut Baggs dan Schmitt, 1988, ada atribut kritis dalam
melakukan kolaborasi, yaitu melakukan sharing perencanaan,
pengambilan keputusan, pemecahan masalah, membuat tujuan dan
tanggung jawab, melakukan kerja sama dan koordinasi dengan
komunikasi terbuka.

12
SOP PROSEDUR PERAWATAN
PADA TINDAKAN KOLABORATIF

CARA PEMBERIAN OBAT


Pemberian obat kepada pasien dapat dilakukan melalui beberapa
cara di antaranya: oral, parenteral, rektal, vaginal, kulit, mata, telinga dan
hidung, dengan menggunakan prinsip lima tepat yakni tepat nama pasien,
tepat nama obat, tepat dosis obat, tepat cara pemberian dan tepat waktu
pemberian.
A. Pemberian Obat Oral
Merupakan cara pemberian obat melalui mulut dengan tujuan
mencegah, mengobati, mengurangi rasa sakit sesuai dengan efek
terapi dari jenis obat.
Alat dan Bahan:
1. Daftar buku obat/ catatan, jadual pemberian obat.
2. Obat dan tempatnya.
3. Air minum dalam tempatnya.
Prosedur Kerja:
1. Cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Baca obat, dengan berprinsip tepat obat, tepat pasien, tepat
dosis, tepat waktu dan tepat tempat.
Bantu untuk meminumkannya dengan cara:
 Apabila memberikan obat berbentuk tablet atau kapsul
dari botol, maka tuangkan jumlah yang dibutuhkan ke
dalam tutup botol dan pindahkan ke tempat obat. Jangan
sentuh obat dengan tangan. Untuk obat berupa kapsul
jangan dilepaskan pembungkusnya.

13
 Kaji kesulitan menelan, bila ada jadikan tablet dalam
bentuk bubuk dan campur dengan minuman.
 Kaji denyut nadi dan tekanan darah sebelum pemberian
obat yang membutuhkan pengkajian.
4. Catat perubahan, reaksi terhadap pemberian, dan evaluasi
respon terhadap obat dengan mencatat hasil pemberian obat.
5. Cuci tangan.

 Pemberian Obat Per oral


Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai
karena merupakan cara yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman
bagi pasien. Berbagai bentuk obat dapat diberikan secara oral baik dalam
bentuk tablet, sirup, kapsul atau puyer. Untuk membantu absorbsi, maka
pemberian obat per oral dapat disertai dengan pemberian setengah gelas
air atau cairan yang lain (Gbr. 40-2). Kelemahan dari pemberian obat per
oral adalah pada aksinya yang lambat sehingga cara ini tidak dapat
dipakai pada keadaan gawat. Obat yang diberikan per oral biasanya
membutuhkan waktu 30 sampai dengan 45 menit sebelum diabsorbs dan
efek puncaknya dicapai selama 1 jam. Rasa dan bau obat yang tidak
enak sering menganggu pasien. Cara per oral tidak dapat dipakai pada
pasien yang mengalami mual-mual, muntah, semi koma, pasien yang
akan menjalani pengisapan cairan lambung serta pada pasien yang
mempunyai gangguan menelan.
Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan iritasi lambung dan
menyebabkan muntah (missal garam besi dan salisilat). Untuk mencegah
hal ini, obat dipersiapkan dalam bentuk kapsul yang diharapkan tetap
utuh dalam suasana asam di lambung, tetapi menjadi hancur pada
suasana netral atau basa di usus. Dalam memberikan obat jenis ini,
bungkus kapsul tidak boleh dibuka, obat tidak boleh dikunyah dan pasien

14
diberi tahu untuk tidak minum antacid atau susu sekurang- kurangnya
satu jam setelah minum obat.
Apabila obat dikemas dalam bentuk sirup, maka pemberian harus
dilakukan dengan cara yang paling nyaman khususnya untuk obat yang
pahit atau rasanya tidak enak. Pasien dapat diberi minuman sirup pasien
(es) sebelum minum sirup tersebut. Sesudah minum sirup pasien dapat
diberi minum, pencuci mulut atau kembang gula.

Persiapan obat per oral dan cara lainnya merupakan hal yang penting.
a. Kartu pesanan obat harus diperiksa secara hati- hati tentang pesanan
obatnya. Sebelum mengambil/ mengeluarkan obat, perawat harus
mencocokkan kartu pesanan obat dengan label pada botol kemasan
obat. Setiap label harus dibaca tiga kali untuk menyakinkan obat
yang diberi (1) Pada saat botol obat diambil dari almari, (2) Pada
saat mencocokkan dengan kartu pesanan obat, (3) Pada saat
dikembalikan.
b. Obat dalam bentuk cair dituangkan menjauhi sisi label, sejajar
dengan mata pada permukaan yang datar. Sebelum mengembalikan
obat ke dalam almari atau lemari es, perawat harus mengusap bibir
botol sehingga obat tidak lengket atau merusak label.
c. Tablet dan kapsul dikeluarkan dari botolnya pada tutupnya kemudian
pada mangkok yang dialasi kertas untuk diberikan pada pasien.
Kapsul dan tablet tidak boleh dipegang. (Diadaptasikan dari
:Pagliaro, 1986, Pharmacologic Aspects of Nursing, The CV Mosby
co, St Louis).

Cara kerja pemberian obat per oral


Peralatan :
1. Baki berisi obat- obatan atau kereta sorong obat- obat (tergantung
sarana yang ada)

15
2. Kartu rencana pengobatan
3. Cangkir disposable untuk tempat obat
4. Martil dan lumping penggerus (bila diperlukan)

Tahap kerja :
1. Siapan peralatan dan cuci tangan
2. Kaji kemammpuan pasien untuk dapat minum obat per oral
(kemapuan menelan, mual dan muntah, akan dilakuakn penghisapan
caiaran lambung, atau tidak boleh makan/ minum).
3. Periksa kembali order pengobatan (nama pasien,nama dan dosis
obat, waktu dan cara pemberian). Bila ada keragu- raguan laporkan
ke perawat jaga atau dokter.
4. Ambil obat sesuai yang diperlukan (Baca order pengobatan dan
ambil obat di almari, rak atau lemari es sesuai yang di perlukan).
5. Siapkan obat- obatan yang akan diberikan (gunakan teknik asptik,
jangan menyentuh obat dan cocokkan dengan order pengobatan)
(lihat Gbr. 4-1).
6. Berikan obat pada waktu dan cara yang benar yaitu dengan cara :
 Yakin bahwa tidak pada pasien yang salah
 Atur posisi pasien duduk bila mungkin
 Berikan cairan/ aiar yang cukup untuk membantu menelan, bila
sulit menelan anjurkan pasien meletakkan obat di lidah bagian
belakang, kemudian pasien dianjurkan minum.
 Bila obat mempunyai rasa tidak enak, beri pasien berapa butir es
batu untuk diisap sebelumnya, atau berikan obat dengan
menggunakan lumatan apael atau pisang.
 Tetap bersama pasien sampai obat ditelan.
7. Catat tindakkan yang telah dilakukan meliputi nama dan dosis obat
yang diberikan, setiap keluhan dan hasil pengkajian pada pasien.

16
Bila obat tidak dapat masuk, catat secara jelas dan tulis tanda tangan
anda dengan jelas.
8. Kemudian semua peralatan yang dipakai dengan tepat dan benar
kemudian cuci tangan.
9. Lakukan evaluasi mengenai efek obat pada pasien kurang lebih 30
menit sewaktu pemberian.

B. Pemberian Obat Parenteral


1) Pemberian obat intracutan
 Pengertian :
Yang dimaksud dengan suntikan intrakutan adalah
memasukkan obat kedalam jaringan kulit.
 Tujuan :
- Mendapatkan reaksi setempat.
- Mendapatkan / menambahkan kekebalan misalnya, suntikan
B.C.G.
 Tempat penyuntikan :
- Di lengan bawah : bagian lengan bawah sepertiga dari
lekukan siku ( dua per tiga dari pergelangan tangan ) pada
kulit yang sehat, jauh dari pembulu darah ( untuk Mauntox ).
- Di lengan atas : 3 jari di bawah sendi bahu di tengah – tengah
daerah muskulus deltoideus, untuk B.C.G.
 Persiapan alat-alat
Alat yang harus digunakan untuk melaksanakan intrakutan
adalah sebagai berikut :
a) baki berisi :
- Bak semprit yang didalamnya terdapat semprit seteril
1cc + jarum no. 18 atau no. 20 berisi cairan suntikan
dan kapas alkohol,
- Bengkok kosong,

17
- Daftar/buku suntikan.
b) sampiran.
 Cara bekerja :
Cara melaksanakan pekerjaan ini adalah sebagai berikut :
1) Memberitahu dan menjelaskan pada pasien
2) Membawa alat-alat ke dekat pasien
3) Memasang sampiran bila perlu dan mengatur posisi
pasien
4) Mencuci tangan
5) Membebaskan daerah yang akan disuntik dari pakaian
6) Menghapus hamakan kulit pasien dengan kapas alkohol,
membuang kapas bekas kedalam bengkok, tunggu
sampai kulit kering
7) Menegangkan kulit pasien dengan tangan kiri, kemudian
jarum disuntikkan perlahan – lahan dengan lobang jarum
mengarah keatas
8) Jarum dari permukaan kulit membentuk sudut 15°-20°
9) Menyemprotkan cairan sampai terjadi gelembung
berwarna putih pada kulit, lalu jarum ditarik dengan
cepat, tidak dihapus hamakan dengan kapas alkohol dan
tidak boleh dilakukan pengurutan ( masase )
10) Merapikan pasien
11) Membawa alat-alat ke meja suntikan untuk di bersihkan
12) Mencuci tangan

Perhatian :
Pada pemberian vaksin B.C.G dan cacar kulit dibersihkan dengan
kapas yang telah di rebus ( tidak boleh dengan alkohol)

18
2) Suntikan subkutan
 Pengertian :
Yang dimaksud suntikan sub kutan adalah menyuntikkan obat di
bawah kulit.
 Tempat penyuntikaan :
- Pada lengan atas sebelah luar ⅓ bagian dari bahu;
- Pada paha sebelah luar,⅓ bagian dari sendi panggul;
- Pada daerah perut sekitar pusat (umbilicus), skapula,
ventrogluteal, dan dorsogluteal
 Persiapan alat-alat :
Sama dengan memberikan suntikan intrakutan, tetapi
mengunakan semprit 1 cc dan jarum suntikan nomor. 12 – 18
 Cara bekerja :
Cara melaksanakan pekarjaan ini adalah sebagai berikut :
1) Memberitahu dan menjelaskan pada pasien
2) Membawa alat-alat ke dekat pasien
3) Memasang sampiran bila perlu
4) Mengatur posisi pasien serta membebaskan daerah yang akan
disuntik dari pakaian
5) Mencuci tangan
6) Menghapus hamakan kulit pasien dengan kapas alkohol dan
membuang kapas bekas kedalam bengkok, tunggu sampai
kulit kering
7) Menegangkan/mengangkat kulit pasien dengan jari telunjuk
dan ibu jari, kemudian menusukkan jarum perlahan – lahan
dengan lobang jarum mengarah keatas
8) Jarum dari permukaan kulit membentuk sudut 45°
9) Menarik pengisap sedikit/aspirasi untuk memeriksa apakah
ada darah atau tidak; bila tidak ada daerah semprokan cairan
perlahan lahan sampai habis

19
10) Meletakkan kapas alkohol yang baru diatas jarum, kemudian
menarik semprit dan jarum dengan cepat sambil menegang
pangkal jarum, lalu melakukan masase pada bekas suntikan
11) Merapikan pasien
12) Membawa alat-alat ke meja suntikan untuk di bersihkan
13) Mencuci tangan

3) Suntikan intramuskuler
 Pengertian :
Yang dimaksud suntikan intra muskuler adalah menyuntikkan
obat ke dalam jaringan otot.
 Tempat penyuntikan
- Otot bokong ( musculus gluteus maximus ) kanan / kiri;
yang tepat adalah pada bagian ⅓ bagian dari spina iliaca
anterior superior ke tulang ekor ( os coxygeus )
- Dorsogluteal
- Ventrogluteal
- Otot paha bagian luar ( musculus quadricep femoris ) ;
- Otot pangkal lengan ( musculus deltoideus).
 Persiapan alat-alat :
Sama dengan pada pemberian suntikan secara intrakutan, tetapi
disediakan:
- Semprit 1 – 10 cc
- Jarum no. 1 – 2
 Cara bekerja :
Cara melaksanakan pekarjaan ini adalah sebagai berikut :
1) Memberitahu dan menjelaskan pada pasien
2) Membawa alat-alat ke dekat pasien
3) Memasang sampiran bila perlu.
4) Mengatur posisi pasien

20
5) Mencuci tangan
6) Membebaskan daerah yang akana disuntik dari pakaian
7) Menghapushamakan kulit pasien dengan kapas alkohol,
membuang kapas bekas kedalam bengkok dan tunggu
sampai kulit kering
8) Menegangkan kulit dengan tangan kiri pada daerah
bokong, atau mengangkat otot pada musculus quardricep
femoris/muskulus deltoideus, kemudian menusukkan
jarum kedalam otot tegak lurus dengan permukaan kulit
sedalam ¾ panjang jarum. Menarik pengisap sedikit
untuk memeriksa apakah ada darah atau tidak, bila tidak
ada daerah menyemprotkan cairan obat perlahan – lahan
9) Setelah obat masuk seluruhnya, kulit daerah penusukan
jarum di tekan dengan kapas alkohol, jarum ditarik
keluar dengan cepat, kemudian tempat penyuntikan
dimasase
10) Merapikan pasien
11) Membawa alat-alat ke meja suntikan untuk di bersihkan
12) Mencuci tangan

Perhatian :
- Tempat penyuntikan pada bokong harus tepat ; bila salah
akan mengenai saraf ischiadicus
- Bila pasien beberapa kali harus disuntik, maka diusahakan
agar penyuntikan pada tempat yang berlainan
- Bila cairan obat mengandung minyak, jarum pengisap cairan
harus diganti dengan kering
- Daerah bekas suntikan dimasase lebih lama

21
4) Suntikan intravena.
 Pengertian :
Yang dimaksud dengan suntikan intravena adalah menyuntikan
cairan obat ke vena
 Tujuan :
Tujuan suntikan intravena adalah mempercepat reaksi, karena
obat langsung masuk ke peredaran darah
 Tempat penyuntikan :
Pada vena yang dangkal dan dekat dengan tulang, misalnya :
- Pada lengan (vena mediana cubiti/vena cephalica);
- Pada tungkai ( vena saphenous ) ;
- Pada leher (vena jugularis), khusus pada anak.
- Pada kepala(vena frontalis atau vena temporalis) pada
bayi
 Persiapan alat-alat :
Sama dengan pemberian suntikan intramuskuler ditambah
dengan:
- karet pembendung ( torniket )
- pengalas ( perlak kecil + alasnya );

 Cara bekerja :
Cara melaksanakan pekarjaan ini adalah sebagai berikut :
1) Memberitahu dan menjelaskan pada pasien
2) Membawa alat-alat ke dekat pasien
3) Memasang sampiran bila perlu. Mengatur posisi pasien
4) Mencuci tangan
5) Membebaskan daerah yang akana disuntik dari pakaian
6) Memasang pengalas di bawah daerah / tempat yang akan
disuntik

22
7) Mengikat bagian di atas daerah yang akan di suntik
dengan karet pembendung agar vena mudah diraba /
dilihat. Untuk di bagian lengan pasien dianjurkan untuk
mengepalkan tangan
8) Menghapushamakan kulit pasien dengan kapas alkohol,
membuang kapas bekas kedalam bengkok dan tunggu
sampai kulit kering
9) Menegangkan kulit pasien dengan tangan kiri, lalu
menusukkan jarum kedalam vena dengan lobang jarum
mengarah keatas sejajar dengan vena
10) Menarik pengisap sedikit untuk memeriksa apakah jarum
sudah masuk ke dalam vena, yang ditandai dengan
masuknya darah ke dalam semprit
11) Menganjurkan pasien membuka kepalannya sambil
membuka karet pembendung, kemudian secara perlahan –
lahan memasukkan cairan ke dalam vena sampai habis
12) Meletakkan kapas alkohol di atas jarum, kemudian
menarik semprit + jarum dengan cepat sambil memegang
pangkal jarum. Bekas tusukan ditekan dengan kapas
alkohol sampai darah tidak keluar lagi
13) Merapikan pasien
14) Membawa alat-alat ke meja suntikan untuk di bersihkan
15) Mencuci tangan

Perhatian :
- Jangan mencoba menusukkan jarum, bila vena kurang jelas
terlihat / teraba
- Bila terjadi infiltrat, jarum dan smprit langsung dicabut dan
untuk di pindahkan ke vena yang lain
- Usahakan jangan sampai terjadi emboli udara

23
Perhatikan pada semua cara penyuntikan :
- Perhatikan reaksi pasien pada saat dan sesudah pemberian
suntikan
- Pemberian obat suntikan harus dicatat di dalam buku catatan :
- Jam dan tanggal pemberian suntikan,
- dosis dan macam obat yang diberikan,
- nama perawat yang melakukan perasat,
- nama dokter yang memberi intruksi
- Jangan menggunakan semprit yang bocor, retak pengisapnya
longar serta jarum yang ujungnya tumpu, bengkok dan
tersumbat
- Pada pasien hepatitis harus digunakan semprit dan jarum
tersendiri. Bila memungkinkan gunakan semprit dan jarum
yang disposibel
- Bila obat didalam flakon pakailah 2 jarum; 1 jarum besar
ditusukan ke dalam flakon untuk cairan suntikan kedalam
semprit dan satu jarum untuk menyuntik pasien

C. Pemberian Obat Secara Topikal


Pemberian obat secara topikal adalah pemberian obat secara lokal
dengan cara mengoleskan obat pada permukaan kulit atau membran area
mata, hidung, lubang telinga, vagina dan rectum. Obat yang biasa
digunakan untuk pemberian obat topikal pada kulit adalah obat yang
berbentuk krim, lotion, atau salep. Hal ini dilakukan dengan tujuan
melakukan perawatan kulit atau luka, atau menurunkan gejala gangguan
kulit yang terjadi (contoh : lotion).
Pemberian obat topikal pada kulit terbatas hanya pada obat-obat
tertentu karena tidak banyak obat yang dapat menembus kulit yang utuh.
Keberhasilan pengobatan topical pada kulit tergantung pada: umur,

24
pemilihan agen topikal yang tepat, lokasi dan luas tubuh yang terkena
atau yang sakit, stadium penyakit, konsentrasi bahan aktif dalam
vehikulum, metode aplikasi, penentuan lama pemakaian obat, penetrasi
obat topical pada kulit.

 Klasifikasi Obat Topikal


Berdasarkan bentuk
1) Lotion
Lotion ini mirip dengan shake lotion tapi lebih tebal dan
cenderung lebih emollient di alam dibandingkan dengan shake
lotion. Lotion biasanya terdiri dari minyak dicampur dengan air,
dan tidak memiliki kandungan alkohol. Bisanya lotion akan
cepat mengering jika mengandung alkohol yang tinggi.
2) Shake lotion
Shake lotion merupakan campuran yang memisah menjadi dua
atau tiga bagian apabila didiamkan dalam jangka waktu tertentu.
Minyak sering dicampur dengan larutan berbasis air.Perlu
dikocok terlebih dahulu sebelum digunakan.
3) Cream/krim
Cream adalah campuran yang lebih tebal dari lotion dan akan
mempertahankan bentuknya apabila dikeluarkan wadahnya.
Cream biasanya digunakan untuk melembabkan kulit. Cream
memiliki risiko yang signifikan karena dapat menyebabkan
sensitifitas imunologi yang tinggi. Cream memiliki tingkat
penerimaan yang tinggi oleh pasien. Cream memiliki variasi
dalam bahan, komposisi, pH, dan toleransi antara merek generik.
4) Salep
Salep adalah sebuah homogen kental, semi-padat, tebal,
berminyak dengan viskositas tinggi, untuk aplikasi eksternal
pada kulit atau selaput lendir.Salep digunakan sebagai

25
pelembaban atau perlindungan, terapi, atau profilaksis sesuai
dengan tingkat oklusi yang diinginkan.Salep digunakan pada
kulit dan selaput lendir yang terdapat pada mata (salep mata),
vagina, anus dan hidung.Salep biasanya sangat pelembab, dan
baik untuk kulit kering selain itu juga memiliki risiko rendah
sensitisasi akibat beberapa bahan minyak atau lemak.(Jean
Smith, Joyce Young dan patricia carr, 2005 : 684)

a. Pada Kulit
Obat yang biasa digunakan untuk pemberian obat topikal pada kulit
adalah obat yang berbentuk krim, lotion, sprei atau salep. Hal ini
dilakukan dengan tujuan melakukan perawatan kulit atau luka, atau
menurunkan gejala gangguan kulit yang terjadi (contoh : lotion). Krim,
dapat mengandung zat anti fungal (jamur), kortikosteorid, atau antibiotic
yang dioleskan pada kulit dengan menggunakan kapas lidi steril.
Krim dengan antibiotic sering digunakan pada luka bakar atau ulkus
dekubitus. Krim adalah produk berbasis air dengan efek mendinginkan
dan emolien. Mereka mengandung bahan pengawet untuk mencegah
pertumbuhan bakteri dan jamur, tetapi bahan pengawet tertentu dapat
menyebabkan sensitisasi dan dermatitis kontak alergi.Krim kurang
berminyak dibandingkan salep dan secara kosmetik lebih baik
ditoleransi.
Sedangkan salep, dapat digunakan untuk melindungi kulit dari iritasi
atau laserasi kulit akibat kelembaban kulit pada kasus inkontenansia urin
atau fekal. Salep tidak mengandung air, mereka adalah produk berbasis
minyak yang dapat membentuk lapisan penutup diatas permukaan kulit
yang membantu kulit untuk mempertahankan air. Salep nenghidrasi kulit
yang kering dan bersisik serta meningkatkan penyerapan zat aktif, dan
karena itu berguna dalam kondisi kulit kering kronis. Salep tidak
mengandung bahan pengawet.

26
Losion adalah suspensi berair yang dapat digunakan pada
permukaan tubuh yang luas dan pada daerah berbulu.Losion memiliki
efek mengeringkan dan mendinginkan. Obat transdermal adalah obat
yang dirancang untuk larut kedalam kulit untuk mendapatkan efek
sistemik.Tersedia dalam bentuk lembaran.Lembaran obat tersebut dibuat
dengan membran khusus yang membuat zat obat menyerap perlahan
kedalam kulit. Lembaran ini juga dapat sekaligus mengontrol frekuensi
penggunaan obat selama 24 ± 72 jam

Tujuan pemberian pada kulit, yaitu :


 Untuk mempertahankan hidrasi
 Melindungi permukaan kulit
 Mengurangi iritasi kulit
 Mengatasi infeksi

Tindakan
Alat & Bahan :
a. Obat dalam tempatnya (seperti losion, krim, aerosal, sprei)
b. Pinset anatomis
c. Kain kasa
d. Balutan
e. Pengalas
f. Air sabun, air hangat
g. Sarung tangan

Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Pasang pengalas dibawah daerah yang akan dilakukan tindakan
4. Gunakan sarung tangan

27
5. Bersihkan daerah yang akan diberi obat dengan air hangat (apabila
terdapat kulit mengeras) dan gunakan pinset anatomis
6. Berikan obat sesuai dengan indikasi dan cara pemakaian seperti
mengoleskan atau mengompres
7. Jika diperlukan, tutup dengan kain kasa atau balutan pada daerah
diobati
8. Cuci tangan

b. Pada Mata
Pemberian obat pada mata dilakukan dengan cara meneteskan obat
mata atau mengoleskan salep mata. Persiapan pemeriksaan struktur
internal mata dilakukan dengan cara mendilatasi pupil, untuk mengukur
refraksi lensa dengan cara melemahkan otot lensa, kemudian dapat juga
digunakan untuk menghilangkan iritasi mata.
Obat mata biasanya berbentuk cairan dan ointment/obat salep mata
yang dikemas dalam tabung kecil. Karena sifat selaput lendir dan
jaringan mata yang lunak dan responsif terhadap obat, maka obat mata
biasanya diramu dengan kakuatan yang rendah misalnya 2 %.

Tindakan
Alat &Bahan :
a. Obat dalam tempatnya dengan penetes steril atau beruupa salep
b. Pipet
c. Pinset anatomi dalam tempatnya
d. Korentang dalam tempatnya
e. Plester
f. Kain kasa
g. Kertas tisu
h. Balutan
i. Sarung tangan

28
j. Air hangat atau kapas pelembab

Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Atur posisi pasien dengan kepala menengadah, dengan posisi
perawat di samping kanan
4. Gunakan sarung tangan
5. Bersihkan daerah kelopak dan bulu mata dengan kapas lembab
dari sudut mata kearah hidung. Apabila sangat kotor basuh
dengan air hangat
6. Buka mata dengan menekan perlahan-lahan bagian bawah dengan
ibu jari, jari telunjuk di ataas tulang orbita
7. Teteskan obat mata diatas sakus konjungtiva . Setelah tetesan
selesai sesuai dengan dosis, anjurkan pasien untuk menutup mata
secara perlahan
8. Apabila obat mata jenis salep, pegang aplikator salep diatas
pinggir kelopak mata kemudian pijat tube sehingga obat keluar
dan berikan obat pada kelopak mata bawah. Setelah selesai
anjurkan pesian untuk melihat kebawah, secara bergantian dan
berikan obat pada kelopak mata bagian atas dan biarkan pasien
untuk memejamkan mata dan menggerakan kelopak mata
9. Tutup mata dengan kasa bila perlu
10. Cuci tangan
11. Catat obat, jumlah, waktu dan tempat pemberian

c. Pada Telinga
Pemberian obat pada telinga dilakukan dengan cara memberikan
tetes telinga atau salep. Obat tetes telinga ini pada umumnya diberikan

29
pada gangguan infeksi telinga, khususnya pada telinga tengah (otitis
eksternal) dan dapat berupa obat antibiotik.

Tindakan
Alat &Bahan :
a. Obat dalam tempatnya
b. Penetes
c. Spekulum telinga
d. Pinset anatomi dalam tempatnya
e. Korentang dalam tempatnya
f. Plester
g. Kain kasa
h. Kertas tisu
i. Balutan

Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Atur posisi pasien dengan kepala miring kekanan atau kekiri
sesuai dengan daerah yang akan diobati, usahakan agar lubang
telinga pasien diatas
4. Luruskan lubang telinga dengan menarik daun telinga ke atas atau
ke belakang (pada orang dewasa), kebawah pada anak-anak
5. Apabila obat berupa tetes maka teteskan obat pada dinding
saluran untuk mencegah terhalang oleh gelembung udara dengan
jumlah tetesan sesuai dosis
6. Apabila obat berupa salep maka ambil kapas lidih dan oleskan
salep kemudian masukan atau oleskan pada liang telinga
7. Pertahankan posisi kepala kurang lebih selama 2-3 menit
8. Tutup telingan dengan pembalut dan plester jika diperlukan

30
9. Cuci tangan
10. Catat jumlah, tanggal dan dosis pemberian

d. Pada Hidung
Pemberian obat pada hidung dilakukan dengan cara memberikan
tetes hidung yang dapat dilakukan pada seseorang dengan keradangan
hidung (rhinitis) atau nasofaring.
Efek samping sistemik hampir tidak ada, kecuali pada bayi/anak dan
usia lanjut yang lebih peka terhadap efek sistemik. Namun ada efek
samping lain akibat vasokonstriksi lokal secara cepat yaitu, jika
pemberian obat tetes hidung ini dihentikan, dapat terjadi sumbatan
hidung yang lebih berat. Sumbatan sekunder in dapat menyebabkan
kerusakan jaringan setempat dan mengganggu bulu hidung.

Bentuk-bentuknya :
a. Tetes hidung (nasal drops).ditujukan untuk bayi, anak-anak dan
dewasa. contohnya Breathy, Alfrin, Iliadin, Otrivin.
b. Semprot hidung (nasal spray).ditujukan untuk orang dewasa.
contohnya Afrin, Iliadin, Otrivin.
c. Semprot hidung dengan dosis terukur (metered-dose nasal
spray), ditujukan untuk anak-anak usia tidak kurang dari 4 tahun
dan dewasa. contohnya Beconase, Flixonase, Nasacort AQ,
Nasonex, Rhinocort Aqua.

Tindakan
Alat &Bahan :
a. Obat dalam tempatnya
b. Pipet
c. Spekulum hidung
d. Pinset anatomi dalam tempatnya

31
e. Korentang dalam tempatnya
f. Plester
g. Kain kasa
h. Kertas tisu
i. Balutan

Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Atur posisi pasien dengan cara :
- Duduk dikursi dengan kepala mengadah ke belakang
- Berbaring dengan kepala ekstensi pada tepi tempat
tidur
- Berbaring dengan bantal dibawah bahu dan kepala
tengadah ke belakang
4. Berikan tetesan obat pada tiap lubang hidung (sesuai dengan
dosis)
5. Pertahankan posisi kepala tetap tengadah ke belakang selama 5
menit
6. Cuci tangan
7. Catat, cara, tanggal dan dosis pemberian obat

 Indikasi pengobatan secara topikal


a. Pada pasien dengan mata merah akibat iritasi ringan
b. Pada pasien radang atau alergi mata.
c. Infeksi saluran napas,
d. Otitis media (radang rongga gendang telinga),
e. infeksi kulit.

32
 Kontra indikasi pengobatan secara topikal :
a. Pada penderita glaukoma atau penyakit mata lainnya yang hebat,
bayi dan anak. Kecuali dalam pegawasan dan nasehat dokter.
b. Hipersensitivitas.
c. Diare, gangguan fungsi hati & ginjal.
d. Pada pasien ulkus
e. Individu yang atopi (hipersensitifitas atau alergi berdasarkan
kecenderungan yang ditemurunkan).

 Keuntungan pengobatan secara topikal :


Untuk efek lokal, mencegah first-pass effect serta meminimalkan
efek samping sistemik. Untuk efek sistemik, menyerupai cara
pemberian obat melalui intravena (zero-order)

 Kerugian pengobatan secara topikal :


a. Secara kosmetik kurang menarik
b. Absorbsinya tidak menentu

D. Cara Pemberian Obat Prarenteral/Suppositoria


Pemberian obat suppositoria adalah cara memberikan obat dengan
memasukkan obat melalui anus atau rektum dalam bentuk suppositoria.
Organ-organ yang dapat diberi obat suppositoria adalah rectum dan
vagina.Suppositoria ini mudah meleleh, melunak, atau melarut pada
suhu tubuh. Umumnya berbentuk menyerupai peluru atau torpedo
dengan bobot sekitar 2 gram dan panjang sekitar 1 – 1,5 inci.
Suppositoria biasanya diberikan kepada pasien-pasien khusus yang
tidak bisa mengonsumsi obat secara oral lewat mulut. Hal ini bisa terjadi
misalnya pada pasien yang sedang tidak sadarkan diri, pasien yang jika
menerima sediaan oral akan muntah, pasien bayi, dan pasien lanjut usia,

33
yang juga sedang dalam keadaan tidak memungkinkan untuk
menggunakan sediaan parenteral (obat suntik).
Selain itu, suppositoria juga didesain untuk beberapa zat aktif yang
dapat mengiritasi lambung serta zat aktif yang dapat terurai oleh kondisi
saluran cerna, jika digunakan secara oral. Misalnya, zat aktif yang akan
rusak dalam suasana asam lambung, rusak oleh pengaruh enzim
pencernaan, atau akan hilang efek terapinya karena mengalami first pass
effect.
Penggunaan suppositoria tidak hanya ditujukan untuk efek lokal
seperti pengobatan ambeien, anestesi lokal, antiseptik, antibiotik, dan
antijamur, tetapi juga bisa ditujukan untuk efek sistemik sebagai
analgesik, anti muntah, anti asma, dan sebagainya.

 Tujuan Pemberian Obat


o Untuk memperoleh efek obat lokal maupun sistemik.
o Untuk melunakkan feses sehingga mudah untuk dikeluarkan.

 Indikasi dan kontra indikasi


o Indikasi
Mengobati gejala-gejala rematoid, spondistis ankiloksa, gout
akut dan osteoritis.
o Kontra Indikasi
- Hipersensitif terhadap ketoprofen, esetosal dan ains lain.
- Pasien yang menderita ulkus pentrikum atau peradangan
aktif (inflamasi akut) pada saluran cerna.
- Bionkospasme berat atau pasien dengan riwayat asma
bronchial atau alergi.
- Gagal fungsi ginjal dan hati yang berat.
- Supositoria sebaiknya tidak di gunakan pada penderita
piotitis atau hemoroid.

34
- Pembedahan rektal.

 Jenis Obat Supositoria


Pemberian obat yang memiliki efek lokal seperti obat dulcolac
suppositoria yang berfungsi secara local untuk meringankan defekasi.
Dan efek sistemik seperti pada obat aminofilin suppositoria dengan
berfungsi mendilatasi bronkus. Pemberian obat suppositoria ini
diberikan tepat pada dinding rectal yang melewati sfinkter ani interna.
Jika dikombinasikan dengan preparat obat oral, maka pada
umumnya dosis perhari adalah 1 supositoria yang dimasukan ke dalam
rectum. Jika tidak dikombinasikan, dosis lazim adalah 1 dosis 2 kali
sehari.
Contoh obat supositoria :
a) Kaltrofen supositoria
b) Profeid supositoria
c) Ketoprofen supositoria
d) Dulcolax supositoria
e) Profiretrik supositoria
f) Stesolid supositoria
g) Boraginol supositoria
h) Tromos supositoria
i) Propis supositoria
j) Dumin supositoria

 Prosedur Pemberian Obat Suppositoria


1. Persiapan Alat
 Obat sesuai yang diperlukan (krim, jelly, foam,
supositoria)
 Aplikator untuk krim vagina

35
 Pelumas untuk supositoria
 Sarung tangan sekali pakai
 Pembalut
 Handuk bersih
 Gorden / sampiran

2. Persiapan Pasien dan Lingkungan


 Menjelaskan kepada pasien tujuan tindakan yang akan
dilakukan.
 Memebritahukan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
 Menutup jendela, korden, dan memasang sampiran atau
sketsel bila perlu.
 Menganjurkan orang yang tidak berkepentingan untuk
keluar ruangan.

3. Pelaksanaan
a) Periksa kembali order pengobatan mengenai jenis
pengobatan waktu, jumlah dan dosis obat.
b) Siapkan klien
- Identifikasi klien dengan tepat dan tanyakan namanya
- Berikan penjelasan pada klien dan jaga privasi klien
- Atur posisi klien dalam posisi sim dengan tungkai
bagian atas fleksi ke depan
- Tutup dengan selimut mandi, panjangkan area
parineal saja
c) Kenakan sarung tangan
d) Buka supositoria dari kemasannya dan beri pelumas pada
ujung bulatan dengan jeli, beri pelumas sarung tangan
pada jari telunjuk dan tangan dominan anda.

36
e) Minta klien untuk menarik nafas dalam melalui mulut dan
untuk merelaksasikan sfingterani. Mendorong supositoria
melalui spinter yang kontriksi menyebabkan timbulnya
nyeri
f) Regangkan bokong klien dengan tangan dominan, dengan
jari telunjuk yang tersarungi, masukan supusitoria ke
dalam anus melalui sfingterani dan mengenai dinding
rektal 10 cm pada orang dewasa dan 5 cm pada bayi dan
anak-anak. Anak supositoria harus di tetapkan pada
mukosa rectum supaya pada kliennya di serap dan
memberikan efek terapeutik
g) Tarik jari anda dan bersihkan areal anal klien dcngan tisu.
h) Anjurkan klien untuk tetap berbaring terlentang atau
miring selama 5 menit untuk mencegah keluarnya
suppositoria
i) Jika suppositoria mengandung laktosit atau pelunak fases,
letakan tombol pemanggil dalam jangkauan klien agar
klien dapat mencari bantuan untuk mengambil pispot atau
ke kamar mandi
j) Buang sarung tangan pada tempatnya dengan benar
k) Cuci tangan
l) Kaji respon klien

37
DAFTAR PUSTAKA

Sitorus, Ratna, DR, S.Kp, M.App.Sc. 2006. Model Praktik Keperawatan


Profesional di Rumah Sakit : Penataan Struktur dan Proses (Sistem)
Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat. Jakarta. EGC.

Ghofar, Abdul, S. Kep.,Ns,M.pd. 2012. Pedoman Lengkap Keterampilan


Perawatan Klinik. Yogyakarta. Mitra Buku.

Hidayat, AAA. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, buku


2.Jakarta : salemba Medika

Joyce, K & Everlyn, R.H. (1996). Farmakologi Pendekatan Proses


Keperawatan. Jakarta : EGC

38

Anda mungkin juga menyukai