DISUSUN OLEH:
KELAS A
KELOMPOK I
2017
I. Pemaparan Kasus
Anak A usia 10 tahun, BB 30 kg diajak ke dokter oleh ibunya karena sudah mengalami
batuk selama 1 minggu. Batuk berdahak (+), lendir berwarna kekuningan (+), secret
kental (+) dan disertai demam yang timbul sejak tadi malam, suhu 38oC. Awalnya pasien
mengalami pilek sejak pulang dari sekolah, diduga setelah minum es. Gejala awal yang
dialami pusing, flu, bersin-bersin, hidung tersumbat. Saai ini pilek (-).
Riwayat penyakit : asma (-)
Riwayat pengobatan : sejak awal batuk diberikan obat batuk OBH untuk anak
sebanyak 3x1 sendok teh, dibeli di Apotek, namun tidak kunjung membaik.
Hasil pemeriksaan : TD normal, RR 30x/menit, nadi 80x/menit, suhu 38oC
Pasien diresepkan obat : amoksisilin 250 mg, ambroxol 10 mg, CTM 2 mg, diracik
menjadi puyer dengan aturan pakai 3 x 1 puyer.
Tindak lamjut : pemeriksaan kultur dahak (+)
Pasien dianjurkan minum obat tersebut selama 1 minggu dan dilakukan pemeriksaan
kembali kedokter 1 minggu kemudian.
1 minggu kemudian hasil kultur sudah jadi dan ditemukan :
Hasil pemeriksaan kultur dahak :
Bakteri : Streptococcus spp
Sensitif : Piperacillin-tazobactam, Cephalosporin, Clarithromycin, Erythromycin,
Azithromycin, Ciprofloxacin, Mofifloxacin, Gatifloxacin,Tetracyclin, Gentamicin,
Amikacin, Streptomycin.
Resisten : Penicillin, Amoxicillin, Ampicillin, Ampicillin sulbactam, Amoxicillin
Clavulanat.
II. SUBYEKTIF
3
III. OBYEKTIF
• Batuk berdahak (+), lendir berwarna kekuningan (+), secret kental (+) dan demam
(suhu 38oC).
• Riwayat penyakit terdahulu : Tidak ada
• Riwayat pengobatan : obat batuk OBH untuk anak = 3x1 sendok teh,
• Data Laboratorium Pendukung :
Hasil pemeriksaan kultur dahak :
Bakteri : Streptococcus spp
Sensitif : Piperacillin-tazobactam, Cephalosporin, Clarithromycin,
Erythromycin, Azithromycin, Ciprofloxacin, Mofifloxacin,
Gatifloxacin, Tetracyclin, Gentamicin, Amikacin, Streptomycin.
Resisten : Penicillin, Amoxicillin, Ampicillin, Ampicillin sulbactam,
Amoxicillin Clavulanat.
IV. ASSESMENT
4.1 Terapi Pasien
Terapi yang diperoleh dari dokter
Amoksisilin 250 mg, ambroxol 10 mg, CTM 2 mg, diracik menjadi puyer dengan aturan
pakai 3 x 1 puyer.
4.2 Problem medik dan DRP pasien
PROBLEM SUBYEKTIF dan OBYEKTIF TERAPI DRP
MEDIK
- Infeksi Subjektif : - Amoksisili a. Wrong drug
Saluran Batuk berdahak (+), lendir berwarna n 250 mg, Salah bentuk sediaan
Nafas Akut kekuningan (+), secret kental (+) dan ambroxol obat
(ISPA) demam suhu 38oC. 10 mg, Amoksisilin 250 mg tidak
- Batuk Objektif : CTM boleh diracik menjadi puyer
berdahak TD normal, RR 30x/menit,nadi 2mg, bersama obat lain, harus
Demam 80x/menit,suhu 38oC. diracik diberikan sediaan tunggal.
Hasil pemeriksaan kultur dahak: menjadi Sebab antibiotika harus
4
a. Penggunan antibiotik dalam bentuk sediaan puyer tidak rasional, karena antibiotik harus
digunakan teratur sampai habis (Kemenkes RI, 2011). Sehingga disarankan antibiotik
diberikan dalam bentuk sediaan tunggal.
b. Uji diagnostik diperlukan untuk menghindari pengobatan antibiotik berlebih yang tidak
perlu. First line antibiotika untuk pasien ISPA yang disebabkan oleh bakteri pada kasus ini
Streptococcus spp adalah antibiotik amoxillin, tetapi pada kasus ini pasien resiten terhadap
antibiotik golongan penisilin sehingga diperlukan penggantian golongan antibiotika. Sehingga
dapat disarankan penggantian golongan penisillin dengan sefalosporin (Kemenkes RI,2005).
c. Demam adalah keadaan suhu tubuh di atas suhu normal. Tindakan simtomatik untuk
demam dengan menyarankan pemberian obat demam yaitu paracetamol (Ismoedijanto,2000).
Pemberian parasetamol pada anak umur 6-12 tahun dengan dosis 250-500mg setiap 4 atau 6
jam.
d. Penggunaan CTM pada terapi ISPA anak tidak diperlukan. Selain sebagai anti alergi,
antagonis reseptor H1 ini juga memiliki efek anti muntah, sedatif, dan antikolinergik. Efek
antikolinergik (mirip atropin) sering menyebab-kan sensasi rasa kering di farings dan hidung
dan mengentalnya sekresi bronkus(10).
V. PLAN
5.1 Care plan
A. Care Plan Drug Related Problem (DRP) 1 diatasi dengan intervensi pada:
Penulis resep : dengan menghubungi penulis resep mengenai bentuk sediaan obat yang
seharusnya antibiotik diberikan secara tunggal, karena antibiotik merupakan obat yang
diminum teratur sampai habis (Kemenkes RI, 2011). Penggunaan antibiotika yang
sembarangan atau tidak tepat penakarannya selain dapat mengagalkan terapi juga dapat
menimbulkan resistensi (Sumarsono, 2002).
Obat : Penggunaan antibiotik seharusnya dalam bentuk tunggal tidak dipuyer dengan obat
lainnya.
Pasien : menginformasikan kepada caregiver (keluarga atau kerabat pasien) bahwa pasien
harus mengkonsumsi antibiotik dengan teratur sampai habis.
B. Care Plan Drug Related Problem (DRP) 2 diatasi dengan intervensi pada:
Penulis resep : Kondisi pasien yang menunjukkan resisten terhadap antibiotik golongan
penicillin, sehingga dapat disarankan kepada penulis resep untuk mengganti dengan golongan
beta laktam lainnya yaitu golongan sefalosporin. Golongan sefalosporin yang dapat diberikan
yaitu sefadroxil dengan dosis anak :30mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis.
6
Obat : Antibiotik golongan sefalosporin yang dapat diberikan yaitu sefadroxil dengan dosis
anak 30mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis. Sefadroxil yang diberikan dalam bentuk syrup
karena pada pasien anak-anak yang tidak mampu menelan tablet atau kapsul dan atas
persetujuan penulis resep.
Pasien: menginformasikan kepada caregiver (keluarga atau kerabat pasien) bahwa
penggunaan antibiotik harus secara teratur dan dihabiskan. Kebanyakan obat antibiotik
termasuk cefadroxil dapat menyebabkan diare, yang bisa saja merupakan tanda dari infeksi
baru. Jika diare terjadi sangat berat misalnya berair atau memiliki darah di dalamnya, segera
hubungi dokter.
C. Care Plan Drug Related Problem (DRP) 3 diatasi dengan intervensi pada:
Penulis resep : mengkonsultasikan kepada penulis resep mengenai keluhan demam pasien
yang belum mendapatkan terapi obat.
Obat: memberikan obat antipiretik untuk mengatasi demam pada pasien seperti paracetamol.
Pasien: menginformasikan kepada caregiver bahwa pasien memerlukan obat tambahan untuk
mengatasi demam yaitu sirup paracetamol 250mg/5ml diberikan 3-4x sehari. Jika panas atau
nyeri dan gejala lain sudah hilang hentikan penggunaannya. Apabila pemberian sirup
paracetamol dihentikan dan masih terdapat sisa, dapat disimpan sampai 2-3 bulan. Akan
tetapi, dengan catatan obat tersebut tidak berubah rasa, warna, bau atau aroma, dan
bentuknya. Serta obat tersebut disimpan dengan cara penyimpanan yang benar, seperti :
simpan di tempat yang kering, bersih, terlidung dari cahaya matahari langsung, serta disimpan
pada suhu ruangan.
D. Care Plan Drug Related Problem (DRP) 4 diatasi dengan intervensi pada:
Penulis resep : dengan menghubungi penulis resep mengenai penggunaan CTM pada terapi
yang tidak diperlukan. Beberapa obat batuk pilek yang ditambahkan antihistamin sebagai obat
batuk serta untuk mengurangi ingus dan kongesti nasal. Namun demikian, efek antitusifnya
tidak pernah terbukti. Efek antikolinergik (mirip atropin) sering menyebabkan sensasi rasa
kering di farings dan hidung dan mengentalnya sekresi bronkus. Sehingga untuk terapi pada
batuk disarankan menggunakan ambroxol syrup dosis 15mg/5ml.
Obat : memberikan obat batuk golongan mukolitik, yaitu obat yang berfungsi untuk
mengencerkan dahak. Dengan obat mukolitik, dahak yang diproduksi akan lebih encer
sehingga lebih mudah dikeluarkan dari tenggorokan saat batuk.
Pasien : menginformasikan kepada caregiver bahwa pasien memerlukan obat untuk
mengatasi batuk berdahak yaitu sirup ambroksol 15 mg/5 mL diberikan 3xsehari setelah
makan.
7
5.3 Monitoring
Efektivitas Terapi
1. Kondisi klinik
2. Tanda-tanda vital
3. Laboratorium
Efek samping
1. Kondisi klinik
2. Tanda tanda vital
3. Laboratorium
VI. PEMBAHASAN
Anak A berusia 10 tahun dengan BB 30 kg mengalami batuk selama 1 minggu.
Awalnya pasien mengalami pilek sejak pulang dari sekolah, diduga setelah minum es. Gejala
awal yang dialami pusing, flu, bersin-bersin, hidung tersumbat. Saai ini pasien mengalami
batuk berdahak dengan lendir berwarna kekuningan, secret kental serta demam yang timbul
sejak tadi malam dimana suhu tubuhnya 38oC namun sudah tidak mengalami pilek.
Berdasarkan pemeriksaan awal tekanan darah pasien, RR (30x/menit), dan nadi (80x/menit)
normal.
Pengobatan yang sebelumnya telah dilakukan oleh pasien dirumah menggunakan obat
batuk OBH untuk anak yang diminum 3x1 sendok teh, namun kondisi pasien tidak membaik.
Secara empiris OBH memang merupakan jenis obat batuk yang banyak dijual bebas dipasaran
dan banyak digunakan oleh masyarakat sebagai pertolongan pertama pada anak karena
memiliki khasiat untuk meredakan batuk. Meskipun demikian, mekanisme kerja OBH secara
detail belum diketahui. Hal inilah yang diduga menyebabkan kondisi pasien tidak membaik.
Pasien kemudian diantar ke dokter oleh ibunya dan diberikan amoksisilin 250 mg, ambroxol
10 mg, CTM 2 mg, yang diracik menjadi puyer dengan aturan pakai 3 x 1 puyer.
Berdasarkan terapi yang diberikan terdapat beberapa permasalahan terkait
pengobatan, seperti: bentuk sediaan yang tidak tepat, kurang tepat dalam pemilihan jenis obat,
adanya pemberian obat yang tidak diperlukan serta perlu adanya terapi tambahan. Penggunan
antibiotik yang diracik bersama dengan ambroxol dan CTM tidak rasional, karena antibiotik
harus digunakan teratur sampai habis (Kemenkes RI, 2011). Sehingga disarankan antibiotik
diberikan dalam bentuk sediaan tunggal. Penggunaan antibiotika yang sembarangan atau tidak
8
tepat penakarannya selain dapat menggagalkan terapi juga dapat menimbulkan resistensi. Uji
diagnostik diperlukan untuk menghindari pengobatan antibiotik berlebih yang tidak perlu.
Pasien juga mendapatkan ambroxol yang merupakan agen sekretolitik untuk mengatasi
gangguan pernafasan yang berhubungan dengan mukosa berlebih. Ambroxol merupakan
metabolit dari bromhexin yang bekerja untuk untuk mengencerkan dahak di saluran nafas
sehingga terapi dengan ambroxol dirasa sudah tepat untuk menangani batuk berdahak yang
dialami pasien (Depkes RI, 1997). Pasien A juga diberikan racikan obat yang mengandung
CTM. Penggunaan chlorpheniramine maleat pada anak kurang tepat karena chlorpheniramine
merupakan antihistamin generasi pertama yang memiliki efek seperti atropine (atropine like
effect) yang dapat merugikan penderita (Supriyatno, 2005). Chlorpeniramine maleat
merupakan gologan obat antihistamin yang bekerja dalam mengatasi gejala-gejala alergi
melalui kompetisi dengan menghambat histamin berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di
organ sasaran (Gunawijaya, 2011). Selain sebagai anti alergi, antagonis reseptor H1 ini juga
memiliki efek anti muntah, sedatif, dan antikolinergik sehingga akan mengganggu
kenyamanan pasien. Banyak obat batuk pilek yang ditambahkan antihistamin sebagai antitusif
serta untuk mengurangi ingus dan kongesti nasal. Namun demikian, efek antitusifnya tidak
pernah terbukti. Efek antikolinergik (mirip atropin) sering menyebabkan sensasi rasa kering di
farings dan hidung dan mengentalnya sekresi bronkus(10).
Satu minggu kemudian ditemukan adanya bakteri Streptococcus spp berdasarkan
hasil kultur dahak pasien sehingga pasien memerlukan antibiotika tunggal untuk membunuh
bakteri tersebut. First line antibiotika untuk pasien ISPA yang disebabkan oleh bakteri pada
kasus ini Streptococcus spp adalah antibiotik amoxillin, yang bekerja sebagai bakterisid
secara aktif membunuh bakteri, tetapi pada kasus ini pasien resiten terhadap antibiotik
golongan penisilin sehingga diperlukan penggantian golongan antibiotika yang memiliki
mekanisme kerja yang sama seperti antibiotik golongan penicillin. Antibiotika golongan
penisillin yang digunakan dapat diganti dengan golongan beta laktam lainnya yaitu golongan
sefalosporin. Golongan sefalosporin yang dapat diberikan yaitu sefadroxil dengan dosis anak :
30mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis (Kemenkes RI, 2005). Sefadroxil yang disarankan dalam
bentuk syrup dengan pertimbangan bahwa pasien anak belum mampu menelan tablet atau
kapsul. Pasien anak A juga mengalami demam yang merupakan suatu keadaan suhu tubuh di
atas suhu normal. Tetapi dalam kasus ini pasien belum mendapatkan terapi untuk menurunkan
suhu tubuhnya menjadi normal. Terapi simtomatik untuk demam dapat dilakukan dengan
pemberian obat demam (antipiretik) yaitu paracetamol (Ismoedijanto, 2000). Parasetamol
(asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat
9
sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol digunakan secara
luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik
maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang
dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002).
Selain mendapatkan terapi farmakologi, pasien juga diharapkan dapat menjalani terapi
non farmakologi untuk dapat menghindari kekambuhan yang mungkin terjadi. Beberapa
terapi non farmakologi yang dapat dijalani oleh pasien antara lain, pola hidup sehat,
mengendalikan faktor-faktor yang mungkin dapat menyebabkan kekambuhan seperti
menghindari makanan atau minuman yang tidak higenis, menghindari dehidrasi berlebih pada
pasien. Terapi non farmakologi yang juga penting yaitu diperolehnya edukasi dari tenaga
kesehatan yang tidak hanya diperuntukkan pada pasien tetapi juga keluarga untuk
meningkatkan pemahaman mengenai penyakit ISPA, meningkatkan kepatuhan dan mampu
melaksanakan tatalaksana ISPA (Depkes RI, 2007).
10
DAFTAR PUSTAKA