Anda di halaman 1dari 91

REKALKULASI SISTEM HIDROLIK

PADA PESAWAT TERBANG HAWK 100/200

Tugas Akhir

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


memperoleh gelar Sarjana Teknik
Jurusan Teknik Mesin

Diajukan oleh :

YOHANES KRISTIAN WIDIARSO


NIM : 045214012

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN


JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008

i
RECALCULATION OF HYDRAULIC SYSTEM
IN HAWK AIRCRAFT 100/200

Final Project

Presented as partitial fulfilment of the requirement


as to obtain the Sarjana Teknik degree
in Mechanical Engineering

by

YOHANES KRISTIAN WIDIARSO


Student Number : 045214012

MECHANICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM


MECHANICAL ENGINEERING DEPARTMENT
SCIENCE AND TECHNOLOGY FACULTY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
2008

ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 1 Juli 2008

Penulis

Yohanes Kistian Widiarso

v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Yohanes Kristian Widiarso

Nomor Mahasiswa : 045214012

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan


Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
REKALKULASI SISTEM HIDROLIK PADA PESAWAT TERBANG HAWK
100/200
beserta perangkat yang diperlukan ( bila ada ). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 22 Agustus 2008

Yang menyatakan

Yohanes Kristian Widiarso

vi
ABSTRAK

REKALKULASI SISTEM HIDROLIK


PADA PESAWAT TERBANG HAWK 100/200

Yohanes Kristian Widiarso


NIM : 045214012
Fakultas Sains dan Teknologi USD
Yogyakarta
2008

Sistem hidrolik memiliki peranan yang penting pada pengoperasian


pesawat terbang hawk, mulai pada saat di darat sampai pesawat terbang sudah
terbang. Sistem hidrolik digunakan untuk mengoperasikan beberapa komponen
yakni aileron, tail plane, rudder, air brake, flap, landing gear, dan wheel brake.
Melihat pentingnya keberadaan sistem hidrolik, maka dilakukan
perhitungan ulang secara sederhana untuk melihat gambaran secara sederhana
perancangan sistem hidrolik pada pesawat hawk 100/200.
Oleh karena itu perlu dilakukan perhitungan dengan mencari viskostias
dinamik pada tekanan kerja dan jangkauan suhu tertentu, seberapa besar daya
pompa yang digunakan, seberapa besar gaya-gaya yang dihasilkan pada aktuator-
aktuator, seberapakah ukuran diameter minimal untuk batang piston untuk
menahan gaya pada aktuator tersebut, dan berapakah ketebalan pipa dan ketebalan
silinder aktuator yang dibutuhkan.

vii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan

karuniaNya, sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. Tugas akhir ini adalah

sebagian persyaratan untuk mencapai derajat sarjana S-1 program studi Teknik

Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma.

Penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dalam judul “ Rekalkulasi

Sistem Hidrolik Pada Pesawat Terbang Hawk 100/200“ ini karena adanya

bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini perkenankan

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Romo Ir. Greg. Heliarko, S.J, S.S, B.S.T., M.A., M.Sc. selaku Dekan

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Budi Sugiharto S.T, M.T., selaku Kaprodi Teknik Mesin.

3. Bapak Ir. Rines, M.T., selaku Dosen Pembimbing tugas akhir yang telah

memberikan bimbingan dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

4. Bapak Kolonel Pnb Dody Trisunu selaku Komandan Lanud Pekanbaru

yang telah memberikan ijin pengambilan data.

5. Bapak Letkol Pnb Nana Resmana, Bapak Letkol Tek Nawa Permana yang

telah banyak membantu dalam pengambilan data.

6. Bapak Kapten Tek Slamet Riyanto, Bapak Kapten Tek Agung Riadi,

Bapak Lettu Tek M. Yamin Zebua, Bapak Lettu Tek Tisna Wijaya yang

telah banyak membimbing dalam memahami sistem hidrolik dan

pengambilan data.

viii
7. Bapak Ir. FX. Agus Unggul Santosa selaku Dosen Pembimbing

Akademik.

8. Segenap Dosen di Jurusan Teknik Mesin, yang telah membimbing penulis

selama kuliah di Universitas Sanata Dharma.

9. Bapak Y. Sarwoto, Ibu Manisah, Antonius Arief, dan Ign. Widi Nugroho

yang memberi doa, dorongan mental dan semangat kepada penulis.

10. Semua rekan-rekan mahasiswa TM 2004.

11. Beny, Andy, Laras, Deean, Ncush yang telah banyak membantu dalam

penyelesaian Tugas Akhir ini.

12. Serta semua pihak yang telah membantu atas terselesainya Tugas Akhir ini

serta yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari dalam pembahasan masalah ini masih jauh dari

sempurna, maka penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran yang

membangun.

Semoga naskah ini berguna bagi mahasiswa Teknik Mesin dan pembaca

lainnya. Jika ada kesalahan dalam penulisan naskah ini penulis minta maaf yang

sebesar-besarnya, terima kasih.

Yogyakarta, 1 Juli 2008

Yohanes Kristian Widiarso

ix
DAFTAR ISI
Halaman judul.................................................................................................. i
Title page........................................................................................................... ii
Pengesahan ....................................................................................................... iii
Pernyataan ........................................................................................................ v
Abstraksi ........................................................................................................... vi
Kata pengantar................................................................................................. vii
Daftar isi............................................................................................................ ix
Daftar gambar .................................................................................................. xi
Daftar tabel ....................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1
1.1 Latar belakang........................................................................... 1
1.2 Perumusan masalah................................................................... 1
1.3 Batasan masalah ........................................................................ 2
1.4 Tujuan ....................................................................................... 2

BAB II DASAR TEORI .......................................................................... 3


2.1 Pendahuluan .............................................................................. 3
2.1.1 Fluida hidrolik.................................................................. 3
2.1.2 Pesawat Hawk 100/200.................................................... 4
2.1.3 Sistem hidrolik pada pesawat Hawk 100/200.................. 9
2.2 Dasar-dasar perhitungan............................................................ 28
2.2.1 Hubungan viskositas dinamik, viskositas kinematik dan
massa jenis ....................................................................... 28
2.2.2 Hubungan massa jenis terhadap suhu .............................. 28
2.2.3 Hubungan massa jenis terhadap tekanan ......................... 29
2.2.4 Hubungan massa jenis terhadap suhu dan tekanan.......... 30
2.2.5 Hukum Pascal dan pengalihan gaya hidrolik................... 31
2.2.6 Perhitungan daya pompa.................................................. 33
2.2.7 Perhitungan ketebalan pipa/ silinder................................ 33

x
2.2.8 Perhitungan tegangan....................................................... 35
2.2.9 Perhitungan gaya kritis penyebab buckling ..................... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................... 38


3.1 Metode pengumpulan data ........................................................ 38
3.2 Pengumpulan data ..................................................................... 39
3.3 Analisis data .............................................................................. 39
3.4 Kesimpulan ............................................................................... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 41


4.1 Kalkulasi fluida ......................................................................... 41
4.2 Kalkulasi daya dan efisiensi pompa .......................................... 49
4.3 Kalkulasi gaya aktuator............................................................. 51
4.3.1 Aileron ............................................................................. 51
4.3.2 Tail plane ......................................................................... 52
4.3.3 Rudder.............................................................................. 53
4.4 Kalkulasi ketebalan pipa ........................................................... 53
4.4.1 Pipa aliran hisap............................................................... 54
4.4.2 Pipa aliran balik ............................................................... 55
4.4.3 pipa aliran tekanan ........................................................... 56
4.5 Kalkulasi diameter batang piston .............................................. 57
4.6 Kalkulasi ketebalan silinder aktuator ........................................ 59
4.7 Kalkulasi buckling..................................................................... 61

BAB V PENUTUP ................................................................................... 65


5.1 Kesimpulan .............................................................................. 65
5.2 Saran ......................................................................................... 66
Daftar pustaka.................................................................................................. 67
Lampiran .......................................................................................................... 68

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Komponen pengguna hidrolik...................................................... 5

Gambar 2.2. Pergerakan rolling........................................................................ 6

Gambar 2.3. Pergerakan pitching...................................................................... 7

Gambar 2.4. Pergerakan yawing ....................................................................... 8

Gambar 2.5. Sistem hidrolik utama .................................................................. 10

Gambar 2.6. Reservoir ...................................................................................... 6

Gambar 2.7. EDP .............................................................................................. 14

Gambar 2.8. Package assembly ........................................................................ 15

Gambar 2.9. Accumulator ................................................................................. 17

Gambar 2.10. Shut-off valve................................................................................ 18

Gambar 2.11. Q-feel system ................................................................................ 19

Gambar 2.12. Komponen q-feel system .............................................................. 21

Gambar 2.13. Mekanisme pergerakan rudder .................................................... 22

Gambar 2.14. Diagram fungsional rudder PCU ................................................. 23

Gambar 2.15. Rudder PCU ................................................................................. 24

Gambar 2.16. Aileron PCU................................................................................. 25

Gambar 2.17. Tail plane PCU ............................................................................ 26

Gambar 2.18. Analogi hukum Pascal.................................................................. 31

Gambar 2.19. Pengalihan gaya hidrolik.............................................................. 32

Gambar 2.20. Penampang pipa/ silinder ............................................................. 34

Gambar 2.21. Distribusi tegangan....................................................................... 36

Gambar 2.22. Kolom yang mengalami buckling ................................................ 36

xii
Gambar 2.23. Nilai panjang efektif menurut beberapa kondisi .......................... 37

Gambar 3.1. Skema jalannya penelitian............................................................ 38

Gambar 4.1. Grafik hubungan suhu dan massa jenis........................................ 44

Gambar 4.2. Grafik massa jenis Aeroshell Fluid 41 pada berbagai suhu dan

tekanan ......................................................................................... 47

Gambar 4.3. Grafik hubungan viskositas dinamik dengan suhu....................... 49

Gambar 4.4. Grafik efisiensi pompa piston ...................................................... 51

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Nilai βt untuk minyak. .................................................................. 29

Tabel 2.2. Nilai ℵ untuk minyak. ................................................................. 30

Tabel L. 1 Sifat Fluida AeroshellFluid 41. .................................................... 69

Tabel L. 2 U.S Standard Atmosphere, 1962.................................................. 72

Tabel L. 3 Kemampuan terbang pesawat hawk............................................. 73

Tabel L. 4 Spesifikasi pompa ........................................................................ 73

Tabel L. 5 Spesifikasi reservoir..................................................................... 73

Tabel L. 6 Spesifikasi accumulator ............................................................... 74

Tabel L. 7 Spesifikasi aileron PCU............................................................... 74

Tabel L. 8 Spesifikasi tail plane PCU ........................................................... 74

Tabel L. 9 Spesifikasi rudder PCU ............................................................... 75

Tabel L. 10 Spesifikasi filter pada flying control ............................................ 75

Tabel L. 11 Spesifikasi filter pada return........................................................ 75

Tabel L. 12 Ukuran pipa.................................................................................. 76

Tabel L. 13 Ukuran pipa produksi Parker ....................................................... 77

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem hidrolik memiliki peranan yang penting pada pengoperasian

pesawat terbang hawk, mulai pada saat di darat sampai pesawat terbang sudah

terbang. Sistem hidrolik digunakan untuk mengoperasikan beberapa komponen

yakni aileron, tail plane, rudder, air brake, flap, landing gear, dan wheel brake.

Melihat pentingnya keberadaan sistem hidrolik, maka dilakukan

perhitungan ulang secara sederhana untuk melihat gambaran secara sederhana

perancangan sistem hidrolik pada pesawat hawk 100/200.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam sistem hidrolik banyak komponen yang digunakan, mulai komponen

yang berfungsi sebagai sumber daya (pompa), komponen pengatur arah aliran,

komponen pengatur tekanan, dan komponen yang sebagai pengguna daya tersebut

(aktuator).

Sistem hidrolik ini menggunakan sebuah pompa piston dengan kecepatan

putar 6000 rpm dan dengan debit 8 gpm yang beroperasi pada tekanan 3000 psi

dapat menghasilkan daya tertentu pada silinder aktuatornya. Daya yang disalurkan

tersebut menghasilkan gaya yang dapat menyebabkan terjadinya buckling pada

batang piston, sehingga diameter minimum piston perlu ditentukan. Pada batas

maksimum tekanan operasi, dibutuhkan ketebalan tertentu pada pipa, silinder

aktuator.

1
2

1.3. Batasan masalah

Dalam tugas akhir ini rekalkulasi hanya dilakukan pada flying control sistem

hidrolik utama seperti aileron, tailplane, rudder. Tidak dilakukan rekalkulasi

terhadap Q-feel aktuator dan Q-feel amplifier, flap, airbrake, wheelbrake, dan

landing gear.

Rugi-rugi tekanan akibat gesekan pipa, belokan, percabangan, penyempitan,

pembesaran dan kebocoran pada celah-celah kecil (misal pada piston aktuator)

tidak masuk dalam perhitungan.

1.4. Tujuan

1. Menentukan massa jenis fluida Aeroshell Fluid 41 pada tekanan kerja dan

jangkauan suhu operasi.

2. Menentukan viskositas dinamik fluida Aeroshell Fluid 41 pada tekanan

kerja dan jangkauan suhu operasi.

3. Menentukan daya dan efisiensi pompa.

4. Menentukan gaya pada aktuator flying control.

5. Menentukan diameter minimal batang piston pada aktuator dan

menentukan gaya kritis yang dapat menyebabkan buckling.

6. Menentukan diameter pipa dan diameter silinder aktuator.


BAB II

DASAR TEORI

2.1 Pendahuluan

2.1.1 Fluida Hidrolik

Dalam penggunaan fluida sebagai suatu sistem, terdapat 2 macam sistem

fluida menurut kegunaannya, yakni sistem transport fluida dan sistem daya fluida.

Sistem transport fluida merupakan sistem yang dirancang untuk

menghantarkan fluida dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Penggunaan sistem ini

misalnya pada stasiun pemompaan air ke rumah-rumah, saluran-saluran gas, dan

sistem penghantaran fluida dalam pemrosesan kimia.

Sistem daya fluida merupakan suatu sistem yang dirancang khusus untuk

melakukan usaha atau kerja. Penggunaan sistem ini misalnya pada mesin pres,

pengontrolan pesawat terbang, sistem pengereman, dan lain-lain.

Fluida hidrolik merupakan material yang sangat penting dalam suatu sistem

hidrolik. Sifat-sifat dari fluida hidrolik mempunyai pengaruh yang sangat besar

dalam performa suatu sistem dan umur suatu komponennya.

Secara esensial fluida hidrolik mempunyai 4 fungsi utama, yakni :

a. Untuk menyalurkan daya

b. Untuk melumasi komponen yang bergerak

c. Untuk menutupi celah antar komponen

d. Untuk menghilangkan panas

3
4

Selain harus dapat melakukan 4 fungsi utama, fluida hidrolik harus memiliki sifat-

sifat berikut, yakni :

a. Mempunyai sifat pelumasan yang baik, sehingga keausan dari bagian-

bagian yang bergerak dapat diperkecil. Sifat pelumasan yang baik ini harus

tetap dimiliki meskipun mengalami perubahan suhu dan tekanan.

b. Mempunyai kekentalan yang ideal, karena kekentalan yang terlalu tinggi

akan menimbulkan kehilangan daya yang cukup besar akibat gesekan.

c. Memiliki titik nyala dan titik api yang tinggi. Titik nyala dan titik api yang

tinggi berarti fluida mampu bekerja pada suhu yang tinggi.

d. Memiliki massa jenis yang rendah. Hal ini dikarenakan semakin kecil

massa jenis fluida semakin kecil pula kerugian yang ditimbulkan, misalnya

gesekan. Hal ini terjadi karena massa jenis sangat mempengaruhi

viskositas dinamik atau viskositas kinematik dari fluida.

e. Mempunyai ketahanan untuk tidak berbusa. Kecenderungan berbusa

berarti kecenderungan terjadinya buih sehingga memungkinkan timbulnya

gelembung-gelembung udara pada fluida. Gelembung-gelembung udara

selain akan menyebabkan korosi pada komponen akan menyebabkan

berkurangnya daya yang dapat disalurkan oleh fluida.

2.1.2 Pesawat Hawk 100/200

Pesawat Hawk 100/200 menggunakan tenaga hidrolik untuk menggerakkan

beberapa komponen yang penting dan membutuhkan daya yang cukup besar. Hal

ini dikarenakan daya yang dibutuhkan cukup besar sehingga tidak mungkin hanya
5

dilakukan secara mekanisme saja. Apalagi beberapa komponen itu digunakan

secara bersamaan. Beberapa komponen tersebut adalah aileron, tail plane, rudder,

air brake, flap, landing gear, dan wheel brake. Letak dari komponen komponen

pengguna daya hidrolik tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.1. Komponen pengguna hidrolik

A. Aileron

Aileron merupakan suatu komponen yang berfungsi untuk menghasilkan

gerakan berputar (rolling) searah atau berlawanan jarum jam suatu pesawat jika

dilihat dari depan. Ada 2 aileron pada pesawat, yakni aileron kiri dan aileron

kanan. Pergerakan aileron kiri dan aileron kanan adalah saling berlawanan.
6

Dengan kata lain ketika pesawat berputar ke searah jarum jam (dilihat dari depan)

maka aileron kiri bergerak naik dan aileron kanan bergerak turun. Gambar 2.8

menunjukkan pergerakan rolling dari suatu pesawat.

Gambar 2.2. Pergerakan rolling

B. Flap

Semakin cepat suatu pesawat melaju, maka semakin besar pula gaya

angkatnya. Namun ketika kelajuannya masih lambat maka perlu suatu alat untuk

memperbesar gaya angkatnya. Flap merupakan komponen yang berfungsi untuk

menaikkan gaya angkat (lift force). Contohnya adalah pada saat pendaratan

(landing) dibutuhkan kecepatan yang lambat namun masih memiliki gaya angkat

yang cukup. Meskipun ada 2 flap yakni disebelah kiri dan sebelah kanan, namun

pergerakan flap kiri dan kanan adalah serempak, sehingga flap kiri dan kanan

dirancang menjadi satu kesatuan.


7

C. Tail plane

Tail plane merupakan komponen yang berfungsi untuk mengatur turun atau

naiknya suatu pesawat (pitching) jika dilihat dari arah samping. Gambar 2.9

menunjukkan pergerakan pitching suatu pesawat.

Gambar 2.3. Pergerakan pitching

D. Rudder

Rudder merupakan suatu komponen yang berfungsi untuk mengatur

pergerakan pesawat kekiri atau kekanan (yawing) bila dilihat dari atas. Gambar

2.10 menunjukkan pergerakan yawing dari pesawat.

E. Air Brake

Air brake merupakan alat pengereman pesawat dengan menggunakan gaya

drag untuk menghambat laju pesawat ketika pesawat sudah mendarat / sudah

menyentuh landasan.
8

Gambar 2.4. Pergerakan yawing

F. Wheel Brake

Wheel brake merupakan alat pengereman pada batang pistona pesawat,

namun hanya pada 2 batang pistona belakang saja. Wheel brake digunakan pada

saat pendaratan, atau untuk mengubah arah berjalannya pesawat ketika sedang

berjalan di landasan.

G. Landing Gear

Landing gear adalah suatu alat yang mempunyai mekanisme untuk menurunkan /

menaikkan batang pistona ke dalam / ke luar badan pesawat (fuselage).

Digunakan ketika pesawat akan mendarat atau setelah lepas landas.


9

2.1.3 Sistem Hidrolik pada Pesawat Hawk 100/200

Pesawat Hawk 100/200 memiliki sistem hidrolik yang berfungsi untuk

melayani beberapa komponen antara lain aileron, flap, tail plane, rudder, air

brake, wheel brake dan landing gear. Daya hidrolik disediakan atau dipbatang

pistonuksi oleh dua buah pompa (engine driven unit / EDP) yang memiliki sistem

sendiri-sendiri dan tidak saling mempengaruhi. Selanjutnya kedua sistem tersebut

disebut sistem hidrolik utama dan sistem hidrolik cadangan.

Sistem hidrolik cadangan merupakan backup dari sistem hidrolik utama

tetapi meskipun hanya sebagai backup, namun sistem tersebut tetap bekerja dalam

kondisi normal (kondisi dimana sistem hidrolik utama bekerja dengan baik). Hal

ini dikarenakan apabila sistem hidrolik utama bermasalah (fail) sudah tersedia

sistem hidrolik cadangan tanpa harus menunggu beberapa saat. Sedangkan sistem

hidrolik cadangan terhubung dengan ram air turbine (RAT) driven pump yang

merupakan sistem emergency dan akan bekerja ketika sistem hidrolik cadangan

bermasalah (fail).

Sistem Hidrolik Utama

Sistem hidrolik utama menyediakan daya untuk seluruh kebutuhan yakni :

aileron, tail plane, rudder, air brake, flap, landing gear, wheel brake. Aileron, tail

plane, rudder pada sistem hidrolik utama disebut sebagai flying controls.

Sedangkan air brake, flap, landing gear, wheel brake disebut sebagai general

services. Gambar 2.5 menunjukkan sistem hidrolik utama.


Gambar 2.5. Sistem hidrolik utama

10
11

Keterangan Gambar 2.5 :

1. Reservoir 10. Reservoir nitrogen PRV

2. Engine driven pump ( EDP ) 11. Hand pump

3. Package assembly 12. Pressure relief valve

( i ) Non-return valve 13. Non-return valve

( ii ) Pressure relief valve 14. Accumulator nitrogen charging

( iii ) Pressure maintaining valve valve

( iv ) Non-return valve 15. Accumulator pressure gauge

( v ) Non-return valve 16. Ground pressure coupling

4. Accumulator 17. Ground suction coupling

5. Pressure switch 18. Case drain ( reservoir fluid

6. Flying control filter replenishment ) coupling

7. Pressure transducer 19. Reservoir bleed valve

8. Return filter 20. Reservoir nitrogen charging valve

9. Reservoir fluid PRV 21. Non-return valve


12

Dalam suatu sistem hidrolik, jumlah (kuantitas) fluida kerja (minyak) perlu

mendapat perhatian yang khusus. Hal ini dikarenakan fluida inilah yang akan

digunakan untuk menyalurkan daya ke beberapa komponen. Fluida kerja tersebut

akan disirkulasikan ke seluruh sistem yang ada, namun harus tetap ada yang

disimpan dalam tempat penampungan yang disebut reservoir. Gambar 2.6

menunjukkan reservoir jenis piston pada sistem hidrolik pesawat Hawk.

Gambar 2.6. Reservoir

Reservoir jenis piston adalah reservoir yang fluida dan nitrogennya dibatasi

oleh sebuah piston yang dapat bergerak bebas. Fluida kerja berada pada ruang

sebelah atas piston dan nitrogen berada di bawahnya. Fluida kerja pada reservoir

akan memiliki tekanan sebesar ± 80 psi pada awalnya, hal ini dikarenakan pada

reservoir terdapat nitrogen yang menekan piston keatas dan bertekanan ± 80 psi.
13

Pada saat sistem telah berkerja/ berjalan maka pada suction line akan mengalirkan

fluida dengan tekanan kurang dari 80 psi. Tetapi tekanan tersebut tidak boleh

lebih kecil dari suction pressure yang dibutuhkan oleh pompa yakni sebesar 27

psi. Pada reservoir jenis piston ini terdapat 4 empat buah port connection. Yakni

port connection untuk bleed, nitrogen, return, dan suction.

Bleed connection merupakan port untuk menyalurkan fluida menuju ke

reservoir bleed valve. Sedangkan reservoir bleed valve merupakan katup untuk

membuang fluida secara manual jika terjadi kelebihan tekanan pada reservoir.

Nitrogen connection merupakan port yang menghubungkan ruang nitrogen

dalam reservoir dengan port pengisian nitrogen dan pressure relief valve.

Pengisian nitrogen adalah sebesar 80 psi. Tetapi bisa terjadi kenaikan tekanan

karena terjadi pemanasan pada fluida yang akan mengakibatkan volume dari

fluida akan bertambah. Penambahan volume fluida akan membawa dampak

kenaikan tekanan pada nitrogen. Tetapi peningkatan tekanan tersebut hanya bisa

terjadi sampai sebesar 120 psi. Karena terdapat pressure relief valve yang akan

membebaskan nitrogen ke atmosfir jika tekanan melebihi 120 psi.

Return connection adalah jalur untuk menyalurkan fluida kembali ke

reservoir. Fluida sebelum masuk ke reservoir dilewatkan ke filter terlebih dahulu

untuk menyaring partikel-partikel yang ikut bersirkulasi.

Suction connection adalah jalur untuk menyalurkan fluida ke pompa yang

selanjutnya disalurkan ke sistem. Pompa yang dimaksud adalah EDP dan hand

pump.
14

Pada saluran suction terdapat sebuah ground suction coupling and pressure

relief valve. Ground suction coupling berfungsi untuk menyalurkan fluida ke

pompa ketika sistem sedang dalam perawatan. Sedangkan pressure relief valve

berfungsi mencegah kenaikan tekanan fluida kerja pada jalur suction melebihi 120

psi.

Engine driven pump (EDP) merupakan sebuah pompa yang digerakkan oleh

mesin (engine) dari pesawat. EDP beroperasi pada kecepatan putaran 6000 rpm

dan akan menghasilkan tekanan sebesar 3000 psi dengan kecepatan alir fluida

sebesar 8 gpm. , dan memiliki minimum suction pressure sebesar 27 psi. EDP

akan memompakan fluida kerja menuju ke package assembly yang akan membagi

penyaluran fluida kerja ke beberapa penggunaan. EDP memiliki 3 buah port

connection yakni suction connection, case drain connection dan pressure

connection. Port connection pada EDP dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. EDP

Suction connection (inlet) merupakan jalur masuk fluida pada pompa yang

berasal dari reservoir. Case drain connection merupakan jalur keluar fluida yang

mengalami internal cavitasi pada saat di pompa. Sedangkan pressure connection


15

(outlet) merupakan jalur keluar fluida dari pompa yang akan digunakan untuk

mengoperasikan beberapa komponen di pesawat.

Fluida setelah dari pompa secara normal akan dialirkan ke package assembly

yang nantinya digunakan untuk menggerakkan komponen. Package assembly

ditunjukkan oleh Gambar 2.8. Pada saluran masuk package assembly terdapat

sebuah check valve yang berfungsi menahan aliran fluida kembali ke pompa.

Setelah check valve terdapat ground pressure coupling dan pressure relief valve.

Gambar 2.8. Package assembly

Ground pressure coupling adalah jalur aliran tekanan fluida ketika terjadi

perawatan dan menggunakan pompa eksternal ( bukan EDP atau hand pump )

sebagai penghasil tekanan-nya. Pressure relief valve pada package assembly

berfungsi untuk menjaga agar tekanan-nya tidak melebihi 3400 psi. Jika tekanan

yang terjadi melebihi 3400 psi, maka pressure relief valve akan membuka

jalurnya dan akan mengalirkan fluida kembali ke reservoir. Selain itu, pada

package assembly juga terdapat pressure maintaining valve dan 2 buah check

valve.
16

Bahwa pada dasarnya flying control lebih diutamakan dari pada general

services, oleh karena itu kebutuhan tekanan pada flying control selalu dilebih

utamakan dari pada kebutuhan tekanan pada general services mengingat

kebutuhan tekanan pada general services adalah tidak setiap saat. Pressure

maintaining valve adalah sebuah alat yang berfungsi menjaga ketersediaan

tekanan pada flying control, meskipun letaknya pada jalur aliran ke general

services. Jalur pada pressure maintaining valve akan menutup jika tekanan turun

sampai 1400 psi, sehingga aliran fluida hanya akan dialirkan ke flying control.

Sedangkan jika aliran fluida naik mencapai 1600 psi, maka jalur pada pressure

maintaining valve akan membuka kembali sehingga fluida dapat mengalir ke

general services. Setelah melewati pressure maintaining valve, fluida akan

melewati check valve yang akan mencegah aliran fluida kembali ke dalam

package assembly mengingat jalur pada pressure maintaing valve selalu terbuka

pada saat tekanan lebih dari 1600 psi. Dan pada jalur menuju flying control

terdapat check valve yang akan mencegah aliran fluida kembali ke package

assembly.

Setelah keluar dari package assembly, fluida yang menuju ke flying control

akan melewati sebuah jalur yang terhubung dengan accumulator. Accumulator

yang digunakan adalah jenis piston. Accumulator mempunyai 2 port yakni port

fluida dan port nitrogen. Port nitrogen menghubungkan accumulator dengan

accumulator nitrogen charging valve dan accumulator pressure gauge.

Accumulator diisi nitrogen hingga tekanannya mencapai 1100 psi. Accumulator

ditunjukkan dengan Gambar 2.9. Accumulator sendiri berfungsi untuk menaikkan


17

tekanan secara cepat ketika permintaan/ penggunaan tekanan bertambah (terjadi

perubahan volume yang tiba-tiba pada actuator). Dengan kata lain accumulator

berfungsi untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menaikkan tekanan ke

angka tertentu ketika terjadi penggunaan tekanan dibandingkan dengan hanya

menggunakan pompa saja. Setelah melewati jalur accumulator, fluida akan masuk

ke dalam filter yang berfungsi menyaring partikel-partikel yang terbawa bersama

fluida dengan ukuran lebih besar dari 5 mikron sebelum diteruskan ke actuator

pada flying control.

Gambar 2.9. Accumulator

Setelah melewati filter fluida akan melewati pressure switch dimana tekanan

dari fluida akan digunakan sebagai suatu mekanisme untuk menghidupkan/

mematikan lampu indikator. Jika tekanan fluida lebih kecil dari 1250 psi, maka

pressure switch akan menyalakan lampu indikator hidrolik utama pada cockpit

sebagai tanda bahwa mengalami gangguan/ masalah. Tetapi pada saat tekanan

naik dan mencapai 1400 psi, lampu indikator akan mematikan lampu indikator.

Setelah melewati pressure switch fluida akan melewati pressure tranducer

yang akan membaca besarnya tekanan yang terjadi dan menampilkannya pada

pressure gauge.
18

Setelah melewati pressure transducer fluida aliran fluida akan dibagi

menjadi dua yakni sebagian akan diairkan ke aileron PCU dan tail plane PCU dan

sebagian ke shut-off valve. Fluida yang ke arah shut-off valve akan digunakan

untuk menyuplai rudder dan q-feel system.

Shut-off valve merupakan directional control valve yang dioperasikan

dengan menggunakan solenoid valve dan tekanan fluida (pilot operated). Solenoid

yang energized dan de-energised akan mengubah jalur aliran fluida sehingga

posisi dari directional control valve pilot operated-pun ikut berubah. Gambar 2.10

menunjukkan posisi shut-off valve dengan solenoid yang energised dan de-

energised.

SHUT-OFF VALVE

SHUT-OFF VALVE

Energised Solenoid De-energised Solenoid

Gambar 2.10. Shut-off valve

Shut-off valve dengan solenoid yang energized akan mengalirkan aliran

fluida ke rudder dan q-feel system. Sedangkan pada shut-off valve dengan

solenoid yang de-energised akan menutupi aliran fluida yang menuju ke rudder

dan q-feel system sehingga rudder dan q-feel system tidak berfungsi.
19

Q-feel system merupakan suatu system yang berfungsi untuk menghaluskan

gaya yang dirasakan kaki akibat pergerakan rudder yang menimbulkan defleksi

karena tekanan angin dan kecepatan angin dan membantu meringankannya. Q-feel

system ditunjukkan oleh Gambar 2.11. Komponen utama pada q-feel system

adalah q-feel amplifier dan q-feel jack. Q-feel amplifier merupakan komponen

pengolah tekanan yang berasal dari udara untuk mengatur arah aliran dari fluida

yang akan menuju ke q-feel jack. Q-feel amplifier mempunyai 5 jalur tekanan

yakni pitot pressure, static pressure, return pressure, supplay pressure, control

pressure (q-feel signal).

Gambar 2.11. Q-feel system

Sedangkan q-feel jack merupakan sebuah actuator yang memakai q-feel

signal dan return pressure sebagai daya penggeraknya. Ada kalanya q-feel signal

pressure lebih kecil dari pada return pressure sehingga akan membuat q-feel jack
20

memanjang (extend). Sedangkan jika q-feel signal pressure lebih besar dari pada

return pressure maka q-feel jack akan memendek (retract). Q-feel amplifier dan

q-feel jack ditunjukkan oleh Gambar 2.12. Pitot pressure yang merupakan tekanan

yang didapat dari kecepatan udara pada saat pesawat bergerak. Sedangkan static

pressure merupakan tekanan dari atmosfir. Pitot pressure dan static pressure akan

masuk ke dalam ruangan yang dibatasi oleh sebuah membran diafragma. Pitot

pressure akan menekan membran diafragma tersebut ke bawah sedangkan static

pressure akan menekan membran diafragma tersebut ke arah atas. Hasil tekan

menekan pitot pressure dan static pressure akan menggerakkan diafragma yang

pada bagian tengah terhubung dengan katub yang merupakan jalur aliran fluida

menuju ke q-feel jack. Ketika pitot pressure terlalu besar atau dengan kata lain

pesawat terbang dengan kecepatan tinggi, maka tekanan ke bawah pada diafragma

kurang mampu diimbangi oleh tekanan ke atas akibat static pressure sehingga

directional control valve pada q-feel amplifier akan bergerak ke bawah sehingga

jalur aliran fluida yang menuju ke q-feel jack akan terbuka dan q-feel jack akan

memendek (retract). Namun jika tekanan yang terjadi pada jalur kearah q-feel

jack terlalu besar maka valve akan tertekan ke atas karena tekanan fluida

dibawahnya sehingga akan menutup jalur dari arah supply pressure. Ketika jalur

dari supply pressure tertutup dan pada pitot pressure memiliki tekanan yang kecil

atau dengan kata lain pesawat sedang terbang dengan kecepatan rendah maka

tekanan pada jalur q-feel jack akan melawan gaya kebawah dari diafragma dan

membuka failsafe valve sehingga aliran fluida pada jalur q-feel jack dapat

dibebaskan dan kembali ke return.


21

Gambar 2.12. Komponen q-feel system

Gambar 2.13 menunjukkan mekanisme kerja yang terjadi pada penggerakan

rudder. Memendek ataupun memanjangnya q-feel jack akan menggerakkan

control batang piston P naik atau turun. Naik atau turun dari control batang

piston P akan digunakan untuk membantu meringankan kerja yang diberikan oleh

pilot’s input lever menggerakkan untuk menggerakkan control batang piston Q

yang terhubung dengan rudder PCU.

Fluida sebelum didistribusikan ke dalam sistem rudder dilewatkan dalam

sebuah filter yang digunakan untuk menyaring partikel-partikel yang akan

mengganggu kinerja dari system. Tekanan dari fluida disalurkan ke 4 komponen

yakni pilot’s input lever assembly, main valve assembly, by-pass valve assembly

dan EH servo valve.


22

Gambar 2.13. Mekanisme pergerakan rudder

Control batang piston P pada Gambar 2.13 merupakan lengan yang

menggerakkan pilot’s input lever assembly pada Gambar 2.14. Pada pilot’s input

lever assembly terdapat sebuah piston yang berfungsi sebagai pengatur

mekanisme kerja dari rudder PCU. Rudder PCU dapat dioperasikan secara

manual mekanisme ataupun dengan daya fluida. Sehingga ketika sistem hidrolik

utama tidak dapat beroperasi secara normal maka rudder tetap dapat difungsikan

tetapi dengan mekanisme manual yakni pergerakan tanpa menggunakan daya

hidrolik. Ketika terdapat daya hidrolik yang bekerja pada pilot’s input lever

assembly, maka fluida tersebut akan menekan kedua piston untuk tetap berada di

tengah. Sedangkan jika tidak terdapat daya hidrolik maka kedua piston akan
23

terdorong oleh disk spring yang akan mendorong piston bergerak keluar dan

mengunci pilot’s input lever assembly pada mekanisme manual.

Gambar 2.14 Diagram fungsional rudder PCU

EH servo valve merupakan komponen yang mengatur jalur aliran tekanan

yang menuju ke auto control jack assembly dan besar tekanannya. Komponen ini

beroperasi secara elektronik.

Main valve assembly merupakan directional control valve yang memiliki

layshaft sebagai lengan pengatur posisi spool sehingga jalur fluida dapat diatur.

Jika spool pada main valve assembly digeser ke kiri maka tekanan akan dialirkan

port sebelah kanan dari main jack assembly yang akan membuat main jack

assembly memanjang (extend). Memendek dan memanjangnya main jack

assembly tergantung dari pergerakan pilot’s input lever assembly. Karena pilot’s
24

input lever assembly terhubung secara mekanisme dengan auto control piston

maka ketika pilot’s input lever assembly digerakkan ke kanan maka akan

mendorong input link plates (2) pada Gambar 2.15 ke kanan dan secara

mekanisme akan membuat auto control jack memanjang (lebih panjang dari

kondisi normal). Kondisi auto control jack yang tidak normal (memanjang)

digunakan secara mekanisme untuk menggerakkan layshaft sehingga spool pada

main valve assembly bergeser ke kanan. Dengan bergesernya spool ke kanan

maka akan membuat tekanan mengalir ke port sebelah kanan dari main jack

assembly dan membuat jack tersebut memanjang. Memanjangnya main jack

piston akan membuat pilot’s input lever assembly kembali tegak sehingga auto

control piston kembali ke kondisi atau posisi yang normal sehingga spool pada

main valve assembly kembali ke posisi normal kembali, posisi dimana jalur aliran

fluida tertutup.

Gambar 2.15. Rudder PCU


25

Sedangkan pada aileron, sistem kerja dari aileron PCU ditunjukkan dengan

Gambar 2.16.

Gambar 2.16. Aileron PCU

Tekanan akan selalu standby pada pressure port. Outer lever yang

merupakan penyalur gaya dari gerakan column akan membuat spool (directional

control valve) bergeser sehingga tercipta 2 jalur yakni jalur pressure dan jalur

return. Jalur tersebut akan bergantian tergantung posisi dari spool. Jack (piston)

yang memanjang akan membuat outer lever kembali tegak sehingga spool

menutup jalur pressure dan return.


26

Pada aileron PCU terdapat 2 pressure port dan 2 return port. 2 pressure

port tersebut merupakan tekanan dari sistem hidrolik utama dan sistem hidrolik

cadangan begitu juga dengan 2 return port. Fluida kerja dari sistem hidrolik

utama tidak akan pernah tercampur dengan fluida kerja sistem hidrolik cadangan.

Sedangkan pada tail plane sisstem kerja dari tail plane PCU ditunjukkan

dengan Gambar 2.17.

Gambar 2.17. Tail plane PCU

Tekanan akan selalu standby pada pressure port. Link assembly yang

merupakan penyalur gaya dari gerakan column akan membuat spool (directional

control valve) bergeser sehingga tercipta 2 jalur yakni jalur tekanan (pressure) dan
27

jalur aliran balik (return). Jalur tersebut akan bergantian tergantung posisi dari

spool. Jack (piston/ rambatang piston) yang memanjang akan membuat link

assembly kembali tegak sehingga spool menutup jalur tekanan (pressure) dan

aliran balik (return).

Pada tail plane PCU terdapat 2 pressure port dan 2 return port. 2 pressure

port tersebut merupakan tekanan dari sistem hidrolik utama dan sistem hidrolik

cadangan begitu juga dengan 2 return port. Fluida kerja dari sistem hidrolik

utama tidak akan pernah tercampur dengan fluida kerja sistem hidrolik cadangan.

Selain untuk mensuplai kebutuhan tekanan pada flying control, sistem

hidrolik utama juga munsuplai kebutuhan tekanan pada general services. Namun

sebagai backup untuk penyedia tekanan di general services terdapat pompa tangan

(hand pump) yang mampu memberikan tekanan sampai dengan 2800 psi. Pada

circuit pompa tangan terdapat pressure relief valve yang akan membuang tekanan

yang berlebih ke reservoir dan terdapat check valve yang akan menahan

masuknya fluida dari EDP ke circuit pompa tangan.


28

2.2 Dasar-dasar Perhitungan

2.2.1 Hubungan viskositas dinamik, viskositas kinematik dan massa jenis

Viskositas kinematik merupakan hasil bagi antara viskositas dinamik dengan

massa jenis (Krist, 1991, hal 67).

η
v= (1)
ρ

dengan :

ν = viskositas kinematik, (m2/s) ρ = massa jenis, (kg/m3)

η = viskositas dinamik, (N.s/m2)

2.2.2 Hubungan massa jenis terhadap suhu

Massa jenis suatu fluida akan berubah sesuai dengan suhunya. Semakin

tinggi suhu fluida maka akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan suhu yang tinggi

akan membuat volume fluida menjadi mengembang sedangkan massa dari fluida

tersebut tetap (Krist, 1991, hal 61).

ρ 20
ρt =
1 + β t (t − 20)
(2)

dengan :

ρt = massa jenis pada suhu tertentu, (kg/dm3)

ρ20 = massa jenis standart, (pada suhu 20oC) (kg/dm3)

βt = koefisien koreksi menurut suhu, (1/oC)

t = suhu, (oC)
29

Tabel 2.1. Nilai βt untuk minyak, (Krist, 1991, hal 61)

Massa jenis standart βt

0,88.....0,89 0,00066

0,89.....0,90 0,00065

0,90.....0,91 0,00063

2.2.3 Hubungan massa jenis terhadap tekanan

Massa jenis suatu fluida akan berubah sesuai dengan tekanannya. Semakin

besar tekanan yang bekerja maka massa jenis akan semakin besar. hal ini

dikarenakan tekanan yang tinggi akan membuat volume fluida menjadi mengecil

sedangkan massa dari fluida tersebut tetap (Krist, 1991, hal 61).

ρ 20
ρp = (3)
1 − ℵ p Δp

dengan :

ρp = massa jenis pada tekanan tertentu, (kg/dm3)

ρ20 = massa jenis standart (pada suhu 20oC), (kg/dm3)

ℵ p = faktor kemampumampatan, (Bar-1)

Δp = selisih tekanan, (Bar)


30

Tabel 2.2. Nilai ℵ untuk minyak (Krist, 1991, hal 176)

Tekanan minyak ( bar ) Koefisien kemampumampatan ( x 10-6 )

000 – 050 80,3

050 – 100 79,5

100 – 150 77,5

150 – 200 74,5

200 – 250 71,9

2.2.4 Hubungan massa jenis terhadap suhu dan tekanan

Massa jenis suatu fluida akan berubah sesuai dengan suhu dan tekanannya.

Semakin besar tekanan yang bekerja maka massa jenis akan semakin besar. hal ini

dikarenakan tekanan yang tinggi akan membuat volume fluida menjadi mengecil

sedangkan massa dari fluida tersebut tetap. Namun semakin tinggi suhu fluida

maka akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan suhu yang tinggi akan membuat

volume fluida menjadi mengembang sedangkan massa dari fluida tersebut tetap.

Oleh karena itu suhu dan tekanan akan saling mempegaruhi dalam penentuan

massa jenis suatu fluida (Krist, 1991, hal 62).

ρ = ρ t (1 + ℵ p Δp ) (4)

dengan :

ρ = massa jenis pada tekanan tertentu dan suhu tertentu, (kg/dm3)

ρt = massa jenis pada suhu tertentu, (kg/dm3)

ℵ p = faktor kemampumampatan, (Bar-1)

Δp = selisih tekanan, (Bar)


31

2.2.5 Hukum Pascal dan Pengalihan Gaya Hidrolik

Hukum Pascal mengatakan bahwa ” jika suatu zat cair menerima sebuah

tekanan luar, maka tekanan luar tersebut akan didistribusikan menyebar ke segala

arah secara merata” (Krist, 1991,hal 29). Analogi dari hukum Pascal dapat dilihat

pada Gambar 2.18.


F

d
P P
P P P

Gambar 2.18. Analogi hukum Pascal (Krist, 1991,hal 29)

F
P = (5)
A

dengan :

P = tekanan, (psi)

F = gaya, (lb)

A = luas penampang piston, (in2)

= ¼ π d2

d = diameter piston, (in)


32

Berkembangnya hukum Pascal memungkinkan pengalihan gaya dari suatu posisi

ke posisi yang lain pada satu bejana berhubungan. Analogi pengalihan gaya

hidrolik dapat dilihat pada Gambar 2.19.

F1 F2

P P
A1 A2

Gambar 2.19. Pengalihan gaya hidrolik (Krist, 1991, hal 30)

P1 = P2

F1 F
= 2 (6)
A1 A2

dengan :

P1 = P2 = tekanan, (psi)

F1 = gaya pada penampang 1, (lb)

F2 = gaya pada penampang 2, (lb)

A1 = luas penampang 1, (in2)

A2 = luas penampang 2, (in2)


33

2.2.6 Perhitungan Daya Pompa

Daya teoritis adalah daya yang diperlukan untuk mengalirkan fluida dengan

debit tertentu pada tekanan tertentu, tanpa memperhitungkan rugi-rugi gesekan

pada pompa (Yeaple, 1996, hal 43).

Hpteoritis = 5,82 × 10-4 Qd × ΔP (7)

dengan :

Hpteoritis = daya teoritis, (Hp)

Qd = debit pompa (gpm)

ΔP = selisih tekanan masuk dengan tekanan keluar pompa, (psi)

Daya aktual adalah daya yang diperlukan untuk mengalirkan fluida dengan

debit tertentu pada tekanan tertentu, dengan memperhitungkan rugi-rugi gesekan

pada pompa yang dilihat dari efisiensi total pompa.

Hp teoritis
Daya aktual (hp) = (8)
η total

dengan :

ηtotal = efisiensi total pompa, (%)

2.2.7 Perhitungan Ketebalan Pipa/ Silinder

Untuk menahan tekanan fluida dalam pipa/silinder dibutuhkan ketebalan

tertentu pada diameter tertentu dengan jenis bahan dan kekuatan bahan tertentu

pula. Gambar penampang pipa dapat dilihat pada Gambar 2.20.


34

Din

Dout
Gambar 2.20. Penampang pipa/ silinder

Untuk menentukan ketebalan minimal pipa atau silinder dapat menggunakan

rumus (9) jika diameter yang diketahui adalah diameter luar (Kannappan, 1985).

PDout
t= (9)
2( SE + PY )

dengan :

t = ketebalan pipa atau silinder, (in)

P = tekanan maksimal yang diijinkan, (psi)

Dout = diameter luar atau diameter nominal pipa atau silinder, (in)

S = tegangan tarik yang diijinkan, (psi)

= 30% dari yield strength

E = faktor kualitas

Y = koefisien yang tergantung suhu dan bahan

Namun jika diameter yang diketahui diameter dalam, penentian ketebalan

minimal dapat menggunakan persamaan (10) (Megyesy, 1981, hal 16).


35

PDin
t= (10)
2( SE − 0,6 P)

dengan :

t = ketebalan pipa atau silinder, (in)

P = tekanan maksimal yang diijinkan, (psi)

Din = diameter dalam pipa atau silinder, (in)

S = tegangan tarik yang diijinkan, (psi)

= 30% dari yield strength

E = faktor kualitas

2.2.8 Perhitungan Tegangan

Tegangan adalah gaya yang bekerja pada luasan tertentu (Beer, 2002).

Distribusi tegangan pada suatu batang dapat dilihat pada Gambar 2.21.

F
σ= (11)
A

dengan :

σ = tegangan, (N/m2)

F = gaya, (N)

A = luas penampang yang dikenai gaya, (m2)


36

F
σ=
A

F’ F’

Gambar 2.21. Distribusi tegangan (Beer, 2002)

2.2.9 Perhitungan Gaya Kritis Penyebab Buckling

Sebuah batang jika dikenai gaya tekan pada kedua ujungnya akan

mempunyai kemungkinan terjadi penekukan/pelengkungan jika gaya yang

diberikan melebihi gaya kritis, peristiwa ini disebut buckling. Peristiwa buckling

dapat dilihat pada gambar 2.22.


Fcr

Gambar 2.22. Kolom yang mengalami Buckling (Beer, 2002)


37

Nilai dari gaya kristis dapat diketahui dengan menggunakan persamaam Euler :

π 2 EI
Fcr = (12)
(KLe )2
dengan :

Fcr = gaya kritis, (lb)

E = modulus elastisitas bahan (psi)

I = momen inersia dari batang (in4)

K = faktor panjang efektif menurut kondisi kedua ujung batang

Le = panjang efektif batang, (in)

Nilai panjang efektif batang tergantung dengan kondisi kedua ujung batang. Nilai

panjang efektif suatu batang menurut kondisinya dapat dilihat pada Gambar 2.23.

Gambar 2.23. Nilai panjang efektif menurut beberapa kondisi (Beer, 2002)
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yaitu cara-cara memperoleh data. Metode yang

digunakan untuk mengumpulkan data yaitu studi lapangan dan studi pustaka.

Studi lapangan dilakukan di Pangkalan TNI AU Pekanbaru mulai tanggal 7

Januari 2008 – 17 Februari 2008. Skema jalannya penelitian dapat dilihat pada

Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Skema jalannya rekalkulasi

38
39

3.2 Pengumpulan Data

Adapun data-data yang dikumpulkan adalah :

a. Data silinder aktuator

Silinder aktuator yang dianalisa adalah aileron, rudder, tail plane.

Data yang dibutuhkan adalah data tekanan pada silinder aktuator,

diameter dalam silinder aktuator, diameter batang piston.

b. Data diameter pipa

Data yang dibutuhkan adalah diameter pipa, tekanan maksimum yang

mungkin pada pipa tersebut.

c. Data fluida hidrolik

d. Data pompa dan komponen-komponen dalam sistem hidrolik.

3.3 Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dan dihitung sehingga

memperoleh :

a. Massa jenis dan viskositas dinamik dari fluida yang bersangkutan

pada tekanan kerja dengan jangkauan suhu tertentu.

b. Daya dan efisiensi dari pompa.

c. Gaya-gaya pada aktuator.

d. Diameter minimal batang piston dan gaya kritis yang dapat

menyebabkan terjadinya buckling.

e. Ketebalan pipa dan ketebalan silinder aktuator.


40

3.4 Kesimpulan

Kesimpulan merupakan rangkuman dari hasil analisis yang telah

dilakukan pada bab-bab sebelumnya.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kalkulasi Fluida

Pada sistem hidrolik pesawat, salah satu yang menjadi perhatian dalam

pemilihan fluida kerja dari sistem hidrolik adalah memiliki titik beku yang rendah

dan perubahan viskositas yang relatif kecil terhadap perubahan temperatur.

Fluida kerja harus memiliki titik beku yang rendah. AeroShell Fluid 41

memiliki titik beku -60oC. Hal ini dikarenakan daerah kerja dari fluida ini adalah

-54oC sampai dengan 135oC. Fluida kerja harus memiliki titik beku yang lebih

rendah dari daerah kerja fluida.

Pesawat Hawk 100/200 memiliki kemampuan terbang sampai ketinggian

44500 ft. Menurut NASA dalam John J. Bertin (1989) ( Tabel L.2 ) pada

ketinggian 44500 ft suhu atmosfir mencapai 387,97 oR atau sekitar 216,65 K atau

-56,5oC. Daerah kerja fluida -54oC sampai dengan 135oC cukup untuk digunakan

pada ketinggian ini mengingat pada sistem selalu terdapat gesekan sehingga

timbul panas dan terjadi perbedaan suhu dengan lingkungan. Perbedaan suhu

dengan lingkungan akan menimbulkan perpindahan kalor dari sistem ke

lingkungan sehingga suhu sistem tidak akan mungkin mencapai -56,5oC.

Fluida Aeroshell Fluid 41 yang memiliki massa jenis 0,874 kg/dm3 pada

suhu 15,6oC akan mengalami perubahan dengan adanya perubahan perubahan

suhu, karena perubahan suhu akan membuat volume fluida menjadi berubah.

41
42

Dengan ρ15,6 = 0,87 kg/ dm3 maka dapat dicari massa jenis standart dari fluida

Aeroshell Fluid 41 yakni dengan persamaan (2)

ρ 20
ρt =
1 + β t (t − 20)

Mengingat belum diketahuinya nilai βt, maka dapat dilakukan perhitungan dengan

menggunakan semua βt untuk melihat semua kemungkinan nilai ρ20 yang

diperoleh.

Jika dengan βt = 0,00066

ρ 20 = ρ t + ρ t β t (t − 20)

= 0,87 + 0,87 x 0,00066 ( 15,6 – 20 )

= 0,87 + -0,0025

= 0,8675 kg/ dm3

Jika dengan βt = 0,00065

ρ 20 = ρ t + ρ t β t (t − 20)

= 0,87 + 0,87 x 0,00065 ( 15,6 – 20 )

= 0,87 + -0,00248

= 0,8675 kg/ dm3

Jika dengan βt = 0,00063

ρ 20 = ρ t + ρ t β t (t − 20)

= 0,87 + 0,87 x 0,00063 ( 15,6 – 20 )

= 0,87 + -0,00241

= 0,8675 kg/ dm3


43

Karena ketiga nilai perhitungan massa jenis standart ( ρ20 ) memiliki nilai yang

sama yakni 0,8675 kg/dm3, sehingga dipakai daerah massa jenis yang paling

mendekati massa jenis standart, yakni massa jenis dengan daerah 0,88 sampai

dengan 0,89 kg/dm3, dengan βt = 0,00066 ( menurut Tabel 2.1. ).

Massa jenis pada suhu -40oC

ρ 20
ρ − 40 =
1 + 0,00066(t − 20 )

=0,9033 kg/ dm3

Hasil perhitungan massa jenis pada berbagai suhu dapat dilihat pada Tabel 4.1

atau pada Gambar 4.1.

Tabel 4.1. Nilai massa jenis Aeroshell Fluid 41 pada berbagai suhu

Suhu Massa Jenis Suhu Massa Jenis


o 3 o
C kg/dm C kg/dm4
-40 0.9033 50 0.8507
-35 0.9002 55 0.8479
-30 0.8971 60 0.8452
-25 0.8941 65 0.8425
-20 0.8910 70 0.8398
-15 0.8880 75 0.8371
-10 0.8850 80 0.8345
-5 0.8821 85 0.8318
0 0.8791 90 0.8292
5 0.8762 95 0.8266
10 0.8733 100 0.8240
15 0.8704 105 0.8214
20 0.8675 110 0.8189
25 0.8646 115 0.8163
30 0.8618 120 0.8138
35 0.8590 125 0.8113
40 0.8562 130 0.8088
45 0.8534 135 0.8063
44

Grafik Massa Jenis Vs Suhu

0.9200

0.9000

0.8800
massa jenis

0.8600

0.8400

0.8200

0.8000
-60 -40 -20 0 20 40 60 80 100 120 140 160
suhu

Gambar 4.1. Grafik hubungan suhu dan massa jenis

Massa jenis juga bergantung pada nilai tekanan kerjanya, hal ini dikarenakan

bahwa tekanan akan mempengaruhi volume dari fluida Aeroshell Fluid 41

sehingga massa jenisnya akan berubah. Karena massa jenis pada berbagai suhu

sudah diketahui, maka dapat dihitung pula massa jenis pada berbagai suhu dan

tekanan kerja.

Dengan persamaan (4) dapat dihitung massa jenis yang akan berubah menurut

tekanan yang terjadi (pada suhu yang konstan misal -40oC ).

ρ = ρ t (1 + ℵ p Δp )
45

Pada tekanan sampai 50 bar ( 725 psi ) maka ℵ = 80,3 x 10-6

ρ725 = 0,9033 (1+80,3x10-6x50)

= 0,9069 kg/dm3

Pada tekanan sampai 100 bar ( 1450 psi ) maka ℵ = 79,5 x 10-6

ρ1450 = 0,9033 (1+79,5x10-6x100)

= 0,9105 kg/dm3

Pada tekanan sampai 150 bar ( 2175 psi ) maka ℵ = 77,5 x 10-6

ρ2175 = 0,9033 (1+77,5x10-6x150)

= 0,9138 kg/dm3

Pada tekanan sampai 200 bar ( 2900 psi ) maka ℵ = 74,5 x 10-6

ρ 2900= 0,9033 (1+74,5x10-6x200)

= 0,9167 kg/dm3

Pada tekanan sampai 250 bar ( 3625 psi ) maka ℵ = 71,9 x 10-6

ρ 3625= 0,9033 (1+1,9x10-6x200)

= 0,9195 kg/dm3

Dengan cara seperti diatas dapat dihitung pula nilai massa jenis pada berbagai

suhu dan tekanan yang dapat dilihat pada Tabel 4.2 atau Gambar 4.2.
46

Tabel 4.2. Nilai massa jenis Aeroshell Fluid 41 pada berbagai suhu dan tekanan

Suhu Massa Jenis ∆P (Psi)


o
C kg/dm3 725.19 1450.4 2175.6 2900.8 3625.9
-40 0.9033 0.9069 0.9105 0.9138 0.9167 0.9195
-35 0.9002 0.9038 0.9073 0.9106 0.9136 0.9164
-30 0.8971 0.9007 0.9042 0.9075 0.9105 0.9132
-25 0.8941 0.8976 0.9012 0.9044 0.9074 0.9101
-20 0.8910 0.8946 0.8981 0.9014 0.9043 0.9070
-15 0.8880 0.8916 0.8951 0.8983 0.9012 0.9040
-10 0.8850 0.8886 0.8921 0.8953 0.8982 0.9009
-5 0.8821 0.8856 0.8891 0.8923 0.8952 0.8979
0 0.8791 0.8826 0.8861 0.8893 0.8922 0.8949
5 0.8762 0.8797 0.8831 0.8864 0.8892 0.8919
10 0.8733 0.8768 0.8802 0.8834 0.8863 0.8890
15 0.8704 0.8739 0.8773 0.8805 0.8833 0.8860
20 0.8675 0.8710 0.8744 0.8776 0.8804 0.8831
25 0.8646 0.8681 0.8715 0.8747 0.8775 0.8802
30 0.8618 0.8653 0.8687 0.8718 0.8747 0.8773
35 0.8590 0.8624 0.8658 0.8690 0.8718 0.8744
40 0.8562 0.8596 0.8630 0.8662 0.8690 0.8716
45 0.8534 0.8568 0.8602 0.8633 0.8661 0.8688
50 0.8507 0.8541 0.8574 0.8605 0.8633 0.8659
55 0.8479 0.8513 0.8547 0.8578 0.8605 0.8632
60 0.8452 0.8486 0.8519 0.8550 0.8578 0.8604
65 0.8425 0.8459 0.8492 0.8523 0.8550 0.8576
70 0.8398 0.8432 0.8465 0.8495 0.8523 0.8549
75 0.8371 0.8405 0.8438 0.8468 0.8496 0.8522
80 0.8345 0.8378 0.8411 0.8442 0.8469 0.8495
85 0.8318 0.8352 0.8384 0.8415 0.8442 0.8468
90 0.8292 0.8325 0.8358 0.8388 0.8415 0.8441
95 0.8266 0.8299 0.8332 0.8362 0.8389 0.8414
100 0.8240 0.8273 0.8305 0.8336 0.8363 0.8388
105 0.8214 0.8247 0.8279 0.8310 0.8337 0.8362
110 0.8189 0.8221 0.8254 0.8284 0.8311 0.8336
115 0.8163 0.8196 0.8228 0.8258 0.8285 0.8310
120 0.8138 0.8171 0.8203 0.8233 0.8259 0.8284
125 0.8113 0.8145 0.8177 0.8207 0.8234 0.8259
130 0.8088 0.8120 0.8152 0.8182 0.8208 0.8233
135 0.8063 0.8095 0.8127 0.8157 0.8183 0.8208
47

grafik massa jenis vs suhu dan tekanan

0.9400

0.9200
Suhu
-40
0.9000
-20
0
massa jenis

0.8800 20
40
60
0.8600 80
100
120
0.8400
135

0.8200

0.8000
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
tekanan

Gambar 4.2. Grafik massa jenis Aeroshell Fluid 41 pada berbagai suhu dan

tekanan

Viskositas kinematik dan massa jenis yang berubah akan mempengaruhi

nilai dari viskositas dinamik. Dari grafik pada Tabel L. 1 dan massa jenis pada

tekanan 2900 psi pada Tabel 4.2 dapat dihitung nilai viskositas dinamik pada

tekanan 2900 psi pada berbagai suhu. Dihitung pada tekanan 2900 psi karena

tekanan kerja sistem hidrolik pesawat Hawk 100/200 adalah pada 3000 psi,

sehingga didekati pada 2900 psi. Dengan persamaan (1) dapat dihitung viskositas

dinamiknya pada suhu -40oC.

η
v=
ρ

η=ν.ρ

= 450x10-6 x 0,9167 x 1000

= 0,4125 N.s/m2
48

Hasil perhitungan pada berbagai suhu lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.2 atau

Grafik 4.3.

Tabel 4.3. Nilai viskositas dinamik Aeroshell Fluid 41 pada berbagai suhu

viskositas massa jenis @2900 viskositas


Suhu kinematik psi dinamik
o
C mm2/s kg/dm3 N.s/m2
-40 450 0.9167 0.4125
-35 300 0.9136 0.2741
-30 200 0.9105 0.1821
-25 160 0.9074 0.1452
-20 130 0.9043 0.1176
-15 100 0.9012 0.0901
-10 80 0.8982 0.0719
-5 65 0.8952 0.0582
0 55 0.8922 0.0491
5 45 0.8892 0.0400
10 37.5 0.8863 0.0332
15 30.0 0.8833 0.0265
20 27.5 0.8804 0.0242
25 22.5 0.8775 0.0197
30 20.0 0.8747 0.0175
35 18.0 0.8718 0.0157
40 16.0 0.8690 0.0139
45 14.0 0.8661 0.0121
50 12.5 0.8633 0.0108
55 11.5 0.8605 0.0099
60 10.5 0.8578 0.0090
65 9.0 0.8550 0.0077
70 8.0 0.8523 0.0068
75 7.5 0.8496 0.0064
80 7.0 0.8469 0.0059
85 6.60 0.8442 0.0056
90 6.20 0.8415 0.0052
95 5.80 0.8389 0.0049
100 5.40 0.8363 0.0045
105 5.00 0.8337 0.0042
110 4.60 0.8311 0.0038
115 4.25 0.8285 0.0035
120 4.00 0.8259 0.0033
125 3.75 0.8234 0.0031
130 3.50 0.8208 0.0029
49

grafik viskositas dinamik vs suhu

0.4500

0.4000

0.3500

0.3000
viskositas dinamik

0.2500

0.2000

0.1500

0.1000

0.0500

0.0000
-60 -40 -20 0 20 40 60 80 100 120 140
suhu

Gambar 4.3. Grafik hubungan viskositas dinamik dengan suhu

4.2 Kalkulasi Daya dan Efisiensi Pompa

Reservoir memiliki tekanan sebesar 80 psi maka tekanan masuk (Pin) adalah

sebesar 80 psi. Sedangkan tekanan keluar dari pompa (Pout) adalah sebesar 3000

psi. Dari tekanan masuk dan tekanan keluar dapat diketahui nilai selisih tekanan

(ΔP).

ΔP = Pout - Pin

= 3000 psi – 80 psi

= 2920 psi
50

Dari nilai selisih tekanan masuk dan keluar pada pompa (ΔP) dan debit aliran (Qd)

dapat dihitung besarnya daya teoritis dari pompa, yakni dengan menggunakan

persamaan :

Hpteoritis = 5,82 × 10-4 Qd × ΔP

= 5,82 × 10-4 × 8 gpm × 2920 psi

= 13,59 hp

≈ 13,6 hp

Suhu kerja dari suatu sistem harus dipilih sedemikian rupa sehingga

memiliki viskositas kinematik dengan penurunan daya yang paling kecil.

Diasumsikan bahwa suhu kerja dari sistem hidrolik adalah sebesar 70 oC maka

fluida kerja memiliki viskositas kinematik sebesar 7 cSt. Bila viskositas kinematik

dikonversi menjadi SUS (saybolt universal seconds) adalah sebesar 48,5 SUS.

Dengan acuan Gambar 4.4, dari nilai viskositas kinematik, kecepatan pompa

(rpm) dan tekanan kerja (operating pressure) didapatkan efisiensi total dan

efisiensi volumetrik. Efisiensi volumetrik adalah sebesar 96,75 % dan efisiensi

total adalah sebesar 92,75 %.


51

Gambar 4.4. Grafik efisiensi pompa piston (Frank Yeaple, 1996)

Daya aktual dari pompa dapat dihitung dengan membagi daya pompa yang telah

diperoleh dengan efisiensi total dari pompa tersebut.

daya teoritis pompa


Daya aktual (hp) =
η total

13,6
Daya aktual (hp) = × 100
92,75

= 14,663 hp ≈ 14,6 hp

4.3 Kalkulasi Gaya Aktuator

4.3.1 Pada aileron

Diameter silinder diasumsikan lewat pendekatan ukuran dari aileron PCU

karena tidak adanya data diameter silinder piston. Ukuran aileron PCU adalah

14,6 × 6,7 × 6,4 in, sehingga diasumsikan besar diameter silinder piston (d)

adalah 5 in.
52

Aliran fluida melewati filter pada flying control sehingga terjadi penurunan

tekanan sebesar 35 psi. Hal ini membuat tekanan yang diterima oleh aileron PCU

adalah sebesar 2965 psi.

Gaya pada aktuator (F) =P . A

=P . ¼ . π . d 2

= 2965 psi × ¼ × 3,14 × 5 in × 5 in

= 58188,13 lb

≈ 58200 lb

4.3.2 Pada tail plane

Diameter silider diasumsikan lewat pendekatan ukuran dari tail plane PCU

karena tidak adanya data diameter silinder piston. Ukuran tail plane PCU adalah

22,8 × 11 × 5,1 in. Diasumsikan besar diameter silinder piston (d) adalah sebesar

3,5 in.

Aliran fluida melewati filter pada flying control sehingga terjadi penurunan

tekanan sebesar 35 psi. Hal ini membuat tekanan yang diterima oleh tail plane

PCU adalah sebesar 2965 psi.

Gaya pada aktuator (F) =P . A

=P . ¼ . π . d 2

= 2965 psi × ¼ x 3,14 x 3,5 in x 3,5 in

= 28512,18 lb

≈ 28500 lb
53

4.3.3 Pada rudder

Aliran fluida melewati filter pada flying control sehingga terjadi penurunan

tekanan sebesar 35 psi. Hal ini membuat tekanan yang diterima oleh rudder PCU

adalah sebesar 2965 psi dengan diameter silinder piston ( d ) sebesar ¾ in.

Gaya pada aktuator (F) =P . A

=P . ¼ . π . d 2

= 2965 psi × ¼ × 3,14 × ¾ in × ¾ in

= 1309,233 lb

≈ 1300 lb

4.4 Kalkulasi Ketebalan Pipa

Untuk menahan tekanan fluida dalam pipa dibutuhkan ketebalan tertentu

pada diameter tertentu dengan jenis bahan dan kekuatan bahan tertentu pula. Pipa

yang digunakan adalah Seamless EO Steel Tube pbatang pistonuk Parker dengan

sebutan St. 37,4. Pipa St. 37,4 mempunyai yield strength sebesar 34000 psi.

PDout
t=
2( SE + PY )

S = 30% x 34000 psi

= 10200 psi

E = 1 (faktor kualitas) (asumsi)

Y = 0,071 (nilainya diasumsikan sama dengan pipa Seamless EO

Stainless Steel Tube pada suhu 70oC)


54

4.4.1 Pipa Aliran Hisap

Pada pipa aliran hisap (suction) dengan tekanan maksimal pada pengaturan

valve sebesar 125 psi. Diasumsikan bahwa tekanan (P) maksimal yang diijinkan

terjadi pada pipa aliran hisap adalah sebesar 500 psi

Untuk pipa hisap dengan diameter nominal 5 mm (Dout = 0,197 inchi) :

500 × 0,197
t =
2(10200 × 1 + 500 × 0,071)

= 0,00481 inchi = 0,122 mm

Untuk kebutuhan ketebalan pipa sebesar 0,122 mm dapat digunakan pipa dengan

R05x1 yang memiliki ketebalan pipa 1 mm dan diameter dalam 3 mm.

Untuk pipa hisap dengan diameter nominal 14 mm (Dout = 0,551 inchi) :

500 × 0,551
t =
2(10200 × 1 + 500 × 0,071)

= 0,0135 inchi = 0,343 mm

Untuk kebutuhan ketebalan pipa sebesar 0,343 mm dapat digunakan pipa dengan

R14x1 yang memiliki ketebalan pipa 1 mm dan memiliki diameter dalam 12 mm.

Untuk pipa hisap dengan diameter nominal 18 mm (Dout = 0,709 inchi) :

500 × 0,709
t =
2(10200 × 1 + 500 × 0,071)

= 0,0173 inchi = 0,44 mm

Untuk kebutuhan ketebalan pipa sebesar 0,44 mm dapat digunakan pipa dengan

R18x1 yang memiliki ketebalan pipa 1 mm dan memiliki diameter dalam 16 mm.
55

4.4.2 Pipa Aliran Balik

Pada pipa aliran balik (return) dengan tekanan maksimal pada pengaturan

valve sebesar 500 psi. Diasumsikan bahwa tekanan (P) maksimal yang diijinkan

terjadi pada pipa aliran balik adalah sebesar 1500 psi.

Untuk pipa balik dengan diameter nominal 10 mm (Dout = 0,394 inchi) :

1500 × 0,394
t =
2(10200 × 1 + 1500 × 0,071)

= 0,0288 inchi = 0,731 mm

Untuk kebutuhan ketebalan pipa sebesar 0,731 mm dapat digunakan pipa dengan

R10x1 yang memiliki ketebalan pipa 1 mm dan memiliki diameter dalam 8 mm.

Untuk pipa balik dengan diameter nominal 14 mm (Dout = 0,551 inchi) :

1500 × 0,551
t =
2(10200 × 1 + 1500 × 0,071)

= 0,0403 inchi = 1,024 mm

Untuk kebutuhan ketebalan pipa sebesar 1,024 mm dapat digunakan pipa dengan

R14x1,5 yang memiliki ketebalan pipa 1,5 mm dan memiliki diameter dalam 11

mm.

Untuk pipa balik dengan diameter nominal 18 mm (Dout = 0,709 inchi) :

1500 × 0,709
t =
2(10200 × 1 + 1500 × 0,071)

= 0,0518 inchi = 1,31 mm


56

Untuk kebutuhan ketebalan pipa sebesar 1,31 mm dapat digunakan pipa dengan

R18x1,5 yang memiliki ketebalan pipa 1,5 mm dan memiliki diameter dalam 15

mm.

4.4.3 Pipa Aliran Tekanan

Pada pipa aliran tekanan (pressure) dari pompa tangan (hand pump) dengan

tekanan maksimal pada pengaturan valve sebesar 2800 psi. Diasumsikan bahwa

tekanan (P) maksimal yang diijinkan terjadi pada pipa aliran hisap adalah sebesar

4000 psi.

Untuk pipa tekanan dengan diameter nominal 5 mm (Dout = 0,197 inchi) :

4000 × 0,197
t =
2(10200 × 1 + 4500 × 0,071)

= 0,0381 inchi = 0,967 mm

Untuk kebutuhan ketebalan pipa sebesar 0,967 mm dapat digunakan pipa dengan

R05x1 yang memiliki ketebalan pipa 1 mm dan diameter dalam 3 mm.

Pada pompa utama tekanan maksimal pada pengaturan valve sebesar 3400

psi. Diasumsikan bahwa tekanan (P) maksimal yang diijinkan terjadi pada pipa

aliran tekanan adalah sebesar 4500 psi.


57

Untuk pipa tekanan dengan diameter nominal 10 mm (D = 0,394 inchi) :

4500 × 0,394
t =
2(10200 × 1 + 4500 × 0,071)

= 0,0855 inchi = 2,172 mm

Untuk kebutuhan ketebalan pipa sebesar 2,172 mm dapat digunakan pipa dengan

R10x2,5 yang memiliki ketebalan pipa 2,5 mm dan memiliki diameter dalam 5

mm.

4.5 Kalkulasi Diameter Batang Piston

Diasumsikan batang piston pada silinder menggunakan bahan high-strength-

low-alloy ASTM-A709 Grade 345 yang memiliki yield strength sebesar 345 MPa.

Tegangan yang diijinkan adalah 30% dari yield strength yakni sebesar 103,5 MPa.

Diameter batang piston pada silinder aileron PCU :

F = 58200 lb ≈ 259000 N

σall = 103,5 MPa = 103500000 Pa

F
A=
σ all

259000
=
103500000

= 0,0025 m2

A
D= 2 ×
π
58

0,0025
=2 ×
3,14

= 0,0565 m

= 56,46 mm

≈ 56,5 mm

Diameter minimal batang piston pada silinder aileron PCU adalah 56,5 mm.

Diameter batang piston pada silinder tail plane PCU :

F = 28500 lb = 127000 N

σall = 103,5 MPa = 103500000 Pa

F
A=
σ all

127000
=
103500000

= 0,00123 m2

A
D= 2 ×
π

0,00123
=2 ×
3,14

= 0,0395 m

= 39,54 mm

≈ 39,6 mm

Diameter minimal batang piston pada silinder tail plane PCU adalah 39,6 mm.

Diameter batang piston pada silinder rudder PCU :

F = 1300 lb = 5800 N
59

σall = 103,5 MPa = 103500000 Pa

F
A=
σ all

5800
=
103500000

= 0,000056 m2

A
D= 2 ×
π

0,000056
=2 ×
3,14

= 0,00845 m

= 8,45 mm

≈ 8,5 mm

Diameter minimal batang piston pada silinder aileron PCU adalah 8,5 mm.

4.6 Kalkulasi Ketebalan Silinder Aktuator

Untuk menahan tekanan fluida dalam silinder dibutuhkan ketebalan tertentu

pada diameter tertentu dengan jenis bahan dan kekuatan bahan tertentu pula.

Silinder diasumsikan menggunakan bahan ASTM-A36 yang memiliki yield

strength sebesar 36000 psi.

PDin
t=
2( SE − 0,6 P )

S = 30% x 36000 psi


60

= 10800 psi

E = 1 ( asumsi )

Ketebalan silinder aileron PCU :

P = 4500 psi

Din = 5 in

4500 × 5
t =
2(10800 × 1 − 0,6 × 4500 )

= 1,389 in

= 35, 278 mm

≈ 35,3 mm

Ketebalan silinder tail plane PCU :

P = 4500 psi

Din = 3,5 in

4500 × 3,5
t =
2(10800 × 1 − 0,6 × 4500 )

= 0,972 in

= 24,694 mm

≈ 24,7 mm

Ketebalan silinder rudder PCU :

P = 4500 psi

Din = ¾ in
61

4500 × ¾
t =
2(10800 × 1 − 0,6 × 4500 )

= 0,206 in

= 5,292 mm

≈ 5,3 mm

4.7 Kalkulasi Buckling

Diasumsikan batang piston pada silinder menggunakan bahan high-strength-

low-alloy ASTM-A709 Grade 345 yang memiliki modulus elastisitas sebesar 200

GPa. Tekanan fluida pada silinder aktuator akan membuat gaya pada batang

batang piston, sedangkan aliran udara akan membuat gaya aerodinamika pada

komponen-komponen flying control ( aileron, tail plane dan rudder ). Tekan

menekan pada batang batang piston akibat gaya tekanan fluida dan gaya

aerodinamika dapat menyebabkan terjadinya buckling. Gaya kritis yang dapat

menyebabkan terjadinya buckling pada masing-masing batang piston pada silinder

aktuator adalah sebesar :

Fkritis pada batang piston aileron PCU :

Diameter batang piston ( D ) = 2,5 in

Panjang ( l ) = 15 in
62

E = 200 Gpa = 29 x 106 psi

K = 0,7 ( fixed end dan pin end )

π
I = D4
64

3,14
= × 2,5 4
64

≈ 1,917 in4

π 2 EI
Fcr =
(Kl )2

3,14 2 × 29 × 10 6 × 1,917
=
(0,7 × 15)2
≈ 4970000 lb

Gaya yang terjadi pada batang piston aileron PCU adalah sebesar 58200 lb,

sedangkan gaya kritis yang dapat menyebabkan buckling adalah sebesar 4970000

lb.

Fkritis pada batang piston tail plane PCU :

Diameter batang piston ( D ) = 2 in

Panjang ( l ) = 10 in

E = 200 Gpa = 29 x 106 psi

K = 0,7 ( fixed end dan pin end )

π
I = D4
64

3,14
= × 24
64
63

≈ 0,785 in4

π 2 EI
Fcr =
(Kl )2

3,14 2 × 29 × 10 6 × 0,785
=
(0,7 × 10)2
≈ 4580000 lb

Gaya yang terjadi pada batang piston tail plane PCU adalah sebesar 28500 lb,

sedangkan gaya kritis yang dapat menyebabkan buckling adalah sebesar 4580000

lb.

Fkritis pada batang piston rudder PCU :

Diameter batang piston ( D ) = 0,5 in

Panjang ( l ) = 4 in

E = 200 Gpa = 29 x 106 psi

K = 0,7 ( fixed end dan pin end )

π
I = D4
64

3,14
= × 0,5 4
64

≈ 0,00306 in4

π 2 EI
Fcr =
(Kl )2

3,14 2 × 29 × 10 6 × 0,00306
=
(0,7 × 4)2
64

≈ 111000 lb

Gaya yang terjadi pada batang piston rudder PCU adalah sebesar 1300 lb,

sedangkan gaya kritis yang dapat menyebabkan buckling adalah sebesar 111000

lb.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari analisis dapat disimpulkan bahwa :

a. Massa jenis fluida pada tekanan kerja 2900 psi mulai suhu -40oC sampai

dengan 135oC adalah 0,9167 kg/dm3 sampai dengan 0,8208 kg/dm3.

b. Viskositas dinamik fluida pada tekanan kerja 2900 psi mulai suhu -40oC

sampai dengan 135oC adalah 0,4125 N.s/m2 sampai dengan 0,0029

N.s/m2.

c. Daya aktual pompa adalah 14,6 hp dan efisiensi pompa 92,75%.

d. Gaya-gaya pada aktuator :

Gaya pada aileron aktuator ≈ 58200 lb, gaya pada tail plane aktuator ≈

28500 lb, gaya pada rudder aktuator ≈ 1300 lb.

e. Perpipaan :

• Pada pipa hisap dengan d nominal 5 mm digunakan pipa R05x1,

pada pipa hisap dengan d nominal 14 mm digunakan pipa R14x1,

pada pipa hisap dengan d nominal 18 mm digunakan pipa R18x1.

• Pada pipa balik dengan d nominal 10 mm digunakan pipa R10x1,

pada pipa balik dengan d nominal 14 mm digunakan pipa R14x1,5,

pada pipa balik dengan d nominal 18 mm digunakan pipa R18x1,5.

• Pada pipa tekanan dengan d nominal 5 mm (hand pump) digunakan

pipa R5x1, pada pipa tekanan dengan d nominal 10 mm (pompa

utama) digunakan pipa R10x2,5.

65
66

f. Diameter minimal batang piston dan gaya kritis penyebab buckling :

Diameter minimal batang piston aileron aktuator = 56,5 mm dengan

gaya kritis = 3945000 lb. Diameter minimal batang piston tail plane

aktuator = 39,6 mm dengan gaya kritis = 109300 lb. Diameter minimal

batang piston rudder aktuator = 8,5 mm dengan gaya kritis = 260000 lb.

g. Ketebalan silinder aktuator :

Ketebalan silinder aileron aktuator minimal ≈ 22,7 mm, ketebalan

silinder tail plane aktuator ≈ 15,9 mm, ketebalan silinder rudder

aktuator ≈ 3,5 mm.

5.2 Saran

Adapun saran untuk pihak yang akan mengembangkan analisis pada bidang

ini adalah :

a. Lebih baik lagi jika dapat mengetahui data panjang pipa dan data

belokan yang ada sehingga dapat dihitung pula penurunan tekanan

yang terjadi. Dengan kata lain dapat dihitung efisiensi sistem secara

keseluruhan.

b. Data yang diberikan oleh produsen lebih banyak bersifat umum,

sehingga kadang kala kurang begitu bermanfaat. Lebih baik lagi jika

dapat diukur langsung sehingga data merupakan data pengukuran

sehingga jelas nilainya, bukan suatu pengasumsian.


67

DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 2003, Hydraulic Fluids, www.shell.com/aviation.

Anonim., - , Airbone Equipment Manual, BAE, -

Anonim., - , Metric Tube, www.parker.com/tfd.

Beer, Ferdinand P., 2002, Mechanics of Materials, McGraw-Hill, New York.

Bertin, John J., 1989, Aerodiynamic for Engineers, Prentice Hall, New Jersey.

Esposito, Anthony., 1994, Fluid Power with Aplications, Prentice-Hall


International Inc., London.

Kannappan, P.E.,Sam., 1985, Introduction to Pipe Stress Analysis, John Wiley &
Son, New York.

Krist, Thomas., 1991, Hidraulika, Erlangga, Jakarta.

Megyesy, Eugene F., 1981, Pressure Vessel Handbook, Publishing Inc., Tusla.

Yeaple, Frank., 1996, Fluid Power Design Handbook, Marcel Dekker Inc., New
York.
LAMPIRAN

68
69

Tabel L. 1 Sifat Fluida AeroshellFluid 41


70

Lanjutan L. 1.
71

Lanjutan L. 1.

Sumber : anonim, 2003


72

Tabel L. 2 U.S Standard Atmosphere, 1962

Altitude ( 103 ft ) Pressure, p/po Temperature ( oR )

0 1 518,67

5 0,83209 500,84

10 0,68783 483,03

15 0,56459 465,22

20 0,45991 447,42

25 0,37159 429,62

30 0,29754 411,84

35 0,23596 394,06

40 0,18577 389,97

45 0,14623 389,97

50 0,11512 389,97

Sumber : John J. Bertin, 1989


73

Tabel L. 3 Kemampuan terbang pesawat hawk

Airspeed 540 knots

Altitude 44500 ft

Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/BAE_hawk

Tabel L. 4 Spesifikasi pompa

Operating pressure ( continuous ) 3000 psig

Minimum inlet pressure at 6000 – 6250 rpm 27 psig

Maximum theoretical displacement 6,393 cc/ rev

( 8 gpm )

Sumber : Anonim., - , Airbone Equipment Manual

Tabel L. 5 Spesifikasi reservoir

System Pressure
• Nominal 80 psig
• Maximum 125 psig
Swept fluid capacity hydraulic reservoir 5,51 litres
( 336,24 in3 )
Minimum gas capacity hydraulic 3,45 litres
reservoir ( 210,53 in3 )
Sumber : Anonim., - , Airbone Equipment Manual
74

Tabel L. 6 Spesifikasi accumulator

Fluid JS OM – 15
NATO code H – 515
Fluid capacity Maximum 1109 cm3
( 67,7 in3 )
At 2.31 : 1 compression ratio 819 cm3
( 50 in3 )
Inflation pressure 75 bar
( 1100 psig )
Sumber : Anonim., - , Airbone Equipment Manual

Tabel L. 7 Spesifikasi aileron PCU

Operating pressure 3000 psig


Overall dimension 370 x 170 x 163 mm
( 14,6 x 6,7 x 6,4 in )
Working stroke 46.6 mm
( 1,83 in )
Sumber : Anonim., - , Airbone Equipment Manual

Tabel L. 8 Spesifikasi tail plane PCU

Operating pressure 3000 psig


Overall dimension 580 x 280 x 130 mm
( 22,8 x 11 x 5,1 in )
Working stroke 163,105 mm
( 6,421 in )
Sumber : Anonim., - , Airbone Equipment Manual
75

Tabel L. 9 Spesifikasi rudder PCU

Operating pressure 3000 psig


Diameter piston 0,75 in
Manual reversion mode
• Bypass valve opens when system pressure 957 – 638 psig
fall below
• Manual lock to begins to engage when
system pressure fall below 580 psig
Sumber : Anonim., - , Airbone Equipment Manual

Tabel L. 10 Spesifikasi filter pada flying control

Operating pressure 3000 psig


Flow rate 8 gpm
Pressure drop 35 psig
Sumber : Anonim., - , Airbone Equipment Manual

Tabel L. 11 Spesifikasi filter pada return

Operating pressure 500 psig


Flow rate 8 gpm
Pressure drop 35 psig
Sumber : Anonim., - , Airbone Equipment Manual
76

Tabel L. 12 Ukuran pipa

Ukuran pipa Tekanan maksimal Keterangan

( mm ) (pengaturan valve) (psi)

5 125 Aliran hisap

2800 Aliran tekanan

10 500 Aliran balik

3400 Aliran tekanan

14 125 Aliran hisap

500 Aliran balik

18 125 Aliran hisap

500 Aliran balik

Sumber : Anonim., - , Airbone Equipment Manual


77

Tabel L. 13 Ukuran pipa produksi Parker

Sumber : Anonim., - , Metric Tube

Anda mungkin juga menyukai