Anda di halaman 1dari 13

OBSERVASI WAWANCARA

PEDOMAN OBSERVASI KONTROL EMOSI pada ANAK

LEARNING DISORDER

Disusun Oleh :

Ivani Valentina Susilo Santoso

20.E3.0087

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2021
A. PEDOMAN OBSERVASI
1. TOPIK
Topik observasi ini adalah Kontrol Emosi pada Anak Learning Disorder.
2. TUJUAN
Tujuan dari observasi ini adalah obsever ingin melihat kontrol emosi yang muncul
pada anak learning disorder dalam kehidupan sehari-hari.
3. LATAR BELAKANG
Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi bahwa “Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan”. Hal ini sesuai dengan Undang Undang Sisdiknas
tahun 2003 bab IV pasal 1 dinyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” dan pasal 2 yang berbunyi “Warga
negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus
berhak memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan.
Ada bermacam-macam jenis anak berkebutuhan khusus, salah satu adalah anak
kesulitan belajar (Learning Disabilities/ LD). Gangguan kesulitan belajar merupakan
masalah yang sering di temui dalam masalah pendidikan. Kesulitan belajar merupakan
ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik secara tepat.
Gangguan kesulitan belajar adalah kondisi yang dialami siswa karna adanya hambatan,
keterlambatan, ketinggalan dalam kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Anak
yang mengalami kesulitan belajar adalah secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-
tugas akademis baik umum maupun khusus.
Pada saat sekarang ini terlihat bahwa anak berkesulitan belajar yang ada di setiap
Sekolah Dasar kurang mendapat perhatian dari pemerintah karena dinas setempat itu
sendiri terkadang tidak mengetahui berapa jumlah yang pasti anak berkesulitan belajar di
setiap sekolah. Dinas setempat kurang menerima laporan berapa jumlah anak
berkesulitan belajar di setiap sekolah yang ada karna pihak sekolah seperti kepala sekolah
dan para guru jarang sekali mengidentifikasi anak yang berkesulitan belajar yang berada
di setiap sekolah, akibatnya mereka tidak mengetahui seberapa banyak anak berkesulitan
belajar yang ada saat ini.
4. TEKNIK OBSERVASI
Teknik observasi yang digunakan adalah unobstrusive, teknik ini tidak akan
mengubah perilaku alami subjek. Pengamatan ini bisa dilakukan dengan
menggunakan alat atau menyembunyikan identitas sebagai pengamat. Observasi
unobstrusive terhadap naskah, teks, tulisan, rekaman audiovisula, materi budaya
(benda berwujud), jejak perilaku, file pekerjaan, pakaian atau benda lain dimuseum.
Pada observasi kali ini obsever menggunakan media video melalui youtube.
Link youtube : https://www.youtube.com/watch?v=1LJkJrCxgLE
Judul short movie : A dyslexic boy can't read and write until his mother takes matter
into her own hands | Mical

5. TEKNIK PENGUMPULAN DATA


Dalam observasi kali ini, obsever menggunakan teknik pengumpulan data narrative
type. Pencatatan data didasarakan pada peristiwa yang terjadi dalam situasi
sebenarnya dan urutan peristiwa.

6. TEKNIK PENULISAN
Narrative Types (deskriptif naratif)

7. TARGET PERILAKUNYA
Kontrol Emosi

8. TEORI
I. PENGERTIAN LEARNING DISORDER
Learning Disorder adalah Gangguan belajar spesifik merupakan gangguan
internal yang menunjukan bahwa ketidakmampuan belajar berasal dari anak
tersebut sehingga terjadi hambatan kemampuan perseptual, yang meliputi
persepsi visual, auditoris, maupun taktil kinestesis.(Wijaya, 2020). Dalam
penelitian yang dilakukan (Raharjo et al., 2011) mengemukakan tentang
learning disorder yaitu gangguan kesulitan belajar atau kekurangan yang
tidak nampak secara lahiriah. Learning Disorder atau kekacauan belajar
adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya
respons yang bertentangan,pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar,
potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau
terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil
belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya (Nurmelly,
2012). Sehingga learning disorder adalah gangguan belajar spesifik yang
menunjukan ketidakmampuan dalam belajar pada anak.
II. PRAVELENSI
Prevalensi gangguan belajar bervariasi antar daerah bahkan pada negara yang
sama. Studi di Belgaum, India menunjukan 15% siswa sekolah dasar memiliki
gangguan belajar. Studi lain di Kerala, India memperkirakan hanya 2% siswa
memiliki gangguan belajar. Studi di Amerika Serikat menunjukan gangguan
belajar berkisar 5-15% pada tahun pertama sekolah formal.1 Studi
Wiguna,dkk. pada tahun 2012 di Jakarta memperkirakan terdapat 28% anak
sekolah dasar dengan gangguan belajar. Berdasarkan hasil (Riskesdas, 2018),
sekitar 3,33% anak Indonesia berusia 5-17 tahun adalah penyandang learning
dissorder. Namun, belum ada data nasional yang menjelaskan mengenai
gangguan belajar spesifik.

III. KRITERIA DIAGNOSIS MENURUT DSM-V


a. Kesulitan belajar dan menggunakan ketrampilan akademik, ditunjukan
dengan munculnya paling sedikit satu dari gejala berikut ysng telah
bertahan selama setidaknya 6 bulan:
 Pembacaan kata yang tidak akurat atau lambat dan susah payah.
 Kesulitan memahamii arti dari apa yang dibaca.
 Kesulitan dengan ejaan.
 Kesulitan dengan menulis.
 Kesulitan menguasai pemahaman tentang angka atau perhitungan
angka
 Kesulitan dengan penalaran matematika.
b. Kemampuan akademik tersebut sangat jauh dibawah ekspetasi untuk anak
seusianya, dan menyebabkan gangguan signifikan pada performa
akademik atau pekerjaan atau aktivitas sehari-hari.
c. Kesulitan belajar dimulai saat usia sekolah namun mungkin belum terlalu
terlihat sampai tuntutan akademik disekolah melampaui batasan
keammpuan anak tersebut (tes dengan batasan waktu, membaca, menulis
laporan yang panjang dan kompleks dalam batasan waktu yang ketat,
beban akademik yang berat dan banyak).
d. Kesulitan belajar uini bukan karena ketidakmampuan intelektual, kurang
tajamnya penglihatan atau pendengaran, gangguan mental atau neurologis
lainya, hambatan psikososial kurangnya penguasaan bahasa dalam
instruksi akademis atau pengajaran pendidikan yang tidak memadai.

IV. Bentuk Gangguan.


Disklesia ( gangguan dalam membaca)

Diskelsia adalah gangguan dalam proses membaca, mengucapkan, menulis

dan terkadang sulit untuk memberikan kode (pengkodean) angka ataupun

huruf. Juga menyangkut Short-term memory, perilaku, pendengaran, atau

persepsi visula, berbicara dan ketrampilan motorik. Disklesia adalah

ketidakmampuan belajar secara neurologis yang menghambat proses dan

penguasaan bahasa. Disklesia dapat dilihat dari : akurasi pembacaan kata,

kecepatan membaca dan kefasihan, dan pemahaman dalam membaca.

Beech (dalamRaharjo & Wimbarti, 2020), menyatakan beberapa indikasi anak

yang mengalami disleksia antara lain :

1. mengalami kesulitan dalam membedakan bunyi,

2. kurang perhatian,

3. kurang dapat membedakan suara,


4. mempunyai riwayat perkembangan lambat bicara,

5. kesulitan dalam menangkap, menendang dan melempar bola,

6. kesulitan melompat dan melewati rintangan,

7. mengalami kesulitan menbedakan arah kanan atau kiri.

V. Faktor Penyebab Learning Disorder


Secara garis besar ada dua faktor penyebab kesulitan belajar yaitu faktor
intern dan ekstern. Faktor intern lebih mengarah pada peserta didik, yaitu hal-
hal atau tanda-tanda yang muncul dari dalam diri peserta didik sendiri.
Sedangkan faktor ekstern, yaitu beberpa faktor yang muncul dari luar peserta
didik. Faktor ekstern bisa berupa interaksi antara guru dan murid,
penggunaaan metode mengajar, pemilihan media pembelajaran dan
hubungan/interaksi antara siswa denagan sesamanya. Menanggapi hal
tersebut, jelas bahwa Learning Disorder sangat mengganggu penderitanya,
bahkan ada sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa Learning Disorder
berpengaruh terhadap kebahagian mereka.

9. DIMENSI YANG DIAMATI


Obsever akan mengamati kontrol emosi learning disorder yang muncul pada anak,
dimensi yang diamati sebagai berikut :
- Tidak menerima keadaan dirinya
- Implusif/ tidak sabar
- Tidak dapat mengontrol emosi
- Tidak realistis

B. LAPORAN HASIL OBSERVASI


1. Identitas
Nama :M
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Kelas : Sekolah Dasar
Gangguan : Disklesia
Link youtube : https://www.youtube.com/watch?v=1LJkJrCxgLE
Judul short movie : A dyslexic boy can't read and write until his mother takes
matter into her own hands | Mical
Diupload pada : 16 September 2020
Oleh : Silverprince Pictures

2. Observasi Subjek
Waktu/Durasi : 19 Menit 49 Detik
Setting (Situasi) : Sekolah, Rumah

Menit Narasi Dimesi Perilaku


0.31 – 1.04 Kepala sekolah subjek mengundang
ibunya dan mengatakan bahwa
anaknya mengalami keterlambatan
belajar namun ibu subjek denial dan
mengatakan bahwa setiap malah ibu
mengajarnya membaca serta selama
ini subjek tidak mengalami
gangguan apa-apa dan normal-
normal saja.
1.05 – 1.12 M mengalami kesulitan mengeja
pada saat kelas
1.35 – 1.55 M dibully oleh kedua temannya
dikarenakan tidak bisa mengeja
namanya, lalu temannya
menyarankan agar M mengubah
namanya menjadi S-T-U-P-I-D
(Stupid)
1.55 – 2.00 Menanggapi temannya itu perilaku -Tidak menerima
yang dimunculkan M adalah tidak keadaan dirinya
dapat menerima keadaan dirinya, -Implusif/ tidak sabar
setelah itu M berperilaku implusif -Tidak dapat mengontrol
dengan memukul temannya dengan emosi
penuh emosi yang membuat -Tidak realistis
temannya terjatuh lalu M
melanjutkan memukul temannya
hingga terluka
2.12 – 2.20 M kehilangan kontrolnya sehingga -Tidak dapat mengontrol
memukul temannya sangat keras emosinya
2.20 – 2.22 Kepala sekolahnya menyarankan
bahawa M untuk pindah sekolah
agar dapat mengikuti pelajaran
dengan baik
2.40 – 2.46 Subjek memainkan makanannya -ekspresi emosinya tidak
dan ekspresi subjek tidak baik.
bersemangat dengan makannya dan
subjek tidak ingin berangkat
sekolah
2.58 – 3.22 Ibunya tidak percaya anaknya sakit,
kemudian mengecek suhu anaknya
dengan termometer. Akan tetapi
subjek memiliki akal dengan
mencelupkan termometernya ke
dalam makannanya agar suhunya
terlihat panas.t
3.30 – 3.39 Ibunya menyadari bahwa anaknya
berbohong kemudian menyeret
anaknya supaya berangkat sekolah
4.00 – 4.30 Ayahnya mengatakan kepada
ibunya bahwa anaknya mengalami
keterlambatan belajar, dan anak
mendengar percakapan kedua orang
tuanya. Ekpresi yang dimunculkan
anaknya adalah ekspresi sedih
5.00 – 5.15 Mendengar pekataan kedua
orangtuanya, M memikirkannya dan
menjadi sedih.
5.20 – 5.56 M bermain dirumahnya, ketika
bermain M menemukan buku dan
berusaha membaca
5.57 – 7.22 M berusaha membaca dan Ekspresi emosinya tidak
mengingat ketika M dikelas baik
kesulitan membaca, semakin M
berusaha semakin dia berkeringat
dan emosinya muncul dilihat dari
ekspresi wajahnya marah. Selain
itu, M mengingat perilaku teman-
temannya mengatakan bahwa
dirinya stupid , juga mengingat
perkataan ayahnya yang
mengatakan dirinya adalah lamban
belajar
7.23 - 7.50 M mulai bersikap implusif dan -implusif
emosinya meledak-ledak dengan -tidak menerima keadaan
memukul bukunya dan dirinya
melemparkan ke lantai -tidak mengontrol diri
-tidak realistis
-mudah frustasi
8.00 – 8.08 Ibunya menghampiri M, lalu M
mengatakan apa yang berbeda
darinya dan mengapa dia berbeda.
Mendengar hal tersebut ibunya
meyakinkan anaknya bahwa
anaknya tidak berbeda dengan
orang lain.
8.30 – 8.44 Ibu dan M mendatangi Psikolog
untuk konsultasi apa yang harus
mereka lakukan.
8.00 – 8.55 Ibunya mengatakan bahwa anaknya
mengalami disklesia, lalu ayahnya
menyepelekan disklesia dan ibunya
mengatakan bahwa itu bukan hal
yang baik-baik saja, padahal IQ M
adalah 147
10.00 – Sudah kelas 3 dan setelah 6 bulan
11.17 didiagnosa, tetapi tidak ada
tindakan sehingga ibunya
menyarankan untuk anaknya
dibawa ke ahli ttg disklesia. Akan
tetapi ibunya ingin mempelajari ttg
disklesia dan ingin mengajari
anaknya sendiri.
11.30 – Ibunya terus mencari bagaimana
13.00 cara menangani disklesia, kemudia
menerapkan semuanya itu kepada
anaknya sehingga anaknya bisa
membaca
13.00 – Anaknya berhasil membaca dan
14.40 ayahnya menyarankan anaknya ke
sekolah yang bagus
Diakhir cerita ibunya mengajukan
diri untuk bergabung dengan
sekolahan untuk membantu anak
disklesia dan sekolah
menyetujuinya

C. KESIMPULAN
M adalah anak laki-laki yang mengalami disklesia, M berusia 7Tahun dan memiliki IQ
147 akan tetapi M tidak bisa mengeja namanya, dan membaca. Emosi anak ini muncul
ketika M dibully oleh teman-temannya. Reaksi yang dimunculkan oleh subjek adalah :
Tidak menerima keadaan dirinya, Implusif/ tidak sabar, Tidak dapat mengontrol emosi,
Tidak realistis
D. PEMBAHASAN HASIL OBSERVASI
Anak yang mengalami learning disorder memiliki dampak yang tidak baik terhadap
kegiatan sosialisasinya dikarenakan mendapatkan perlakuan yang tidak nyaman oleh
lingkungan sekitarnya sperti : dicemooh, mendapatkan perilaku bullying, dll. Perlakuan
yang tidak nyaman tersebut akan berdampak pada kematangan emosi anak dikarenakan
anak tidak dapat mengontrol emosinya mengakibatkan emosinya meledak-ledan dan
bahkan melakukan tindakan yang implusif.
Sesuai dengan dimensi dimensi perilaku emosi pada anak learning dissorder terlihar pada
dimensi tidak menerima keadaaan dirinya, melakukan tindakan implusif, tidak dapat
mengontrol emosi serta ekspresi emosi tidak baik, tidak berpikir objektif dan realistis
sehingga tidak sabar dan mudah mengalami frustasi. M tidak dapat menerima dirinya
yang berbeda dengan anak lainya dan M merasa bahwa dia berbedan dengan teman
lainnya. Lalu M juga berperilaku implusif ketika teman-temannya membully dirinya, saat
M kesulitan membaca dan mengingat bahwa ayahnya mengatakan M sulit belajar.
Tindakan implusif yang dimunculkan M adalah memukul teman-temannya, serta
memukul buku yang sedang ia baca.

E. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN


- Kelebihan
Tidak perlu turun ke lapangan tetapi bisa mendapatkan data untuk observasi emosi
anak pada anak learning dissorder dan bisa memutar video secara berulang sehinga
dapat lebih teliti.
- Kekurangan
Data yang diperoleh terbatas, kita tidak bisa mengamati subjkek secara langsung da
penuh.

DAFTAR PUSTAKA

Haryanto, O. (2003). Model Penanganan Anak Berkesulitan Belajar Spesifik Karena Faktor
Disfungsi Minimal Otak (Dmo) Di Sekolah Dasar. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 3(3).
https://doi.org/10.21831/cp.v3i3.7425

Kendell, J dan Stefanyshyn, D. (2012). Supporting Written Output Challenges with


Technology diunduh 25 Maret 2021 dari
http://etec.ctlt.ubc.ca/510wiki/Supporting_Written_Output_Challenges_with_Technology

Lerner, Janet.W, (2000). Learning Disabilities. Edisi 9, Boston: Houghton Mifflin Company

Nekang Fabian Nfon, B. (2016). a Survey of the Mathematical Problems (Dyscalculia)


Confronting Primary School Pupils in Buea Municipality in the South West Region of
Cameroon. International Journal of Education and Research, 4(4), 437–450.

Nurmelly. (2012). Membimbing Kesulitan Belajar Siswa. c.

Raharjo, T., Kawuryan, F., & Ahyani, latifah nur. (2011). Identifikasi Learning Diability pada
Anak Sekolah Dasar.

Raharjo, T., & Wimbarti, S. (2020). Assessment of learning difficulties in the category of
children with dyslexia. Jurnal Konseling Dan Pendidikan, 8(2), 79.
https://doi.org/10.29210/141600

Riskesdas, K. (2018). Hasil Utama Riset Kesehata Dasar (RISKESDAS). Journal of Physics A:
Mathematical and Theoretical, 44(8), 1–200. https://doi.org/10.1088/1751-
8113/44/8/085201

Santrock, John W. (2004). Psikologi Pendidikan. Edisi Bahasa Indonesia Terjemahan


Winarti. McGraw-Hill Companies. Jakarta: Gramedia

Wijaya, E. (2020). Identification and Intervention of Specific Learning Disorder in Children.


Damianus Journal Of Medicine, 19(1), 70–79.

Anda mungkin juga menyukai