Kel 1
Kel 1
DOSEN PENGAMPU:
Dra. Tri Umari, M. Si
Munawir, M. Pd
KELOMPOK 1 :
MASRO FATIL KHASANAH (1905112817)
RAHMI RAMADHANI (1905112332)
SALSABILA ROSMA NURLINDHA (1905125005)
WIDYA PERMATA SARI (1905110153)
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Penulis ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah dan innayah-Nya kepada kita sampai
saat ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
‘‘PENGERTIAN DAN SEJARAH KONSELING LINTAS BUDAYA”.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan................................................................................................................. 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal
pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan
yang harmoni dalam kondisi pluralistik.Dengan demikian Ivey, Allen e
mengatakan hubungan konseling tidaklah sederhana, sebab masing-masing klien
membawa suatu latar belakang historis dan budaya yang khusus yang mempunyai
implikasi kuat untuk hasil konseling itu, oleh karena itu pemahaman tentang
konseling multikultural sangat diperlukan dalam proses konseling.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Dalam pandangan Rendon perbedaan budaya bisa terjadi pada rasa tau
etnik yang sama apapun berbeda. Oleh sebab itu, definisi konseling lintas budaya
yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagai berikut. Konseling lintas budaya
adalah berbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda
etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang
melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi
memiliki perbedaan budaya dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks,
orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia.
1) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, , dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.
3
3. Membantu klien agar dapat hidup bersama dalam masyarakat
multikultural.
4. Memperkenalkan, mempelajari kepada klien akan nilai-nilai budaya lain
untuk di jadikan revisi dalam membuat perancanaan, pilihan, keputusan
hidup kedepan yang lebih baik.
1. Untuk Konselor
a. Kesadaran terhadap pengalaman dan sejarah dalam kelompok budayanya.
b. Kesadaran tentang pengalaman diri dalam lingkungan arus besar
kulturnya.
c. Kepekaan perseptual terhadap kepercayaan diri dan nilai-nilai yang
dimilikinya.
2. Untuk Pemahaman Konseli
a. Kesadaran dan pengertian atau pemahaman tentang sejarah dan
pengalaman budaya konseli yang dihadapi.
b. Kesadaran perseptual akan pemahaman dan pengalaman dalam
lingkungan kultur dari konseli yang dihadapi.
c. Kepekaan perseptual terhadap kepercayaan diri konseli dan nilai-nilainya.
3. Untuk Proses Konseling
a. Hati-hati dalam mendengarkan secara aktif, konselor harus dapat
menunjukkan baik secara verbal maupun non-verbal bahwa ia memahami
yang dibicarakan konseli dan dapat mengkomunikasikan tanggapannya
dengan baik sehingga dapat dipahami oleh konseli.
b. Memperhatikan konseli dan situasinya seperti konselor memperhatikan
dirinya dalam situasi tersebut, serta memberikan dorongan optimisme dalam
menemukan solusi yang realistis.
c. Mempersiapkan mental dan kewaspadaan jika tidak memahami
pembicaraan konseli dan tidak ragu-ragu memintak penjelasan.
4
harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak dapat memahami
pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu meminta penjelasan agar proses
konseling berjalan efektif.
1. Bahasa.
2. Nilai
3. Stereotip
4. Kelas Sosial
5
Didalam masyarakat terdapat kelas sosial atas (atas-atas, atas-menengah,
atas bawah); menengah (menengah atas, menengah-menengah, menengah bawah);
dan bawah (bawah atas, bawah menegah, bawah-bawah). Pada proses konseling,
tingkat perbedaan antara pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan
wawasan mereka terhadap dunia dan dapat merupakan hambatan besar. Konselor
dari kelas sosial menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan klien dan
kelas social bawah atau atas.
6. Jenis Kelamin
7. Usia
8.Gaya Hidup
6
tanpa pernikahan, hidup sederhana tanpa harta beda, Ada banyak gaya hidup yang
merupakan proses konseling yang merupakan penghambat proses konseling,
terutama pada gaya hidup alternative yang sulit dimengerti dan diterima oleh
masyarakat umum termasuk konselor.
Palmer and Laungani mengajukan tiga model konseling lintas budaya, (1)
cultul centered mode, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical Model.
Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitam Amerika, Jones
(Palmer dan Laungani) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan
konseptual dalam konseling model integrative, yakni sebagai berikut:
7
yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap
pengalaman-pengalaman budaya tradisioanal sebagai suatu sumber perkembangan
pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang
memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang
tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah
collective uncosious (ketidaksadaran kolektif), yakni nilai-nilai budaya yang
diturunkan dari generasi ke generasi oleh sebab itu, kekuatan model konseling ini
terletak pada kemampuan nilai-nilai budaya tradisioanal yang dimiliki individu
dari berbagai variabel diatas.
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya
meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa
Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan
kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat
pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan
pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan
bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya.
8
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya
dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik,
behavioristik, dan humanistik (Paul Pedersen). Banyak pengarang menulis tentang
konseling lintas budaya sering dari populasi minoritas mereka sendiri, untuk
menyebut jalan dari pergerakan suatu yang menegaskan landasan pengetahuan
Eurosentrik, yang sebelumnya melingkupi landasan pengetahuan pluralistic. Pada
akhirnya, pandangan lintas budaya ditandai oleh pendekatan holistic untuk
membantu dan penyembuhan , terfokuskan pada kelompok dan keluarga alih-alih
pada individu dan menggunakan sudut pandang yang integral alih-alih linear.
Latar Belakang: Salah satu bentuk ketidakadilan yang patut diperhatikan adalah
budaya patriarki Budaya patriarki diartikan sebagai sebuah sistem nilai yang
menempatkan laki-laki pada tempat yang lebih tinggi dari kaum perempuan
9
(Mies, 1986). Budaya patriarki ini telah menyebabkan perempuan mengalami
berbagai ketidakadilan, baik itu marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi,
subordinasi, sterotype, kekerasan dan beban kerja ganda (double burdens).
10
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Konseling lintas budaya adalah berbagai hubungan konseling yang
melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas;
atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial
dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya dikarenakan variabel-variabel
lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia.
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya
meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa
Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan
kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat
pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan
pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan
bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya.
11
DAFTAR PUSTAKA
Nuzliah. 2016. Counseling Multikultural. Jurnal edukasi Vol.2 No.2 (Diakses
pada tanggal 20 Februari 2021)
12