Makala H Full
Makala H Full
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan sumberdaya hayati yang berlebihan tanpa
memperhatikan kelestariannya mengakibatkan beberapa spesies biota
laut terancam keberadaannya. Penyu laut merupakan salah satu
sumberdaya hayati laut yang pemanfaatannya berlebihan.
Hubungan antara manusia dan penyu telah berlangsung sejak
manusia menghuni kawasan pesisir dan mulai mengarungi samudera.
Masyarakat pesisir memanfaatkan daging dan telur penyu sebagai
sumber protein hewani dan mengakibatkan penyu laut terancam
keberadaannya. Jenis penyu laut yang terancam terutama jenis penyu
hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Karapas penyu data diproduksi menjadi berbagai macam barang
kerajinan dan kebutuhan manusia seperti bingkai kacamata, pigura,
gelang, dan berbagai perabotan rumah tangga lainnya. Daging dan
telurnya juga merupakan salah satu sumber protein hewani bagi
manusia. Di daerah tertentu seperti Kabupaten Badung (Bali) dan Tual
(Maluku Tenggara). Daging penyu merupakan salah satu pelengkap
dalam beberapa upacara adat mereka (Hittipeuw et al, 2000).
Pesatnya perkembangan pariwisata merupakan ancaman bagi
keluarga penyu. Berbagai macam polusi mulai dari bahan cair yang
beracun hingga ke bahan padat seperti plastic merupakan ancaman yang
membahayakan kelestarian penyu. Kegiatan perikanan tangkap yang
menggunakan alat tangkap yang tidak selektif juga merupakan bencana
bagi penyu laut karena terjaring pada saat nelayan menangkap ikan.
Meningkatnya perdagangan sumberdaya hayati laut dimana penyu
menjadi salah satu komoditas menyebabkan populasi penyu di berbagai
tempat di dunia, termasuk Indonesia mengalami penurunan yang drastic,
akibatnya semua jenis penyu di dunia dibatasi ekspornya dengan
dimasukkan ke dalam daftar CITES (Convention of International Trades
of Endangered Spesies, Apendix I). Penyu hijau merupakan jenis penyu
laut yang paling umum ditemukan di perairan Indonesia, namun penyu
hijau belum dilindungi oleh undang-undang.
Tingkat eksploitasi yang tinggi dan intensif ditambah dengan
kerusakan habitat menyebabkan populasi penyu hijau menurun setiap
tahun. Kenyataan ini dapat dilihat dari jumlah produksi telur yang
semakin rendah dari tahun ke tahun dan semakin sedikitnya jumlah
penyu betina yang bertelur di berbagai tempat peneluran (Nuitja dalam
Widiyastuti, 1998), sehingga populasi penyu hijau suatu saat akan
punah.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi penurunan
populasi penyu antara lain:
- Menjaga kelestarian habitat tempat bertelur
- Kampanye pendidikan lingkungan
- Konservasi dengan pendekatan yang luas (ecoregional/bioregional)
B. Sistematika
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Reptilia
Ordo: Testudines
Famili: Cheloniidae
Genus: Chelonia
Spesies: Chelonia mydas
II. PEMBAHASAN
A. Pola Distribusi
Penyu hijau sangat jarang ditemui di perairan beriklim sedang, tapi
sangat banyak tersebar di wilayah tropis dekat dengan pesisir benua dan
sekitar kepulauan. Di kawasan pesisir Afrika, India, dan Asia Tenggara,
serta sepanjang garis pantai pesisir Australia dan Kepulauan Pasifik
Selatan terdapat sejumlah kawasan peneluran dan kawasan pencarian
makan penting bagi penyu hijau. Mereka juga dapat ditemukan di
Mediterania dan terkadang di kawasan utara hingga perairan pesisir
Inggris.
Berdasarkan peta diatas, persebaran penyu hijau berada di
perairan hangat di seluruh dunia, tepatnya berada diantara lintang 30 0
LU-300 LS, distribusi penyu hijau tersebut juga tidak linear karena sehu
air laut selain dipengaruhi oleh cahaya matahari juga dipengaruhi oleh
arus laut. Wilayah yang terpengaruh arus dingin seperti Peru dan
California tidak dijumpai penyu hijau.
Secara lokal, persebaran penyu hijau adalah acak. Hal ini terjadi
karena penyu merupakan hewan yang soliter atau hidup penyendiri. Pola
dispersi ditandai dengan tidak adanya interaksi sosial yang kuat antar
spesies. Ditemukan di lingkungan homogen di mana posisi setiap
individu adalah independen dari yang lain. Penyu juga kawin dengan
cara melepaskan sperma ke air yang akan membuahi betina yang
“lewat”, sehingga interaksi antar individu sangat minim.
B. HABITAT
Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan jenis penyu yang
mayoritas mendiami perairan pasifik Indonesia. Serupa dengan
namanya, penyu hijau memiliki corak warna hijau pada cangkangnya
yang disebabkan oleh struktur lemak yang dikonsumsi berasal dari alga,
rumput laut dan plankton sebagai makanannya. Penyu hijau yang sering
ditemukan saat ini, di Indonesia mulai ditangkarkan salah satunya di
Pulau Penyu, Nusa Penida, Pulau Bunaken dan Pantai Sukamade,
Banyuwangi.
Penyu hijau dapat ditemukan di daerah perairan zona neritik
yakni kedalaman kurang dari 200 meter. Pada zona tersebut, penyu dapat
diketahu sedang mengambil makanan dan menjaga keseimbangan
sirkulasi dan metabolisme tubuh dengan muncul ke permukaan dalam
waktu tertentu untuk mengambil oksigen. Penyu hijau juga dapat
beradaptasi dalam laut dengan kadar garam yang berbeda-beda.
Kelebihan kadar garam akan dikeluarkan melalui air mata sehingga
meskipun dalam konsentrasi kadar garam tinggi, penyu tidak akan
mengalami hipernatremia (kelebihan natrium).
Sebaran Penyu hijau terdapat di Indo-Pasifik, Samudera
Atlantik, Teluk Meksiko, sepanjang pesisir Argentina, di Laut
Mediterania. Habitat Penyu hijau ini hidup di perairan tropis dan sub-
tropis di sekitar pesisir benua dan kepulauan. Penyu hijau juga diketahui
sering terdapat di antara terumbu karang pada daerah laut
lepas. Kemampuan migrasi Penyu hijau pada beberapa populasi dapat
mencapai jarak 2.094 kilometer dari habitat peneluran menuju habitat
mencari makan. Meskipun daya jelajahnya sampai ribuan kilometer,
uniknya Penyu hijau hanya bereproduksi di tempat yang sama
berdasarkan navigasi medan magnet bumi. Di Indonesia, jenis penyu ini
tersebar di sekitar perairan tropika, laut seluruh Indonesia dan Papua
Nugini. Hewan ini baru bisa mencapai usia dewasa sekitar 30-50 tahun.
Jadi, Penyu hijau memiliki siklus kehidupan yang panjang, namun
tingkat kehidupannya rendah (Ali, 2004).
C. ADAPTASI
Adaptasi morfologi
1. Cangkang yang sangat keras karena
tersusun atas protein keratin untuk
melindungi penyu hijau dari
predator.
2. Bentuk cangkang yang langsing
berguna agar penyu hijau dapat
berenang lebih cepat.
3. Tungkai/sirip datar yang berjumlah
empat buah dan digunakan untuk
berenang dalam air serta bergerak
saat berada di darat.
Adaptasi fisiologis
1. Penyu hijau memiliki sepasang paru-paru yang elastis yang
dilengkapi bronkus sekunder sehingga penyu hijau dapat mengambil
napas dalam-dalam dan memungkinkan penyu hijau menjadi
penahan napas yang sangat baik.
Adaptasi perilaku
1. Penyu hijau betina meletakkan telurnya cukup jauh dari garis pantai
agar terhindar dari predator laut, tapi nyatanya telur-telur tersebut
mungkin dapat dimangsa oleh predator darat bahkan manusia
2. Umumnya penyu hijau betina selalu meletakkan telurnya di pantai
yang sama, bahkan dapat diperkirakan pantai tersebut adalah pantai
tempat penyu hijau betina dilahirkan.
3. Habitat penyu hijau dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan
usianya, yaitu :
- Penyu hijau muda (0 – 5 tahun) lebih suka hidup di perairan terbuka /
samudra, padahal di wilayah tersebut banyak terdapat predator
sehingga mengancam kelestarian penyu hijau
- Penyu hijau dewasa lebih menyukai hidup di perairan dangkal untuk
mempermudah mencari makan dan menghindari predator
- Penyu hijau yang sudah tua lebih menyukai hidup di wilayah laguna
yang cukup tenang
E. REPRODUKSI (PERKEMBANGBIAKAN)
III. KESIMPULAN
Penyu hijau merupakan hewan akuatik yang berkembangbiak di
daratan terutama di bawah naungan vegetasi pandanus ataupun ipomoea.
Pola distribusi penyu adalah kontinu di sepanjang garis ekuator hingga
subtropis (lintang 300 LU/LS) karena faktor perairan yang hangat dan
mengindari arus yang dingin akibat arus laut. Selain itu, dilihat secara
lokal distribusi penyu ini adalah pola acak karena tidak adanya interaksi
yang kuat antar individu spesies karena penyu merupakan hewan yang
soliter.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ali dan Kamarruddin Ibrahim. 2002. Crab Predation On Green Turtle
(Chelonia mydas) Eggs Incubated on a Natural Beach and Turtle
Hatcheries. didownload dari
http://www.seaturtle.org/PDF/AliA_2002_InProceedingsofthe3rdWorksho
ponSEASTAR2000_p95-100.pdf. diakses pada tanggal 3 November 2016
Ali, Z.M. 2004. Karya Ilmiah Pelestarian Penyu Hijau di Pantai Selatan
Tasikmalaya. Karya Ilmiah Tentang Pelestarian Penyu Hijau :
Tasikmalaya.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Taman Wisata Alam Laut Pulau Sangalaki.
Diakses dari: http//:bksdakaltim.dephut.go.id. Diakses pada tanggal 3
November 2016
Goin, C.J., O.B. Goin and G.R.Zug. 1978. Intoduction to Herpetology. Third
Edition. W. H. San Fransisco : Freeman and Company.
Hittipeuw et al. 2000. Program Monitoring Kepulauan Derawan, Kalimantan
Timur. Buku Panduan. WWF-Indonesia Program. Bio-Region Wallacea.
Bali.
Ita Novitawati, A.M. Thohari, Agus Priyono, Ismu S. Suwelo. 2003. Kajian
Potensi Habitat Peneluran Penyu Hijau di Pantai Taman Wisata Alam
Sukawayana, Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan : Bogor
Widiyastuti, H. 1998. Karakteristik Biofisik Habitat Peneluran Penyu Hijau
(Chelonia mydas) dan Interaksinya dengan Sarang Peneluran Penyu Hijau
yang Bertelur di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor.
Daftar laman
http://olvista.com/penyu-hijau-reptil-laut-yang-gemulai/ diakses 03 November
2016 pukul 01:55
http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2013/10/Penyu1-hijau-sesaat-
setelah-melakukan-ritual-peneluran-di-Pantai-Paloh-Sambas-Andi-
Fachrizal.jpg diakses 03 November 2016 pukul 02:00
http://www.satwaunik.com/reptil/uploads/2011/06/1.jpg diakses 03 November
2016 pukul 02:13