Abstrak
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 14.9 juta ha (7,8%) dari total wilayah
Indonesia (191.09 juta ha). Luas lahan gambut di Kalimantan Tengah diperkirakan mencakup areal seluas 2.65 juta ha
atau sekitar 16.7% dari total luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (15.798 juta ha) (BBSDLP, 2013). Lahan gambut
memiliki beberapa fungsi strategis, seperti fungsi hidrologis, sebagai penambat (sequester) karbon dan biodiversitas
yang penting untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa. Lahan gambut tergolong lahan marginal dan ”fragile”
dengan produktivitas biasanya rendah dan sangat mudah mengalami kerusakan. Alih fungsi lahan gambut untuk
penggunaan lain (pertanian), tentu saja akan menyebabkan perubahan kondisi lahan tersebut, terkait sifat fisik, kimia,
dan biologi tanahnya. Pembukaan lahan gambut, adanya drainase berlebih, dan kebakaran yang sering terjadi dinilai
sebagai penyumbang emisi GRK yang menjadi “bom waktu” bagi lingkungan dalam 50-100 tahun mendatang. Hooijer et
al. (2006) memperkirakan bahwa lahan gambut Indonesia menyumbangkan 2000 Mega ton (Mt) CO 2 per tahun dari total
emisi CO2 sebanyak 3000 Mt per tahun, sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil gas rumah kaca
(GRK) tertinggi ke 3 di dunia sesudah Amerika Serikat dan Cina. Terkait pembuatan dam (blocking canal and rewetting
effect) yang sampai saat ini belum didapatkan data-data akurat mengenai dampaknya terhadap lahan gambut. Hasil
yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa jarak dari saluran drainase menunjukkan adanya perbedaan tinggi muka
air tanah yang berbeda sebagai akibat ada saluran tersebut dan pengaruh dari pembuatan dam (blocking canal).
Namun demikian kondisi air di daerah hulu (upstream) dipengaruhi oleh adanya bangunan air (dam) yang menyebabkan
ketinggian berbeda sekitar 10 – 20 cm dengan daerah hilir (downstream).
kemudian diukur dengan menggunakan alat ukur pengabuan kering/LOI), kadar serat (metode
water table. Pengukuran kedalaman muka air tanah suntik/syringe), warna tanah (munshell color chart),
dilakukan saat musim kemarau dan musim hujan kadar air tanah (metode gravimetrik), berat volume
(Juni – November) selama kegiatan penelitian ini. tanah (metode ring sampel), dan hidrofobisitas
(metode WDPT).
2.3 Pengukuran Suhu Tanah, Kelembaban
Tanah, Ketebalan Gambut dan 2.5 Analisis Data
Lingkungan
Untuk memudahkan dalam pengolahan dan
Pengukuran suhu tanah dilakukan pada masing- interpretasi data yang didapat dari lapangan (insitu)
masing titik pengukuran (dekat dengan pipa dengan data yang didapat dari hasil analisis
PVC/piezometer), pengukuran suhu dilakukan pada laboratorium, yang mana setiap parameter analisis
kedalaman 0 cm, 10 cm, 30 cm, dan 50 cm dengan dengan regresi dan korelasi dan ditampilkan dalam
menggunakan T-type thermocouple and recorded to bentuk tabel atau grafik dengan menggunakan
a 4-ch data logger (47SD Thermo Recorder, Sato software Microsoft Excel for windows.
Shoji, Japan).
Bersamaan dengan pengukuran suhu tanah, 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
dilakukan juga pengukuran kelembaban tanah 3.1 Muka Air Tanah (Water Table)
dengan menggunakan soil moisture profile probe
Delta-T Devices PR2 dan sensor HH2 pada Ketinggian muka air tanah di lokasi gambut alami
kedalaman 10 cm, 20 cm, 30 cm, 40 cm, 60 cm dan berkisar 25.3 – 39.5 cm (Gambar 1), sedangkan di
100 cm di setiap penggunakan lahan dan lokasi perkebunan kelapa sawit rakyat berkisar
berdekatan dengan lokasi pengukuran water table. 44.56 – 53.23 cm (Gambar 2). Semakin jauh dari
pH dan electric conductivity (EC) diukur pada saluran drainase, semakin mendekati permukaan
kedalaman 10, 20, 40, dan 80 cm yang mana tanah, walaupun terjadi penurunan setiap bulannya.
sebelumnya pipa stainless steel (diameter 0,7 cm) Hal ini lebih dipengaruhi oleh ketinggian air di
ditanam di lahan dan dibiarkan selama beberapa saluran drainase dan tentu saja pengaruh hujan.
menit agar stabil sebelum diukur pH dan EC Namun dari lokasi gambut untuk perkebunan kelapa
menggunakan (B-212 Horiba, Japan dan B-173 sawit rakyat terlihat bahwa data ketinggian muka air
Horiba, Japan). tanah berfluktuasi dari berbagai jarak dari saluran.
Pengukuran ketebalan gambut dilakukan Pengeringan dan pembukaan lahan gambut
dengan menggunakan bor gambut (merk akan menyebabkan perubahan drastis hidrologi
Eijkelkamp) pada beberapa titik pengeboran gambut gambut dan peningkatan emisi CO2 ke atmosfir
yang menyesuaikan dengan lokasi pengukuran (Hooijer et al. 2006; Page et al. 2002). Kondisi
ketinggian muka air tanah (water table). hidrologi di daerah dampak sangat berpengaruh
terhadap dekomposisi gambut (e.g. Hirano et al.
2.4 Pengambilan Sampel Air dan Tanah 2009; Page et al. 2009).
(Disturb dan Undistub)
Downstream
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
-20
-40
WT (cm)
-60
(1990) dalam Stewart (1992) gambut yang hemik/saprik antara 0.1 - 0.3 g cm-3 (Masganti et al.
didrainase dan dikelola sebagai lahan pertanian, 2014).
gambut akan teroksidasi sehingga bahan organik Kadar air gambut di lokasi penelitian (gambut
akan cepat terdekomposisi dan menyebabkan hutan alami) 300 - 800%. Kondisi ini sangat sesuai
subsiden/penurunan permukaan tanah. Penurunan dengan sifat asli dari tanah gambut yang memiliki
permukaan tanah pada awal reklamasi pada tahun sifat porous sehingga dapat menyimpan air dalam
ke-2 dan tahun ke-3 berjalan lebih cepat dan jumlah yang besar. Selain itu, lokasi penelitian
kemudian berangsur makin lambat, rata-rata 2,5 cm merupakan lahan yang akan tergenang pada musim
tahun-1 (Hardjowigeno 1997). Pada gambut yang penghujan dan kering serta mudah terbakar pada
telah diusahakan sebagai lahan pertanian proses musim kemarau. Namun hal ini berbeda dengan
akumulasi bahan organik lebih lambat sedangkan lokasi gambut untuk perkebunan kelapa sawit rakyat
proses dekomposisi bahan organik akan lebih cepat yang lebih rendah kadar air tanah gambutnya
sehingga tumpukan bahan organik akan menipis, dengan lokasi gambut hutan alami.
disamping itu akibat kegiatan budidaya pertanian Kadar abu gambut di lokasi hutan alami yang
mengakibatkan permukaan gambut menjadi tidak belum terganggu tergolong rendah. Kadar abu
rata. Ditambahkan juga, bahwa kecepatan reaksi yang rendah menunjukkan bahwa gambut
kimia akan meningkat dua kali lipat tiap kenaikan tersebut miskin. Semakin tinggi kadar abu, maka
suhu 10 C. Laju kegiatan yang optimum bagi semakin tinggi mineral yang dikandungnya.
mikroorganisme tanah yang menguntungkan berada Radjagukguk (1997) di dalam penelitiannya
antara 18 - 30 C (Kertonegoro 1989). menyatakan bahwa kadar abu gambut Indonesia
berkisar 2.4 - 16.9%. Semakin dalam ketebalan
3.4 Ketebalan Gambut dan Tingkat gambut, makin rendah kadar abunya. Kadar abu
Dekomposisi gambut sangat dalam (>3 m) sekitar 5%, gambut
dalam dan tengahan (1 - 3 m) berkisar 11 - 12%
Hasil pengukuran ketebalan gambut di lokasi alami dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor 2001).
berkisar antara 3.6 – 4.5 m dengan tingkat Kadar abu sebagai penciri tingkat kesuburan
dekomposisi fibrik, hemik, dan saprik. Sedangkan di gambut dilaporkan kadarnya dalam gambut sangat
lokasi perkebunan kelapa sawit rakyat berkisar 2.21 rendah (Salampak 1999; Kurnain et al. 2001;
– 3.53 m dengan tingkat perombakan hemik – Masganti 2003). Kadar abu pada tanah gambut di
saprik. Kondisi ini dipengaruhi oleh pengelolaan Indonesia umumnya kurang dari 1%. Pada
lahan dan penggunaanya. Sebagai contoh, areal tanah-tanah gambut yang mengalami kebakaran
hutan alami memiliki gambut yang lebih tebal (Kurnain et al. 2001) atau telah dibudidayakan
dibandingkan dengan lahan yang sudah dikonversi secara intensif, kadar abu mencapai 2 - 4% (Jaya
menjadi area pertanian. et al. 2001). Kadar abu juga berhubungan dengan
kematangan dan kadar bahan organik gambut.
3.5 Karakteristik Fisik dan Kimia Tanah Semakin tinggi mineral yang terkandung pada tanah
gambut, semakin tinggi kadar abu. Kadar abu
Gambut
gambut oligotrofik sekitar 2%, gambut mesotrofik 2-
7%, dan gambut eutrofik (kadar mineral tinggi) >
Berat volume di lokasi gambut alami tergolong
14% (Widjaja-Adhi 1986). Hidrofobisitas adalah
rendah yaitu kurang dari 0.2 g cm-3. Menurut
keadaan saat permukaan tanah gambut tidak dapat
Driessen dan Rochimah (1976), berat volume tanah
menahan (memegang) air (Valat et al. 1991 dalam
gambut pada hutan rawa di Kalimantan tergolong
Utami 2009).
rendah yaitu berkisar antara 0.14 – 0.23 g cm-3.
Berdasarkan nilai rata-rata hidrofobisitas pada
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
gambut pedalaman di lokasi gambut alami tergolong
terdahulu yang menyatakan bahwa berat volume
hidrofilik karena waktu serapnya kurang dari 5 (lima)
gambut tergolong rendah (Yulianti 2009) dimana
detik dengan interval 1.5-3.4 detik. Hal ini berarti
rendahnya berat volume tanh gambut akan
gambut tersebut masih sangat baik karena masih
mengakibatkan daya tumpu menjadi rendah
mampu menyerap air setelah mengalami
sehingga akar tanaman tidak mampu bertumpu
pengeringan melalui pemanasan oven.
dengan kokoh. Nilai berat volume tanah gambut
fibrik di Indonesia kurang dari 0.1 g cm-3 (0.06 - 0.15
g cm-3) dan gambut saprik lebih dari 0.2 g cm-3 4. SIMPULAN
(Driessen dan Rochimah 1976) dan gambut
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan
bahwa kondisi hidrologi lahan gambut akan berubah
bila terdapat gangguan (akibat adanya kanal) dan Kertonegoro BD. 1989. Fisika Tanah (Terjemahan).
ini juga berdampak terhadap terhadap karakteristik Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas
lahan gambut tersebut. Terkait adanya pembuatan Gadjah Mada. Yogyakarta.
sekat kanal (blocking canal), terdapat efek langsung Kurnain A, Notohadikusumo T, Radjagukguk B, Hastuti S.
2001. Peat soil properties related to degree of
terhadap kondisi hidrologi di lahan gambut. Selain
decomposition under different land use systems.
itu, ketinggian air di bagian hilir (down stream) dari International Peat Journal 11: 67 – 77.
sekat kanal (blocking canal) lebih rendah 10 – 20 Masganti. 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya
cm dari bagian hulu (upstream). Penyediaan Fosfat dalam Gambut Oligotrofik.
Disertasi. Program Pascasarjana Universitas
5. UCAPAN TERIMA KASIH Gadjah Mada. Yogyakarta. 350 halaman.
Masganti, Subiksa IGM, Nurhayati, Winda S. 2014.
Ucapan terima kasih penulis kepada APCE- Respon Tanaman Tumpangsari (Kelapa Sawit dan
UNESCO TA 2015/2016, BRG TA 2017, PNBP Nenas) terhadap Amelioran dan Pemupukan di
Lahan Gambut Terdegradasi. Balai Penelitian
Melalui LPPM UPR TA 2018, dan UPT. LLG-
Tanah, Bogor. 117-132.
CIMTROP UPR untuk mendukung kelancaran Murdiyarso D, Hergoualc’h K, Basuki I, Sasmito S. D,
kegiatan penelitian ini. Hanggara B. 2017. Cadangan Karbon di Lahan
Gambut. CIFOR. Doi: 10.17528/cifor/006440.
6. DAFTAR PUSTAKA Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan
Kendala. Kanisius. Yogyakarta. 174 hal.
Adijaya, Rieley JO, Artiningsih T, Sulistiyanto Y, Jagau Y. Page SE, Rieley JO, Banks CJ. 2011. Global and
2001. Utilization of deep tropical peatland for regional importance of the tropical peatland carbon
agriculture in Central Kalimantan, Indonesia. Pp pool. Global Change Biology 17:798-818.
125-131. In: JO Rieley, SE Page. (Eds.). Jakarta Page S, Hosciło A, Wösten H, Jauhiainen J, Silvius M,
Symp. Proc. on Peatlands for People: Nat. Res. Rieley J, Ritzema H, Tansey K, Graham L,
Func. and Sustain. Manag. Vasander H, Limin S 2009: Restoration ecology of
Adji FF, Hamada Y, Darung U, Limin SH, Hatano R. lowland tropical peatlands in Southeast Asia:
2014. Effect of plant-mediated oxygen supply and current knowledge and future research directions.
drainage on greenhouse gas emission from a Ecosystem 12: 888-905.
tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Page SE, Morrison R, Malins C, Hooijer A, Rieley JO,
Soil Science and Plant Nutrition Journal 1 – 15. Jauhiainen J. 2011. Review of Peat Surface
Arifin M. 2010. Kajian Sifat fisik tanah dan berbagai Greenhouse Gas Emissions from Oil Palm
penggunaan lahan dalam hubungannya dengan Plantations in Southeast Asia. ICCT White Paper
pendugaan erosi tanah. Jurnal Pertanian MAPETA 15, Washington.
12 (2): 72 – 144. Page SE, Siegert F, Rieley JO, Boehm H-DV, Jaya A,
Driessen PM, Rochimah L. 1976. The physical properties Limin SH 2002: The amount of carbon released
of lowland peats from Kalimantan. In: Proc. Peat from peat and forest fires in Indonesia during 1997.
and Podzolic Soils and Their Potential for Nature, 420,61–65.
Agriculture in Indonesia. Soil Research Institute. Radjajgukguk B. 1997. Pertanian Keberlanjutan di Lahan
Bogor. Bull 3: 56-73. Gambut. Dalam. Alami, Pengelolaan Gambut
Hardjowigeno S. 1997. Pemanfaatan gambut Berwawasan Lingkungan 2(1): 17-20.
berwawasan lingkungan. dalam. alami, Rieley JO, Page SE 2008: Carbon budgets under
Pengelolaan Gambut Berwawasan Lingkungan different land uses on tropical peatland. In: Feehan
2(1): 3-6. J, Farrell CA (eds). Proceedings 13th International
Hirano T, Jauhiainen J, Inoue T, Takahashi H 2009: Peat Congress. Tullamore, Ireland.
Controls on the carbon balance of tropical Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah
peatlands. Ecosystems, 12, 873-887. Gambut yang Disawahkan dengan Pemberian
Hirano T, Segah H, Harada T, Limin S, June T, Hirata R, Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi”.
Osaki M 2007: Carbon dioxide balance of a tropical Disertasi. Program Pascasarjana, IPB.Bogor. 171
peat swamp forest in Kalimantan, Indonesia. Global p.
Change Biology, 13, 412-425. Saragi-Sasmito MF, Murdiyarso D, June T, Sasmito S. D.
Hooijer A, Page SE, Jauhiainen J, Lee WA, Idris A, 2018. Carbon stocks, emissions, and aboveground
Anshari G. 2012: Subsidence and carbon loss in 9 productivity in restored secondary tropical peat
drained tropical peatlands. Biogeosciences 9, swamp forests. Mitigation and Adaptation
1053-1071. Strategies for 10 Global Change, 1-13.
Hooijer A, Silvius M, Wösten H, Page S. 2006: Peat-CO2, Saragih ES. 1996. Pengendalian Asam-asam Fenolat
assessment of CO2 emissions from drained Meracun dengan Penambahan Fe (III) pada Tanah
peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics Report Gambut dari Jambi, Sumatera. Tesis. Program
Q3943/2006, Delft, the Netherlands. Pascasarjana IPB, Bogor. 172 hal.
Takahashi H, Simada S, Ibie B, Usup A, Yudha, Limin S. 2009. Sifat Fisik, Kimia dan FTIR Spektrofotometri
H. 2002. Annual Changes of Water Balance and a Gambut Hidrofobik Kalimantan Tengah. Jurnal
Drought Index in a Tropical Peat Swamp Forest of Tanah Tropika. 1 (1).
Central Kalimantan, Indonesia. In: Rieley JO, Page Widjaja-Adhi IPG. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang
SE (eds). Proceedings of the International surut dan lebak. Jurnal Penelitian dan
Symposium on Tropical Peatlands. Jakarta, Pengembangan Pertanian 5(1): 1-9.
Indonesia.
Utami SNH, Maas A, Radjagukguk B, dan Purwanto BH.
-----