Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

USHUL FIQIH
Dosen Pengampu :
SYAIFUL ILMI S.Pd., M.SI.

DI SUSUN OLEH :
1. Nurcahyani 11915022
2. Linda 11915083
3. Juhelti 11915077

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
KELAS/SEMESTER : 5A/5
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayat-Nyaa sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, Nabi Muhammad Saw.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah Ushul Fiqih yang
berjudul dengan tepat waktu. Di samping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini sehingga dapat
terselasaikan.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banak terdapat kekurangan didalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
sebagai batu loncatan. Demikian, semoga makalah ini bermanfaat.

Pontianak, 2 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................

A. Latar Belakang.....................................................................................................................

B. Rumusan Masalah................................................................................................................

C. Tujuan Masalah....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................

BAB III PENUTUP.................................................................................................................

KESIMPULAN.......................................................................................................................

DAFTAR PUSAKA................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Ushul fiqh merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-


cara menginstinbath  (menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqh, tetapi
secara teknis, terlebih dahulu para ulama menggunakan ushul fiqh  untuk
menghasilkan fiqh. Artinya sebelum orang ulama menetapkan suatu perkara untuk haram,
ia telah mengkaji yang telah menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya
disebut fiqh, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.Dengan demikian,
sebelum seseorang mengkaji materi fiqh, hendaknya ia telah megkaji ushul fiqh terlebih
dahulu,  sehingga dapat mengethui alasan-alasan ulama menetapkan suatu
hukum fiqh,  dan tujuan mempelajari ushul fiqh ini tercapai, yaitu terhindar dari
sifat taqlid atau sifat ikut-ikutan karena buta terhadap dalil al-Qur’an dan as-
Sunnah.Gambaran orang yang mengkaji fiqh tanpa usul fiqh adalah seperti orang yang
membaca teks berbahasa arab tanpa mengetahui kaidah-kaidah nahwu sharaf dalam
bahasa Arab. Demikian pentingnya ushul fiqh dan hubungannya dengan fiqh.Dalam
kajian ushul fiqh terdapat sumber-sumber hukum islam yang mencakup sumber dari Al-
Qur’an, As-Sunnah, maupun Al-Ra’yu (ijtihad). Dan dalam Hukum syara’ terdapat
berbagai aspek yaitu Hakim, Mahkum fiih, dan Mahkum ‘Alaih.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah yang ingin dicapai yaitu
sebagai berikut:
a.       Apa yang disebut Hakim ?,
b.      Apa yang disebut Mahkum fiih ?
c.       Apa yang disebut Mahkum ‘Alaih ?
BAB II

PEMBAHASAN

1. HAKIM

Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam fiqih,
istilah hakim semakna dengan qadhi. Namun, dalam ushul fiqh, kata hakim berarti pihak
penentu dan pembuat hukum syari’at secara hakiki. Ulama Ushul sepakat bahwa yang
menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syari’at adalah Allah Swt. (QS. Al-An’am:
57)
‫إ الفاصلين ِن الح ُكم إال ِهلِل يق هص الحق وهو خير‬
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenar-benarnya dan
Dia Pemberi Kehidupan yang paling baik.”

Dan menurut mereka juga, bahwa yang menetapkan hukum (Al-hakim) itu ialah Allah
SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para rasulNya. Beliau-
beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada ummat manusia.Tidak ada
perselisihan pendapat ulama syara’ itulah yang menjadi hakim sesudah Rosul dibangkit dan
sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.

Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim  terhadap perbuatan


mukallaf sebelum rasul dibangkit. Golongan mu’tazillah berpendapat, bahwa sebelum rasul
dibangkit, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui
baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.Oleh kerena itu
mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang
dipandang buruk oleh akal. Allah akan memberikan pahala kepada para mekallaf yang
berbuat baikberdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana Allah memberi pahala
berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantara syara’.

Golongan Asy’ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara’ tidak diberi sesuatu
hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyah
sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang
bersesuaian tabi’at: dipandang baik oleh akal yang tidak bersesuaian dengan tabi’at
dipandang buruk oleh akal.

Titik perselisihan antara golongan Mu’tazilah dengan golongan Asy’ariyah ialah tentang
apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada  perbuatan,
walaupun syara’ belum menerangkannya, sedang golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak
disiksa dan  tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara’, kendati akal bisa mengetahui
baik buruknya sesuatu perbuatan.[2]

Meskipun ulama ushul  sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah SWT, namaun mereka
berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat
diketahui dengan turunnya wahyu, atau akal dapat mengetahui hukum itu dengan baik. Dalam
hal ini, Abu Husen al-Bashri (w. 436 H) membagi amal perbuatan manusia kedalam dua
kategori:
a.       Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan akal pikiran.
b.      Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum dan
bentuknya.

 Perbuatan kategori ini terdiri dari dua macam, yaitu:


1.      Perbuatan dimana hanya dengan syariat dapat diketahui hukum, bentuk, dan kedudukannya
sebagai ibadah bagi pelakunya, seperti ibadah shalat’
2.      Perbuatan dengan syariat berperan mengubah, menambah, atau mengurangi persyaratan-
persyaratan yang talah diketahui akal pikiran. Dalam hal ini, syariat memodifikasi sesuatu
perbuatan, sehingga disebut sebagai perbuatan yang bersifat syar’i.

2. MAHKUM FIH
Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum
(perbuatan hukum). Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan mahkum fih)   ‫ا َ ْل َمحْ ُكوْ ُم‬b‫)فِ ْي ِه‬adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang
terkait dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan,
tuntunan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan bersifat syarat, sebab,
halangan, azimah, rukhshah, sah, serta batal.
Jadi, mahkum fih itu merupakan hasil perbuatan manusia yang mukallaf erat hubungannya
atau bersangkutan dengan hukum syara’ agama Islam. Misalnya perbuatan manusia
yang mukallaf  berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara lain:
1.      Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah  mahkum fih, sebab bertalian
dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
2.      Menyangkut masalah tidak dilaksanakan terhadap manusia, adalah mahkum fih, dan
bertalian dengan ketentuan Allah dalam firman-Nya:
‫س‬َ ‫َوالَ تَ ْقتُلُو النَّ ْف‬

Artinya:
“Janganlah kamu membunuh manusia.”
3.      Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak
melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau orang
musafir/dalam prerjalanan jauh, maka masalah itu adalah mahkum fih, bertalian dengan
masalah ibadah.
Dengan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua perbuatan
manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua perbuatan manusia
yang mukallaf erat kaitannya dengan hukum syara’, dan semua itu disebut Mahkum
Fih dalam hukum Islam.
Para kalangan madzab Hanafi yang berpendapat tidak akan terjadi takhlif sebelum tercapai
syarat sahnya takhlif mengemukakan alasan :
a.    Kalau terjadi takhlif sebelum tercapai syarat sah takhlif berarti takhlif tidak dapat
dilaksanakan, sedangkan takhlif yang tidak dilaksanakan adalah batal.
b.    Dalam ucapan Rasulullah ketika mengangkat Muadz bin Jabal menjadi Gubernur
Yaman beliau berkata:

 “Ajaklah mereka (menuturkan) syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
adalah rasul Allah. Jika mereka telah menerimanya beri tahukan kepada mereka bahwa
Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Kalau mereka
telah mnerimanya beri tahukan Allah mewajibkan zakat atas harta kekayaan dari orang
yang kaya untuk diserahkan kepada yang miskin dari mereka.” (HR. Bukhari dan
Muslim dari Ibnu Abbas) Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat dan zakat
bergantung kepada penerimaan terhadap ajakan dan kalau mereka tidak menerima berarti
tidak wajib bagi mereka. Alasan ini dijawab bahwa yang dimaksud menerima kewajiban
shalat dan zakat, tetapi kewajiban menerima iman karena tidak mungkin menerima
kewajiban tanpa menerima iman.

c.    Semua ibadah orang yang kafir tidk diterima karena ibadah memerlukan niat,
sedangkan niat dari orang yang kafir tidak sah kecuali terlebih dahulu beriman.

d.   Perintah melaksanakan ibadah untuk memperoleh pahala, sedangkan orang kafir tidak
berhak menerima pahala.

e.    Kalau orang yang kafir dibebankan melaksanakan shalat tentunya mereka dikenakan
hukuman di dunia sebagaimana seorang muslim yang meninggalkan sholat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama adalah yang terkuat
dalilnya karena didukung oleh dalil Al-Quran yang menunjukkan bahwa orang yang kafir
masih dibebani ibadah. Karena itu, mereka mendapat hukuman tambahan di akhirat yang
berati kebolehan takhlif sekalipun syarat belum tercapai seperti yang dikemukakan oleh
madzab Syafi’i.Kalau dilihat dari segi pelaksanaan hukuman di dunia, orang yang kafir
itu tidak dituntut hukuman, tetapi hukumannya hanya di akhirat. Keduanya dilihat dari
segi pelaksanaan hukuman dunia dan akhirat hanya berbeda tenntang hukuman akhirat.
Telah menjadi ijma’  seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada pembuatan
orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila syar’i mewajibkan atau mensunnahkan suata
perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu merupakan perbuatan  yang harus
dikerjakan. Demikian juga apabila syar,i mengharamkan atau memakruhkan sesuatu,
maka beban tersebut juga merupakan perbutan yang harus ditinggalkan.
Perbuatan yang dibebankan (mahkum bih) kepada orang mukallaf itu mempunyai tiga
syarat sebagai berikut:
a.       Perbutan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat
mengerjakannya sesuai dengan tuntutan,
b.      Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai
kekuasaan memberi beban dan dari pihak yang wajib diikuti segala hukum-hukum
yang dibuatnya,
c.       Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan,
sehingga tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.

3. MAHKUM ALAIH
Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun syarat-syarat
sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yakni:
a.       Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang
terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun melalui
orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan
suatu taklif  (pembebanan),
b.      Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Kemampuan seseorang untuk menerima kwajiban dan mnerima hak oleh para
ulama ushuliyyun dibagi kepada dua  macam, yaitu:
a.       Ahliyatul wujub,  yaitu kepantasan seseorang untuk memberi hak dan kewajiban.
Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, kanak-
kanan maupun dewasa, sehat maupun sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban, sebab dasar dari
kepantasan ini adalah kemanusiaan. Artinya, selama manusia itu masih hidup,
kepantasan tersebut tetap dimiliknya,
b.      Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat)ialah kepantasan seseorang untuk
dippandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya, bila mengadakan suatu
perjanjian atau perikatan, tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat
hukum, sehingga masa datangnya aliyatul ada’ menurut syara’  adalah bersamaan
dengan tibanya usia taqlif yang dibatasi dengan aqil dan baligh.
Ahliyatul ada’  terbagi atas dua macam, yaitu:
1.   Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal mencapai
umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum  syara’, dan balighnya orang yang
cakap dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
2.   Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya
dinisbahkan untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak yang
cakap sama dengan anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil dianggap
seperti orang yang tidak cakap (gila). Sedangkan dalam masalah muamallah dianggap
sah jual belinya.

Namun demikian, ada beberapa orang yang sudah dewasa dan pantas untuk
melaksakan hak dan kewajiban tetapi kondisi mereka tidak memungkinkan untuk
melaksanakan semua itu, dikarenakan ada hal-hal yang menghalangi.kondisi tersebut
disebut dengan awaridh ahliyah.

Ahwaridh ahliyah ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.

  Samawiyah  adalah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar manusia.
Halangan samawiyah  ada sepuluh macam, yaitu:

a.       Keadaan belum dewasa;

b.      Sakit gila

c.       Kurang akal

d.      Keadaan tidur

e.       Pingsan

f.       Lupa

g.      Sakit

h.      Menstruasi

i.        Nifas

j.        Meninggal dunia.

Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatann yang diusahakan manusia yang


menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak. Halangan kasabiyah itu ada
tujuh macam, yaitu:

a.         Boros,

b.        Mabuk

c.         Bepergian

d.        Lalai

e.         Bergurau (main-main)

f.         Bodoh (tidak mengetahui)

g.        Terpaksa (ikrah).[6]

Memperhatikan akibat ahliyatul ada’. Maka gangguan-gangguan itu terbagi


kepada beberapa jenis antara lain:
a.       Gugur ahliyatul ada’, khusus bagi manusia gila dan sedang tidur.
b.      Kurang ahliyatul ada’ (tidak gugur seluruhnya), seperti manusia makhluk (orang
yang lemah pikirannya) dan juga anak-anak yang mumayiz.
c.       Tidak menghilangkan dan tidak pula mengurangi ahliyatul ada’, tatpi hanya
mengubah sebagian hukum untuk kemaslahatan.
Maka terhadap poin a dan b diatas, tidak dibenarkan memelihara harta, demi
untuk memelihara hartanya sedangkan ahliyatnya tetap tidak hilang dan tidak pula
berkurang. Dan yang ketiga ahliyatul ada’ nya penuh, hanya tidak dibolehkan
mengendalikan hartyanya karena menjaga haknya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
  

a.       Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam
istilah fiqh,  hakim merupakan orang yang memutuskan hukum dipengadilan yang sama
maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh, hakim juga berarti pihak penentu dan
pembuat hukum syariat secara hakiki.
b.       Abu Husen al-Bashri (w. 436 H) membagi amal perbuatan manusia kedalam dua kategori:
1.      Perbuatan aqliyah,  yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan akal pikiran.
2.      Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum dan
bentuknya.

c.       Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum


(perbuatan hukum).
d.      Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun syarat-syarat
sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yakni:
1.      Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang terkandung
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Oleh
karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak
mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan),
2.      Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
e.       Kemampuan seseorang untuk menerima kwajiban dan mnerima hak oleh para
ulama ushuliyyun dibagi kepada dua  macam, yaitu, Ahliyatul wujub, Ahliyatul ada’,
Ahliyatul ada’  terbagi atas dua macam, yaitu:
1.      Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal mencapai umur
dewasa (baligh)  dinisbahkan untuk hukum  syara’, dan balighnya orang yang cakap
dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
2.      Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya
dinisbahkan untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak yang cakap
sama dengan anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil dianggap seperti orang yang
tidak cakap (gila). Sedangkan dalam masalah muamallah dianggap sah jual belinya.

f.       Ahwaridh ahliyah  ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.


DAFTAR PUSTAKA

http://isnakhasanah.blogspot.com/2017/06/konsep-sistem-dan-informasi.html

http://repository.ut.ac.id/4069/1/PKOP4422-M1.pdf

http://repository.ut.ac.id/4042/1/ASIP4204-M1.pdf

Gorgon. Davis B. (1995). Kerangka Dasar SIM. Jakarta: Penerbit Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai