Escad Terbaru Ok
Escad Terbaru Ok
ESTIMASI CADANGAN
OLEH :
KELOMPOK I
Kelompok II
I PENDAHULUAN
1.3 Metodologi
Adapun prosedur dari laporan tugas besar metode estimasi cadangan komoditi
bauksit antara lain:
1. Membuat letak titik sebaran lubang bor
2. Membuat peta topografi endapan bauksit laterit
3. Membuat analisis statistik dari kandungan Al2O3, Fe2O3 dan SiO2 dari masing-
masing lubang bor.
4. Menentukan sumber daya tertunjuk, terkira dan terunjuk mengggunakan metode
poligon.
5. Menentukan sumber daya tertunjuk, terkira dan terunjuk mengggunakan metode
penampang.
Pengolahan data yang dilakukan pertama adalah proses verifikasi data sekunder
endapan bauksit laterit, dengan hasil keluaran berupa data yang siap dilakukan teknik
komposit. Data komposit didasarkan pada deskripsi penentuan kadar dari kandungan
material galian bauksit latenit untuk menentukan ketebalan horizon dari endapan bauksit
laterit. Selanjutnya dilakukan analisis statistika berupa analisis deskriptif, bivariat dan .
Analisis statistika digunakan untuk mengetahui persebaran kadar, hubungan kadar satu
dengan kadar lain, serta perilaku ketebalan terhadap peta topografi dan morfologi.
Tahapan selanjutnya, membuat peta topografi, peta persebaran titik lubang bor. peta iso-
kadar, peta iso-lapisan bauksit laterit untuk mengetahui letak distribusi data. Tahapan
akhir dalam pengerjaan yakni melakukan perbandingan dua metode model estimasi
sumberdaya dengan menggunakan metode poligon dan metode penampang sehingga
diperoleh hasil jumlah estimasi sumberdaya endapan bauksit laterit dan top soil yang
berguna dalam tahapan lanjut (feasibility study).
Bauksit adalah bijih logam aluminium (Al) dan merupakan suatu koloid oksida Al
dan Si yang mengandung air. Istilah bauksit dipergunakan untuk bijih yang
mengandung oksida aluminium monohidrat atau anhidrat. Biasanya berasosiasi dengan
laterit, warnanya tergantung dari oksida besi yang terkandung dalam batuan asal. Makin
basa batuan asal biasanya makin tingggi kandungan unsur besinya, sehingga warna dari
bijih bauksit akan bertambah merah. Dialam bauksit berupa mineral Gipsit Ahmit atau
Diaspor.
Bauksit adalah biji utama aluminium terdiri dari hydrous aluminium oksida dan
aluminium hidroksida yaitu berupa mineral buhmit (Al2O.3H2O), mineral gibsit
(Al2O3 .3H2O), dan diaspore α-AlO (OH), bersama sama dengan oksida besi goethite
dan bijih besi, mineral tanah liat kaolinit dan sejumlah kecil anatase TiO2. Secara
umum bauksit mengandung Al2O3 sebanyak 45-65%, SiO2 1-12%, Fe2O3 2-25%,
TiO2 >3%, dan H2O 14-36%. Bauksit pertama kali ditemukan pada tahun 1821 oleh
geolog bernama Pierre Berthier pemberian nama sama dengan nama desa Les Baux di
selatan Perancis. Di Indonesia Bauksit pertama kali ditemukan pada tahun 1924 di
Kijang, pulau Bintan, di Provinsi Kepulauan Riau.
Bauksit terbentuk pada iklim tropis sebagai hasil pelapukan bahan kimia,
pencucian silika dalam batuan alumunium bearing. Ini terdiri dari satu atau lebih dari
tiga aluminium hidroksida mineral, gibsit, boehmit, diaspor, dalam proporsi yang
berbeda-beda. Gibsit adalah aluminium hidroksida yang benar, sementara boehmit dan
diaspor adalah aluminium oksida hidroksida. Diaspor berbeda dari boehmit dalam
struktur kristal dan memerlukan suhu yang lebih tinggi untuk dehidrasi cepat. Bauksit
juga mengandung jumlah bervariasi oksida besi, oksida silikon, titanium, dan jumlah
kecil dari tanah liat dan silikat lainnya.
Bauksit bisa sangat keras, tetapi umumnya cukup lembut dan seperti tanah liat.
Muncul dalam warna yang berbeda, termasuk, coklat, kuning, merah, putih, dan
berbagai kombinasi. Namun lebih sering muncul dengan tanpa warna dibandingkan
dengan warna kemerahan, yang sesuai dengan jumlah kandungan oksida besinya.
Bauksit ada dalam tiga bentuk yaitu pisolitik longgar (dengan butir marmer ukuran kecil
dan bulat), disemen pisolitik (dengan butiran kecil yang disemen bersama-sama), dan
tubular, (potongan yang lebih besar dengan rongga tidak menentu) Bauksit dapat
ditemukan dalam lapisan mendatar tetapi kedudukannya di kedalaman tertentu.
1.4.2 Klasifikasi Endapan Bauksit
Endapan bauksit dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis menurut Tardy (1977),
yaitu:
1. Orthobauxite
Orthobauxite memiliki profil laterit yang klasik. Saprolit tertutupi oleh indurated,
horison bauksit intermediet berwarna merah tertutupi oleh duricrust bauksit
berwarna merah muda-merah yang berkomposisi gibsite, goetit, dan hematit.
Akumulasi besi terutama terkonsentrasi ke bagian atas duricrust.
2. Metabauxite
Metabauksit adalah bauksit laterit yang terjadi secara insitu pada batuan induk
dengan kadar kuarsa rendah. Mirip dengan endapan orthobauxite, tetapi lebih
dalam kandungan aluminium dan kurang dalam kandungan besi. Metabauxite
umumnya terbentuk pada dataran tinggi yang luas dimana kondisi oksidasi yang
kuat terjadi. Kondisi lingkungan yang berubah dari lembab menjadi kering adalah
kondisi yang memungkinkan terjadinya formasi metabauxite. Pada bagian atas
profil, goetit dan gibsit terhidrasi menjadi hematit dan boehmit.
3. Cryptobauxite
Cryptobauxite adalah horison bauksit yang tertutupi oleh lapisan tebal lempung.
Terbentuk di daerah amazonia dan sangat jarang ditemui di daerah pelapukan
tropis. Cryptobaukxite jarang yang membentuk endapan ekonomi. Dicirikan oleh
fasa mikro aggregat yang berkomposisi utama kaolinit, dengan membawa gibsit
dan goetit.
Selain hal diatas, kontrol pembentukan adalah salah satu juaga yang harus
diperhatikan dari endapan bauksit. Kontrol pembentukan endapan bauksit dibagi
menjadi tiga, diantaranya:
1. Litologi ‘Bedrock’ Bauksit dapat terbentuk dari berbagai macam batuan primer.
Kandungan Al awal pada batuan induk ialah 30-35 % untuk batuan sedimen
kaolinit, 10-15% untuk granit dan basal, dan batuan dengan kandungan Al kurang
dari 15% dapat membentuk bauksit. Proses pengayaan Al terutama dikontrol oleh
rasio Al/Si dan kecepatan pelapukan. Kandungan rendah Fe juga merupakan
faktor penting, dimana Fe yang tinggi dapat membentuk formasi laterit
ferruginous.
2. Geomorfologi Seting geomorfologi merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam
bentang laterit yang luas sebagai hasil dari pelapukan dan erosi yang terus
menerus. Bauksit laterit pada masa lampau terbentuk pada permukaan datar dan
ditemukan sebagai bagian dari dataran tinggi pada masa kini. Dataran tinggi
bauksit merupakan sisa dari permukaan datar pada masa lampau yang memiliki
kemiringan 1 – 5 derajat, sehingga secara regional paleo-surface yang sama
mungkin terjadi pada ketinggian yang berbeda.
3. Kondisi iklim Bauktisasi adalah proses laterisasi yang ekstrem, dimana terjadi
pelindian silica dan pengayaan Al secara kuat. Paragenesis mineralogi dari bagian
atas profil pelapukan dikontrol oleh kelembaban atmosfer dalam jangka waktu
yang lama. Bauktisisasi terjadi pada kondisi temperature ±22ºC, curah hujan rata-
rata 1200 mm (Bardossy dan Aleva, 1990). Jika terjadi musim kering yang lama,
maka orthobauksit tidak akan terbentuk dimana yang akan terbentuk yaitu
aluminoferruginous duricrust (Tardy, 1997).
1.4.3 Mineralogi Endapan Bauksit
Bauksit adalah batuan sedimen, sehingga tidak memiliki rumus kimia yang
tepat. Hal ini terutama terdiri dari mineral alumina yang terhidrasi seperti gibsit
Al(OH)3 atau Al2O3.3H2O dalam deposit (endapan) tropis yang lebih baru, atau
keadaan subtropis, endapan bauksit memiliki mineral utama boehmite γ-AlO(OH) atau
Al2O3.H2O dan beberapa-diaspore α AlO(OH) atau Al2O3.H2O. Komposisi kimia
rata-rata bauksit, berat, adalah 45 - 60% Al2O3 dan 20 - 30% Fe2O3. Berat sisanya
terdiri dari silika (kuarsa, kalsedon dan kaolinit, karbonat (kalsit dan magnesit dolomit,
titanium dioksida dan air). Pembentukan bauksit laterit terjadi di seluruh dunia di 145
sampai 2 juta-tahun yang lalu yaitu di pesisir Kapur dan Tersier. Endapan bauksit
berbentuk sabuk memanjang, kadang-kadang panjangnya mencapai ratusan kilometer
sejajar dengan garis pantai Tersier Bawah di India dan Amerika Selatan, distribusi
mereka tidak terkait dengan komposisi mineralogi tertentu dari batuan induknya. Bijih
bauksit merupakan mineral oksida yang sumber utamanya adalah: 1. Al2O3.3H2O,
Gibbsit yang sifatnya mudah larut 2. Al2O3.3H2O, Bohmit yang sifarnya susah larut
dan Diaspor yang tidak larut.
1.4.4 Pembentukan Endapan Bauksit
Bauksit terbentuk dari batuan yang mengandung unsur Al. Batuan tersebut antara
lain nepheline, syenit, granit, andesit, dolerite, gabro, basalt, hornfels, schist, slate,
kaolinitic, shale, limestone dan phonolite. Apabila batuan-batuan tersebut mengalami
pelapukan, mineral yang mudah larut akan terlarutkan, seperti mineral-mineral alkali,
sedangkan mineral – mineral yang tahan akan pelapukan akan terakumulasikan. Di
daerah tropis, pada kondisi tertentu batuan yang terbentuk dari mineral silikat dan
lempung akan terpecah-pecah dan silikanya terpisahkan sedangkan oksida alumunium
dan oksida besi terkonsentrasi sebagai residu. Proses ini berlangsung terus dalam waktu
yang cukup dan produk pelapukan terhindar dari erosi, akan menghasilkan endapan
lateritik. Kandungan alumunium yang tinggi di batuan asal bukan merupakan syarat
utama dalam pembentukan bauksit, tetapi yang lebih penting adalah intensitas dan
lamanya proses laterisasi.
Kondisi-kondisi utama yang memungkinkan terjadinya endapan bauksit secara
optimum, yaitu :
1. Adanya batuan yang mudah larut dan menghasilkan batuan sisa yang kaya
alumunium
2. Adanya vegetasi dan bakteri yang mempercepat proses pelapukan
3. Porositas batuan yang tinggi, sehingga sirkulasi air berjalan dengan mudah
4. Adanya pergantian musim (cuaca) hujan dan kemarau (kering)
5. Adanya bahan yang tepat untuk pelarutan
6. Relief (bentuk permukaan) yang relatif rata, yang mana memungkinkan
terjadinya pergerakan air dengan tingkat erosi minimum
7. Waktu yang cukup untuk terjadinya proses pelapukan Bijih bauksit terjadi di
daerah tropis dan subtropis yang memungkinkan pelapukan yang sangat kuat.
Bauksit terbentuk dari batuan yang mempunyai kadar alumunium nisbi tinggi, kadar Fe
rendah dan tidak atau sedikit mengandung kuarsa (SiO2) bebas atau tidak mengandung
sama sekali. Bentuknya menyerupai cellular atau tanah liat dan kadang-kadang
berstruktur pisolitik. Secara makroskopis bauksit berbentuk amorf. Kekerasan bauksit
berkisar antara 1 - 3 skala Mohs dan berat jenis berkisar antara 2,5 - 2,6.
Bauksit sangat mudah ditambang dan diproses. Hal ini biasanya tidak
memerlukan pengeboran atau peledakan karena bauksit memiliki kekerasan yang relatif
lembut. Bauksit terutama ada secara alami di dalam kelas dapat diterima, tidak seperti
banyak bijih logam lainnya. Meningkatkan kadar bauksit tidak bisa diterima jika hanya
dengan menghapus tanah liat, juga merupakan proses yang mudah dan murah. Pada
80% dari bauksit dunia dikumpulkan dari selimut endapan, yang relatif dangkal,
pertambangan permukaan digunakan. 20% sisanya berasal dari endapan pocket yang
relatif di bawah tanah yang terletak di Eropa Selatan dan Hongaria, yang membutuhkan
teknik penggalian lebih merusak dan bermasalah.
Bauksit yang terkandung di bumi nusantara, jenis mineralnya adalah gibsit,
dengan kadar utama alumina, kuarsa, dan silika aktif. Biji bauksit laterit terjadi di
daerah tropis dan sub tropis serta membentuk perbukitan landai, yang memungkinkan
terjadinya pelapuk yang cukup kuat. Bauksit terbentuk dari batuan yang mempunyai
kadar aluminium tinggi, kadar Fe rendah dan sedikit kadar kuarsa bebas. Batuan yang
memenuhi persyaratan itu antara lain nepelin syenit dan sejenisnya yang berasal dari
batuan beku, batuan lempung atau serpih. Batuan itu akan mengalami proses laterisasi
(proses pertukaran suhu secara terus menerus sehingga batuan mengalami pelapukan).
Di Indonesia, bauksit tersebar di Pulau Bintan, Bangka, Kepulauan Riau dan
Kalimantan Barat.
Untuk menggali bauksit, dilakukan dengan metoda land clearing (mengupas
pohon dan semak di permukaan tanah, atau pengupasan tanah penutup). Alat-alat berat
macam buldozer, biasa dipakai untuk melakukan pengupasan tersebut. Sementara
lapisan bijih bauksit digali dengan shovel, diangkut dengan dump truck untuk
dimasukan ke dalam instalasi pencucian. Setelah dicuci (desliming) yang berfungsi
memisahkan bijih bauksit dari unsur lain seperti pasir atau lempung kotor, maka
dilakukan proses penyaringan ( screening). Bersamaan dengan itu dilakukan pemecahan
(size reduction) dari butiran-butiran yang berukuran lebih dari 3 inchi dengan jaw
cruscher. Setelahnya, barulah memasuki tahap pengolahan dengan proses bayer (teknik
pemurnian bauksit). Cukup banyak angka produksi bauksit yang ditambang dari perut
bumi. Hal itu guna memenuhi pasokan kebutuhan berbagai industri yang menggunakan
bauksit. Volume yang cukup besar itu juga demi melayani permintaan ekspor dari
negara lain, seperti Jepang, India, dan beberapa negara di Eropa
Sebelum bijih bauksit ditambang, terlebih dahulu dilakukan pembersihan lokal
(land clearing) dari tumbuh - tumbuhan yang terdapat diatas endapan bijih bauksit. Hal
ini dimaksudkan untuk mempermudah operasi selanjutnya yaitu pengupasan lapisan
penutup (Stripping of overburden) yang umumnya memiliki ketebalan 0,2 meter. Untuk
pengupasan lapisan penutup digunakan bulldozer, penggalian endapan bauksit dengan
excavator dan pemuatan bijih dengan dump truck.
Penambangan dilakukan dengan sistem tambang terbuka dengan metoda
berjenjang yang terbagi dalam beberapa blok, sehingga untuk kemajuan penambangan
setiap blok disesuaikan dengan blok rencana penambangan pada peta tambang. Dalam
pembagian blok, penambangan direncanakan pada peta eksplorasi dengan skala
1 : 1000. Hal tersebut bertujuan untuk memperkirakan jumlah tonase bauksit tercuci
yang akan diperoleh dan bijih bauksit kadar tinggi saja yang diambil, sehingga dengan
cara pencampuran (mixing) akan dapat memperpanjang umur tambang dan diharapkan
hasil yang diperoleh sesuai dengan persyaratan dari pembeli yang telah ditentukan
sebelumnya
II PENGOLAHAN DATA
2.1 Uraian Singkat
Dalam sub-bab ini kami akan menguraikan bagaimana kami mendapatkan hasil-
hasil nantinya yang diringkas agar dapat dimengerti dengan mudah serta dapat dipahami
agar nantinya untuk membaca laporan pada subbab berikutnya tidak kebingungan dan
hal – hal yang tidak diinginkan seperti salah pembacaan data yang telah didapat.
Berikut ini saya berikan gambar umum yang dilakukan sebagai langkah kerja
sesuai dengan intruksi yang telah diberikan dan dipandu oleh tim pembuat
permasalahan. Didalam langkah kerja ini, dibagi dalam beberapa tahap besar sehingga
akan terkonstruksi dengan baik. Berikut langkah kerjanya:
1. Persiapan basis data
Persiapan dimulai dengan mengolah data assay, yakni membagi profil-profil
laterit dari setiap lubang bor yang ada. Kemudian dari data-data assay ini, kami
membuat rekapitulasi data.
2. Posting Lubang Bor
Setelah basis data disiapkan, selanjutnya adalah melakukan posting lubang bor
berdasarkan kordinat dari setiap titik bor.
3. Pembuatan Poligon dan Penampang Endapan
Kami melakukan perhitungan cadangan dengan menggunakan metoda poligon
dan metoda penampang. Daerah pengaruh cadangan terukur diasumsikan
sebesar 25 m.
4. Perhitungan cadangan
Setelah sketsa luas poligon dan bentuk panampang endapan, selanjutnya kami
melakukan perhitungan cadangan.
5. Data-data yang kami gunakan dalam proses pengerjaan ini adalah :
a. Data borehole
b. Data kordinat titik-titik lubang bor
c. Data elevasi titik-titik lubang bor
d. Data-data lain yang diberikan pada lembar permasalahan.
𝑆2 = ∑(𝑥𝑖−𝑥̅)2 𝑛−1……….…………………..……………………..............(2.1)
n xi X́
Skewness= ∑ ( ¿) ³ ¿……………..........…….............…...…..
( n−1 ) ( n−2 ) S
(2.3)
4. Kurtosis adalah suatu ukuran yang menunjukkan kecenderungan puncak data.
Jika kurtosis sama dengan 3 (tiga) berarti keruncingan distribusi data sama
dengan normal, jika kurtosis lebih kecil dari 3 (tiga) maka distribusi data lebih
runcing dari distribusi normal, dan jika kurtosis lebih dari 3 (tiga) maka data
lebih lebar dari normal.
n ( n+ 1 ) xi− x́ 4
3 (n−1)2
Kurtosis= [
( n−1 ) ( n−2 )( n−3 )
∑ (S )] −
(n−2)(n−3)
...................................
(2.4)
Simpangan Baku(s)
CV = ..................................................................................
Nilai Rata−rata( x́ )
(2.5)
Keterangan :
𝑛 : jumlah data
𝑥𝑖 : nilai data ke – i
𝑥̅ : nilai rata-rata
Statistik bivariat merupakan alat analisis disribusi dua kumpulan variabel yang
berbeda tapi terletak di lokasi yang sama. Salah satu untuk mempresentasikan hubungan
antara dua variabel adalah scatter plot (x-y plot). Menurut Isaaks dan Srivastrava
(1989), Scatter plot akan merepresentasikan hubungan antara variabel secara dua
dimensi pada grafik x-y dan melakukan pengujian pada variabel tersebut, apakah saling
berhubungan antara kedua variabel x-y tersebut.
Bentuk Scatter plot adalah gambar grafis yang terdiri dari dua peubah dalam suatu
grafik. Menurut Isaaks dan Srivastrava (1989), jika kedua peubah cenderung memiliki
nilai berbanding lurus maka hubungannya positif. Jika kedua peubah cenderung
menunjukkan nilai yang berbanding terbalik, maka kedua peubah mempunyai hubungan
negatif. Apabila penyebaran data kedua peubah cenderung acak, maka kedua peubah
tersebut dikatakan tidak mempunyai hubungan.
Menurut Isaaks dan Srivastrava (1989), suatu perangkat statistika untuk
memperkirakan hubungan antara dua perubah yaitu regresi linier, dinyatakan dengan
persamaan berikut :
y = 𝑎 + 𝑏𝑥 ………………………………….....……….......………………… (2.6)
Keterangan :
y : nilai prediksi / variabel terikat
Menurut Isaaks dan Srivastrava (1989), nilai 𝑎 dan 𝑏 dapat diperoleh dari persamaan di
bawah ini :
∑( xi−x ̅ )( yi− ý )
b=
(∑ xi−x́) ²
∑ yi−b ∑ xi
a= ....................................................................................................
n
(2.7)
Gambar 2.2 Contoh scatter plot variabel x dan y (Sumber : Asy’ari, 2013)
Dalam statistika bivariat, hubungan antara dua perubah dinyatakan dengan
keofisien korelasi (r). Koefisien korelasi diketahui untuk mengetahui kuat lemahnya
hubungan antara dua perubah yang terdiri variabel independent atau bebas (x) dengan
variabel dependen atau terikat (y). Nilai keofisien korelasi (r) berkisar -1 ≤ r ≤ +1,
apabila nilai koefisien korelasi mendekati +1 atau -1, berarti hubungan antarvariabel
tersebut semakin kuat dan sebaliknya jika mendekati nilai 0 (nol) maka tidak ada
korelasi antar variabel. Koefisien korelasi (r) merupakan akar determenasi yang
mendekati satu menunjukan ukuran ketepatan dari hasil estimasi (variabel dependen
atau sumbu y) terhadap data sebenarnya (variabel independen atau sumbu x) pada garis
regresi. Menurut Isaaks dan Srivastrava (1989), persamaan dari koefisien determinasi
(r2) sebagai berikut :
a ( ∑ yi ) +b (∑ xiyi )−n ( ý) ²
r ²= ................................................................................
∑ ( yi )2−n( ý) ²
(2.8)
Sedangkan persamaan keofisien korelasi (r) menurut Isaaks dan Srivastrava (1989),
sebagai berikut :
∑( xi− x́)( y− ý )
r ²= .......................................................................................
√( xi− x́) ² ∑( yi − ý) ²
(2.9)
Keterangan :
n : jumlah data
𝑥𝑖 : nilai data x ke-i
𝑥̅ : nilai rata-rata x
𝑦 ̅ : nilai rata-rata y
Menurut Isaaks dan Srivastrava (1989), ketika penaksiran telah dilakukan maka
nilai hasil estimasi tersebut dapat dibandingkan dengan nilai data sebenarnya di lokasi
titik sampel yang telah dikeluarkan dari set data sampel. Selisih antara nilai data dengan
nilai hasil interpolasi merupakan nilai kesalahan (error) di titik tersebut. Nilai root mean
squared error (RMSE) digunakan untuk menunjukkan nilai kesalahan (error) yang dapat
didefinisikan dengan persamaan berikut:
n
1
√
RMSE= ∑ ¿ ¿(Xi)-Z(Xi)]²...............................................................(2.10)
n i=1
Keterangan:
𝑛 : Jumlah prediksi
2.2.3. Statistik Spasial
Statistik spasial (geostatistik) merupakan teknik analisis untuk mengukur
distribusi suatu fenomena berdasarkan keruangan (Amri, 2018). Geostatistik
memungkinkan untuk mengkuantifikasikan korelasi antar tiap dua nilai yang dipisahkan
oleh jarak h dan menggunakan informasi ini untuk membuat prediksi pada zona yang
tidak diukur (Bargawa, 2017).
Variogram merupakan perangkat dasar dari geostatistik yang digunakan untuk
mengkuantifikasi korelasi ruang antar sampel (Bargawa, 2002). Variogram
eksperimental merupakan variogram yang diperoleh dari data hasil pengukuran,
sedangkan variogram model merupakan model matematis secara teoritis
(Bargawa,2017). Menurut Isaaks dan Srivastrava (1989), variogram merupakan suatu
vektor yang dapat mengkuantifikasikan tingkat kemiripan antara dua sampel yang
terpisah oleh jarak (h). Variogram eksperimental didefinisikan sebagai setengah rata-
rata penjumlahan selisih kuadrat pasangan data yang dinyatakan dengan persamaan
berikut (Isaaks dan Srivastrava, 1989):
n
1
Y ( h )= ∑ [Z ( Xi ) −Z ( Xi+n)]²......................................................(2.11)
2 n(h) i=1
Keterangan :
Gambar 3.3 Variogram dan parameter nugget effect, range, dan sill
(Sumber : Asy’ari, 2013)
Adapun tiga model variogram teoritis yang secara luas digunakan dalam analisis
struktural menurut Armstrong (1998) yaitu :
1. Model variogram linear didefinisikan dengan persamaan berikut :
𝛾(h) = |……………………….................……………..……………………(2.12)
2. Model variogram spherical didefinisikan dengan persamaan berikut :
y ( h )=¿...............................................(2.13).
[
y ( h )=C 1−exp (−ha )]+Co.................................................................(2.14)
4. Model variogram gaussian didefinisikan dengan persamaan berikut:
[
y ( h )=C 1−exp (−ha ) ² ]+Co................................................................(2.15)
Gambar 2.4 Model variogram dengan nugget effect model (a) spherical, (b)
exponential,
(c) linear dan (d) gaussian (Sumber : Armstrong,1998)
Keterangan :
𝐶0 : nugget effect
𝐶 : partial sill
𝐶0 + 𝐶 : sill
h : jarak lokasi antar sampel
Variogram untuk indikator kriging digunakan sebagai teknik penaksiran yang
tidak menggunakan asumsi distribusi normal dan tetap memperhitungkan kadar-kadar
yang tinggi (Bargawa, 2017). Variogram indikator ini didasarkan pada konsep
probabilitas dan dikembangkan menjadi indikator data. Data diubah menjadi data
indikator bernilai 0 (nol) dan 1 (satu) secara relatif terhadap kadar-kadar batas yang
ditentukan. Notasi matematika untuk menjelaskan variogram indikator menurut Journel
(1983) adalah suatu kadar 𝑍(𝑥) pada lokasi x, dengan x ∈ cebakan D, dengan
mengasumsikan L kadar batas 𝑍𝑐, maka setiap titik x ∈ D dinyatakan sebagai :
1 JIka Z ( x ) ≤ Zc
I[Z(x);Zc] = {
O jika Z ( x ) ≥ Zc
...............................................................(2.16)
Apabila dalam suatu populasi terdapat kadar 𝑍(𝑥) kurang dari 𝑍𝑐 maka kadar
tersebut mempunyai nilai indikator 1 (satu) artinya probabilitas bukan bijih adalah 1
(satu). Menurut Journel (1983), apabila kadar lain yang bernilai tinggi dari kadar batas
mempunyai nilai indikator 0 (nol) artinya probabilitas bukan bijih adalah 0 (nol).
n
𝛾𝑖*(h) =∑ ¿¿ ¿....................................................................(2.17)
i=1
Keterangan :
γ1*(h) : variogram indikator
𝑛(h) : jumlah pasangan data
h : jarak tertentu yang mempunyai fungsi vektor arah
tertentu
𝐼(𝑥𝑖+hi; 𝑍𝑐) : nilai indikator kadar pada lokasi (xi+h)
I(xi ; Zc) : nilai indikator kadar pada lokasi (xi)
1. Bentuk isotropi
Jika nilai variogram pada berbagai arah nilainya sama, maka dapat diartikan y
(h) merupakan suatu fungsi dari harga absolute vector h (Olea, 2009).
2. Bentuk Anisotropi
Bila pada beberapa y(h) dengan arah yang berbeda mempunyai harga sill dan
nugget effect varian yang sama, tetapi mempunyai range (a) yang berbeda
(Olea, 2009).
Kolom Kolom Kolom Kolom Kolom Kolom Kolom Kolom Kolom Kolom1 Kolom Kolom1 Kolom1 Kolom1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 11 2 3 4
HORIZON HORIZON-2
Bor ID From To Al2O3 Fe2O3 SiO2
1 (Final)
Horizon Al2O3 Fe2O3 SiO2 Horizon Al2O3 Fe2O3 SiO2
DH-11 0,00 0,50 22,37 34,16 24,19
Top soil 25,56 29,33 25,76
DH-11 0,50 1,00 28,74 24,49 27,33 Top soil 27,96 26,85 25,83
DH-11 1,00 1,50 32,77 21,91 25,96
DH-11 1,50 2,00 36,95 20,03 23,77
DH-11 2,00 2,50 37,62 19,60 23,54
DH-11 2,50 3,00 39,05 17,09 24,57
DH-11 3,00 3,50 44,67 15,09 21,13
DH-11 3,50 4,00 40,53 14,54 16,08
DH-11 4,00 4,50 35,66 14,14 13,49 Bauxite 40,13 14,35 17,60
DH-11 4,50 5,00 39,43 7,40 13,46
Bauxite 38,69 14,34 21,07
DH-11 5,00 5,50 47,23 10,25 4,29
DH-11 5,50 6,00 37,88 11,44 12,05
DH-11 6,00 6,50 40,74 12,81 17,53
DH-11 6,50 7,00 41,64 15,43 23,68
DH-11 7,00 7,50 37,82 10,49 32,01
DH-11 7,50 8,00 36,21 15,05 29,20
DH-11 8,00 8,50 35,42 14,12 25,54
DH-11 8,50 9,00 35,35 9,97 30,85 Bedrock 32,74 12,29 31,09
DH-11 9,00 9,50 31,76 10,98 32,30
DH-11 9,50 10,00 27,36 14,96 32,70 Bedrock 28,12 12,13 33,34
DH-11 10,00 10,50 25,23 10,44 35,01
Kedalaman
HORIZON-1 HORIZON-2 (Final)
(m) Data Assay (%)
No. Bor
Fro Horizo
To Horizon Al2O3 Fe2O3 SiO2 Al2O3 Fe2O3 SiO2
m Al2O3 Fe2O3 SiO2 n
DH-24 0.00 0.50 27.72 25.14 27.68 Top soil 27.720 25.140 27.680
Bauxite 39.336 13.805 22.162
DH-24 0.50 1.00 34.73 24.65 21.49
Top soil 34.235 21.730 22.598
DH-24 1.00 1.50 35.85 21.06 21.94
DH-38 0.00 0.50 26.36 26.01 28.15 Top soil 26.360 26.360 26.360
Bauxite 39.460 24.681 15.670
DH-38 0.50 1.00 32.64 24.39 23.72
Top soil 34.296 26.724 18.792
DH-38 1.00 1.50 36.11 27.13 16.87
DH-41 0.00 0.50 26.32 30.04 24.36 Top soil 26.320 14.340 33.850
Bauxite 38.361 20.037 21.948
DH-41 0.50 1.00 32.45 22.91 25.31
DH-43 0.00 0.50 26.37 27.60 26.63 Top soil 26.370 27.600 26.630
Top soil 29.425 26.045 25.205
Bauxite 37.697 18.202 25.141
DH-43 0.50 1.00 32.48 24.49 23.78
Bauxite 40.395 20.335 21.157
DH-43 1.00 1.50 39.92 19.25 24.54
DH-43 6.00 6.50 30.93 11.02 34.04 Bedrock 30.930 11.020 34.040
DH-44 0.00 0.50 29.31 28.12 23.34 Top soil 29.310 29.310 29.310
Top soil 32.095 25.140 23.530
Bauxite 39.352 17.385 23.547
DH-44 0.50 1.00 34.88 22.16 23.72
Bauxite 40.473 17.831 22.512
DH-44 1.00 1.50 36.74 23.37 20.80
DH-01 0.00 21.608 32.053 26.925 2.00 41.090 13.546 17.325 7.50 16.760 12.950 37.425
2.00 2.00 7.50 5.50 9.50 2.00
2. 1
DH-02 0.00 16.816 33.558 30.044 40.087 16.676 17.960 7.50 36.730 10.353 36.670
2.50 2.50 50 7.50 5.00 0.50 3.00
DH-05 0.00 22.025 30.785 27.730 1.00 53.153 19.770 20.538 6.00 16.510 19.910 33.800
1.00 1.00 6.00 5.00 7.00 1.00
DH-15 0.00 37.310 22.890 18.170 1.50 40.198 9.630 19.270 6.00 32.190 11.710 33.630
1.50 1.50 6.00 4.50 8.50 2.50
DH-17 0.00 20.450 32.590 27.510 2.00 40.560 13.960 19.980 7.50 35.050 12.090 31.200
2.00 2.00 7.50 5.50 9.50 2.00
1
DH-18 0.00 32.310 25.920 19.490 2.00 40.380 15.205 16.720 7.50 33.520 11.940 33.710
2.00 2.00 7.50 5.50 1.00 3.50
DH-20 0.00 29.550 23.010 22.980 2.00 40.790 11.730 15.170 6.00 31.880 13.198 28.850
2.00 2.00 6.00 4.00 9.00 3.00
B. Kekurangan
1. Kurang tepat untuk yang bervariasi (inconsistent bed) (Hurstrulid and Kutcha, 1995).
Adapun prosedur perhitungan dalam metoda polygon, yaitu :
1. Poligon-poligon dikonstruksikan yang mencakup semua titik bor dengan
menggunakan daerah pengaruh maksimum 25 meter untuk sumberdaya terukur.
2. Luas masing-masing poligon dihitung. Pembuatan poligon dan perhitungan luas ini
dilakukan dalam AutoCAD map 2007.
3. Tonase untuk horizon top soil dan horizon bauksit masing-masing lubang
bordihitung dengan mengalikan luas poligon dengan tebal horizon dan SG (specific
gravity) nya serta geological losses sebesar 10%.
4. Tonase sumberdaya top soil adalah total tonase horizon tersebut dari semua lubang
bor. Begitu juga untuk tonase sumberdaya horizon bauksit.
5. Kadar rata-rata untuk Al2O3, Fe2O3 dan SiO2 pada masing-masing horizon
dihitung dengan menggunakan pembobotan tonase.
Jumlah Sumberdaya Top Soil adalah 177929.89 Ton (tabel perhitungan terlampir).
Dimana :
volume yang dihitung pada areal pengaruh penampang tersebut. Jika penampang
tunggal tersebut merupakan penampang kolerasi lubang bor, maka akan merefleksikan
suatu bentuk poligon dengan jarak pengaruh penampang sesuai dengan daerah pengaruh
titik bor (poligon) tersebut.
(S1 + S2)
V=L
2
Dengan :
S1S2 = Luas penampang endapan
L
= Jarak antar penampang
V = Volume cadangan
V = L ( S 1 + S2 + S1 S2 )
3
Dengan :
V = Volume cadangan
Rumus obelisk
V = L ( S1 +
4M + S2 )
6
(a1 + a2)
(a1 + a2)
M=
2
2
Dengan :
V = Volume
(S1 + 4M + S2)
V=L
6
4.3.2 Jumlah Sumberdaya Bauksit Jumlah Sumberdaya Bauksit adalah 1907925 Ton
(tabel perhitungan terlampir).
V PENUTUP
5.1 Analisis
5.2 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari laporan ini adalah:
DAFTAR PUSTAKA
Notosiswo, sudarto., Syafrizal Lilah, Mohamad Nur Heriawan, Agus Haris Widayat,(2005).
Diklat Mata Kuliah Metode Perhitungan Cadangan TE-3231. Bandung : Teknik
Pertambangan ITB
Syafrizal, 2015, Slide Kuliah Metode Perhitungan Cadangan TA-3103, Bandung: Teknik
Pertambangan ITB
Peta Topografi
LAMPIRAN B
Peta Sayataan
LAMPIRAN C
Peta Penampang
Gambar Penampang A
Gambar Penampang B
Gambar Penampang C
Gambar Penampang D
Gambar Penampang E
Gambar Penampang F
Gambar Penampang G
Gambar Penampang H
Gambar Penampang I
Gambar Penampang G
LAMPIRAN D
Tabel perhitungan Sumberdaya
Tabel perhitungan top soil metode poligon