Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi
sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan
seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya
yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul ” Ketentuan Pembagian Warisan ”. Dalam
penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak,
karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada: Kedua orang tua dan. Dari sanalah semua kesuksesan ini
berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan
menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap
isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu
ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata
penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

DAFTAR ANGGOTA.............................................................................................. ii

KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iv

1. BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan...................................................................................... 2

2. BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hukum Waris.................................................................. 3

B. Hukum Waris……………………………………………………………4

C. Rukun dan Syarat-syarat Warisan............................................................ 8

D. Ahli Waris dari Kalangan Laki-laki......................................................... 10

E. Ahli Waris dari Kalangan Perempuan...................................................... 11

F. Syarat Mendapatkan Warisan……………………………………………12

G. Perbedaan Waris dan Hibah Serta Hukum Hibah................................... 13

3. BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap
itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama ,dengan
orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti
lingkungan.Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan
orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan
masyarakat lingkungannya.

Demikian jugadengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum


kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian
tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang
berhubungandengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat
hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak
para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.Adanya kematian
seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaiman
acara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama
Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama IlmuMawaris,
Fiqih Mawaris, atau Faraidh.

Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian
mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai
hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.Hukum waris islam
adalah salah satu dari obyek yang dibahas dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia
selain masalah munakahah dan muamalah. Masalah hukum waris islam ini sangat
penting sekali untuk difahami oleh umat muslim. Akan tetapi seperti yang telah banyak
kita ketahui, hukum waris islam di Indonesia sudah mulai ditinggalkan oleh umat
muslim. Karena hukum waris islam itu sendiri dianggap sulit untuk diterapkan dalam
kehidupan masyarakat. Semakin kompleknya hubungan kekerabatan atau
kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat menjadi salah satu faktor yang menjadi
penyebab hukum waris islam mulai ditinggalkan masyarakat, dan mayoritas umat
muslim sekarang ini menggunakan hukum waris yang umum digunakan dalam
masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam Al-Qur’an dan juga As-
sunnah.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian Waris dan Hukum Waris

2. Bagaimana Hukum Waris Islam

3. Bagaimana Hukum Waris Adat

4. Bagaimana Hukum Waris Perdata

5. Apa Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan Perdata

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan pembuatan makalah ini pada hakekatnya merupakan sesuatu yang


hendak dicapai dan dapat memberikan arahan dan penjelasan yang akan dilakukan.
Berpijak pada rumusan penelitian diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam
makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan warisan yang sesuai
dengan ketentuan hukum islam.

1. Untuk Mengetahui Pengertian Waris dan Hukum Waris.

2. Untuk Mengetahui Hukum Waris Islam.

3. Untuk Mengetahui Hukum Waris Adat.

4. Untuk Mengetahui Hukum Waris Perdata.

5. Untuk Mengathui Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan
Perdata.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN HUKUM WARIS

Mawaris adalah ilmu yang membicrakan tentang cara-cara pembagian harta


waris. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid. Harta waris ialah harta peninggalan
orang mati. Di dalam islam, harta waris disebut juga tirkah yang berarti peninggalan
atau harta yang ditinggal mati oleh pemiliknya. Di kalangan tertentu, harta waris
disebut juga harta pusaka. Banyak terjadi fitnah berkenaan dengan harta waris.
Terkadang hubungan persaudaraan dapat terputus karena terjadi persengketaan dalam
pembagian harta tersebut. Islam hadir memberi petunjuk cara pembagian harta waris.
Diharapkan dengan petunjuk itu manusia akan terhindar dari pertikaian sesame ahli
waris.

Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (‫)موارث‬, yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa –yarisu – irsan – mirasan. Maknanya
menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau
dari suatu kaum kepada kaum lain.Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal
para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada
ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah,
atau apa saja yang berupa hakmilik yang legal secara syar’i. Jadi yang dimaksudkan
dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang
telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-
Quran danal-Hadis.

Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-
siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima,
serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.Sedangkan Wirjono Prodjodikoro
mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-
hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

Pengertian waris dari kata mirats, menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu
dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain.
Sesuatu ini bersifat umum, bisa berupa harta, ilmu, keluhuran atau kemuliaan.
Sedangkan waris menurut Ash-Shabuni, ialah berpindahnya hak milik dari mayit
kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, atau hak-hak
syar’i ahli waris.
Adapun dalam hukum waris Islam adalah penggunaan hak manusia akan harta
peninggalan orang yang meninggal kepada ahli waris karena adanya sebab-sebab dan
telah terpenuhinya syarat rukunnya, tidak tergolong terhalang atau menjadi penghalang
warits.Menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan adalah
pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup
tanpa terjadi akad lebih dahulu.

Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses pelaksanaan hak-hak pewaris
kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara yang telah
ditetapkan oleh nash. Kata kedua dalam Al-Qur’an yang menunjukan waris dan
kewarisan adalah Al-faraidh. Dalam bahasa Arab, al-Faraidh adalah bentuk jamak dari
kata faridhah, yang diambil dari kata fardh yang artinya ketentuan yang pasti.
Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran Surat An-Nisa’ (4) ayat 11

Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh
ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah
dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta
warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak
berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan.

Hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang
yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan
masyarakat yang lebih berhak

B. Hukum Waris Islam

1. Definisi Hukum Waris Islam

Dalam beberapa literatur Hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan
Hukum Waris Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh dan hukum kewarisan.
Perbedaan dalam penamaan ini trjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama
dalam pembahasan.

Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang
membahas tentang harta peninggalan, tentang bgaimana proses pemindahan, siapa saja
yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-
masing bagian harta waris menurut hukum waris islam.[3]

Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris
(Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris
menurut islam ialah:

"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam
islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang
diterima oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"
Hukum Waris Islam kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk
jamak dari kata fardh, yg artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila
dihubungkan dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah ilmu untuk
mengetahui cara membagi harta waris orang yang telah meninggal dunia kepada yang
berhak menerimanya menurut hukum islam. Di dalam ketentuan Hukum Waris
Menurut Islam yang terdapat dalam Al-quran lebih banyak yang ditentukan
dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya.[4]

2. Dalil Al-Qur’an Dan Al-Hadist Tentang Waris

a. Dalil Al Qur’an

Di dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang secara detail menyebutkan tentang
pembagian waris menurut hukum Islam, di antaranya adalah QS An Nisa ayat: 11, 12,
176.

1 . Ayat waris untuk anak


ْ ‫ك َوإِن كَان‬
‫َت َوا ِح َدةً فَلَهَا‬ َ ْ‫َر ِم ْث ُل َحظِّ األُنثَيَي ِْن فَإِن ُك َّن نِ َساء فَو‬
َ ‫ق ْاثنَتَ ْي ِن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما تَ َر‬ ِ ‫صي ُك ُم هّللا ُ فِي أَوْ الَ ِد ُك ْم لِل َّذك‬
ِ ‫يُو‬
ُ‫النِّصْ ف‬
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta. (QS. An-Nisa’ : 11)
2 . Ayat waris untuk orang tua
ُ‫ث فَإِن َكانَ لَه‬ ُ ُ‫ك إِن َكانَ لَهُ َولَ ٌد فَإِن لَّ ْم يَ ُكن لَّهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ أَبَ َواهُ فَألُ ِّم ِه الثُّل‬ ِ ‫َوألَبَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َو‬
َ ‫اح ٍد ِّم ْنهُ َما ال ُّسدُسُ ِم َّما ت ََر‬
ِ ‫ضةً ِّمنَ هّللا‬
َ ‫صي بِهَا أَوْ َدي ٍْن آبَآ ُؤ ُك ْم َوأَبنا ُؤ ُك ْم الَ تَ ْدرُونَ أَيُّهُ ْم أَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعا ً فَ ِري‬ ِ ‫إِ ْخ َوةٌ فَألُ ِّم ِه ال ُّسدُسُ ِمن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬
‫إِ َّن هّللا َ َكانَ َعلِيما َح ِكي ًما‬
Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’ : 11)
3 . Ayat waris buat suami dan istri
.‫بِهَا‬ َ‫صين‬ ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ِ ‫ك أَ ْز َوا ُج ُك ْم إِن لَّ ْم يَ ُكن لَّه َُّن َولَ ٌد فَإِن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكنَ ِمن بَ ْع ِد َو‬
َ ‫َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما ت ََر‬
‫بِهَا‬ َ‫ُون‬ ‫ص‬‫و‬ ُ ‫ت‬ ‫ة‬ َّ ‫ي‬ ‫ص‬ ‫و‬
ٍ ِ َ ِ َ ِّ ‫د‬ ‫ع‬ْ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫م‬ُ ‫ت‬ ْ
‫ك‬ ‫ر‬ َ ‫ت‬ ‫ا‬
َ َّ ِ ُ‫م‬ ‫م‬ ُ‫ن‬ ‫م‬ ُّ ‫ث‬ ‫ال‬ َّ
‫ُن‬ ‫ه‬ َ ‫ل‬َ ‫ف‬ ٌ
‫د‬ َ ‫ل‬‫و‬ ‫م‬‫ك‬ُ َ ‫ل‬ َ
‫ك‬ ‫ن‬
َ ْ َ‫ْ َ ِ ان‬ ‫إ‬َ ‫ف‬ ٌ
‫د‬ َ ‫ل‬ ‫و‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ َّ ‫ل‬ ‫ن‬ ُ
‫ك‬ َ ْ ِ ْ َ َّ ِ ‫أَوْ َدي ٍْن َولَه َُّن الرُّ بُ ُع‬
‫ي‬ ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫ن‬‫إ‬ ‫م‬ ُ ‫ت‬ ْ
‫ك‬ ‫َر‬ ‫ت‬ ‫ا‬‫م‬ ‫م‬
‫َد ْي ٍن‬ َْ‫أو‬

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.Paraistri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.
(QS. An-Nisa’ : 12)
4 . Ayat waris Kalalah
Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
saudara perempuan.
ٌ ‫ْس لَهُ َولَ ٌد َولَهُ أُ ْخ‬
َ ‫ت فَلَهَا نِصْ فُ َما ت ََر‬
‫ك‬ َ َ‫ك قُ ِل هّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْال َكالَلَ ِة إِ ِن ا ْم ُر ٌؤ هَل‬
َ ‫ك لَي‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa’ : 176)

b.      Dalil Shunah
Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum
waris buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

.‫َ ْولَى َر ُج ٍل َذكَر‬:‫ض بِأ َ ْهلِ َها فَ َما بَقِ َي فَ َِِأل‬


َ ِ‫سو ُل هللاِ أَ ْل ِحقُوا الفَ َرائ‬
ُ ‫س قَا َل قَا َل َر‬
ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
“Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabdam”Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang
tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama.” (HR Bukhari)

ْ ‫سلِ ُم الكاَفِ َر َوالَ الكَافِ ُر ال ُم‬


‫سلِ َم‬ ْ ‫ث ال ُم‬ َ ُ‫عَنْ أ‬
ُ ‫ قَا َل قَا َل َر‬ ‫سا َمةَ ْب ِن َز ْي ٍد‬
ُ ‫سو ُل هللاِ الَ يَ ِر‬
“Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir
tidak mendapat warisan dari seorang muslim”.
Hambal dalam Al-Musnad meriwayatkan:                                 
‫ى‬: ‫ص‬ َ ‫إِ َذا أَ ْو‬:َ‫نَةً ف‬:‫س‬ َ ‫ ِر‬:‫ ِل ا ْل َخ ْي‬:‫ل أَ ْه‬:
َ َ‫ ْب ِعين‬:‫س‬ ِ :‫إِنَّ ال َّر ُج َل لَيَ ْع َم ُل بِ َع َم‬ r ِ ‫سو ُل هَّللا‬ُ ‫عَنْ أَبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َر‬
ً‫نَة‬: ‫س‬ َ َ‫ ْب ِعين‬:‫س‬ َّ ‫ار َوإِنَّ ال َّر ُج َل لَيَ ْع َم ُل بِ َع َم ِل أَ ْه ِل‬
َ ‫ ِّر‬: ‫الش‬ َ َّ‫صيَّتِ ِه فَيُ ْختَ ُم لَهُ بِش َِّر َع َملِ ِه فَيَد ُْخ ُل الن‬ِ ‫َحافَ فِي َو‬
ْ َ ُ َ َ َ
ِ ْ‫صيَّتِ ِه فيُ ْختَ ُم لَهُ بِ َخ ْي ِر َع َملِ ِه فيَد ُْخ ُل ا ْل َجنَّة قَا َل ث َّم يَقُو ُل أبُو ُه َر ْي َرةَ َواق َر ُءوا إِن‬
‫ َك‬:‫ش ْئتُ ْم تِ ْل‬ ِ ‫فَيَ ْع ِد ُل فِي َو‬
ٌ ‫ُحدُو ُد هَّللا ِ إِلَى قَ ْولِ ِه َع َذ‬
ٌ‫اب ُم ِهين‬
“Dari Abu Hurairah  Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya seorang beramal dengan
amalan kebaikan selama tujuh puluh tahun, kemudian dia berwasiat (di akhir hayatnya)
dan berbuat dzolim dalam wasiatnya maka amalnya ditutup dengan kejelekan maka
diapun masuk neraka, dan ada seorang yang melakukan amalan kejelekan selama tujuh
puluh tahun kemudian dia berwasiat dengan keadilan (diakhir hayatnya) maka
amalannya ditutup dengan kebaikan maka masuklah ke dalam jannah”.

Indahnya islam dalam menjaga hak-hak manusia:


‫ا‬::َ‫الَتْ ي‬::َ‫فَق‬ r ِ ‫سو ِل هَّللا‬ ُ ‫س ْع ٍد إِلَى َر‬َ ْ‫يع بِا ْبنَتَ ْي َها ِمن‬ ِ ِ‫س ْع ِد ْب ِن ال َّرب‬ َ ُ‫عَنْ َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ قَا َل َجا َءتْ ا ْم َرأَة‬
‫ا فَلَ ْم‬::‫ َذ َمالَ ُه َم‬:‫ش ِهيدًا َوإِنَّ َع َّم ُه َما أَ َخ‬َ ‫يع قُتِ َل أَبُو ُه َما َم َعكَ يَ ْو َم أُ ُح ٍد‬ ِ ‫سو َل هَّللا ِ هَات‬
َ ‫َان ا ْبنَتَا‬
ِ ِ‫س ْع ِد ْب ِن ال َّرب‬ ُ ‫َر‬
‫و ُل‬:‫س‬ ُ ‫ث َر‬ َ ‫ث فَبَ َع‬ِ ‫ةُ ا ْلمِي َرا‬:َ‫ َزلَتْ آي‬:َ‫ضي هَّللا ُ ِفي َذلِكَ فَن‬ ِ ‫يَ َد ْع لَ ُه َما َمااًل َواَل تُ ْنك ََحا ِن إِاَّل َولَ ُه َما َما ٌل قَا َل يَ ْق‬
‫س ْع ٍد الثُّلُثَ ْي ِن َوأَ ْع ِط أُ َّم ُه َما الثُّ ُمنَ َو َما بَقِ َي فَ ُه َو لَ َك‬ ِ ‫إِلَى َع ِّم ِه َما فَقَا َل أَع‬ r ِ ‫هَّللا‬
َ ‫ْط ا ْبنَت َْي‬
“`Dari Jabir bin Abdillah t berkata: Istri Sa’d bin Rabi’t mendatangi Rasulullah r
dengan membawa kedua anak perempuan dari Sa’d t, dia berkata: “Wahai Rasulullah,
kedua anak perempuan ini adalah anak Sa’d bin Rabi’ yang terbunuh syahid ketika
perang Uhud bersama engkau, dan paman keduanya (saudara laki-laki Sa’d bin Rabi’-
pent) mengambil harta keduanya dan tidak meninggalkan untuk keduanya harta, dan
keduanya tidak bisa dinikahkan kecuali jika memiliki harta. (mendengar pengaduan
ini) Rasulullah r bersabda: “Allah akan memutuskan perkara ini.” Kemudian turunlah
ayat-ayat tentang waris maka Rasulullah r mengutus kepada paman kedua anak ini dan
memerintahkan agar memberi kedua anak perempuan Sa’d bin Rabi duapertiga, dan
memberi ibunya seperdelapan dan apa yang tersisa adalah untukmu”.

c. Manfaat Waris Islam

Keuntungan atau hikma hmenerapkan mawaris ini juga untuk manusia. Hikmah
melaksanakan mawaris antara lainsebagai berikut.[6]

1) Untuk menunjukkan ketaatan kita kepada kita wajib taat kepada semua perintah
Allah, termasuk dalam hal mawaris. Dengan menerapkan mawaris ini berarti kita taat
kepada Karena ketaatan itu, maka melaksanakan mawaris dinilai ibadah.

2) Untuk menegakkan keadilan. Dengan mcnerapkan mawaris, berarti kita


menegakkankeadilan. Adil di dalam Islam tidak sama dengan sama rata dan sama rasa.
Banyak danscdikitnya bagian ahli waris itu disesuaikan dengan tanggung jawabnya
dalam halmenanggung natkah dan kedckatan kekerabatannya terhadap si mayat.
3) Untuk tetap mengharmoniskan hubungan antar kerabat Jika semua ahli waris
menyadari aturanini, dengan pembagian warisan menggunakan hukum akan membuat
hubungan mereka akan tetap harmonis. Namun, jika tidak menggunakan hukum
mawaris ini, kemungkinan akan timbul monopoli. Akibatnya ,perpecahan di antara
kerabat itu tidak dapat dihindari.

4) Untuk lebih menyejahterakan keluarga yang ditinggal. Dengan menggunakan


hukum waris Islam, pembagian anak lebih besar daripada keluarga yang lebih jauh.
Inidimaksudkan agar keturunan yang ditinggalkan itu tidak hidup dalam
kesengsaraan.Dengan tidak menggunakan hukum waris Islam, bisa terjadi anak sendiri
tidak mendapatkan bagian harta pusaka, sedangkan saudara yang lebih jauh
malahmemperoleh banyak.

5) Untuk kemaslahatan masyarakat. Dengan menerapkan hukum waris Islam,


masyarakatkita akan tenang. Jika tidak dibagi menurut aturan ini, kemun kinan terjadi
di masyrakatMisalnya, anak atau saudara dekatnya mistinya memperoleh bagian
ternyata tidak.Masyarakat akan bergejolak lantaran bersimpati kepada akhli waris
dekat yang mestinya mendapat bagian itu.

6) Mengangkat martabat dan hak kaum wanita sebagai ahli waris.

7) Menghindarkan terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah


pembagian harta wariasan.

8) Menghindari timbulnya fitnah. Karena salah satu penyebab timbulnya fitnah


adalah pembagian harta warisan yang tidak benar.

9) Dapat mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak positif


bagi keadilan dalam masyarakat.

10) Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh


anggota keluarganya.

11) Menjunjung tinggi hukum Allah.

C. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT WARISAN.

Rukun waris ada tiga:

1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk
mewarisi harta peninggalannya.

2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan
pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga warisan dianggap sah, ada tiga macam,
yaitu :

● SyaratPertama :

Orang yang akan mewariskan telah meninggal dunia denga sebenar-benarnya, atau
secara legal, maupun berdasarkan pekiraan. Meninggalnya pewaris secara nyata dapat
diketahui dengan melihat secara langsung atau dengan mendapatkan bukti yang dapat
diterima secara syariat. Meninggalnya pewaris secara legal maksudnya ialah seperti
orang hilang, orang yang tidah ada berita dan tidak diketahui apakah dia masih hidup
atau sudah mati. Orang seperti ini harus ditunggu sampai dia kembali dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan syariat islam.

Ketiak waktu yang ditentukan sudah habis, maka persoalan tersebud bisa diadukan ke
pengadilan dan dihukumi dia telah meninggal. Sejak ia dihukumi sebagai orang yang
meninggal dunia, maka istrinya menjalani masa iddah istri yang ditinggalkan mati
suaminya, lalu harta peninggalanya dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.

Ketika tidak mengetahui secara pasti, mengenaiorang hilang yang hartanya akan dibagi
untuk kemudian istrinya diperintahkan untuk menjalani masa iddah, apakah dia benar-
benar telah meninggal atau belum. Kita hanya menyandarkan pada ketetapan hakim
bahwa dia telah meninggal dunia.

Sementara kematian berdasarkan perkiraan adalah seperti seorang ibu hamil dipukul
perutnya oleh seseorang, kemudia janin trsebudmengalami keguguran.

● Syarat kedua :

Ahli waris masih hidup, ketika orang yang memiliki warisan meninggal dengan
sebenar-benarnya taua berdasakan perkiraan. Maksud adari ahliwarisnya masih hidup
adalah bisa disaksikan dengan mata secara langsung atau dengan keterangan yangbisa
diterima secara syari’.

Sedangkan hidup berdasarkan perkiraan adalah seperti ahli warisnya masih berbentuk
janin berada di perud sang ibu, sementara ayahnya meninggal dunia. Apabial
kehamilan itu terjadi tatkala sang ayah meninggal dunia, dan janinnya masih berbentuk
segumpal darah atau sebongkah daging, maka hal demikian belum dikategorikan
hidup.
● Syarat ketiga :

Pihak yang akan mendapa waris (ahli waris) diketahui secara definitif. Misalkan si
fulan akan mendapatkan warisan dari si fulan yang sudah meninggal dunia disebabkan
dia adalah kerabatnya, yaitu sodara kandung si mayit, dan tidak ada yang menghalangi
dia untuk mendapatkan warisan. Syarat ini khusus di pengadilan.

D. AHLI WARIS DARI KALANGAN LAKI-LAKI

Para ulama syariat bersepakat mengenai pewarisan lima belas dari kalangan laki-
laki. Mereka itu adalah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki kebawah
dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak terhalang oleh perempuan, ayah, kake
ayah dari ayah keatas ddengan syarat antara dia dan si mayit tidah ada prempuan,
saudara laki-laki kandung, anak dari saudara laki-laki kandung kebawah dengan
syaratantara dia dengan simayit tidak ada perempuan, saudara seayah, anak dari
saudara seayah kebawahn dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak ada
perempuan, saudara laki-laki seibu, paman saudara ayah sekandung, anak paman
saudara ayah sekandung kebawah dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak ada
perempuan, paman saudara ayah seayah, anak paman saudara ayah seayah kebawah
denga syarat antara dia dengansi mayit tidak ada perempuan, suami, maula al-mu’taq
(tuan dari orang yang membebaskan budak).

Jika anda memperhatikan para ahli waris tersebud, anda akan melihat bahwa diantara
mereka ada yang mendapatkan warisan dikarenakan faktor ikatan pernikahan, yaitu
suami. Satu dari mereka dapat mewarisi karena faktor walak, yaitu tuan yang
membebaskan budak (maula al-mu’taq) tiga belas lainnya mewarisi karena karena
faktor hubungan kekerabatan. Mereka tentu selain dari dua orang yang telah
disebutkan. Jika anda melihat kembali orang yang mendapatkan warisan karena faktor
kekerabatan, anda akan melihat mereka terbagi menjadi empat macam : Pertama,
pokok dari simayit(usulul mayit), yaitu ada dua: ayah dan kakek ayah dari ayah ke
atas.

Kedua, cabang si mayit(furu’ al-mayit). Mereka juga ada dua, yaitu anak laki-laki dan
cucu laki-laki kebawah. Ketiga cabang dari dua orang si mayit. Mereka ada lima yaitu,
saudara laki-laki dan sodaranya kebawah, sodara laki-laki seayah dan anaknya
kebawah, sodara laki-laki seibu. Keempat, cabang dari kakek simayit ayah dari ayah.
Mereka ada empat paman saudara laki-laki ayah laki-laki sekandung dananaknya
kebawahpamaan dari saudara laki-laki seayah dan anaknhya kebawah.

Mereka berbeda pendapat mengenai dua macam klangan laki-laki ; pertama maula al-
muwalah. Abu Hanifah berpendapat bahwa dia dapat mewarisi. Sementara tiga imam
yang lain berpendapat bahwa dia tidak dapat mewarisi. Kedua, laki-laki dari dzawi al-
arham seprti kake ayah dari ibu, bibi dan anak laki-laki dari anak perempuan. Menurut
Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal serta ulama kontenporer Malikiyah dan Asy-
Syafi’iyah bahwa laki-laki dzawi al-arham mendapat warisan. Menurut Malik dan
Syifii bahwa laki-laki dari dzawi al-arham tidak mendapatkan warisan.

E. AHLI WARIS PEREMPUAN

Para ulama’bersepakat bahwa ada sepuluh orang dari kalangan wanita yang bisa
mendapatkan warisan. Mereka itu adalah, anak perempuan, cucu perempuan dari anak
laki-laki kebawah, ayah ayah dari anak perempuan dengan syarat angtara anak
perempuan dengan si mayit ad a seorang perempuan, ibu, nenek ibu dari ibu ke atas
dengan syarat silsilah nasab antara anak perempuan dengan si mayit semuanya adalah
wanita, nenek ibu dari ayah secara langsung, saudara perempuan kandung, saudara
perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri dan maulah al-mu’taqoh (tuan yang
memerdekakan budak).

Jika anda melihat kembali para wanita tersebud, anda akan mendapatkan bahwa
salah satu dari mereka mendapatkan warisan karena tali pernikahan, yaitu istri, satu
dari mereka mewarisi karena wala’, yaitu maula al-mu’taqah dan delapan wanita
lainnya mendapatkan warisan karena hubungan kekerabatan. Mereka tentu selain dari
dua orang sebelumnya. Jika anda melihat kembali delapan kelompok wanita tersebud
yang mendapatkan warisan karena hubungan kekerabatan, anda akan mendapatkan
bahwa mereka dibagi menjadi tiga; pertama, cabang dari si mayit. Kedua nya, anak
perempuan dan cucu dari anak perempuan ke bawah ayahnya. Kedua, pokokdari
simayit. Mereka ada tiga, yaitu ibu, nenek ibu dari ibu ke atas dengan syarat-syaratnya,
nenek ibu dari ayah. Anda tidak akan menemukan dari mereka itu cabang dari kake si
mayit karena semua cabang dari kakek nenek dari kalangan wanita seperti bibi saudara
perempuan ayah, bibi saudara perempuan ibu dan anaknya termasuk dari dzawi al-
arham.

Para ulama berbeda pendapat mengenai tiga macam wanita; Pertama, wanita dari
dzawat al-arham(kerabat dekat wanita), seperti bibi saudara perempuan ayah, bibi
saudara perempuan ibu,anak perempuan dari bibi saudara perempuan ayah, anak
perempuan dari bibi saudara perempuan ibu dan cucu dari anak perempuan. Menurut
Abu Hanifah, Ahmad, ulama-ulama madzhab Malik kontenporer dan Asy-Syafi’iyah
bahwa mereka bisa mendapatkan warisan. Menurut imam Asy-Syafi’I dan Malik
bahwa mereka tidak mendapatkan warisan. Bagian dua, maulah al-muwalah, menurut
Abu Hanifah bahwa dia mendapat warisan.

Sementara menurut tiga imam lainnya diatidah mendapatkan warisan. Bagian


ketiga nenek dari ayah jika antara dia dan ayah terdapat lebih dari satu perantara.
Imam Malik berkata, “jika antara dia dengan si mayit tidak ada laki-laki selain ayah si
mayit, maka diamendapat warisan seperti ibu ibu ayah dari si mayit dan ibu ibu ibu
ayahnya. Jika antara dia dan si mayit ada dua orang laki-laki maka dia tidak
mendapatkan warisan, seperti ibu ayah ayahnya dan ibu ibu ayah ayahnya.” Ini adalah
salah satu pendapa dari Asy-Syafi’i.

Ahmad bin Hambal berkata,”jika antara dia dan si mayit ayahnya atau kakeknya
ayah dari ayanhnya, maka dia mendapatkan warisan seperti ibu ibu ayah ayahnya dan
ibu ibu ibu ibu ayahnya. Jika antara dia dan si mayit lebih dari dua orang, maka dia
tidak mendapatkan warisan seperti ibu ayah ayah ayahnya.” Abu Hanifah dan Asy-
syafi’I berkata,” dalam pendapat yang kedua yaitu pendapat yang paling rajih, kakek
mendapatkan warisan dari sisi ayah meski ada perantara nasab antara dia dengan si
mayit dengan syarat antara dia dengan si mayit seorang laki-laki selain ahli waris.

Seorang laki-laki selain ahli waris tersebud adalah semua laki-laki yang terletak
antaradua wanita seperti ibu ayah ibu ayah si mayit, jika seorang laki-laki tidak
terletak antara dua wanita dalam silsilah nasab yang sampai kepada mayit, maka dia
termasuk ahli waris, seperti ibu ayahnya ibu ibu ayahnya, ibu ayah ayahnya, ibu ibu
ibu ayah ayahnya, ibu ayah ayah ayahnya, dan ibu ibu ayah ayah ayahnya.

F. Syarat Mendapatkan Warisan.

Adapun syarat-syarat untuk mendapatkan warisan adalah :

a. Harus ada orang yang meninggal.

b. Harus dilahirkan hidup atau dianggap sebagai subyek hukum pada hari kematian
pewaris.

c. Ahli waris itu patut / pantas menerima warisan.

Ketentuan mengenai ahli waris yang tidak patut menerima warisan, sebagaimana diatur
dalam pasal 838, 839 dan 840 BW. Yang intinya adalah sebagai berikut :

a. Pasal 838 BW mengatur tentang yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris
dan karenanyapun dikesampingkan dari pewarisan, yaitu :

1) Orang yang dihukum karena membunuh/mencoba membunuh si pewaris.

2) Orang yang dihukum karena memfitnah si pewaris pada waktu masih hidup.

3) Orang yang dengan kekerasan atau secara paksa mencegah si pewaris membuat
wasiat atau memaksa untuk mencabut wasiatnya.

4) Orang yang telah menggelapkan dan merusak atau memalsukan surat wasiat.
b. Pasal 839 BW mengatur tentang ketentuan bahwa orang yang tidak patut
menerima warisan, harus mengembalikan semua hasil dan pendapatan yang telah
dinikmatinya semenjak warisan tersebut terbuka.

c. Pasal 840 BW mengatur tentang ketentuan bahwa anak-anak dari orang yang
tidak patut menerima warisan tetap berhak menerima warisan, tetapi orang tuanya
( yang tidak patut menerima warisan tersebut ) tidak boleh menikmati hasil warisan
tersebut.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana seandainya pewaris memberikan wasiat


kepada seseorang yang kemudian ternyata orang tersebut dinyatakan tidak patut
menerima warisan ? Bagaimana pula jika demikian halnya dengan suami/istri dan
anak-anaknya ? Hal ini diatur dalam , intinya adalah istri/suami dan keturunan dari
orang yang mendapat warisan berdasarkan wasiat dan kemudian dinyatakan tidak patut
menerima warisan, tidak berhak mendapat warisan tersebut. Maka warisan ini jatuh
pada saudara-saudara pewaris yang dekat ( golongan II ).[18]

F. PERBEDAAN WARISAN DAN HIBAH SERTA HUKUM SEPUTAR HIBAH

Adapun perbedaan tersebut dapat dilihat dari tabel perbedaan dibawah ini :

A. Warisan

Di dalam hukum syariah, yang namanya warisan hanya dibagi-bagi manakala ada
seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang punya nilai
nominal. Harta tersebut kemudian dibagi kepada ahli warisnya dengan ketentuan
pembagian langsung dari langit. Bukan hasil rekayasa dan pendekatan logika manusia.
Di dalam Al Qur’an, Pembagian warisan telah dicantumkan secara jelas dalam Surat
An-Nisa’ ayat 11 dan 12 (penjelasan mengenai pembagian hak waris dalam Islam akan
dibahas dalam tulisan berikutnya). Agama Islam tidak pernah mengenal seseorang
yang masih hidup segar bugar membagi-bagi hartanya kepada ahli warisnya. Karena
syarat terjadinya waris yang pertama kali adalah meninggalnya seseorang yang
hartanya akan dibagi waris.

B. Hibah

Apabila ada orang yang masih hidup yang membagi-bagi hartanya, maka hal itu
disebut hibah. Hibah adalah harta yang diberikan kepada pihak lain, baik ahli waris
atau pun yang bukan ahli waris, berapa pun nilainya, semasa dia masih hidup.
Konsekuensinya, pada saat pembagian itu pula harta tersebut sudah berpindah pemilik.
Begitu dibagikan, harta hibah tersebut sudah bukan lagi milik yang memberi hibah,
tetapi secara sah dan resmi telah menjadi milik orang yang diberi hibah.
Agar sebuah hibah menjadi sah dan tidak berpotensi menimbulkan konflik di masa
mendatang, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:

1. Surat Pernyataan Hibah

Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus
menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu
dijelaskan jenis hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan. Selain
itu, pernyataan itu harus mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya. Dan
terutama sekali juga harus ditandatangani oleh para calon ahli waris si pemberi hibah
agar tidak muncul masalah di kemudian hari.

Jadi agar hibah tidak menimbulkan konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah
dan resmi.

2. Pengurusan Surat Kepemilikan

Setelah surat pernyataan hibah ditandatangani oleh semua pihak yang


terkait,selanjutnya harus dilengkapi pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu
harta.

Misalnya, ketika seorang ayah menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu
baru sah dan resmi secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu
sudah diselesaikan. Misalnya, sertifikat tanah itu sudah dibalik-nama kepada anaknya.

Apabila yang dihibahkan berupa kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus
dibalik-nama pada saat penghibahan itu.

3. Penyerahan Harta

Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah
diserahkan secara tunai, bukan sekedar baru dijanjikan. Sebagai pihak yang diberikan
hibah, sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau harta itu secara fisik belum
diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji, keinginan, niat dan sejenisnya, harus
disadari bahwa semua itu belum merupakan pemindahan kepemilika

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah
(peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal,
baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk
diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau apa-apa yang
yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan sedemikian luas
sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-
sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak
yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang
lain.

Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan


seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli
waris dan menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama
keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran
dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’
dengan seadil-adilnya.
DAFTAR PUSTAKA

Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra

http://media.isnet.org/islam/Waris

alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.html

www.mutiarahadits.com/70/33/76/warisan-waria-atau-banci.html

http://mtmiftahulkhoir.wordpress.com/2008/06/17/pembagian-warisan-menurut-islam/

TUGAS AGAMA

Ketentuan Pembagian Warisan


Adhelia Febriasari Harahap
Afif Malik Azhar
Alif Ripaldi
Dania Alfira
Kumara Aditya Ramadhan
Kournikova Nabila Airlia Putri
Liana Aprilayonda
Muhammad Bayu Pratama
Nabilla Azzahra
Nadya Anggellica

TAHUN PELAJARAN
2020/2021

SEMESTER 5

KELAS XII IPA 6

Anda mungkin juga menyukai