Anda di halaman 1dari 7

Program Studi : Program Pendidikan Profesi Apoteker, Jurusan Farmasi FMIPA UNUD

Mata Kuliah : Farmakoterapi Terapan


Kode MK.SKS : FAPT1112/2SKS
Diskusi Kelompok : Kelompok 2 Kelas B dan Kelompok 1 Kelas A
Judul Makalah : Kasus Infeksi Saluran Nafas
Anggota Kelompok : 1. Tiara Maharani (1708611045)
2. Wayan Shelia Deviana (1708611046)
3. A.A Sg. Dewi Trisna D. (1708611047)
4. Ida Ayu Pt. Suryantari (1708611048)
5. Made Ririn Sutharini (1708611049)
6. Puput Rhamadani Harfa (1708611050)
7. Gusti Ayu Desi Dwiantari (1708611052)
8. Hinggrid Gharzia Rosihan (1708611001)
9. Prenagia Aldina (1708611002)
10. Yulli Dewita Setiawati (1708611003)
11. Putu Desy Yustinadewi (1708611004)
12. Ni Nyoman Ayu Suastini (1708611005)
13. Luh Putu Kausala Mahamuni (1708611006)
14. Putu Surya Trisna Lova (1708611007)
Hari/Tgl/Waktu : Rabu, 11 Oktober 2017

Nama Anggota Kelompok Kecil Diskusi Kelas (Case Study):


No Nama Mahasiswa NIM
1 Putu Dyah Utari 1708611038
2 Ni Putu Rika Satriari 1708611039
3 Kadek Rio Reynaldi 1708611041
4 Ni Luh Risky Pradnyandari 1708611042
5 I Gusti Agung Ayu Santhi Rahmaryani 1708611043
6 Ni Wayan Satriani 1708611051
7 Ni Kadek Ariani 1708611054

Koordinator Kelompok Kecil: Kadek Rio Reynaldi 1708611041

PEMBAHASAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Anak A
Umur : 10 Tahun
Berat Badan : 30 kg

II. SUBYEKTIF
Keluhan Utama : Batuk selama 1 minggu, kondisi batuk berdahak dengan
lender berwarna kekuningan dan secret kental.
Keluhan : Demam sejak malam hari dengan suhu 38ºC
Tambahan
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 1
III. OBYEKTIF
Riwayat penyakit terdahulu : Tidak ada.
Kondisi pasien sebelumnya : Awalnya pasien mengalami pusing, flu, bersin-bersin, hidung
tersumbat. Pilek (-) dan Asma (-)
Riwayat pengobatan : Amoxicillin 250 mg, ambroxol 10 mg, CTM 2 mg
Hasil Pemeriksaan : TD Normal, RR 30x/menit, Nadi 80x/menit, suhu 38ºC.
Pemeriksaan kultur dahak (+) Streptococcus sp.
Data Laboratorium Pendukung :
Hasil pemeriksaan kultur dahak :
 Bakteri : Streptococcus spp
 Sensitif : Piperacillin-tazobactam, Cephalosporin, Clarithromycin, Erythromycin,
Azithromycin, Ciprofloxacin, Mofifloxacin, Gatifloxacin, Tetracyclin,
Gentamicin, Amikacin, Streptomycin.
 Resisten : Penicillin, Amoxicillin, Ampicillin, Ampicillin sulbactam, Amoxicillin
Clavulanat.

IV. ASSESMENT
4.1 Terapi Pasien
Terapi Dosis Indikasi
Pulveres:
Amoxicillin: antibiotik
Amoxicillin 250 mg
3 x sehari Ambroxol: mukolitik
Ambroxol 10 mg
CTM: antihistamin
CTM 2 mg

4.2 Problem medik dan DRP pasien


PROBLEM SUBYEKTIF dan OBYEKTIF TERAPI DRP
MEDIK
ISPA diduga Subjektif: Pulveres: 1) Need additional
Pneumonia Batuk selama 1 minggu, demam (Amoxicillin 250 mg theraphy.
sejak tadi malam. Ambroxol 10 mg Indikasi tanpa terapi
Objektif: CTM 2 mg) 3 x yaitu suhu tubuh yang
- TD normal, RR 30x/menit, nadi sehari selama 1 tinggi belum
80x/menit, batuk berdahak (+), minggu memperoleh terapi.
lendir kekuningan (+), sekret 2) Wrong drug
kental (+), pilek (-), dan suhu Pemberian Amoxicillin
tubuh 38°C. sebagai terapi antibiotik
- Kultur sputum: Streptococcus empiris sudah resisten

FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 2
spp sehingga perlu diganti
- Resisten: Penicillin, dengan antibiotik
amoxicillin, ampicillin, definitif, yang lebih
ampicillin-sulbactam, sensitif.
amoxicillin-clavulanat 3) Others
- Sensitif: Piperacillin- Obat kausatif diracik
tazobactam, Cephalosporine, dengan obat
Clarithromycin, Erythromycin, simptomatik yaitu
Azithromycin, ciprofloxacin, Amoxicillin
moxifloxacin, gatifloxacin, dicampurkan dengan
tetracycline, gentamicin, Ambroxol dan CTM
amikacin, streptomycin dalam bentuk pulveres

4.3 Pertimbangan pengatasan DRP


A. DRP no. 1 yaitu adanya indikasi tanpa terapi , hal ini dapat diatasi dengan memberikan tambahan
terapi antipiretik kepada pasien. Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik)
adalah parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan
panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama (Graneto, 2010). Pada anak-anak,
dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Parasetamol merupakan obat lini
pertama dalam mengatasi demam pada anak (WHO, 2012). Paracetamol ini dapat diberikan dalam
bentuk tablet atau sirup. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi
antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak. Dosis lazim pada paracetamol umur 10
tahun adalah 100-200 mg untuk sekali minum dan 200-400 mg untuk sehari minum (Depkes RI,
1995). Dosis parasetamol juga dapat disederhanakan menjadi: (Sumber: Soegijanto et al., Naskah
Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
dalam Tatalaksana Kasus DBD, 1998) .
Dosis parasetamol menurut Dosis Parasetamol tiap
kelompok umur Umur pemberian (mg)
(tahun)
<1 60
1-3 60-125
4-6 125-250
6-12 250-500

B. DRP no. 2 yaitu pemilihan obat yang salah . Pasien mengeluh batuk selama 1 minggu, kondisi
batuk berdahak dengan lender berwarna kekuningan dan secret kental.diberikan antibiotik empiris
yaitu amoxillin. Pemberian terapi antibiotik empiris ini sudah tepat dikarenakan belum adanya
hasil kultur yang keluar, namun setelah 1 minggu hasil kultur menunjukkan bakteri resisten
terhadap amoxillin , sehingga dikatakan terapi sebelumnya kurang efektif. Dalam hal ini

FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 3
dilakukan penggantian antibiotika yang digunakan untuk terapi yaitu penggunaan antibiotik
definitif. Dikarenakan hasil kultur menunjukkan bakteri sensitif terhadap beberapa golongan
antibiotik maka antibiotik definitif yang dipilih adalah antibiotik spektrum sempit yang sesuai
dengan patogen. Antibiotik definitif yang dapat disarankan yaitu antibiotik Cephalosporine
generasi pertama seperti, Cefadroxil, Cefalexin, dan Cefadrin (Binfar, 2005) atau antibiotik
golongan makrolida (azitromisin, klaritromisin atau eritromisin) (AMA, 2001). Pertimbangan
pengatasan DRP kasus ini, apabila antibiotik yang dipilih golongan makrolida maka disarankan
untuk mengganti amoxicillin dengan azitromisin, karena penggunaan eritromisin atau
klaritromisin bersama paracetamol dapat mempengaruhi metabolisme dan kadar paracetamol
dalam plasma. Eritromisin dan klaritromisin dapat mempengaruhi obat yang dimetabolisme oleh
sitokrom P450 yaitu paracetamol (Katzung et al., 2010). Dosis penggunaan Azithromycin yaitu
10 mg/kg (max 500 mg) secara oral pada hari pertama, kemudian dilanjutkan pemberin dosis 5
mg/kg/hari secara peroral selama 4 hari (AMA, 2001).
C. Dalam resep, obat antibiotik dicampurkan dengan ambroxol dan CTM dan dibuat dalam bentuk
pulveres. Antibiotik tidak boleh dicampur dengan obat lainnya. Antibiotik seharusnya dikonsumsi
sampai habis, tapi jika dicampur bersama dengan obat lain dalam bentuk pulveres maka
pemberian obat akan dihentikan saat gejalanya sudah hilang. Hal ini menyebabkan dosis antibiotik
tidak dikonsumsi dengan tepat dan dapat memicu terjadinya resistensi. Pengatasannya : antibiotik
diberikan secara terpisah, sedangkan ambroxol dan CTM dicampur dan dibuat dalam bentuk
pulveres.

V. PLAN
5.1 Care plan
A. DRP 1 diatasi dengan intervensi pada
1. Penulis resep : Apoteker berkonsultasi kepada dokter untuk melakukan penambahan terapi
suportif untuk mengatasi simptom berupa peningkatan suhu tubuh pada pasien. Demam dapat
diturunkan dengan pemberian lini pertama pengatasan demam pada anak yaitu parasetamol
(Nieshues, 2013).
2. Obat : Penambahan terapi suportif yaitu pemberian Paracetamol.
3. Pasien : Pasien menerima tambahan terapi suportif yaitu paracetamol untuk mengatasi
simptom berupa peningkatan suhu tubuh yang dapat dihentikan apabila gejala telah hilang.

B. DRP 2 diatasi dengan intervensi pada


1. Penulis resep : Apoteker berkonsultasi kepada dokter mengenai pemakaian antibiotik definitif
dalam pengatasan infeksi saluran nafas akut. Berdasarkan hasil kultur, bakteri Streptoccocus
sp. penyebab ISPA pada pasien telah mengalami resistensi terhadap antibiotik amoxicillin

FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 4
yang sebelumnya diberikan sebagai antibiotik empirik. Selain itu juga mengalami resistensi
terhadap penicillin, ampicillin, ampicillin sulbactam, dan amoxicillin clavulanate. Antibiotik
definitif yang dapat disarankan yaitu antibiotik Cephalosporine generasi pertama seperti,
Cefadroxil, Cefalexin, dan Cefadrin (Binfar, 2005).
2. Obat : Antibiotik empirik diganti dengan antibiotik definitif hasil kultur yaitu antibiotik
Cephalosporine.

C. DRP 3 diatasi dengan intervensi pada


1. Penulis resep : Apoteker berkonsultasi kepada dokter mengenai pemakaian obat causa
(antibiotic) dalam bentuk puyer yang dicampur dengan terapi suportif. Disarankan agar
pemberian antibiotik tidak digabung dalam satu puyer dengan obat terapi suportif namun
diberikan secara terpisah dalam puyer tunggal.
2. Obat : Dalam proses compounding dan dispensing obat antibiotik diberikan dalam puyer
tunggal.
3. Pasien/caregiver : Diberikan informasi obat melalui orangtua pasien bahwa penggunaan
antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of
treatment), meskipun gejala klinik sudah mereda atau hilang sama sekali.

5.2 Implementasi care plan


A. Pemberian Paracetamol secara oral dengan dosis lazim (100-200 mg) untuk sekali pemakaian dan
(400-800 mg) untuk sehari pemakaian (DepKes RI, 1979). Pemakaian Paracetamol juga dapat
diberikan menggunakan sediaan supositoria atau IV. Penggunaan sediaan rektal membantu apabila
anak mengalami mual muntah atau mengalami gangguan kesadaran Jika demam sudah hilang maka
pemberian parasetamol dapat dihentikan (Niehues, 2013).
B. Antibiotik definitif yang dapat disarankan yaitu antibiotik Cephalosporine generasi pertama seperti,
Cefadroxil, Cefalexin, dan Cefadrin (Binfar, 2005).
C. Pemberian antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of
treatment), meskipun gejala klinik sudah mereda atau hilang sama sekali sehingga pemberian
antibiotik tidak digabung dalam satu puyer dengan obat terapi suportif namun diberikan secara terpisah
dalam puyer tunggal (Depkes RI, 2008). Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari
berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat dalam darah berada di atas
kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit (Kemenkes RI, 2011b).

FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 5
5.3 Monitoring
A. Efektivitas Terapi
Monitoring terapi obat yang dilakukan pada pasien dengan infeksi saluran pernafsan bagian
bawah adalah pemantauan respon terapi awal antibiotika setelah 48-72 jam yang ditandai dengan
perbaikan kondisi yang nyata seperti berikut.
a. Kondisi Klinis
Kondisi klinis pasien yang dapat dijadikan parameter klinik dari kesusksesan terapi obat
yang telah diberikan dapat dilihat dari frekuensi batuk dan sesak napas yang dialami akan
menurun serta produksi sputum yang akan berkurang.
b. Tanda-tanda vital
Monitoring terapi obat pada infeksi saluran pernafasan, dilakukan dengan memantau
tanda-tanda vital pasien seperti temperatur tubuh khususnya pada pasien dengan infeksi yang
disertai kenaikan temperature tubuh, selain itu frekuensi pernafasan pasien juga perlu
dilakukan monitoring yang diharapkan RR pasien akan menurun sehingga kondisi klinis sesak
nafas dapat berkurang.
c. Laboratorium
Untuk memantau respon terapi dari antibiotika yang digunakan dapat dilihat dari kadar
leukosit (WBC), leukosit di urin, CRP, peningkatan PMN). Parameter yang diperlukan untuk
memantau respon terapi antibiotika adalah Leukosit (WBC, white blood count), suhu, RR,
nadi, dan gejala klinis infeksi yang lain (leukosit di urin, CRP, peningkatan /poly morpho
nuclear (PMN)) (Kemenkes RI, 2011a).

B. Efek samping
1. Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi pertama
dan terapi supportif paracetamol. Penggunaan antibiotik diperlukan monitoring terhadap kondisi
klinis pasien seperti adanya tanda-tanda reaksi anafilaksis pada dosis pertama serta monitoring
terjadinya diare (Binfar, 2005).

FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 6
DAFTAR PUSTAKA

Alberta Medical Assosiation. 2001. Guideline for The Diagnosis and Management of Community
Acquired Pneumonia: Pediatric.
Avalaible at:http;//whqlibdoc.who.int/publications/2012/9789241548120_Guidlines.pdf.
Binfar, 2005. Pharmaceutical care untuk Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan RI.
Depkes RI, 1979. Farmakope Indoensia III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indoensia.
Depkes RI, 2008. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan Memilih Obat bagi
Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2017 dari http://emedicine.medscape.com/article/801598-overview.
Graneto, J.W., 2010. Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic Medicine of Midwestern
University.
Katzung, B. G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC
Kemenkes RI, 2011(a). Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Direktorat Pelayanan Kefarmasian Kementrian
kesehatan Republik Indonesia
Kemenkes RI, 2011(b). Modul Penggunaan Obat yang Rasional. Jakarta: Direktorat Pelayanan
Kefarmasian Kementrian kesehatan Republik Indonesia
Niehues, 2013. The Febrile Child : Diagnose and Treatment. Dtsch Arztebl Int.; 110(45): 764−74.
World Health Organization. 2012. WHO Guidline on the Pharmacological treatment of Persisting Pain in
Children with Medical Iilnesses.

FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 7

Anda mungkin juga menyukai