Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KONSELING LINTAS BUDAYA


“PENGERTIAN DAN SEJARAH KONSELING LINTAS BUDAYA”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok di semester 4

DOSEN PENGAMPU:
Dra. Tri Umari, M. Si
Munawir, M. Pd

KELOMPOK 1 :
MASRO FATIL KHASANAH (1905112817)
RAHMI RAMADHANI (1905112332)
SALSABILA ROSMA NURLINDHA (1905125005)
WIDYA PERMATA SARI (1905110153)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2021
PRAKATA

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Penulis ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah dan innayah-Nya kepada kita sampai
saat ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
‘‘PENGERTIAN DAN SEJARAH KONSELING LINTAS BUDAYA”.

Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan


dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam penyelesaian makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini.

Penulis berharap semoga makalah tentang ’’PENGERTIAN DAN SEJARAH


KONSELING LINTAS BUDAYA” ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi kepada pembaca.

Pekanbaru, 25 Februari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ ii

DAFTAR ISI............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konseling Lintas Budaya............................................................... 3

2.2 Sejarah Konseling Lintas Budaya...................................................................... 8

2.3 Jurnal yang Terkait................................................................................................. 9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Manusia tumbuh dan berkembang dipengaruhi dengan berbagai faktor


dibelakangnya salah satunya budaya. Individu hidup berkelompok dan
mempunyai tujuan yang sama disebut masyarakat, yang dimana setiap kelompok
masyarakat memiliki tata cara atau kebiasaan. Secara individual manusia memiliki
kompetensi didalam dirinya, dimana mereka dapat menciptakan hal-hal yang baru
didalam kelompok mereka masing-masing, mereka selalu ingin tahu sesuatu hal
yang baru sehingga kompetensi-kompetensi yang mereka miliki dapat berguna
untuk semua masyarakat.

Konseling pada umumnya dipertimbangkan sebagai hubungan dua orang


yaitu konselor dan klien. Evey, allen E., mengatakan bahwa selama ini ada suatu
kepercayaan, bahkan hal itu telah dipercaya bertahun-tahun bahwa adanya empati
ke arah klien adalah salah satu kunci untuk hubungan konseling yang efektif.

Keefektifan konseling bergantung pada banyak faktor, tetapi salah satu


faktor yang tepenting adalah relasi satu sama lain dan saling mengerti antara
konselor dan klien. Samuel T Gladding mengatakan bahwa seorang konselor
harus peka terhadap latar belakang klien dan kebutuhan khsusnya, karena jika
tidak mereka dapat salah memahami dan membuat klien frustasi, bahkan dapat
menyakiti klien.Indonesia merupakan salah satu negara multikultural. Keragaman
yang dimiliki Indonesia, di satu sisi adalah merupakan anugrah yang sangat
berharga dan harus dilestarikan, akan tetapi keragaman ini di sisi lain diakui atau
tidak adalah sebuah tantangan karena di dalamnya akan dapat menimbulkan
berbagai persoalan, seperti kolusi sesama etnis, nepotisme, kemiskinan, perusakan
lingkungan, separatisme, dan yang lebih menghawatirkan adalah akan hilangnya
rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, yang merupakan bentuk
nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut, maka tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa penting adanya kesadaran multikultural.

Untuk memahami nilai-nilai dan budaya kita, kita harus memahami


sejarah budaya tersebut. Jadi sebagai seorang konselor kita perlu memahami klien
kita yaitu memahami persepsi pengalaman individual yang mereka alami dalam
hidupnya.Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh.
Surya mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural,
bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat
untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia.Bimbingan dan konseling
dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di

1
atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal
pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan
yang harmoni dalam kondisi pluralistik.Dengan demikian Ivey, Allen e
mengatakan hubungan konseling tidaklah sederhana, sebab masing-masing klien
membawa suatu latar belakang historis dan budaya yang khusus yang mempunyai
implikasi kuat untuk hasil konseling itu, oleh karena itu pemahaman tentang
konseling multikultural sangat diperlukan dalam proses konseling.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Konseling Lintas Budya ?


2. Bagaimana Sejarah Konseling Lintas Budaya?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Memahami maksud dari Konseling Lintas Budaya


2. Mengetahui Sejarah Konseling Lintas Budaya

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN KONSELING LINTAS BUDAYA

A.Pengertian

Dalam pandangan Rendon perbedaan budaya bisa terjadi pada rasa tau
etnik yang sama apapun berbeda. Oleh sebab itu, definisi konseling lintas budaya
yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagai berikut. Konseling lintas budaya
adalah berbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda
etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang
melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi
memiliki perbedaan budaya dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks,
orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia.

Dedi Supriyadi mengajukan alternatife untuk keefektifan konseling,


setelah mengemukakan definisi konseling lintas budaya melibatkan konselor dan
konseli yang berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda, dan karena itu
proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak
konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif.Agar berjalan
efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan
diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya,
dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsive secara cultural. Dengan
demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural
encounter) antara konselor dan klien.
Menurut Pedersen ada tiga elemen dalam konseling lintas budaya, yaitu:

1) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, , dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.

B. Tujuan Konseling Multikultural

Tujuan konseling multikultural adalah :

1. Membantu klien agar mampu mengembangkan potensi-potensi yang di


miliki meberdayakan diri secara optimal.
2. Membantu klien multikultural agar mampu memecahkan masalah yang
dihadapi, mengadakan penyesuaian diri, serta merasakan kebahagiaan hidup
sesuai dengan budayanya.

3
3. Membantu klien agar dapat hidup bersama dalam masyarakat
multikultural.
4. Memperkenalkan, mempelajari kepada klien akan nilai-nilai budaya lain
untuk di jadikan revisi dalam membuat perancanaan, pilihan, keputusan
hidup kedepan yang lebih baik.

C.Prinsip-Prinsip Dasar Konseling Multikultural

Dalam melaksanakan konseling Multikultur pendapat beberapa prinsip


yang harus dijalankan secara sinergis oleh konselor, konseli dan proses konseling
yang melibatkan kedua pihak secara timbal balik. Sebagai inisiator dan pihak
yang membantu, konselor wajib memahami prinsip-prinsip tersebut dan
mengaplikasikannya, dalam proses konseling. Adapun prinsip-prinsip dasar yang
dimaksut adalah sebagai berikut: (Prayitno : 2010)

1. Untuk Konselor
a. Kesadaran terhadap pengalaman dan sejarah dalam kelompok budayanya.
b. Kesadaran tentang pengalaman diri dalam lingkungan arus besar
kulturnya.
c. Kepekaan perseptual terhadap kepercayaan diri dan nilai-nilai yang
dimilikinya.
2. Untuk Pemahaman Konseli
a. Kesadaran dan pengertian atau pemahaman tentang sejarah dan
pengalaman budaya konseli yang dihadapi.
b. Kesadaran perseptual akan pemahaman dan pengalaman dalam
lingkungan kultur dari konseli yang dihadapi.
c. Kepekaan perseptual terhadap kepercayaan diri konseli dan nilai-nilainya.
3. Untuk Proses Konseling
a. Hati-hati dalam mendengarkan secara aktif, konselor harus dapat
menunjukkan baik secara verbal maupun non-verbal bahwa ia memahami
yang dibicarakan konseli dan dapat mengkomunikasikan tanggapannya
dengan baik sehingga dapat dipahami oleh konseli.
b. Memperhatikan konseli dan situasinya seperti konselor memperhatikan
dirinya dalam situasi tersebut, serta memberikan dorongan optimisme dalam
menemukan solusi yang realistis.
c. Mempersiapkan mental dan kewaspadaan jika tidak memahami
pembicaraan konseli dan tidak ragu-ragu memintak penjelasan.

Dengan tetap memelihara sikap sabar dan optimis.Secara singkat dapat


dikemukakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menuntut konselor dapat memahami
secara baik tentang situasi budayanya dan budaya konseli, serta memiliki
kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan konseli, sehingga dapat
mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang realistis. Konselorpun

4
harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak dapat memahami
pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu meminta penjelasan agar proses
konseling berjalan efektif.

Faktor- Faktor Penghambat dalam konseling Lintas Budaya.


Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan konseling
lintas budaya, faktor- faktor yang dimaksud adalah:

1. Bahasa.

Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan


dalam konseling lintas budaya. Hal ini mengingat bahwa percakapan merupakan
alat yang paling mendasar yang digunakan oleh konselor dalam konseling
(Marasella dan Paderson, 1983). Hambatan ini bisa dijumpai jika konselor
menghadapi klien yang memungkinkan menguasai bahasa lain, tingkat
penguasaan budayanya kurang. Keadaan di Indonesia sering konselor menguasai
bahasa daerahnya disamping bahasa Indonesia.

2. Nilai

Nilai ikatan budaya merupakan suatu penghambat pada konseling lintas


budaya. Konselor secara tidak sadar memaksakan nilai-nilai meraka pada klien
minoritas (Belkin, 1984) misalnya perbedaan nilai budaya tentang sikap terbuka,
pengungkapan diri, antara nilai yang ada pada konselor dengan nilai klien. Di
Indonesia, tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada konselor dan nilai-
nilai yang dianut oleh klien. Klien menganut nilai-nilai dari kehidupan warganya,
itupun masih sering terdapat kesenjangan nilai dengan orangtua, apalagi dengan
konselor yang merupakan orang lain bagi klien, maka kesenjangan nilai sering
terjadi.

3. Stereotip

Streotip adalah opini/pendapat yang terlalu disederhanakan dan tidak


disertai penilaian/ kritikan (Brown dan Srebarus, 1988). Stereotip merupakan
generelisasi mengenai orang-orang dari kelompok lain dimana seseorang member
defenisi dahulu baru mengamati. Streotip merupakan kendala konseling (termasuk
hambatan sikap) karena terbentul secara lama dan berakar sehingga sulit diubah.
Hal ini dapat dipahami karena streotip itu sebagai hasil belajar, sehingga makin
lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebih menjadi kendala jika konselor
dihinggapi streotip, apalagi klien juga punya streotip dan keadaan yang
berlawanan. Ungkapan-ungkapan streotipmisalnya orang solo itu halur, Madura
itu keras, anak itu malas, anak itu badung. Streotip itu bisa berupa kelompok dan
bisa perorangan.

4. Kelas Sosial

5
Didalam masyarakat terdapat kelas sosial atas (atas-atas, atas-menengah,
atas bawah); menengah (menengah atas, menengah-menengah, menengah bawah);
dan bawah (bawah atas, bawah menegah, bawah-bawah). Pada proses konseling,
tingkat perbedaan antara pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan
wawasan mereka terhadap dunia dan dapat merupakan hambatan besar. Konselor
dari kelas sosial menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan klien dan
kelas social bawah atau atas.

5. Suku atau bangsa

Banyak perhatian diberikan pada perbedaan budaya pada suku/bangsa


minoritas dan pengaruh perbedaan ini pada masalah- masalah yang berhubungan
dengan konseling (Marsella dan Padarsen, 1983). Perbedaan suku sering kali
merupakan penghambat proses konseling karena masing-masing suku memiliki
kebiasaan dan budaya yang berbeda. Hal ini yang perlu dipahami oleh konselor.

6. Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin antara konselor dengan klien juga merupakan


penghambat proses konseling. Apalagi diantara mereka terhinggapi streotip
terhadap jenis kelamin tertentu. Misalnya konselor pria mempunyai streotip
terhadap klien wanita yang mudah terpengaruh dan mudah emosi. Klien pria
mempunyai streotip terhadap konselor wanita yang tidak tegas misalnya.
Sebaliknya, klien wanita menganggap konselor pria yang tidak dapat memahami
prasaannya, karena pada dasarnya pria itu banyak menggunakan rasionya.

7. Usia

Proses konseling tidak hanya untuk anak-anak usia remaja. Perkembangan


berikutnya konseling melayani segala usia, dan anak- anak sampai usia tua.
Masing-masing periode perkembagan (usia) memiliki karakteristik yang berbeda
yang harus dipahami terutama oleh konselornya. Usia merupakan penghambat
karena pada dasarnya pada usia tertentu ada kebutuhan, karakteristik, atau hal- hal
yang perlu dipahami oleh konselor. Misalnya, konselor yang masih muda
membantu klien yang lebih tua usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem
bagi konselor yang melayani anak-anak usia muda.

8.Gaya Hidup

Profesi konseling sudah mencapai posisi semua minta individu dan


masyarakat dilayani dengan lebih efektif di dalam budaya majemuk, yang
menggap sahnya berbagai gaya hidup. Gaya hidup dapat dibagi menjadi gaya
hidup tradisional dengan perkawinan dan anak-anak, dan gaya hidup alternatif
yang kadang-kadang dan sering kali tidak diakui oleh masyarakat luas. Gaya
hidup alternatif misalnya hidup sendiri, perkawinan tanpa anak, hidup bersama

6
tanpa pernikahan, hidup sederhana tanpa harta beda, Ada banyak gaya hidup yang
merupakan proses konseling yang merupakan penghambat proses konseling,
terutama pada gaya hidup alternative yang sulit dimengerti dan diterima oleh
masyarakat umum termasuk konselor.

E.Model Konseling Lintas Budaya

Palmer and Laungani mengajukan tiga model konseling lintas budaya, (1)
cultul centered mode, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical Model.

1. Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)

Palmer and Laungani berpendapat bahwa budaya-budaya barat


menekankan individualism, kognitivisme, bebas, dan materialism. Sedangkan
budaya timur menekankan comunalisme, emosionalisme, determinisme, dan
spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.

Pengajuan model berpusat pada budaya berdasarkan pada suatu kerangka


pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini,
seringkali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-
kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak
mengerti keyakinan-keyanikan budaya yang fundamental konselornya demikian
pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau
bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan
budaya mereka. Oleh sebab itu, pada model ini budaya menjadi pusat perhatian
artinya fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai
budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu.

Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan konseli


terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini, mereka dapat
mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas
dan keunikan cara pandang masing-masing.

2. Model Integratif (Intergrative Mode)

Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitam Amerika, Jones
(Palmer dan Laungani) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan
konseptual dalam konseling model integrative, yakni sebagai berikut:

a. Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reaction to racial of opperassion).


b. Pengaruh budaya mayoritas.
c. Pengaruh budaya tradisional.
d. Pengalaman an anugerah individu dan keluarga.

Menurut Jones dalam Palmer dan Laungani, pada kenyataannya sungguh


sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya,

7
yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap
pengalaman-pengalaman budaya tradisioanal sebagai suatu sumber perkembangan
pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang
memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang
tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah
collective uncosious (ketidaksadaran kolektif), yakni nilai-nilai budaya yang
diturunkan dari generasi ke generasi oleh sebab itu, kekuatan model konseling ini
terletak pada kemampuan nilai-nilai budaya tradisioanal yang dimiliki individu
dari berbagai variabel diatas.

3. Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)

Model etrnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed Fraser (1979)


yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993), model ini
merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma
memfasilitasi dialog therapeutic dan peningkatan sensitifitas transkultural.

2.2 SEJARAH KONSELING LINTAS BUDAYA

Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya
meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa
Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan
kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat
pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan
pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan
bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya.

Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi


keragaman dan perbedaan dengan kata lain, kecendrungan pendidikan pendidikan
berwawasan lintas budaya sangat diperlukan dalam kehidupan manusia abad ke-
21. Dasar pertimbangan yang melatari sangat pentingnya wawasan lintas budaya
dalam bidang pendidikan, terutama di pengaruhi oleh globalisasi dan modrenisasi
yang sangat pesat, yang antara lain ditandai dengan kecendrungan besar
perubahan kehidupan sebagai berikut.

Pertama, kehidupan demokratisasi yang ditunjukkan dengan kesadaran


akan hak asasi yang semakin meningkat pada setiap lapisan masyarakat. Kedua,
transparasi sebagai dampak dari perkembangan jenis media dan informasi yang
semakin beragam, yang menuntut kemampuan memprosesdan memproduksi
secara cerdas. Ketiga, efisiensi dalam pemanfaatan waktu yang menuntut manusia
untuk pandai membuat keputusan dalam bentuk perencanaan, pelaksanaan,
penilaian, penaksiran serta penerimaan risiko dari setiap keputusan secara
bertanggung jawab.

8
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya
dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik,
behavioristik, dan humanistik (Paul Pedersen). Banyak pengarang menulis tentang
konseling lintas budaya sering dari populasi minoritas mereka sendiri, untuk
menyebut jalan dari pergerakan suatu yang menegaskan landasan pengetahuan
Eurosentrik, yang sebelumnya melingkupi landasan pengetahuan pluralistic. Pada
akhirnya, pandangan lintas budaya ditandai oleh pendekatan holistic untuk
membantu dan penyembuhan , terfokuskan pada kelompok dan keluarga alih-alih
pada individu dan menggunakan sudut pandang yang integral alih-alih linear.

2.2 Jurnal Terkait

Judul: Konseling Lintas Budaya dan Agama (Nilai-Nilai pada Masyarakat


Suku Batak dalam Melakukan Pendampingan terhadap Disabilitas)

Latar Belakang:Melalui Konseling Lintas Budaya dan Agama perlu melakukan


Pendampingan terhadap Kesejahteraan Disabilitas khususnya bagi Suku Batak,
dimana masih ada pemahaman bahwa “Disabilitas” disebabkan karena kutukan.
Melalui konseling lintas budaya dan agama, nilai-nilai msyarakat suku batak
dimanfaatkan untuk memanusiakan manusia, sebab memanusiakan manusia
adalah bagian dari keadilan dalam masyarakat.

Kesimpulan: Nilai-nilai masyarakat suku Batak melalui Hagabeon dan Dalihan


Na Tolu, memberi satu model konseling lintas budaya bahwa disabilitas atau
difabel merupakan manusia yang memiliki keterbatasan aktivitas dan pembahasan
partisipasi yang membutuhkan hidup yang dimanusiakan. Disabilitas atau diffabel
adalah fenomena kompleks, Bukan kutukan atau karma atas dosa keluarga,
melainkan karya paling agung dari Allah. Melalui konseling lintas budaya di
tengah-tengah masyarakat lewat kearifan yang menjadi filosofi hidup suku Batak,
disabilitas/diffabel menjadi bagian masyarakat secara sosial yang memiliki hak
yang sama dengan manusia normal, manusia yang membeutuhkan keadilan dan
hak yang sama diantara masyarakat dimana ia berinteraksi, butuh dukungan dan
sokongan agar dapat berkarya dan percaya diri melelui bekal pendidikan yang
butuhkan untuk kesejahteraan sosial hidup dan hak-hak sosial dalam masyarakat.
Melalui nilai kearifan suku batak memberi satu model konseling lintas budaya
terhadap masyarakat normal maupun yang disabilitas.

Judul: Penerapan Konseling Lintas Budaya dan Studi Feminis Poskolonial


Terhadap Penindasan Budaya Patriarki

Latar Belakang: Salah satu bentuk ketidakadilan yang patut diperhatikan adalah
budaya patriarki Budaya patriarki diartikan sebagai sebuah sistem nilai yang
menempatkan laki-laki pada tempat yang lebih tinggi dari kaum perempuan

9
(Mies, 1986). Budaya patriarki ini telah menyebabkan perempuan mengalami
berbagai ketidakadilan, baik itu marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi,
subordinasi, sterotype, kekerasan dan beban kerja ganda (double burdens).

Ketidakadilan yang terjadi karena budaya patriarki yang dipahami sebagai


budaya penindasan laki-laki terhadap perempuan juga dialami oleh para
perempuan Timor yang tinggal di Desa Tetaf, Kecamatan Kuatnana-Kabupaten
Timor Tengah Selatan (TTS). Budaya Timor yang kental dengan patriarki telah
membentuk sebuah konstruksi sosial yang memisahkan tugas laki-laki dan
perempuan (gender) dalam ritus na poitan li ana (membawa anak keluar). Ritus ini
menunjukkan bahwa sejak lahir sudah ada pembedaan ranah kerja, laki-laki
bekerja di luar dan perempuan dalam rumah.

Kesimpulan: isu penindasan perempuan dalam budaya patriarki masyarakat


Timor, khususnya di desa Tetaf masih terus terjadi. Hal ini juga yang menjadi
alasan bagi beberapa orang perempuan untuk keluar dari desa Tetaf dan menjadi
TKW. Pengalaman menjadi TKW memberikan perubahan persepsi bagi
perempuan Timor namun hal ini tidak mampu mengubah posisi mereka sebagai
“yang kedua” ketika mereka kembali ke desa Tetaf. Budaya patriarki tetap
menjadi penjajah bagi mereka, karena sekembalinya mereka ke Tetaf, pendapat
mereka tetap dikuasai oleh laki-laki, bahkan impian mereka untuk menggunakan
uang tersebut untuk meningkatkan taraf kehidupan menjadi buyar. Adapun model
konseling lintas budaya yang dapat ditawarkan adalah: Konselor, perkenalan
dengan konseli, observasi budaya (nilai negatif & positif), menyatukan nilai-nilai
yang sejalan, dan menyediakan opsi penyelesaian masalah.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Konseling lintas budaya adalah berbagai hubungan konseling yang
melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas;
atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial
dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya dikarenakan variabel-variabel
lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia.

Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya
meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa
Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan
kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat
pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan
pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan
bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya.

11
DAFTAR PUSTAKA
Nuzliah. 2016. Counseling Multikultural. Jurnal edukasi Vol.2 No.2 (Diakses
pada tanggal 20 Februari 2021)

Umami Khoirunnisa, Luky. 2018. Bimbingan dan konseling dengan teknik


multicultural terhadap anak berkebutuhan khusus disekolah inklusi. Jurnal Mitra
Pendidikan Vol.2 No.5 (Diakses pada tanggal 20 Februari 2021)

12

Anda mungkin juga menyukai

  • Kel 1
    Kel 1
    Dokumen20 halaman
    Kel 1
    Dera
    Belum ada peringkat
  • Kel 5
    Kel 5
    Dokumen12 halaman
    Kel 5
    Dera
    Belum ada peringkat
  • Kel 4
    Kel 4
    Dokumen17 halaman
    Kel 4
    Dera
    Belum ada peringkat
  • Kel 2
    Kel 2
    Dokumen17 halaman
    Kel 2
    Dera
    Belum ada peringkat
  • Kel 5
    Kel 5
    Dokumen12 halaman
    Kel 5
    Dera
    Belum ada peringkat
  • Kel 6
    Kel 6
    Dokumen20 halaman
    Kel 6
    Dera
    Belum ada peringkat
  • Kel 2
    Kel 2
    Dokumen9 halaman
    Kel 2
    Dera
    Belum ada peringkat
  • Kel 1
    Kel 1
    Dokumen10 halaman
    Kel 1
    Dera
    Belum ada peringkat
  • Teori Work Adjusment
    Teori Work Adjusment
    Dokumen5 halaman
    Teori Work Adjusment
    Dera
    Belum ada peringkat