Anda di halaman 1dari 9

Hijrah Ke Habasyah

TH 45

Penindasan yang terjadi, pada permulaannya adalah tidak seberapa, namun kemudian dari bulan
demi bulan berubah menjadi lebih sadis dan mengkhawatirkan, terutama padapertengahan tahun
ke-5 sehingga tiada tempat lagi bagi mereka di Mekkah dan memaksa mereka untuk memikirkan
siasat lolos dari siksaan-siksaan tersebut. Dalam kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar
yang mengisyaratkan perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah tidaklah sempit,
dalam firmanNya:

ۗ ٌ‫نَة‬+ ‫ ُّد ْنيَا َح َس‬+ ‫ ِذ ِه ال‬+َ‫نُوا فِي ٰه‬+ ‫ين أَحْ َس‬
َ ‫وا َربَّ ُك ْم ۚ لِلَّ ِذ‬++ُ‫وا اتَّق‬++ُ‫ين آ َمن‬
َ ‫ا ِد الَّ ِذ‬++َ‫ا ِعب‬++َ‫لْ ي‬++ُ‫ق‬
ٍ ‫ُون أَجْ َرهُ ْم بِ َغي ِْر ِح َسا‬
‫ب‬ ِ ‫َوأَرْ ضُ هَّللا ِ َو‬
َ ‫اس َعةٌ ۗ إِنَّ َما ي َُوفَّى الصَّابِر‬

“…orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah
luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa
batas”. (Q.S.39/az-Zumar: 10).

Rasulullah telah mengetahui bahwa Ash-himah an-Najasyi, raja Habasyah adalah seorang yang
adil, tidak seorangpun yang berada disisinya terzhalimi; oleh karena itu, beliau memerintahkan
kaum Muslimin agar berhijrah ke sana guna menyelamatkan agama mereka dari fitnah.

Rombongan pertama yang membawa para shahabat bergerak pada bulan Rajab tahun ke-5 dari
kenabian. Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, dikepalai oleh
‘Utsman bin ‘Affan yang ditemani oleh Ruqayyah binti Rasulillah Shallallâhu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah menyifati keduanya sebagai “keluarga pertama yang berhijrah di jalan Allah setelah
Nabi Ibrahim dan Luth ‘alaihimassalaam”.
Blokade Quraisy yang Sewenang-wenang

TH 47
Setelah segala cara sudah ditempuh untuk menghentikan dakwah Rasulullah dan tidak
membuahkan hasil juga, kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya, ditambah lagi mereka
mengetahui bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Muththalib berkeras akan menjaga Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan membelanya mati-matian apapun resikonya. Karena itu, mereka
berkumpul di kediaman Bani Kinanah yang terletak di lembah al-Mahshib dan bersumpah untuk
tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak
berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka
menyerahkan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam untuk dibunuh. Mereka
mendokumentasikan hal tersebut, diatas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan
sumpah “bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak
akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka menyerahkan beliau Shallallâhu
‘alaihi wasallam untuk dibunuh”.

Perjanjian itu pun dilaksanakan dan digantungkan di rongga Ka’bah namun Bani Hâsyim dan Bani
al-Muththalib semuanya, baik yang masih kafir maupun yang sudah berimanselain Abu Lahab
tetap berpihak untuk membela Rasulullah. Mereka akhirnya tertahan di kediaman Abu Thalib
pada malam bulan Muharram tahun ke-7 sejak kenabian.

Pemboikotan semakin diperketat sehingga makanan dan stock pun habis, sementara kaum
musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekkah atau dijual kecuali mereka
segera memborongnya. Tindakan ini membuat kondisi Bani Hâsyim dan Bani al- Muththalib
semakin kepayahan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-
kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayiyang mengerang kelaparan pun terdengar
di balik kediaman tersebut. Tidak ada yang sampai ke tangan mereka kecuali secara sembunyi-
sembunyi, dan merekapun tidak keluar rumah untuk membeli keperluan keseharian kecuali pada
bulan-bulan yang diharamkan berperang. Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari
luar Mekkah akan tetapi penduduk Mekkah menaikkan harga barang-barang kepada mereka
beberapa kali lipat agar mereka tidak mampu membelinya.
Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau tiga tahun penuh. Barulah pada bulan
Muharram tahun ke-10 dari kenabian terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan
perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian
tersebut, diantara mereka ada yang pro dan ada yang kontra, maka pihak yang kontra ini akhirnya
berusaha untuk membatalkan shahifah tersebut. Ternyata shahifah telah dimakan rayap, kecuali
tulisan “bismikallâh” (dengan namaMu ya Allah) dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya
dimana rayap-rayap tersebut tidak memakannya. Sehingga Rasulullah bersama orang-orang yang
ada di kediaman Abu Thalib dapat leluasa keluar.

Wafatnya Abu Thalib dan Khadijah

TH 49
Sakit Abu Thalib semakin bertambah parah, tinggal menunggu saat-saat kematiannya, dan
akhirnya dia meninggal pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari nubuwah, selang enam bulan
setelah keluar dari pemboikotan. Ada yang berpendapat dia meninggal dunia pada bulan
Ramadhan, tiga bulan sebelum wafatnya Khadijah Radhiallahu anha. Ummul Mukminin Khadijah
Al Kubra meninggal dunia pada usia enam puluh lima tahun, sementara usia beliau saat itu lima
puluh tahun.

Hijrah ke Tha’if
Dua peristiwa ini terjadi dalam jangka waktu yang tidak terpaut lama, sehingga menorehkan
perasaan duka dan lara di hati Rasulullah Saw, belum lagi cobaan yang dilancarkan kaumnya,
karena dengan kematian keduanya mereka semakin berani menyakiti dan mengganggu beliau.
Mendung menjadi bertumpuk-tumpuk, sehingga beliau hampir putus asa menghadapi mereka.
Untuk itu beliau pergi ke Tha’if, dengan setitik harapan mereka berkenan menerima dakwah atau
minimal mau melindungi dan mengulurkan pertolongan dalam menghadapi kaum beliau. Sebab
beliau tidak lagi melihat seorang yang bisa memberi perlindungan dan pertolongan. Tetapi mereka
menyakiti beliau secara kejam, yang justru tidak pernah beliau alami sebelum itu dari kaumnya.

Karena penderitaan yang bertumpuk-tumnpuk pada tahun itu, maka beliau menyebutnya sebagai
“Annul-huzni” (tahun duka cita), sehingga julukan ini pun terkenal dalam sejarah.
Peristiwa Isra’ Mi’raj

TH 50
Rasulullah di-Isra’-kan (diperjalankan) dengan jasadnya dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis
dengan mengendarai Buraq, dan ditemani oleh malaikat Jibril alaihimassalam. Kemudian di sana
beliau singgah dan menjadi imam shalat bagi para nabi. Pada malam itu juga, beliau dengan
buraq-nya Mi’raj (naik) dari Baitul Maqdis ke langit dunia. Satu demi satu lapis langit beliau
lewati, dan setiap kali beliau melewati sebuah lapis langit, beliau menemui para nabi, mulai dari
Nabi Adam di langit pertama hingga Nabi Ibrahim di langit ketujuh. Beliau memberikan salam
kepada mereka, dan mereka menyambutnya dengan menjawab salam beliau seraya mengakui
kenabian beliau. Kemudian beliau naik lagi ke Sidratul Muntaha, lalu naik lagi ke Baitul Ma’mur.
Kemudian beliau naik lagi menemui Allah Ta’ala, beliau mendekat kepada-Nya, lalu Allah
memberikan wahyu-Nya yaitu tentang perintah shalat.

Sekembalinya dari Isra’ Mi’raj, keesokan harinya, Rasulullah menyampaikan kebesaran Allah
tersebut kepada kaumnya, namun mereka mengingkarinya dengan keras. Mereka meminta agar
Rasulullah menjelaskan ciri Masjidil-Aqsha. Maka Allah memperlihatkan baginya mesjid tersebut
sehingga beliau dapat melihatnya dengan jelas. Lalu beliau terangkan ciri-cirinya sehingga mereka
tak dapat membantahnya. Selanjutnya Rasulullah mengabarkan rombongan yang dilihatnya ketika
pulang dari Isra’ Mi’raj, maka beliau sampaikan tentang waktu kedatangannya bahkan
disampaikan pula onta yang berada di depan rombongan tersebut, ternyata semuanya persis seperti
apa yang beliau sampaikan. Diriwayatkan bahwa julukan Ash-Shiddiq (Yang Membenarkan) bagi
Abu Bakar ash-Shiddiq berawal dari pembenaran beliau terhadap peristiwa Isra’ Mi’raj yang
Rasulullah lakukan sementara orang-orang kafir mendustakannya.

Ba’iat Aqobah Pertama

TH 51
Musim haji tahun ke-11 kenabian, enam pemuda Madinah masuk Islam dan mereka berjanji untuk
menyampaikan misi yang dibawa Rasulullah kepada kaumnya. Maka, musim haji tahun
berikutnya (tahun ke-12 kenabian), datanglah 12 orang, di antara mereka adalah 5 orang yang
sebelumnya telah masuk Islam, ditambah 7 orang lagi selain mereka. Mereka segera menghubungi
Rasulullah untuk bertemu di Aqabah Mina, lalu mereka berbai’at (sumpah setia) kepada
Rasulullah untuk berjanji tidak akan menyekutukan Allah sedikitpun, tidak mencuri, tidak berzina,
tidak membunuh anak-anak mereka, tidak melakukan dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dan kaki mereka, dan tidak bermaksiat kepada Rasulullah.

Setelah bai’at dan seusai musim haji, Rasulullah mengutus bersama orang-orang yang berbai’at
tersebut duta pertama ke Yatsrib (Madinah), untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada kaum
muslimin di sana, Rasulullah memilih salah seorang pemuda Islam generasi pertama, yaitu
Mush’ab bin ‘Umair al-Abdary. Demikianlah seterusnya Mush’ab berda’wah di Madinah
sehingga tidak ada lagi rumah di kalangan Anshor, kecuali di dalamnya terdapat pria atau wanita
muslim.

Hijrah ke Madinah

TH 53
Sebuah rencana makar telah difokuskan oleh kaum musyrikin Mekah kepada Rasulullah saw., hal
ini dilakukan setelah mereka berkali-kali gagal melakukan upaya menghalangi mencegah,
mengintimidasi, menteror dan sebagainya. Sasaran utama mereka adalah para pengikut Rasulullah
yang terdiri dari orang-orang  lemah dan tidak memiliki dukungan kuat dari kabilahnya maupun
tokoh yang memiliki kekuatan. Semua cara kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir
musyrik ternyata tidak mampu menghentikan harakah dakwah. Maka mereka pun mencoba
menggunakan cara-cara lain, yaitu dengan cara “mudahanah” seperti dengan bujukan, rayuan dan
mengajak kompromi dan sebagainya, intinya adalah agar Rasulullah berhenti tidak lagi
menyerukan dakwah Islam kepada mereka.

Mereka menginginkan  agar kalimat tauhid, “La Ilaha Illallah” tidak lagi berkumandang di muka
bumi. Namun Rasulullah sedikit pun tidak bergeming dari tekadnya untuk terus menyampaikan
dakwah ini kepada seluruh manusia sampai Islam jaya di muka bumi atau beliau binasa dalam
memperjuangkannya.

Ketika orang-orang kafir mengetahui bahwa dakwah Rasulullah diam-diam terus berkembang
tidak hanya di kalangan keluarga atau teman-teman dekatnya, akan tetapi mulai didukung oleh
orang-orang  di luar kaum Quraisy, bahkan orang-orang dari luar kota Mekah, maka bertambahlah
kekhawatiran mereka karena jika Muhammad dapat keluar dari negerinya pasti akan menyusun
kekuatan bersama para pengikutnya untuk memerangi mereka, maka mereka pun segera
berkumpul di “darun nadwah” sebagai tanda keseriusan dan kebulatan tekad untuk mengakhiri
dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah.
Mereka bermusyawarah untuk menyatukan kata sepakat sebagaimana dilontarkan oleh Abu Jahal ,
yaitu kumpulkan para pemuda, preman dan  para algojo dari semua kabilah kemudian mereka
dipersenjatai dengan senjata lengkap, selanjutnya diinstruksikan kepada mereka secara serentak
untuk membunuh Muhammad. Hanya  dengan cara inilah mereka bisa lega  dari gangguan
dakwah Muhammad, kalkulasinya adalah jika Muhammad terbunuh  keluarga besarnya tidak akan
mampu berhadapan dengan semua kekuatan kabilah mereka.

Allah SWT mengungkapkan rencana makar mereka di dalam ayat Al-Quran:

“ Dan ingatlah ketika orang-orang kafir telah bersepakat untuk melakukan makar kepadamu,
untuk menangkap atau membunuhmu atau mengusirmu, mereka berbuat makar dan Allah pun
membuat makar untuk mereka dan makar Allah adalah lebih baik dari makar mereka”  (Al-Anfal,
30)

Musuh-musuh Islam senantiasa beranggapan bahwa dengan terbunuhnya Muhammad atau


pemimpin dakwah, maka tidak akan ada lagi perlawanan dari para pengikutnya, tidak ada lagi
jihad dan gerakan revolusioner  dari pengikutnya. Anggapan ini jelas tidak benar, karena
sesungguhnya semangat perjuangan Islam tidak akan pernah berhenti dengan terbunuhnya sang
pemimpin karena setiap diri orang beriman adalah pemimpin.

Upaya yang sia-sia

Maka dapat kita baca dalam sejarah atau kita saksikan bahwa semua  upaya orang-orang kafir
untuk membunuh tokoh dakwah hanya akan sia-sia saja dari usahanya. Karena Islam adalah
sebuah gerakan individu dan jamaah, sebuah gerakan ruhiyah aqliyah dan jasadiyah yang tak
terpisahkan satu sama lainnya, maka ketika musuh-musuh Islam berhasil untuk menghabisi
gerakan Islam dengan jalan membunuh pemimpinnya tidaklah berarti habis pula gerakan Islam itu
sendiri. Banyak contoh di beberapa negara muslim yang telah terbunuh pimpinannya namun
perjuangan pengikutnya justru semakin menjadi jadi bagai rantai yang tak terputus. Jika satu
terputus menjadi syahid  akan tumbuh beribu calon syuhada yang akan menunggu.

Langkah dan sarana menuju kemenangan

Sarana strategis dan penting untuk mengantarkan kemenangan yang dapat diambil dari peristiwa
hijrah antara lain:

Tidurnya Sahabat Ali ra di tempat tidur Rasulullah, hal ini menunjukkan betapa pentingnya
gerakan Islam menjalankan kewajiban ikhtiar dan persiapan dalam segala sesuatunya untuk
menghadapi musuh meski sesungguhnya seluruh kekuatan itu di gantungkan kepada Allah SWT.
Tidurnya Ali bin Abi Thalib adalah sebuah kesiapan total yang meliputi harta dan jiwa.

Keluarnya Rasulullah di waktu siang yang panas terik, karena sesungguhnya waktu siang
panas terik bagi kebanyakan orang-orang  Arab adalah waktu qailulah, waktunya orang
beristirahat tidur sebentar di siang hari, maka sikap ini mengandung makna kerahasiaan dan upaya
untuk menghindar dari pengawasan pandangan mata kebanyakan orang.

Keluarnya Nabi dari celah dinding rumah Abu Bakar, bisa jadi rumah Abu bakar As-Siddiq
adalah bagian dari wilayah pengamatan orang-orang musyrikin dari sekian banyak rumah yang
ada, hal ini menunjukkan upaya untuk menghindar pandangan orang yang senantiasa mengawasi
rumah seseorang di mana pada  umumnya pengawasan itu terfokus pada pintu sebagai kelayakan
orang keluar dan masuk rumah. Maka keluarnya nabi dari rumah Abu Bakar As-Siddiq melalui
celah dinding merupakan upaya rahasia untuk menjauhkan dari pengamatan dan pandangan
musuh.

Arah menuju Gua Tsur, jika rencana untuk membunuh Nabi di kota Mekah sudah tidak bisa
dihindari, maka berarti jalan menuju kota Madinah adalah fokus pengawasan bagi pasukan
berkuda dari orang-orang kafir yang telah disiap-siagakan agar Nabi tidak bisa sampai ke kota
Madinah.  Begitu kira-kira logika berfikir umumnya  orang, karena ke sanalah memang arah dan
tempat yang akan dituju oleh Nabi.

Maka menguasai dan menghalangi langkah musuh berarti  terselesaikannya perang secara cepat
dan praktis dengan lawan.

Ketika Nabi mengarahkan langkahnya ke gua tsur maka langkah ini dapat dikatakan sebagai
upaya mengalihkan analisa dari musuhnya dan sekaligus membuyarkannya, karena Gua Tsur tidak
berada di jalan menuju Madinah.

Berita-berita di kota Mekah, Abu Bakar as-Siddiq menyuruh anaknya Abdullah untuk
memantau berita yang dibicarakan orang-orang kafir tentang Nabi dan ayahnya di siang hari,
untuk kemudian kembali disampaikan kepada keduanya di malam hari, maka Nabi dan Abu Bakar
tidak sekadar bersembunyi untuk waktu tertentu seukuran waktu orang melakukan perjalanan ke
Madinah, akan tetapi juga harus mengetahui secara langsung atas kerahasiaan langkah dan upaya
yang dilakukannya, sejauh mana yang dilakukan oleh musuh. Nabi memastikan diri untuk dapat
memantau sikap dari musuhnya .

Mengatur perbekalan
Inilah peran yang diamanahkan kepada Asma binti Abu Bakar, selama Rasulullah dan ayahnya
berada di dalam gua untuk beberapa waktu, seandainya suplai makanan terputus kemungkinan
besar Rasulullah dan orang tuanya akan mati kelaparan. Anda bisa bayangkan seorang Asma binti
Abu Bakar seorang anak perempuan dengan segala keterbatasannya dibanding saudara lelaki nya
Abdullah bin Abu Bakar, namun demikian ia mampu memerankan tugasnya yang demikian
penting

Penghapusan bekas jejak


Mengikuti bekas jejak adalah petunjuk yang dapat menemukan persembunyian Rasulullah dan
Abu Bakar as-Siddiq di dalam gua.
Demikian pula ketika Abdullah dan Asma yang setiap hari mendatangi gua, maka tugas Amir bin
Fuhairah dialah yang menghapus bekas jejak keduanya.
Inilah sebuah pelajaran berharga yang dapat di pelajari oleh para pemuda dan pemudi jika ia
bersungguh-sungguh mempelajarinya, inilah pelajaran dari kerja-kerja rahasia dengan pemahaman
yang dalam dan detail, sebuah strategi yang sangat di perlukan dalam menghilangkan jejak agar
tidak bisa dibaca oleh musuh.

Berkesinambungan selama tiga hari


Hari-hari pertama keberadaan Rasulullah dan Abu Bakar As-Siddiq di dalam gua adalah hari di
mana seluruh tempat di kota Mekah dalam pengawasan dan pemantauan yang ketat oleh orang-
orang kafir, mereka begitu intens dan ketatnya melakukan pencarian terhadap Rasulullah hingga
kesemua pelosok untuk menemukan tempat persembunyiannya.
Tiga hari adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyisirnya sudah mereka pergunakan dengan
optimal, maka jika lebih dari tiga hari Rasulullah tidak segera meninggalkan kota Mekah
sementara Abdullah dan Asma masih terus menjalankan tugasnya, tentu orang-orang kafir  akan
melihat dan menilai lain dari apa yang dilakukan oleh Abdullah dan Asma hal ini sangat
memungkinkan untuk diketahuinya tugas rahasia keduanya dan akan mudah terbongkar tugas
yang dijalankannya.

Peran dan campur tangan kekuatan langit


Orang-orang kafir telah melakukan upaya habis-habisan untuk menemukan Rasulullah dan Abu
Bakar As-Siddiq, seluruh tanah dan pegunungan di kota Mekah telah disisir rata tak sejengkal pun
yang terlewatkan dalam pencariannya, pencarian pun berakhir di sekitar gua tempat Rasulullah
dan Abu Bakar As-Siddiq bersembunyi. Abu Bakar berkata pada Rasulullah, Ya Rasulullah ada
seseorang yang melihat persembunyian kita, Rasulullah menjawab: Tidak ya Abu Bakar, Malaikat
akan menutupi kita dengan kedua sayapnya. sesaat kemudian orang tersebut membuang hajat di
depan mulut gua, Rasulullah pun menegaskan: Jika ia melihat persembunyian kita, tentu ia tidak
akan melakukannya. Maka berdoa kepada Allah dengan kerendahan hati dan kesungguhan dan
mohonlah pertolongan-Nya.
Tugas manusia hanyalah melakukan ikhtiar dengan memaksimalkan potensi dan kekuatan yang
dimilikinya, karena sesungguhnya kekuatan Allahlah yang akan menjawab keterbatasan yang
dimiliki oleh manusia, karena sesungguhnya Allahlah  yang menjadikan ketenangan dan
kecukupan pada diri manusia, setelah manusia menyerahkan kembali urusan dan kekuasaan
kepada-Nya.

Memanfaatkan dari pengalaman orang-orang musyrik


Ketika abu Bakar As-Siddiq menyewa Abdullah bin Uraikith sebagai pemandu perjalanan beliau
bersama Rasulullah. Saat itu Abdullah bin Uraikith adalah seorang Musyrik. ini menunjukkan
bahwa pemanfaatan dalam konteks seperti ini dapat dilakukan selama ada jaminan keamanan,
artinya rencana rahasia yang akan dilakukan tidak akan tersebar kepada orang-orang musyrikin.
Maka gerakan dakwah pun dapat mengambil manfaat dari potensi yang ada pada non-muslim
selama berpeluang dan kemudian ada garansi kepercayaan keamanahan dari pihak non-muslim
tersebut.

Ketika Abu bakar As-Siddiq ditanya Rasulullah: Siapakah orang yang bersama dengan engkau?
beliau menjawab: Ini adalah orang yang akan memberi petunjuk jalan dalam perjalanan, pada
orang itu ada jalan yang dapat menunjukkan kebaikan, inilah kecerdasan dan firasat seseorang
yang dapat melakukan langkah cerdas tanpa harus berdusta dalam memanfaatkan potensi lawan.

Anda mungkin juga menyukai