DAFTAR ANGGOTA.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iv
1. BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................... 2
2. BAB II PEMBAHASAN
B. Hukum Waris……………………………………………………………4
A. Kesimpulan.............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap
itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama ,dengan
orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti
lingkungan.Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan
orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan
masyarakat lingkungannya.
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian
mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai
hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.Hukum waris islam
adalah salah satu dari obyek yang dibahas dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia
selain masalah munakahah dan muamalah. Masalah hukum waris islam ini sangat
penting sekali untuk difahami oleh umat muslim. Akan tetapi seperti yang telah banyak
kita ketahui, hukum waris islam di Indonesia sudah mulai ditinggalkan oleh umat
muslim. Karena hukum waris islam itu sendiri dianggap sulit untuk diterapkan dalam
kehidupan masyarakat. Semakin kompleknya hubungan kekerabatan atau
kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat menjadi salah satu faktor yang menjadi
penyebab hukum waris islam mulai ditinggalkan masyarakat, dan mayoritas umat
muslim sekarang ini menggunakan hukum waris yang umum digunakan dalam
masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam Al-Qur’an dan juga As-
sunnah.
B. RUMUSAN MASALAH
5. Apa Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan Perdata
C. TUJUAN PENULISAN
5. Untuk Mengathui Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan
Perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras ()موارث, yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa –yarisu – irsan – mirasan. Maknanya
menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau
dari suatu kaum kepada kaum lain.Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal
para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada
ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah,
atau apa saja yang berupa hakmilik yang legal secara syar’i. Jadi yang dimaksudkan
dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang
telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-
Quran danal-Hadis.
Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-
siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima,
serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.Sedangkan Wirjono Prodjodikoro
mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-
hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Pengertian waris dari kata mirats, menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu
dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain.
Sesuatu ini bersifat umum, bisa berupa harta, ilmu, keluhuran atau kemuliaan.
Sedangkan waris menurut Ash-Shabuni, ialah berpindahnya hak milik dari mayit
kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, atau hak-hak
syar’i ahli waris.
Adapun dalam hukum waris Islam adalah penggunaan hak manusia akan harta
peninggalan orang yang meninggal kepada ahli waris karena adanya sebab-sebab dan
telah terpenuhinya syarat rukunnya, tidak tergolong terhalang atau menjadi penghalang
warits.Menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan adalah
pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup
tanpa terjadi akad lebih dahulu.
Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses pelaksanaan hak-hak pewaris
kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara yang telah
ditetapkan oleh nash. Kata kedua dalam Al-Qur’an yang menunjukan waris dan
kewarisan adalah Al-faraidh. Dalam bahasa Arab, al-Faraidh adalah bentuk jamak dari
kata faridhah, yang diambil dari kata fardh yang artinya ketentuan yang pasti.
Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran Surat An-Nisa’ (4) ayat 11
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh
ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah
dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta
warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak
berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan.
Hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang
yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan
masyarakat yang lebih berhak
Dalam beberapa literatur Hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan
Hukum Waris Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh dan hukum kewarisan.
Perbedaan dalam penamaan ini trjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama
dalam pembahasan.
Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang
membahas tentang harta peninggalan, tentang bgaimana proses pemindahan, siapa saja
yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-
masing bagian harta waris menurut hukum waris islam.[3]
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris
(Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris
menurut islam ialah:
"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam
islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang
diterima oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"
Hukum Waris Islam kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk
jamak dari kata fardh, yg artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila
dihubungkan dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah ilmu untuk
mengetahui cara membagi harta waris orang yang telah meninggal dunia kepada yang
berhak menerimanya menurut hukum islam. Di dalam ketentuan Hukum Waris
Menurut Islam yang terdapat dalam Al-quran lebih banyak yang ditentukan
dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya.[4]
a. Dalil Al Qur’an
Di dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang secara detail menyebutkan tentang
pembagian waris menurut hukum Islam, di antaranya adalah QS An Nisa ayat: 11, 12,
176.
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.Paraistri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.
(QS. An-Nisa’ : 12)
4 . Ayat waris Kalalah
Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
saudara perempuan.
ٌ ْس لَهُ َولَ ٌد َولَهُ أُ ْخ
َ ت فَلَهَا نِصْ فُ َما ت ََر
ك َ َك قُ ِل هّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْال َكالَلَ ِة إِ ِن ا ْم ُر ٌؤ هَل
َ ك لَي َ َيَ ْستَ ْفتُون
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa’ : 176)
b. Dalil Shunah
Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum
waris buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:
Keuntungan atau hikma hmenerapkan mawaris ini juga untuk manusia. Hikmah
melaksanakan mawaris antara lainsebagai berikut.[6]
1) Untuk menunjukkan ketaatan kita kepada kita wajib taat kepada semua perintah
Allah, termasuk dalam hal mawaris. Dengan menerapkan mawaris ini berarti kita taat
kepada Karena ketaatan itu, maka melaksanakan mawaris dinilai ibadah.
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk
mewarisi harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan
pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga warisan dianggap sah, ada tiga macam,
yaitu :
● SyaratPertama :
Orang yang akan mewariskan telah meninggal dunia denga sebenar-benarnya, atau
secara legal, maupun berdasarkan pekiraan. Meninggalnya pewaris secara nyata dapat
diketahui dengan melihat secara langsung atau dengan mendapatkan bukti yang dapat
diterima secara syariat. Meninggalnya pewaris secara legal maksudnya ialah seperti
orang hilang, orang yang tidah ada berita dan tidak diketahui apakah dia masih hidup
atau sudah mati. Orang seperti ini harus ditunggu sampai dia kembali dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan syariat islam.
Ketiak waktu yang ditentukan sudah habis, maka persoalan tersebud bisa diadukan ke
pengadilan dan dihukumi dia telah meninggal. Sejak ia dihukumi sebagai orang yang
meninggal dunia, maka istrinya menjalani masa iddah istri yang ditinggalkan mati
suaminya, lalu harta peninggalanya dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
Ketika tidak mengetahui secara pasti, mengenaiorang hilang yang hartanya akan dibagi
untuk kemudian istrinya diperintahkan untuk menjalani masa iddah, apakah dia benar-
benar telah meninggal atau belum. Kita hanya menyandarkan pada ketetapan hakim
bahwa dia telah meninggal dunia.
Sementara kematian berdasarkan perkiraan adalah seperti seorang ibu hamil dipukul
perutnya oleh seseorang, kemudia janin trsebudmengalami keguguran.
● Syarat kedua :
Ahli waris masih hidup, ketika orang yang memiliki warisan meninggal dengan
sebenar-benarnya taua berdasakan perkiraan. Maksud adari ahliwarisnya masih hidup
adalah bisa disaksikan dengan mata secara langsung atau dengan keterangan yangbisa
diterima secara syari’.
Sedangkan hidup berdasarkan perkiraan adalah seperti ahli warisnya masih berbentuk
janin berada di perud sang ibu, sementara ayahnya meninggal dunia. Apabial
kehamilan itu terjadi tatkala sang ayah meninggal dunia, dan janinnya masih berbentuk
segumpal darah atau sebongkah daging, maka hal demikian belum dikategorikan
hidup.
● Syarat ketiga :
Pihak yang akan mendapa waris (ahli waris) diketahui secara definitif. Misalkan si
fulan akan mendapatkan warisan dari si fulan yang sudah meninggal dunia disebabkan
dia adalah kerabatnya, yaitu sodara kandung si mayit, dan tidak ada yang menghalangi
dia untuk mendapatkan warisan. Syarat ini khusus di pengadilan.
Para ulama syariat bersepakat mengenai pewarisan lima belas dari kalangan laki-
laki. Mereka itu adalah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki kebawah
dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak terhalang oleh perempuan, ayah, kake
ayah dari ayah keatas ddengan syarat antara dia dan si mayit tidah ada prempuan,
saudara laki-laki kandung, anak dari saudara laki-laki kandung kebawah dengan
syaratantara dia dengan simayit tidak ada perempuan, saudara seayah, anak dari
saudara seayah kebawahn dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak ada
perempuan, saudara laki-laki seibu, paman saudara ayah sekandung, anak paman
saudara ayah sekandung kebawah dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak ada
perempuan, paman saudara ayah seayah, anak paman saudara ayah seayah kebawah
denga syarat antara dia dengansi mayit tidak ada perempuan, suami, maula al-mu’taq
(tuan dari orang yang membebaskan budak).
Jika anda memperhatikan para ahli waris tersebud, anda akan melihat bahwa diantara
mereka ada yang mendapatkan warisan dikarenakan faktor ikatan pernikahan, yaitu
suami. Satu dari mereka dapat mewarisi karena faktor walak, yaitu tuan yang
membebaskan budak (maula al-mu’taq) tiga belas lainnya mewarisi karena karena
faktor hubungan kekerabatan. Mereka tentu selain dari dua orang yang telah
disebutkan. Jika anda melihat kembali orang yang mendapatkan warisan karena faktor
kekerabatan, anda akan melihat mereka terbagi menjadi empat macam : Pertama,
pokok dari simayit(usulul mayit), yaitu ada dua: ayah dan kakek ayah dari ayah ke
atas.
Kedua, cabang si mayit(furu’ al-mayit). Mereka juga ada dua, yaitu anak laki-laki dan
cucu laki-laki kebawah. Ketiga cabang dari dua orang si mayit. Mereka ada lima yaitu,
saudara laki-laki dan sodaranya kebawah, sodara laki-laki seayah dan anaknya
kebawah, sodara laki-laki seibu. Keempat, cabang dari kakek simayit ayah dari ayah.
Mereka ada empat paman saudara laki-laki ayah laki-laki sekandung dananaknya
kebawahpamaan dari saudara laki-laki seayah dan anaknhya kebawah.
Mereka berbeda pendapat mengenai dua macam klangan laki-laki ; pertama maula al-
muwalah. Abu Hanifah berpendapat bahwa dia dapat mewarisi. Sementara tiga imam
yang lain berpendapat bahwa dia tidak dapat mewarisi. Kedua, laki-laki dari dzawi al-
arham seprti kake ayah dari ibu, bibi dan anak laki-laki dari anak perempuan. Menurut
Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal serta ulama kontenporer Malikiyah dan Asy-
Syafi’iyah bahwa laki-laki dzawi al-arham mendapat warisan. Menurut Malik dan
Syifii bahwa laki-laki dari dzawi al-arham tidak mendapatkan warisan.
Para ulama’bersepakat bahwa ada sepuluh orang dari kalangan wanita yang bisa
mendapatkan warisan. Mereka itu adalah, anak perempuan, cucu perempuan dari anak
laki-laki kebawah, ayah ayah dari anak perempuan dengan syarat angtara anak
perempuan dengan si mayit ad a seorang perempuan, ibu, nenek ibu dari ibu ke atas
dengan syarat silsilah nasab antara anak perempuan dengan si mayit semuanya adalah
wanita, nenek ibu dari ayah secara langsung, saudara perempuan kandung, saudara
perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri dan maulah al-mu’taqoh (tuan yang
memerdekakan budak).
Jika anda melihat kembali para wanita tersebud, anda akan mendapatkan bahwa
salah satu dari mereka mendapatkan warisan karena tali pernikahan, yaitu istri, satu
dari mereka mewarisi karena wala’, yaitu maula al-mu’taqah dan delapan wanita
lainnya mendapatkan warisan karena hubungan kekerabatan. Mereka tentu selain dari
dua orang sebelumnya. Jika anda melihat kembali delapan kelompok wanita tersebud
yang mendapatkan warisan karena hubungan kekerabatan, anda akan mendapatkan
bahwa mereka dibagi menjadi tiga; pertama, cabang dari si mayit. Kedua nya, anak
perempuan dan cucu dari anak perempuan ke bawah ayahnya. Kedua, pokokdari
simayit. Mereka ada tiga, yaitu ibu, nenek ibu dari ibu ke atas dengan syarat-syaratnya,
nenek ibu dari ayah. Anda tidak akan menemukan dari mereka itu cabang dari kake si
mayit karena semua cabang dari kakek nenek dari kalangan wanita seperti bibi saudara
perempuan ayah, bibi saudara perempuan ibu dan anaknya termasuk dari dzawi al-
arham.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tiga macam wanita; Pertama, wanita dari
dzawat al-arham(kerabat dekat wanita), seperti bibi saudara perempuan ayah, bibi
saudara perempuan ibu,anak perempuan dari bibi saudara perempuan ayah, anak
perempuan dari bibi saudara perempuan ibu dan cucu dari anak perempuan. Menurut
Abu Hanifah, Ahmad, ulama-ulama madzhab Malik kontenporer dan Asy-Syafi’iyah
bahwa mereka bisa mendapatkan warisan. Menurut imam Asy-Syafi’I dan Malik
bahwa mereka tidak mendapatkan warisan. Bagian dua, maulah al-muwalah, menurut
Abu Hanifah bahwa dia mendapat warisan.
Ahmad bin Hambal berkata,”jika antara dia dan si mayit ayahnya atau kakeknya
ayah dari ayanhnya, maka dia mendapatkan warisan seperti ibu ibu ayah ayahnya dan
ibu ibu ibu ibu ayahnya. Jika antara dia dan si mayit lebih dari dua orang, maka dia
tidak mendapatkan warisan seperti ibu ayah ayah ayahnya.” Abu Hanifah dan Asy-
syafi’I berkata,” dalam pendapat yang kedua yaitu pendapat yang paling rajih, kakek
mendapatkan warisan dari sisi ayah meski ada perantara nasab antara dia dengan si
mayit dengan syarat antara dia dengan si mayit seorang laki-laki selain ahli waris.
Seorang laki-laki selain ahli waris tersebud adalah semua laki-laki yang terletak
antaradua wanita seperti ibu ayah ibu ayah si mayit, jika seorang laki-laki tidak
terletak antara dua wanita dalam silsilah nasab yang sampai kepada mayit, maka dia
termasuk ahli waris, seperti ibu ayahnya ibu ibu ayahnya, ibu ayah ayahnya, ibu ibu
ibu ayah ayahnya, ibu ayah ayah ayahnya, dan ibu ibu ayah ayah ayahnya.
b. Harus dilahirkan hidup atau dianggap sebagai subyek hukum pada hari kematian
pewaris.
Ketentuan mengenai ahli waris yang tidak patut menerima warisan, sebagaimana diatur
dalam pasal 838, 839 dan 840 BW. Yang intinya adalah sebagai berikut :
a. Pasal 838 BW mengatur tentang yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris
dan karenanyapun dikesampingkan dari pewarisan, yaitu :
2) Orang yang dihukum karena memfitnah si pewaris pada waktu masih hidup.
3) Orang yang dengan kekerasan atau secara paksa mencegah si pewaris membuat
wasiat atau memaksa untuk mencabut wasiatnya.
4) Orang yang telah menggelapkan dan merusak atau memalsukan surat wasiat.
b. Pasal 839 BW mengatur tentang ketentuan bahwa orang yang tidak patut
menerima warisan, harus mengembalikan semua hasil dan pendapatan yang telah
dinikmatinya semenjak warisan tersebut terbuka.
c. Pasal 840 BW mengatur tentang ketentuan bahwa anak-anak dari orang yang
tidak patut menerima warisan tetap berhak menerima warisan, tetapi orang tuanya
( yang tidak patut menerima warisan tersebut ) tidak boleh menikmati hasil warisan
tersebut.
Adapun perbedaan tersebut dapat dilihat dari tabel perbedaan dibawah ini :
A. Warisan
Di dalam hukum syariah, yang namanya warisan hanya dibagi-bagi manakala ada
seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang punya nilai
nominal. Harta tersebut kemudian dibagi kepada ahli warisnya dengan ketentuan
pembagian langsung dari langit. Bukan hasil rekayasa dan pendekatan logika manusia.
Di dalam Al Qur’an, Pembagian warisan telah dicantumkan secara jelas dalam Surat
An-Nisa’ ayat 11 dan 12 (penjelasan mengenai pembagian hak waris dalam Islam akan
dibahas dalam tulisan berikutnya). Agama Islam tidak pernah mengenal seseorang
yang masih hidup segar bugar membagi-bagi hartanya kepada ahli warisnya. Karena
syarat terjadinya waris yang pertama kali adalah meninggalnya seseorang yang
hartanya akan dibagi waris.
B. Hibah
Apabila ada orang yang masih hidup yang membagi-bagi hartanya, maka hal itu
disebut hibah. Hibah adalah harta yang diberikan kepada pihak lain, baik ahli waris
atau pun yang bukan ahli waris, berapa pun nilainya, semasa dia masih hidup.
Konsekuensinya, pada saat pembagian itu pula harta tersebut sudah berpindah pemilik.
Begitu dibagikan, harta hibah tersebut sudah bukan lagi milik yang memberi hibah,
tetapi secara sah dan resmi telah menjadi milik orang yang diberi hibah.
Agar sebuah hibah menjadi sah dan tidak berpotensi menimbulkan konflik di masa
mendatang, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:
Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus
menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu
dijelaskan jenis hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan. Selain
itu, pernyataan itu harus mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya. Dan
terutama sekali juga harus ditandatangani oleh para calon ahli waris si pemberi hibah
agar tidak muncul masalah di kemudian hari.
Jadi agar hibah tidak menimbulkan konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah
dan resmi.
Misalnya, ketika seorang ayah menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu
baru sah dan resmi secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu
sudah diselesaikan. Misalnya, sertifikat tanah itu sudah dibalik-nama kepada anaknya.
Apabila yang dihibahkan berupa kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus
dibalik-nama pada saat penghibahan itu.
3. Penyerahan Harta
Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah
diserahkan secara tunai, bukan sekedar baru dijanjikan. Sebagai pihak yang diberikan
hibah, sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau harta itu secara fisik belum
diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji, keinginan, niat dan sejenisnya, harus
disadari bahwa semua itu belum merupakan pemindahan kepemilika
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah
(peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal,
baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk
diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau apa-apa yang
yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan sedemikian luas
sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-
sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak
yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang
lain.
Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra
http://media.isnet.org/islam/Waris
alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.html
www.mutiarahadits.com/70/33/76/warisan-waria-atau-banci.html
http://mtmiftahulkhoir.wordpress.com/2008/06/17/pembagian-warisan-menurut-islam/
TUGAS AGAMA
TAHUN PELAJARAN
2020/2021
SEMESTER 5