Anda di halaman 1dari 5

Model Kebijakan Lingkungan

Jauh sebelum ada tindakan pemerintah, masalah lingkungan harus ditemu kenali,
sesuatu yang biasanya muncul di masyarakat bawah. Kemudian masalah lingkungan ini
dikomunikasikan kepada pemerintah. Tujuannya adalah untuk memdapatkan bantuan
pemerintah dengan jalan meyakinkan pejabat atau lembaga pemerintah yang berwenang agar
masalah terebut dimasukkan pada agendanya.
Oleh karena itu para ahli kebijakan publik mengembangkan satu model struktur
pengembangan kebijakan publik masalah lingkungan yang lebih mudah dimengerti. Model
tersebut pada umumnya memuat:
a. Perumusan Masalah
b. Agenda Kebijakan
c. Formulasi Kebijakan
d. Penetapan Kebijakan
e. Pelaksanaan Kebijakan
f. Evaluasi Kebijakan
Untuk memudahkan mengingat keenam tindakan di atas ini disingkat dan digabungkan
menjadi tiga langkah saja, yakni:
a. Perumusan Masalah Lingkungan dan Agenda Kebijakan
Adanya masalah lingkungan dimulai dengan perumusan masalah, yakni sesuatu yang
mempunyai akibat terhadap beberapa kelompok masyarakat. Kadang-kadang tanda-tanda
permasalahannya sangat jelas, seperti misalnya limbah cair hotel yang dialirkan kepantai
Sanur, atau limbah zat pewarna perusahaan garmen di Kepaon yang di buang ke sungai
yang mengakibatkan orang merasa gatal-gatal kalau mereka mandi di pantai/sungai.
b. Pengambilan Keputusan dan Analisis Risiko Lingkungan
Dalam tahap formulasi kebijakan ada dua fungsi yang pertama, pemerintah harus secara
resmi menilai parahnya permasalahan lingkungan dan risikonya terhadap masyarakat.
Kegiatan ini disebut penilaian risiko. Dan yang kedua, pemerintah harus mengembangkan
satu kebijakan yang tepat, yang sebagian dari proses ini disebut manajemen risiko. Dalam
keadaan ekstrem, tujuan yang dimaksud mungkin memberi hak untuk menyelesaikan
faktor penyebab pencemaran.
c. Evaluasi Kebijakan
Langkah ini dimaksudkan untuk mengevaluasi efektivitas rencana dan gagasan untuk
mengadakan perubahan yang diperlukan.
Penetapan Standar yang Efisien Alokatif
Efisiensi alokatif terjadi apabila pencapaian tujuan tersebut menimbulkan tambahan
manfaat bagi masyarakat (MSB) yang sama besarnya dengan biaya yang ditanggung oleh
masyarakat (MSC). Dengan demikian perlu dibicarakan konsep manfaat dan biaya `untuk
pasar pengurangan polusi. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara jelas apa yang
diperlukan untuk mencapai tingkat pengurangan polusi yang efisien alokatif sehingga kita
dapat menilai kemungkinan pemerintah mencapai tujuan tersebut dengan penentuan standar
kualitas lingkungan.
Secara teoritis, apabila menjumlahkan semua pengurangan biaya marjinal eksternal
yang dialami oleh setiap perusahaan garmen pada contoh akan memperoleh MSB. Dangan
menanggung biaya pengurangan limbah zat pewarna perusahaan garmen di Kepaon, yang
berarti mengurangi limbah buangan zat pewarna, maka para pemakai sungai menikmati
keuntungan berupa berkurangnya biaya marjinal eksternalitas (Marginal Benefit = MEB)
yang berkaitan dengan produksi garmen lebih ramah lingkungan.
Biaya Sosial Marjinal Pengurangan Polusi. Di sisi penawaran diperlukan satu model
mengenai biaya yang ditanggung masyarakat untuk mengurangi tingkat kontaminasi limbah
garmen. Hubungan ini disebut biaya sosial marjinal (MSC) pengurangan polusi. Untuk
memudahkan, MSC dapat dibagi menjadi 2 bagian:
1. Jumlah biaya marjinal yang dikeluarkan untuk kegiatan pengurangan polusi zat
pewarna oleh perusahaan garmen bersangkutan. Ini disebut biaya marginal
pengurangan MAC (Marginal Abatement Cost), dan
2. Biaya marjinal yang ditanggung pemerintah untuk memonitor dan memaksakan
aturan agar kegiatan pengurangan zat pewarna tersebut dilaksanakan oleh semua
perusahaa garmen. Biaya marjinal ini disebut MCE (Marginal Cost of Enforcement).
Biaya Marjinal Pengurangan Polusi (MAC) Dibedakan menjadi dua, yakni di tingkat
perusahaan dan di tingkat pasar.
Di tingkat Perusahaan. Merujuk Kembali pada bahan diskusi mengenai daya tawar di
bawah teori Coase, bahwa proses penyulingan mengurangi buangan bahan beracun, melalui
penurunan produksi.
Setiap perusahaan sumber polusi menghadapi kurva MAC masing-masing. Lokasi
perusahaan, jenis pencemar yang dikeluarkan perusahaan, sifat produksinya, dan ketersediaan
teknologi adalah beberapa faktor yang mempengaruhi bentuk dan posisi kurva MAC. Namun,
kurva MAC yang tipikal mempunyai koefisien arah positif dan meningkat dengan tingkat
yang makin tinggi, seperti disajikan pada kurva 2.3.1.
Ketika perusahaan terus berusaha mengurangi polusi dari A1 ke A2 maka kurva MAC
meningkat dengan lebih dari proporsional dari MAC1 ke MAC2. Hal ini menunjukan bahwa
ketika proses pengurangan polusi berjalan terus dan lingkungan menjadi lebih bersih, maka
usaha pengurangan polusi akan menjadi lebih sulit dan oleh karenanya memerlukan biaya
yang jauh lebih bersar untuk menghilangkan satu unit pengurangan polusi.
Kurva 2.3.1 MAC untuk Satu Perusahaan Sumber Polusi

Apabila terjadi perubahan pilihan pengurangan polusi bagi satu perusahaan, maka kurva
MAC akan terpengaruh. Misalnya, adanya cara baru yang menghemat biaya untuk
pengurangan polusi akan menyebabkan MAC bergerak ke bawah seperti ditunjukan pada
kurva 2.3.2.
Perhatikan bahwa pada setiap tingkat pengurangan polusi MAC 1, berada di bawah
MAC. Demikian juga halnya, kurva MAC bagi satu perusahaan untuk satu jenis kontaminan
mungkin berada di bawah kurva yang dihadapi oleh perusahaan tersebut untuk kontaminan
lainnya. Oleh karenanya, satu fungsi MAC biasanya dirumuskan untuk satu jenis kontaminan
tertentu pada satu tingkat teknologi tertentu.
Kurva 2.3.2 Pengaruh Teknologi Hemat Biaya Terhadap Kurva MAC Perusahaan
Sumber Polusi
Biaya Marjinal Pemaksaan (Enforcement) MCE. Sekarang perhatikanlah elemen kedua
dari MSC pengurangan polusi. Terhadap MACmkt kita perlu menambahkan biaya marjinal
yang ditanggung pemerintah untuk memaksakan dan memonitor pelaksanaan pengurangan
polusi. Komponen ini biasanya disebut biaya marjinal pemaksaan (MCE = Marginal Cost of
Enforcement). Kurva 2.3.3 melukiskan bagaimana kurva MCE ditambahkan secara vertikal
dengan kurva MACmkt untuk mendapatkan kurva MSC.
Pada setiap tingkat pengurangan polusi (A), MCE ditunjukkan oleh jarak vertikal antara
MACmkt dengan MSC. Perhatikanlah bahwa jarak ini makin lebar pada tingkat pengurangan
polusi yang makin tinggi. Oleh karena standar polusi makin sulit dicapai, perusahaan sumber
polusi cenderung untuk menghindari aturan, yang akhirnya memerlukan program
pengawasan dan pemaksaan aturan yang lebih baik dan lebih mahal.
Kurva 2.3.3 Cara Memperoleh Kurva Biaya Sisoal Marjinal (MSC) Pengurangan
Polusi
Studi Kasus
Darurat Pengelolaan Sampah di Bali, Rentan sebabkan Konflik Sosial dan
Ekonomi
Sejumlah organisasi dan aktivis peduli sampah Bali membuat pernyataan sikap tentang
penutupan TPA Suwung dan pengelolaan sampah di Bali. Mereka menilai keadaan
pengelolaan sampah di Bali terus memburuk dan sudah mencapai puncaknya. Tidak hanya
merusak lingkungan juga mengakibatkan konflik sosial dan kerugian ekonomi.
TPA regional Suwung terbakar pada akhir Oktober 2019 dan terjadi penutupan akses
jalan masuk ke TPA oleh warga setempat. Kebakaran juga sempat melanda sejumlah TPA di
beberapa kabupaten lain seperti Gianyar, Buleleng dan Tabanan. Forum menilai hal ini bukti
pengelolaan sampah di hilir dengan sistem TPA telah melampaui batas.
Forum Komunikasi menyebut timbulan sampah saat ini sangat besar mencapai 5.000-
10.000 ton/hari di mana 60-70% adalah organik, 20-30% adalah non organik layak daur
ulang, dan 10% residu. Seharusnya 90% dari total sampah tersebut tidak berakhir di TPA.
Sampah yang bercecer di jalan, aroma yang dihasilkan TPA, pembakaran sampah,
konflik sosial dan permasalahan lain yang muncul akibat pengelolaan sampah diyakini
berdampak buruk pada ekonomi Bali, termasuk pada industri pariwisata Bali. Perubahan pola
pengelolaan harus dilakukan secara cepat, masif dan terstruktur.
Solusi Yang Ditawarkan Berupa:
Solusi jangka pendek diantaranya Kelian (ketua) Banjar Pesanggaran dan Pecalang
bersedia membuka kembali akses jalan masuk untuk truk pengangkut sampah menuju TPA
Sarbagita Suwung yang sebelumnya sempat ditutup selama tiga hari. Menghentikan
sementara pembuangan sampah dari Pemkab Tabanan, Pemkab Badung, dan Pemkab
Gianyar ke TPA Sarbagita Suwung. Menyiapkan lahan aset Pemprov Bali yang berada di
wilayah selatan dan utara Kabupaten Badung dijadikan TPA sampah. Apabila lahan sudah
ada maka Pemkab Badung diminta segera mengalihkan pembuangan sampah dari TPA
Suwung ke lokasi TPA yang baru.
Solusi jangka menengah di antaranya membangun TPA baru dengan luasan areal dan
teknologi yang memadai. Meningkatkan kapasitas pengangkutan dan pengolahan sampah
melalui penambahan armada angkutan sampah, alat-alat berat pengolahan sampah, dan alat-
alat pemadaman kebakaran sampah. Solusi jangka panjangnya melanjutkan pembangunan
Pengolahan Sampah Energi Listrik (PSEL) di TPA Sarbagita Suwung yang prosesnya sudah
dimulai 2019 ini. Mempercepat penyelesaian regulasi yang mengatur pengolahan sampah
berbasis rumah tangga dan desa untuk mengurangi pembuangan sampah ke TPA.

Anda mungkin juga menyukai