Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, diperlukan lembaga perwakilan rakyat yang
mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat guna mewujudkan tujuan nasional demi
kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara optimal. Hal ini
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) menyatakan bahwa,
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar.” Selanjutnya ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa,
“Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara” dan ayat (2) yang menyatakan bahwa “Menteri-
menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”.
Namun Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri,
menambahkan UU MD3 harus segera direvisi untuk mengantisipasi perseteruan politik yang
terjadi menjelang pemilu. Bukan hanya itu, revisi ini juga penting untuk menindaklanjuti putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan legitimasi bagi DPD dalam proses pembahasan
legislasi. Menurut Roland, Kenapa (revisi) ini penting? Ada sejumlah catatan, berangkat dari
pemantauan PSHK saat UU MD3 dibahas dan disahkan menjelang pelaksanaan pilpres, sehingga
sarat kepentingan politik. Terlepas dari kepentingan politik apapun itu, sudah seharusnya para
anggota dewan sebagai manifestasi dari masyarakat yang di percaya untuk menyampaikan
amanat berupa aspirasi-aspirasi yang seharusnya bisa di penuhi bukannya malah semakin
bertindak represif dengan menempatkan diri sebagai badan atau lembaga yang tak tesentuh.
Karena sejatinya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan hanya bisa di
ejawantahkan dengan cara pemerintah (para anggota dewan) dan masyarakat untuk bisa
beriringan dalam besama-sama membangun negara indonesia, yaitu dengan cara pro aktif
mengawal kebijakan pemerintah.