Anda di halaman 1dari 6

ARTIKEL

SISTEM PERKAWINAN HINDU

(Banjar Umalas Kangin)

Penyusun :

Nama : I KETUT ANGGA WIRATAMA

No : 14

Kelas : XII IPA 6

Tahun Ajaran

2021/2022
Manusa Yadnya

(Pawiwahan)

Dari sudut pandang etimologi kata pawiwahan berasal dari kata dasar “wiwah”. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia disebutkan kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang artinya pesta
pernikahan. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 disebutkan “perkawinan
ditemukan lahir mandi antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha
Esa”. Upacara pawiwahan merupakan persaksian baik ke dihadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
maupun pada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai suami istri, dan
segala akibat menjadi tanggung jawab mereka bersama. Di samping upacara tersebut juga merupakan
kerentanan terhadap sukla swanita (bibit) serta lahir mandinya. Hal tersebut agar bibit dari kedua
mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh buruk (gangguan Bhuta Kala), sehingga jika keduanya
bertemu (terjadi pembuahan) akan terbentuklah sebuah “manik” yang sudah bersih. Dengan demikian
agar roh yang akan menjiwai manik tersebut adalah roh yang baik/suci dan kemudian akan lahirlah
seorang anak yang berguna di masyarakat. Pawiwahan dalam Agama Hindu adalah yadnya dan
perbuatan dharma. Wiwaha merupakan momentum awal dari Grahasta Asrama yaitu tahapan
kehidupan berumah tangga. Tugas pokok di dalam suatu pawiwahan Menurut lontar Agastya Parwa
yaitu mewujudkan suatu kehidupan yang disebut Yatha Sakti Kayika Dharma yang artinya dengan
kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Menurut pandangan Agama Hindu bahwa pawiwahan
adalah yajna (kewajiban suci) karena perkawinan yang diharapkan akan melahirkan anak yang
suputra.

Dengan demikian upacara sakral adalah upacara yang dimana seorang laki-laki dan
perempuankan diri secara lahir bathin sebagai suami istri untuk membangun rumah tangga yang
harmonis melalui suatu upacara disesuaikan secara sekala dan niskala.
Berikut tata cara pernikahan di banjar Umalas Kangin dalam agama Hindu :

1. Izin

Pada hari ini orang tua calon pengantin pria datang ke rumah calon pengantin wanita
bertemu dengan orang orang tuanya untuk bermusyawarah mengenai tujuan dari calon
pengantin kedua serta meminta persetujuan kepada orang tua calon pengantin wanita

2. Menentukan Hari Baik

Setelah sebelumnya calon keluarga mempelai pria datang untuk meminang atau
dalam bahasa Bali disebut memadik atau ngindih, kedua belah pihak keluarga beranjak untuk
memilih waktu yang tepat untuk menikahkan kedua putra putri mereka. Warga Bali yang
sangat religius, mempercayai hari baik untuk melaksanakan pernikahan. Dimana hari baik
yang telah disepakati tersebut, menjadi hari bagi calon mempelai wanita untuk dijemput dan
dibawa ke rumah calon mempelai pria.

3. Ngekeb

Sama halnya dengan ritual siraman pada adat Jawa, dalam adat pernikahan Bali pun
memiliki tradisi demikian. Perbedaannya, sebelum siraman, calon mempelai wanita
dilulurkan oleh ramuan yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga dan beras yang
telah ditumbuk halus, serta air merang untuk keramas. ini sebagai persiapan menyambut hari
pernikahan keesokan harinya. Selain persiapan lahiriah, mental atau batin pun perlu persiapan
dengan memperbanyak doa kepada Sang Hyang Widhi agar menurunkan kebahagiaan dan
anugerah-Nya. Dalam menjalani ritual ngekeb, calon mempelai wanita dilarang keluar dari
kamar mulai hari hingga calon mempelai pria datang bertemu keluarga.

4. Penjemputan Calon Mempelai Wanita

Sesuai tradisi, acara pernikahan tidak diadakan di kediaman wanita seperti


kebanyakan daerah, tetapi dilaksanakan di kediaman pihak laki-laki. Itu sebabnya mengapa
calon mempelai wanita dijemput. Namun, sebelum dijemput untuk dibawa, calon mempelai
wanita telah diselimuti kain kuning tipis mulai dari ujung rambut hingga kaki. Kain kuning
yang membungkus calon mempelai wanita diibaratkan bahwa mempelai wanita telah siap
mengubur masa lalunya sebagai lajang untuk menyongsong kehidupan baru, kehidupan
berumah tangga.
5. Mesegehagung

Ritual mesegehagung merupakan upacara khusus menyambut mempelai wanita.


Setibanya di kediaman mempelai pria, kedua mempelai diturunkan dari tandu untuk bersiap
menghadapi prosesi mesegehagung. Sekali lagi, kedua mempelai ditandu menuju kamar
pengantin. Kain kuning yang masih berdiri tubuh mempelai wanita akan dibuka oleh ibu
calon mempelai pria dan ditukar dengan uang kepeng satakan (kepeng sebutan untuk mata
uang pada masa akhirnya) senilai dua ratus kepeng.

6. Mekala - Kalaan (Madengen-Dengen)

Dengan dipandu oleh pendeta Hindu, prosesi mekala-kala dimulai tepat saat bunyi
genta berma. Pelaksanaan mekala-kala harus sesuai dengan tahapan-tahapan berikut
ini.

- Menyentuhkan Kaki pada Kala Sepetan

Upacara mekala-kala bertujuan untuk menyucikan dan membersihkan diri


kedua mempelai. Mempelai pria dan tegenan sementara mempelai wanita membawa
bakul perdagangan, lalu keduanya berputar bersama tiga kali mengelilingi sanggar
pesaksi, kemulan, dan penegteg. Tidak merekamkan kaki pada kala sepetan.

- Jual Beli

Bakul yang dibawa oleh calon mempelai wanita tersebut kemudian akan
dibeli oleh calon mempelai pria. Kegiatan tersebut merupakan analogi dari kehidupan
rumah tangga yang harus saling melengkapi, mengisi dan mengisi, hingga mencapai
tujuan yang diinginkan.

- Menusuk Tikeh Dadakan

Calon mempelai wanita bersiap siap memegang anyaman tikar yang terbuat
dari daun pandan muda (tikeh dadakan). Sedangkan calon mempelai pria memegang
keris, siap menghunuskan tikeh dadakan dengan kerisnya. Menurut kepercayaan umat
Hindu, tikeh dadakan yang dipegang calon mempelai wanita menyimbolkan kekuatan
Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni), dan keris milik calon mempelai pria
perlambangan dari kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga).

- Memutuskan Benang

Sebelum memutuskan benang, kedua mempelai bersama-sama menanam


kunyit, talas dan andong tepat di belakang merajan atau sanggah sebagai wujud
melanggengkan keturunan keluarga. Baru setelah itu, memutuskan benang yang
terentang pada cabang dadap (papegatan) yang menganalogikan bahwa kedua
mempelai siap menanggalkan masa remaja untuk memulai hidup berkeluarga.

8. Upacara Mewidhi Widana


Prosesi upacara adat pernikahan yang wajib dilalui adalah Mewidhi Widana, pada
saat ini prosesi dipimpin oleh seorang pendeta atapun sulinggih, bunyi genta mengiringi
prosesi ini untuk menyempurnakan upacara pernikahan, membersihkan diri kedua
mempelai setelah upacara-upacara sebelumnya. Pada saat ini keduanya menuju sanggah
atau pura merajan di pekarangan rumah, memberitahukan akan hadirnya keluarga baru
kepada leluhur, memohon ijin dan restu agar kehidupan berkeluarga keduanya
dilanggengkan, bahagian dan memiliki keturunan yang baik. Pada saat tersebut kedua
mempelai memakai pakaian kebesaran pengantin bahkan bisa juga dengan pakaian adat
biasa sesuai kemampuan.
9. Upacara Mejauman (Ma Pejati)
Ini adalah prosesi terahkir dalam upacara adat pernikahan di Bali, pada saat ini
identik juga dengan “ngabe tipat bantal” atau membawa tipat bantal beberapa daerah
menyebutnya sebagai upacara “meserah”. Saat ini wanita yang mengikuti sang suami
datang kembali ke keluarga wanita didampingi oleh keluarga besar, kerabat dan tetangga
dari keluarga pria. Melakukan upacara mepamit di sanggah pekarangan ataupun merajan,
mepamit (mohon ijin meninggalkan) secara niskala kepada leluhur keluarga wanita. Pada
saat tersebut kedatangan keluarga pria membawa juga panganan tradisional yang utama
adalah tipat dan bantal sebagai simbol kekuatan Lingga dan Yoni atau purusa pradana
berikut panganan lainnya seperti ketan kukus merah dan putih, sumping, apem dan
lainnya.

Upacara pernikahan/pawiwahan adalah upacara yang sakral dimana seorang laki-laki dan
perempuan mengikatkan diri secara lahir bathin sebagai suami istri untuk membangun rumah tangga
yang harmonis melalui suatu upacara pembersihan secara sekala dan niskala. Tujuan dari pawiwahan
adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra
yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal
(moksa). Sistem pawiwahan yang digunakan di banjar Basangkasa ada dua yaitu sistem
memadik/meminang, dan sistem nyentana. Rangkaian upacara pawiwahan yaitu menentukan hari
baik, penjemputan calon mempelai wanita, medengen-dengenan, upacara mewidhi widana, dan
upacara mejauman.

Anda mungkin juga menyukai