PEMBAHASAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Anak A
Umur : 10 Tahun
Berat Badan : 30 kg
II. SUBYEKTIF
Keluhan Utama : Batuk selama 1 minggu, kondisi batuk berdahak dengan
lender berwarna kekuningan dan secret kental.
Keluhan : Demam sejak malam hari dengan suhu 38ºC
Tambahan
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 1
III. OBYEKTIF
Riwayat penyakit terdahulu : Tidak ada.
Kondisi pasien sebelumnya : Awalnya pasien mengalami pusing, flu, bersin-bersin, hidung
tersumbat. Pilek (-) dan Asma (-)
Riwayat pengobatan : Amoxicillin 250 mg, ambroxol 10 mg, CTM 2 mg
Hasil Pemeriksaan : TD Normal, RR 30x/menit, Nadi 80x/menit, suhu 38ºC.
Pemeriksaan kultur dahak (+) Streptococcus sp.
Data Laboratorium Pendukung :
Hasil pemeriksaan kultur dahak :
Bakteri : Streptococcus spp
Sensitif : Piperacillin-tazobactam, Cephalosporin, Clarithromycin, Erythromycin,
Azithromycin, Ciprofloxacin, Mofifloxacin, Gatifloxacin, Tetracyclin,
Gentamicin, Amikacin, Streptomycin.
Resisten : Penicillin, Amoxicillin, Ampicillin, Ampicillin sulbactam, Amoxicillin
Clavulanat.
IV. ASSESMENT
4.1 Terapi Pasien
Terapi Dosis Indikasi
Pulveres:
Amoxicillin: antibiotik
Amoxicillin 250 mg
3 x sehari Ambroxol: mukolitik
Ambroxol 10 mg
CTM: antihistamin
CTM 2 mg
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 2
spp sehingga perlu diganti
- Resisten: Penicillin, dengan antibiotik
amoxicillin, ampicillin, definitif, yang lebih
ampicillin-sulbactam, sensitif.
amoxicillin-clavulanat 3) Others
- Sensitif: Piperacillin- Obat kausatif diracik
tazobactam, Cephalosporine, dengan obat
Clarithromycin, Erythromycin, simptomatik yaitu
Azithromycin, ciprofloxacin, Amoxicillin
moxifloxacin, gatifloxacin, dicampurkan dengan
tetracycline, gentamicin, Ambroxol dan CTM
amikacin, streptomycin dalam bentuk pulveres
B. DRP no. 2 yaitu pemilihan obat yang salah . Pasien mengeluh batuk selama 1 minggu, kondisi
batuk berdahak dengan lender berwarna kekuningan dan secret kental.diberikan antibiotik empiris
yaitu amoxillin. Pemberian terapi antibiotik empiris ini sudah tepat dikarenakan belum adanya
hasil kultur yang keluar, namun setelah 1 minggu hasil kultur menunjukkan bakteri resisten
terhadap amoxillin , sehingga dikatakan terapi sebelumnya kurang efektif. Dalam hal ini
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 3
dilakukan penggantian antibiotika yang digunakan untuk terapi yaitu penggunaan antibiotik
definitif. Dikarenakan hasil kultur menunjukkan bakteri sensitif terhadap beberapa golongan
antibiotik maka antibiotik definitif yang dipilih adalah antibiotik spektrum sempit yang sesuai
dengan patogen. Antibiotik definitif yang dapat disarankan yaitu antibiotik Cephalosporine
generasi pertama seperti, Cefadroxil, Cefalexin, dan Cefadrin (Binfar, 2005) atau antibiotik
golongan makrolida (azitromisin, klaritromisin atau eritromisin) (AMA, 2001). Pertimbangan
pengatasan DRP kasus ini, apabila antibiotik yang dipilih golongan makrolida maka disarankan
untuk mengganti amoxicillin dengan azitromisin, karena penggunaan eritromisin atau
klaritromisin bersama paracetamol dapat mempengaruhi metabolisme dan kadar paracetamol
dalam plasma. Eritromisin dan klaritromisin dapat mempengaruhi obat yang dimetabolisme oleh
sitokrom P450 yaitu paracetamol (Katzung et al., 2010). Dosis penggunaan Azithromycin yaitu
10 mg/kg (max 500 mg) secara oral pada hari pertama, kemudian dilanjutkan pemberin dosis 5
mg/kg/hari secara peroral selama 4 hari (AMA, 2001).
C. Dalam resep, obat antibiotik dicampurkan dengan ambroxol dan CTM dan dibuat dalam bentuk
pulveres. Antibiotik tidak boleh dicampur dengan obat lainnya. Antibiotik seharusnya dikonsumsi
sampai habis, tapi jika dicampur bersama dengan obat lain dalam bentuk pulveres maka
pemberian obat akan dihentikan saat gejalanya sudah hilang. Hal ini menyebabkan dosis antibiotik
tidak dikonsumsi dengan tepat dan dapat memicu terjadinya resistensi. Pengatasannya : antibiotik
diberikan secara terpisah, sedangkan ambroxol dan CTM dicampur dan dibuat dalam bentuk
pulveres.
V. PLAN
5.1 Care plan
A. DRP 1 diatasi dengan intervensi pada
1. Penulis resep : Apoteker berkonsultasi kepada dokter untuk melakukan penambahan terapi
suportif untuk mengatasi simptom berupa peningkatan suhu tubuh pada pasien. Demam dapat
diturunkan dengan pemberian lini pertama pengatasan demam pada anak yaitu parasetamol
(Nieshues, 2013).
2. Obat : Penambahan terapi suportif yaitu pemberian Paracetamol.
3. Pasien : Pasien menerima tambahan terapi suportif yaitu paracetamol untuk mengatasi
simptom berupa peningkatan suhu tubuh yang dapat dihentikan apabila gejala telah hilang.
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 4
yang sebelumnya diberikan sebagai antibiotik empirik. Selain itu juga mengalami resistensi
terhadap penicillin, ampicillin, ampicillin sulbactam, dan amoxicillin clavulanate. Antibiotik
definitif yang dapat disarankan yaitu antibiotik Cephalosporine generasi pertama seperti,
Cefadroxil, Cefalexin, dan Cefadrin (Binfar, 2005).
2. Obat : Antibiotik empirik diganti dengan antibiotik definitif hasil kultur yaitu antibiotik
Cephalosporine.
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 5
5.3 Monitoring
A. Efektivitas Terapi
Monitoring terapi obat yang dilakukan pada pasien dengan infeksi saluran pernafsan bagian
bawah adalah pemantauan respon terapi awal antibiotika setelah 48-72 jam yang ditandai dengan
perbaikan kondisi yang nyata seperti berikut.
a. Kondisi Klinis
Kondisi klinis pasien yang dapat dijadikan parameter klinik dari kesusksesan terapi obat
yang telah diberikan dapat dilihat dari frekuensi batuk dan sesak napas yang dialami akan
menurun serta produksi sputum yang akan berkurang.
b. Tanda-tanda vital
Monitoring terapi obat pada infeksi saluran pernafasan, dilakukan dengan memantau
tanda-tanda vital pasien seperti temperatur tubuh khususnya pada pasien dengan infeksi yang
disertai kenaikan temperature tubuh, selain itu frekuensi pernafasan pasien juga perlu
dilakukan monitoring yang diharapkan RR pasien akan menurun sehingga kondisi klinis sesak
nafas dapat berkurang.
c. Laboratorium
Untuk memantau respon terapi dari antibiotika yang digunakan dapat dilihat dari kadar
leukosit (WBC), leukosit di urin, CRP, peningkatan PMN). Parameter yang diperlukan untuk
memantau respon terapi antibiotika adalah Leukosit (WBC, white blood count), suhu, RR,
nadi, dan gejala klinis infeksi yang lain (leukosit di urin, CRP, peningkatan /poly morpho
nuclear (PMN)) (Kemenkes RI, 2011a).
B. Efek samping
1. Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi pertama
dan terapi supportif paracetamol. Penggunaan antibiotik diperlukan monitoring terhadap kondisi
klinis pasien seperti adanya tanda-tanda reaksi anafilaksis pada dosis pertama serta monitoring
terjadinya diare (Binfar, 2005).
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 6
DAFTAR PUSTAKA
Alberta Medical Assosiation. 2001. Guideline for The Diagnosis and Management of Community
Acquired Pneumonia: Pediatric.
Avalaible at:http;//whqlibdoc.who.int/publications/2012/9789241548120_Guidlines.pdf.
Binfar, 2005. Pharmaceutical care untuk Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan RI.
Depkes RI, 1979. Farmakope Indoensia III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indoensia.
Depkes RI, 2008. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan Memilih Obat bagi
Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2017 dari http://emedicine.medscape.com/article/801598-overview.
Graneto, J.W., 2010. Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic Medicine of Midwestern
University.
Katzung, B. G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC
Kemenkes RI, 2011(a). Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Direktorat Pelayanan Kefarmasian Kementrian
kesehatan Republik Indonesia
Kemenkes RI, 2011(b). Modul Penggunaan Obat yang Rasional. Jakarta: Direktorat Pelayanan
Kefarmasian Kementrian kesehatan Republik Indonesia
Niehues, 2013. The Febrile Child : Diagnose and Treatment. Dtsch Arztebl Int.; 110(45): 764−74.
World Health Organization. 2012. WHO Guidline on the Pharmacological treatment of Persisting Pain in
Children with Medical Iilnesses.
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER JURUSAN FARMASI FMIPA UNUD 7