Anda di halaman 1dari 39

FILSAFAT ILMU

Oleh

Paul Putra Andrian / 2129071012


Putu Ayu Julis Astiti/219071010

MATA KULIAH

Filsafat Ilmu Teknologi Pembelajaran

DOSEN PENGAMPU

Prof. Dr. I Wayan Santyasa, M.Si

Dr. I Wayan Sukra Warpala, S.Pd., M.Sc.

JURUSAN S2 TEKNOLOGI PEMBELAJARAN


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Blakang
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin
terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa
dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi
penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu terus
mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal.
Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh
karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara
filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak
memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.

Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman
mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya,
ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan
pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan
berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para akhli.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, terdapat rumusan masalah yangdibahas


pada makalah ini sebagai berikut.
1. Apa pengertian filsafat ?
2. Apa hubungan filsafat ilmu dengan pendidikan?

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah yang ditulis ini memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan
makalah yang ditulis melandasi rumusan masalah diatas, sebagai berikut.
1. Mengetahui dan memahami pengertian filsafat
2. Mengetahui dan memahami hubungan filsafat ilmu dengan pendidikan

1
BAB II
PEMBAHSAN

2.1 Pengertian Filsafat


Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani
“philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos
(philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani
Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu
ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula
kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai
kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The
Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah
dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara
harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang
kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia
dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
Menurut Surajiyo (2010:1) secara etimologi kata filsafat, yangg dalam bhs Arab
dikenal dengan istilah falsafah dan dalam Bahasa Inggris di kenal dengan istilah philoshophy
adalah dari Bahasa Yunani philoshophiaterdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan
shopiayang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi istilah filsafat berarti
cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian,
seorang filsuf adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan.
Secara terminologi, menurut Surajiyo (2010: 4) filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai
pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang
dicari adalah hakikat dari sesuatu fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan
“sesuatu” adalah “sesuatu” itu adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin
ada secara mendalam dan menyeluruh. Jadi filsafat merupakan induk segala ilmu.
Susanto (2011: 6) menyatakan bahwa menurut Istilah, filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang berupaya mengkaji tentang masalah-masalah yang muncul dan berkenaan dengan segala
sesuatu, baik yang sifatnya materi maupun immateri secara sungguh-sungguh guna

2
menemukan hakikat sesuatu yang sebenarnya, mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta
berpikir secara rasional-logis, mendalam dan bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan manusia.
Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai
istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli
matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 +
b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan
yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh
para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia
merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam
perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap
alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The
Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang
ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong
pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa
dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya
untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap
awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam
perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya
dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento
Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri.
Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.

2.2 . Pengertian Dan Hakekat Ilmu


Menurut Burhanudin Salam (2005:10) Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir
secara obyektif dalam menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia fuktual dan
berprinsip untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense. Sehingga
definisi ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar-benar disusun dengan
sistematis dan metodologis untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji
atau diverifikasi kebenarannya. Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara kritis
dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh adalah epistemology
atau teori pengetahuan (theory of knowledge; Erkentnistheorie). Istilah ini berasal dari bahasa

3
yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Secara
harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu tepat pada
kedudukannya”.
The Liang Gie (1987) (dalam Surajiyo, 2010) memberikan pengertian ilmu adalah
rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti
manusia.
Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara kritis dan analitis tentang dasar-
dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh adalah epistemology atau teori pengetahuan
(theory of knowledge; Erkentnistheorie). Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu
“episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah episteme
berarti pengetahuan sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu tepat pada kedudukannya”.
Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi pada hakikatnya merupakan suatu kajian
Filosofis yang bermaksud mengkaji masalah umum secara menyeluruh dan mendasar untuk
menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Membahas Bagaimana
pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan dapat diuji kebenarannya?, manakah ruang
lingkup dan batasan-batasan kemampuan manusia untuk mengetahui?, serta membahas
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari adanya pengetahuan dan
memberi pertanggung jawaban secara rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya.
Sehingga epistemologi merupakan disiplin ilmu yang bersifat :
a) Evaluative, yaitu menilai apakah teori yang digunakan dapat dipertanggung jawabkan
secara nalar atau tidak.
b) Normative, yaitu menentukan tolok ukur kebenaran atau norma dalam bernalar.
c) Kritis, yaitu menguji penalaran cara dan hasil dari pelbagai akal (kognitif) manusia untuk
dapat ditarik kesimpulan.
Adapun cara kerja metode pendekatan epistemologi adalah dengan cara bagaimana
objek kajian itu didekati atau dipelajari. Cirinya adalah dengan adanya berbagai macam
pertanyaan yang diajukan secara umum dan mendasar dan upaya menjawab pertanyaan yang
diberikan dengan mengusik pandangan dan pendapat umum yang sudah mapan. Dengan
tujuan agar manusia bisa lebih bertanggung jawab terhadap jawaban dan pandangan atau
pendapatnya dan tidak menerima begitu saja pandangan dan pendapat secara umum yang
diberikan.

4
Berdasarkan cara kerja atau metode yang digunakan, maka epistemologi dibagi menjadi
beberapa macam. Berdasarkan titik tolak pendekatannya secara umum, epistemologi dibagi
menjadi 3, yaitu:
1) Epistemologi metafisis
Epistemologi metafisis adalah pemikiran atau pengandaian yang berasal dari paham
tertentu dari suatu kenyataan lalu berusaha bagaimana cara mengetahui kenyataan itu.
Kelemahan dari pendekatan ini adalah hanya menyibukkan diri dalam mendapatkan
uraian dari masalah yang dihadapi tanpa adanya pertanyaan dan tindakan untuk
menguji kebenarannya.
2) Epistemologi skeptis
Epistemologi skeptis lebih menekankan pada pembuktian terlebih dahulu dari apa yang
kita ketahui sampai tidak adanya keraguan lagi sebelum menerimanya sebagai
pengetahuan. Kelemahan dari pendekatan ini adalah sulitnya mencari jalan keluar atau
keputusan.
3) Epistemologi kritis
Pada Epistemologi ini tidak memperioritaskan Epistemologi manapun, hanya saja mencoba
menanggapi permasalahan secara kritis dari asumsi, prosedur dan pemikiran, baik pemikiran
secara akal maupun pemikiran secara ilmiah, dengan tujuan untuk menemukan alasan yang
rasional untuk memutuskan apakah permasalahan itu bisa diterima atau ditolak.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan atau sistem yang bersifat
menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian
tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkkan penjelasan yang ada dengan metode
tertentu. Dalam hal ini, ilmu mempunyai struktur dalam menjelaskan kajiannya. Struktur ilmu
menggambarkan bagaimana ilmu itu tersistematisir, terbangun atau terkonstruksi dalam suatu
lingkungan (boundaries), di mana keterkaitan antara unsur-unsur nampak secara jelas.
Struktur ilmu merupakan A scheme that has been devided to illustrate relationship among
facts, concepts, and generalization, yang berarti struktur ilmu merupakan ilustrasi hubungan
antara fakta, konsep serta generalisasi. Dengan keterkaitan tersebut akan membentuk suatu
bangun kerangka ilmu tersebut. sementara itu, definisi struktur ilmu adalah seperangkat
pertanyaan kunci dan metode penelitian yang akan membantu untuk memperoleh
jawabannya, serta berbagai fakta, konsep, generalisasi dan teori yang memiliki karakteristik
yang khas yang akan mengantarkan kita untuk memahami ide-ide pokok dari suatu disiplin
ilmu yang bersangkutan. Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa terdapat
dua hal pokok dalam suatu struktur ilmu, yaitu:

5
a. A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan
teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan lingkungan
(boundary) yang dimilikinya. Kerangka ilmu terdiri dari unsur-unsur yang
berhubungan, dari mulai yang konkrit (berupa fakta) sampai ke level yang abstrak
(berupa teori), semakin ke fakta maka semakin spesifik, sementara semakin mengarah
ke teori maka semakin abstrak karena lebih bersifat umum.
b. A mode of inquiry, yaitu cara pengkajian atau penelitian yang mengandung pertanyaan
dan metode penelitian guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan
dengan ilmu tersebut.
Terkadang, “pengetahuan” dan “ilmu” disama artikan, bahkan terkadang
dijadikan kalimat majemuk yang mempunyai arti tersendiri. Padahal, jika kedua kata
tersebut dipisahkan, akan mempunyai arti sendiri dan akan tampak perbedaannya.
Ilmu adalah pengetahuan. Jika dilihat dari asal katanya, “pengetahuan” di ambil dari
bahasa inggris yaitu knowledge, sedangakan “ilmu” dari kata science dan peralihan dari kata
arab ilm atau „alima (ia telah mengetahui) sehingga kata jadian ilmu berarti juga
pengetahuan. Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ditinjau dari segi bahasa,
antara pengetahuan dan ilmu mempunyai sinonim arti, namun jika dilihat dari segi arti
materialnya (kata pembentuknya) maka keduanya mempunyai perbedaan.
Dalam encyclopedia Americana, di jelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan
yang besifat positif dan sistematis. The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The
Principles Of Scientific Research dalam Amsal Bakhtiar.(2008:91) memberi batasan definisi
ilmu, yaitu suatu bentuk proses usaha manusia untuk memperoleh suatu pengetahuan baik
dimasa lampau, sekarang, dan kemudian hari secara lebih cermat serta suatu kemampuan
manusia untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta merubah sifat-
sifatnya sendiri, sedangkan menurut Carles Siregar masih dlam dalam Amsal
Bakhtiar.(2008:91) menyatakan bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan.
Ilmu dapat memungkinkan adanya kemajuan dalam pengetahuan sebab beberapa sifat
atau ciri khas yang dimiliki oleh ilmu. Burhanudin Salam (2005:23-24)mengemukakan
beberapa ciri umum dari pada ilmu, diantaranya:
1) Bersifat akumulatif, artinya ilmu adalah milik bersama. Hasil dari pada ilmu yang telah
lalu dapat digunakan untuk penyelidikan atau dasar teori bagi penemuan ilmu yang baru.
2) Kebenarannya bersifat tidak mutlak, artinya masih ada kemungkinan terjadinya
kekeliruan dan memungkinkan adanya perbaikan. Namun perlu diketahui, seandainya

6
terjadi kekeliruan atau kesalahan, maka itu bukanlah kesalahan pada metodenya,
melainkan dari segi manusianya dalam menggunakan metode itu.
3) Bersifat obyektif, artinya hasil dari ilmu tidak boleh tercampur pemahaman secara
pribadi, tidak dipengaruhi oleh penemunya, melainkan harus sesuai dengan fakta
keadaan asli benda tersebut

2.3 Pengertian Filsafat Ilmu Dan Tujuan Mempelajari Filsafat Ilmu


Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku
maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah
segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan
pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat
dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan
pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan
pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa
meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk
mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980)
bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Filsafat ilmu menurut Surajiyo (2010 : 45), merupakan cabang filsafat yang membahas
tentang ilmu. Tujuan filsafat ilmu adalah mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan
dan cara bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan
tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu
adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi
pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi
kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti
maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari
ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-
ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau
mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono

7
(1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk
memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat
ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan
ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu
menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh
sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu.
Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis,
materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan
dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya
menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai,
ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono,
1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan
pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain
sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa
dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan
metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks
dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari
kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
Adapun tujuan mempelajari filsafat ilmu menurut Amsal Bakhtiar (2008:20) adalah:
a) Mendalami unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami
sumber, hakekat dan tujuan ilmu.
b) Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmudi berbagai bidang
sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporermsecara historis.
c) Menjadi pedoman untuk membedakan studi ilmiah dan non ilmiah.
d) Mempertegas bahwa persoalan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
Bagi mahasiswa dan peneliti, tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah
1) seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri
dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis.
2) seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan
tepat dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu
kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan

8
sebagainya) tetapi juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia, seperti:
lingkungan hidup, peristiwa sejarah, kehidupan sosial politik dan sebagainya.
3) Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan
ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh
bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan
implikasi etis. Contoh dampak tersebut misalnya masalaheuthanasia dalam dunia
kedokteran masih sangat dilematis dan problematik, penjebolan terhadap sistem sekuriti
komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI) , plagiarisme
dalam karya ilmiah.

2.4 Hubungan Filsafat Ilmu Dengan Ilmu-Ilmu Lain


Filsafat adalah induk dari ilmu penegtahuan. Ilmu – ilmu khusus merupakan bagian
dari filsafat. Karena obyek filsafat sangat umum (seluruh kenyataan), sedangkan ilmu
membutuhkan obyek material yang khusus, mengakibatkan berpisahnya ilmu dari filsafat
(namun tidak berarti hubungannya putus). Ciri – ciri yang dimilki oleh setiap ilmu,
menimbulkan batas - batas yang tegas antar masing – masing ilmu. Disinilah filsafat bertugas
:
1) Berusaha menyatupadakan masing – masing ilmu
2) Mengatasi spesialisasi
3) Merumuskan pandangan yang didasarkan atas pengalaman manusia
4) Mengatur hasil – hasil berbagai ilmu khusus ke dalam sesuatu pandangan hidup dan
pandangan dunia yang tersatupadukan (integral), komperhensif, dan konsisten.
(Komprehensif : tidak ada satu bidang yang berada di luar jangkuan filsafat,
Konsisten : uraian kefilsafatan tidak menyusun pendapat –pendapat yang saling
berkontradiksi
Hubungan timbak balik antara ilmu dan filsafat, bahwa ilmu dapat menyediakan bahan
berupa fakta – fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide filsafat, sehingga sejalan
dengan pengetahuan ilmiah.
Filsafat ilmu secara kritis menganalisis konsep – konsep dasar dan memeriksa asumsi –
asumsi dari ilmu – ilmu untuk memperoleh arti validitasnya, sehingga hasil yang dicapai
mempunyai landasan yang kuat. Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah
merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana
dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada
upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-

9
masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat hubungan
keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektuan manusia
Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas
mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan
antara ilmu dan filsafat, disamping dikalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan
pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, dimikian juga dikalangan filsuf terdapat
perbedaan pandangan dalam memberikan makna dan tugas filsafat.
Adapaun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa
keduanya menggunakan berfikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta
dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis,
berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada
pengetahuan yang terorganisisr dan sistematis.
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana
ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam
pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman
indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan
filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif
dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih
bersifat sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi
kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan
bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema
masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan
klaim agama, moral serta seni.
Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai batasan
yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa
dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa
dipertanyakan atau dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat
dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif
dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda.
Hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Filsafat mempunyai objek yang lebih luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-ilmu
pengetahuan objeknya terbatas, khusus lapangannya saja.

10
2. Filsafat hendak memberikan pengetahuan, insight/pemahaman lebih dalam dengan
menunjukan sebab-sebab yang terakhir, sedangkan ilmu pengetahuan juga
menunjukkan sebab-sebab tetapi yang tak begitu mendalam.
2.5 Filsafat Pendidikan
Menurut Muhmidayeli. (2011: 35) Filsafat pendidikan adalahupaya menerapkan
kaidah-kaidah berpikir filsafat dalam ragam pencarian solusi berbagai ragam problem
kependidikan yang akan melahirkan pemikiran utuh tentang pendidikan yang tentunya
merupakan langkah penting dalam menemukan teori-teori tentang pendidikan. Menurut John
Dewey dalam Jalaluddin dan Idi (2007: 19 – 21) filsafat pendidikan merupakan suatu
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir
(intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia.
Sedangkan Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany dalam Muhmidayeli.
(2011: 35), filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah-kaidah
filsafat dalam bidang pengalaman kemanusiaan yaang disebut dengan pendidikan.
Filsafat pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti
bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat. Masalah-masalah
pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat umum, seperti:
a) Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuk mencapainya;
b) Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima pendidikan;
c) Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial;
d) Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk mencapainya.
Selanjutnya al-Syaibany (1979) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas yang
diharapkan dilakukan oleh seorang filsuf pendidikan, di antaranya:
a) Merancang dengan bijak dan arif untuk menjadikan proses dan usaha-usaha
pendidikan pada suatu bangsa;
b) Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar beriman kepada Tuhan
dengan segala aspeknya;
c) Menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat, dan mengubah cara-cara
hidup mereka ke arah yang lebih baik;
d) Mendidik akhlak, perasaan seni, dan keindahan pada masyarakat dan menumbuhkan
pada diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan cara-cara mencapai kebenaran
tersebut.
Filsuf pendidikan harus memiliki pikiran yang benar, jelas, dan menyeluruh tentang
wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan, kemansiaan, pengetahuan

11
kealaman, dan pengetahuan sosial. Filsuf pendidikan harus pula mampu memahami nilai-nilai
kemanusiaan yang terpancar pada nilai-nilai kebaikan, keindahan, dan kebenaran.
Gandhi HW (2011: 84) setelah mengkaji makna filsafat pendidikan dari berbagai ahli Ia
menyatakan bahwa: “Filsafat pendidikan tidak lain adalah penerapan upaya metodis filsafat
untk mempersoalkan konsepsi-konsepsi yang melandasi upaya-upaya manusia di dalam
membangun hidup daan kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas.
Sedangkan upaya-upayafilsafat dalam mempersoalkan adalah guna mengarahkan
penyelenggaraan pendidikan pada kondisi-kondisietika yang diidealkan. Dalam makna lain,
filsafat pendidikan adalah flsifikasi pendidikan, baik dlm makna teoritis konseptual maupun
makna praktis-pragmatis yang menggejala.
.
2.6 Hubungan Filsafat Ilmu Dengan Pendidikan Dan Filsafat Pendidikan

1. Hubungan Filsafat Ilmu Dengan Pendidikan


Hubungan filsafat ilmu dengan pendidikan. Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan
yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakekat ilmu (Benny Irawan, 2011:49) Filsafat
ilmu bertujuan mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana ilmu
pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri
pengetahuan ilmiah dan cara memperolehnya Sebaliknya realita seperti pengalaman pendidik
menjadi masukan dan pertimbangan bagi filsafat ilmu untuk mengembangkan pemikiran
pendidikan. Hubungan fungsional antara filsafat ilmu dengan pendidikan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1) Filsafat ilmu, merupakan satu cara pendekatan yang dipakai dalam memecahkan
problematika pengembangan ilmu pendidikan dan menyusun teori-teori pendidikan
oleh para ahli.
2) Filsafat ilmu, berfungsi memberi arah bagi pengembangan teori pendidikan yang telah
ada dan memilki relevansi dengan kehidupan yang nyata.
3) Filsafat ilmu dan pendidikan mempunyai hubungan saling melengkapi, yang dapat
bermakna bahwa realita pendidikan dapat mengembangkan filsafat ilmu, dan filsafat
ilmu itu sendiri dapat membantu realita perkembangan pendidikan.

2. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Filsafat Pendidikan


Pandangan filsafat pendidikan sama peranannya dengan landasan filosofis yang
menjiwai seluruh kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan. Antara filsafat dan pendidikan

12
terdapat kaitan yang sangat erat. Filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan
masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra tersebut.
Filsafat pendidikan mengadakan tinjauan yang luas mengenai realita, antara lain
tentang pandangan dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep mengenai ini dapat menjadi
landasan penyusunan konsep tujuan dan metodologi pendidikan. Di samping itu, pengalaman
pendidik dalam menuntun pertumbuhan dan perkembangan anak akan berhubungan dan
berkenalan dengan realita. Semuanya itu dapat digunakan oleh flsafat pendidikan sebagai
bahan pertimbangan dan tinjauan untuk memngembangkan diri.
Filsafat ilmu dengan filsafat pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat. Bagi
perkembangan filsafat pendidikan, filsafat ilmu merupakan landasan filosofis yang menjiwai
pengembangan ilmu pendidikan dan teori-teori pendidikan. Filsafat ilmu mencoba
memberikan dasar bagi pengembangan filsafat pendididkan dalam kerangka mengembangkan
ilmu pendidikan dan teori-teori pendidikan.
Selain itu, hubungan filsafat ilmu dengan filsafat pendidikan juga dapat dimaknai
bahwa filsafat ilmu mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam
pengembangan ilmu pendidikan (pedagogic) maupun teori-teori pendidikan baik dari segi
ontologi (tujuan), epistemologi (metode), maupun axiologi (nilai).

2.7 Hakekat Manusia


1. Manusia : Pandangan Antropologi
Menurut Koentjaraningrat, antropologi adalah “ilmu tentang manusia”. Dalam
perkembangannya di Amerika, antropologi dipakai dalam arti yang sangat luas, karena
meliputi baik bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia”. Pada bahasan
selanjutnya akan dikemukakan mengenai manusia dalam pandangan antropologi.
Para ahli biologi pada abad ke-19-an menyimpulkan bahwa manusia merupakan
mahluk hidup yang terbentuk dari jutaan sel.
Pada awalnya di dunia ini hanya ada satu sel yang kemudian berkembang dan
mengalami percabangan-percabangan. Percabangan ini mengakibatkan adanya variasi
mahluk hidup di dunia ini. Menurut Charles Darwin dalam teori Evolusinya, manusia
merupakan hasil evolusi dari kera yang mengalami perubahan secara bertahap dalam waktu
yang sangat lama. Dalam perjalanan waktu yang sangat lama tersebut terjadi seleksi alam.
Semua mahluk hidup yang ada saat ini merupakan organisme-organisme yang berhasil lolos
dari seleksi alam dan berhasil mempertahankan dirinya.

13
Para ahli biologi yang menyimpulkan bahwa semua mahluk hidup di dunia berasal
dari suku primat yang terbagi menjadi 2 cabang yaitu Anthropoid dan Prosimii. Berdasarkan
klasifikasi tersebut, manusia ditempatkan pada subsuku Anthropoid yang dibagi menjadi 3
infrasuku yaitu, Infrasuku Ceboid, infrasuku Cercopithedoid dan infrasuku
Hominoid. Infrasuku Hominoid terbagi kedalam 3 keluarga yaitu Pongidae, Ramapithecas
dan Hominidae. Manusia berada pada percabangan kaluarga Hominidae. Keluarga
Hominidae menggabungkan manusia purba jenis Pithecanthropus dengan Homo Neanderthal
dan dengan manusia sekarang atau Homo Sapiens. Jenis Homo Sapiens yang ada sampai saat
ini terdiri dari 4 ras yaitu ras Negroid, Caucasoid, Mongoloid dan Austrloid
Dapat disimpulkn bahwa manusia dalam pandangan Antropologi terbentuk dari satu sel
sederhana yang mengalami perubahan secara bertahap dengan waktu yang sangat lama
(evolusi). Berdasarkan teori ini, manusia dan semua mahluk hidup di dunia ini berasal dari
satu moyang yang sama. Nenek moyang manusia adalah kera. Teori Evolusi yang dikenalkan
oleh Charles Darwin ini akhirnya meluas dan terus dipakai dalam antropologi.

2. Manusia : Pandangan Ilmu Sosial (sosiologi)


Konsep manusia dalam Sosiologi belum sepenuhnya melihat manusia sebagai suatu
makhluk yang utuh dan mandiri. Menurut Bapak ahli Sosiologi modern, Agus Comte.
Pandangan beliau banyak dipengaruhi oleh Louis de Bonald, Seorang filsuf Perancis yang
lahir pada tahun 1875.
Comte berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan individu. Baginya Manusia
itu ada untuk masyarakat dan masyarakatlah yang menentukan segala-galanya. Comte
melihat bahwa manusia adalah non rational. Oleh karena itu menurutnya “Individual
Liberty” justru akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Demikian
juga dalam masyarakat, tak seorangpun dapat berpendapat lain dari pada apa yang telah
diputuskan oleh golongan tertinggi masyarakat itu, yaitu “The Intellectual Scientific
Religious Group.” Ini berarti bahwa manusia adalah hanya suatu bagian dari masyarakat. Ia
hidup dalam masyarakat tetapi ia tidak dapat mengarahkan masyarakat sesuai dengan
keinginannya. Dalam pendidikan manusia diibaratkan suatu benda kosong dan adalah tugas
masyarakat untuk mengisinya dengan norma-norma atau nilai-nilai yang dapat membuat
masyarakat ini berbuat secara lebih terarah dalam artian tidak menggangu sistem. Oleh
karena itu Sosialisasi dalam kehidupan manusia dipandang sangat penting.
Bagi Indonesia, konsep manusia yang diberikan oleh Comte sulit untuk diterima,
karena konsep tersebut terlalu memberikan porsi yang besar pada masyarakat, sedangkan

14
individu tidak diberi kesempatan untuk aktif melakukan kegiatan kemasyarakatan.
Pemerintah Indonesia bertujuan membentuk manusia seutuhnya, artinya melihat manusia
tidak hanya sekedar menerima nilai-nilai masyarakat saja, tetapi ia juga dapat menciptakan
nilai-nilai baru dan menyampaikannya pada masyarakat. Oleh karena itu partsipasi seluruh
rakyat dalam proses pembangunan adalah sangat penting dan diperlukan.
Hakikat manusia dilihat dari sosiologi tidak lepas dari manusia secara individu dan
manusia dalam artian masyarakat. Manusia sebagai individu mempunyai ciri bebas, unik
dituntut untuk mengikuti masyarakat yang mempunyai sifat memaksa terhadap anggota
masya-rakatnya. Individu memiliki ciri interpretatif, artinya individu tersebut memiliki
persepsi atau cara pikir tersendiri mengenai sesuatu. Ketika ia diajarkan sebuah nilai dan
norma dalam sebuah masyarakat, individu tersebut tidak sekedar menerimanya begitu saja, ia
menggunakan kemampuannya dalam menginterpretasikan nilai tersebut. Sehingga
jika terdapat kekurangan dalam nilai dan norma tersebut individu bisa melengkapinya

3. Manusia : Pandangan Ilmu Pendidikan


Pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai
mungkin tidaknya manusia dididik terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran
tersebut adalah nativisme, empirisme, dan konvergensi.
Menurut nativisme, manusia tidak perlu dididik, sebab
perkembangan manusia sepenuhnya oleh bakat yang secara alami sudah ada pada dirinya.
Sedangkan menurut penganut empirisme adalah sebaliknya. Perkembangan dan pertumbuhan
manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandang
pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan manusia (Jalaluddin dan Ali
Ahmad Zen, 1996:52). Adapun aliran ketiga, yaitu konvergensi merupakan perpaduan
antara kedua pendapat tersebut. Menurut mereka memang manusia memiliki kemampuan
dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensiitu hanya dapat berkembang jika ada
pengarahan pembinaan sertabimbingan dari luar (lingkungan). Harus ada perpaduan antara faktor
dasar (potensi dan bakat) dan ajar (bimbingan). Perkembangan seorang manusia tidak hanya
ditentukan oleh kemampuan potensi bakat yang dibawanya. Tanpa ada intervensi dari luar
(lingkungan) bakat/potensi seseorang tak mungkin berkembang dengan baik.
Pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia atau upaya membantu manusia
agar mampu mewujudkan diri sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sebab manusia menjadi manusia
yang sebenarnya jika ia mampu merealisasikan hakikatnya secara total maka pendidikan

15
hendaknya merupakan upaya yang dilaksanakan secara sadar dengan bertitik tolak pada
asumsi tentang hakikat manusia.
Pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai
mungkin tidaknya manusia dididik terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan. Aliran-
aliran tersebut adalah nativisme, empirisme, dan kovergensi.
Menurut nativisme, manusia tidak perlu dididik, sebab
perkembangan manusia sepenuhnya oleh bakat yang secara alami sudah ada pada dirinya.
Sedangkan menurut penganut empirisme adalah sebaliknya. Perkembangan dan pertumbuhan
manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandag
Pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan manusia
(Jalaluddin dan Idi, Abdullah. 2007:52). Adapun aliran ketiga, yaitu konvergensi merupakan
perpaduan antara kedua pendapat tersebut. Menurut mereka memang manusia memiliki
kemampuan dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi itu hanya dapat berkembang jika ada
pengarahan pembinaan serta bimbingan dari luar (lingkungan). Harus ada perpaduan antara
faktor dasar (potensi dan bakat) dan ajar (bimbingan). Perkembangan
seorang manusia tidak hanya ditentukan oleh kemampuan potensi bakat yang dibawanya.
Tanpa ada intervensi dari luar (lingkungan) bakat/potensi seseorang tak mungkin berkembang
dengan baik.
Salah satu konsep kependidikan yang banyak dianjurkan pada lembaga-lembaga
pendidikan guru umumnya menggambarkan pendidikan sebagai bantuan pendidik untuk
membuat subjek didik menjadi dewasa. Manusia yang belum dewasa, proses perkembangan
kepribadiannya menuju pembudayaan maupun proses pematangan disebut sebagai objek
pendidikan ( individu yang dibina ).
Hakikat manusia sebagai subjek didik mengandung arti sebagai berikut:
1) Manusia bertanggung jawab atas pendidikannya sesuai wawasan pendidikan seumur hidup
2) Manusia punya potensi baik fisik maupun psikis yang berbeda-beda
3) Manusia adalah insane yang aktif
4) Masalah jasmani dan rohani
Manusia adalah mahluk Ciptaan tuhan yang paling sempurna, manusia mempunyai
keistemewaan dibanding dengan mahluk lain, dan kesempurnaan ini dapat meningkatkan
kehidupannya. Pada awalnya manusia cenderung melakukan pendidikan pada dirinya sendiri
dengan berusaha mengerti dan mencari hakikat kepribadian siapa diri mereka sebenarnya.
Dengan berfikir atau bernalar, merupakan suatu bentuk kegiatan akal manusia melalaui
pengetahuan yang diterima melalui panca indra diolah dan ditunjukkan untuk mencapai suatu

16
kebenaran. Sesuai dengan makna filsafat yaitu sebagai ilmu yang bertujuan untuk berusaha
memahami semua yang timbul dalam keseluruhan lingkup pengalan manusia, maka manusia
memerlukan ilmu dalam mewujudkan pemahamn tersebut (Dr. jamaluddin, filsafat
pendidikan, 1997).
Manusia Mahkuk Pengetahuan
Manusia berbeda dengan mahluk lainnya. Manusia lahir dengan potensi kodratnya yaitu
Cipta, Rasa, dan Karsa. Cipta adalah kemampuan spiritual, yag secara khusus
mempersoalkan nilai kebenaran. Rasa adalah kemampuan spiritual yang mempersoalkan nilai
Keindahan. Sedangkan Karsa adalah kemampuan spiritual yang secara khusus
mempersoalkan nilai kebaikan. Ketiga jenis nilai tersebut dibingkai dalam sebuah ikatan
system, selanjutnya dijadikanlah landasan dasar untuk mendirikan filsafat hidup, menentukan
Landasan Hidup, dan mengatur sikap dan perilaku hidup agar senantiasa terarah ke
pencapaian tujuan hidup.

Manusia Mahluk Berpendidikan


Dengan kemampuan pengetahuan manusia yang benar, manusia berusaha menjaga dan
mengembangkan kelangsungan hidupnya. Manusia berusaha mengamalkan pengetahuannya
di dalam perilaku sehari-hari. Sejak lahir, seorang manusia sudah terlibat langsung dalam
kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dijaga, dididik, dan dilatih oleh orang
tua, keluarga, dan masyarakat menuju tingkat kedewasaan dan kematangan, sampai terbentuk
potensi kemandirian dalam mengelola kelangsungan hidupnya. Kegiatan pendidikan dan
pembelajaran tersebut diselenggarakan secara Konvensional (alami) menurut pengalaman
hidup, sampai cara-cara formal yang metodik dan sistematik institusional (pendidikan di
sekolah), menurut kemampuan konseptik-rasional.

17
4. Manusia : Pandangan Filsfat Ilmu
Pandangan filsafat terhadap manusia dapat dipandang dari beberapa sudut pandang
yakni dari:
a) Teori Descendensi
Beberapa ahli filsafat berbeda pemikiran dalam mendefinisikan manusia. Manusia adalah
makhluk yang concerned (menaruh minat yang besar) terhadap hal-hal yang berhubungan
dengannya, sehingga tidak ada henti-hentinya selalu bertanya dan berpikir.
Aristoteles (384-322 SM), seorang filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia
adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara
berdasarkan akal-pikirannya. Juga manusia adalah hewan yang berpolitik (zoonpoliticon,
political animal), hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi
pengelompokkan yang impersonal dari pada kampung dan negara. Manusia berpolitik karena
ia mempunyai bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam
masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Ini
berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan suatu cita keadilan.
Berdasarkan Thomas Hobbes, manusia disebut Homo homini lupus artinya manusia yang satu
serigala manusia yang lainnya (berdasarkan sifat dan tabiat)
Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan
kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa.
Menurut Nietsche, bahwa manusia sebagai binatang kekurangan (a shortage animal). Selain
itu juga menyatakan bahwa manusia sebagai binatang yang tidak pernah selesai atau tak
pernah puas (das rucht festgestelte tier). Artinya manusia tidak pernah merasa puas dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Julien, bahwa manusia manusia tak ada bedanya dengan hewan karena manusia
merupakan suatu mesin yang terus bekerja (de lamittezie). Artinya bahwa dari aktivitas
manusia dimulai bangun tidur sampai ia tidur kembali manusia tidak berhenti untuk
beraktivitas.
Menurut Ernest Haeskel, bahwa manusia merupakan (animalisme), tak ada sanksi bahwa
segala hal manusia sungguh-sungguh ialah binatang beruas tulang belakang yakni hewan
menyusui. Artinya bahwa tidak diragukan lagi manusia adalah sejajar dengan hewan yang
menyusui.

18
Menurut William Ernest, bahwa manusia adalah hewan yang berfikir dalam istilah totalitas,
dan hewan yang berjiwa. Artinya manusia mempunyai akal pikiran untuk memikirkan segala
hal dan manusia memiliki jiwa.
Menurut Adi Negara bahwa alam kecil sebagian alam besar yang ada di atas bumi. Sebagian
dari makhluk yang bernyawa, sebagian dari bangsa antropomoker, binatang yang menyusui,
akan tetapi makhluk yang mengetahui keadaan alamnya, yang mengetahui dan dapat
menguasai kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya (lahir dan batin).
Kesimpulannya:
1) Menurut teori descendensi bahwa meletakkan manusia sejajar dengan hewan berdasarkan
sebab mekanis.
2) Keistimewaan ruhaniyah manusia dibandingkan dengan hewan terlihat dalam kenyataan
bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir, berpolitik, mempunyai
kebebasan/kemerdekaan, memiliki sadar diri, mempunyai norma, tukang bertanya atau
tegasnya manusia adalah makhluk berbudaya.
3) Manusia mempunyai aktivitas yang hampir sama dengan aktivitas yang dilakukan oleh
hewan.

b) Aliran Metafisika
Metafisika berasal dari bahasa Yunani Meta ta physica yang dapat diartikan sesuatu yang ada
di balik atau di belakang benda-benda fisik.
Menurut Prof. S. Takdir Alisyahbana, metafisika ini dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu
: (1) yang mengenai kuantitas (jumlah) dan (2) yang mengenai kualitas (sifat).Yang mengenai
kuantitas terdiri atas (a)monisme, (b) dualisme, dan (c) pluralisme. Monisme adalah aliran
yang mengemukakan bahwa unsur pokok segala yang ada ini adalah esa (satu). Dualisme
adalah aliran yang berpendirian bahwa unsur pokok yang ada ini ada dua, yaitu roh dan
benda. Pluralisme adalah aliran yang berpendapat bahwa unsur pokok hakikat kenyataan ini
banyak. Yang mengenai kualitas dibagi juga menjadi dua bagian besar, yakni (a) yang
melihat hakikat kenyataan itu tetap, dan (b) yang melihat hakikat kenyataan itu sebagai
kejadian.Yang termasuk golongan pertama (tetap) ialah:” Spiritualisme, yakni aliran yang
berpendapat bahwa hakikat itu bersifat roh.” Materialisme, yakni aliran yang berpendapat
bahwa hakikat itu bersifat materi. Yang termasuk golongan kedua (kejadian) ialah:”
Mekanisme, yakni aliran yang berkeyakinan bahwa kejadian di dunia ini berlaku dengan
sendirinya menurut hukum sebab-akibat.” Aliran teleologi, yakni aliran yang berkeyakinan

19
bahwa kejadian yang satu berhubungan dengan kejadian yang lain, bukan oleh hukum
sebab-akibat, melainkan semata-mata oleh tujuan yang sama.
Pandangan filsafat terhadap aliran metafisika adalah memandang sesuatu yang ada pada diri
manusia yakni sebagai berikut:
1) Serba zat: manusia terdiri dari sel yang mengacu pada materialisme / sesuatu yang nyata /
ada. Beranggapan yang sesungguhnya ada hanya materi saja yang bisa ditangkap oleh
pancaindera.
2) Serba ruh: identik dengan jiwa, mencakup ingatan, imajinasi, kemauan, perasaan,
penghayatan.
Jadi, asal manusia dari suatu yang ada dan tak bergantung dari yang lain. Hakikat manusia
ialah dari ruh yang ditiupkan oleh Tuhan. Artinya manusia tersusun dari zat yang ada dengan
diberikannya ruh oleh Tuhan sehingga menyebabkan manusia dapat hidup. Manusia
mempunyai fisik yaitu jasadnya. Selain jasad manusia juga mempunyai ruh atau yang tidak
dapat ditangkap oleh panca indera yakni berhubungan dengan jiwa mencakup ingatan,
gagasan, imajinasi, kemauan, perasaan dan penghayatan.
c) Psikomatik
Memandang manusia hanya terdiri atas jasad yang memiliki kebutuhan untuk menjaga
keberlangsungannya artinya manusia memerlukan kebutuhan primer (sandang, pangan dan
papan) untuk keberlangsungan hidupnya.
Manusia terdiri dari sel yang memerlukan materi cenderung bersifat duniawi yang diatur oleh
nilai-nilai ekonomi (dinilai dengan harta / uang) artinya manusia memerlukan kebutuhan
duniawi yang harus dipenuhi, apabila kebutuhan tersebut sudah terpenuhi maka mereka akan
merasa puas terhadap pencapaiannya.
Manusia juga terdiri dari ruh yang memerlukan nilai spiritual yang diatur oleh nilai
keagamaan (pahala). Dalam menjalani kehidupan duniawi manusia membutuhkan ajaran
agama, melalui ceramah keagamaan untuk memenuhi kebutuhan rohaninya.
Manusia sempurna jika mengembangkan unsur rasionalitas, kesadaran, akal budi, spritualitas,
moralitas, sosialitas, kesesuian dengan alam.
1) Rasionalitas
Secara etimologis rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar
dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey7 menambahkan bahwa
berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa
akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara
terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal

20
harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai
sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari
pengamatan inderawi.
Pola pikir secara rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa
kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan
fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan
dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka
bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar
kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk
tersebut: Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya.
Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen
alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme
yang antroposentrik. Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan
atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-
dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada
pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah
atheis.

2) Kesadaran
Manusia dikatakan manusia sempurna apabila manusia mempunyai kesadaran hidup.
Kesadaran berarti manusia melakukan segala sesuatu atas dorongan dari diri sendiri bukan
paksaan dari orang lain.Kesadaran adalah keadaan seseorang di mana ia tahu/mengerti
dengan jelas apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan pikiran bisa diartikan dalam banyak
makna, seperti ingatan, hasil berpikir, akal, gagasan ataupun maksud/niat.
Sebagai gambaran untuk memperjelas, misalnya ada seorang anak melihat balon. Keadaan
melihat tersebut yang ia sadari sendiri itu dinamakan kesadaran. Sedangkan balon yang ia
lihat yang menimbulkan anggapan besar atau berwarna hijau disebut pikiran (persepsi).
Reaksi bagus dan indah sehingga anak tersebut suka adalah bentuk dari perasaan. Kemudian
reaksi pikiran yang menginginkan balon tersebut itu yang dimaksud dengan
niat/kehendak/maksud. Kata pikiran bermakna sangat luas sehingga ada yang
menggunakannya dalam konteks sebagai niat atau kehendak.
3) Akal budi

21
Akal budi yang baik akan mengarahkan manusia ke jalan yang lurus. Mungkin pada suatu
saat manusia akan mundur atau menyimpang salah jalan. Tetapi akal budi inilah yang akan
berupaya meluruskan kembali jalan hidup kita.Akal budi ini adalah anugerah terbesar dari
Tuhan untuk manusia. Inilah yang membedakan kita dengan hewan atau bahkan dengan
tumbuhan. Dengannya kita dapat mempelajari dan mendalami keimanan. Dengan iman inilah
manusia dengan akal budinya mampu mengenali Tuhan.
Tetapi banyak orang yang tertipu karena keterbatasan akal budinya dan menganggap pikiran
manusia berseberangan dengan iman. Tetapi yang benar adalah iman itu sebagai penuntun
akal budi agar perjalanan hidup manusia tidak menyimpang alias salah jalan. Dan dengan
akal budi kita dapat memperdalam iman. Dengan iman, manusia mampu mengenal Tuhan
dan berjalan lurus menuju kepada-Nya.
4) Spiritualitas
Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa kata "spiritual" itu diambil dari bahasa Latin,
Spiritus, yang berarti sesuatu yang memberikan kehidupan atau vitalitas. Dengan vitalitas itu
maka hidup kita menjadi lebih "hidup". Spiritus ini bukan merupakan label atau identitas
seseorang yang diterima dari / diberikan oleh pihak luar, seperti agama, melainkan lebih
merupakan kapasitas bawaan dalam otak manusia. Artinya, semua manusia yang lahir ke
dunia ini sudah dibekali kapasitas tertentu di dalam otaknya untuk mengakses sesuatu yang
paling fundamental dalam hidupnya. Jika kapasitas itu digunakan / diaktifkan, maka yang
bersangkutan akan memiliki vitalitas hidup yang lebih bagus. Kapasitas dalam otak yang
berfungsi untuk mengakses sesuatu yang paling fundamental itulah yang kemudian
mendapatkan sebutan ilmiyah, seperti misalnya: Kecerdasan Spiritual (SQ), Kecerdasan
Hati (Heart Intelligence), Kecerdasan Transendental, dan lain-lain.
Spiritual di dalam diri kita selalu mendorong untuk menemukan makna hidup yang lebih
dalam, nilai-nilai fundamental yang lebih bermanfaat, kesadaran akan adanya tujuan hidup
yang lebih panjang, dan peran yang dimainkan oleh makna, nilai, dan tujuan itu dalam
tindakan, strategi dan proses berpikir.
5) Moralitas
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi
pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak
baik. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal kenyakinan dan
sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan
hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral

22
seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan
kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati
manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati
disadari sebagai kewajiban mutlak.
6) Sosialitas
Sosialisasi mengacu pada suatu proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari
seseorang yang tidak tahu menahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan
memahami. Agen sosialisasi meliputi keluarga, teman bermain, sekolah dan media massa.
Keluarga merupakan agen pertama dalam sosialisasi yang ditemui oleh anak pada awal
perkembangannya. Kemudian kelompok sebaya sebagai agen sosialisasi di mana si anak akan
belajar tentang pengaturan peran orang-orang yang berkedudukan sederajat. Sekolah sebagai
agen sosialisasi merupakan institusi pendidikan di mana anak didik selama di sekolah akan
mempelajari aspek kemandirian, prestasi, universalisme serta spesifisitas. Agen sosialisasi
yang terakhir adalah media massa di mana melalui sosialisasi pesan-pesan dan simbol-simbol
yang disampaikan oleh berbagai media akan menimbulkan berbagai pendapat pula dalam
masyarakat.
Dalam rangka interaksi dengan orang lain, seseorang akan mengembangkan suatu keunikan
dalam hal perilaku, pemikiran dan perasaan yang secara bersama-sama akan membentuk self.
7) Keselarasan dengan alam
Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan
merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan, atau antara tuhan dengan
hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Manusia
diperintahkan untuk memerankan fungsi kekhalifahannya yaitu kepedulian, pelestarian dan
pemeliharaan. Berbuat adil dan tidak bertindak sewenang -wenang kepada semua makhluk
sehingga hubungan yang selaras antara manusia dan alam mampu memberikan dampak
positif bagi keduanya. Oleh karena itu manusia diperintahkan untuk mempelajari dan
mengembangkan pengetahuan alam guna menjaga keseimbangan alam dan meningkatkan
keimanan kepada Allah SWT. Itu merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah
SWT

23
2.8 Makna Filsafat, Pengetahuan, Ilmu Pengetahuan, Filsafat Ilmu dan Filsafat
Pendidikan
1. Pengertian Filsafat
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani
“philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos
(philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani
Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu
ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula
kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai
kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The
Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah
dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara
harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang
kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia
dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
Menurut Surajiyo (2010:1) secara etimologi kata filsafat, yangg dalam bhs Arab
dikenal dengan istilah falsafah dan dalam Bahasa Inggris di kenal dengan istilah philoshophy
adalah dari Bahasa Yunani philoshophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan
shopia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi istilah filsafat berarti
cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian,
seorang filsuf adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan.
Secara terminologi, menurut Surajiyo (2010: 4) filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai
pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang
dicari adalah hakikat dari sesuatu fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan
“sesuatu” adalah “sesuatu” itu adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin
ada secara mendalam dan menyeluruh. Jadi filsafat merupakan induk segala ilmu.
Susanto (2011: 6) menyatakan bahwa menurut Istilah, filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang berupaya mengkaji tentang masalah-masalah yang muncul dan berkenaan dengan segala
sesuatu, baik yang sifatnya materi maupun immateri secara sungguh-sungguh guna
menemukan hakikat sesuatu yang sebenarnya, mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta
berpikir secara rasional-logis, mendalam dan bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan manusia.

24
Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai
istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli
matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 +
b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan
yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh
para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia
merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam
perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap
alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The
Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang
ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong
pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa
dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya
untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap
awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam
perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya
dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento
Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri.
Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.

2. Pengetian Pengetahuan
Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh
seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep,
teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna.
Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal
budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau
dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya,
ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman dan
potensi untuk menindaki; yang lantas melekat di benak seseorang. Pada umumnya,
pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas

25
suatu pola. Manakala informasi dan data sekedar berkemampuan untuk menginformasikan
atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk
mengarahkan tindakan. Ini lah yang disebut potensi untuk menindaki.
Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai
matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa
common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada
adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini
landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak
teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian
pengetahuan lebih cendrung trial and errordan berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto,
2003).
Dilihat dari asal katanya, pengetahuan berasal dari kata tahu. Pengetahuan menandakan
bahwa seseorang telah mengerti mengenai sesuatu. Misalnya ibu A telah membaca sebuah
artikel mengenai jerawat kemudian tahu bahwa jeruk nipis adalah salah satu obat jerawat
yang alami. Pengetahuan ibu A tersebut tidak bisa disebut sebagai ilmu. Untuk mendapatkan
ilmu seseorang harus belajar lebih detail misalnya dengan mengetahui tipe-tipe kulit,
penyebab jerawat, penanganan kulit berjerawat berdasarkan jenisnya. Jenis-jenis jerawat,
proses penyembuhan jerawat, zat-zat yang dibutuhkan untuk menumpas factor penyebab
jerawat, dan sebagainya. Tentunya yang dapat memahami detail jerawat tersebut adalah
dokter kulit.

3. Pengetian Dan Hakekat Ilmu Pengetahuan


Menurut Burhanudin Salam (2005:10) Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir
secara obyektif dalam menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia fuktual dan
berprinsip untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense. Sehingga
definisi ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar-benar disusun dengan
sistematis dan metodologis untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji
atau diverifikasi kebenarannya. Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara kritis
dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh adalah epistemology
atau teori pengetahuan (theory of knowledge; Erkentnistheorie). Istilah ini berasal dari bahasa
yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Secara
harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu tepat pada
kedudukannya”.

26
The Liang Gie (1987) (dalam Surajiyo, 2010) memberikan pengertian ilmu adalah
rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti
manusia.
Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara kritis dan analitis tentang dasar-
dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh adalah epistemology atau teori pengetahuan
(theory of knowledge; Erkentnistheorie). Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu
“episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah episteme
berarti pengetahuan sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu tepat pada kedudukannya”.
Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi pada hakikatnya merupakan suatu kajian
Filosofis yang bermaksud mengkaji masalah umum secara menyeluruh dan mendasar untuk
menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Membahas Bagaimana
pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan dapat diuji kebenarannya?, manakah ruang
lingkup dan batasan-batasan kemampuan manusia untuk mengetahui?, serta membahas
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari adanya pengetahuan dan
memberi pertanggung jawaban secara rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya.
Sehingga epistemologi merupakan disiplin ilmu yang bersifat :
d) Evaluative, yaitu menilai apakah teori yang digunakan dapat dipertanggung jawabkan secara
nalar atau tidak.
e) Normative, yaitu menentukan tolok ukur kebenaran atau norma dalam bernalar.
f) Kritis, yaitu menguji penalaran cara dan hasil dari pelbagai akal (kognitif) manusia untuk
dapat ditarik kesimpulan.
Adapun cara kerja metode pendekatan epistemologi adalah dengan cara bagaimana
objek kajian itu didekati atau dipelajari. Cirinya adalah dengan adanya berbagai macam
pertanyaan yang diajukan secara umum dan mendasar dan upaya menjawab pertanyaan yang
diberikan dengan mengusik pandangan dan pendapat umum yang sudah mapan. Dengan
tujuan agar manusia bisa lebih bertanggung jawab terhadap jawaban dan pandangan atau
pendapatnya dan tidak menerima begitu saja pandangan dan pendapat secara umum yang
diberikan.
Berdasarkan cara kerja atau metode yang digunakan, maka epistemologi dibagi menjadi
beberapa macam. Berdasarkan titik tolak pendekatannya secara umum, epistemologi dibagi
menjadi 3, yaitu:
4) Epistemologi metafisis

27
Epistemologi metafisis adalah pemikiran atau pengandaian yang berasal dari paham tertentu
dari suatu kenyataan lalu berusaha bagaimana cara mengetahui kenyataan itu. Kelemahan
dari pendekatan ini adalah hanya menyibukkan diri dalam mendapatkan uraian dari masalah
yang dihadapi tanpa adanya pertanyaan dan tindakan untuk menguji kebenarannya.
5) Epistemologi skeptis
Epistemologi skeptis lebih menekankan pada pembuktian terlebih dahulu dari apa yang kita
ketahui sampai tidak adanya keraguan lagi sebelum menerimanya sebagai pengetahuan.
Kelemahan dari pendekatan ini adalah sulitnya mencari jalan keluar atau keputusan.
6) Epistemologi kritis
Pada Epistemologi ini tidak memperioritaskan Epistemologi manapun, hanya saja mencoba
menanggapi permasalahan secara kritis dari asumsi, prosedur dan pemikiran, baik pemikiran
secara akal maupun pemikiran secara ilmiah, dengan tujuan untuk menemukan alasan yang
rasional untuk memutuskan apakah permasalahan itu bisa diterima atau ditolak.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan atau sistem yang bersifat
menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian
tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkkan penjelasan yang ada dengan metode
tertentu. Dalam hal ini, ilmu mempunyai struktur dalam menjelaskan kajiannya. Struktur ilmu
menggambarkan bagaimana ilmu itu tersistematisir, terbangun atau terkonstruksi dalam suatu
lingkungan (boundaries), di mana keterkaitan antara unsur-unsur nampak secara jelas.
Struktur ilmu merupakan A scheme that has been devided to illustrate relationship among
facts, concepts, and generalization, yang berarti struktur ilmu merupakan ilustrasi hubungan
antara fakta, konsep serta generalisasi. Dengan keterkaitan tersebut akan membentuk suatu
bangun kerangka ilmu tersebut. sementara itu, definisi struktur ilmu adalah seperangkat
pertanyaan kunci dan metode penelitian yang akan membantu untuk memperoleh
jawabannya, serta berbagai fakta, konsep, generalisasi dan teori yang memiliki karakteristik
yang khas yang akan mengantarkan kita untuk memahami ide-ide pokok dari suatu disiplin
ilmu yang bersangkutan. Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa terdapat
dua hal pokok dalam suatu struktur ilmu, yaitu:
c. A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan teori
yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan lingkungan (boundary)
yang dimilikinya. Kerangka ilmu terdiri dari unsur-unsur yang berhubungan, dari mulai yang
konkrit (berupa fakta) sampai ke level yang abstrak (berupa teori), semakin ke fakta maka
semakin spesifik, sementara semakin mengarah ke teori maka semakin abstrak karena lebih
bersifat umum.

28
d. A mode of inquiry, yaitu cara pengkajian atau penelitian yang mengandung pertanyaan dan
metode penelitian guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu
tersebut.
Terkadang, “pengetahuan” dan “ilmu” disama artikan, bahkan terkadang dijadikan
kalimat majemuk yang mempunyai arti tersendiri. Padahal, jika kedua kata tersebut
dipisahkan, akan mempunyai arti sendiri dan akan tampak perbedaannya.
Ilmu adalah pengetahuan. Jika dilihat dari asal katanya, “pengetahuan” di ambil dari
bahasa inggris yaitu knowledge, sedangakan “ilmu” dari kata science dan peralihan dari kata
arab ilm atau „alima (ia telah mengetahui) sehingga kata jadian ilmu berarti juga
pengetahuan. Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ditinjau dari segi bahasa,
antara pengetahuan dan ilmu mempunyai sinonim arti, namun jika dilihat dari segi arti
materialnya (kata pembentuknya) maka keduanya mempunyai perbedaan.
Dalam encyclopedia Americana, di jelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan
yang besifat positif dan sistematis. The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The
Principles Of Scientific Research dalam Amsal Bakhtiar.(2008:91) memberi batasan definisi
ilmu, yaitu suatu bentuk proses usaha manusia untuk memperoleh suatu pengetahuan baik
dimasa lampau, sekarang, dan kemudian hari secara lebih cermat serta suatu kemampuan
manusia untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta merubah sifat-
sifatnya sendiri, sedangkan menurut Carles Siregar masih dlam dalam Amsal
Bakhtiar.(2008:91) menyatakan bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan.
Ilmu dapat memungkinkan adanya kemajuan dalam pengetahuan sebab beberapa sifat
atau ciri khas yang dimiliki oleh ilmu. Burhanudin Salam (2005:23-24)mengemukakan
beberapa ciri umum dari pada ilmu, diantaranya:
1) Bersifat akumulatif, artinya ilmu adalah milik bersama. Hasil dari pada ilmu yang
telah lalu dapat digunakan untuk penyelidikan atau dasar teori bagi penemuan ilmu
yang baru.
2) Kebenarannya bersifat tidak mutlak, artinya masih ada kemungkinan terjadinya
kekeliruan dan memungkinkan adanya perbaikan. Namun perlu diketahui, seandainya
terjadi kekeliruan atau kesalahan, maka itu bukanlah kesalahan pada metodenya,
melainkan dari segi manusianya dalam menggunakan metode itu.
3) Bersifat obyektif, artinya hasil dari ilmu tidak boleh tercampur pemahaman secara
pribadi, tidak dipengaruhi oleh penemunya, melainkan harus sesuai dengan fakta
keadaan asli benda tersebut

29
4. Pengertian Filsafat Ilmu
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku
maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah
segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan
pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat
dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan
pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan
pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa
meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk
mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980)
bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Filsafat ilmu menurut Surajiyo (2010 : 45), merupakan cabang filsafat yang membahas
tentang ilmu. Tujuan filsafat ilmu adalah mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan
dan cara bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan
tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu
adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi
pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi
kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti
maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari
ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-
ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau
mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono
(1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk
memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat
ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan
ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu
menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh

30
sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu.
Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis,
materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan
dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya
menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai,
ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono,
1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan
pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain
sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa
dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan
metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks
dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari
kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
Adapun tujuan mempelajari filsafat ilmu menurut Amsal Bakhtiar (2008:20) adalah:
a) Mendalami unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami
sumber, hakekat dan tujuan ilmu.
b) Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmudi berbagai bidang
sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporermsecara historis.
c) Menjadi pedoman untuk membedakan studi ilmiah dan non ilmiah.
d) Mempertegas bahwa persoalan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
Bagi mahasiswa dan peneliti, tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah
a. seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri
dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis.
b. seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan
tepat dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu
kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan
sebagainya) tetapi juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia, seperti:
lingkungan hidup, peristiwa sejarah, kehidupan sosial politik dan sebagainya.
c. Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan
ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh
bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan
implikasi etis. Contoh dampak tersebut misalnya masalaheuthanasia dalam dunia
kedokteran masih sangat dilematis dan problematik, penjebolan terhadap sistem sekuriti

31
komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI) , plagiarisme
dalam karya ilmiah.
5. Filsafat Pendidikan
Menurut Muhmidayeli. (2011: 35) Filsafat pendidikan adalahupaya menerapkan
kaidah-kaidah berpikir filsafat dalam ragam pencarian solusi berbagai ragam problem
kependidikan yang akan melahirkan pemikiran utuh tentang pendidikan yang tentunya
merupakan langkah penting dalam menemukan teori-teori tentang pendidikan. Menurut John
Dewey dalam Jalaluddin dan Idi (2007: 19 – 21) filsafat pendidikan merupakan suatu
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir
(intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia.
Sedangkan Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany dalam Muhmidayeli.
(2011: 35), filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah-kaidah
filsafat dalam bidang pengalaman kemanusiaan yaang disebut dengan pendidikan.
Filsafat pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti
bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat. Masalah-masalah
pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat umum, seperti:
a. Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuk mencapainya;
b. Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima pendidikan;
c. Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial;
d. Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk mencapainya.
Selanjutnya al-Syaibany (1979) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas yang
diharapkan dilakukan oleh seorang filsuf pendidikan, di antaranya:
a. Merancang dengan bijak dan arif untuk menjadikan proses dan usaha-usaha pendidikan
pada suatu bangsa;
b. Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar beriman kepada Tuhan
dengan segala aspeknya;
c. Menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat, dan mengubah cara-cara hidup
mereka ke arah yang lebih baik;
d. Mendidik akhlak, perasaan seni, dan keindahan pada masyarakat dan menumbuhkan
pada diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan cara-cara mencapai kebenaran
tersebut.
Filsuf pendidikan harus memiliki pikiran yang benar, jelas, dan menyeluruh tentang
wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan, kemansiaan, pengetahuan

32
kealaman, dan pengetahuan sosial. Filsuf pendidikan harus pula mampu memahami nilai-nilai
kemanusiaan yang terpancar pada nilai-nilai kebaikan, keindahan, dan kebenaran.
Gandhi HW (2011: 84) setelah mengkaji makna filsafat pendidikan dari berbagai ahli Ia
menyatakanbahwa: “Filsafat pendidikan tidak lain adalah penerapan upaya metodis filsafat
untk mempersoalkan konsepsi-konsepsiyang melandasi upaya-upaya manusia di dalam
membangun hidup daan kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas.
Sedangkan upaya-upayafilsafat dalam mempersoalkan adalah guna mengarahkan
penyelenggaraan pendidikan pada kondisi-kondisietika yang diidealkan. Dalam makna lain,
filsafat pendidikan adalah flsifikasi pendidikan, baik dlm makna teoritis konseptual maupun
makna praktis-pragmatis yang menggejala.

33
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan

Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang membahas tentang ilmu. Tujuan filsafat
ilmu adalah mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana ilmu
pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri
pengetahuan ilmiah dan cara memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses
penyelidikan ilmiah itu sendiri.
Tujuan mempelajari filsafat ilmu pada dasarnya adalah untuk memahami persoalan
ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat
dan kritis.
Hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan lain adalah bahwa Filsafat mempunyai
objek yang lebih luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan objeknya
terbatas, khusus lapangannya saja. Selain itu Filsafat hendak memberikan pengetahuan,
insight/pemahaman lebih dalam dengan menunjukan sebab-sebab yang terakhir, sedangkan
ilmu pengetahuan juga menunjukkan sebab-sebab tetapi yang tak begitu mendalam.
Keberadaan manusia di dunia sesuunguhnya sebagai mahluk yang diciptakan Allah
SWT yang diberi kemampuan untuk berpikir (akal), sedangkan tujuan akhir hidup manusia
menurut Islam adalah mendapatkan kebahagiaan hakiki. Sebagai mahluk yang berpikir
(memiliki akal) itulah yang menyebabkan manusia berfilsafat.
Filsafat dapat dimaknai sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya mengkaji tentang
masalah-masalah yang muncul dan berkenaan dengan segala sesuatu, baik yang sifatnya
materi maupun immateri secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat sesuatu yang
sebenarnya, mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta berpikir secara rasional-logis,
mendalam dan bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan masalah-
masalah dalam kehidupan manusia. Sedangkan ilmu dapat dimaknai sebagai suatu metode
berpikir secara obyektif dalam menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia fuktual
dan berprinsip untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense.
Sedangkan Filsafat pendidikan dapat dimaknai sebagi upaya menerapkan kaidah-
kaidah berpikir filsafat dalam ragam pencarian solusi berbagai ragam problem kependidikan
yang akan melahirkan pemikiran utuh tentang pendidikan yang tentunya merupakan langkah
penting dalam menemukan teori-teori tentang pendidikan.

34
Antara filsafat ilmu, dengan pendidkan dan dengan filsafat pendidikan memimiliki
hubungan yang saling melengkapi. Filsafat ilmu dapat membantu perkembangan pendidikan
dan filsafat pendidikan. Di lain pihak, perkembangan pendidikan dan filsafat pendidikan dan
membantu perkembangan Filsafat Ilmu.
a. Manusia dalam pandangan Antropologi terbentuk dari satu sel sederhana yang mengalami
perubahan secara bertahap dengan waktu yang sangat lama (evolusi).
b. Konsep manusia dalam Sosiologi adalah mahluk sosial, yakni mahluk yang tidak dapat
hidup tanpa bantu orang lain.
c. Konsep Manusia menurut ilmu pendidikan adalah individu yang memiliki kemampuan
dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi itu hanya dapat berkembang jika ada
pengarahan pembinaan serta bimbingan dari luar (lingkungan).
1. Manusia menurut pandangan filsafat ilmu, dapat dilihat dari teori descendensi dan Metafisika
a. Menurut teori descendensi: 1) manusia sejajar dengan hewan berdasarkan sebab mekanis;
2) Keistimewaan ruhaniyah manusia dibandingkan dengan hewan terlihat dalam
kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir, berpolitik, mempunyai
kebebasan/kemerdekaan, memiliki sadar diri, mempunyai norma, tukang bertanya atau
tegasnya manusia adalah makhluk berbudaya.
b. Menurut Metafisika. Asal manusia dari suatu yang ada dan tak bergantung dari yang lain.
Hakikat manusia ialah dari ruh yang ditiupkan oleh Tuhan. Artinya manusia tersusun dari
zat yang ada dengan diberikannya ruh oleh Tuhan sehingga menyebabkan manusia dapat
hidup. Manusia mempunyai fisik yaitu jasadnya. Selain jasad manusia juga mempunyai
ruh atau yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera yakni berhubungan dengan jiwa
mencakup ingatan, gagasan, imajinasi, kemauan, perasaan dan penghayatan.
2. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam
dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. (Surajiyo,2010:4)
3. Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang
4. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan atau sistem yang bersifat menjelaskan
berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk
menguasai gejala tersebut berdasarkkan penjelasan yang ada dengan metode tertentu.
5. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari
kehidupan manusia (The Liang Gie,1999)
6. Filsafat pendidikan adalah upaya menerapkan kaidah-kaidah berpikir filsafat dalam ragam
pencarian solusi berbagai ragam problem kependidikan yang akan melahirkan pemikiran utuh

35
tentang pendidikan yang tentunya merupakan langkah penting dalam menemukan teori-teori
tentang pendidikan (Muhmidayeli., 2011)

36
DAFTAR PUSTAKA

Amsal Bakhtiar. 2008. Filsafat Ilmu (edisi revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Frondizi, Resieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai (Terjemahan oleh: Cuk Ananto Wijaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gandhi, Teguh Wangsa. 2011. Filsafat Pendidikan: Madzab-Madzab Filsafat Pendidikan.


Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Jalaluddin & Idi, Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz MediaGroup.

Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif). Yogyakarta:
Gama Media.

Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

Muslih, Muhammad. 2005. Filsafat Umum: Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta: Belukar.

Salam, Burhanuddin . 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.

Supriyanto, S. 2003. Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat. Universitas
Airlangga. Surabaya.
Surajiyo . 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif). Yogyakarta: Gama
Media.

37
http://pohanrangga.blogspot.com/2012/11/hakekat-manusia-dari-segi-
sosiologi.htmldiunduh tanggal 03 Nopember 2013 pkl 21.30

http://hanykpoespyta.wordpress.com/2008/04/19/manusia-antara-pandangan-antropologi-
dan-agama-islam/ diunduh tanggal 03 Nopember 2013 pkl 21.00

http://uphilunyue.blogspot.com/2013/01/manusia-dalam-pandangan-filsafat-teori.html
diunduh tanggal 03 Nopember 2013 pkl 22.00

38

Anda mungkin juga menyukai