RIBA
DISUSUN OLEH:
NAMA NIM
KURNIA ADAM 2020203874234006
KHEMAL FASAH 2020203874234018
1
A. Pengertian Riba dan Larangan Terhadapnya
Seluruh ulama muslim sepakat bahwasanya riba merupakan kejahatan
besar dan masuk kategori kabiiratun minal kabaair (dosa yang sangat
besar di antara dosa-dosa besar yang lain). Dalam al-Qur`an, larangan
keras mengenai riba bisa ditemukan dalam beberapa ayat berikut ini:
QS. al-Baqarah: 275-281
277. Adapaun orang beriman dan beramal shaleh, mendirikan sholat
dan membayar zakat, mereka akan mendapatpahala dari Tuhan
mereka.Mereka tidak akan khawatir dan tidak akan pula merasa sedih.
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dan tinggalkanlah secara tuntas masalah ribaini, jikalau kamu benar-
benar orang yang beriman.
2
280. Dan apabila orang yang berhutang dalam kesukaran, maka berilah
ia penangguhan sampai masa kelapangan.Dan jika kamu sedekahkan
saja, maka itu adalah tindakan mulia bagimu, jika kamu sekalian
mengetahuinya.
281. Takutlah kalian pada hari di mana kamu sekalian akan
dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orangdisempurnakan
balasan amalnya dan mereka sama sekali tidaklah teraniaya.
3
Hayek, guru besar asal Austria yang mengajar di London School of
Economics. Hayek menyaksikan bagaimana Negara yang gagal mengatur
dana Riba itu, dari inflasi terkendali menjadi tak terkendali. Kekayaan
menciut habis. Pabrik kehilangan permintaan. Buruh kehilangan
pekerjaan. Pedagang dililit hutang karena stok tak terjual. Orang
kebingungan seperti orang gila (QS. Al-Baqarah 275 ). Biasanya tidak tahu
lagi siapa yang harus disalahkan. Ini kehendak pasar, kata mereka. Tapi
itulah buah dari berperang dengan Allah. Semua yang terlibat adalah
musuh Allah. Rasulullah S.A.W. telah melaknat pemakan riba, orang yang
memberikan riba, orang yang menjadi penulisnya dan saksi-saksinya.
Kemudian Rasulullah S.A.W. mengatakan: Mereka semua adalah sama.
(Riwayat Muslim, Nasai, Abu Daud, Tarmizi dan Ibnu Hibban). Kedua,
shadaqah (bersedekah) merupakan kebalikan dari praktek riba. Shadaqah
bersifat memberi dan meringankan/melapangkan, mensucikan dan
membersihkan serta memberikan pertolongan dan kebersamaan,
sebaliknya riba bersifat tamak/rakus dan kikir, menjijikkan dan kotor serta
monopolis-egois dan individualis.1 Selain itu sedekah juga merupakan
solusi untuk keluar dari praktek riba, sebab bersedekah itu berarti
menyalurkan harta (uang ataupun komoditi) tanpa imbalan serta tanpa
kewajiban untuk mengembalikan. Sebaliknya, riba mengharuskan adanya
pengembalian uang yang diberikan sekaligus meminta imbalan tambahan
yang diharamkan, baik tambahan itu diambil dari hasil jerih payah maupun
diambil dari jasad si korban riba. Dianggap mengambil dari hasil jerih
payah jika korban riba mengalami untung dalam usahanya, sehingga ada
sisa untuk diri dan keluarganya, namun ketika usahanya tidak
menghasilkan keuntungan atau malah rugi, maka riba yang diambil adalah
berasal dari uang yang seharusnya menjadi hak korban riba maupun
keluarganya.2
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian memakan
hasil riba yang berlipat ganda. Takutlah kepada Allah agar kamu sekalian
memperoleh kebahagiaan.
4
133. Bersegeralah mendapatkan ampunan dari Tuhan kamu sekalian, dan
meraih surga seluas langit dan bumi yangdisediakan bagi orang-orang
yang bertakwa.
Kata dalam ayat di atas yaitu kata ribaa adl‟aafan mudlaa‟afan (riba
yang berlipat ganda) sama sekali tidak menunjukkan kebolehan
mengambil riba dalam jumlah yang sedikit. Artinya, tambahan sekecil
apapun dari ra`sul maal (uang pokok) dan dalam bentuk apapun dalam
sebuah transaksi hutang-piutang (misalnya) entah 1%, 1,5%, 2% dan
seterusnya adalah bentuk dari riba, dan karena itu diharamkan. Kata
adl‟aafan mudlaa‟afan dalam ayat di atas bukanlah sebuah syarat
berlakunya hukum keharaman riba, melainkan kata sifat/kata keterangan
dari perilaku riba.3 Oleh karena itu keharaman dari perilaku riba ini bukan
terletak dari kuantitas besar kecilnya riba yang diambil, namun dilihat dari
riba sebagai sebuah sistem.4 Dikatakan sebagai sistem, sebab perilaku riba
ini bukanlah sebuah perilaku individu dalam waktu dan daerah tertentu,
sebaliknya perilaku riba merupakan sebuah perilaku yang berulang di satu
sisi, dan dilakukan dalam jumlah yang berlipat-lipat dari sisi yan lain.
Sehingga sekecil apapun riba yang diambil tetap mempunyai kadar dosa
yang sama dengan praktek riba dalam jumlah yang berlipat, sebab
pengharaman riba di sini adalah pengharaman riba sebagai sebuah sistem.5
1
Sayyid Quthb, Tafsir Ayat ar-Ribaa, Kairo; Dar as-Syuruq, 1973, hlm. 6.
2
Ibid.
3
Ibid., hlm. 49.
4
Ibid.
5
Ibid., hlm. 50.
5
39. Dan harta yang kalian berikan untuk diribakan agar bertambah
secara berlipat tidak akan berlipat di sisi Allah. Sedangkan harta yang
kalian berikan sebagai zakat (sedekah) demi mendapatkan ridla dari
Allah, maka yang berbuat demikian itulah yang akan mendapatkan pahala
yang berlipat ganda.
Dalam ayat ini antara riba dengan zakat, infaq (sekali lagi)
dikonfrontir. Dalam pandangan Islam, secara hakiki harta adalah milik
Allah, dan karenanya Allahlah yang paling berkuasa atas pembagian rizki
seseorang, dan karena itu pula setiap makhluq masing-masing pasti
mendapat bagian dari rizkiNYA. Lewat zakat dan infak ini, Allah
memberikan hak/bagian rizki dari golongan yang membutuhkan
(mustahiq) lewat orang-orang yang dianugerahi rizki lebih (muzakki), dan
barang siapa yang telah menyalurkan harta bendanya lewat zakat / infaq,
pada hakekatnya harta tersebut telah bertambah. Hal ini berbeda dengan
riba, di mana secara ekonomis para pelaku riba akan mendapatkan
keuntungan secra materiil, namun menurut Islam pada hakekatnya
hartanya akan berkurang. Peristiwa berkurangnya harta benda yang
didapat dari praktek riba bisa dirasakan secara langsung di dunia, yaitu
ketika sistem ribawi ini menjadi pemicu apa yang disebut dengan bubble
economic (gelembung ekonomi) yang pada gilirannya akan
meluluhlantakkan sebuah negara dikarenakan terjadinya krisis finansial
yang kemudian berubah menjadi krisisekonomi.
Ayat di atas selain memaparakan tentang sifat asal Yahudi yang sering
disinggung dalam al-Qur`an sebagai komunitas yang suka mengharamkan
apa-apa yang telah dihalalkan oleh Allah bagi mereka dan dalam waktu
yang sama menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan atas mereka,
juga menjelaskan tentang larangan memakan (mendapatkan) harta orang
lain dengan cara yang dzalim, sedangkan riba adalah termasuk di
dalamnya.6
Rasulullah SAW bersabda: Riba itu memiliki 73 pintu, dan yang paling
ringan (dosanya) adalah seumpama seoranglaki-laki menikahi ibu
kandungnya sendiri .............................................8.( Diriwayatkan secara
ringkas oleh Ibnu Majah dan disohihkan serta disempurnakan redaksinya oleh al-
6
Hakim).
6
Ibid., hlm. 61.
7
Hadits-hadits ini termuat dalam bukunya Muhammad Sa‟id al-„Asmaawiy yang berjudul ar-
Ribaa wa al-Faaidah fii al-Islaam
diterbitkan oleh Maktabah Madbuliy as-Shaghiir – kairo, dalam muqaddimah.
8
Diriwayatkan secara ringkas oleh Ibnu Majah dan disohihkan serta
disempurnakan redaksinya oleh al-Hakim (lih. Majmu‟ Zawaid juz 4 hlm. 117 dan
Subulus Salam, juz 3 hlm. 37)
9
Ditakhrij oleh Imam Muslim, diriwayatkan oleh Abu Hurairah (Lihat Dr.
Wahbah Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Beirut-Lebanon, Darul Fikr,
tt., juz 4, hlm. 669)
10
Diriwayatkan oleh Ibnu Dawud dan lainnya. (lih. Majmu‟ Zawaid juz 4 hlm. 118, lihat juga
Subulus Salam, juz 3 hlm. 36 dan
nailul Authar, juz 5 hlm. 154)
7
kalian melebihkan sebagian atas sebagian yang lain. Janganlah kalian
menjual perak dengan perak kecuali sebanding, dan janganlah kalian
melebihkan sebagian atas sebagian yang lain. Janganlah kalian
menjual perak dengan emas, yang satu kredit dan yang lain cash.
Jika ada seseorang yang meminta penangguhan kepadamu hingga ia
masuk ke dalam rumahnya maka janganlah engkau beri penangguhan,
karena aku khawatir kalian akan mendapat tambahan, sebab
tambahan adalah riba."
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa‟id al-Khudhriy dan ditakhrij oleh Imam
Muslim:
Emas (ditukar) dengan emas, perak dengan perak, gandum (al-
bur) dengan gandum, jagung (sya‟ir) dengan jagung, kurma dengan
kurma, garam dengan garam, (pertukaran itu) harus sepadan (ukuran
dan timbangannya) dan kontan, maka barang siapa yang menambahi
atau meminta tambahan maka dia telah melakukan riba, (sedangkan)
orang yang mengambil maupun yang memberi dalam transaksi riba
adalah sama (dosanya)
11
Hadits-hadits ini termuat dalam bukunya Muhammad Sa‟id al-„Asmaawiy yang berjudul ar-
Ribaa wa al-Faaidah fii al-Islaam
diterbitkan oleh Maktabah Madbuliy as-Shaghiir – kairo, dalam muqaddimah.
8
Dinar (harus ditukar) dengan dinar, dirham dengan dirham, tak
(boleh ada) selisih di antara keduanya. Barang siapa yang
membutuhkan perak (baik yang telah dicetak maupun yang belum
dicetak) maka tukarkanlah dengan emas, dan barang siapa
membutuhkan emas maka tukarkanlah dengan perak, ha` wa ha`.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ibnu „Umaar dan ditakhrij oleh Imam
Bukhariy:
Emas (ditukar) dengan emas itu dianggap riba kecuali ha` wa
ha`, gandum (al-bur) dengan gandum itu riba kecuali ha` wa ha`,
kurma dengan kurma itu riba kecuali ha` wa ha` , jagung (sya‟ir)
dengan jagung itu riba kecuali ha` wa ha` (maksudnya adalah
“ambillah” dan “terimalah”)
9
melakukan transaksi tersebut? Bukankah tujuan kita melakukan tukar
menukar itu agar supaya kita bisa mendapatkan asset/komoditi yang
belum kita punyai? Atau paling tidak kita mendapatkan nilai lebih dari
transaksi tersebut? Bukankah sia-sia saja pertukaran semacam itu jika
kita tidak mendapatkan nilai lebih sedikitpun? Demikian kira-kira
kebingungan mengenai orientasi dari hadits-hadits di atas, bahkan
tidak sedikit dari para sarjana muslim yang memahami beberapa hadits
tentang riba berkaitan dengan prinsip tukar menukar dan jual beli antar
komoditi sejenis sebagai sebuah transaksi yang sia-sia jika kita
memahaminya secara teks.12 Oleh karena itu kemudian upaya
memahaminya pun menggunakan metode yang mirip dengan mafhum
mukhalafah yaitu bahwa hadits-hadits tersebut dipahami sebagai
larangan untuk melakukan praktek transaksi yang tidak sesuai dengan
ketetapan Rasulullah SAW, sebab secara logika tidak mungkin bagi
seseorang melakukan transaksi tersebut sebab tidak menghasilkan
keuntungan apapun dan dengan demikian maka sia-sia saja jika
transaksi tersebut dilakukan.13 Benar bahwa memang hadits-hadits
tersebut tidak tepat jika dipahami sebagai sebuah amaliyah, melainkan
harus dipahami sebagai warning atau seperti pemahaman yang
direkomendasikan oleh Muhammad Baqir as-Shadr di atas
bahwasanya inti dari hadits-hadits tersebut adalah larangan melakukan
transaksi riba melalui media pertukaran. Larangan untuk melakukan
pertukaran antara emas dengan emas yang tidak sepadan baik kualitas
maupun timbangannya, larangan untuk melakukan pertukaran
komoditi ribawi dengan cara tidak tunai, larangan untuk melakukan
pertukaran antar alat tukar yang sama jenisnya (baca: uang) yang tidak
sepadan nilai dan timbangannya, dan seterusnya.
Dan seiring dengan perkembangan zaman terutama
perkembangan dan perubahan yang terjadi di wilayah ekonomi,
hadits-hadits di atas justru semakin menampakkan relevansinya
dengan isu-isu ekonomi kontemporer,
12
Muhammad Baqir as-Shadr, al-Bank al-La Ribawi fii al-Islaam, Beirut; Dar al-Katib al-
Libnani, 1973, cet. 2, hlm. 90.
13
Ibid.
1
0
bahkan saat kita memaknainya secara tekstual. Paling tidak terdapat
dua hal yang sangat krusial yang terkandungdalam hadits-hadits
tersebut berkaitan dengan pendapat ulama, yaitu:
11
b. Pendapat ulama yang mengeluarkan uang kertas dari
kategori komoditi ribawi
14
Diriwayatkan oleh Abu Sa‟id al-Khudriy dan disepakati keshahihannya oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim (lihat dalam Tafsir Ayat Riba karya Sayyid Quthb hlm.
24).
15
Berikut ini beberapa pendapat ulama empat madzhab berkaitan dengan illat dari komoditi
ribawi khususnya emas dan perak:
a. Pendapat dari madzhab maliki: illat riba pada emas dan perak adalah
ghalabah ats-tsamaniyyah (emas dan perak merupakan benda yang
sangat berharga). Oleh karena itu illat ini tidak terdpt dlm fulus (uang
yang terbuat dari perunggu), sedang pendapat lain mengatakan bhw
illat nya adalah mutlak ats-tsamaniyyah (semata-mata dari nilai/harga)
sehingga fulus bisa masuk di dalamnya (namun nilai yang dimaksud
tetap berdasarkan nilai perunggunya (unsur utama fulus) dan bukan
nilai yang ditetapkan atasnya (lihat az-Zarqani, syarkhu al-Zarqaniy
alaa muwatha` Malik, Kairo; al-Masyhad al-Husaini, tt., juz 3, hlm.
277).
Namunmenurut al-adawi pendapat yang masyhur adalah pendapat
pertama, pendapat kedua sama sekali tidak masyhur, dan dlm konteks
ini ulama malikiyyah memakruhkan bertransaksi dg uang
kertas.m(lihat al-adawi, hasyiyah al-Adawiy; Hamisy syarkh al-
Kharsy, juz 3, hlm. 56)
b. Pendapat dr madzhab syafi‟i lebih radikal lagi: bahwasanya illat pada
emas dan perak jins ats-tsaman ghalibah (jenis benda yang berharga)
sehingga illat ini dikategorikan sbg illat qashirah (terbatas) sehingga
komoditi lain sama sekali tidak bisa diqiyaskan dengannya (termasuk
di dalamnya adalah uang kertas) , bahkan Imam Syafi‟i sendiri
mengatakan bhwa komoditi lain tidak bisa diqiyaskan dengan dinar
dan dirham (lihat Imam Syafi‟i, al-Umm, Beirut; Darul kutub al-
Ilmiyyah, 2002, Juz III, hlm.25)
c. Pendapat dr madzhab hanafi: illat riba yang ada pada emas dan perak
adalah al-wazn (timbangan) dan jenis. Jadi otomatis mata uang kertas
tidak bisa masuk ke dalamnya. (Ahmad hasan, al-Auraq an-Naqdiyyah
fil Iqtishadal-Islamiy; Qimatuha wa Ahkamuha,beirut; darul fikr al
mu‟ashir dan damaskus; darul fikr, 1999 , hlm. 319)
12
menjadi penting dan dalam hadits tersebut sudah dijelaskan
secara rinci bahwasanya standar penetapan hargaadalah
berdasarkan beberapa aspek berikut:
2) Timbangan (wazn) dan Ukuran (kayl) untuk komoditi selain emas dan
perak
13
antara komoditi yang beda jenis ex. Emas dengan perak, jagung
dengan gandum dan sebagainya.17
Namun pun begitu, mekanisme pembayaran secara tunai
inipun direkomendasikan untuk setiap transaksi termasuk di dalamnya
transaksi komoditi non ribawi walaupun transaksi secara tunda
diperbolehkan seperti dalam transaksi salam (beli-pesan). Kenapa?
Ketika seseorang memilih untuk membayar sebuah transaksi secara
tunda (ajal) maka dikhawatirkan akan terjatuh dalam sebuah transaksi
riba, sebab dengan membayar tunda maka godaan yang muncul bagi
penjual adalah keinginan untuk menarik biaya-biaya tertentu atau jasa-
jasa tertentu kepada pembeli (yang melakukan pembayaran tunda),
padahal sebetulnya biaya-biaya tersebut hampir tidak ada
hubungannya dengan transaksi yang dilakukan oleh keduanya. Semisal
transkasi jual-beli secara tunda yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di mana si pembeli telah membeli sepeda motor dari dealer
milik penjual dengan cara pembayaran tunda (hanya membayar
sebagian saja, sedangkan sisanya akan dibayarkan 6 bulan kemudian),
hanya saja selama pembayaran dari pembeli belum lunas, maka si
pembeli diharuskan untuk melakukan perawatan motor tersebut di
bengkel yang telah disediakan oleh si penjual tersebut.
a. Pendapat madzhab Hanbali: Illat riba pada emas dan perak menurut
pendapat masyhur ialah al-wazn / timbangan (lihat Ahmad hasan, al-
Auraq an-Naqdiyyah fil Iqtishadal-Islamiy; Qimatuha wa
Ahkamuha,beirut; darul fikr al mu‟ashir dan damaskus; darul fikr,
1999 , hlm. 220)
16
M Umer Chapra, The Future of ECONOMIC An Islamic Perspective, Spain; APIPE Artes
Graficas, hlm. 298-299
14
Para faqih bersepakat bahwasanya praktek riba dapat terjadi
pada dua wilayah transaksi, yaitu (1) di akad jual beli dan (2) di akad
dzimmah (tanggungan) baik jual beli, hutang maupun lainnya. 18 Riba
yang terjadi pada akad jual beli adalah riba fadhl dan riba nasi`ah.
Sedangkan riba yang terjadi pada akad dzimmah adalah riba
jahiliyyah19 yaitu riba yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW saat
berhaji wada‟ : “Ingatlah, bahwa sesungguhnya riba jahiliyyah telah
dihapus, dan riba yang pertama kali kuhapus adalah ribanya Abbas bin
Abdul Muthalib wa ats-tsaniy dla‟ wa ta‟ajjal”. Oleh karena itulah
tidak salah jikalau dalam istilah lain dikatakan bahwa riba merupakan
bagian dari jual beli yang dikategorikan sangat dilarang alias haram.20
a. Ulama Hanafiyyah
Riba adalah tambahan atau selisih yang terjadi dalam sebuah
transaksi dengan menggunakan standar timbangan syar‟i
(berdasarkan berat –wazn- dan ukuran –kayl-), dan tambahan
atau selisih tersebut disyaratkan oleh salah satu pihak yang
melakukan transaksi.23
b. Ulama Malikiyyah
Di kalangan malikiyyah istilah riba tidak didefiniskan secara
mandiri, melainkan dengan membagi riba menjadi tiga macam:
(1) riba fadl yaitu jual beli dengan selisih di dalamnya antara
nuqd (emas – perak/dinar-dirham) dengan nuqd atau antara
makanan dengan makanan24 yang dilakukan secara kontan25,
(2) riba nasi`ah yaitu jual beli tempo antara nuqd dengan nuqd
atau antara makanan dengan makanan secara mutlak,26 dan (3)
riba muzaabanah yaitu jual-beli antara komoditi yang ada saat
akad (ma‟lum) dan yang tak diketahui keberadaannya saat akad
(majhul) atau jual-beli sesama jenis antar barang yang tak
diketahui keberadaannya saat akad (majhul).27.
c. Ulama Syafi‟iyyah
Riba menurut Syafi‟iyyah adalah sebuah transaksi pertukaran
antara dua komoditi yang tidak tamatsul menurut ukuran syar‟i
(fii mi‟yaaris syar‟i), atau salah satu dari kedua komoditi
tersebut tidak ditransaksikan secara tunai.28 Yang dimaksud
tamatsul menurut ukuran syar‟i adalah pertukaran yang hanya
dikhususkan untuk jenis pertukaran nuqd (emas dan perak atau
dinar dan dirham) dan makanan pokok (beras, jagung, gandum,
kurma dan juga garam), masing-masing diukur berdasarkan
karakteristik nilainya, jikalau kelompok makanan maka
penetapan harganya melalui timbangan (berat jenis) sedangkan
jikalau berupa nuqd maka selain dari timbangan juga dari
kemurniannya (karat). Maka pertukaran antara emas dengan
emasakan dianggap tamatsul ketika kemurnian dan berat jenis
dari masing-masing adalah sama. Namun bila terjadi selisih
entah kemurniannya atau berat jenisnya maka dikategorikan
sebagai riba. Jika beda jenis semisal emas ditukar dengan perak
15
maka transaksi tersebut hanya disyaratkan kontan saja, dan boleh
ada selisish, sebab keduanya bukan berada dalam satu jenis
kelompok. Kontan menjadi syarat mutlak yang harus dilakukan
agar transaki yang terjadi tidak masuk dalam kategori riba
nasi`ah, semisal terjadi transaksi antara
18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Semarang;Thoha Putra, tt., juz II,
hlm. 96.
19
Riba jahiliyyah adalah adanya imbalan/tambahan/manfaat dari uang
pokok disebabkan karena terjadinya penundaan pembayaran saat jatuh tempo.
20
Abdurrahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh „alaa Madzahib al-Arba‟ah, Beirut; Darul Kutub al-
„Ilmiyyah, 2004, hlm.493.
21
Abdurrahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh „alaa Madzahib
....................................................................................................................................................
hlm.493.
22
Ibid.
23
Ibid., hlm. 8.
24
Makanan yang dimaksud oleh Malikiyyah adalah makanan pokok dan
mampu disimpan dalam jangka waktu yang lama, semisal padi/beras, gandum, singkong.
Berbeda dengan daging, sebab selain daging bukan makanan pokok, ia juga tidak mampu
disimpan dalam waktu yang lama, begitupun dengan buah-buahan.
25
Kontan di sini merupakan faktor pembeda dari praktek riba nasi`ah, sebab
bilamana transaksi tersebut dilakukan tidak secara kontan (walaupun kedua komoditi yang
ditukarkan masing-masing memiliki jenis dan ukuran yang sama), maka transaksi tersebut
dikategorikan sebagai riba nasi`ah.
26
Yang dimaksud secara mutlak adalah bahwa dalam riba nasi`ah tidak
disyaratkan adanya kesamaan jenis antar komoditi yang diperjual belikan, begitu juga
tidak disyaratkan di dalamnya adanya selisih antara komoditi yang diperjualbelikan. Jadi
kesimpulannya, menurut pandangan Malikiyyah, jual beli emas dengan emas 22 karat
seberat 1 ons dengan beras 1 ton dengan pembayaran tempo maka sudah masuk kategori
riba nasi`ah.
27
Prof. Dr.Ramadhan Khafidz Abdurrahman as-Suyuthi, Mawqifus Syari‟atil
Islamiyyati minal Bunuk; Wal Mu‟amalaat al- Mashrifiyyah wat Ta`miin, Kairo;
Daarussalaam, 2005 , hlm. 9.
28
Prof. Dr.Ramadhan Khafidz Abdurrahman as-Suyuthi, Mawqifus Syari‟atil Islamiyyati minal
Bunuk;Hlm. 10.
16
dua pihak yang ingin menukarkan perak, masing-masing
memeiliki berat yang sama yaitu 1 gram dan kemurnian yang
sama yaitu 24 karat. Namun walaupun dari sisi ukuran
timbangan syar‟i sudah terpenuhi dan tak ada selisih, namun
ketika penyerahan kedua (atau salah satu) komoditi tersebut
tidak berada dalam satu waktu saat akad maka dianggap riba
nasi`ah, sebab dalam transaksi tersebut terdapat perbedaan
waktu penyerahan.
d. Ulama Hanbaliy
Riba menurut pengertian syar‟iy adalah tambahan untuk
komoditi-komoditi (asy-ya`) tertentu.29 Karena itu implikasi dari
pengertian ini adalah memasukkan riba fadhl dan riba nasi`ah di
dalamnya. Sebab pengertian dari “tambahan” di sini adalah
meliputi tambahan dalam bentuk materi (khissiy) sebagaimana
tambahan yangterjadi dalam riba fadhl, maupun tambahan dalam
bentuk immateri (hukimiy) seperti terjadinya tambahan waktu
akibat dari tertundanya pembayaran hutang saat jatuh tempo
sebagaimana yang terjadi dalam riba nasi`ah.30
17
DAFTAR PUSTAKA
18