Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

"MASA DEPAN AGRIBISNIS HUTAN”

Disusun Oleh:
NAMA: Feil Ansyah
NIM : (E32119149)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah“Masa Depan Agribisnis Hasil Hutan”ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Managemen Agribisnis Hasil Hutan Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami, semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah
ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Palu, 7 Desember 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i

DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 3

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 3

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 3

C. Tujuan .......................................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 4

A. Definisi Hutan dan kawasan hutan .............................................................................. 4

B. Reorientasi Pembangunan Kehutanan ......................................................................... 6

C. Potensi Dan realitas pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan ............................ 9

D. Potensi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu ........................................................... 9

E. Kebijakan kehutanan ke masa depan ......................................................................... 11

BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 13

A. KESIMPULAN .......................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 14


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertanian dalam pengertian yang luas yaitu kegiatan manusia untuk memperoleh
hasil yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan atau hewan yang pada mulanya dicapai
dengan jalan sengaja menyempurnakan segala kemungkinan yang telah diberikan oleh
alam guna mengembangbiakkan tumbuhan dan atau hewan tersebut (Van
Aarsten,1953). Pengertian Pertanian dalam arti sempit yaitu segala aspek biofisik yang
berkaitan dengan usaha penyempurnaan budidaya tanaman untuk memperoleh produksi
fisik yang maksimum (Sumantri, 1980).
Indonesia merupakan salah satu negara agraris dimana, sebagian besar
penduduknya tinggal di perdesaan dengan mata pencaharian sebagai petani. Penduduk
Indonesia pada umumnya mengkonsumsi hasil pertanian untuk makanan pokok
mereka. Pertanian di Indonesia perlu ditingkatkan produksinya semaksimal mungkin
menuju swasembeda pangan akan tetapi, tantangan untuk mencapai hal tersebut sangat
besar karena luas wilayah pertanian yang semakin lama semakin sempit, penyimpangan
iklim, pengembangan komoditas lain, teknologi yang belum modern, dan masalah yang
satu ini adalah masalah yang sering meresahkan hati para petani yaitu hama dan
penyakit yang menyerang tanaman yang dibudidayakan. Hasil produksi tanaman padi
di Indonesia belum bisa memenuhi target kebutuhan masyarakat karena ada di beberapa
daerah di Indonesia yang masih mengalami kelaparan (Agriculture Sector Review
Indonesia,2003).
Hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan
manusia baik langsung maupun tidak langsung.
Hutan dalam fungsinya sebagai penyedia pangan (forest for food production)
diperoleh melalui pemanfaatan langsung plasma nutfah flora dan fauna untuk
pemenuhan kebutuhan pangan. Selain itu secara tidak langsung kawasan hutan juga
dimanfaatkan untuk memproduksi sumber pangan (Hasan, 2010).
Salah satu bentuk pemanfaatan secara tidak langsung adalah kegiatan agroforestry
sebagai suatu sistem pengelolaan lahan hutan yang mengkombinasikan produksi
tanaman pertanian dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan
pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan
kebudayaan penduduk setempat (Departemen Kehutanan, 1992).
Kegiatan agroforestry di kawasan hutan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan
dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dengan
tetap mempertahankan kondisi hutan. Kegiatan agroforestry juga dilakukan sebagai
kegiatan untuk rehabilitasi hutan karena sifat kegiatan agroforestry yang konservatif
dan protektif. Manfaat-manfaat langsung yang didapat melalui agroforestry dapat
memberikan manfaat yang bersifat jangka panjang, seperti peningkatan produktivitas
tanaman, tata guna lahan yang lebih mantap dan perbaikan konservasi lingkungan.
Karena itu, bila dilaksanakan dengan baik, sistem agroforestry dapat merupakan alat
yang efektif untuk merehabilitasi dan mengelola lahan-lahan dan menggalakkan
pembangunan di pedesaan (Mayrowani dan Ashari, 2011).
Namun, keberhasilan pembangunan kehutanan melalui kegiatan agroforestry
sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam berkontribusi terhadap
upaya pengelolaan hutan dan kualitas sumberdaya manusia yang mendukungnya.
Pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengembangan kegiatan agroforestry dan
upaya rehabilitasi lahan agar maju dan mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan
mutlak dilaksanakan.
B. Rumusah Masalah
1. apa saja defenisi hutan dan kawasan hutan?
2. Bagaimana Reorientasi Pembangunan Kehutanan ?
3. Bagaimana Potensi Dan realitas pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan?
4. Bagaimana Potensi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu?
5. bagaimana kebijakan kehutanan ke masa depan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi hutan dan kawasan hutan
2. Untuk mengetahui reorientasi pembangunan kehutanan
3. Untuk mengetahui potensi dan realitas pemanfaatan dan penggunaan kawasan
hutan
4. Untuk mengetahui potensi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
5. untuk mengetahui kebijakan kehutanan ke masa depan
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian hutan dan kawasan hutan


Menurut Bambang Pamulardi, pengertian hutan tidak dianut pemisahan secara
horizontal antara suatu lapangan (tanah) dengan apa yang diatasnya. Antara suatu
lapangan (tanah), tumbuh-tumbuhan/alam hayati dan lingkungannya merupakan suatu
kesatuan yang utuh; hutan yang dimaksud ini adalah dilihat dari sudut de facto yaitu
kenyataan dan kebenarannya di lapangan. Di samping itu adanya suatu lapangan yang
ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan, dimaksudkan untuk menetapkan suatu
lapangan (tanah) baik yang bertumbuhan pohon atau tidak sebagai hutan tetap. Dalam
ketentuan ini dimungkinkan suatu lapangan yang tidak bertumbuhan pohon-pohon di
luar kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Keberadaan hutan di sini
adalah de jure (penetapan pemerintah).
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya
disebut dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999), pengertian hutan tercantum
dalam Pasal 1 angka 2, yang berbunyi: “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.”
Pengertian kawasan hutan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999, yang berbunyi: “Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
sebagai hutan tetap.”

1.2 Reorientasi Pembangunan Kehutanan


Harapan pembangunan Kehutanan ke depan akan diwarnai oleh ragam pola,
tehnik, komposisi jenis, dan corak kelembagaan yang bervariasi. Pemberian hak dan
wewenang pengusahaan hutan alam kepada swasta/BUMN Kehutanan yang
berorientasi mono-loyalitas usaha pemanfaatan kayu hanya menguntungkan dalam
jangka pendek dan target beneficiaries yang terbatas. Belum ada atau tidak ada pelaku
usaha hutan alam yang menunjukkan keberhasilannya dalam melestarikan hutan atau
merestorasi kembali hutan-hutan yang rusak. Hal ini wajar saja terjadi, karena selama
ini pengusaha hutan alam kita hanya berorientasi untuk perolehan keuntungan bisnis
(benefit) jangka pendek, sementara proses peremajaan hutan alam membutuhkan
waktu puluhan tahun (35 tahun umur daur) dan pengusaha tidak mempunyai beban
pemangkuan terhadap kawasan hutannya.
Birokrasi dalam pengurusan hutan produksi alam belum beranjak berubah mind-
setnya hanya berupa perijinan-perijinan pemungutan hasil hutan kayu, sementara
kawasan (lahan) hutannya ditinggalkan. Meskipun namanya Direktorat jenderal Bina
Produksi Kehutanan, akan tetapi pekerjaannya hanya memberikan perijinan areal dan
pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam. Luas hutan yang terlantar karena
ditinggalkan perusahaan (tidak aktif) adalah 14,7 juta ha, hutan alam sekunder tidak
dibebani hak dan terlantar adalah 33,6 juta ha (Widyantoro, 2013) dalam Suharjito, D,
2014). Sementara HTI yang merupakan pemasok bahan baku industri pulp dan kertas
belum beranjak maju dari sisi luasan dan tingkat produksinya. Pembangunan HTI-pun
tidak akan berhasil jika tidak mengikutsertakan masyarakat lokal dari awal
perencanaan sampai pemanenan dan pengolahannya.
Gambaran pemikiran ini menunjukkan bahwa pembangunan Kehutanan masih
bersifat sentralistik dan berorientasi top-down. Yang mengakibatkan tidak adanya
tanggung jawab Pemerintah Daerah dan apalagi masyarakat lokal. Jikapun kondisi
hutan sudah terdegradasi dan ter-deforestasi, maka berarti tanggung jawab rehabilitasi
dan restorasinya tidak serta merta kepada Pemerintah daerah dan masyarakat
setempat. Justru sebaliknya akibat dan dampak negatifnya yang dirasakan di lapangan,
yang tentunya proses penanganannya lamban, waktunya panjang dan belum tentu
akan mengenai sasarannya di lapangan berupa merebaknya kemiskinan dan
pengangguran masyarakat. Perlu strategi baru untuk melakukan reinvestasi untuk
merehabilitasi dan merestorasinya. Dalam kondisi seperti ini, target capaian MP3EI
tidak memperlihatkan upaya ataupun niatan untuk memperbaiki kawasan hutan yang
rusak bahkan mungkin akan semakin membebani karena dalam kerangka MP3EI tidak
ada rejim usaha ekonomi yang konteksnya untuk merehabilitasi hutan-hutan yang
rusak.
Hal ini menunjukan bahwa isu pembangunan ekonomi hijau, perdagangan karbon
untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan,pelestarian ekologis dan lingkungan
ternyata hanya slogan saja, bahkan externality’s sponsor dari LN-pun seperti UN-
REDD, CIFOR, WORLD BANK,ITTO, ACIAR, Sifatnya hanya berupa kajian kajian
atau kampanye ringan yang tidak mampu menjadi solusi dari apa yang terjadi. Bahkan
terkesan semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa kontrol dan pengendalian.
Pertanyaannya, kenapa kegiatan-kegiatan dari pihak lembaga donor atau sponsor tidak
diarahkan kepada permasalahan riel di lapangan? Dan diintegrasikan dengan program
dan kondisi lapangan, misalnya kemiskinan masyarakat sekitar hutan, perbaikan hutan
yang rusak, peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan masyarakat lokal dan
sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa realitas hutan sebagai sumber pangan telah
berlangsung sejak awal peradaban dan terus berlanjut sampai saat ini. Pada periode
kehidupan manusia sepenuhnya bergantung pada hutan dan periode kehidupan
manusia memungut hasil hutan secara terkendali, hutan menjadi sumber pangan utama
atau satu-satunya. Pada periode kehidupan manusia merusak hutan, hutan menjadi
tempat awal berkembangnya budidaya tanaman pangan. Pada periode kehidupan
manusia memerlukan hutan, tanaman pangan sempat menghilang dari hutan tanaman
namun kemudian kembali dibudidayakan di hutan. Pada periode kehidupan manusia
mendambakan hutan atau saat ini, semakin banyak jenis tanaman pangan
dibudidayakan di hutan dan semakin luas areal hutan yang dimanfaatkan sebagai
penyedia pangan.
Di masa mendatang, realitas hutan sebagai sumber pangan diperkirakan akan
terus berlanjut. Secara potensial, produksi pangan dari hutan akan meningkat karena
tersedianya kebijakan yang mendorong pengembangan pangan di hutan dan adanya
kewajiban Kementrian Kehutanan berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan
pangan. Hal ini lebih mudah diwujudkan jika pangan yang berasal dari hutan dapat
diposisikan sebagai hasil hutan dan budidaya tanaman pangan di hutan tidak merubah
fungsi pokok hutan sebagai penghasil barang dan jasa Oleh karena itu, perlu
diluncurkan kebijakan atau konsep hutan tanaman pangan, buah-buahan atau umbi-
umbian yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam membudidayakan tanaman
pangan di hutan.

1.3 Potensi Dan realitas pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan


Hasil hutan utama yang dimanfaatkan dari kawasan hutan produksi adalah kayu.
Berdasarkan data produksi dan perdagangan hasil hutan tahunan Indonesia yang
bersumber pada data FAOSTAT Forestry, produksi kayu lapis (playwood) Indonesia
10 tahun terakhir mengalami penurunan sebesar 29,07%. Produksi kayu lapis
Indonesia pada tahun 2001 yaitu 7.300.000 m3 dan pada tahun 2012 mengalami
penurunan menjadi 5.178.000 m3 . Penurunan produksi kayu lapis Indonesia, diduga
disebabkan karena berkurangnya produksi log yang sesuai standar untuk bahan baku
kayu lapis. Dugaan itu berdasarkan data produksi log Indonesia 10 tahun terakhir
mengalami peningkatan sebesar 314,64% tetapi produksi kayu lapis Indonesia
mengalami penurunan 29,07%. Tahun 2001 produksi kayu bulat Indonesia sebesar
11.432.501 m3 dan pada tahun 2011 sebesar 47.429.335 m3 (Statistik Kehutanan
Indonesia).
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), mengakui, industri kayu di
Indonesia tengah mengalami kelesuan. Dari 290 pemegang hak pengusahaan hutan
(HPH), hanya 130 pemegang HPH yang aktif menebang kayu. Industri kehutanan di
Indonesia memang sedang tidak baik. Akibatnya, dari tahun ke tahun, produksi kayu
terus menyusut. Selama dua tahun terakhir, produksi kayu mengalami penurunan
sebesar 50%. Kemudian, pencapaian produksi kayu juga rendah. Misalnya saja, untuk
tahun ini, dari target produksi 9 juta m3 , kemungkinan, total realisasinya hanya 6 juta
m3 atau sekitar 67%. Kondisi ini sedikit lebih baik dari pencapaian tahun 2011, dari
target produksi kayu 9 juta m3 , yang terealisir hanya 4 juta m3 atau 55,5%.
Pencapaian target produksi yang rendah ini tampaknya tidak terlepas dari harga
kayu yang relatif rendah. Ini terjadi di antaranya karena krisis global yang
mengakibatkan permintaan menurun. Akibatnya, harga jual kayu menyusut. Harga
kayu hutan alam saat ini hanya sekitar US$ 150 per m3 . Angka ini tidak berubah
selama dua tahun terakhir. Sekarang saja, kayu meranti dihargai di bawah Rp 1 juta
per m3 , Merosotnya produksi kayu hutan alam dikhawatirkan berdampak negatif ke
industri hilir, seperti produsen kayu lapis (plywood), gergajian dan mebel. Saat ini,
utilisasi industri kayu nasional hanya sekitar 30% dari total kapasitas terpasang.
Misalnya, produksi kayu lapis atawa plywood pada tahun ini hanya sekitar 3 juta m3
.

1.4 Potensi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu


Selain kayu, kawasan hutan juga berpotensi menghasilkan produk lainnya
seperti rotan, damar, bambu, minyak kayu putih, gondorukem, terpentin, kopal, sutera,
sagu, nipah, madu, gaharu. Selama ini sektor kehutanan lebih banyak berkonsentrasi
pada pemanfaatan sumber daya hasil hutan berupa kayu. Padahal dari aspek potensi
dan produksi, Hasil hutan bukan kayu (HHBK) telah terbukti mampu memberikan
nilai tambah dan manfaat yang lebih besar secara ekonomi, sosial, dan ekologis
(Winsley, 2007; Shanley, 2008). Menurut Dephut (2009), hasil kajian menemukan
bahwa hasil hutan berupa kayu hanya menyumbang sebesar 10% dari seluruh proporsi
nilai hasil dari hutan, sedangkan HHBK menyumbang 90%. Hal ini dapat dilihat dari
besarnya produksi HHBK dari Indonesia (Tabel 2). Ternyata fakta ini belum
sepenuhnya mampu mengubah paradigma pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
hutan di negara kita ini. Pengelolaan hutan masih berorientasi pada hasil hutan berupa
kayu, meskipun pemerintah sendiri telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait
dengan pengelolaan HHBK.
HHBK telah menjadi isu dunia yang semakin diperhitungkan. Pada tahun 2007,
ITTO, FAO, dan INBAR, Chinese Academy of Forestry mengadakan International
Conference on the Sustainable Development on Non-Timber Forest Product and
Service di Beijing, China dengan tujuan utama untuk menggali lebih dalam potensi
HHBK di seluruh dunia. Menurut Dephut (2007), terdapat beberapa catatan penting
dalam konferensi tersebut antara lain mengenai definisi HHBK yang berlainan
tergantung pada region dan tujuan pemanfaatan potensi untuk memenuhi kebutuhan
subsistence maupun sebagai sumber devisa negara. Namun peserta konferensi telah
menyepakati bahwa yang penting adalah terminologi dan definisi HHBK dapat
dipahami dan dapat dikomunikasikan dengan pengambil kebijakan. Kurang jelasnya
kepemilikan sumber bahan baku, regulasi, serta akses terhadap HHBK, menyebabkan
usaha dalam bidang HHBK mengarah pada situasi kontra produktif terhadap
pengelolaan hutan dan jasa lingkungan secara lestari.
Memperhatikan berbagai hambatan pengelolaan HHBK tersebut, beberapa
rekomendasi ditujukan kepada pemerintah dan organisasi internasional untuk
memperjelas terminologi dan definisi HHBK dan jasa lingkungan, mengatur
pengelolaan HHBK dan jasa lingkungan, mengembangkan pedoman pengelolaan dan
pemanfaatan HHBK dan jasa lingkungan yang memperhatikan pengelolaan hutan
secara lestari dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan, sektor swasta, dan
pemerintah secara terintegrasi, untuk menghasilkan suatu perencanaan jangka panjang
yang efektif.
Hasil hutan non-kayu yang masih menjadi andalan di sektor Kehutanan masih
terbatas pada potensi alam yang bukan budidaya terutama untuk di wilayah yang luas
dengan penduduk yang jarang seperti di Kalimantan dan Papua. Sementara untuk
daerah yang padat penduduk seperti di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, ragam dan
jenis HHBK yang digarap oleh masyarakat bermacam-macam terdiri dari tanaman
pangan, tanaman umbi-umbian, tanaman buah-buahan dan tanaman perkebunan.
Ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap kawasan hutan telah menyebabkan
perkembangan budidaya masyarakat di kawasan hutan semakin meningkat. Seperti di
Provinsi Lampung, banyak masyarakat menghasilkan kopi, sawit dan lada, di Provinsi
Banten juga seperti : melinjo, jengkol, petai, durian, kelapa, kecapi, pulai. Yang paling
pesat terjadi di areal kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar yang dikelola oleh Perum
Perhutani di Pulau Jawa dengan aneka jenis hasil pertanian seperti : padi, jagung dan
kacang-kacangan, kopi, melinjo, petai, jengkol, cengkeh, durian seperti terjadi di
Provinsi Banten.

1.5 mengetahui kebijakan kehutanan ke masa depan


Pengertian KPH di Indonesia mempunyai banyak makna. Beberapa ahli, ada
yang menyebut KPH sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), namun ada yang
menyebut KPH sebagai Unit Pengelolaan Hutan (UPH) (Endang, 2007) dalam
Ekawati S (2014). Selanjutnya, menurut Ekawati S (2014), di Perum Perhutani KPH
dimaknai sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan. Istilah dan pengertian Kesatuan
Pemangkuan Hutan sering digunakan oleh Perhutani. Kesatuan Pemangkuan Hutan
melaksanakan pengelolaan hutan berdasarkan perencanaan yang dibuat oleh lembaga
perencanaan hutan di bawah Unit Perhutani.
Kesatuan Pengelolaan Hutan adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi
pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Tugas
Kesatuan Pengelolaan Hutan mencakup perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
(rehabilitasi, pemeliharaan, perlindungan, pemanfaatan). Bahkan Kesatuan
Pengelolaan Hutan mengemban tugas yang komplek, yaitu :
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan
kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dan perlindungan hutan dan
konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota
bidang kehutanan untuk diimplementasikan.
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta
pengendalian.
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan
pengelolaan hutan di wilayahnya.
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan
hutan.

Kita memerlukan adanya pengelolaan hutan yang baik karena hutan merupakan
penyangga kehidupan (multi-fungsi hutan). Sedangkan perlunya pemanfaatan
hutan karena hutan diharapkan dapat menjadi : 1) motor penggerak perekonomian,
2) pembuka keterisolasian wilayah dan 3) penciptaan lapangan kerja (Nurrokhmat,
D, 2013). Dari sisi kelembagaan, KPH sebagai sebuah konsep baru bagi pemerintah
dan pihak pemerintah daerah memerlukan adanya kesamaan pemahaman baik dari
aspek tata aturannya, organisasi dan kualitas SDM yang memiliki kemampuan
menggerakkan usaha dan ekonomi, bukan yang hanya menggantungkan kucuran
dana seperti APBN atau dana subsidi lainnya. Dalam konteks desentralisasi,
penguasaan wewenang pengelolaan hutan harus diberikan penuh kepada pihak
pengelola dalam bentuk dekonsentrasi, delegasi atau devolusi. Demikian pula dari
aspek administrasi, fiskal dan kebijakan/politik harus ada pemberian wewenang
kepada Pemerintah Daerah.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalan kerangka melakukan rehabilitasi dan reforestasi areal hutan yang telah
terdegradasi dan terdeforestasi konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
merupakan trend politik yang sedang menjadi fokus untuk pengembangan kebijakan
dan program pembangunan Kehutanan ke depan. Kita memerlukan adanya
pengelolaan hutan yang baik karena hutan merupakan penyangga kehidupan (multi-
fungsi hutan). Sedangkan perlunya pemanfaatan hutan karena hutan diharapkan
dapat menjadi motor penggerak perekonomian. Guna mendukung keberhasilan
KPH, maka diperlukan kelembagaan yang tepat seperti BUMN atau BLU yang dapat
menggerakkan usaha dan ekonomi KPH secara mandiri dan pengelolanya memiliki
kemampuan entrepreneurship dalam mengusahakan potensi yang dimiliki oleh
setiap KPH yang spesifik lokal.
Permasalahan tenurial dalam kerangka pengelolaan KPH sudah menjadi
masalah utama yang harus diselesaikan oleh seorang manajer (pengelola) KPH.
Salah satu solusinya adalah dengan memberikan hak kelola kepada masyarakat
setempat dan pemanfaatannya. Kegagalan selama ini dalam mengelola kawasan
hutan dan pemanfaatan hutan adalah tidak diperhitungkannya hak kelola dan hak
pemanfaatan masyarakat lokal. Salah satu alternative dalam memberikan hak kelola
tersebut adalah dengan memberikan ruang kepada masyarakat atau petani lokal
untuk mengembangkan jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti : tanaman
pangan, umbi-umbian, hortikultura, dan tanaman perkebunan dalam bentuk Hutan
Tanaman.
DAFTAR PUSTAKA

1. Awang, S.A. 2007. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Pustaka Kehutanan
Masyarakat. CV Debut Press. Yogyakarta.
2. Departemen Kehutanan. 2009. Kebijakan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari
Di Indonesia. Makalah dalam Workshop Sertifikasi Hutan Rakyat 18 Juni 2009
di Semarang. Pusat Standarisasi dan Lingkungan. Departemen Kehutanan.
Jakarta
3. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. 2003. Pola Pengembangan Agribisnis
Hutan Rakyat Provinsi Jawa Tengah. Kerjasama dengan Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada. Semarang.
4. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. 2003. Pola Pengembangan Agribisnis
Hutan Rakyat Provinsi Jawa Tengah. Kerjasama dengan Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada. Semarang.
5. Purwoko, D. 2008. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Keberhasilan
Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (studi kasus di KPH Pemalang).
Tesis. Program Magister Ekonomi Pembangunan. Universitas Jenderal
Soedirman. Purwokerto

Anda mungkin juga menyukai