Anda di halaman 1dari 75

MANAJEMEN

PATIENT
SAFETY

AKADEMI KEPERAWATAN
DHARMA INSAN
PONTIANAK
KATA PENGANTAR
TAXONOMY
PERTEMUAN KE I
KONSEP DAN KOMPONEN PASIEN SAFETY

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian patient safety
2. Mahasiswa mampu menjelaskan komponen dalam patient safety

MATERI
1. Konsep Patient Safety
a. Pengertian
Pengertian Patient safety adalah pasien bebas dari cedera yang tidak seharusnya terjadi
atau bebas dari cedera yang potensial akan terjadi (penyakit,cedera fisik/sosial
psikologis, cacat, kematian ) terkait dengan pelayanan kesehatan (KKP-RS, 2008).

Patient Safety (keselamatan pasien) di rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah
sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk assesment resiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah
terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (DepKes,2006).

b. Tujuan Patient safety


Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah:
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi penanggulangan
KTD
Sedangkan tujuan keselamatan pasien secara internasional adalah:
1. Identify patients correctly (mengidentifikasi pasien secara benar)
2. Improve effective communication (meningkatkan komunikasi yang efektif)
3. Improve the safety of high-alert medications (meningkatkan keamanan dari
pengobatan resiko tinggi)
4. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery (mengeliminasi
kesalahan penempatan, kesalahan pengenalan pasien, kesalahan prosedur operasi)
5. Reduce the risk of health care-associated infections (mengurangi risiko infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan)
6. Reduce the risk of patient harm from falls (mengurangi risiko pasien terluka karena
jatuh)

C. Urgensi Patient safety


Tujuan utama rumah sakit adalah merawat pasien yang sakit dengan tujuan agar
pasien segera sembuh dari sakitnya dan sehat kembali, sehingga tidak dapat ditoleransi
bila dalam perawatan di rumah sakit pasien menjadi lebih menderita akibat dari
terjadinya risiko yang sebenarnya dapat dicegah, dengan kata lain pasien harus dijaga
keselamatannya dari akibat yang timbul karena error. Bila program keselamatan pasien
tidak dilakukan akan berdampak pada terjadinya tuntutan sehingga meningkatkan biaya
urusan hukum, menurunkan efisisiensi, dll.

D. Isu, Elemen, dan Akar Penyebab Kesalahan yang Paling Umum dalam Patient safety
1. Lima isu penting terkait keselamatan (hospital risk) yaitu:
a. keselamatan pasien
b. keselamatan pekerja (nakes)
c. keselamatan fasilitas (bangunan, peralatan)
d. keselamatan lingkungan
e. keselamatan bisnis
2. Elemen Patient safety
a. Adverse drug events (ADE)/ medication errors (ME) (ketidakcocokan
obat/kesalahan pengobatan)
b. Restraint use (kendali penggunaan)
c. Nosocomial infections (infeksi nosokomial)
d. Surgical mishaps (kecelakaan operasi)
e. Pressure ulcers (tekanan ulkus)
f. Blood product safety/administration (keamanan produk darah/administrasi)
g. Antimicrobial resistance (resistensi antimikroba)
h. Immunization program (program imunisasi)
i. Falls (terjatuh)
j. Blood stream – vascular catheter care (aliran darah – perawatan kateter
pembuluh darah)
k. Systematic review, follow-up, and reporting of patient/visitor incident reports
(tinjauan sistematis, tindakan lanjutan, dan pelaporan pasien/pengunjung
laporan kejadian)
3. Most Common Root Causes of Errors (Akar Penyebab Kesalahan yang Paling
Umum):
a. Communication problems (masalah komunikasi)
b. Inadequate information flow (arus informasi yang tidak memadai)
c. Human problems (masalah manusia)
d. Patient-related issues (isu berkenaan dengan pasien)
e. Organizational transfer of knowledge (organisasi transfer pengetahuan)
f. Staffing patterns/work flow (pola staf/alur kerja)
g. Technical failures (kesalahan teknis)
h. Inadequate policies and procedures (kebijakan dan prosedur yang tidak
memadai)

c. Komponen Patient Safety


PERTEMUAN KE II
SASARAN PASIEN SAFETY

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan 6 sasaran patient safety

MATERI
Pelayanan kesehatan yang baik, bermutu, profesional, dan diterima pasien merupakan
tujuan utama pelayanan rumah sakit. Namun hal ini tidak mudah dilakukan dewasa ini.
Meskipun rumah sakit telah dilengkapi dengan tenaga medis, perawat, dan sarana penunjang
lengkap, masih sering terdengar ketidak puasan pasien akan pelayanan kesehatan yang
mereka terima.
Pelayanan kesehatan dewasa ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan beberapa
dasawarsa sebelumnya. Beberapa faktor yang mendorong kompleksitas pelayanan kesehatan
pada masa kini antara lain:
1. Semakin kuat tuntutan pasien/masyarakat akan pelayanan kesehatan bermutu, efektif, dan
efisien,
2. Standar pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi
kedokteran,
3. Latar belakang pasien amat beragam (tingkat pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya),
dan
4. Pelayanan kesehatan melibatkan berbagai disiplin dan institusi.
Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong peningkatan
spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran ini menyoroti area yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan dan menguraikan tentang solusi atas konsensus berbasis bukti
dan keahlian terhadap permasalahan ini. Dengan pengakuan bahwa desain/rancangan
sistem yang baik itu intrinsik/menyatu dalam pemberian asuhan yang aman dan
bermutu tinggi, tujuan sasaran umumnya difokuskan pada solusi secara sistem, bila
memungkinkan.
Sasaran juga terstruktur, sama halnya seperti standar lain, termasuk standar
(pernyataan sasaran/goal statement), Maksud dan Tujuan, atau Elemen Penilaian. Sasaran
diberi skor sama seperti standar lain dengan "memenuhi seluruhnya", "memenuhi sebagian"
atau "tidak memenuhi". Peraturan Keputusan akreditasi termasuk pemenuhin terhadap
Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) sebagai peraturan keputusan yang terpisah.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR


1691/MENKES/PER/VIII/2011 TENTANG KESELAMATAN PASIEN RUMAH
SAKIT

1. SASARAN I :KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN


Elemen Penilaian SKP.I.
a. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan
nomor kamar atau lokasi pasien
b. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.
c. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis
d. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan / prosedur
e. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada
semua situasi dan lokasi

2. SASARAN II : PENINGKATAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF


Elemen Penilaian SKP.II.
a. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan
dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah
b. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara
lengkap oleh penerima perintah.
c. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang
menyampaikan hasil pemeriksaan
d. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan komunikasi
lisan atau melalui telepon secara konsisten.

3. SASARAN III : PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU


DIWASPADAI (HIGH-ALERT)
Elemen Penilaian SKP.III.
a. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
b. Kebijakan dan prosedur diimplementasikan.
c. Elektrolit konsentrat tidak boleh disimpan di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang
hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.
d. Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan pasien harus diberi label yang
jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restrict access).

4. SASARAN IV : KEPASTIAN TEPAT-LOKASI, TEPAT-PROSEDUR, TEPAT-


PASIEN OPERASI
Elemen Penilaian SKP.IV.
a. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dapat dimengerti untuk
identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
b. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat
praoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta
peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
c. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur "sebelum insisi / time-
out" tepat sebelum dimulainya suatu prosedur / tindakan pembedahan.
d. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung keseragaman proses untuk
memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan
tindakan pengobatan gigi / dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

5. SASARAN V : PENGURANGAN RISIKO INFEKSI TERKAIT PELAYANAN


KESEHATAN
Elemen Penilaian SKP.V.
a. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang
diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient Safety).
b. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
c. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara
berkelanjutan risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.

6. SASARAN VI : PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH


Elemen Penilaian SKP.VI.
a. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal risiko pasien jatuh dan melakukan
asesmen ulang bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan.
b. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada
hasil asesmen dianggap berisiko
c. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat
jatuh maupun dampak yang berkaitan secara tidak disengaja.
d. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.

REFERENSI

1. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR


1691/MENKES/PER/VIII/2011 TENTANG KESELAMATAN PASIEN
RUMAH SAKIT
PERTEMUAN KE III
STANDAR PATIENT SAFETY

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan 7 standar patient safety

MATERI

Standar Patient Safety Mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan
oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002)
yaitu:
1. Hak pasien
Standarnya adalah
Pasien & keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang
rencana & hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan).
Kriterianya adalah
a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan
b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang jelas dan
benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan
atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD
2. Mendidik pasien dan keluarga
Standarnya adalah
RS harus mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggungjawab
pasien dalam asuhan pasien.
Kriterianya adalah:
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dgn keterlibatan
pasien adalah partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada system dan
mekanisme mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggungjawab pasien
dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien & keluarga dapat:
a. Memberikan info yg benar, jelas, lengkap dan jujur
b. Mengetahui kewajiban dan tanggungjawab
c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yg tdk dimengerti
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standarnya adalah
RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan
antar unit pelayanan.
Kriterianya adalah:
a. Koordinasi pelayanan secara menyeluruh
b. Koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan kelayakan sumberdaya
c. Koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
d. Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
4. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
Standarnya adalah
RS harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yg ada, memonitor &
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, &
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta KP.
Kriterianya adalah
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, sesuai
dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standarnya adalah
a. Pimpinan dorong & jamin implementasi program KP melalui penerapan “7 Langkah
Menuju KP RS ”.
b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko KP &
program mengurangi KTD.
c. Pimpinan dorong & tumbuhkan komunikasi & koordinasi antar unit & individu
berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang KP
d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yg adekuat utk mengukur, mengkaji, &
meningkatkan kinerja RS serta tingkatkan KP.
e. Pimpinan mengukur & mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan
kinerja RS & KP.
Kriterianya adalah
a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden,
c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit
terintegrasi dan berpartisipasi
d. Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien
yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi
yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden,
f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
g. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar
pengelola pelayanan
h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
i. Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif
untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standarnya adalah
a. RS memiliki proses pendidikan, pelatihan & orientasi untuk setiap jabatan mencakup
keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.
b. RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan & memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriterianya adalah
a. Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan
pasien.
b. Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice training
dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
c. Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna
mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Standarnya adalah
a. RS merencanakan & mendesain proses manajemen informasi KP untuk memenuhi
kebutuhan informasi internal &eksternal.
b. Transmisi data & informasi harus tepat waktu & akurat.
Kriterianya adalah
a. Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk
memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
b. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi
manajemen informasi yang ada.
PERTEMUAN KE IV
LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN PATIENT
SAFETY

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan langkah pelaksanaan patient safety sesuai International
Patient Safety Goals(IPSG) dan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit dan
puskesmas
MATERI
Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi,misi, dan tujuan rumah sakit,
kebutuhan pasien, petuga pelayanan pasien,kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat,
dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah
Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
Langkah penerapan program patient safety (DepKes.2006)
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.
2. Membangun komitmen dan fokus yang jelas tentang keselamatan pasien.
3. Membangun sistem dan proses managemen resiko serta melakukan identifikasi dan
assessmen terhadap potensial masalah.
4. Membangun sistim pelaporan.
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dengan melakukan analisis
akar masalah.
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistim keselamatan pasien dengan menggunakan
informasi yang ada.
Uraian tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit adalah sebagai berikut:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
Langkah penerapan:
a. Bagi rumah sakit:
1) Pastikan Rumah sakit memiliki kebijakan yang harus dilakukan staf segera setelah
terjadi insiden.
2) Pastikan rumah sakit memilki kebijakan yang menjabarkan peran dan
akuntabilitas individual bila mana ada insiden.
b. Bagi unit atau team:
1) Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara mengenai kepedulian
mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden.
2) Demonstrasikan pada team ukuran-ukuran yang dipakai di rumahsakit untuk
memastikan semua laporan dibuat terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta
pelakssnaan tindakan yang tepat.
2. Pimpin dan dukung staf anda
Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di rumah
sakit anda.
Langkah penerapan :
a. Untuk rumah sakit:
1) Pastikan ada anggota direksi/ pimpinan yang bertanggung jawab atas keselamatan
pasien.
2) Identifikasi ditiap bagian rumah sakit, orang- orang yang dapat diandalkan untuk
menjadi “ Penggerak” dalam keselamatn pasien.
3) Prioritaskan keselamatan pasien dalam agenda rapat direksi atau pimpinan
maupun rapat- rapat manejemen rumah sakit
4) Memasukkan semua kesalamatan pasien ke dalam semua program latihan staff
rumah sakit dan pastikan ini diikuti dan diukur efektifitasnya.
b. Untuk unit/ tim
1) Nominasikan “ Penggerak” dalam tim anda sendiri untuk memimin gerakan
kesalamatan pasien.
2) Jelaskan kepada tim relefansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka dengan
menjalankan gerkan keselamtan pasien.
3) Tumbuhkan sikap ksatria yang menghargai pelaporan insiden.
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan resiko
Kembangkan sistem dan proses pengelolaan resiko, serta lakukan identifiksi dan
assisment hal yang potensial bermasalah.
Langkah penerapan :
a. Untuk Rumah Sakit
1) Telaah kembali struktur dan proses yang ada dalam manajemen resiko klinis,dan
no kilinis serta hal tersebut mencakup dan terintegrasi dengan keselamatan
pasien dan staf
2) kembangkan indikator indikator kinerja bagi sistem pengelolaan resiko yang dapat
di monitor oleh Direksi atau Pimoinan rumah sakit
3) gunakan informasi yang benar dan jelas yang iperoleh dari istem pelaporan
insiden dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif meningkatkan kepedulian
terhadap pasien
b. Untuk Unit/Tim
1) bentuk forum-forum dalam rumah sakit untuk mendiskusikan isu keselamatan
pasien juga memberikan umpan balik kepada managemen yang terkait
2) pastikan ada penilaianb risiko pada individu pasien dalam proses asesmen risiko
rumah sakit
3) lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan akseptbilitas
setiap risiko dan ambillah langkah-lamngak yang tepautuntuk memeperkecil
resiko tersebut.
4. Kembangkan sistem pelaporan
Pastikan staf ana dengan mudah adapat kejadian atau insiden, serta rumah sakit mengatur
pelapoorankepada komitekeslamatan pasien rumahsakit(KKPRS).
Langkah Penerapan :
a. Untuk rumah sakit :
1) Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporamn insiden kedalam maupun
keluar, yangb harus dilaporkan ke KPPRS-PERSI.
b. Untuk Unit/Tim
Berikan semangat kepada rekan kerja untuk secara aktif melaporkan setiap insiden
yang terjadi da insiden yang telah dicegah tetapi tetapterjadi juga, karenamengandung
bahan pelajaran yang penting.
5. Libatkan berkomunikasi dengan pasien
Kembangkan cara-cara komunikasi yng terbuka dengan pasien.
Langkah penerapan :
a. Untuk rumah sakit :
1) Pastikan rumah sakit memiliki kebjakan yang sangat jelas menjabarkan cara-
carakomumikasi terbuka tentang insiden dengan apara pasien dan keluargannya
b. Untuk Unit/Tim :
1) Pastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan
keluarganya bila telah terjai insiden
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
Dorong staf anda untuk melakukan analisiskan masalah untuk belajar bagaimana dan
mengapa kejadian itu timbul.
Langkah Penerapan :
a. Untuk Rumh Sakit ;
1) pastikan staf yanmg terkait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden secara
tepat, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab.
2) kembangkan kebijakan yang menjabarkan dngan jelas kriteria pelaksanaan
analisis akar masalah (Root cause analysis/RCA) atau failure modes and efects
analysis (FMEA) atau metoda anlisis lain, yang harus menckup semua insiden
terjadi dan minimum satu kali per tahun untuk proses resiko tinggi.
b. Untuk Unit/Tim :
1) diskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis insiden
2) identifikasi unit atau bagaian lain yang mubngkin terkena dampak dimasa depan
dan bagilah pengalaman tersebut secara lebih luas.
7. Cegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
Gunakan informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan perubahan
pada sistem pelkayanan.
Langkah Penerapan :
a. Untuk rumah saki :
Gunakan informasi yang benar dan jeklas ytang diperoleh dari sistem pelaporan,
asesmen risiko, kajian insiden, dan audit serta analisis, untukmnentukan solusi
setempat. Lakukan asesmen resiko untuk setiap perubahan yang
direncanakan sesialisasikan solusi yang dikembanghkan oleh KKPRS-PERSI. Beri
umpan balik kepada staf tentang setiuap tindkan yang diambil atas insioden yang
dilaporkan.
b. Untuk Unit/Tim :
Libatkan tim and dalam mengembangkan berbagai cara untuk membuat asuhan pasien
menjadi lebih bik dan lebih aman telaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat
tim anda dan pastikan pelaksanaannya pastikan tim nda menerima umpan balik atas
setiap tindak kanjut tentang insiden yang dilaporkan.
Pendekatan komprehensif pengkajian keselamatan pasien (Anshar.2010)
Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi atas: struktur, lingkungan,
peralatan dan teknologi, proses, orang dan budaya.
1. Struktur
a. Kebijakan dan prosedur organisasi : terdapat kebijakan dan prosedur tetap yang telah
dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
b. Fasilitas : fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan.
c. Persediaan : hal – hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di ruang
emergency.
2. Lingkungan
a. Pencahayaan dan permukaan berkontribusi terhadap pasien jatuh atau
cedera.
b. Temperatur : pengkondisian temperatur dibutuhkan dibeberapa ruangan
seperti ruang operasi.
c. Kebisingan : lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat perawat
sedang memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari
perubahan kondisi pasien.
d. Ergonomic dan fungsional
Ergonomic berpengaruh terhadap penampilan seperti teknik memindahkan pasien,
jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Selain itu
penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan fungsinya seperti
pengaturan tempat tidur , jenis , penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan
pasien.
3. Peralatan dan teknologi
a. Fungsional : perawat harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari alat.
perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk
mengoperasikan alat secara tepat dan benar.
b. Keamanan : alat – alat yang digunakan juga harus didesain penggunaannya dapat
meningkatkan keselamatan pasien.
4. Proses
a. Desain kerja : desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya
penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang hal
ini akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan
research based practice yang diimplementasikan.
b. Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan keperawatan yang terus menerus saat
praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini dapat
menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu
sIstem pengingat untuk mengurangi kesalahan.
c. Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah
tergambar ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa
tindakan seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien –
pasien emergency oleh karena itu pada saat – saat tertentu waktu dapat menentukan
apakah pasien selamat atau tidak.
d. Perubahan jadwal dinas perawat juga berdampak terhadap keselamatan pasien karena
perawat sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan menyeluruh.
e. Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan tindakan diagnostik
atau ketepatan pengaturan pemberian obat seperti pada pemberian antibiotik atau
tromblolitik, keterlambatan akan mempengaruhi terhadapap diagnosis dan
pengobatan.
f. Efisiensi : keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan memperpanjang waktu
perawatan tentunya akan meningkatkan pembiayaan yang harus di tanggung oleh
pasien.
5. Orang
a. Sikap dan motivasi : sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja seseorang.
Sikap dan motivasi yang negatif akan menimbulkan kesalahan-kesalahan
b. Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja
dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang
c. Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan
kebutuhan dan masalah pasien. tanpa perhatian yang penuh akan terjadi kesalahan –
kesalahan dalam bertindak
d. Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : perawat memerlukan
pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat – alat kesehatan
dengan teknologi baru dan perawatan penyakit – penyakit yang sebelumnya belum
tren seperti perawatan flu babi.
e. Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi : kognitif sangat berpengaruh terhadap
pemahaman kenapa terjadinya kesalahan (error). Kognitif seseorang sangat
berpengaruh terhadap bagaimana cara membuat keputusan , pemecahan masalah baru
mengkomunikasikan hal - hal yang baru.
6. Budaya
a. Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan
keselamatan pasien.
b. Filosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada filosofi dan nilai
yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan.
c. Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan
dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang
menerima laporan).
d. Budaya melaporkan , terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat
hambatan karena terbentuknya budaya blaming . Budaya menyalahkan (Blaming)
merupakan phenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan
membuat protap jalur komunikasi yang jelas.
e. Staff – kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang
penting adalah system kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf, membuat
kebijakan dan mengantur personal termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen
kelelahan, stress dan sakit.

Hubungan standar patient safety, lembaga akreditasi dan institusi rumah sakit
JCI

RUMAH
IPSG
SAKIT

JOINT COMMISSION INTERNATIONAL (JCI)


Adalah lembaga akreditasi indipendent, non profit, dan bukan lembaga pemerintah yang
memiliki standar, yaitu IPSG (International patient safety goals) atau dalam bahasa
Indonesia disebut juga dengan SIKP (Sasaran Internasional Keselamatan Pasien)
A. Tujuan SIKP
1. Menggiatkan perbaikan-perbaikan tertentu dalam soal keselamatan pasien Sasaran
sasaran dalam SIKP
2. Menyoroti bidang-bidang yang bermasalah dalam perawatan kesehatan, memberikan
bukti dan solusi hasil konsensus yang berdasarkan nasihat para pakar.
B. Sasaran SIKP
SIKP. 1 Mengidentifikasi Pasien Dengan Benar
SIKP. 2 Meningkatkan Komunikasi Yang Efektif
SIKP. 3 Meningkatkan Keamanan Obat-obatan Yang Harus Diwaspadai
SIKP. 4 Memastikan Lokasi Pembedahan Yang Benar, Prosedur Yang Benar,
Pembedahan Pada Pasien Yang Benar
SIKP. 5 Mengurangi Resiko Infeksi Akibat Perawatan Kesehatan
SIKP. 6 Mengurangi Resiko Cedera Pasien Akibat Terjatuh
REFERENSI
PERTEMUAN KE V
9 SOLUSI LIFE SAVING

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan 9 solusi life saving

MATERI
Solusi live-saving keselamatan pasien rumah sakit (KKPRS.2007).
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan
“Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan
Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan
pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah
keselamatan pasien. Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat,
mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan
kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu
rumah sakit memperbaiki proses asuhan pasien yang berguna untuk menghindari cedera
maupun kematian yang dapat dicegah.

Solusi tersebut antara lain adalah :


1. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip ( look-alike, sound-alike medication
names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana
adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error)
dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Puluhan ribu obat yang ada saat ini
di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap
nama merk dagang atau generik serta kemasan.
2. Pastikan identifikasi pasien
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar
sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfuse maupun pemeriksaan,
pelaksanaan prosedur yang keliru, orang penyerahan bayi kepada bukan keluarganya.
Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk
keterlibatan pasien dalam proses ini, standardisasi dalam metode identifikasi di semua
rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan, dan partisipasi pasien dalam
konfirmasi ini, serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan
nama yang sama.
3. Komunikasi secara benar saat serah terima / pengoperan Pasien.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit
pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bias mengakibatkan terputusnya
kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan
cedera terhadap pasien.
Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk
penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis;
memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-
pertanyaan pada saat serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses
serah terima.
4. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus dengan
pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar
adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak
benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini
adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi.
Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada
pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan
dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat
dalam prosedur “Time out” sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan
identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah.
5. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated).
Sementara semua obat-obatan, biologis, vaksin dan media kontra memiliki profil risiko,
cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya.
Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah, dan
pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.
6. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi /pengalihan. Rekonsiliasi
(penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatuproses yang didesain untuk mencegah salah
obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah
menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dari seluruh medikasi yang
sedang diterima pasien juga disebut sebagai “ home medication list", sebagai perbandingan
dengan daftar saat admisi, penyerahan dan / atau perintah pemulangan bilamana
menuliskan perintah medikasi, dan dikomunikasikan daftar tersebut kepada petugas
layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan.
7. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube)
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar
mencegah kemungkinan terjadinya KTD yang bias menyebabkan cedera atas pasien
melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan
melalui jalur yang keliru.
Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail /
rinci bila sedang mengerjakan pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya
slang yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya
menggunakan sambungan & slang yang benar).
8. Gunakan alat injeksi sekali pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang
diakibatkan oleh pakai ulang dari jarum suntik.Rekomendasinya adalah perlunya melarang
pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan, pelatihan periodik para petugas di
lembaga- lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian
infeksi, edukasi terhadap pasien dan keluarga, mengenai penularan infeksi melalui darah,
dan praktek jarum sekali pakai yang aman.
9. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita
infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan tangan yang efektif adalah
ukuran preventif yang primer untuk menghindarkan masalah ini.
Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan “ alcohol-based
hand-rubs" tersedia pada titik-titik pelayan, tersedianya sumber air pada semua kran,
pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan tangan yang benar mengingatkan penggunaan
tangan bersih ditempat kerja, dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan
melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik yang lain.
PERTEMUAN KE VI
PERAN PERAWAT DALAM PENANGANAN
PATIENT SAFETY

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan peran perawat dalam penanganan patient safety melalui
perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku perawat

MATERI

Komite Kualitas Kesehatan di Amerika, sebagian besar masalah kualitas dan kesalahan
medis terjadi karena kekurangan mendasar cara perawatan, bukan individual atau kelalaian
(Friesen, Farquhar dan Hughes, 2008).
Safety is a fundamental principle of patient care and a critical component of quality
management (WHO, 2004)
Agustus 2005, Menteri Kesehatan RI telah mencanangkan Gerakan Nasional
Keselamatan Pasien (GNKP) Rumah Sakit (RS), selanjutnya KARS (Komite Akreditasi
Rumah Sakit) Depkes RI telah pula menyusun Standar KP RS (Keselamatan Pasien Rumah
Sakit) yang dimasukkan ke dalam instrumen akreditasi RS ( versi 2007 ) di Indonesia
(DepKes RI, 2006).
Bagan alur penerapan manajemen patient safety :

PENGETAHUAN

SIKAP

PERILAKU
MANAGEMENT
PATIENT
SAFETY
A. Pengetahuan
Notoatmodjo ( 2003 ), mendefinisikan pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan
ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, perasaan, dan perabaan.
Pengetahuan manusia sebagian besar diperoleh melalui penglihatan dan
pendengaran serta sedikit yang diperoleh melalui penciuman, perasaan, dan perabaan.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam bentuk
tindakan seseorang (overt behavior).
Pengetahuan adalah hasil dari suatu produk sistem pendidikan dan akan
mendapatkan pengalaman yang nantinya akan memberikan suatu tingkat pengetahuan
atau ketrampilan dapat dilakukan melalui pelatihan. Pengetahuan diperoleh dari proses
belajar, yang dapat membentuk keyakinan tertentu.
Jann Hidayat Tjakraatmadja dan Donald Crestofel Lantu dalam bukunya
Knowledge Management disebutkan bahwa pengetahuan diperoleh dari sekumpulan
informasi yang saling terhubung secara sistematik sehingga memiliki makna. Informasi
diperoleh dari data yang sudah diolah (disortir, dianalisis, dan ditampilkan dalam bentuk
yang dapat dikomunikasikan melalui bahasa, grafik atau tabel), sehingga memiliki arti.
Selanjutnya data ini akan dimiliki seseorang dan akan tersimpan dalam neuron-neuron
(menjadi memori) di otaknya.
Manusia ketika kemudian dihadapkan pada suatu masalah maka informasi-
informasi yang tersimpan dalam neuron-neuronnya dan yang terkait dengan
permasalahan tersebut, akan saling terhubungkan dan tersusun secara sistematik
sehingga ia memiliki model untuk memahami atau memiliki pengetahuan yang terkait
dengan permasalahan yang dihadapinya.
Kemampuan memiliki pengetahuan atas obyek masalah yang dihadapi sangat
ditentukan oleh pengalaman, latihan atau proses belajar (proses berfikir).
B. Sikap
Sikap adalah respon atau reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek, tidak dapat dilihat secara langsung sehingga sikap hanya dapat
ditafsirkan dari perilaku yang tampak. Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi ,
seseorang memberikan reaksi sesuai dengan rangsangan yang ditemuinya. Sikap dapat
diartikan suatu
kontrak untuk memungkinkan terlihatnya suatu aktivitas.
Sikap seseorang adalah suatu predisposisi (keadaan mudah dipengaruhi) untuk
memberikan tanggapan terhadap rangsang lingkungan yang dapat membimbing atau
memulai tingkah laku orang tersebut. Secara difinitif sikap berarti suatu keadaan jiwa
(mental) dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk memberi tanggapan terhadap objek
yang diorganisir melalui pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau tidak
langsung pada perilaku (Notoatmodjo, 2002).
Difinisi lain sikap menurut Sigit.S dalam Perilaku Organisasional. sikap adalah
tanggapan (respon) yang mengandung komponen-komponen kognitif, afektif, dan
konatif yang dilakukan oleh seseorang terhadap sesuatu obyek atau stimulus dari
lingkungan. Yang menjadi obyek atau stimulus itu dapat berupa orang, barang, ide,
aturan, kejadian atau lainya. Kognitif (cognitive) yang dimaksud adalah sejauh mana
tahu-nya orang mengenai informasi tentang obyek yang ditanggapi itu. Unsur atau
komponen yang ada dalam pikiran orang mengetahui sejauh mana tahunya adalah tahu
sepenuhnya, agak tahu, atau samar-samar, atau bahkan sama sekali tidak tahu. Afektif
(affective) adalah sejauh mana afeksinya (penilaiannya) kepada obyek yang disikapi
mengenai baik-buruknya, menyenangkan-tidaknya, menariktidaknya, atau favorable-
unfavorable, terlepas dari keinginan untuk memilikinya. Konaktif (conactive) adalah
kecenderungan untuk berbuat (berperilaku) terhadap obyek setelah mengerti (tahu) dan
menilai terhadap obyek yang disikapinya.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat langsung tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus
sosial (Notoatmodjo,2003). Sikap juga merupakan evaluasi atau reaksi perasaan
mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak memihak (unfavorable)
pada objek tertentu (Azwar,2003).

Sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat mematuhi standart pelayanan dan


SOP yang ditetapkan. Menerapkan prinsip-prinsip etik dalam pemberian pelayanan
keperawatan. Memberikan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang asuhan yang
diberikan. Menerapkan kerjasama tim kesehatan yang handal dalam pemberian pelayanan
kesehatan. Menerapkan komunikasi yang baik terhadap pasien dan keluarganya. Peka,
proaktif dan melakukan penyelesaian masalah terhadap kejadian tidak diharapkan.
Mendokumentasikan dengan benar semua asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien
dan keluarga.
Manfaat penerapan sistim keselamatan pasien antara lain : Budaya safety meningkat
dan berkembang Komunikasi dengan pasien berkembang Kejadian tidak diharapkan
menurun. peta KTD selalu ada dan terkini, Resiko klinis menurun, Keluhan dan litigasi
berkurang, Mutu pelayanan meningkat, Citra rumah sakit dan kepercayaan masyarakat
meningkat.
Kewajiban perawat secara umum terhadap keselamatan pasien adalah Mencegah
malpraktek dan kelalaian dengan mematuhi standart. Melakukan pelayanan keperawatan
berdasarkan kompetensi. Menjalin hubungan empati dengan pasien. Mendokumentasikan
secara lengkap asuhan. Teliti, obyektif dalam kegiatan. Mengikuti peraturan dan kebijakan
institusi. Peka terhadap terjadinya cedera.

F. Perilaku patient safety


Perawat bertanggung jawab dalam:
1. Memberikan informasi pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan
resiko
2. Melaporkan kejadian-kejadian tak diharapkan (KTD) kepada yang berwenang
3. Berperan Aktif dalam melakukan pengkajian terhadap keamanan dan kualitas/mutu
pelayanan
4. Meningkatkan komunikasi dengan pasien dan tenaga kesehatan professional lainnya
5. Mengusulkan peningkatan kemampuan staf yang cukup
6. Membantu pengukuran terhadap peningkatan patient safety
7. Meningkatkan standar baku untuk program pengendalian infeksi (infection control)
8. Mengusulkan SOP dan protocol pengobatan yang dapat memimalisasi kejadian error
9. Berhubungan dengan badan-badan profesional yang mewakili para dokter ahli
farmasi dan lain-lain
10. Meningkatkan cara pengemasan dan pelabelan obat
11. Berkolaborasi dengan sistem pelaporan nasional untuk mencatat, menganalisa dan
mempelajari kejadian-kejadian tak diharapkan (KTD)
12. Mengembangkan mekanisme peningkatan kesadaran, sebagai contoh untuk
pelaksanaan akreditasi
13. Karakteristik dari pemberi pelayanan kesehatan menjadi tolok ukur terhadap
excellence dalam patient safety

Perilaku mencakup 3 domain, yakni : pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan
atau praktik (practice) (Notoatmodjo, 2003). Mengukur perilaku dan perubahannya
khususnya perilaku patient safety juga mengacu kepada 3 domain tersebut., secara rinci
dikaitkan dengan program patient safety dijelaskan sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang patient safety
Pengetahuan tentang patient safety adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang
tentang patient safety . Pengetahuan tentang patient safety meliputi :
a. Pengetahuan tentang risiko yang bisa saja terjadi bila tidak menerapkan program patient
safety.
b. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi keselamatan
pasien.
c. Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan yang tersedia.
d. Pengetahuan untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.

Pengukuran pengetahuan patient safety seperti tersebut diatas adalah dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-pertanyaan
tertulis atau angket. Indikator pengetahuan patient safety adalah tingginya pengetahuan
responden tentang patient safety, atau besarnya persentase kelompok responden tentang
variabel-variabel atau komponen-komponen patient safety.

2. Sikap terhadap patient safety


Sikap terhadap patient safety adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan patient safety, yang mencakup sekurang-kurangnya 4 variabel yaitu :
a. Sikap terhadap risiko yang bisa terjadi bila tidak. menerapkan program patient safety
b. Sikap tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi keselamatan pasien.
c. Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia.
d. Sikap untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengukuran sikap
secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus
atau objek yang bersangkutan
3. Praktik patient safety
Praktik patient safety atau tindakan untuk patient safety adalah semua kegiatan atau aktivitas
orang dalam rangka patient safety. Tindakan atau praktik patient safety ini juga meliputi 4
faktor yaitu :
Aspek perilaku di dalam patient safety
a. Tindakan atau praktik sehubungan dengan risiko yang bisa saja terjadi bila tidak
menerapkan patient safety.
b. Tindakan atau praktik sehubungan faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi
keselamatan pasien.
c. Tindakan atau praktik sehubungan fasilitas pelayanan yang tersedia.
d. Tindakan atau praktik sehubungan untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.

PERTEMUAN KE VII
KEBIJAKAN YANG MENDUKUNG PATIENT
SAFETY

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan kebijakan yang mendukung dalam pelaksnaaan patient
safety
MATERI

A. Peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan patient safety


Kerugian yang diderita pasien serta tanggung jawab hukum yang ditimbulkannya
berpotensi untuk menjadi sengketa hukum. Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan
kebijakan tentang keselamatan pasien.
1. Tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU Kesehatan
No. 36 tahun 2009:
a. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
b. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
2. Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalam:
Pasal 46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 Rumah sakit bertanggung jawab secara
hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan di rumah sakit.
3. Pasal 45 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
a. Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau
keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif.
b. Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
menyelamatkan nyawa manusia.

B. Kebijakan yang mendasari patient safety


Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit/ KKP-RS (2008) mendefinisikan bahwa
keselamatan (safety) adalah bebas dari bahaya atau risiko (hazard). Keselamatan pasien
(patient safety) adalah pasien bebas dari harm/ cedera yang tidak seharusnya terjadi atau
bebas dari harm yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/ sosial/ psikologis,
cacat, kematian dan lain-lain), terkait dengan pelayanan kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011,
keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar
dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan
pasien sesuai dengan yang diucapkan Hippocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu
Primum, non nocere (First, do no harm). Namun diakui dengan semakin berkembangnya
ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi semakin
kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan- KTD (Adverse Event)
apabila tidak dilakukan dengan hati-hati karena di rumah sakit terdapat ratusan macam
obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga
profesi dan non profesi yang siap memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus.
Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat
terjadi KTD (Depkes RI, 2008).
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap kejadian
yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian
Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden
yang mengakibatkan cedera pada pasien. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat
disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien. Kejadian
Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien,
tetapi tidak timbul cedera. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah
kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang
serius (Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).
1. Pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Menurut Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 bahwa rumah sakit
dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program
dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit. Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan
keselamatan pasien. TKPRS yang dimaksud bertanggung jawab kepada kepala rumah
sakit. Keanggotaan TKPRS terdiri dari manajemen rumah sakit dan unsur dari profesi
kesehatan di rumah sakit. TKPRS melaksanakan tugas:
a. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan
kekhususan rumah sakit tersebut;
b. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien
rumah sakit;
c. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan
(monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan (implementasi) program
keselamatan pasien rumah sakit;
d. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk
melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit;
e. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta mengembangkan
solusi untuk pembelajaran;
f. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam rangka
pengambilan kebijakan keselamatan pasien rumah sakit; dan
g. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.
2. Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien
Menurut Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 menyatakan bahwa sistem
pelaporan insiden dilakukan di internal rumah sakit dan kepada Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit Pelaporan insiden kepada Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit mencakup KTD, KNC, dan KTC dilakukan setelah
analisis dan mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS. Sistem pelaporan
insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus dijamin
keamanannya, bersifat rahasia, anonim (tanpa identitas), tidak mudah diakses oleh
yang tidak berhak. Pelaporan insiden ditujukan untuk menurunkan insiden dan
mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk
menyalahkan orang (non blaming).
Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam waktu
paling lambat 2x24 jam sesuai format laporan yang ada. TKPRS melakukan analisis
dan memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden yang dilaporkan. TKPRS
melaporkan hasil kegiatannya kepada kepala rumah sakit. Rumah sakit harus
melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan pengkajian dan
memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan secara nasional
(Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).
3. Manajemen Risiko Patient Safety
Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf
medis rumah sakit sesuai kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar
profesi dan standar pelayanan, namun potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap
berpotensi mengalami cedera.
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan memberikan perlindungan
kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, serta memberi kepastian hukum kepada
masyarakat dan rumah sakit.
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO)
memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif
yang dilakukan oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan
pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung
dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal
risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit
terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian
(risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola
pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit,
baik operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang
tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed
care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan,
corporate compliance dan etik organisasi.
Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun
sebagian besarnya merupakan hasil belajar dari pengalaman dan menerapkannya
kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari.
Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus,
yang terdiri dari empat tahap, yaitu:
a. Risk Awareness.
Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah
sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-masing dan
aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko
tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis,
sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah,
perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah dan
instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang
berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya
non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali
risiko.
b. Risk control (and or Risk Prevention).
Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam menghindari dan
atau meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang
medis, manajemen harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite
medis. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik
perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya.
Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat
dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk
menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari
upaya menguranginya (control solution) baik terhadap probabilitasnya maupun
terhadap derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka
dicari jalan untuk mengurangi dampaknya.
Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan
dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai
sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur,
standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan
kasus, poster, stiker, dan lain-lain.
c. Risk containment
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau
kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan
sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko
dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan
insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat
terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.
d. Risk transfer
Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka
diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai,
misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.
Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya.
Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk
diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan
pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan
sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak
yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas pemberi
layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya,
harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk
mengendalikan risiko bersama.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan
standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya
(identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them). Agency for Healthcare
Research and Quality (AHRQ), dalam rangka memaksimalkan patient safety,
menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah
sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen tersebut diterapkan
bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang bertujuan mengurangi
atau menyingkirkan risiko. Elemen-elemen untuk mencegah medical errors
tersebut, adalah:
1) Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada
keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem
sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan
disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan
menghukum “pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan
sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis,
sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian
serupa di kemudian hari.
2) Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal
ini manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam
menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin
bersama ke unit-unit klinik.
3) Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang
keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya
meningkatkan keselamatan pasien.
4) Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan
staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk,
mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan
mengembangkan langkah koreksinya.
5) Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.
6) Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak
menimbulkan kesalahan baru.

PERTEMUAN KE VIII
MONITORING DAN EVALUASI PATIENT SAFETY

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan monitoring dan evaluasi patient safety

MATERI

A. Monitoring
Monitoring adalah proses rutin pengumpulan data dan pengukuran kemajuan atas objektif
program./ Memantau perubahan, yang focus pada proses dan keluaran.
 Monitoring melibatkan perhitungan atas apa yang kita lakukan
 Monitoring melibatkan pengamatan atas kualitas dari layanan yang kita berian
B. Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien yang mengalami medication error adalah:
1. Dapat mengatasi masalah medication error pada tepat waktu.
2. Medication error tidak terjadi karena ada system monitoring pada medical error.
3. Medication error berkurang pada unit khusus nya rumah sakit.
PERBEDAAN MONITORING DAN EVALUASI
monitoring evaluasi
Kapan ? Terus - menerus Akhir setelah program
Apa yang diukur ? Output dan proses :sering Dampak jangka panjang
focus input ,kegiatan,kondisi kelangsungan
/asumsi.
Siapa yang terlibat? Umumnya orang dalam Orang luar dan dalam
Sumber informasi ? System rutin survey kecil, Dokumen eksternal dan
dokumen internal,laporan internal,laporan asesmen
dampak,riset evaluasi.
Pengguna ? Manajer dan staf Manajer ,staf ,donor, klien,
stakeholder, organisasi lain.
Penggunaan hasil? Koreksi minor dan program Koreksi mayor program.
(feed back) Perubahan
kebijakan,strategi,masa
mendatang, termasuk
penghentian program atau
(feed back).
PERTEMUAN KE IX
KOMUNIKASI ANTAR ANGGOTA TEAM
KESEHATAN

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan komunikasi efektif antar team kesehatan dalam
pelaksaan manajemen patient safety

MATERI
PERTEMUAN KE X
PENDEKATAN SYSTEM DALAM PENANGANAN
PATIENT SAFETY

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan kebijakan yang mendukung dalam pelaksnaaan patient
safety

MATERI
Pendahuluan
Mutu pelayanan di rumah sakit pada saat ini masih belum memadai. Menurut Wijono
(1999), mutu merupakan gambaran total sifat dari suatu jasa pelayanan yang berhubungan
dengan kemampuannya untuk memberikan kebutuhan kepuasan. Mutu dalam pelayanan di
rumah sakit berguna untuk mengurangi tingkat kecacatan atau kesalahan. Keselamatan
(safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Keselamatan pasien
merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan di rumah sakit dan hal itu terkait dengan isu
mutu dan citra rumah sakit.
Sejak awal tahun 1900, institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada tiga
elemen yaitu struktur, proses, dan outcome dengan berbagai macam program regulasi yang
berwenang misalnya antara lain penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, ISO, Indikator
Klinis dan lain sebagainya. Namun harus diakui, pada pelayanan yang berkualitas masih
terjadi Kejadian Tidak Diduga (KTD) (Dep Kes R.I 2006).
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan pasien koma, pelaporan dan analisis accident, kemampuan belajar dari
accident dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
risiko (Dep Kes R.I, 2006).

Mutu Pelayanan Kesehatan


Mutu merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik oleh penyedia jasa atau
pelayanan (Tomey, 2006). Aplikasi mutu sebagai suatu sifat dari penampilan produk atau
kinerja yang merupakan bagian utama strategi perusahaan dalam rangka meraih keunggulan
yang berkesinambungan, baik sebagai pemimpin pasar atau pun sebagai strategi untuk terus
tumbuh. Keunggulan suatu produk jasa atau pelayanan adalah tergantung dari keunikan jasa
tersebut, apakah sudah sesuai dengan harapan keinginan pelanggan (Supranto, 2001).
Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar atau ketetapan
manajemen. Ia berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa
pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya
dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target
yang bergerak dalam pasar yang kompetitif” (Wijono, 1999).
Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan
Lori Di Prete Brown, et. al dalam Wijono, 1999, menjelaskan bahwa kegiatan
menjaga mutu dapat menyangkut dalam beberapa dimensi:
1. Kompetensi teknis, yang terkait dengan keterampilan, kemampuan dan penampilan
petugas. Kompetensi teknis berhubungan dengan standar pelayanan yang telah
ditetapkan. Kompetensi teknis yang tidak sesuai standar dapat merugikan pasien.
2. Akses terhadap pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial dan
ekonomi, budaya atau hambatan bahasa.
3. Efektifitas, kualitas pelayanan kesehatan tergantung dari efektifitas pelayanan kesehatan
dan petunjuk klinis sesuai standar yang ada.
4. Hubungan antar manusia, berkaitan dengan interaksi antara petugas kesehatan dan
pasien, manajer, petugas serta antar tim kesehatan. Hubungan antar manusia yang baik
menanamkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara menghargai, menjaga rahasia,
menghormati, responsif , dan memberikan perhatian.
5. Efisiensi, pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh efisiensi sumber daya pelayanan
kesehatan. Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang optimal daripada
memaksimalkan pelayanan pasien dan masyarakat.
6. Kelangsungan pelayanan, klien menerima pelayanan yang lengkap sesuai yang
dibutuhkan. Klien hendaknya mempunyai pelayanan rutin dan preventif.
7. Keamanan dan kenyamanan klien, mengurangi risiko cedera, infeksi, efek samping, atau
bahaya lain yang berkaitan dengan pelayanan. Keamanan pelayanan melibatkan petugas
dan pasien.
8. Keramahan/kenikmatan (amenietis) berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang tidak
berhubungan langsung dengan efektifitas klinik tetapi dapat mempengaruhi kepuasan
pasien dan bersedia untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh pelayanan
berikutnya.

Dimensi mutu yang lain menurut Dep Kes 2006, yaitu keprofesian, efisiensi, keamanan
pasien, kepuasan pasien, aspek sosial budaya.
Pendekatan Sistem dalam Menjaga Mutu
Mutu pelayanan rumah sakit perlu untuk ditingkatkan dengan pendekatan sistem,
menurut Donabedian dalam Wijono, 1999 bahwa penilaian mutu terbagi atas
input/struktur, proses, dan outcome.
Struktur meliputi peralatan dan sarana fisik, keuangan, organisasi dan, sumber daya
kesehatan lainnya. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari: jumlah besarnya
input, mutu struktur atau mutu input, besarnya anggaran atau biaya, kewajaran.
Proses merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga
kesehatan. Proses mencakup diagnosa, rencana pengobatan, indikasi tindakan, prosedur dan
penanganan kasus. Sedangkan outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga
kesehatan profesional terhadap pasien. Penilaian terhadap outcome merupakan evaluasi hasil
akhir dari kesehatan atau kepuasan pelanggan (Wijono, 1999).
Penilaian mutu menurut Dep Kes R.I, 2006 terdiri dari struktur, proses, dan outcome.
Struktur adalah sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya keuangan, dan
sumber daya pada fasilitas pelayanan kesehatan.
Proses adalah kegiatan yang dilakukan dokter dan tenaga profesi lain terhadap pasien,
evaluasi, diagnosa keperawatan, konseling, pengobatan, tindakan dan penanganan pasien
secara efektif dan bermutu.
Outcome adalah kegiatan dan tindakan dokter dan tenaga profesi lain terhadap pasien
dalam arti perubahan derajat kesehatan dan kepuasan pelanggan.
Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan
Mutu pelayanan kesehatan perlu dilakukan pengukuran, dengan cara mengetahui
tentang pengertian indikator, kriteria, dan standar.
Indikator adalah petunjuk atau tolak ukur. Indikator mutu asuhan kesehatan atau
pelayanan kesehatan dapat mengacu pada indikator yang relevan berkaitan dengan struktur,
proses, dan outcome. Indikator terdiri dari indikator proses, indikator outcome. Indikator
proses memberikan petunjuk tentang pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, prosedur
asuhan yang ditempuh oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya.
Indikator outcomes merupakan indikator hasil daripada keadaan sebelumnya, yaitu
input dan proses seperti BOR, LOS, dan Indikator klinis lain seperti: Angka Kesembuhan
Penyakit, Angka Kematian 48 jam, Angka Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan, dan
sebagainya.
Indikator dispesifikasikan dalam berbagai kriteria. Untuk pelayanan kesehatan,
kriteria ini adalah fenomena yang dapat dihitung. Selanjutnya setelah kriteria ditentukan
dibuat standar- standar yang eksak dan dapat dihitung kuantitatif, yang biasanya mencakup
hal-hal yang standar baik (Wijono, 1999).
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan yang dapat mengukur mutu
pelayanan kesehatan menurut Depkes (2006) yaitu melalui indikator, kriteria, dan standar.
Indikator adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi.
Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk dapat melihat perubahan.
Kriteria adalah spesifikasi dari indikator.
Standar adalah tingkatan performance atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang
yang berwenangan dan merupakan suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau
prestasi yang sangat baik.
Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien diantaranya pasien terjatuh dari
tempat tidur, pasien diberi obat salah, tidak ada obat/alat emergensi, tidak ada oksigen, tidak
ada alat penyedot lendir, tidak tersedia alat pemadam kebakaran, dan pemakaian obat
(Muninjaya, 1999).
PERTEMUAN KE XI
ANALISIS KASUS MEDICAL ERROR

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu melakukan analisis sederhana dalam program patient safety dalam
kasus medical error

MATERI

Bayi nyaris tewas akibat perawat salah suntik obat

Kejadian ini terjadi di Aceh pada bulan Desember 2013 yang lalu. Mariana (39) warga
Gampong Meurandeh, Langsa Lama mulanya membawa bayinya yang baru berumur 34 hari
ke RSUD Langsa setelah mendapat rujukan dari dr.Nursal akibat diare yang dialami sang
anak. Malangnya, seorang perawat akademi keperawatan yang masih praktek lapangan di
rumah sakit tersebut, asal-asalan menyuntikkan obat ke infus anaknya. Akibatnya bayi
tersebut mengalami muntah-muntah dan lemas serta perut kembung dan nyaris tewas.
Perawat tersebut ngotot memberikan ranitidin dan norages kepada bayi tersebut atas
perintah perawat bakti berinisial CM. “Ternyata obat tersebut bukan buat anak saya, tapi
pasien lain. Ini namanya medical error karena kesalahan yang fatal, Lihat kondisi anak saya
saat ini lemas dan muntah-muntah terus,” tutur Mariana lagi yang juga bekerja sebagai
perawat.Meskipun CM membantah dan terkesan tidak terima atas kasus ini namun
tidakannya tetap merupakan pelanggaran terhadap instruksi dr. Nursal yang hanya menyuruh
melakukan infus saja tanpa suntikan apapun.
PERTEMUAN KE XII
ANALISIS KASUS NOSOCOMIAL INFECTION

CAPAIAN PEMBELAJARAN
2. Mahasiswa mampu melakukan analisis sederhana dalam program patient safety dalam
kasus medical error

MATERI
Kasus Medical Error

A. LATAR BELAKANG
Keselamatan pasien di rumah sakit adalah sistem pelayanan di rumah sakit yang
memberikan asuhan pasien menjadi lebih aman, termasuk didalamnya mengukur
risiko, identifikasi, dan pengelolaan resiko terhadap pasien, analisis insiden,
kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti serta menerapkan solusi untuk
mengurangi resiko.
Keamanan dan keselamatan pasien merupakan hal mendasar yang perlu di
perhatikan oleh tenaga medis saat memberikan pelayanan kesehatan kepada kesehatan
pasien, keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit memberikan
asuhan kepada pasien secara aman serta mencegah terjadinya cidera, infeksi
nosokomial atas kesalahan karena melaksanakan suatu tindakan atau tidak
melaksanakan suatu tindakan sama sekali.
Keselamata pasien adalah suatu hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh setiap
petugas medis yang terlibat dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.
Tindakan pelayanan, peralatan kesehatan, dan lingkungan pasien sudah seharusnya
menunjang kesembuhan serta keselamatan dari pasien tersebut.
1. Pengertian Nosocomial Infection (Infeksi Nosokomial)
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit pada
saat pasien menjalani proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial pada
umumnya terjadi pada pasien yang dirawat diruang seperti ruang perawatan anak,
perawatan penyakit dalam, perawatan intensif dan perawatan isolasi (Darmadi,
2008). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat dari
rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien
tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial
adalah infeksi yang diperoleh dari rumah sakit yang dapat mempengaruhi kondisi
kesehatan pasien tersebut selama dirawat maupun sesudah dirawat, yang dapat
terjadi karena intervensi yang dilakukan di rumah sakit seperti pemasangan infus,
kateter, dan tindakan-tindakan operatif lainnya.
2. Pendektan sistem dalam penanganan infeksi nosokomial
Pendekatan sistem penanganan infeksi nosokomial menggunakan sistem
surveilans epidemiologi. Surveilans Epidemiologi adalah sebuah rangkaian
kegiatan mengumpulkan berbagai data atau informasi dari kejadian penyakit secara
teratur dan terus menerus untuk menentukan beberapa tindakan yang diambil oleh
petugas / pengambil kebijakan dalam kesehatan.
Untuk mengatasi masalah penularan infeksi nosokomial maka telah
dikembangkan sistem Surveilans Epidemiologiyang khusus dan cukup efektif untuk
menanggulangi kemungkinan terjadinya penularan penyakit (dikenal dengan
infeksi nosokomial) didalam lingkungan rumah sakit / membuat tim khusus yang
bertugas memberikan informasi-informasi terbaru mengenai penanganan infeksi
nosokomial kepada tim medis yang ada di rumah sakit.
3. Standar Penanganan infeksi nosokomial
Ada beberapa tingkatan tindakan menurut Notoatmodjo :
 Persepsi
Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan praktek tigkat pertama.
 Respon terpimpin
Dapat melakukan sesuatu dengan benar seperti contoh merupakan indikator
praktek tingkat kedua.
 Mekanisme
Apabila seseorang dapat melakukan sesuatu yang benar secara otomatis atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat
ketiga.
 Adopsi
Adapsi adalah praktek tindakan yang sudah berkembang dengan baik artinya
bahwa tindakan itu sudah di modifikassinya sendiri tanpa mengurangi tindakan
tersebut.
Adaptasi tindakan mempunyai beberapa faktor indikator antara lain:
a) Tindakan sehubungan dengan penyakit mencakup:
 Mencegah penyakit misalkan mengimunisasikan anak
 Menyembuhkan penyakit misalkan minum obat sesuai dengan
petunjuk dokter
b) Tndakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, tindakan atau prilaku
ini mencakup ; mengkonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang,
melakukan olahraga teratur, dan praktek perawatan kesehatan.
c) Tindakan kesehatan lingkungan
Prilaku ini mencakup membuang sampah pada tempatnya, melakukan
tindakan medis secara bersih dan steril, setelah melakukan tindakan
mencuci tangan dengan desinfektan.
4. Langkah-langah penanganan infeksi nosokomial
Dengan menggunakan standar kewaspadaan terhadap infeksi, antara lain :
a. Cuci tangan.
b. Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, dan bahan terkon taminasi.
c. Segera melepas hand scon setelah selesai melakukan tindakan terhadap pasien.
d. Masker, kacamata, masker muka : mengantisipasi bila terkena, melindungi
selaput lendir mata, hidung, dan mulut saat kontak dengan darah dan cairan
tubuh.
e. Memakai baju pelindung
f. Mencegah pakaian tercemar selama tindakan klinik yang dapat berkontak
langsung dengan darah atau cairan tubuh.
g. Cuci peralatan bekas pakai sebelum digunakan kembali.
h. Hindari memasang kembali penutup jarum bekas
i. Hindari memakai jarum bekas dari spuit habis pakai.
j. Hindari membengkokkan dan mematahkan atau memanipulasi jarum bekas
dengan tangan.
k. Usahakan gunakan kantong resusitasi atau alat ventilasi yang lain untuk
menghindari kontak langsung mulut dalam resusitasi mulut ke mulut.
l. Tempatkan pasien yang terkontaminasi lingkungan dalam ruang pribadi atau
isolasi.
5. Peran perawat dalam pengendalian infeksi Nosokomial
Menurut Roeshadi (1996) peran perawat dalam pengendalian infeksi
nosokomial ada 3 yang harus di laksanakan antara lain :
a. Sebagai pelaksana lapangan dalam melaksanakan pengendalian infeksi
nosokomial mempunyai tugas melakukan proses keperawatan mulai dari
pengkajian sampai evaluasi pada kasus infeksi nosokomial yang terjadi di ruang
perawatan. Sebagai pelaksana lapangan perawat harus mendokumentasikan
secara tertulis hasil proses keperawatan ke bagian rekam medis. Di samping itu
perawat harus melakukan konsultasi kepada kepala Tim serta melaporkan hasil
pelaksanaan ke kepala ruang mengenai kasus infeksi nosokomial. Serta
melakukan perawatan kepada pasien sesuai dengan protap yang ada di rumah
sakit melakukan pencegahan dengan cara membatasi transmisi organisme dari
atau antar pasien dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan,
tindakan septik dan aseptik; sterilisasi dan desinfektan, melindungi pasien
dengan penggunaan antibioktika yang adekuat;nutrisi yang cukup dan
vaksinasi. Melakukan dekontaminasi tangan, melakukan pencegahan penularan
dari lingkungan rumah sakit dengan cara pembersihan yang rutin dan debu,
minyak dan kotoran, serta melakukan pencegahan dengan membuat suatu
pemisahan pasien terutama untuk penyakit yang penularan nya melalui udara
yang menyebabkan kontaminasi berat, memakai alat pelindung selama
melakukan tindakan keperawatan. Melakukan evaluasi melalui dokumentasi
terhadap setiap tindakan perawatan kepda pasien yang terinfeksi nosokomial
serta melakukan evaluasi tentang respon pasien setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
b. Sebagai Tim kontrol infeksi dalam pengendalian infeksi nosokomial, perawat
mempunyai tugas yaitu melakukan surveilan suatu penyakit secara sistematik
dan dilakukan terus menerus terhadap penyakit yang terjadi pada pasien atau
penderita yang terkena infeksi sehingga dengan adanya tindakan pengamatan
resiko terjadinya infeksi akan menurun, dan ikut serta dalam koordinasi atau
rapat pengendalian infeksi nosokomial. Perawat sebagai tim kontrol infeksi juga
membuat laporan kegiatan dan hasildalam pengendalian infeksi nosokomial
sesuai prosedur tetap dan juga mengumpulkan beberapa data untuk
mengklasifikasi jenis infeksi nosokomial serta melakukan identifikasi pasien
yang mempunyai penyakit infeksi dengan cara melakukan isolasi setiap pasien
di ruangan khusus. Melaporkan kejadian infeksi nosokomial secara
menyeluruh.
c. Sebagai pendidik dalam pengendali infeksi nosokomial dimana tugasnya
memberikan bimbingan dan pengajaran tentang cara pencegahan ataupun
pengendalian infeksi nosokomial yang ada di rumah sakit kepada tenaga
keperawatan lain yang di nilai bahwa perawat tersebut mengenai pengetahuan
infeksi nosokomial masih kurang, dengan tujuan mengembalikan sikap mental
yang benar dalam merawat penderita. Sebagai pendidik perawat harus
memberikan bimbingan dan pengajaran tentang pengendalian infeksi
nosokomial, pula kepada mahasiswa perawat dalam rangka praktek lapangan.
Memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien tentang pencegahan infeksi
nosokomial serta memberikan informasi kepada keluarga pasien bila
berkunjung mentaati peraturan, berkunjung yang di buat oleh rumah sakit untuk
mencegah penularan infeksi nosokomial.
6. Monitoring dan evaluasi dalam penanganan Nosocomial Infection
Monitoring dilakukan oleh IPCN (Iinfection Prevention and Control Nurse) :
a. Melihat setiap hari untuk memonitor lejadian infeksi yang terjadi di lingkungan
kerjanya, baik rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
b. Melaksanakan Surveilans infeksi dan melaporkan setiap kejadiannya.
c. Melakukan investigasi terhadap kejadian luar biasa dan bersama-sama komite
PPI memperbaiki kesalahan yang terjadi.
d. Bersama komite menganjurkan prosedur isolasi dan memberi konsultasi tentang
pencegahan dan pengendalian infeksi yang di perlukan pada kaasus yang terjadi
di rumah sakit.
e. Memonitor kesehatan lingkungan
f. Memonitor terhadap pengendalian penggunaan antibiotik yang rasional.
g. Memberikan motivasi dn teguran terhadap pelaksanaan kepatuhan PPI.
h. Meningkatkan kesadaran pasien dan pengunjung tentang prinsip pencegahan
infeksi Nosokomial Rumah Sakit.
Monitoring dilakukan oleh IPCLN (Infection Prevention and Control Link Nurse)
a. Mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unit rawat inap
masing-masing, kemudian menyerahkan kepada IPCN ketika pasien pulang.
b. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan pencegahan
dan pengendalian infeksi pada setiap personil ruangan di unit rawatnya
masing-masing.
c. Memberitahukan kepada IPCN apanila ada kecurigaan tentang terjadinya
infeksi nosokomial pada pasien.
d. Berkoordinasi dengan IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB, penyuluhan
bagi pengunjung di ruang rawat masing-masing konsultasi prosedur yang harus
dijhalankan bila belum faham.
e. Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan standar
isolasi.
Evaluasi oleh PPIRS
a. Menyusun dan menetapkan serta mengevaluasi kebijakan PPI
b. Membuat SPO PPI
c. Menyusun program PPI dan mengevaluasi pelaksanaan program
d. Bekerjasama dengan tim PPI dalam melakukan investigasi masalah atau KLB
infeksi nosokomial.
e. Melakukan pertemuan berkala, termasuk evaluasi kebijakan.
PERTEMUAN KE XIII
ANALISIS KASUS DECUBITUS

CAPAIAN PEMBELAJARAN
3. Mahasiswa mampu melakukan analisis sederhana dalam program patient safety dalam
kasus medical error

MATERI
Kasus Medical

A. Latar Belakang
Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah
mempertahankan integritas kulit. Intervensi perawatan kulit yang terencana dan konsisten
merupakan intervensi penting untuk menjamin keperawatan yang berkualitas tinggi (Holf,
1989). Perawat dengan teratur mengobservasi kerusakan atau gangguan integritas kulit
terjadi akibat tekanan yang lama, iritasi kulit, atau imobilisasi, sehingga menyebabkan
terjadi dekubitus.
Dekubitus merupakan masalah yang serius karena dapat mengakibatkan gaya,
lama perawatan dirumah sakit serta memperlambat program rehablisasi bagi penderita.
Selain itu dekubitus juga dapat menyebabkan nyeri yang berkepanjangan, rasa tidak
nyaman, meningkatkan biaya dalam perawatan dan penanganannya serta menyebabkan
komplikasi berat yang mengarah ke sepsis, infeksi kronis, sellulitis, osteomyelitis, dan
meningkatakan prevelensi mortalitas pada klien lanjut usia (Suryadi et.al ;2008).
Dekubitus merupakan nekrosis jaringan loka yang cenderung terjadi ketika
jaringan lunak tertekan pada tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka
waktu lama (National plessure ulcers ad visory panel, 1989). Namun menurut hasil
penelitian saat ini, luka dekubitus juga dapat berkembang dari jaringan bagian dalam
seperti facia dan otot walaupun tanpa ada kerusakan pada permukaan kulit yang dikenal
dengan istilah injuri jaringan bagian dalam (deep tisue injury) (van rijswijk, 1999). Luka
dekubitus biasanya terjadi pada penderita dengan penyakit kronik yang berada diatas
kursi atau diatas tempat tidur, seing kali pada incotinensia di amerika seikat, dalam
penelitian menunjukan bahwa prevalensi luka dekubitus bervariasi, tetapi secara umum
dilaporkan dari rumah sakit berada direntang antara 3 – 11 pasien ( Allman, 1989), 14
(Langgemo, et all, 1989), 11 (Meehan, 1994), dan 20 (Lesshem dan skleskey, 1994) dan
2,7 peluang terbentuk dekubitus baru. Dari hasil penelitian lain memperlihatkan bahwa
sekitar 28 rumah sakit berpeluang untuk menderita luka dekubitus, dan 2/3 penderita luka
dekubitus tersebut terjadi pada pasien berusia lanjut (Pranaka, 1999).
Pressure ulcers merupakan masalah kesehatan yang serius, dan terjadi tidak hanya
dinegara berkembang tapi juga dinegara-negara maju. Dibelanda manajement pressure
ulcers menyerap 362 juta sampai 2,8 miliar atau 1% dari dana kesehatan nasional.
Diinggris perawatan pressure ulcers menyerap 180 juta sampai 321 juta Poundsterling
atau 0,4 sampai 0.8 dari dan kesehatan nasional. Permasalahna seputar dekubitus tidak
hanya berkaitan dengan tingginya angka morbilitas, mortalitas dan biaya yang
membebani institusi kesehatan namun tingginya insiden dan prevakensi dekubitus.
Bahkan dalam 25 tahun terakhir insiden dan prevalensi dekubitus relatif stagnan, hal ini
menunjukan bahwa modalitas pencegahan sejauh ini belum menunjukan hasil yang
maksimal.
Menurut suatu penelitian di indonesia yang dilakukan oleh Suriadi (2007) angka
kejadian luka dekubitus mencapai 33,3% . dan tidak terjadi penurunan angka kejadian
dekubitus. Berdasarkan masalah yang ada di atas upaya yang sudah dilakukan untuk
mengurangi angka kejadian dekubitus adalah adanya mobilisasi pasif yang diterapkan
pada klien. Berdasarkan penelitian ditobasa, sumatera utara terjadi penurunan angka
kejadian dekubitus sebanyak 80 dirumah sakit HKBP Baliage Tobasa Sumatera Utara.
Hal ini terjadi karena adanya mobililasi pasif.
Intervensi asuhan keperawatan ditujukan pasa pencegahan, pengkajian, dan
penatalaksanaan dekubitus yang berdasarkan penetilitian (AHCPR, 1992, 1994). Sebuah
penelitian monograi baru yang diterbitkan NPUAP (1995b) telah mengidentifikasi
beberapa kesenjangan pada penelitian dekubitus. Penelitian tesebut juga menentukan
beberapa pertanyaan penelitian yang diperlukan lebih lanjut.
B. Pengertian Decubitus
Dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika
jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam
jangka waktu lama (National Pressure Ulcers Advisory Panel [NPUAP], 1989a, 1989b).
Sumber : (Potter, Patria A, Anne Griffin Perry, [et al]. 2005. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik. Volume 2. Edisi ke – 4. Jakarta : EGC)
Morgolis (1995) menyebutkan “definisi terbaik dekubitus adalah kerusakan
struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan
dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu biasa. Selanjutnya,
gangguan ini terjadi pada individu yang berada diatas kursi atau diatas tempat tidur,
sering kali pada inkontinensia dan malnutrisi ataupun individu yang mengalami kesulitan
makan sendiri,serta mengalami gangguan tingkat kesadaran.”
Dekubitus sering disebut ulkus dermal atau ulkus dekubitus atau luka tekan terjadi
akibat tekanan yang sama pada satu bagian tubuh yang mengganggu sirkulasi
(Harnawatiaj, 2008).
Dekubitus adalah kerusakan lokal dari kulit dan jaringan bawah kulit yang
disebabkan penekanan yang terlalu lama pada area tersebut (Ratna Kalijana, 2008).
Jadi, kesimpulannya bahwa dekubitus adalah luka tekan terjadi akibat tekanan
yang sama pada satu bagian tubuh, tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan
eksternal. Gangguan ini sering terjadi pada individu yang berada diatas tempat tidur yang
mengalami gangguan tingkat kesadaran.

Dekubitus dibagi dalam beberapa stadium :


Gambar 1.1 (Luka Dekubitus dari Stdium I-IV)

1. Stadium I
Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi ulklus kulit yang diperbesar. Kulit
tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator.

Gambar 1.2 (Luka Dekubitus Stadium I)


2. Stadium II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan atau dermis. Ulkus
superfisial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet atau lubang yang dangkal.
Gambar 1.3 (Luka Dekubitus Stasdium II)
3. Stadium III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan yang rusak atau
nekrotik yang memungkinkan akan melebar ke bawah, tapi tidak melampaui fascia
yang berada dibawahnya. Ulkus secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam yang
dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

Gambar 1.4 (Luka Dekubitus Stadium III)


4. Stadium IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruktif ekstentif; nekrosis
jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga (misalnya tendon,
kapsul sendi, dll).
Gambar 1.5 (Luka Dekubitus Stadium IV)
C. Pendekatan system dalam penanganan Decubitus
Untuk pendekatan dalam penanganan sistem menggunakan intervensi
keperawatan berfokus pada pencegahan atau penanganan dekubitus.
1. Pencegahan
Identifikasi awal pada klien berisiko dan faktor-faktor risikonya membantu
perawat mencegah terjadi dekubitus. Pencegahan meminimalkan akibat dari faktor-
faktor risiko atau faktor yang memberikan konstribusi terjadi dekubitus. Tiga area
intervensi keperawatan untuk mencegah terjadi dekubitus adalah perawatan kulit,
yang meliputi higienis dan perawatan kulit topikal; pencegahan mekanik dan
pendukung untuk permukaan, yang meliputi pemberian posisi, penggunaan tempat
tidur dan kasur terapeutik; dan pendidikan (AHCPR, 1992).
a. Higiene dan Perawatan kulit
Perawat harus menjaga kulit klien tetap bersih dan kering. Pada
perlindungan dasar untuk mencegah kerusakan kulit, maka kulit klien dikaji terus
menerus oleh perawat, daripada didelegasi ke tenaga kesehatan lainnya. Usaha
harus dibuat untuk mengontrol, menahan, atau memperbaiki inkontinensia,
keringat, maupun drainase luka.
b. Pengaturan posisi
Intervensi pengaturan posisi diberikan untuk mengurangi tekanan dengan
gaya gesek pada kulit dengan menjaga bagian kepala tempat tidur setinggi 30
derajat atau kurang akan menurunkan peluang terjadi dekubitus akibat gaya gesek
(AHCPR, 1992). Posisi klien imobilisasi harus diubah sesuai dengan tingkat
aktivitas, kemampuan persepsi, dan rutinitas sehari-hari. Klien harus diubah
posisinya minimal setiap 2 jam. Saat melakukan perubahan posisi, alat bantu
untuk posisi harus digunakan untuk melindungi tonjolan tulang (AHCPR, 1992,
1994; Jacob, 1994) merekomendasikan posisi lateral 30 derajat. Untuk mencegah
cedera akibat friksi, ketika merubah posisi, lebih baik diangkat dari pada diseret.
Bantal kaku dan berbentuk donut menjadi kontraindikasi karena bantal jenis
tersebut mengurangi suplai darah ke area yang mengalami tekanan, sehingga
menimbulkan area iskemi yang lebih luas (AHCO=PR, 1992, 1994,; Makelebust,
1991 a).
c. Alat pendukung (Kasur dan tempat tidur terapeutik)
Berbagai jenis alas pendukung, termasuk kasur dan tempat tidur khusus
telah dibuat untuk mengurangi bahaya imobilisasi pada sistem kulit
muskoluskeletal. Saat memilih tempat tidur khusus, perawat harus kaji kebutuhan
klien secara keseluruhan. Perawat harus mengetahui tujuan pembuatan alas
pendukung tersebut. The support surface consensus panel mengidentifikasikan 3
tujuan alat pendukung tersebut, yaitu: kenyamanan, kontrol postur tubuh, dan
manajemen tekanan (Krouskop dan van Rijswijk, 1995). Selanjutnya mereka
mengidentifikasi 9 parameter yang digunakan ketika mengevaluasi alat
pendukung dan hubungannya dengan setiap tiga tujuan berikut ini: harapan hidup,
kontrol kelembaban kulit, kontrol suhu kulit, redistribusi tekanan, perlunya servis
produk, perlindungan dari jatuh, kontrol infeksi, kemudahan terbakar api, dan
friksi klien/produk (Krouskop dan van Rijswijk, 1995). Selain itu, menguraikan
alat khusus, pengkajian klien, dan kewaspadaan perawat berhubungan dengan
penggunaan alat-alat tersebut secara aman. Klien dan keluarga perlu diajarkan
alasan dan cara menggunakan tempat tidur atau kasur tersebut yang tepat. Bila
kasur dan tempat tidur digunakan dengan tepat, maka alat-alat tersebut akan
membantu mengurangi dekubitus pada klien yang berisiko.

D. Standar penanganan Pressure Ulcers


Tabel 1.1 SOP Perawatan Decubitus

No Praktik Prosedur Klinik 4 3 2 1 Ket


Peralatan :
 Waskom, sabun dan air
1
 Agen pembersih yng diresepkan
 Balutan yang dipesankan
 Pelindung kulit
 Lidi waten
 Plester hipoalergik/hypafix
 Sarung tangan
 Alat pengukur luka k/p
2 Cuci tangan dan gunakan sarung tangan
3 Tutup pintu ruangan dan gorden
Baringkan klien dengan nyaman dengan
4 area dekubitus dan kulit sekitar mudah
dilihat.
Kaji luka dekubitus untuk melakukan
derajat luka :
 Perhatikan warna, kelembapan dan
penampilan kulit sekitar luka
 Ukur diameter luka
5
 Ukur kedalaman luka dengan alat
berujung kapas atau alat lain kalau
ada
 Ukur kedalaman lubang kulit
dengan nekrosis jaringan
Cuci sekitar luka dengan lembut dengan air
dan sabun. Cuci secara menyeluruh dengan
6
air, keringkan dengan menekan-nekan
dengan handuk.
7 Gunakan sarung tangan steril
Bersihkan luka dengan cairan agen
8 pembersih (menggunakan spuit irigasi
untuk luka yang dalam)
Gunakan agen topikal bila ada :
 Nekrosis
9 1. Pertahankan sarung tangan tetap
stabil dan oleskan sejumlah kecil
salep enzim pada telapak tangan
2. Ratakan obat dengan menggosok
telapak tangan kuat-kuat
3. Oleskan salep pada luka nekrose
tipis-tipis secara merata
4. Basahi kassa dengan larutan garam
faal dan tempelkan langsung pada
luka
5. Tutup kasa basah dengan kassa
kering lalu plester
 Luka Dalam
1. Bila luka dalam, berikan salep
antiseptik pada tangan dominan dan
oleskan secara merata salep
disekitar luka
2. Pasang bantalan kassa steril diatas
luka dan plester dengan kuat
3. Tutup permukaan luka dengan
hidrogel menggunakan aplikator
steril atau sarung tangan
4. Pasang kassa kering dan halus
diatas gel dan tutup luka dengan
sempurna
5. Bungkus luka dengan alginat
menggunakan aplikator steril atau
sarung tangan

6. Gunakan kassa kering atau


hidrokolid diatas alginat
Ubah posisi klien dengan nyaman tidak
10
pada luka decubitus
Lepas sarung tangan, bereskan peralatan
11
dan cuci tangan
12 Catat penampilan luka dan perawatan
Dokumentasikan adanya penyimpangan
13
penampilan luka
Sumber : Sujono Riyadi, S.Kep., M.Kes, Hamoko, S.Kep Ners. 2012. “Standar Operating
Procedure Dalam Praktik Klinik KEPERAWATAN DASAR”. Edisi Pertama. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
E. Langkah-langkah penanganan Pressure Ulcers
Langkah – langkah berikut harus diambil segera:
1. Hindari tekanan pada daerah itu. Gunakan bantal, bantal busa khusus, untuk
mengurangi tekanan.
2. Atur posisi agar daerah tersebut tidak terjadi penekanan lagi dalam waktu lama (ubah
posisi 2 jam sekali)
3. Lakukan latihan pergerakan ringan
4. Usapkan minyak (bisa minyak kelapa), pada daerah tersebut dan daerah lain yang
beresiko juga pada kulit yang kering
5. Tingkatkan masukan nutrisi tinggi kalori dan protein
6. Perbanyak minum tuk menghindari kulit menjadi kering
7. Hindari pemberian bedak karena akan menyebabkan kulit makin kering dan
meningkatkan resiko luka.
8. HINDARI memijat daerah yang luka. Pijat dapat merusak aringan di bawah kulit.
9. Bantal berbentuk donat atau cincin berbentuk TIDAK dianjurkan karena dapat
mengganggu aliran darah ke daerah dan menyebabkan komplikasi.
10. Sebaiknya hubungi perawat spesialis luka segera jangan tunggu luka memburuk/
infeksi.
F. Peran perawat dalam penanganan Decubitus
Peran perawat dalam penanganan Pressure Ulcers meliputi 4 aspek dalam asuhan
keperawatan, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, dan
penatalaksanaan keperawatan.
1. Pengkajian
Pengkajian dekubitus tidak terbatas pada kulit karena dekubitus mempunyai
banyak faktor etiologi. Oleh karena itu, pengkajian awal klien dekubitus memiliki
beberapa demensi (AHCP, 1994).
a. Ukuran perkiraan
Interprestasi arti nilai numerik total berbeda dengan skala pengkajian
resiko. Nilai numerik rendah pada skala Branden atau Norton menunjukan bahwa
klien berisiko tinggi mengalami kerusakan kulit. Nilai numerik tinggi pada skala
Gosnell atau Knoll menunjukkan risiko tinggi kerusakan kulit.
Skala pertama dilaporkan dalam literatur adalah Skala Norton (1962).
Skala tersebut menilai lima faktor risiko: kondisi fisik, kondisi mental, aktivitas,
mobilitasi, dan inkontinensia. Total nilai berada diantara 5 sampai 20; total nilai
rendah mengindikasikan risiko tinggi terjadi dekubitus. Saat ini nilai 16 dianggap
sebagai nilai yang berisiko (Norton, 1989).
Berdasarkan Skala Norton, Skala Gosnell yang asli (1973) dikembangkan
dari penelitian pada 30 klien dengan perawatan rumah. Pada Skala Norton nutrisi
menggantikan kategori kondisi fisik dan inkontinensia diubah namanya menjadi
kontinensia. Skala tersebut menilai lima faktor: status mental, kontinensia,
mobilisasi, aktivitas, dan nutrisi. Total nilai berada dalam rentang antara 5 sampai
20, dimana total nilai tinggi mengindikasikan risiko dekubitus (Gosnell, 1987,
1989a, 1989b).
Alat pengkajian Knoll yang dikembangkan berdasarkan faktor risiko klien
yang berada diruang perawatan akut rumah sakit besar. Delapan faktor risiko
meliputi status kesehatan umum, status mental, aktivitas, mobilisasi,
inkontinensia, asupan nutrisi oral, asupan cairan melalui oral, dan penyakit yang
menjadi faktor predisposisi. Total nilai berada dari rentang 0 sampai 33; total nilai
tinggi menunjukan risiko tinggi terjadi dekubitus . Nilai risiko berada pada nilai
12 atau lebih.
Instrumen terakhir adalah Skala Braden yang dikembangkan berdasarkan
faktor risiko pada populasi perawatan dirumah (Bergstrom dkk, 1987). Skala
Braden terdiri dari 6 subskala, yaitu ; presepsi sensori, kelembaban, aktivitas,
mobilitas, nutrisi, friksi dan gesekan. Nilai total berada pada rentang dari 6 sampai
23; total nilai rendah menunjukan risiko tinggi terjadi dekubitus (Braden dan
Bregstrom, 1989)
b. Kulit
Perawat harus mengkaji kulit terus- menerus dari tanda-tanda munculnya
ulkus pada kulit klien. Klien gangguan neurologi; berpenyakit kronik dalam waktu
lama; penurunan status mental; dan dirawat diruang ICU, berpenyakit onkologi,
terminal, dan orthopedi berpotensi tinggi terjadi dekubitus.
Pengkajian untuk indikator tekanan jaringan meliputi inspeksi visual dan
taktil pada kulit (Pires dan Muller,1991). Pengkajian dasar dilakukan untuk
menentukan karakteristik kulit normal klien dan setiap area yang berpotensial atau
aktual mengalami kerusakan. Pengkajian karakteristik kulit klien harus dilakukan
secara individu tergantung warna kulit klien. Perawat memberi perhatian khusus
pada daerah dibawah gips, traksi, balutan, tongkat penopang, penyangga leher,
atau peralatan ortopedi lain. Ketika hiperemia ada, maka perawat harus mencatat
lokasi, ukuran, dan warna lalu mengkaji ulang area tersebut setelah 1 jam. Apabila
terlihat kelainan hiperemia reaktif maka perawat dapat menandai area tersebut
denpidol agar pengkajian ulang menjadi lebih mudah.
Pengkajian taktil memungkinkan perawat menggunakan teknik palpasi
untuk memperoleh data lebih lanjut mengenai indurasi dan kerusakan kulit
maupun jaringan yang dibawahnya. Perawat melakukan palpasi pada jaringan
disekitarnya dengan mengobservasi area hiperemi, mengkaji adanya pucat dan
kembali ke warna kulit normal pada klien berkulit terang. Selain itu, perawat
mempalpasi indurasi, mencatat indurasi disekitar area yang cedera dalam ukuran
milimeter atau sentimeter. Perawat juga mencatat perubahan suhu disekitar kulit
dan jaringan (Pires dan Muller, 1991).
c. Mobilisasi
Perawat menentukan apakah klien dapat mengangkat berat badannya
dengan tuberositas iskial dan membalikkan tubuhnya ke posisi miring. Klien
mempunyai rentang gerak yang adekuat untuk bergerak secara mandiri ke bentuk
posisi yang lebih terlindungi. Terakhir, perawat harus mencatat toleransi aktivitas
klien. Mobilisasi harus dikaji sebagai bagian dari data dasar. Jika klien memiliki
tingkat kemandirian mobilisasi maka perawat harus mendorong klien agar sering
mengubah posisinya dan melakukan tindakan untuk menghilangkan tekanan yang
dialaminya. Frekuensi perubahan posisi berdasarkan pengkajian kulit yang terus
menerus dan dianggap sebagai perubahan data.
d. Status Nutrisi
Klien malnutrisi atau kakeksia dan berat badan kurang dari 90% berat
badan ideal atau klien yang berat badan lebih dari 110 berat badan ideal lebih
berisiko terjadi dekubitus (Hanna dan Scheele 1991). Walaupun persentase berat
badan bukan indikator yang baik; tapi, jika ukuran ini digunakan bersama-sama
dengan jumlah serum albumin atau protein total yang rendah, maka persentase
berat badan ideal klien dapat mempengaruhi timbulnya dekubitus.
e. Nyeri
Beberapa implikasi praktik yang disarankan para peneliti (Dallam dkk,
1995) adalah menambah evaluasi tingkat nyeri klien ke dalam pengkajian
dekubitus, yaitu pengontrolan nyeri memerlukan pengkajian ulang yang teratur
untuk mengevaluasi efektifitas.

G. Monitoring dan Evaluasi Dalam Penanganan Decubitus


Intervensi keperawatan untuk menguarangi dan menangani dekubitus dievaluasi
melalui respons klien terhadap terapi keperawatan dan dengan menentukan apakah setiap
tujuan telah tercapai. Perawat juga mengevaluasi intervensi spesifik yang dibuat untuk
meningkatkan integritas kulit dan untuk mendidik klien dan keluarga dalam menurunkan
ancaman integritas kulit klien dimasa yang akan datang.
Melalui proses keperawatan, perawat mengumpulkan data yang berhubungan
dengan integritas kulit klien, risiko, dan kondisi fisik. Intervensi keperawatan bertujuan
meningkatkan integritas kulit dirumah sakit, dirumah dan ditempat perawatan restoratif
setelah klien pulang. Jika diperlukan perawat membuat rujukan kepada ahli dekubitus lain
seperti perawat ET dan ahli fisioterapi. Perawat juga mengevaluasi perlunya klien dan
keluarga mendapatkan pelayanan pendukung tambahan (mis. Perawatan dirumah,
fisioterapi, dan konseling) dan melakukan proses rujukan. Perawatan klien dekubitus
memerlukan pendekatan tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Perawat merupakan
bagian dati tim tersebut dan berkonsultasi dengan para anggota tim untuk memberikan
pendekatan konprehensif dalam perawatan klien dekubitus. Perawat juga mengetahui
keterbatasan personal dan membuat rujukan pada anggota tim lain seperti ahli gizi, ahli
farmasi, dokter, ahli fisioterapi, dan perawat ET, yang keahlian mereka dapat
meningkatkan perawatan klien dekubitus.

Tabel 1.3 Format Monitoring dan Evaluasi

NO KOMPONEN YA TIDAK

Miring kiri kanan tiap 2 jam sekali


1

Memberikan bantal busa khusus untuk mengurangi


2 tekanan
3 Mengajarkan latihan pergerakan ringan

Memberikan makanan yang tinggi kalori dan protein


4

Menganjurkan pasien untuk memperbanyak minum air


5 putih

Menghindari pemakaian bedak


6

Tidak memijat area yang luka


7

Menggunakan bantal berbentuk donat atau cincin


8

Mengusapkan minyak (bisa minyak kelapa) pada daerah


9 luka
PERTEMUAN KE XIV
ANALISIS KASUS PASIEN JATUH

CAPAIAN PEMBELAJARAN
4. Mahasiswa mampu melakukan analisis sederhana dalam program patient safety dalam
kasus medical error

MATERI
Kasus Medical

A. Latar Belakang
Tenaga keperawatan merupakan salah satu bagian dari tenaga kesehatan secara
umum. Tenaga kesehatan secara umum, terdiri dari: tenaga medis, tenaga keperawatan,
tenaga paramedis non-keperawatan dan tenaga non medis. Tenaga kesehatan yang bekerja
di rumah sakit, dari semua katagori, tenaga perawatan merupakan tenaga terbanyak dan
waktu kontak lebih lama dengan pasien dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang lain,
serta berada pada semua setting pelayanan kesehatan sehingga tenaga perawatan
mempunyai peranan penting terhadap mutu pelayanan di rumah sakit. Kerja keras
perawat tidak dapat mencapai level optimal jika tidak didukung dengan sarana prasarana,
manajemen rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya.
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit.
Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit yaitu keselamatan
pasien (patient safety) , keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan
bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien
dan petugas, keselamatan lingkungan yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan
dan keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit.
Oleh karna itu diperlukan adanya suatu sasaran dari keselamatan pasien yang
mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien.
B. Pengertian Falls (Jatuh)
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang
melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk dilantai/tempat
yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2004).
Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar menjadi
berada di permukaan tanah tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh akibat pukulan
keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab
spesifik yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar
mengalami jatuh (Stanley, 2006)
Jatuh merupakan pengalaman pasien yang tidak direncanakan untuk
terjadinya jatuh, suatu kejadian yang tidak disengaja pada seseorang pada saat istirahat
yang dapat dilihat/dirasakan atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu
kondisi adanya penyakit seperti stroke, pingsan, dan lainnya.
C. Pendekatan system dalam penanganan falls
1. Pendekatan terhadap identifikasi risiko meliputi:
a. Brainstorming
b. Mapping out proses dan prosedur perawatan atau jalan keliling dan menanyakan
kepada petugas tentang identifikasi risiko pada setiap lokasi
c. Membuat checklist risiko dan menanyakan kembali sebagai umpan balik
2. Penilaian risiko (Risk Assesment) merupakan proses untuk membantu organisasi
menilai tentang luasnya risiko yg dihadapi, kemampuan mengontrol frekuensi dan
dampak risiko-risiko. RS harus punya Standard yang berisi Program Risk Assessment
tahunan, yakni Risk Register:
a. Risiko yg teridentifikasi dalam 1 tahun
b. Informasi Insiden keselamatan Pasien, klaim litigasi dan komplain, investigasi
eksternal & internal, external assessments danAkreditasi
c. Informasi potensial risiko maupun risiko actual (menggunakan RCA&FMEA)
3. Penilaian risiko Harus dilakukan oleh seluruh staf dan semuap ihak yang terlibat
termasuk Pasien dan public dapat terlibat bila memungkinkan. Area yang dinilai:
a. Operasional
b. Finansial
c. Sumberdayamanusia
d. Strategik
e. Hukum/Regulasi
f. Teknologi
Mengenali faktor resiko jatuh dan melakukan penilaian risiko melalui pengkajian
awal dan pengkajian ulang
o Melakukan intervensi pencegahan reisiko jatuh
o Memonitor resiko jatuh
Penilaian resiko jatuh menggunakan skala Morse untuk pasien dewasa dan skala
Humpty Dumpty untuk pasien anak - anak. Penilaian meliputi berbagai aspek seperti
riwayat jatuh, menggunaan alat bantu jalan, kebiasaan berjalan, kebiasaan berkemih,
penyakit dan obat yang dikonsumsi, dan lain - lain. Biasanya pasien diberikan tanda
gelang kuning dan tanda yang akan ditempel di dekat tempat tidur pasien yang
menyatakan bahwa pasien beresiko untuk jatuh. sehingga perawat melakukan intervensi
dan monitoring yang intensif terhadap pasien beresiko jatuh.
Penilaian terhadap resiko jatuh diharapkan dapat mengurangi resiko jatuh dan
meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien beresiko jatuh. Dengan mengenali resiko
jatuh maka akan dapat diprediksi resiko jatuh seseorang, dan dilakukan tindakan
pencegahan yang sesuai. Oleh karena itu, memahami resiko jatuh, melakukan tindakan
pencegahan, dan penanganan pasien jatuh, merupakan langkah yang harus dilakukan
untuk menurunkan resiko jatuh dan cidera pada pasien yang dirawat
D. Standar Penanganan Falls
1. Standar prosedur operasional penggunaan gelang identifikasi risiko jatuh pada pasien
rawat inap :
Caranya menggunakan gelang risiko pasien jatuh pada pergelangan tangan selama
masa perawatan di rumah sakit.Tujuannya : Untuk mengidentifikasi pasien yang
beresikojatuhselama masa pearawatan di rumah sakit
Kebijakan
a. Semua pasien rawat inap yang berisiko jatuh (risiko jatuh sedang dan tinggi) harus
dipasangkan gelang kuning penanda risiko jatuh
2. Prosedur :
Persiapan:
a. Gelang identitas risiko jatuh (gelang kuning)
b. Alat tulis
3. Pelaksanaan :
a. Siapkan gelang identitas risiko jatuh (gelang berwarnakuning)
b. Isi label gelang dengan identitas pasien dan tingkat risiko jatuh (nama, nomor
rekam medis dan tingkat risiko jatuh)sesuai berkas rekam medis pasien
c. Ucapkan salam : “Selamat pagi / siang/ malam, Bapak/ Ibu”
d. Sebut nama dan peran anda :”Saya ………………(nama), saya sebagai
perawat penanggung jawab terhadap perawatan ibu saat ini”
e. Jelaskan maksud dan tujuan
E. Langkah-langkah penanganan Falls
Mengingat resiko pasien jatuh sangat besar maka kita perlu memikirkan berbagai
macam cara untuk mengurangi terjadinya hal tersebut. Hal ini dilakukan dengan maksud
untuk mencegah atau mengurangi resiko pasien mengalami cedera sehingga mempercepat
daripada proses penyembuhannya. Misalnya kita dapat memberikan penambahan tempat
tidur yang mempunyai penghalang disamping tempat tidur. Pemasangan pengaman
tempat tidur ini sangat penting disediakan terutama pada pasien dengan penurunan
kesadaran dan gangguan mobilitas. Contoh lain adalah penggunaan bel. Anjurkanlah
klien untuk menggunakan bel bula membutuhkan bantuan, karna bila tidak dikhawatirkan
terjadi sesuatu yang tidak terduga yang mengakibatkan pasien terjatuh dan memperparah
cederanya atau membuat cedera baru.
Dalam upaya mengurangi resiko pasien cedera karna jatuh kita perlu
memperhatikan beberapa hal seperti usia, riwayat jatuh, aktivitas, defisit (penglihatan,
pendengaran), kognitif, pola BAB dan BAK, mobilitas/motori. Kita harus memperhatikan
usia karena resiko jatuh orang yang lanjut usia misal 65 tahun akan lebih tinggi dibanding
pada usia dewasa, biasanya semakin bertambah tua usia seseorang tingkat penglihatannya
akan menurun, penurunan ini pun harus kita perhatikan karna penurunan penglihatan jelas
dapat mengganggu orang tersebut beraktivitas dan dapat menyebabkan suatu cedera.
Beberapa cara pengobatan yang dapat dilakukan misalnya :
– Antihipertensi
– Hiploglikemik
– Antidepresan
– Neurotropik
– Sedatif, diuretik
– laxative
Selain hal-hal tersebut ada juga sebuah pedoman yang bisa kita lakukan, caranya
terlebih dahulu kita beri skor klien yaitu kita beri skor penilaian untuk setiap item, mulai
dari usia sampai mobilitas lalu hitung juga untuk berbagai cara pengobatannya seperti yang
tertulis diparagraf sebelumnya. Bila sudah diakumulasi skornya baru kita lihat pedoman
pencegahan pada pasien seperti berikut :
Resiko Rendah (skor 0-5)
a) Pastikanbelmudahdijangkauolehpasien
b) Rodatempattidurdalamkeadaanterkunci
c) Posisikantempattidurpadaposisiterendah
d) Pagarpengamantempattidurdinaikkan

Resiko Sedang (6-13)


a) Lakukansenuapedomanpencegahanuntukresikorendah
b) Pasangkangelangkhusus (warnakuning) sebagaitandapasienresikojatuh
c) Tempatkantandaresikopasienjatuhpadadatarnamapasien (warnakuning)
d) Beritandaresikopasienjatuhpada pint kamarpasien
Resko Tinggi (>= 14)
a) Lakukansemuapedomanpencegahanuntukresikorendahdansedang
b) Kunjungidan monitor pasiensetiapsatu jam
c) Tempatkanpasiendikamar yang paling dekatdengannurse station (jikamemungkinkan
F. Peran perawat dalam penanganan falls
Contoh-contoh dalam penerapannya antara lain :
1. Penambahan tempat tidur yang mempunyai penghalang disamping tempat tidur.
2. Tersedia restrain dan alat dressing yang sesuai dengan jumlah pasien.
3. Obat-obatan ( perawat melihat efek samping obat yang memungkinkan terjadinya
jatuh)
4. Penglihatan menurun (perawat dapat tetap menjaga daerah yang dapat menyebabkan
jatuh menggunakan kacamata, sehingga pasien dapat berjalan sendiri, misalnya pada
malam hari.
5. Perawat tanggap terhadap perubahan perilaku pasien.
6. Perawat mengecek seluruh daerah yang dapat menyebabkan jatuh misalnya sepatu
atau tali sepatu yang tidak pada tempatnya.
7. (Jatuh dilantai) perawat mengecek penyebab sering terjadinya jatuh, misalnya terlalu
banyak furniture, daerah yang gelap, dan sedikit hidarasi (perawat menganjutkan
untuk minum 6-8 gelas perhari ).
8. Mengorientasikan klien pada saat masuk rumah sakit dan jelaskan system komunikasi
yang ada
9. Hati-hati saat mengkaji klien dengan keterbatasan gerak
10. Supervisi ketat pada awal klien dirawat terutama malam hari
11. Anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan
12. Berikan alas kaki yang tidak licin
13. Jaga lantai kamar mandi agar tidak licin.
G. Monitoring dan evaluasi dalam penanganan falls
Mengenali faktor resiko jatuh dan melakukan penilaian risiko melalui pengkajian
awal dan pengkajian ulang :
· Melakukan intervensi pencegahan reisiko jatuh
· Memonitor resiko jatuh
Penilaian resiko jatuh menggunakan skala Morse untuk pasien dewasa dan skala
Humpty Dumpty untuk pasien anak - anak. Penilaian meliputi berbagai aspek seperti
riwayat jatuh, menggunaan alat bantu jalan, kebiasaan berjalan, kebiasaan berkemih,
penyakit dan obat yang dikonsumsi, dan lain - lain. Biasanya pasien diberikan tanda
gelang kuning dan tanda yang akan ditempel di dekat tempat tidur pasien yang
menyatakan bahwa pasien beresiko untuk jatuh. sehingga perawat melakukan intervensi
dan monitoring yang intensif terhadap pasien beresiko jatuh.
Penilaian terhadap resiko jatuh diharapkan dapat mengurangi resiko jatuh dan
meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien beresiko jatuh. Dengan mengenali resiko
jatuh maka akan dapat diprediksi resiko jatuh seseorang, dan dilakukan tindakan
pencegahan yang sesuai. Oleh karena itu, memahami resiko jatuh, melakukan tindakan
pencegahan, dan penanganan pasien jatuh, merupakan langkah yang harus dilakukan
untuk menurunkan resiko jatuh dan cidera pada pasien yang dirawat.
LAMPIRAN
1. CONTOH SOP PADA PELAKSANAAN PATIENT SAFETY

Tanggal Dibuat Dibuat Oleh Ditetapkan Oleh,

Standar
Prosedur Tanggal Berlaku
Operasional

Kepala Divisi

Jabatan

Identifikasi pasien (patient identification) merupakan sebuah prosedur untuk memastikan bahwa sebelum
Pengertian
pasien menerima layanan, petugas telah mendapatkan benar pasien.

1. Meningkatkan Patien Safety di Mayapada Hospital


Tujuan
2. Mencegah terjadinya kesalahan pasien sebelum pasien menerima pelayanan.
3. Mencegah terjadinya cedera pada pasien akibat salah pasien.
Kebijakan Semua petugas wajib untuk melakukan identifikasi pasien sesuai ketentuan yang telah ditetapkan

A. Saat Kontak Pertama


1. Lakukan cuci tangan .
2. Beri salam dan perkenalkan diri.
3. Jelaskan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan.
4. Lakukan identifiikasi pasien dengan cara :
a. Meminta pasien “menyebutkan nama dan tanggal lahir” (untuk pasien yang sadar)
dilakukan dengan cara verbal.
b. Lihat dan cocokan dengan gelang identitas pasien nama dan tanggal lahir.
c. “ Meminta keluarga untuk menyebutkan nama dan tanggal lahir pasien” ( Jika pasien
tidak sadar atau pasien anak ).
Prosedur
d. Lihat gelang identitas pasien cocokan nama dan tanggal lahir yang telah disebutkan
keluarga.
5. Lakukan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan sesuai dengan langkah-langkah dalam
Standar Prosedur Operasional (SPO).
6. Bereskan alat setelah melakukan tindakan atau prosedur.
7. Lakukan cuci tangan setelah kontak dengan pasien.
8. Dokumentasikan tindakan atau prosedur yang telah dilakukan.
B. Saat Kontak Berikutnya.
1. Lakukan cuci tangan.
2. Beri salam dan perkenalkan diri.
3. Jelaskan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan.
4. Lakukan identifikasi pasien dengan cara melihat gelang identitas pasien cocokan nama dan
tanggal lahir.
5. Lakukan tindakan atau prossedur yang akan dilakukan sesuai dengan langkah-langkah dalam
Standar Prosedur Operasional (SPO).
6. Bereskan lat setelah melakukan tindakan atau prosedur.
7. Lakukan cuci tangan setelah kontak dengan pasien.
8. Dokumentasikan tindakan atau prosedur yang telah dilakukan.
Unit &
Dokumen Seluruh petugas
Terkait

Anda mungkin juga menyukai