Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Fidyah Shalat dan Puasa, Qashar Jama’


Dosen Pengampu: KASMIDIN, LC. M.Ag

DISUSUN OLEH:

Kelompok 7

MUHAMMAD RAFLI HIDAYAT 12120515032

NURUL MAILANI 12120523662

M. AGUNG LAKSAMANA 12120514826

JURUSAN EKONOMI SYARIAH/ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2021
A. fidya sholat dan puasa

Fidyah dikenal dalam dunia Islam sebagai pengganti atau penebusan atas
ibadah yang telah ditinggalkan, dan/ atau tidak dapat dilakukan seorang mukallaf
karena alasan tertentu. Fidyah pada umumnya hanya berlaku bagi orang yang
meninggalkan puasa. Namun dalam beberapa literatur klasik, menunjukkan
bahwa fidyah juga berlaku bagi orang yang meninggalkan salat. Fidyah salat ini
berlaku bagi orang yang telah meninggal dunia dalam keadaan memiliki
tangggungan (utang) salat.

1. Definisi Fidyah Salat

Secara etimologi, fidyah ( ‫ ) فدية‬berasal dari bahasa Arab yang berarti


‘’tebusan.‟ Sementara dalam kitab-kitab fiqh, istilah fidyah juga dikenal dengan
istilah iṭʻām ) ‫ ) إطعام‬yang berarti „memberi makan.‟11 Berdasarkan keterangan
dari beberapa literatur fiqh klasik atau „kitab kuning,‟ disebutkan bahwa orang
yang meninggal dalam keadaan memiliki utang salat, walinya dianjurkan untuk
membayar fidyah sebanyak satu mud setiap hari dari salat yang ditinggalkan si
mayyit. Pendapat ini mayoritas datang dari mazhab al-Syāfiʻī. Sementara
fidyahsalat menurut mazhab al-Ḥanafī, ukuran fidyahnya ialah setengah ṣa’, jika
si mayyit berwasiat untuk membayar fidyah.

a. Ukuran Fidyah

Terkait ukuran fidyah, Fuad Thohari mengutip pendapat Muḥammad ibn


Abī al-Fatḥ al-Ba‟lī, bahwa satu mud menurut ulama Ḥijāz setara dengan 1,3
ritl.

Sementara menurut ulama Iraq, satu mud sama dengan dua ritl. Menurut
al-Jawharī, satu mud sama dengan ¼ ṣa’.

Sedangkan menurut ulama fiqh, seperti Imām Abū Ḥanīfah (w.150 H),
Imām Mālik (w.179 H), dan Imām Aḥmad bin Ḥanbal (w.241 H), satu mud
setara dengan 9,22 cm3 atau 0.766 liter.

Pendapat lain menyatakan bahwa takaran mud menurut salah satu


mazhab Hanafi ialah 1.072 Gram (± 1,072 Kg). Mazhab Hanafi membolehkan
mengganti mud beras dengan qimah (konversi uang yang senilai dengan harga
beras).
Oleh karena itu, apabila harga beras 1 Kg adalah Rp.10.000,- maka
jumlah fidyah yang harus dibayar per-mud-nya ialah minimal Rp.10.720,-.
Namun apabila nilai harga tersebut dilebihkan, maka akan lebih baik. Dengan
demikian, apabila umat Muslim ingin membayar fidyah dalam bentuk uang, maka
ia harus mengikuti takaran mud mazhab Hanafi tersebut, agar terhindar dari talfiq
(hanya mencari yang gampang dan tidak satu qaḍiyah).
Sementara Imām al-Nawāwī al-Dimasyqī berpendapat bahwa satu
mud gandum (ḥinṭah) beratnya 456,54 gram, dan satu mud beras putih

beratnya 679,79 gram.

Sedangkan ukuran ṣa’, Fuad Thohari mengutip pendapat Imām Abū


Ḥanīfah, Imām Mālik, dan Imām Aḥmad bin Ḥanbal, bahwa satu ṣa’ setara
dengan 14,65 cm3 atau sama dengan 3,45 liter.

Sementara satu ṣa’ gandum (ḥinṭah) menurut Imām al-Nawāwī al-


Dimasyqī yaitu sama dengan 1862,18 gram, namun satu ṣa’ beras putih,
ukurannya sama dengan 2.719,19 gram.

Berbeda dengan pendapat tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI)


menyatakan bahwa satu ṣa’ sama dengan empat mud. Sementara satu mud
setara dengan 576 gram.

Ukuran inilah yang dijadikan MUI sebagai standar ukuran fidyah di wilayah
Indonesia. Dalam hal ini, fidyah salat hanya berlaku bagi orang yang telah
meninggal dalam keadaan memiliki utang salat. Adapun orang yang masih hidup,
ia tetap diwajibkan melaksanakan kewajiban salat sebagaimana syariat Islam
yang berlaku. Dalam hadis Nabi Saw, dijelaskan bahwa apabila seseorang

meninggalkan salat karena lupa atau tertidur, ia diwajibkan meng-qaḍā’ salatnya

pada saat ia ingat (sadar). Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī (w.256 H) dan

Muslim (w.261 H) dari Anas bin Mālik:

“Dan telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin al-Mutsannā, telah


menceritakan kepada kami „Abd al-Aʻlā, telah menceritakan kepada kami
Saʻīd dari Qatādah dari Anas bin Mālik, ia berkata; Nabi Saw bersabda:
"Barangsiapa lupa salat atau ketiduran karenanya, maka kaffarat-nya
adalah ia menunaikan salat di saat mengingatnya.” (HR. Muslim)
Hadis riwayat Muslim di atas menunjukkan bahwa seseorang yang
meninggalkan salat karena lupa atau tertidur, ia tetap diwajibkan meng-qaḍā’
salat yang ditinggalkannya, dan disunnahkan untuk menyegerakan qaḍā’-nya.
Hal tersebut merupakan kaffarat bagi orang yang masih hidup apabila
meninggalkan salat karena alasan apapun. Ia tetap diwajibkan meng-qaḍā’
salatnya saat ia ingat dan tidak ada fidyah salat baginya.

Sementara pada kasus orang meninggal yang memiliki utang salat, dalam
kitab Nihāyah al-Zaīn dijelaskan bahwa apabila seseorang meninggal dunia dan
ia memiliki utang salat, menurut Ibn Burhān (w.1124 M./518 H.) dan para
pengikut mazhab al-Syāfiʻī, walinya dianjurkan agar membayar fidyah sebanyak
satu mud dari setiap salat yang ditinggalkan. Senada dengan pendapat tersebut,
mazhab al-Ḥanafī menambahkan jika fidyah salat dibayarkan ketika seseorang
masih dalam keadaan sakit (masih hidup), maka fidyahnya tersebut tidak sah.
Bahkan jika si mayyit berwasiat, ukuran fidyahnya ialah setengah ṣa’.Adapun
cara fidyahnya yaitu dengan memberikan makanan kepada fakir miskin sebanyak
satu mud atau setengah ṣa’ untuk satu waktu salat yang ditinggalkan si mayyit.

b. Hadis Fidyah Salat

Dalil-dalil yang dijadikan landasan umat Muslim untuk melaksanakan


fidyah salat didasarkan pada beberapa hadis dan pendapat ulama. Hadis yang
disandarkan kepada sahabat disebut dengan hadis mawqūf, sementara hadis yang
disandarkan kepada tabi‟in disebut dengan hadis maqṭuʻ.

Meskipun hadis-hadis yang mengisyaratkan adanya fidyah salat terbilang


sedikit, bahkan terbilang mawqūf, namun keyakinan umat muslim untuk
melaksanakan ajaran Islam tetap kuat dengan didukung oleh pendapat-pendapat
para ulamadalam kitab fiqh klasik.

Hadis tersebut hanya ditemukan di dua tempat, yaitu dalam Kitab Sunan
al-Kubrā al-Nasā’ī dan Kitab Musykil al-Ātsar li al-Ṭaḥāwī. Hadis yang terdapat
dalam dua kitab tersebut merujuk pada seorang sahabat, yaitu Ibn Abbās (w.68H).
Adapun hadis yang diriwayatkan dalam Sunan al-Kubrā al-Nasā’ī adalah sebagai
berikut:

“Telah memberitakan Muḥammad bin „Abd al-Aʻlā, ia berkata; telah

menceritakan kepada kami Yazīd yaitu Ibn Zuraīʻ, ia berkata; telah


menceritakan kepada kami Ḥajjāj al-Aḥwal, ia berkata; telah menceritakan
kepada kami Ayyūb bin Mūsā, dari „Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ dari „Ibn „Abbās,
ia berkata: Tidak ada salat seseorang dari orang lain, dan tidak ada puasa
seseorang dari orang lain, tetapi hendaknya memberikan makanan darinya
setiap hari sebanyak satu mud dari gandum.” (HR. Al-Nasā‟ī)

Sedangkan hadis yang diriwayatkan al-Ṭaḥāwī dalam Musykil al-Ātsar li al-


Ṭaḥāwī ialah sebagai berikut:

“Telah menceritakan kepada kami Yaḥyā bin „Utsmān bin Ṣāliḥ, ia berkata;

telah menceritakan kepada kami Sawwār bin „Abd Allāh al-„Anbarī, ia

berkata; telah menceritakan kepada kami Yazīd bin Zuraīʻ, ia berkata; telah

menceritakan kepada kami al-Ḥajjāj al-Aḥwal, -Abū Jafar berkata: ia adalah

al-Ḥajjāj bin al-Ḥajjāj al-Bahilī, yang telah meriwayatkan darinya yaitu

Yazīd dan Ibrahim bin Ṭahmān, riwayatnya maqbūl di sisi golongannya-; ia

berkata; telah menceritakan kepada kami Ayyūb bin Mūsā, dari „Aṭā‟, dari

„Ibn „Abbās, ia berkata: Tidak ada salat seseorang dari orang lain, dan tidak

ada puasa seseorang dari orang lain, tetapi hendaknya memberikan makanan

darinya setiap hari sebanyak satu mud gandum.” (HR. Al-Ṭaḥāwī)

Dari segi penyandaran, hadis-hadis fidyah salat di atas ada yang menganggapnya
marfu’.

c. Ruang Lingkup Fidyah Salat

1. Fidyah Salat Bagi Orang Meninggal

Fidyah salat pada umumnya hanya berlaku bagi orang yang telah meninggal
dunia, dan tidak berlaku bagi orang yang masih hidup. Hal ini karena kewajiban
salat atas setiap muslim tidak dapat diganggu gugat. Meskipun sedang sakit, salat
tetap harus dikerjakan. Hanya saja, ketika sakit mendapatkan rukhṣah
(keringanan), seperti mengerjakan salat dengan posisi duduk atau berbaring jika
tidak mampu untuk berdiri

ketika seseorang yang sedang sakit namun ia tidak melaksanakan salat


hingga akhirnya ia meninggal, maka ia memiliki utang salat yang harus
dibayarkan dengan fidyah. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa fidyah
salat hanya berlaku bagi orang yang telah meninggal dunia.

Dalam hal pembayaran utang salat, mayoritas ulama al-Syāfiʻīyyah sepakat


bahwa pembayaran fidyah salat hanya dihitung dari salat farḍu yang ditinggalkan
saja. Namun ulama al-Ḥanafiyyah menambahkan bahwa di samping salat farḍu,
pembayaran fidyah juga dihitung merangkap dengan salat sunnah, yaitu salat
witir. Dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-10 di
Pekalongan, disebutkan bahwa orang meninggal yang memiliki utang salat
sebanyak delapan (8) hari diwajibkan membayar fidyah sebanyak empat puluh
(40) mud. Karena delapan hari dikali lima waktu, dan tiap-tiap waktu satu mud.

2. Fidyah Salat Bagi Orang Miskin?

Secara umum, orang yang berhak menerima fidyah, baik fidyah salat
maupun puasa, adalah orang-orang yang miskin. Dalam al-Qur‟an dijelaskan
bahwa fidyah adalah memberikan makanan kepada orang miskin, sebagaimana
dideskripsikan dalam Q.S. Al-Baqarah [2].

Sebagian ulama menyatakan bahwa orang miskin tidak wajib membayar


fidyah, sedangkan sebagian ulama lain tetap mewajibkan membayar fidyah. Latar
belakang perdebatan ini dipaparkan Ibn Rusyd dalam kitabnya, Bidāyah al-
Mujtahid, bahwa suatu ketentuan yang tidak dijelaskan hukumnya boleh jadi
dapat disamakan dengan masalah utang. Orang yang memiliki tanggungan utang,
wajib membayar pada saat ia mampu. Namun boleh juga dikatakan bahwa
seandainya wajib dilaksanakan, Nabi Saw pasti langsung menjelaskan hal
tersebut.

Dalam hal ini, karena statusnya tidak jelas atau diperselisihkan, maka
jumhur ulama menyatakan tidak wajib membayar fidyah, namun wajib di-qaḍā’
oleh walinya.
2. Definisi Fidyah Puasa

Menurut Zurinal, fidyah puasa adalah memberi makanan kepada orang


miskin sebagai pengganti puasa ramadhan yang telah ditinggalkan seseorang.

a. Ukuran fidyah puasa

Adapun ukuran fidyah yang harus dibayarkan terjadi perbedaan pendapat


di kalangan Ulama. Dalam hal ini Zurinal mengutip pendapat Ibrahim
Muhammad yang mengemukakan perbedaan pendapat dari empat Imam Mazhab
fiqh.

Pertama, Mazhab Mālikī berpendapat bahwa fidyah yang harus diberikan


kepada fakir miskin adalah satu mud makanan pokok, dan tidak sah apabila
diberikan kepada orang yang menjadi tanggungannya.

Kedua, Mazhab al-Ḥanafī berpendapat bahwa fidyah yang harus


dibayarkan adalah setengah Ṣāʻ gandum atau yang seharga dengannya. Artinya,
Mazhab al-Ḥanafī membolehkan pembayaran fidyah kepada fakir miskin dengan
uang. Senada dengan Mazhab Mālikī, Mazhab al-Ḥanafī juga berpendapat tidak
sah apabila diberikan kepada orang yang wajib dinafkahinya.

Ketiga, Mazhab al-Syāfiʻī berpendapat bahwa fidyah yang harus


dibayarkan untuk menebus puasa yang ditinggalkan adalah satu mud atau
0,6875 liter setiap harinya. Mazhab al-Syāfiʻī juga berpendapat tidak sah apabila
diberikan kepada orang yang menjadi tanggungannya.

Keempat, Mazhab Ḥanbalī berpendapat bahwa fidyah yang harus


dibayarkan adalah satu mud gandum atau boleh juga dibayarkan dengan
setengah Ṣāʻ tamar atau anggur kering, atau keju. Mazhab Ḥanbalī
menegaskan tidak sah apabila fidyah dibayarkan dengan selain makanan tersebut.
Artinya, Mazhab Ḥanbalī tidak membolehkan membayar fidyah dengan uang.

b. Hadis Fidyah Puasa

Hadis-hadis fidyah puasa banyak ditemukan sebagai penafsiran atas surat


al-Baqarah ayat 184. Hadis fidyah puasa merupakan hadis mawqūf karena
disandarkan kepada sahabat Nabi Saw, yaitu Ibn „Abbās.
Para sahabat yang sering menjelaskan terkait fidyah puasa di antaranya adalah
Ibn „Abbās dan Ibn „Umar. Sementara sahabat Salamah bin al-Akwa‟ justru
menganggap bahwa ayat fidyah puasa telah dihapus oleh ayat setelahnya secara
hukum, sehingga puasa adalah kewajiban atas setiap muslim yang tidak boleh
ditinggalkan.

Kejadian tersebut terrekam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim

(w.261 H), al-Tirmidzī (w.279 H), al-Nasā‟ī (w.303 H) dan al-Dārimī (w.255 H)

dari Salamah bin al-Akwa‟ dan diriwayatkan oleh Abū Dāwud (w. 275 H) dari
Ibn’’Abbās. Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu:“Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Saʻīd, telah menceritakan kepada kami
Bakr –yaitu Ibn Muḍar-, dari „Amr bin al-Ḥārits, dari Bukaīr,dari Yazīd Maulā
Salamah, dari Salamah bin al-Akwaʻ, ia berkata; Ketika turun ayat; "…dan wajib
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…". (QS.
Albaqarah184), banyak orang yang menginginkan untuk tetap makan (tidak
berpuasa) dan hanya membayar fidyah, sampai turun ayat setelahnya dan me-
nasakh-nya.” (HR. Muslim)

Sementara hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī, yaitu:

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami


Bakr bin Muḍar, dari „Amr bin al-Ḥārits dari Bukaīr bin „Abd Allāh bin al-Asyaj,
dari Yazīd mantan budak Salamah bin al-Akwaʻ, dari Salamah bin al-Akwaʻ
berkata; "Ketika turun ayat: 'Dan barangsiapa yang tidak mampu untuk berpuasa
maka hendaknya dia membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin',
Siapapun di antara kami boleh memilih untuk tidak berpuasa dan membayar
fidyah hingga turun ayat yang sesudahnya menghapus hukumnya." Abu „Īsā
berkata; "Ini merupakan hadits ḥasan ṣaḥīḥ gharīb dan Yazīd bernama: Ibn Abū
„Ubaīd mantan budak Salamah bin al-Akwaʻ.” (HR. Al-Tirmidzī)
c. Ruang Lingkup Fidyah Puasa

1. Fidyah Puasa Bagi Orang yang Lanjut Usia

Orang yang telah lanjut usia dan tidak mampu untuk berpuasa, maka ia
boleh meninggalkan puasa ramadhan dan tidak wajib meng-qaḍā’-nya di hari
yang lain, sepanjang puasa terasa amat memberatkan baginya sepanjang tahun.

Sebagai gantinya, ia diwajibkan membayar fidyah. Apabila ia juga tidak


mampu untuk membayar fidyah, maka ia tidak berkewajiban apapun, baik meng-
qaḍā’ atau membayar fidyah. Namun hendaknya ia memohon ampunan kepada
Allah Swt.72 Adapun Orang yang berat menjalankan puasa juga termasuk orang
yang memiliki penyakit menahun dan sulit untuk diharapkan kesembuhannya.

Menurut Muhammad Bagir al-Habsyi, kewajiban membayar fidyah ini


hanya berlaku bagi mereka yang mampu. Adapun bagi mereka yang tidak
mampu, maka tidak diwajibkan atas mereka untuk membayar fidyah sampai
mereka mampu. Dengan demikian, kewajiban membayar fidyah tetap berlaku
kepadanya.

2. Fidyah Bagi Perempuan Hamil dan Menyusui

Pada kasus perempuan yang sedang hamil atau menyusui berdasarkan


hadis, mereka dibolehkan untuk berbuka (tidak berpuasa) di bulan ramadhan,
namun diwajibkan untuk membayar fidyah. Dalam hal ini al-Qurṭubī berpendapat
bahwa Ḥasan al-Baṣrī, „Aṭā‟ bin Abī Rabaḥ, al-Ḍaḥāk, al-Nakhā‟ī, al-Zuhrī,
Rabi‟ah, al-Auzā‟ī, dan pengikut mazhab Imam Ḥanafi membolehkan wanita
hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa serta tidak perlu untuk memberi makan
kepada orang miskin (membayar fidyah).

Sementara Imam Mālik hanya menyetujui wanita hamil saja, adapun


wanita yang menyusui yang meninggalkan puasa, maka ia diwajibkan untuk
meng-qaḍā’-nya. Berbeda pula dengan pendapat al-Syāfi‟ī dan Aḥmad, bahwa
wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa ramadhan, maka mereka
wajib meng-qaḍā’ puasanya dan juga harus memberi makan orang miskin sesuai
dengan jumlah hari yang mereka tinggalkan. Berbeda dengan pendapat dia atas,
Wahbah al-Zuḥailī memberi alasan bahwa kebolehan wanita hamil dan menyusui
tidak berpuasa, namun cukup hanya membayar fidyah dari puasa yang
ditinggalkan yaitu karena demi seseorang yang lemah dan orang yang masih
berada dalam proses pembentukan. Oleh karena itu, keduanya wajib membayar
fidyah, begitu halnya dengan orang tua yang sudah renta.
3. Utang Puasa Orang yang Meninggal: Qaḍā’ atau Fidyah?

Dalam kasus ini, Ibn Rusyd juga menjelaskan perbedaan pendapat di


kalangan para ulama. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang
tidak dapat menanggung puasa orang lain. Kedua, sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa walinya wajib melaksanakan puasa sejumlah hari yang
ditinggalkan si mayyit. Menanggapi perbedaan pendapat tersebut, ulama yang
berpegang pada pendapat pertama di atas menganggap bahwa hadis yang
diriwayatkan al-Bukhārī tersebut bertentangan dengan hukum asal, seperti
seseorang tidak dapat melakukan salat untuk mewakili orang lain, tidak dapat
berwuḍu untuk mewakili orang lain, maka puasa pun tidak dapat diwakili. Namun
Aḥmad bin Ḥanbal menyatakan bahwa qaḍā’ puasa hanya berlaku untuk puasa
nadzar, adapun puasa yang farḍu (ramadhan) tidak perlu di-qaḍā’ untuk orang
yang meninggal, melainkan cukup dengan menyedekahkan dari harta yang
ditinggalkannya sebanyak setengah Ṣāʻ untuk setiap hari yang telah
ditinggalkannya (membayar fidyah).

Kemudian sebagian ulama menganggap jika seseorang meninggal dan ia


memiliki utang nadzar puasa, maka wali berkewajiban mengganti puasa nadzar-
nya tersebut dengan puasa (mengqaḍā’). Sedangkan apabila puasa yang
ditinggalkannya merupakan puasa ramadhan (farḍu), maka walinya cukup
menggantinya dengan membayar fidyah.

Meski demikian, mayoritas imam mazhab menilai bahwa tidak ada


perbedaan antara nadzar dan farḍu, sehingga keduanya dapat diganti dengan
qaḍā’. Hanya saja, utang nadzar puasa tidak dapat diganti dengan fidyah,
sementara utang puasa ramadhan dapat diganti dengan fidyah.

4. Utang Puasa Orang yang Meninggal: Qaḍā’ atau Fidyah?

Dalam kasus ini, Ibn Rusyd juga menjelaskan perbedaan pendapat


dikalangan para ulama. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang
tidak dapat menanggung puasa orang lain. Kedua, sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa walinya wajib melaksanakan puasa sejumlah hari yang
ditinggalkan si mayyit.Menanggapi perbedaan pendapat tersebut, ulama yang
berpegang pada pendapat pertama di atas menganggap bahwa hadis yang
diriwayatkan al-Bukhārī tersebut bertentangan dengan hukum asal, seperti
seseorang tidak dapat melakukan salat untuk mewakili orang lain, tidak dapat
berwuḍu untuk mewakili orang lain, maka puasa pun tidak dapat diwakili.

Namun Aḥmad bin Ḥanbal menyatakan bahwa qaḍā’ puasa hanya berlaku
untuk puasa nadzar, adapun puasa yang farḍu (ramadhan) tidak perlu di-qaḍā’
untuk orang yang meninggal, melainkan cukup dengan menyedekahkan dari harta
yang ditinggalkannya sebanyak setengah Ṣāʻ untuk setiap hari yang telah
ditinggalkannya (membayar fidyah), dapat disimpulkan bahwa sebagian ulama
menganggap jika seseorang meninggal dan ia memiliki utang nadzar puasa, maka
wali berkewajiban mengganti puasa nadzar-nya tersebut dengan puasa
(mengqaḍā’).

Sedangkan apabila puasa yang ditinggalkannya merupakan puasa


ramadhan (farḍu), maka walinya cukup menggantinya dengan membayar fidyah.
Meski demikian, mayoritas imam mazhab menilai bahwa tidak ada perbedaan
antara nadzar dan farḍu, sehingga keduanya dapat diganti dengan qaḍā’. Hanya
saja, utang nadzar puasa tidak dapat diganti dengan fidyah, sementara utang puasa
ramadhan dapat diganti dengan fidyah.

3. Qashar dan Jama’


1. jama’ sholat
Jamak menurut bahasa artinya mengumpulkan, sedangkan menurut istilah
ialah mengumpulkan dua shalat fardlu yang dikerjakan dalam satu waktu dan
dikerjakan secara berturut-turut. Misalnya, mengerjakan shalat zhuhur dan ‘ashar
pada waktu shalat zhuhur. Pertama mengerjakan shalat zhuhur dan setelah selesai
dilanjutkan dengan shalat ‘ashar tanpa terpisah oleh dzikir atau kegiatan lainnya.
Shalat jamak merupakan salah satu kemudahan atau keringanan (rukhsah)
yang diberikan Allah Swt kepada umat Nabi Muhammad SAW. Shalat jamak pernah
dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. Dalam hadits riwayat ibnu Umar dikatakan:

‫س أَخ ََّر‬ َّ ‫ارتَ َح َل قَ ْب َل أَ ْن ت َِز ْي َغ ال‬


ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫سلَّ َم إِذَا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫هللا‬ ‫صلَّى‬ َ ِ‫ َكانَ َرسُ ْو ُل هللا‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬ َ ُ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أَن ٍَس َر‬ َ
‫ِب (رواه‬ َ ‫ظ ْه َر ث ُ َّم َرك‬ ُّ ‫صلَّى ال‬ َ ‫ت قَ ْب َل أَ ْن َي ْرتَحِ َل‬ ِ ‫غ‬َ ‫زَ ا‬ ْ ‫ت ا ْل َع‬
‫ ث ُ َّم نَزَ َل َيجْ َم ُع َب ْينَ ُه َما فَإِ ْن‬،‫ص ِر‬ ُّ ‫ال‬
ِ ‫ظ ْه َر ِإلَى َو ْق‬
)‫البخارى‬
“Dari Anas ra, ia berkata, “Apabila Rasulullah SAW berangkat menuju
perjalanan sebelum tergelincir matahari, beliau akhirkan shalat zhuhur ke waktu
‘ashar. Kemudian beliau berhenti untuk menjamak shalat keduanya. Dan jika
matahari tergelincir sebelum ia berangkat, maka beliau shalat Zhuhur terlebih
dahlu kemudian naik kendaraan.” (HR. Bukhari)

Shalat fardlu yang boleh dijamak yaitu :

1. Shalat zhuhur dijamak dengan ‘ashar dan


2. Shalat maghrib dijamak dengan ‘isya.

Adapun shalat shubuh tidak boleh dijamak dengan shalat lainnya dan tetap
dilaksanakan pada waktunya sendiri, walaupun dalam kendaraan. Demikian pula
shalat ‘ashar tidak boleh dijamak dengan ‘isya ataupun maghrib.

a. Syarat menjamak sholat

Menjamak shalat hukumnya mubah, artinya diperbolehkan menjamak bagi


orang-orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Pertama, musafir atau dalam perjalanan, dengan jarak minimal 81 km


(menurut kesepakatan sebagian besar ulama).

Kedua, bukan dalam perjalanan maksiat.

Ketiga, dalam keadaan ketakutan, seperti sakit, hujan lebat, angin topan atau
bencana alam lainnya.Syarat ketiga berlaku bagi orang yang senang
melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.

b. Pembagian sholat jamak

Shalat jamak terbagi dua bagian, yaitu:

1. Pertama, Jamak Takdim ialah mengumpulkan dua shalat fardlu untuk dikerjakan
bersama-sama pada waktu shalat yang pertama. Misalnya, zhuhur dengan ‘ashar
dilaksanakan pada waktu zhuhur, maghrib dengan ‘isya dilaksanakan pada waktu
maghrib. Syarat jamak takdim adalah:
1.Dimulai dari shalat yang pertama.
2.Niat jamak pada waktu shalat yang pertama
3.Berturut-turut antara shalat pertama dengan shalat yang kedua.
4.Masih dalam perjalanan.

2. Kedua, Jamak Takhir adalah mengumpulkan dua shalat fardlu untuk dikerjakan
secara bersama-sama pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, zhuhur dengan
‘ashar dilaksanakan pada waktu 'ashar, maghrib dengan ‘isya dilaksanakan pada
waktu ‘Isya.Syarat Jamak Takhir adalah:
1.Niat menjamak setelah tiba waktu shalat yang pertama.
2.Kedua shalat dikerjakan masih dalam perjalanan

c. Niat shalat Jamak

Pertama, Jamak Takdim:

1) Zhuhur dengan ‘ashar

- Niat shalat zhuhur

ْ َ‫ت ُم ْستَ ْقبِ َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا بِا ْلع‬


‫ص ِر َج ْم َع تَ ْق ِدي ٍْم هللِ تَعَالَى‬ ٍ ‫ظ ْه ِر أَ ْربَ َع َر َكعَا‬
ُّ ‫ض ال‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِلِّ ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat zhuhur empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takdim
dengan ‘ashar karena Allah Ta’ala.”

- Niat shalat ’ashar

ُّ ‫ت ُم ْستَ ْق ِب َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا ِبال‬


ِ ‫ظ ْه ِر َج ْم َع تَ ْق ِدي ٍْم‬
‫هلل تَ َعالَى‬ ٍ ‫ص ِر أَ ْر َب َع َر َك َعا‬
ْ ‫ض ا ْل َع‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِِّل ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat ‘ashar empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takdim
dengan zhuhur karena Allah Ta’ala.”
2) Maghrib dengan ‘Isya

- Niat shalat maghrib

‫ت ُم ْستَ ْق ِب َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا ِبا ْل ِعشَاءِ َج ْم َع تَ ْق ِدي ٍْم هللِ تَ َعالَى‬ ِ ‫ض ا ْل َم ْغ ِر‬
ٍ ‫ب ثَالَثَ َر َك َعا‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِلِّ ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat maghrib empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takdim
dengan ‘Isya karena Allah Ta’ala.”

- Niat shalat ‘Isya

ِ ‫ت ُم ْستَ ْقبِ َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا بِا ْل َم ْغ ِر‬


‫ب َج ْم َع تَ ْق ِدي ٍْم هللِ تَعَالَى‬ ٍ ‫ض ا ْل ِعشَاءِ ثَالَثَ َر َكعَا‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِلِّ ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat ‘Isya empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takdim
dengan maghrib karena Allah Ta’ala.”

Kedua, Jamak Takhir:

1) Zhuhur dengan ‘Ashar

- Niat shalat zhuhur

‫ص ِر َج ْم َع تَأْخِ ي ٍْر هللِ تَعَالَى‬


ْ َ‫ت ُم ْستَ ْقبِ َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا بِا ْلع‬
ٍ ‫ظ ْه ِر أَ ْربَ َع َر َكعَا‬
ُّ ‫ض ال‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِلِّ ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat zhuhur empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takhir
dengan ‘ashar karena Allah Ta’ala.”

- Niat shalat ’ashar

‫ظ ْه ِر َج ْم َع تَأْخِ ي ٍْر هللِ تَعَالَى‬


ُّ ‫ت ُم ْستَ ْقبِ َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا بِال‬
ٍ ‫ص ِر أَ ْربَ َع َر َكعَا‬
ْ َ‫ض ا ْلع‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِلِّ ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat ‘ashar empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takhir
dengan zhuhur karena Allah Ta’ala.”

4) Maghrib dengan ‘Isya


- Niat shalat maghrib

ِ ‫ت ُم ْستَ ْق ِب َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا ِبا ْل ِعشَاءِ َج ْم َع تَأْخِ ي ٍْر‬


‫هلل تَ َعالَى‬ ِ ‫ض ا ْل َم ْغ ِر‬
ٍ ‫ب ثَالَثَ َر َك َعا‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِِّل ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat maghrib empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takhir
dengan ‘isya karena Allah Ta’ala.”

- Niat shalat ‘Isya

‫ب َج ْم َع تَأْخِ ي ٍْر هللِ تَ َعالَى‬


ِ ‫ت ُم ْستَ ْق ِب َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا ِبا ْل َم ْغ ِر‬
ٍ ‫ض ا ْل ِعشَاءِ ثَالَثَ َر َك َعا‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِلِّ ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat ‘isya empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takhir dengan
maghrib karena Allah Ta’ala.”

Mempraktikan shalat jamak takdim :

Misalnya, seseorang dalam perjalanan jauh ingin menjamak shalat zhuhur dengan
‘ashar, maka yang harus ia lakukan adalah:

1) Kerjakan shalat zhuhur terlebih dahulu sebagaimana mestinya dengan


lafazh niat yang telah disampaikan di atas.

2) Setelah selesai shalat zhuhur kerjakan shalat ‘ashar secara langsung


tanpa harus diselingi oleh kegiatan lainnya, seperti dzikir maupun shalat sunat.

Mempraktek Jamak Takhir:

Misalnya, seseorang dalam perjalanan jauh ingin menjamak shalat zhuhur dengan
‘ashar, maka yang harus ia lakukan adalah:

1) Ketika datang waktu shalat pertama, yaitu zhuhur, lakukan niat dalam
hati bahwa ia akan mengakhirkan shalat zhuhur ke waktu shalat ‘ashar.

2) Ketika datang waktu shalat kedua, yaitu shalat ‘ashar, kerjakan shalat
mana saja yang ingin didahulukan (‘ashar atau zhuhur). Misalnya, yang
didahulukan ‘ashar.
3) Setelah selesai shalat yang paling pertama selesai (‘ashar), lanjutkan
dengan shalat zhuhur tanpa diselingi oleh kegiatan lain.

2. qashar sholat
Qashar artinya meringkas atau memendekan. Qashar shalat adalah meringkas
raka’at shalat fardlu empat raka’at menjadi dua raka’at. Shalat fardlu yang boleh
diqashar adalah zhuhur, ‘ashar dan ‘isya. Sedangkan maghrib dan shubuh tidak
boleh diqashar.Firman Allah Swt :

‫صال ِة إِ ْن خِ ْفت ُ ْم أَ ْن يَ ْفتِنَكُ ُم الَّذِينَ َكف َُر ْوا ِإ َّن‬ ُ ‫ح أَ ْن تَ ْق‬


َّ ‫ص ُر ْوا مِنَ ال‬ ٌ ‫علَ ْيكُ ْم ُجنَا‬ َ ‫ض فَلَي‬
َ ‫ْس‬ ْ ْ‫ض َر ْبت ُ ْم فِي ا‬
ِ ‫ألر‬ َ ‫َوإِذَا‬
)١٠١:‫عد ًُّوا ُّم ِبينًا (النساء‬ َ ‫ا ْلكَاف ِِريْنَ كَانُوا لَكُ ْم‬

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-
Nisa:101)

b. Hukum melaksanakan qashar shalat


Hukum melaksanakannya adalah:
pertama, jawaz (boleh), apabila perjalanan telah mencapai jarak yang
diperbolehkan melakukan qashar, namun belum mencapai jarak 81 km. Dalam
kondisi ini yang lebih utama adalah tidak melakukan Qashar shalat.
Kedua, afdlal (lebih utama), apabila jarak perjalanan sudah mencapai 81 km atau
lebih.
Ketiga, wajib apabila waktu shalat tidak cukup digunakan untuk melakukan
shalat, kecuali dengan cara qashar.

c. Syarat qhasar sholat


Shalat boleh diqashar syaratnya, yaitu:
Pertama, jarak yang ditempuh telah mencapai 81 km
Kedua, mengetahui diperbolehkanya mengqashar shalat.
Ketiga, bepergian tidak untuk tujuan maksiat.
Keempat, bepergian dengan tujuan daerah tertentu, sehingga seorang musafir
yang tidak mempunyai tujuan daerah tertentu, tidak diperbolehkan qashar shalat.
Kelima, niat mengqashar shalat.
Lafazh niat qashar

‫هلل تَ َعالَى‬ ْ َ‫ظ ْه ِر َر ْك َعتَي ِْن ُم ْستَ ْق ِب َل ا ْل ِق ْبلَ ِة ق‬


ِ ‫ص ًرا‬ ُّ ‫ض ال‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِِّل ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat zhuhur dua raka’at, menghadap qiblat dengan qashar karena
Allah Ta’ala.”

Keenam, tidak ragu dalam mengqashar shalat.

Ketujuh, tidak bermakmum kepada orang yang menyempurnakan shalat.

Kedelapan, masih dalam perjalanan. Kesembilan, telah melewati tapal batas


daerah sendiri.

3. Sholat jamak qashar

Shalat jamak qashar adalah shalat fardlu yang dijamak dan sekaligus
diqashar. Artinya, dua raka’at shalat fardlu yang diqashar dikerjakan dalam waktu
sekaligus.

Orang yang diperbolehkan mengqashar shalat adalah orang-orang yang


sedang dalam perjalanan jauh. Sedangkan halangan lain, seperti sakit, hujan lebih
ketika berjama’ah di mesjid tetap diperbolehkan mengerjakan shalat jamak
qashar.

Niat dalam shalat jamak qashar adalah :

1. Jamak takdim qashar zhuhur dengan ‘Ashar

- Niat shalat zhuhur

‫هلل تَ َعالَى‬ ْ ‫ظ ْه ِر َر َك َعتَي ِْن ُم ْستَ ْق ِب َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا ِبا ْل َع‬
ْ َ‫ص ِر َج ْم َع تَ ْق ِدي ٍْم ق‬
ِ ‫ص َرا‬ ُّ ‫ض ال‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِِّل ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat zhuhur empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takdim
qashar dengan ‘ashar karena Allah Ta’ala.”
- Niat shalat ’Ashar

‫هلل تَ َعالَى‬ ُّ ‫ص ِر َر َك َعتَي ِْن ُم ْستَ ْق ِب َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا ِبال‬


ْ َ‫ظ ْه ِر َج ْم َع تَ ْق ِدي ٍْم ق‬
ِ ‫ص َرا‬ ْ ‫ض ا ْل َع‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِِّل ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat ‘ashar empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takdim
qashar dengan zhuhur karena Allah Ta’ala.”

2. Jamak takdim qashar maghrib dengan ‘isya

Yang boleh diqashar hanya ‘Isya saja. Niatnya sebagai berikut:

ِ ‫ض ا ْل ِعشَاءِ َر َكعَتَي ِْن ُم ْستَ ْقبِ َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا بِا ْل َم ْغ ِر‬
ْ َ‫ب َج ْم َع تَ ْق ِدي ٍْم ق‬
‫ص َرا هللِ تَعَالَى‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِلِّ ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat ‘isya empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takdim qashar
dengan maghrib karena Allah Ta’ala.”

3. Jamak takhir qashar zhuhur dengan ‘ashar

- Niat shalat zhuhur

‫هلل تَ َعالَى‬ ْ َ‫ص ِر َج ْم َع تَأْخِ ي ٍْر ق‬


ِ ‫ص َرا‬ ْ ‫ظ ْه ِر َر َك َعتَي ِْن ُم ْستَ ْق ِب َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا ِبا ْل َع‬
ُّ ‫ض ال‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِِّل ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat zhuhur empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takhir
qashar dengan ‘ashar karena Allah Ta’ala.”

- Niat shalat ’Ashar

ْ َ‫ظ ْه ِر َج ْم َع تَأْخِ ي ٍْر ق‬


‫ص َرا هللِ تَعَالَى‬ ُّ ‫ص ِر َر َكعَتَي ِْن ُم ْستَ ْقبِ َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا بِال‬
ْ َ‫ض ا ْلع‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِلِّ ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat ‘ashar empat raka’at menghadap kiblat, dijamak tahkir qashar
dengan zhuhur karena Allah Ta’ala.”

4. Jamak takhir qashar maghrib dengan ‘isya

Yang boleh diqashar hanya ‘isya saja. Niatnya sebagai berikut:


ْ َ‫ب َج ْم َع تَأْخِ ي ٍْر ق‬
‫ص َرا هللِ تَعَالَى‬ ِ ‫ض ا ْل ِعشَاءِ َر َكعَتَي ِْن ُم ْستَ ْقبِ َل ا ْل ِق ْبلَ ِة َمجْ ُم ْوعًا بِا ْل َم ْغ ِر‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫ص ِلِّ ْي فَ ْر‬

“Sengaja aku shalat ‘isya empat raka’at menghadap kiblat, dijamak takhir qashar
dengan maghrib karena Allah Ta’ala.”

Anda mungkin juga menyukai