CederaKepala (klmpk5)
CederaKepala (klmpk5)
CEDERA KEPALA
Kelompok 5 :
1. Tesalonika Karundeng
2. Yolanda Hantja
3. Valentina Sumolang
4. Likius Manori
5. Rivina Ramisan
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Diperkirakan
100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami cedera
cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dua pertiga berusia di bawah 30
tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah wanita, lebih dari
setengah pasien cedera kepala mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh
lainnya.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna
kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan raya. Di samping penerangan di lokasi kejadian dan selama
transportasi ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.Lebih dari 50% kematian
disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih
dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan
lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping
kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat
kekerasan. Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-anak
adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda keras. Penyebab
cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan
terbentur, selain karena kekerasan. Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian
menurun pada usia dewasa; kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang
sebelumnya merupakan etiologi cedera utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Anatomi Kepala
1. Kulit kepala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek, pembuluh-
pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan kehilangan darah
yang banyak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit
kepala sampai dalam tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio,
laserasi, atau avulasi.
2. Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar tengkorak). Fraktur
tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur
calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan
kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak
rusak).
Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga, dinding luar
(tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna) yang mengandung alur-alur artesia
meningia anterior, indra dan prosterion. Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat
menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang epidural.
Hematoma intrakranial adalah kumpulan darah di dalam tengkorak yang paling sering
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di dalam otak. Seseorang biasanya mengalami
kondisi tersebut akibat kecelakaan mobil atau terjatuh. Kumpulan darah pada hematoma
intrakranial bisa terjadi di dalam jaringan otak atau di bawah tengkorak yang berpotensi
menekan otak.
Nah, hematoma subdural merupakan bagian dari hematoma intrakranial. Hematoma bisa
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu hematoma subdural, hematoma epidural, dan hematoma
intraparenchymal.
Hematoma subdural terjadi ketika pembuluh darah pecah di antara dura (lapisan terluar otak)
dan lapisan berikutnya, yaitu arachnoid. Hematoma subdural dibagi lagi menjadi tiga jenis,
yaitu akut, subakut, dan kronis. Hematoma subdural jenis akut adalah yang paling berbahaya
dari ketiganya.
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat
kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma.
DERAJAT KESADARAN
1. Compos Mentis. (GCS 14-15) kesadaran normal
2. Apatis (GCS 12-13) sikapnya acuh tak acuh
3. Somnolen (GCS 10-11) mudah tertidur(mudah dibangunkan)
4. Delirium (GCS 9-7) gelisah, disorientasi, memberontak, berteriak-teriak
5. Stupor (Soporos Coma) (GCS 4-6) tertidur lelap, ada respon terhadap nyeri
6. Koma (GCS 3) tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
Cara menghitung GCS :
Ada 3 respon dalam penilaian :
1. Eyes (Mata), E 4
2. Verbal (Suara), V 5
3. Motor (Motorik), M 6
Singkatan E_V_M
1. Eye (Mata), E 4
2. Verbal (Suara), V 5
Nilai (5) terorientasi
Nilai (4) disorientasi
Nilai (3) kata-kata tidak jelas
Nilai (2) mengerang
Nilai (1) tidak ada respon
3. Motor (Motorik), M 6
Nilai (6) mengikuti perintah
Nilai (5) menjangkau atau menepis terhadap (nyeri)
Nilai (4) menghindari atau menarik terhadap (nyeri)
Nilai (3) dekortikasi (abnormal flexion) terhadap (nyeri)
Nilai (2) deserbasi (abnormal extension) terhadap (nyeri)
Nilai (1) tidak ada respons
C. Etiologi
Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu jenis
kekerasan benda tumpul dan benda tajam. Benda tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, pukulan benda tumpul,
Sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam (bacok) dan tembakan.
Menurut penelitian Evans di Amerika (1996), penyebab cedera kepala terbanyak
adalah 45% akibat kecelakaan lalu lintas, 30% akibat terjatuh, 10% kecelakaan dalam
pekerjaan,10% kecelakaaan waktu rekreasi,dan 5% akibat diserang atau di pukul.
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda
motor. Hal ini disebabkan sebagian besar (>85%) pengendara sepeda motor tidak
menggunakan helm yang tidak memenuhi standar. Pada saat penderita terjatuh helm
sudah terlepas sebelum kepala menyentuh tanah, akhirnya terjadi benturan langsung
kepala dengan tanah atau helm dapat pecah dan melukai kepala.
D. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera
otak primer dan cedera otak sekunder.Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat
atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena
mekanik.Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh,
dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan
pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari
proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cedera kepala
terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan
adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh
darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi.
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi
perdarahan juga. Cedera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan
dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial
terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain,
2009).
E. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau
bahkan koma.
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
F. Komplikasi
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal
dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema
paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan
tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi
respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadaan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg pada penderita kepala. Peningkatan
vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke
paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya
cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel
lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga
peralatan penghisap.Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut.Salah satunya
tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan
obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara
intavena.Hati-hati terhadap efek pada sistem pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
3. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,
sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau
dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.Instruksikan klien
untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
4. Hipoksia
5. Gangguan mobilitas
6. Hidrosefalus
7. Oedem otak
8. Dipnea
G. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang
terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan
memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi.
Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh
tercepat pada kasus cedera.Untuk menghindari gangguan tersebut penanganan
masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya.Beberapa
kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali
masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun
kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita
sendiri.Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan
jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang
sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.Selain itu aspirasi isi lambung juga
menjadi bahaya yang mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatanadalah
membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan
membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.Kepala dapat dibalut dengan ikatan
yang kuat.Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infus dan bila
perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah.Syok biasanya disebabkan
karena penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.Pencegahan
tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan
pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.Upaya rehabilitasi
terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui
rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan
atas dan bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan caliper.
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya.Ancaman kerusakan
atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial
serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan
paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak
ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)
Untuk mengetahui lokasi dan tipe fraktur.
2. Angiografi cerebral
Bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya suatu pertumbuhan intrakranial
hematoma.
3. CT-Scan
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya perdarahan intrakranial, edema kontosio
dan pergeseran tulang tengkorak.
4. Pemeriksaan darah dan urine.
5. Pemeriksaan MRI
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi
penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
7. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
I. Penatalaksaanan
Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu :
1. Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airways-Brething-
Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan cenderung memper-
hebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
2. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan inkubasi pada kesempatan
pertama.
3. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-
gangguan di bagian tubuh lainnya.
4. Pemeriksaan neurologos mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan
pupil, refleks okulor sefalik dan reflel okuloves tubuler. Penilaian neurologis
kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah (syok).
5. Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang dan natrium
bikarbonat.
6. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi, komputer otak,
angiografi serebral, dan lainnya.
Penanganan non medis pada cedera kepala, yaitu:
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama
dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
Penanganan Cedera Kepala Ringan
Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan peringatan apabila
mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah, kejang,
perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala hebat,
kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh,
pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu
pelan, pola nafas yang abnormal.
Penanganan Cedera Kepala Sedang
Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan Glasgow Coma
Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala Postrauma Amnesia(PTA)
dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila mengalami amnesia lebih dari 3
bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia. Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang
menjadi :
1.Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness
2.Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post trauma
3.Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah.
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat penanganan
Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala terbanyak antara lain : mudah
lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan konsentrasi dan dizziness. Penatalaksanaan
utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan modifikasi
lingkungan (terapi wicara dan okupasi) untuk disfungsi kognitif ,dan psiko edukasi.
Penanganan Cedera Kepala Berat
Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:
Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner
Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini
neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau perawatan di ICU.
A. Pengkajian
Tidak ada
d. Riwayat psikososial dan spiritual
1) Orang terdekat dengan klien : kakak klien
2) Masalah yang mempengaruhi klien : tidak dapat bekerja
3) Mekanisme koping terhadap stress : tidur
4) Persepsi klien terhadap pemyakitnya : ingin cepat sembuh agar dapat bekerja kembali
5) System nilai kepercayaan : berdoa, beribadah
6) Kondisi lingkungan rumah yang mempengaruhi kesehatan saat ini :
Kondisi lingkungan baik
3. Pengkajian Fisik
a. Pemeriksaan fisik umum
1) Berat badan : 50 kg (sebelum sakit:) 50 kg
2) Tinggi badan : 167 cm
3) Keadaan umum : ringan
4) Pembesaran kelenjar getah bening : tidak
b. System penglihatan
1) Posisi mata : simetris
2) Kelopak mata : normal
3) Pergerakan bola mata : normal
4) Konjungtiva : merah muda
5) Kornea : normal
6) Sclera : anikterik
7) Pupil : isokor
8) Otot-otot mata : tidak ada kelainan
9) Fungsi penglihatan : baik
10) Tanda-tanda radang : tidak ada
11) Pemakaian kaca mata : tidak
12) Pemakaian lensa kontak : tidak
13) Reaksi terhadap cahaya : normal
c. System pendengaran
1) Daun telinga ; normal
2) Karakteristik serumen : tidak ada
3) Kondisi telinga tengah : normal
4) Cairan pada telinga : tidak ada
5) Perasaan penuh di telinga : tidak
6) Titinus : tidak ada
7) Fungsi pendengaran : normal
8) Gangguan keseimbangan : tidak ada
9) Pemakaian alat bantu : tidak ada
e. System pernafasan
1) Jalan nafas : bersih
2) Pernafasan : sesak
3) Penggunaan otot bantu : tidak
4) Frekuensi : 34x/menit
5) Irama : teratur
6) Jenis pernafasan : kusmaul
7) Kedalaman : dangkal
8) Batuk : tidak
9) Sputum : tidak
10) Konsistensi : tidak
11) Terdapat darah : tidak
12) Palpasi dada : tidak ada nyeri
13) Perkusi dada : redup
14) Suara nafas : vesikuler
15) Penggunaan alat bantu nafas : ada
f. System kardiovaskular
1) Sirkulasi perifer
a. Nadi : 102 x/ menit
b. Tekanan darah : 110/70 mmHg
c. Distensi vena jugularis : tidak
d. Temperature kulit : hangat
e. Warna kulit : kemerahan
f. Pengisian kapiler : < 3 detik
g. Edema : tidak ada
2) Sirkulasi jantung
a) Kecepatan denyut apical: 102 x/menit
b) Irama : teratur
c) Kelaianan bunyi jantung: tidak ada
d) Sakit dada : tidak
g. System hematologi
1) Pucat : tidak
2) Perdarahan : tidak
j. System endokrin
Pembesaran kelenjar tiroid : tidak ada
Nafas bau keton : tidak
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedem otak
2. Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan hipoventilasi
3. Asupan nutrisi kurangdari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mualmuntah
C. Intervensi Keperawatan
1. Dx : Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan sumbatan
pembuluh darah otak
Pemantauan Tekanan Intrakarnial.
Observasi
Identifikasi penyebab peningkatan TIK
Monitor peningkatan TD
Monitor penurunan frekuensi jantung
Monitor penurunan tingkat kesadaran
Monitor kadar CO² dan pertahankan dalam rentang yg diindikasikan
Monitor tekanan perfusi serebral
Terapeutik
Pertahankan sterilitas sistem pemantauan
Pertahankan posisi kepala dan leher netral
Bilas sistem pemantauan, jikaperlu
Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
D. Soal Kasus
Contoh soal:
1. Tn.A mengalami kecelakaan, langsung dilarikan ke IGD, dalam perjalanan klien muntah,
kehilangan kesadaran (amnesia) > 30 menit tapi < 24 jam, mengalami fraktur tengkorak,
disorientasi ringan (bingung). Menurut tanda dan gejala Tn.A mengalami?
a. Cedera kepala berat (CKB), GCS: 3-8
b. Cedera kepala sedang (CKS), GCS: 9-12
c. Cedera kepala terbuka
d. Cedera kepala tertutup
e. Cedera kepala ringan (CKR), GCS: 13-15
Pembahasan soal:
Berdasarkan buku Advanced Trauma Life Support, GCS berguna untuk menentukan derajat
trauma/cedera kepala (trauma capitis), derajat cedera kepala berdasarkan GCS:
a. Ringan
4. GCS = 13 – 15
5. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
6. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
d. Sedang
4. GCS = 9 – 12
5. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam.
6. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
e. Berat
4. GCS = 3 – 8
5. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
6. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
2.Seorang pasien perempuan umur 27 tahun dengan hematoma ditemporal dextra akibat
dipukuli suami, dirawat di UGD dengan kondisi kesadaran menurun, korban membuka mata
dengan cubitan di kelopak mata, dan mampu menepis cubitan tersebut dengan tangan
kanannya dan saat diajak bicara hanya erangan kesakitan yang keluar dari mulut korban.
Berapakah skor GCS pada pasien tersebut?
Pembahasan soal:
Nilai (4) spontan
E Nilai (3) suara
Nilai (2) nyeri
Nilai (1) tidak ada respon