Anda di halaman 1dari 27

Melawan Kejahatan Terorisme Menuju Perdamaian Global

Studi tentang Penyebab Terjadinya Radikalisme dan Aksi Terorisme Dalam Perspektif Nasional, Islam dan
Internasional1

Muhammad Nur Islami2

A. Pendahuluan
Semua agama mengajarkan bahwa kedamaian akan mendatangkan kebahagiaan,
sedangkan permusuhan akan menimbukan bencana di muka bumi. Dalam ajaran Islam misalnya,
membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena orang itu
berbuat kerusakan di muka bumi, maka sama halnya dengan membunuh semua manusia (Surat
Al-Maaidah ayat 32). Kemudian di dalam surat al-Hujurat ayat 13 juga ditegaskan bahwa Allah
swt. menciptakan manusia di bumi ini dari lelaki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku, untuk saling kenal mengenal dan bekerja sama, bukan untuk saling bermusuhan dan saling
membunuh.3
Jadi jelaslah bahwa terorisme itu bukan ajaran Islam, bukan pula ajaran agama tertentu.
Namun dalam kenyataan terorisme terjadi di mana-mana, hal ini pasti ada alasan kuat yang
menyebabkan terjadinya peritiwa tersebut.
Pengamat terorisme dari Community of Ideological Analyst (CIIA), Haris Abu Ulya
menilai Pemerintah perlu membuat definisi yang jelas tetang radikalisme terlebih dahulu
sebelum mengeksekusi. Dengan definisi yang jelas maka menaangkal terorisme akan dapat
dilakukan dengan tepat. Jika tidak ada definisi yang jelas, maka akan terjadi pembiasan makna
tentang apa yang dimaksud dengan radikalisme itu. Apalagi radikalisme kerap diidentikkan
dengan agama tertentu yaitu Islam.4 Hal yang sama sebetulnya juga perlu dilakukan terhadap
definisi terorisme, meskipun sudah dirumuskan dalam undang-undang, namun dalam
kenyataannya masih terjadi perbedaan pendapat tentang apa sebenarnya terorisme itu.

1
Materi disampaikan dalam Webinar Nasional “Sistem Hukum Pancasila Sebagai dasar Pencegahan Intoleransi
Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”, Yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNSOED pada tanggal 27
Nopember 2021.
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
3
Al.Qur’an Terjemah Tafsiriyah (Yogyakarta: Penerbit Ma’had an-Nabawy, 2012).
4
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191115104318-20-448568/radikalisme-definisi-semu-dan-potensi-salah-sasaran, diakses pada
tanggal 24 Nopember 2021 pk.08.47

1
Menurut “The Concise Oxford Dictionary (1987), radikal memiliki arti 'akar', 'sumber',
atau 'asal-mula'. Sementara radikalisme adalah istilah yang merujuk pada paham, aliran, atau
ideologi. Di mana radikalisme diartikan sebagai paham yang ekstrem, erat dengan kekerasan.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham
atau aliran yang radikal dalam politik, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, serta sikap ekstrem dalam
aliran politik.5 Karena itulah banyak negara menentang paham radikalisme sebab menginginkan
adanya perubahan atau pembaharuan dengan jalan kekerasan, drastis bahkan ekstrem. Perubahan
yang dikehendaki tersebut dilakukan secara besar-besaran bahkan hingga ke akarnya namun
dengan jalur kekerasan.6

Definisi Radikalisme yang jelas harus segera dirumuskan oleh Pemerintah dengan
mengundang para ahli di bidangnya, termasuk ahli agama, Karena akhir-akhir ini radikalisme
sering dikaitkan dengan paham keagamaan, terutama Islam,

Salah satu hal mendasar yang ingin disampaikan dalam pembahasan yang sederhana ini
adalah, bahwa melihat dan memahami persoalan terorisme harus ditelusuri dari penyebabnya,
konteks kejadiannya dan makna yang terkandung di dalamnya. Kompleksitas masalah dan
keragaman penafsiran tentang terorisme membuat masyarakat awam sulit untuk memahaminya.

Penelitian dan pemahaman terhadap akar penyebab terjadinya aksi-aksi terror baik di
Indonesia maupun di belahan dunia lainnya sangat mendesak untuk dilakukan secara terus
menerus, sebab terorisme sangat merusak dan mengganggu kehidupan masyarakat, baik di
Indonesia maupun masyarakat Internasional pada umumnya.

Melawan kejahatan radikalisme/terorisme tidak harus dilakukan dengan kekerasan,


namun menghilangkan akar-akar penyebabnya. Ibarat sebuah pohon, meskipun dahan ,daun dan
ranting kita babat habis, tetapi apabila akar yang menghunjam masuk ke dalam tanah masih ada,
maka suatu saat pohon itu akan tumbuh lagi, bahkan bisa lebih subur daripada sebelumnya.

5
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
6
https://plus.kapanlagi.com/radikalisme-adalah-paham-perubahan-dan-pembaharuan-dengan-jalan-kekerasan-ini-
sejarah-beserta-ciri-cirinya-425151.html , diakses tgl 22 Nop.pk.16.05

2
Untuk mencari akar penyebab terorisme, tentu saja tidak bisa dicari di Indonesia saja,
sebab terorisme adalah Kejahatan Global. Bisa jadi justru harus kita telusuri dari aksi-aksi
terorisme sebelumnya seperti yang spektakular adalah Kasus “Tragedi WTC 11 September
2001”.

Walter Reich menyebut bahwa terorisme adalah masalah yang kompleks, penyebabnya
beragam dan orang-orang yang terlibat di dalamnya lebih beragam lagi. Semua usaha untuk
memahami motivasi tindakan individu atau kelompok teroris harus memperhitungkan
keberagaman yang begitu banyak ini.7 Oleh karenanya tidak ada satupun teori psikologi atau
bidang ilmu lain yang secara sendirian dapat menjelaskan perihal terorisme

Biasanya orang awam akan melihat suatu perbuatan pada akibat yang ditimbulkannya
tanpa menanyakan apa sebab seseorang tega berbuat sekejam itu dan untuk apa sebenarnya dia
melakukannya. Demikian juga para penegak hukum seperti polisi, segera menangkap pelaku
baik dalam keadaan hidup maupun mati, sedangkan para ahli hukum hanya berusaha mencari
pasal mana yang cocok untuk menghukum seorang teroris.

Barangkali sering dilupakan untuk dipikirkan, apakah pelaku aksi terror melakukan
kejahatannya itu mengandung suatu maksud tertentu missal sebagai sebuah upaya perlawanan ?
Kalau melawan, lalu siapa yang dilawan ? Mungkin juga terlewatkan untuk dibahas siapakah
“Teroris Sebenarnya” yang membuat banyak orang menjadi teroris tersebut ? Pemaknaan
suatu peristiwa agaknya dilewatkan dalam pembahasan tentang terorisme, pertanyaan seperti
“mengapa orang rela menjadi martir dalam melakukan bom bunuh diri, sehingga tubuhnya
hancur berkeping-keping , yang kadang hanya berhasil membunuh lawan segelintir orang saja,
mengapa dia lakukan ? Mengapa Imam Samudera yang dikenal sebagai teroris justru menyebut
AS sang teroris ? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu barangkali lebih penting untuk dicari
jawabannya terlebih dahulu sebelum kita menarik pelatuk senapan atau mencari pasal-pasal
untuk menghukum si pelaku teror.

Menjadi pertanyaan bagi kita bersama, mengapa aksi terorisme juga terjadi di Indonesia ?
Mengapa para pelaku tega melakukan perbuatan tersebut, apa alasan yang mendasarinya ?

7
Walter Reich, Origins of Terorism, Tinjauan Psikologi, ideologi, Teologi dan Sikap Mental (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) hlm.xiii

3
Mungkinkah kejahatan ini disebabkan oleh factor ketidak-adilan, kemiskinan ataukah lebih
kepada faktor agama?

Istilah Perang Global Melawan Terorisme di satu sisi dapat dikatakan benar, karena
hampir-hampir tidak ada satu bagian wilayah di dunia ini yang terbebas dari aksi terorisme
termasuk negara kita Republik Indonesia. Istilah “Terorisme” ini mulai dikenal sejak terjadinya
Tragedi 11 September 2001, dimana Gedung World Trade Centre di Amerika diserang oleh
sekelompok Teroris dengan menggunakan Pesawat terbang Komersial milik Pemerintah
Amerika Serikat. Namun pada sisi lainnya, masih tersisa pertanyaan besar, sebenarnya apakah
terorisme itu, siapakah sejatinya teroris itu dan bagaimana terjadinya ? Pertanyaan besar ini
muncul sebab mengapa AS negara super power yang demikian besar bisa diserang oleh
sekelompok teroris ?

Benarkah serangan tersebut dilakukan oleh kelompok Al-Qaidah yang dipimpin oleh
Usamah Bin Ladiin sebagaimana dituduhkan Amerika ? Terkait peristiwa 11 September.
Usamah tak kurang dari tiga kali bersumpah atas nama Allah menyatakan tidak melakukan atau
mendalangi Tragedi WTC dan Pentagon. Dalam wawancaranya dengan majalah berbahasa Urdu,
Al-Ummah Pakistan, Usamah menyatakan:8

“Sudah saya tegaskan beberapa kali bahwa saya sama sekali tidak terlibat dalam pengeboman di AS. Ini
pengakuan saya dari lubuk hati yang paling dalam. Saya seorang muslim, maka pantang berbohong.
Lebih jauh lagi saya sungguh sama sekali tidak tahu informasi akan ada peledakan itu. Saya menentang
terorisme dan pembunuhan terhadap orang tak berdosa. Islam mengharamkan pembunuhan apapun
dalihnya, baik terhadap wanita maupun anak-anak. Bahkan dalam perang sekalipun musuh yang sudah
menyerah, tidak boleh dibunuh. Justru AS lah yang telah membunuh orang-orang tak berdosa maupun
otang-orang atau negara yang menentang mereka, khususnya kaum muslimin seperti yang dilakukan di
Palestina, Chechnya dan banyak lagi”

Kalau Usamah bin Ladiin berani bersumpah atas nama Allah seperti itu, dan kalau hal itu
benar, lalu siapa pelaku aksi terror pada Menara Kembar WTC tgl 11 September 2001 itu ?
Padahal Amerika adalah negara terkuat dan teraman dengan sistem Pertahanan dan keamanan
yang super modern, didukung dengan intelijennya yang kuat. Sampai tulisan ini dituliskan maka
belum jelas siapa sebetulnya otak dibalik pelaku kejahatan yang mengguncangkan dunia
tersebut.

8
Abu Rodli, Rahasia Di Balik Pembunuhan Usamah bin Ladiin ( Jakarta: Gozian Press, 2011) hlm.23-24.

4
Jeerry D.Gray Dalam bukunya “The Real Truth of 9/11” dan dalam bukunya yang lain
“Art of Deception” menegaskan bahwa yang melakukan serangan di WTC adalah Amerika
sendiri dengan meminjam operator-operator yang dipaksa untuk melakukan itu. Sebab tidak
mungkin gedung itu roboh hanya ditabrak oleh sebuah pesawat (menurut para arsitektur). Sebab
ternyata di tiap lantai sudah dipasang bom, sehingga bersamaan dengan ledakan di lantai yang
ditabrak pesawat, maka meledak pulalah setiap lantai dalam bangunan itu, sehingga gedung itu
memang sengaja dirobohkan. Nah siapa yang dapat memasang bom di setiap lantai itu kalau
bukan AS sendiri ? Dari fakta yang terjadi terbukti juga bahwa pada hari yang naas itu ribuan
pekerja di dua gedung itu tidak masuk kerja. Ini artinya mereka semua mengetahui bahwa
gedung itu akan diledakkan. Dari fakta lain terungkap bahwa pesawat yang digunaan para teroris
adalah pesawat komersial milik AS sendiri. Kemudian dari orang-orang yang dituduh sebagai
teroris oleh AS ternyata sebagian besar dari mereka ternyata masih hidup. Dari kenyataan inilah
maka dapat dikatakan apabila benar yang ditegaskan oleh Jerry D,Gray itu, lalu pertanyaannya
untuk apa AS melakukan semua itu ? Jawabannya menurut James Petras adalah agar AS
mempunyai justifikasi untuk melakukan pembalasan yang lebih kejam kepada kelompok atau
negara yang ditujunya seperti kelompok al Qaedah dan negara Afghanistan dan Irak. 9 Hal seperti
ini sudah pernah dilakukan oleh AS seperti dalam kasus penjatuhan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki yang dikatakan sebagai pembelaan AS terhadap serangan Jepang, padahal AS sengaja
mempersiapkan hal itu, AS sengaja mengalah, meskipun harus dibayar dengan mahal yaitu
terbunuhnya 2.923 orang Amerika, kehancuran banyak kapal dan pesawat. Franklin Dealino
Roosevelt telah mengetahui sebelumnya tentang serangan pihak Jepang ke Pearl Harbour ini.
Tapi harga yang mahal itulah yang dapat dipakai sebagai alasan pembenar (alasan
besar/justifikasi) untuk menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. James Petras, juga
mengatakan bahwa kebutuhan untuk menciptakan sebuah sebab adalah hal yang paling
mendesak bagi negara imperialis karena wilayah nasional mereka tidak berada dalam ancaman10

B. Sulitnya Mendefinisikan Terorisme

9
Baca pada buku Jerry D.Gray. The Real Truth of 9/11 hlmn 52-82.
10
James Petras, Zionisme dan Keruntuhan Amerika , diterjemahkan oleh Epica Mustika Putro dari buku aslinya yang berjudul “Zionism,
Militarism and the Decline of US Power”(jakarta: Zahra Publishing House, 2009) hlm.117-121.

5
Sebenarnya sudah banyak pakar yang mengakui, bahwa membicarakan terorisme tidak
akan dapat dilakukan dengan mudah, sebelum menemukan apa sebenarnya yang dimaksud
dengan terorisme itu. Belum ada satu definisipun yang dapat diterima secara universal tentang
apa yang disebut dengan terorisme itu.

Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Islam Radikal” mengutip pernyataan para ulama
mantiq yang menyatakan :”Bahwa menghukumi sesuatu merupakan bagian dari
pendeskripsiannya, karena tidak mungkin menghukumi sesuatu yang tidak diketahui,
sebagaimana tidak mungkin menghukumi sesuatu yang diperselisihkan substansi dan
hakikatnya: yakni “Apakah dia”?11

Jika kata Radix berarti akar, maka apakah mengamalkan ajaran agama sampai ke akarnya
disebut radikalis ? Bukankah bagus mengamalkan ajaran agama sampai ke hal-hal yang detil ?
terlebih ada perintah dalam al-Quran. Bahwa kita hendaknya beragama secara kaffah
(sempurna)12

Dalam bukunya Islam Radikal, Yusuf Qardhawi hanya memberikan ciri-ciri bahwa
seorang itu dikatakan radikal yaitu:

1. Fanatisme terhadap satu pendapat, tanpa menghargai pendapat lain


2. Selalu menggunakan cara kekerasan, kendati ada faktor-faktor yang menuntut
kemudahan dan mengharuskan orang lain untuk melaksanakan apa yang tidk
diwajibkan Allah.
3. Sikap kasar dalam bergaul, keras dalam metode dakwah, menyelisihi petunjuk Allah
dn Rasul-Nya.
4. Berburuk sangka pada orang lain;
5. Mengkafirkan orang lain (Takfir)13

Menurut Mark Juergensmeyer terorisme berasal dari bahasa latin, “terrere” yang berarti
menimbulkan rasa gemetar dan rasa cemas. Sedang dalam bahasa Inggris “to terrorize” berarti
menakut-nakuti. Terrorist berarti teroris, pelaku kejahatannya. “Terrorism” berarti membuat
ketakutan atau kecemasan.

11
Yusuf Qardhawi, Islam Radikal, diterjemahkan oleh Hawin Murtadho dari buku aslinya yang berjudul “As-Sahwah Al-Islamiyah bain Al-
Juhud wa At-Tatharuf” (Solo: PT Era Adicitra Intermedia, 2009).hlm.23
12
Surat al-Baqarah ayat 208.
13
Yusuf Qardhawi op,cit.hlm.40-55

6
Mark Juergensmeyer mengatakan:

“ …respon publik terhadap kekerasan-ketakutan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh terorisme
merupakan bagian dari makna istilah tersebut , itulah definisi aksi teroris yang kemudian diberikan oleh
“kita”-mereka yang menyaksikannya, orang-orang yang menjadi sasaran teror dan tidak oleh golongan
yang mendukung aksi tersebut. Itulah kita-atau lebih sering agen-agen publik kita, media massa- yang
memberi label pada aksi-aksi kekerasan sebagai terorisme. Itulah aksi-aksi perusakan publik, dilakukan
tanpa sebuah alasan militer, yang menebarkan ketakutan secara luas”.14

Menurut Mark Juergensmeyer, maka pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada Perang
Dunia II justru merupakan terorisme yang terdahsyat. Mark juga mengakui, bahwa yang lebih
sering mendorong terjadinya aksi-aksi terorisme adalah agama15, kadang-kadang melalui
perpaduan dengan faktor-faktor lain, tidak jarang sebagai motivasi utama. 16

Sedang menurut US Department of Defense (1990) terorisme adalah perbuatan melawan


hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap
individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan
tujuan politik, agama atau ideologi.17

Selanjutnya dalam Buku petunjuk TNI AD tentang Antiteror 2000 disebutkan bahwa
terorisme adalah cara berpikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai teknik untuk
mencapai tujuan.

Kata Terorisme pertama kali populer saat revolusi Perancis. Pada waktu itu kata
terorisme memiliki konotasi positif. Sistem atau Rezim de la terreur pada 1793-1794 dimaknai
sebagai cara memulihkan tatanan saat periode kekacauan dan pergolakan anarkhis setelah
pemberontakan rakyat pada 1789.18

Dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa Tindak Pidana
Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan

14
MarkJuergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama (Jakarta: Nizam Press, 2002) hlm.5-6
15
Mungkin yang dimaksud Mark juegensmeyer dalam hal ini adalah..bahwa banyak orang melakukan aksi terorisme ini disebabkan oleh faktor
pemahaman agama, bukan agama itu sendiri. Sebab tidak ada agama yang mengajarkan teror.
16
Ibid.hlmn,7.
17
https://id.m.wikipedia.org
18
Diambil dari Bahan Kapolda Jawa Tengah dalam Seminar Internasional”Islam dan Barat:Kerjasama/Konfrontasi” di Universitas
Muhammadiyah Surakarta tanggal 21 Februari 2006.

7
ketentuan dalam Undang-Undang ini. Kemudian Dalam Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana
karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa
takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan
suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).

Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal
8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari
suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:

1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.


2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3. Menggunakan kekerasan.
4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial,
politik ataupun agama.

Agak berbeda dengan definisi-definisi di atas adalah definisi yang dirumuskan oleh
Majelis Ulama Indonesia sebagai berikut:

Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan
ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan
kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (Well
organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (Extra ordinary Crime) yang
tidak membeda-bedakan sasaran (indiskriminatif)19

Salah satu unsur yang agak berbeda dan ada dalam definisi dari MUI adalah bahwa
perbuatan teror itu mengandung unsur transnasional, sedangkan dalam UU Nomor 15 Tahun
2003 yang bersifat internasional antara lain adalah sasaran tindakan teror, yaitu fasilitas yang

19
Syaikh ul Islam Dr. Muhammad Tahir ul-Qadri, Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri. Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam,
Jakarta 2014, hlm.35.

8
bersifat internasional. Ini tentu berbeda, karena yang satu adalah perbuatannya, sedangkan yang
lain adalah sasarannya.

Di dalam praktek setiap tindakan terorisme di Indonesia selalu disertai dengan


penggunaan bahan-bahan peledak (bom). Padahal dalam definisi tidak ada unsur yang demikian
itu. Maka peristiwa Pembantaian di Pesantren Wali Songo misalnya cukup dikatakan sebagai
pelanggaran HAM berat, bukan terorisme, Menurut penulis hal ini disebabkan tidak
digunakannya bahan peledak, juga tidak ada unsur transnasional, padahal jumlah korban sampai
ratusan orang meninggal. Sebaliknya meskipun korbannya hanya satu atau dua orang meninggal,
tapi bila dilakukan dengan peledakan bom pastilah disebut terorisme. Membingungkan kan ?
Perlu juga dianalisis dan ditegaskan apa yang dimaksud dengan tindakan itu berskala luas ? Apa
ukuran meluas tersebut ? apakah nasional ataukah internasional ? Dampaknya atau jumlah
korbannya yang dipentingkan ? Sebab, dalam jaman modern sekarang ini suatu perbuatan bisa
menjadi meluas apabila media sosial memberitakan kejadian tersebut secara besar-besaran,
scoop nya internasional, meskipun jumlah korbannya sedikit. Sebaliknya kejahatan yang
jumlahnya korbannya banyak tetapi tidak dipublikasikan secara global barangkali tidak banyak
orang yang mengetahuinya.

Kemudian dalam pembicaraan politik internasional, maka terorisme itu tidak hanya
dilakukan oleh individu atau kelompok yang terorganisir, melainkan bisa saja Terorisme itu
dilakukan oleh negara. Inilah yang dinamakan “State Terrorism”, sebagai contohnya adalah
Israel dan Amerika Serikat.

Jadi, definisi mana yang akan kita pakai dan implementasikan ?

Di Indonesia, dengan pengertian/definisi yang belum jelas ini, Densus 88 Anti Teror
seringkali melakukan penembakan kepada para tersangka teroris, sementara kepada tersangka
tersebut belum jelas/terbukti kesalahannya. Apakah ini juga merupakan suatu tindakan teror ?
Untuk kasus yang terjadi di Indonesia, seperti diketahui bahwa pembicaraan terhadap Kasus
Siyono yang beberapa waktu lalu sempat mengemuka demikian juga yang tak kalah memilukan
adalah yang menimpa seorang tersangka teroris bernama Adib Susilo, tersangka teroris ini
belum dibuktikan kesalahannya, namun sudah meregang nyawa dan akhirnya menemui

9
kematiannya karena ditembak oleh anggota Densus 88 di wilayah hukum Surakarta. Tragisnya,
penembakan itu dilakukan dihadapan isterinya yang sedang dalam keadaan hamil.

Dari perspektif sejarah. beberapa dekade yang lalu di Indonesia belum terdapat adanya
aksi terorisme. Gangguan keamanan dalam negeri lebih banyak diwarnai dengan konflik internal
yang pada akhirnya dapat diselesaikan dengan baik oleh Pemerintah dan rakyat Indonesia.
Konflik-konflik internal yang terjadi di Indonesia sebagian besar memang berkaitan
dengan penentangan terhadap ideologi negara. Pada waktu zaman Orde Lama dibawah
Presiden Soekarno, ada sebuah gerakan yang dipelopori oleh Karto Soewiryo yang mencoba
mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dan peristiwa itu terkenal dengan sebutan DI/TII
(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), sebuah gerakan revolusi keagamaan yang mulai
dideklarasikan pada tanggal 8 Agustus Tahun 1949. Gerakan ini akhirnya dapat diselesaikan oleh
Pemerintah Indonesia dengan ditangkap, diadili, dan dieksekusinya (dengan Hukuman mati)
pimpinan Gerakan tersebut, yaitu Sekarmaji Marijan (SM) Karto Soewiryo, pada Tahun 1962.
SM Karto Soewiryo dijatuhi hukuman mati dihadapan regu tembak, di sebuah tempat yang
dirahasiakan oleh Pemerintah Soekarno waktu itu. Tempat eksekusi dan sekaligus tempat
pemakaman Karto Soewiryo ini, baru diketahui beberapa waktu yang lalu, yaitu di Pulau Ubi di
Kepulauan Seribu.

Kemudian pada zaman Orde Baru, terjadi penumpasan terhadap Pemberontakan Gerakan
30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI) yang terjadi sejak Tahun 1948 dan
mencapai puncaknya pada Tahun 1965. Gerakan tersebut akhirnya dapat dibubarkan oleh
Pemerintah Orde Baru dibawah Presiden Soeharto, untuk kemudian dinyatakan sebagai
organisasi/gerakan terlarang di Indonesia.

Penolakan terhadap ideologi negara kembali terjadi di Indonesia pada Tahun 1974/1975,
yaitu penentangan ideologi Negara Pancasila oleh Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar. Ke
dua tokoh ini dengan terang-terangan menentang ideologi Pancasila dan melakukan dakwah
mereka lewat sebuah radio swasta di Surakarta yang dikenal dengan RADIS (Radio Dakwah
Islam Surakarta). Akibat dari perbuatan tersebut ke dua ulama ini diperkarakan ke Pengadilan
Negeri Sukoharjo Jawa Tengah (sebelah selatan kota Surakarta). Namun sambil menunggu hasil
pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, Abu bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar sempat

10
melarikan diri ke Malaysia, ini terjadi pada Tahun 1985. Di negara Malaysia tersebut ke dua
ulama ini sempat berdakwah dan mendapat perlindungan dari pemerintah Malaysia. Cukup aman
keduanya berada di sana, sambil berdagang untuk menopang kehidupan mereka. Kemudian pada
Tahun 1998, tepatnya tanggal 20 mei 1998, di Indonesia terjadi demo besar besaran untuk
melengserkan Pemerintahan Soeharto. Gerakan ini disebut “Gerakan Reformasi” yang didukung
oleh seluruh elemen bangsa, antara lain para akademisi, mahasiswa, juga tokoh nasional pada
waktu itu seperti Dr.Amien Rais. Gerakan ini berhasil membuat Presiden Soeharto akhirnya
mengundurkan diri dari kursi Kepresidenan.

Dengan lengsernya Presiden Soeharto ini, maka kemudian posisi Presiden diduduki
sementara oleh Prof.Dr.BJ Habibie. Dengan pemerintahan yang baru dan berakhirnya kekuatan
Soeharto ini, maka Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar dengan aman dapat kembali ke
Indonesia pada Tahun 1999. Baru satu tahun menginjakkan kaki di bumi Indonesia, maka Abu
Bakar Baasyir dan ulama-ulama yang mendukungnya mengadakan Konggres Nasional pada
Tahun 2000. Konggres ini sekaligus menetapkan Berdirinya Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI) , dan terpilih sebagai Amirnya adalah Ustadz Abu bakar Baasyir. 20 Baru satu tahun MMI
ini berdiri, maka terjadilah Tragedi Runtuhnya Menara Kembar WTC di AS. George Bush
sebagai Presiden AS waktu itu menyatakan Perang Terhadap Terorisme, dan yang dituduh
sebagai pelakunya adalah Kelompok Al-Qaidah yang dipimpin oleh Usamah bin Ladiin. Tidak
hanya berhenti sampai di sini, Pemerintah AS lalu membuat statement yang berbunyi;”...either
you are with us or with the Terrorist”. Artinya AS mengajak negara-negara di dunia untuk
menjadikan Terorisme sebagai musuh bersama (Common Enemy), dan bagi tiap negara hanya
ada dua pilihan, yakni negara itu akan memposisikan dirinya bersama AS dan memerangi teroris,
atau kalau tidak demikian berarti bersama teroris dan merupakan bagian dari teroris yang harus
diperangi. Tidak ada pilihan lain kecuali hanya 2 pilihan tersebut.

Ajakan melawan teroris ini tentu sangat membingungkan untuk masing-masing negara di
dunia ini, terutama negara yang sedang berkembang dengan mayoritas penduduknya beragama
Islam seperti Indonesia. Sebab belum jelas siapa terorisnya, dan apa terorisme itu, hal ini
disebabkan masalah terorisme adalah masalah yang kompleks. Sebab, apabila yang dituduh
negara teroris itu adalah negara yang dijadikan tempat persembunyian Usamah bin ladiin (yaitu

20
Irfan S.Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Baasyir, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2003) hlm.52-53

11
Afghanistan) atau negara Timur Tengah lainnya seperti Irak (yang dipimpin waktu itu oleh
Saddam Hussein), tentu saja berat bagi negara negara dengan mayoritas penduduknya beragama
Islam seperti Indonesia untuk mengikuti ajakan tersebut (karena berarti akan menyerang
saudaranya sendiri) , namun apabila tidak mengindahkan ajakan AS tersebut berarti siap-siap
menghadapi serangan AS.

Yang menarik perhatian masyarakat internasional adalah bahwa sebagian besar pelaku
kejahatan terorisme akhir-akhir ini adalah orang-orang yang beragama Islam, Islamlah yang
dijadikan Fokus pembicaraan. Padahal sebenarnya gerakan teroris itu juga terdapat pelaku-
pelakunya yang berasal dari agama lain.
Contoh kejahatan yang pelakunya berasal dari agama lain dapat diilustrasikan pada Kasus
Pembantaian Warga Pesantren Walisongo Poso pada 28 mei Tahun 2000. Apakah peristiwa
dibawah ini tidak bisa disebut sebagai terorisme ?

Setelah melakukan PEMBANTAIAN terhadap Umat Islam Maluku Tahun 1999


(Idul Fitri Berdarah), ternyata Umat Kristen masih melanjutkan pembantaiannya terhadap
Umat Islam di-Poso-(Tahun-2000),-Ratusan-Nyawa-Melayang-di-Pesantren-Wali-Songo.
Kabar duka dari Desa Togolu, Kecamatan Lage, Poso, begitu menggetarkan hati semua
warga. Ratusan nyawa telah melayang di pesantren Wali Songo yang terletak di wilayah
itu, belum lagi mereka yang luka-luka dan melarikan diri penuh dengan ketakutan.
Begitulah kesaksian-Nyonya-Ani,-istri-komandan-Kodim-1307-Poso.
"Mayat yang sudah teridentifikasi sekitar 200 orang," demikian Nyonya Ani
menjelaskan.
Sementara, Kantor Berita Antara menuturkan, ratusan penghuni pesantren Wali Songo di
Kilometer Sembilan (Desa Togolu) Kecamatan Lage Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah,
"hilang" dan diduga kuat lari menyelamatkan diri saat Kelompok perusuh melakukan
penyerangan-tanggal-28-Mei-2000.21

Contoh lain tentang aksi terorisme adalah terorisme yang terjadi di Myanmar, dalam
kasus tersebut yang menjadi korban justru adalah umat Islam.Pelakunya adalah umat Budha.
Kasusnya hampir sama dengan yang terjadi di Poso, dilatar belakangi oleh kebencian berdasar
agama.

21
Muhammad Nur Islami, Terorisme Sebuah Upaya Perlawanan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm.8-9

12
Kebanyakan kasus terorisme yang terjadi di timur tengah dilatar belakangi oleh adanya
peperangan, seperti misalnya serangan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, Persoalan
terorisme ini berbeda dengan “Perang” 22 (Konflik Bersenjata Internasional). Dalam perang antar
negara berhadapan antara angkatan bersenjata suatu negara dengan angkatan bersenjata dari
negara lain. Aksi terorisme akhirt-akhir ini23 dilakukan pada saat damai dan tidak harus
berhadapan langsung dengan musuhnya (misal dalam kasus bom bunuh diri). Kalau dalam
perang antar negara sasaran tempurnya adalah angkatan bersenjata dari negara musuh
(Combatant)24, sedang pada terorisme yang menjadi sasaran adalah masyarakat sipil25, karena
sifat daripada serangannya adalah random.
Serangan teroris lebih berbahaya, karena tidak bisa diprediksikan di mana terjadinya dan
kapan waktu terjadinya, bisa saja terjadi di gedung perkantoran, mal-mal atau di tempat wisata
sekalipun (seperti kasus Bom Bali). Aksi terorisme juga dapat menimbulkan korban dalam
jumlah besar (misal kasus WTC dengan korban lebih kurang 3000 orang tewas).
Aksi pemberantasan terorisme di tiap negara meningkat secara drastis, hal ini disebabkan
aksi terorisme merupakan suatu perbuatan yang ditentang oleh masyarakat internasional dari
agama apapun apakah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan agama lainnya
termasuk orang-orang yang tidak memiliki agamapun menentang keras tindakan tersebut. Hanya
saja masih terdapat kesulitan dalam merumuskan definisi terorisme ini yang dapat diterima
secara universal. Perbedaan definisi terorisme tidak hanya mengacu pada pemahaman

22
Istilah “Perang” yang dimaksud di sini adalah “Perang Antar Negara” (International Armed Conflict / Konflik Bersenjata Internasional). Istilah
“Perang” sering digantikan dengan istilah “Konflik Bersenjata Internasional”, karena menurut para pakar istilah Perang itu merupakan istilah
yang bertentangan dengan hukum. Selain istilah “Konfilk Bersenjata Internasional” ini dikenal juga istilah “Konflik Bersenjata Non
Internasional” (Pemberontakan dalam sebuah negara) yang kedua-duanya diatur dalam “Hukum Konflik Bersenjata Internasional” (International
Armed Conflict). Istilah Hukum Konflik Bersenjata ini digunakan di kalangan militer, sedangkan di kalangan akademisi biasa digunakan istilah
“Hukum Perikemanusiaan International” (International Humanitarian Law) yang nama lengkapnya “International Humanitarian Law applicable
in Armed Conflct” (Hukum Perikemanusiaan Internasional yang dapat Diterapkan dalam Konflik Bersenjata). Istilah ini sering disingkat dengan
Hukum Humaniter. Lihat Haryomataram dalam bukunya “Bunga Rampai hukum Humaniter (Hukum Perang). (Jakarta: Bumi Nusantara Jaya,
1988), hlm. 15-16.
23
Yang dimaksudkan di sini bahwa menurut sejarahnya terorisme itu bisa terjadi di masa damai maupun pada masa peperangan, namun dengan
adanya Hukum Perang, maka segala perbuatan pidana/kejahatan yang dilakukan pada masa perang dianggap kejahatan perang, sehingga yang
berlaku adalah Hukum Perang. Sedangkan kalau pada masa damai diterapkan hukum nasional di tempat terjadinya perbuatan tersebut. Oleh
karena itu dalam tulisan ini juga dibuktikan bahwa terorisme sangat berkaitan dengan perang.
24
“Combatant” adalah peserta tempur, atau mereka yang turut serta aktif dalam pertempuran, yaitu golongan militer (darat, laut, udara) dan
militia serta korps sukarela yang memenuhi persyaratan: 1. dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya,2. memakai
tanda/emblem yang tetap dan dapat terlihat/dikenali dari kejauhan, 3. membawa senjata secara terang terangan, dan 4. melaksanakan operasi
sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. Lihat Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, (Surakarta: Sebelas Maret University
Press, 1994), hlm. 23.
25
Seperti diketahui bahwa sasaran aksi teror sering mengenai masyarakat sipil, ini karena sifat serangannya random, namun demikian korban
sipil ini hanyalah efek samping dari serangan tersebut. Sebab pada setiap serangan teror, tempat lokasi terjadinya biasanya sudah diperhitungkan
adanya orang-orang yang dapat “mewakili” sebuah “pesan” dari teroris kepada sasaran sebenarnya, misalnya terbunuhnya warga negara AS, itu
merupakan “pesan” bahwa teroris sedang memusuhi pemerintah AS. Atau terbunuhnya orang Yahudi sebagai “pesan” permusuhan teroris kepada
Israel dan AS. Sehingga misalnya ada rakyat sipil terutama dari warga Indonesia sendiri, itu berarti adalah efek samping tadi. Adapun serangan
terhadap Polisi dimaksudkan bahwa Polisi itu dianggap alat-alat pemerintah yang memang ditugaskan untuk memusuhi teroris, sehingga polisi ini
juga jadi sasaran aksi teror. Saat ini “sasaran-antara dari aksi teror semakin bervariasi, dapat dikatakan siapa saja yang berani mengahalangi
maksud teroris, maka dia termasuk sasaran aksi teror.

13
terminologis semata, tetapi yang lebih menentukan adalah perbedaan kepentingan masing-
masing pihak. Jadi persoalan terorisme itu begitu kompleks, tidak hanya masalah nasional suatu
negara tapi juga masalah internasional. Tidak hanya persoalan penangkapan dan penghukuman
pelaku saja, tetapi juga persoalan mencari sebab-sebab terjadinya. Terorisme bukan hanya
merupakan kejahatan biasa, melainkan merupakan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime
Against Humanity), bahkan dapat dikatakan juga sebagai “Kejahatan Luar Biasa” (Extra
Ordinary Crime) ataupun Kejahatan yang dilakukan atas nama agama.
Para pakar baik dari kalangan politisi, akademisi dan agamawan memberikan perhatian
dengan seksama mengapa asksi terorisme selalu dikaitkan dengan Islam? Sejarah telah mencatat
bahwa aksi terorisme itu tidak hanya dari kalangan Islam saja, namun juga terdapat aksi
terorisme yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama non Islam, termasuk yang menurut
beberapa pakar adalah adanya terorisme negara26 yang dilakukan oleh Israel (dengan dukungan
AS) terhadap Pelestina yang sudah berjalan puluhan tahun dan menimbulkan banyak korban
jiwa. Muhsin Muhammad Shaleh27 mengatakan:

“Persoalan Palestina merupakan persoalan utama yang dari dahulu hingga sekarang sangat
merepotkan dunia Arab dan Islam. Berbagai superioritas Yahudi-Zionis dalam aspek militer, politik dan
kebudayaan yang ditanamkan di tengah jantung dunia Islam, yaitu Palestina menjadi tantangan paling berat
yang dihadapi umat Islam dalam derap langkahnya menyongsong kemerdekaan, persatuan dan kebangkitan
untuk mengembalikan status dan kehormatannya di tengah percaturan dunia internasional. Perlu dicatat
bahwa kasus Palestina tidak pernah menjadi perkara bangsa Palestina sendiri. Pasalnya persekutuan
Barat-Zionis dari awal menjadikan perpecahan dan kelemahan lalu mengabadikan disintregasi antara umat
Islam sebagai target utama yang dicita-citakan dari semula. Hal ini dimaksudkan agar umat ini tetap
berotasi dalam siklus subordinasi kekuatan super power.

Setiap aksi teroris baik di Palestina, Afganistan, Jepang dan di negara-negara lainnya
termasuk Indonesia, maka wujud dari aksi terorisme itu sebagian besar adalah dengan disertai
peledakan bom di gedung-gedung tempat hiburan, kantor kedutaan asing, mal-mal ataupun

26
Ada 3 contoh kekerasan yang dilakukan oleh Israel yang dikategorikan sebagai Terorisme Negara yaitu:
Pertama, pada Konferensi Zionis yang pertama tahun 1897, Menachem Syabenchin menyerukan cara terbaik untuk membangun Negara Yahudi,
“kita tidak membeli tanah, tetapi kita akan rebut dan duduki”,. Konferensi tersebut juga meminta sekte-sekte Yahudi ikut berperang dan
menduduki Palestina. Kemudian yang ke dua pada tanggal 9-10 April 1948 terjadi Pembantaian Dier Yasin, perkampungan yang terletak di
bagian barat dekat Al-Quds, yang dilakukan oleh dua organisasi terorisme yaitu Irgun (yang dipimpin Menachem Begin) dan Shtern. Dari
penduduk yang berjumlah 600 orang hanya tersisa beberapa warga. Pembantaian ini menjadi simbol terorisme zionis dan telah memberikan arti
penting terhadap program pendudukan dan pendirian Negara Israel serta pengusiran warga Arab dengan kekerasan dan teror, lihat pada Haitsam
Al-Kailani, Siapa Teroris Dunia, (Jakarta: Penerbit Al-Kautsar 2001), hal.77 dan 190. Kemudian yang ke tiga yang dikenal dengan “Operation
Cast Lead”, terjadi pada hari sabtu, tanggal 27 Desember 2008, militer Israel meluapkan murkanya terhadap “para pesakitan” di penjara terbuka
terbesar di dunia, Jalur Gaza dengan 50 jet tempur F-16 dan helikopter apache buatan AS yang memuntahkan lebih dari 100 bom. Orang
Palestina menyebutnya dengan “Pembantaian Sabtu Kelabu”, karena jumlah korban serangan pada hari pertama yang mencapai lebih dari 250
orang. Itu adalah satu diantara hari-hari paling berdarah selama 60 tahun pendudukan Israel (Lihat pada Muhsin Labib, Gelegar Gaza: Denyut
Perlawanan Palestina, (Jakarta:Penerbit Zahra, 2009).hlm.99.
27
Muhsin Muhammad Shaleh, Palestina, Sejarah, Perkembangan dan Konspirasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm.11-12.

14
tempat wisata seperti di Bali, dan yang paling spektakuler sampai saat ini adalah Tragedi WTC
11 September 2001, di sinipun juga disertai dengan aksi peledakan dengan menggunakan
pesawat terbang.
Benarkah Islam mengajarkan kekerasan disertai bunuh diri tersebut? Jika pada bagian
awal tulisan ini ditegaskan bahwa membunuh satu jiwa manusia yang tidak bersalah sama saja
dengan membunuh seluruh manusia dan merupakan dosa besar, oleh karena itu bagi pelaku aksi
tersebut pasti terdapat alasan kuat mengapa mereka berani melakukan aksi tersebut, kalau
memang melanggar Hukum Islam. Secara matematis aksi teror yang dilakukan kelompok Islam
memang menelan korban ratusan bahkan ribuan orang, tetapi kalau jumlah tersebut dibandingkan
dengan jumlah korban akibat tindakan kekerasan yang dilakukan AS di Vietnam, Jepang,
Afghanistan, Irak, Palestina, Sudan, Libia dan beberapa negara lain maka jumlah tersebut tidak
ada artinya. Penulis punya keyakinan bahwa sebenarnya aksi-aksi teror yang dilakukan selama
ini adalah sebuah upaya perlawanan. Ya, sebuah upaya perlawanan yang menjadi sulit untuk
dibendung, karena didasarkan atas perjuangan ideologi, sesuai dengan ideologi pelakunya.
Meskipun pada bagian awal tulisan ini tadi sudah ditegaskan oleh Jerry D,Gray bahwa
pelaku Traged WTC adalah AS sendiri, namunTidak lama setelah serangan yang menimpa
menara kembar WTC dan Pentagon 11 September 2001, di depan sidang konggres Presiden AS
waktu itu George W. Bush menegaskan sikapnya berkaitan dengan al-Qaidah dan Usamah bin
Ladiin sebagai berikut:
“On Sept.11, enemies of freedom committed an act of war against our country. Americans have known
wars, but for the past 136 years they have been wars on foreign soil, except for one Sunday in 1941.
Americans have known the casualties of war, but not at the centre of a great city on a peaceful morning.
Americans have known surprise attacks, but never before on thousands of civilians. Americans have many
questions tonight. Americans are asking, “who attacked our country?”
The evidence we have gathered all points to a collection of loosely affiliated terrorist organizations known
as al-Qaidah. They are some of the murderers indicated for bombing American Embassies in Tanzania
and Kenya and responsible for bombing the USS Cole. al-Qaidah is to terror what the Mafiais to crime.
But its goal is not m,aking money. Its goal is remaking the world and imposing its radical beliefs on
people everywhere”.28

Pada 18 september 2001 Konggres AS memberikan wewenang kepada Presiden Bush


untuk: “Menggunakan seluruh kekuatan yang sesuai dan diperlukan guna melawan bangsa-
bangsa29, organisasi-organisasi, atau orang-orang yang menurutnya merencanakan, melakukan,
terlibat atau mendanai serangan teroris yang terjadi pada 11 September 2001, atau menahan

28
Dikutip dari buku karya Adian Husaini, “Jihad Osama Versus Amerika” (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 38.
29
Kata melawan bangsa ini dapat diartikan bahwa tindakan terorisme juga termasuk yang dilakukan oleh negara.

15
organisasi atau orang tertentu guna menghindari aksi-aksi terorisme internasional di masa
mendatang terhadap AS, oleh bangsa, organisasi atau orang tertentu”. Di sisi yang lain Bush
justru membuat pernyataan yang kontroversial seperti diberitakan di BBC, Bush menyatakan:
“This Crusade, this war on terrorism is going to take a long time” (BBC 16 September 2001)30
Hal senada juga dikatakan oleh Wakil Menteri Pertahanan Urusan Intelijen, Letnan Jenderal
William Boykin yang dikutip Voice of America pada 22 Oktobr 2003: “The US battle with
Islamic Terrorist as a clash with the Devil”31 Dari dua pernyataan ini rupanya dampaknya
sangat besar, sebab ada penggunaan kata-kata yang memprovokasi yaitu “Crusade”
(Perang Salib), “Islamic Terrorist” (Teroris Islam) dan kata “Devil” (yang artinya Setan)
Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa DK PBB) 1373 yang
dikeluarkan pada 28 september 2001 sebagai respon atas peristiwa 11 September 2001, di AS
resolusi tersebut bertujuan untuk membatasi segala aktivitas gerakan, organisasi dan pendanaan
berbagai kelompok teroris. Negara anggota PBB didorong untuk saling berbagi informasi
intelijen yang berkenaan dengan kelompok kelompok teroris guna membantu memerangi
terorisme internasional. Walaupun begitu resolusi tersebut tidak mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan terorisme32 dan badan pekerja yang merumuskan resolusi tersebut hanya
mencantumkan al-Qaidah dan rezim Taliban di Afghanistan pada daftar sanksi.
Resolusi DK PBB 1566 kemudian dikeluarkan pada tanggal 8 Oktober 2004 untuk
melengkapi kekurangan resolusi DK PBB 1373 dengan mendefinisikan bahwa terorisme
menurut DK PBB ialah “Tindakan-tindakan kriminal termasuk dari negara terhadap warga
negara, yang menyebabkan kematian atau siksaan fisik atau penyanderaan yang dilakukan
dengan tujuan menciptakan keadaan teror di tengah-tengah masyarakat umum atau sekelompok
orang atau orang-orang tertentu, mengintimidasi suatu populasi atau memaksa suatu
pemerintahan atau suatu organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
tindakan”.
Selanjutnya resolusi tersebut mengatur masalah pembentukan suatu badan pekerja yang
bertugas menambah daftar berbagai kelompok teroris yang dikenakan sanksi selain Taliban dan
al-Qaidah. Resolusi juga menuntut Badan Pekerja untuk mempertimbangkan kemungkinan
adanya pemberian dana kompensasi internasional untuk para korban terorisme dan keluarga

30
Fajar Purwawidada, Jaringan Baru Teroris Solo (Jakarta: PT Gramedia, 2014) hlm.116.
31
Ibid.
32
Ibid., hlm.28.

16
mereka yang dananya mungkin dapat diambil dari kontribusi fakultatif yang terkumpul melalui
penyitaan berbagai asset yang dikuasai organisasi-organisasi teroris serta para anggota dan para
sponsornya33
Dengan melihat berbagai kenyataan di atas dapat digambarkan betapa kompleksnya
persoalan mengenai terorisme tersebut. Kita juga dapat mengetahui bagaimana sebenarnya
Perilaku AS dalam menghadapi terorisme ini, mereka tidak hanya sekedar ingin memerangi
terorisme tetapi juga banyak kepentingan lain di dalamnya.

C. Melawan Kejahatan Terorisme di Indonesia


Selanjutnya berkaitan dengan pemberantasan terorisme di Indonesia, telah dilakukan
secara serius dengan ditangkapnya beberapa orang yang disangka sebagai pelaku kejahatan
terorisme. Sebagian dari mereka bahkan telah diadili dan dieksekusi (dengan hukuman mati)
seperti pada kelompok pelaku Bom Bali (Imam Samudera dan kawan kawannya). Dalam
pemberantasan terorisme di Indonesia akhir- akhir ini tidak hanya tokoh-tokohnya telah
ditangkap, diadili dan dieksekusi, namun cara penanganan yang dilakukan oleh pemerintah
beserta aparatnya menurut Tim Pembela Muslim terkesan agak berlebihan, sehingga dari
operasi-operasi penanggulangan dan pemberantasan terorisme ini telah terjadi penembakan para
tersangka yang tentu saja dapat dipertanyakan apakah tersangka yang tertembak tersebut benar-
benar teroris, karena belum sempat diadili. Sebagai contoh adalah terjadinya penembakan di
Tanah Runtuh, Poso pada tanggal 11 dan 22 Januari 2007 dalam bentrok antara aparat kepolisian
dengan DPO. Operasi di Poso ini didasarkan adanya dugaan kuat bahwa Jamaah Islamiyah akan
mendirikan Negara Islam di Poso.34 Dengan banyaknya tersangka yang tertembak ini sebenarnya
suatu kerugian besar bagi Pemerintah Republik Indonesia karena kehilangan sumber informasi
yang berharga yang semestinya bisa diperoleh apabila tersangka tidak tertembak.
AKBP Rudi Sufahriady (Kapolres Poso waktu itu) memberikan komentar tentang
penembakan ini sebagai berikut:35

33
Ibid.
34
Menurut para pelaku teror apa yang mereka lakukan sebenarnya sebagai bentuk “pembalasan/perlawanan”, misalnya terjadinya Pengeboman
pada malam Natal secara serempak pada 24 Desember Tahun 2000 di berbagai daerah Mojokerto, Mataram, Batam, Pekanbaru,Jakarta dan
tempat lainnya adalah sebagai balasan terhadap kekejaman sebagian orang Nasrani membantai ratusan bahkan ribuan kaum Muslimin, di Ambon,
Maluku dan Poso (Fajar Purwawidada, Ibid.hlm.121). Contoh kasus lain adalah peledakan Kedutaan Besar Philipina pada 1 Juni 2001 menurut
Amrozi adalh sebagsi balasan Pmerintah Philippina yang telah menyerang kamp Mujahidin di Moro, demikian juga dengan Aksi Bom Bali juga
sebagai balasan atas apa yang dilakukan oleh Amerika menyerang negara-ngara muslim di Timur Tengah yang diperkuat dengan Fatwa Usamah
bin Ladiin.(Fajar Purwawidada, Ibid.hlm.113).
35
Baca pada Majalah Islam ‘Sabili’, edisi No.17 TH.XIV 8 Maret 2007, hlm.28.

17
“Saya menyampaikan kepada masyarakat, kalau memang ada tindakan salah dari aparat kepolisian,
silahkan menempuh jalur hukum, karena yang tertembak, yang terluka itu juga tidak kita kehendaki. Tapi,
karena ini wujud dari operasi, kita ingin melakukan tindakan kepolisian sesuai undang-undang. Kalau
sampai ada korban yang merasa tidak bersalah, silahkan ajukan ke kepolisian dan hukum. Saya tidak mau
membela diri. Kita juga melakukan dialog dengan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka lihat sendiri kita bawa
ke Jakarta untuk menyaksikan pengakuan para tersangka”

Komentar lain dari pihak Kepolisian disampaikan oleh Irjen Pol Goris Mere (yang waktu
itu bertindak sebagai Wakabareskrim Mabes Polri) sebagai berikut:36
“Memang ada orang-orang dari Jawa yang mengajarkan radikalisme. Mereka melatih dan melakukan
kegiatan di Tanah runtuh. Mereka membuat program pendidikan dengan cover Yayasan ulil Albab dan
Ponpes Amanah untuk menarik simpati masyarakat”

Sementara dengan maraknya radikalisme ini Edward Aritonang37 mengemukakan


gagasan perlunya Rehabilitasi. Aritonang menegaskan perlunya deradikalisasi dilakukan ketika
para teroris menjalani hukuman dan sesudahnya. Dia menjelaskan upaya deradikalisasi tersebut
dilakukan dengan merehabilitasi keyakinan dan hidup para mantan teroris tersebut. Namun
upaya deradikalisasi ini bukan hanya tanggung jawab lembaga negara, tapi juga butuh peran
serta masyarakat. Dalam hal ini masyarakat diharapkan menerima kembali mantan teroris yang
sudah bertobat.
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama bagi yang beragama Islam dengan
adanya operasi-operasi pemberantasan terorisme ini dikhawatirkan bisa menimbulkan bentuk
teror baru dari aparat keamanan. Disamping cara penanganannya yang dapat menakutkan
masyarakat, juga informasi-informasi yang diterima masyarakat baik melalui media massa dan
media elektronik termasuk melalui Kadiv. Humas Polri, para pakar dan pengamat terorisme
justeru sangat membingungkan, karena seringkali yang didiskusikan berkaitan dengan ideologi
dan pemahaman agama yang sudah distigmatisasikan sebagai Ideologi Islam Radikal 38 yang
berasal dari Ajaran Wahabi (Saudi Arabia) dan Ikhwanul Muslimin di Mesir, sementara
penjelasan tentang apa itu Wahabi dan Ikhwanul Muslimin tidak mendapat penjelasan
secara tegas.

36
Ibid., hlm.24.
37
Baca Sabili, edisi No.18 TH XVII, 1 April 2010.
38
Dalam tulisan Ismail Yusanto yang berjudul “Bahaya Mengaitkan Ideologi dengan Terorisme “ dikatakan bahwa pernyataan mengaitkan
terorisme dengan ideologi bukan persoalan baru. Pada 2002, Sekretaris Menteri Pertahanan AS, Paul Wolfowitz mengatakan hal yang sama,”saat
ini kita sedang bertempur melawan teror-perang yang akan kita menangkan. Perang yang lebih besar kita hadapi adalah perang pemikiran. Jelas
suatu tantangan, tapi juga harus kita menangkan.” Senada dengan itu Penasehat Keamanan Nasional AS, Condoleezza Rice, mengatakan
“kemenangan sebenarnya tidak akan muncul hanya karena teroris dikalahkan dengan kekerasan, tetapi karena ideologi kematian dan kebencian
dikalahkan.” Sedangkan menurut Bush,” ideologi pembunuh Islam Radikal adalah tantangan terbesar dari abad baru kita.” Perang ideologi ini
akan meluas ke berbagai aspek seperti pendidikan, terutama sekolah-sekolah Islam seperti pesantren. Semua ajaran Islam yang dianggap
bertentangan dengan nilai Barat dan kepentingan Barat sangat mungkin akan dihapuskan. Tuduhannya ajaran itu menyebabkan terorisme.
Demikian juga ajaran jihad dalam makna perang bisa jadi dihapuskan dalam kurikulum. Lihat Muhammad Ismail Yusanto, Bahaya Mengaitkan
Terorisme Dengan Ideologi- pada http://www.republika.co.id/kolom.detail asp. Republika 2 Desember 2005.

18
Bantahan terhadap tuduhan bahwa terorisme banyak dipengaruhi oleh ajaran Wahabi
disampaikan oleh Abu Jibril dalam bukunya “Fakta Syiah Bukan Islam”. Abu Jibril
mengatakan bahwa Revolusi Syiah pimpinan Khomeini, 1979, berhasil menumbangkan Rezim
Syah Reza Pahlevi. Bangga dengan kemenangan itu, maka Khomeini mengekspor Syiah ke
negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia dibawah slogan “Mustadh’afin melawan Mustakbirin”.
Sejak Tahun 1980-an, pemikiran dan gerakan radikal di Indonesia banyak diintervensi doktrin
ideologi Syiah kata Abu Jibril. Kesalahan penguasa yang diwarisi aparat keamanan, BNPT
(Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Densus 88, adalah stigmatisasi terorisme dan
radikalisme muncul dari doktrin Wahabi dan Darul Islam (DI/TII). Stigmatisasi ini pada
gilirannya menciptakan permusuhan antara penguasa dan umat Islam, padahal Syeikh
Muhammad bin Abdul Wahab, yang kepadanya dinisbatkan istilah Wahabisme, tidak pernah
mengajarkan terorisme. Inti ajaran yang diserukan adalah mengajak kembali kepada tauhid,
memberantas kesyirikan, bid’ah dan khurafat, demikian kata Abu Jibril.
Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Abu Jibril, maka AM Waskito dalam
bukunya “Bersikap Adil Terhadap Wahabi” mengatakan sebagai berikut:

Mengapa kaum Sufi dan Syi’ah sangat membenci Wahhabi ? Karena dalam dakwah Wahhabi terdapat
pengingkaran sangat keras terhadap ibadah kubur, penyembahan makam wali-wali, mencari berkah ke
kubur-kubur “keramat” dan lain-lain. Sedangkan urusan seperti itu di kalangan sufi dan Syi’ah bisa
dianggap sebagai “urat nadi agama”. Logikanya kalau sumber spiritual keagamaan mereka diganggu,
mereka jelas marah. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, di dalam kawasan kuburan “keramat” atau
petilasan-petilasan sejarah itu, seringkali terdapat omzet bisnis yang menggiurkan” 39

Adapun Darul Islam pimpinan SM Kartosoewiryo, adalah memperjuangkan berdirinya


Negara Islam demi terlaksananya Syari’at Islam. Gerakannya bersifat kenegaraan, bukan
sektarian, sehingga tidak pernah menjadikan rumah ibadah seperti masjid, Sinagog, Gereja, Pura
sebagai sasaran yang harus dihancurkan. Hal ini sejalan dengan ajaran al-Qur’an yang melarang
menghancurkan tempat-tempat ibadah umat beragama.40
Terorisme adalah suatu persoalan yang kompleks dan akan selalu memberi ruang
pada hadirnya cara pandang dan penafsiran yang baru. Disamping belum ada kesepakatan
tentang definisi yang berlaku secara universal tentang apa yang dimaksud dengan terorisme itu,
maka membicarakan masalah terorisme ini tidak dapat dilepaskan dari 3 variabel yaitu; dari

39
AM Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi, Bantahan Kritis dan Fundamental Terhadap Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram.
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011) hlm.367.
40
Abu Muhammad Jibriel AR, Fakta Syi’ah Bukan Islam ( Jakarta: Ar-Rahmah Publishing, 2015) hlm.9.

19
aktor yang terlibat, dari isu yang berkembang serta dari dimensi konflik yang ada di dalamnya.
Meskipun Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak pidana
Terorisme telah memberikan definisi tentang terorisme, namun UU No.15 Tahun 2003 ini
dipandang masih banyak kelemahan.

Mengamati argumentasi dari para pelaku/tersangka pelaku teror di Indonesia, terorisme


tidak dapat dilepaskan dari politik internasional, terutama konflik di Timur-Tengah antara Israel
dan Palestina41 yang didukung oleh Amerika, dan yang tak kalah pentingnya persoalan terorisme
juga tidak dapat dilepaskan dari pemahaman ajaran agama dari para pelakunya.

Dapat dikatakan bahwa pemahaman seorang teroris tentang aksi terornya yang dimaknai
jihad tersebut pasti didasarkan pada alasan-alasan dan pertimbangan tertentu yang benar menurut
mereka namun melawan hukum menurut pemahaman masyarakat (terutama kaum muslimin pada
umumnya).

Sebab-sebab terjadinya terorisme di Indonesia dapat dengan mudah diungkap dari


pernyataan dan pemahaman para pelaku (teroris) yang dalam kajian ini disebut faktor internal,
sedangkan sebab-sebab yang diungkapkan dari sasaran aksi terorisme baik sasaran antara
(lokasi-lokasi tempat dilakukannya aksi terorisme) maupun sasaran sesungguhnya yaitu AS dan
sekutunya disebut faktor eksternal.

Dengan memahami faktor-faktor penyebab terorisme, akan dapat dilakukan upaya yang
terarah secara bersama-sama antara pemerintah dengan aparat terkait, unsur-unsur masyarakat
dan tokoh-tokoh agama, agar di masa depan terorisme dapat dihindarkan atau minimal dikurangi.

Demikian juga, dengan mengetahui penerapan ketentuan-ketentuan hukum di Indonesia dalam


penyelesaian kasus terorisme, maka akan diketahui pelanggaran-pelanggaran hak asasi mana
saja yang terjadi terutama bagi tersangka, terdakwa maupun korban aksi terorisme.

Terbangunnya sebuah sistem penegakan hukum yang terpadu dan komperehensif di


kemudian hari dalam penyelesaian kasus terorisme, akan menjamin perlindungan hukum yang

41
Konflik di Timur Tengah antara Israel dan Palestina besar pengaruhnya terhadap perkembangan politik Internasional, terutama bagi negara-
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Umat Islam di seluruh dunia itu bersaudara. Ikatannya tidak dibatasi oleh wilayah atau
kebangsaan melainkan ikatan aqidah. Oleh karena itu ibarat satu tubuh, apabila ada bagian tubuh yang sakit, maka bagian tubuh yang lain juga
terasa sakit. Tersendat-sendatnya hubungan diplomasi yang akan dibangun oleh Israel dan Indonesia juga antara lain disebabkan oleh konflik di
Timur Tengah ini.

20
seimbang dan proporsional antara tersangka, terdakwa dan korban dalam pemenuhan hak-hak
asasi manusianya sesuai dengan kaidah-kaidah/ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik
dalam UU No.15 Tahun 2003, Hukum Internasional dan Hukum Islam.

Sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan konsep/model penyelesaian kasus terorisme di


Indonesia yang berkeadilan menuju hukum nasional yang progresif.

Berdasarkan studi pustaka dan pernyataan-pernyataan para teroris, ada dua sebab dari
aksi teror yang mereka lakukan, pertama adalah suatu ‘reaksi’(perlawanan) dari penjajahan,
penganiayaan, penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh AS dan sekutunya terhadap
negara-negara yang berpenduduk muslim, seperti Palestina, Irak, Afghanistan, Yordania, dan
sebagainya. Yang kedua, tuntutan berlakunya Syari’at Islam secara kaffah (formalisasi Syari’at
Islam) di lembaga negara yang saat ini dikuasai oleh hukum sekuler sebagai hasil dari penjajahan
tersebut. 42

Demikian juga yang terjadi di Indonesia, pernyataan Abu Bakar Ba’asyir, Imam
Samudera dan tersangka/terdakwa teroris lainnya pada dasarnya merupakan sikap perlawanan
dan permusuhan mereka terhadap arogansi AS dan sekutunya. Kemudian, apabila kita telusuri
dari sejarah, ternyata sudah sejak sebelum kita merdeka pertentangan antara kelompok nasionalis
sekuler dengan kelompok yang menginginkan tegaknya Syari’at Islam ini sudah berjalan lama
dan cukup menegangkan. Misalnya pada peristiwa dicoretnya “Tujuh Kata” dalam Piagam
Jakarta, kemudian pada kasus DI/TII, hingga penolakan asas tunggal Pancasila, semuanya ikut
memperkuat atau setidaknya ikut menyumbang sebagai penyebab terjadinya terorisme di tanah
air.

42
Senada dengan hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Alwi Shihab, “Bahwa ada dua sebab terjadinya Tragedi WTC, yaitu faktor Internal dan
faktor eksternal. Dari faktor eksternal adalah sikap antipati terhadap AS dan sekutunya, dengan rasa kebencian yang dipicu oleh konflik yang
berkepanjangan diantara umat Islam dan Kristen. Sekalipun dari konflik ini berfluktuasi antara hubungan positif dan negatif, namun interaksi
negatif ternyata lebih dominan. Kemudian dari faktor internal, implikasi penjajahan Barat Kristen terhadap Islam tampak sangat nyata ketika kita
menelusuri sejarah kelahiran gerakan-gerakan Arab-Islam modern. Runtuhnya kekuasaan Turki Islam dan merosotnya kondisi umat Islam di
bawah kekuasaan Turki bertolak belakang dengan pesatnya kemajuan dan bangkitnya pencerahan Eropa. Pada masa inilah lahir gerakan-gerakan
Islam modern yang terbagi menjadi dua golongan yaitu, yang pertama Gerakan Puritan Wahabi yang menganjurkan pemurnian Islam dengan
kembali pada ajaran awal dan menolak segala bentuk kebudayaan Barat. Kedua, gerakan Islam modern yang mencoba mempertemukan
peradaban Eropa dan Islam, pendukungnya adalah Jamaludin al-Afghani dan Syeikh Muhammad Abduh. Namun gerakan Wahabi mengambil
wacana keras dalam visi dan misinya. Gerakan Wahabi adalah gerakan Sunni puritan yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-
1791). Pada abad 14 muncullah Ibnu Taimiyyah dengan kesungguhannya terhadap Islam dan dengan kedudukannya yang tinggi di masyarakat
melakukan gerakan pembersihan Islam dari noda dan kontaminasi budaya luar. Hasil akhirnya adalah penafsiran yang kaku (tekstual) terhadap
sumber sumber ajaran Islam serta implikasinya berupa pemikiran bahwa penganut agama lain dianggap sebagai sesuatu yang mengancam
eksistensi mereka. Maka dari ke dua hal ini (faktor eksternal dan internal) menciptakan satu atau kelompok masyarakat yang frustasi dan putus
asa, dan dalam situasi seperti ini muncullah ide pertarungan global, suatu dunia yang dipenuhi dengan kekerasan di mana kaum fundamentalis
Islam telah menyalahgunakan agama untuk menjustifikasi sikap serta tindakan yang bersifat ekstrim dan radikal.” Lihat, Alwi shihab, Membedah
Islam di Barat: Menepis Tudingan, Meluruskan Kesalahpahaman,( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.8-9.

21
Perilaku teroris dan lingkungan sosial yang turut berperan dalam membentuk
kepribadiannya tidak dapat ditinggalkan. Max weber 43 mengatakan sebagai berikut:

“Weber utilized his ideal-type methodology to clarify the meaning of action by identifying four basic types
of action. Not only is this typology significant for understanding what Weber meant by action, but it is also,
in part, the basis for Weber’s concern with larger social structures and institutions. Of greatest importance
is Weber’s differentiation between the two basic types of rational action. The first is means ends
rationality, or action that is “determined by by expectations as to the behaviour of objects in the
environment and of other human beings; these expectations are used as “conditions” or means for the
attainment of the actor’s own rationally pursued and calculated ends. The second is value rationally or
action that is “determined by by a conscious belief in the value for its own sake of some ethical, aesthetic,
religious or other form of behaviour independently of its prospects for success. Affectual action (which was
of little consern to Weber) is determined by the emotional state of the actor. Traditional action (which was
of far greater concern to Weber) is determined by the actor’s habitual and custromary ways of behaving.”

Dari ke empat tipe perilaku sosial dari Weber tersebut, maka prilaku teroris sesuai dengan
tiga tipe perilaku di atas, yaitu l. kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada
tercapainya tujuan, 2. Kelakuan yang berorientasi pada nilai termasuk nilai persaudaraan
dan nilai agama, dan 3. Kelakuan yang menerima orientasinya dari perasaan atau emosi
seseorang.

Menurut para pelakunya, terorisme merupakan suatu bentuk “perlawanan” terhadap


sasaran (musuh) yang telah menyebabkan terjadinya ketidak-adilan sehingga terorisme ini sarat
dengan “pemaknaan” terutama dari sudut pandang pelaku dan kelompoknya. Oleh karenanya
target serangan (sasaran) aksi terorisme ini merupakan “sasaran antara” sebagai sebuah “simbol”
perlawanan. Target-target yang bersifat antara ini oleh karenanya bukan ditentukan secara asal-
asalan tapi berkaitan dengan makna-makna simbolik yang dilatarbelakangi oleh faham
keagamaan si pelaku. Misalnya, Menara Kembar WTC dijadikan sasaran mengingat bangunan
tersebut dipandang sebagai lambang kekuatan musuh. Demikian juga peledakan bom di Bali,
dalam pandangan Imam Samudera, Bali adalah kota yang penuh maksiat yang tidak terjadi
secara kebetulan tetapi diyakini sebagai sesuatu yang direncanakan/ sengaja dirusak oleh suatu
kekuatan asing (AS dan sekutunya). Oleh karena itu rusaknya Bali sebagai kota pariwisata dunia
yang dapat mendatangkan devisa bagi pemerintah dipandang oleh pelaku sebagai suatu bentuk

43
Max Weber dalam Ritzer, George, Sociological Theory (Singapore: McGraw Hill International Editions, 1996), hlm.125.

22
amal shalih karena “menghancurkan tempat maksiat” adalah suatu ibadah kepada Allah swt. bagi
pelakunya. Sedangkan kerugian ekonomi dari sektor pariwisata bagi pelakunya tidak dipandang
sebagai suatu kerugian mengingat uang yang didapat dari suatu kemaksiatan berarti adalah suatu
pendapatan yang haram. Demikian juga dilakukannya aksi “Bom Bunuh diri” dimaknai oleh
pelaku sebagai perbuatan yang termasuk kategori “Jihad”. Dari persoalan ini terlihat bahwa
konstruksi mental si pelaku (teroris) diharapkan pelaku menjadi kontruksi sosial.

Contoh lain bisa diberikan di sini, mengapa Hotel JW Marriot di bom ? Ternyata setelah
diteliti dan diperoleh informasi di lapangan terhadap kelompok pelaku diperoleh jawaban bahwa
mereka melakukan itu disebabkan Hotel JW Marriot itu telah dijadikan tempat pertemuan yang
digunakan untuk membahas dan merencanakan perbuatan yang merugikan umat Islam (ini dalam
pandangan teroris), sehingga pengeboman tempat itu dipandang tepat untuk dilakukan. Inilah
contoh –contoh bahwa dalam setiap perbuatan melawan hukum pasti terdapat simbol-simbol
juga alasan-alasan atau makna-makna tertentu yang dapat ditelusuri dengan dasar-dasar ilmu
hermeneutik.

Seorang teroris melakukan aksi terornya setelah memahami dan menafsirkan ayat-ayat
hukum yang diambil dari kitab suci sebagai dasar pembenar tindakannya, maka hal ini dapat
ditentang oleh pihak lain yang berada di luar kelompok mereka yang melakukan pemahaman dan
penafsiran dengan cara yang berbeda, sehingga menolak dan mengutuk tindakan teroris tersebut.

Dari penelitian pustaka dapat diketahui bahwa Imam Samudera mengaku banyak
memberikan penafsiran terhadap ayat ayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi berdasarkan tafsir-
tafsir yang sudah diakui di kalangan ulama Islam, juga dia mempergunakan fatwa para ulama
yang dia sebut sebagai Ahlu ats-Tsughur. Dalam hal ini pemahaman Imam Samudera tersebut
dapat kita analisa dengan menggunakan hermeneutik sebagai “alat” atau pisau analisis, yang
tentu saja Imam Samudera tidak mengakui keabsahan penggunaan hermeneutik ini44.

44
Sebagian besar umat Islam menolak penggunaan hermeneutik dalam menafsirkan al-Qur’an, demikian juga sebagian dari umat Kristen
menolak untuk menggunakan hermeneutik dalam menafsirkan Bibel. Bagi umat Islam yang menolak mengatakan al-Qur’an itu adalah kitab suci
yang diturunkan oleh Allah swt dan Allah sendiri yang akan menjaganya baik lafadz dan maknanya. Mereka juga mengatakan dalam Islam sudah
ada ulumul Qur’an dan tafsir-tafsir dari para ulama terkemuka. Dalam buku karya David J.Hesselgrave dan Edward Rommen (terj.Stephen
Sulaiman), yang diterbitkan oleh Penerbit Kristen BPK, dijelaskan tentang perbedaan antara karakter teks Bibel dengan teks al-Qur’an. Ditulis
dalam buku itu: “Para pelaku kontekstualisasi Islam diperhadapkan dengan serangkaian masalah yang unik. Apakah yang dapat dilakukan
terhadap kitab yang “dibuat di sorga” dalam bahasa Allah dan tidak mengakui unsur manusia sedikitpun? (Baca David J. Hesselgrave dan
Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 169..

23
Adalah Barbara Victor yang telah melakukan penelitian dengan menarik sekali tentang
kisah nyata para perempuan Palestina pelaku bom syahid. Tulisan ini telah dibukukan dengan
judul Army of Roses, Inside the World of Palestinian Women Suicide Bombers.45 Barbara Victor
meliput langsung peristiwa yang terjadi di Jalur Gaza, Palestina. Diceritakan bahwa pada
mulanya peran perempuan di Palestina terpinggirkan dibanding dengan laki-laki yang dapat
melakukan perlawanan (Jihad) melawan pendudukan Israel. Bahkan kepemimpinan Hamas
mengeluarkan peraturan resmi bahwa perempuan dilarang keluar ke tempat umum tanpa
menutup kepala mereka dengan hijab (kerudung) dan memakai jilbab (blus dan rok yang
panjang), apalagi keluar untuk berperang seperti kaum laki-laki. Namun menurut Shalom Harrari
(mantan anggota dinas intelijen Israel yang bertugas di wilayah pendudukan selama 20 tahun
hingga ia pensiun tahun 2000), kelompok komunis dan marxis sayap kiri dalam PLO mendorong
kaum perempuan untuk melakukan aksi yang dikenal dengan “Jihad Fardli”, yang berarti
serangan yang dilakukan oleh satu orang, sehingga pada tahun 1988 banyak terjadi serangan oleh
kaum perempuan tidak hanya di perbatasan Yordania tetapi juga di dalam wilayah Israel. Aksi
ini ternyata mendapat dukungan dari Dr. Al-Rantisi yang menjelaskan bahwa lebih mudah bagi
perempuan untuk menyembunyikan pisau atau pistol di balik jilbabnya dan melewati
pemeriksaan petugas keamanan dibandingkan laki-laki. Aksi jihad fardli ini meningkat hingga
pada tanggal 27 januari 2002 lebih dari seribu perempuan berbondong-bondong datang untuk
mendengarkan pidato Yaser Arafat di kamp nya di Ramallah. Arafat menekankan pentingnya
peran perempuan dalam intifadah. Arafat mengatakan: “Kalian adalah Pasukan Mawar ku, yang
akan menghancurkan tank-tank Israel”. Tragisnya pada siang harinya Arafat mendapati
syahidahnya yang pertama yaitu Wafa Idris, seorang perempuan Palestina berusia 26 tahun,
meledakkan dirinya hingga berkeping-keping di tengah kota Yerusalem di sebuah pusat
perbelanjaan, menewaskan seorang lelaki Israel dan melukai 131 orang-orang yang lalu lalang.
Langkah Wafa Idris ini kemudian diikuti oleh syahidah-syahidah lainnya seperti Leila, Darine,
Izzedine dan lain-lainnya hingga saat ini. Motif dari dilakukannya “Bom Syahid Wanita”ini
menurut Barbara Victor adalah tertindasnya rakyat di bawah pendudukan Israel, banyak
perempuan yang ditinggal mati suami dan anak-anaknya, sehingga mereka tidak punya harapan

45
Barbara Victor, Army of Roses, Kisah Nyata Para Perempuan Palestina Pelaku Bom Syahid (Bandung,
Penerbit Mizan, 2005) hlm.16-19.

24
apa-apa lagi kecuali mempersembahkan/mengorbankan dirinya demi tanah air dan agama yang
diyakininya.

Kesimpulan.

Bahwa tidak ada satu agamapun yang mengajarkan teror (termasuk Islam), meskipun
demikian dapat dikatakan bahwa terorisme berkaitan erat dengan pemahaman keagamaan.
Terorisme adalah sebuah bentuk “perlawanan” yang dilakukan oleh pelakunya kepada pihak-
pihak yang dituju (sasarannya), meskipun demikian sasaran-sasaran kejahatan terorisme ini
sebagian besar hanya ditujukan kepada “sasaran antara”, hal itu dilakukan agar pihak yang dituju
(sasaran utama) bisa “menangkap pesan” dari pelaku aksi teror tersebut. Terorisme adalah
kejahatan yang bersifat global, kejahatan yang bersifat luar biasa, disebabkan oleh faktor
eksternal dan faktor internal.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, untuk menyelesaikan permasalahan terorisme di


Indonesia perlu dilakukan dialog terbuka antara Pemerintah dengan pihak-pihak terkait seperti
MUI, organisasi masyarakat, juga para tersangka, narapidana dan pihak-pihak lainnya yang
dipandang perlu agar persoalan terorisme ini dapat diselesaikan dengan cara-cara damai dan
dihindari sebisa mungkin cara-cara kekerasan.

Dalam masalah penegakan Syari’at Islam, maka Pemerintah perlu membicarakan kembali
dengan semua elemen masyarakat terutama para ulama, dan ormas-ormas Islam agar terjadi titik
temu dalam permasalahan ini, karena kenyataannya terungkap dalam penelitian bahwa tuntutan
penegakan Syari’at Islam ini begitu kuatnya dari para pelaku terror. Dapat dikemukakan di sini,
bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia selain disebabkan karena Faktor eksternal ( yaitu
terjadinya ketidak-adilan yang disebabkan oleh penjajahan, penindasan dan perlakuan sewenang-
wenang terhadap umat Islam di seluruh dunia oleh AS dan sekutunya), maka terdapat juga faktor
internal yaitu tuntutan ditegakkannya Syari’at Islam (formalisasi Syari’at Islam) di Indonesia.
Inilah yang membedakan studi ini dari studi terorisme yang lainnya.

25
Daftar Pustaka

Adian Husaini, “Jihad Osama Versus Amerika”. Gema Insani Press, Jakarta 2001

Abu Muhammad Jibriel AR, Fakta Syi’ah Bukan Islam . Ar-Rahmah Publishing, Jakarta 2015

Abu Rodli, Rahasia Di Balik Pembunuhan Usamah bin Ladiin . Gozian Press, Jakarta 2011

Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan, Meluruskan Kesalahpahaman.


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004

AM Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi, Bantahan Kritis dan Fundamental Terhadap
Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2011.

Barbara Victor, Army of Roses, Kisah Nyata Para Perempuan Palestina Pelaku Bom Syahid
, Penerbit Mizan, Bandung, 2005.

David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model.
BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004.

Fajar Purwawidada, Jaringan Baru Teroris Solo . PT Gramedia, Jakarta 2014.

Haitsam Al-Kailani, Siapa Teroris Dunia, Penerbit Al-Kautsar, Jakarta 2001

Haryomataram, “Bunga Rampai hukum Humaniter (Hukum Perang). Bumi Nusantara Jaya,
Jakarta 1988.

Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press,


Surakarta 1994.

Irfan S.Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Baasyir, Wihdah Press, Yogyakarta 2003.

Jerry D.Gray. Fakta Sebenarnya Tragedi 11 September, The Hard Exidence Exposed, The
Real Truth of 9/11 Penerbit Sinergi Depok, 2004.

James Petras, Zionisme dan Keruntuhan Amerika, Zahra Publishing House, Jakarta 2009

MarkJuergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama , Nizam
Press, Jakarta 2002

Muhammad Nur Islami, Terorisme Sebuah Upaya Perlawanan, Pustaka Pelajar Yogyakarta,
2017

26
Muhsin Labib, Gelegar Gaza: Denyut Perlawanan Palestina, Penerbit Zahra, Jakarta 2009

Muhsin Muhammad Shaleh, Palestina, Sejarah, Perkembangan dan Konspirasi, Gema Insani
Press, Jakarta 2000

Ritzer, George, Sociological Theory , McGraw Hill International Editions, Singapore 1996

Syaikh ul Islam Dr. Muhammad Tahir ul-Qadri, Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh
Diri. Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, Jakarta 2014

Walter Reich, Origins of Terorism, Tinjauan Psikologi, ideologi, Teologi dan Sikap Mental .
Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003

Yusuf Qardhawi, Islam Radikal, PT Era Adicitra Intermedia, Surakarta 2009

Muhammad Thalib, Al.Qur’an Terjemah Tafsiriyah , Penerbit Ma’had an-Nabawy, Yogyakarta


2012

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional Jakarta 2008

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191115104318-20-448568/radikalisme-definisi-
semu-dan-potensi-salah-sasaran, diakses pada tanggal 24 Nopember 2021 pk.08.47

https://plus.kapanlagi.com/radikalisme-adalah-paham-perubahan-dan-pembaharuan-dengan-
jalan-kekerasan-ini-sejarah-beserta-ciri-cirinya-425151.html , diakses tgl 22 Nop.pk.16.05

https://id.m.wikipedia.org

Majalah Islam ‘Sabili’, edisi No.17 TH.XIV 8 Maret 2007.

Majalah Islam “Sabili”, edisi No.18 TH XVII, 1 April 2010.

27

Anda mungkin juga menyukai