Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

MAKALAH MPK AGAMA ISLAM


IPTEK,FILSAFAT DAN HEDONISME

Home Group

Isyana Paramitha

Pipin Indah Lestari 1106052751

Wulan Ayunda 1106021084

Nurfallah Tri Wibowo 1106054750

Rizki Hashi W 1106004973

Hanny Faizah 1106069071

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2012
BAB I
Pendahuluan
Latar belakang masalah

Perilaku hedonisme dan konsumtif telah merekat pada kehidupan kita. Pola hidup seperti ini sering
kita jumpai di kalangan mahasiswa. Dimana orientasinya diarahkan kenikmatan, kesenangan, serta
kepuasan dalam mengkonsumsi barang secara berlebihan.

Manusiawi memang ketika manusia hidup untuk mencari kesenangan dan kepuasan, karena itu
merupakan sifat dasar manusia.

Contohnya sekarang, segala macam media informasi merayu kita mengenai gaya hidup. Gaya hidup
yang terus disajikan bagaikan fast food melalui media informasi.

Para remaja berlomba-berlomba mengaktualisasikan dirinya untuk mencapai kepuasan dan apa yang
mereka inginkan. Berbagai upaya dilakukan untuk mencapainya. Salah satunya dengan mencari
popularitas dan membelanjakan barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok. Pada
kenyataannya pola kehidupan yang disajikan adalah hidup yang menyenangkan secara individual.
Inilah yang senantiasa didorong oleh hedonisme dan konsumenisme, sebuah konsep yang
memandang bahwa tingkah laku manusia adalah mencari kesenangan dalam hidup dan mencapai
kepuasan dalam membelanjakan kebutuhan yang berlebihan sesuai arus gaya hidup.

Padahal agama mengajarkan kita untuk hidup sederhana terlebih sebagai mahasiswa kita sangat
mengetahui tentang IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan berfikir filsafat sehingga
seharusnya kita sebagai generasi muda harusnya memberantas hedonisme yang merujuk pada sifat
konsumtif yang lebih bangga “membeli” daripada “menciptakan dan membuat” .

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan diatas, maka rumusan masalah pada
makalah kami kali ini adalah:

1. Apa itu hedonisme ?


2. Apa hubungan antara agama dan iptek?
3. Apa hubungan agama dan filsafat?
4. Apa korelasi antara iptek ,berfikir filsafat dalam agama dan hedonisme?

Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :

1. Apa yang dimaksud hedonisme


2. Apa hubungan antara agama dan iptek
3. Apa hubungan antara agama dan filsafat
4. Apa korelasi antara iptek ,berfikir filsafat dalam agama dan hedonisme
BAB II
Isi

1. Hedonisme

Era global ini, modernisasi semakin mengila-gila. Namun, modernisasi tersebut banyak yang
disalah-artikan dan disalah-gunakan. Salah satu modernisasi yang menyimpang yaitu perilaku
hedonisme. Hedonisme itu sendiri berasal dari kata "hedone" (Yunani) yang berarti
kesenangan,kegembiraan,dll. Dalam bahasa, Hedonisme adalah pandangan yang menganggap
kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.

Hedonisme telah memengaruhi naluri kehidupan bangsa Indonesia. Hedonisme menjadi


budaya buruk yang sangat rentan mengarahkan kaum elite melakukan korupsi. Inilah yang
ditengarahi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Busyro Muqoddas dalam pidato
kebudayaannya pertengahan November 2011 lalu bahwa budaya hedonis merupakan salah satu
sumber lahirnya korupsi.

Pejabat negara sudah bermegah-megahan, bahkan mobil yang digunakan sudah lebih bagus
dari mobil perdana menteri negara tetangga. Sinyalemen Busyro ini menarik kalau ditarik dalam
konteks kampus. Karena budaya pejabat negara tak bisa dilepaskan dari budaya kampus, karena
pejabat negeri ini lahir di berbagai kampus di Indonesia.

Diakui atau tidak, jebakan budaya hedonis sudah merasuk dalam jiwa kampus. Lihat saja di
berbagai kampus elite di Indonesia, di sana kita akan menemukan beragam jenis merek mobil. Di
sekitar kampus juga disediakan beragam model gaya hidup yang dipampang secara vulgar di
berbagai jalan raya.

Hedonisme mahasiswa merupakan kabar buruk bagi dunia kampus Indonesia. Karena
hedonisme membawa kesenangan terhadap hal-hal yang bersifat sementara, sehingga orang
terjebak untuk tidak mampu bersikap sabar. Dewasa ini mahasiswa lebih ‘’mencintai’’ tayangan dan
hal-hal yang bersifat entertainmen, gosip, jingkrak-jingkrak menyaksikan konser musik rock, dan hal-
hal yang melemahkan mereka dalam membangun kepribadian mereka sendiri.

Budaya hedonis ini sangat berbahaya kalau sampai mengarah pada pandangan hidup yang
menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para
penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup,
entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya
sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya.

Hedonisme menjadikan mahasiswa krisis karakter, sehingga tak mampu menjalankan


prediketnya sebagai agent of social cange, agent of control. Peran mahasiswa dalam perubahan
politik di Indonesia memang luar biasa, tetapi kondisi hedonis telah merusak peran tersebut dan
menjadi penyakit sosial yang merusak kebangsaan kita.

Kala Orde Baru tumbang, semua berharap mahasiswa bisa mengambil alih kepemimpinan
nasional. Walaupun tidak mengambil seratus persen, tetapi tidak sedikit mahasiswa yang kemudian
menjadi bagian dari negara dan pemerintahan. Ironisnya, masa transisi reformasi ternyata
menjadikan Indonesia makin menjadi korup. Aktornya adalah mereka kaum kampus yang kemudian
masuk dalam struktur kekuasaan.

Hedonisme juga menggiring mahasiswa ke dalam culture of banality (budaya kedangkalan),


di mana segala informasi yang mereka terima langsung dicerna mentah-mentah, tanpa diproses,
diverifikasi, dan didalami dengan logika kerja pikiran. Tak salah kemudian banyak mahasiswa yang
mudah terjebak dalam berbagai jaringan terorisme. Mereka mentah memahami informasi terbaru,
sehingga mereka mudah terseret dalam arus baru yang paradoks dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Contohnya yaitu mahasiswa sekarang lebih menyukai musik pop dari pada musik gamelan, lebih
cinta jeans daripada batik.Kerapuhan karakter mahasiswa terlihat sangat jelas dalam berbagai kasus
yang mendera hari ini tanpa sentuhan kritis dari kaum mahasiswa.

Suara-suara kritis mahasiswa saat ini sudah hilang kala melihat berbagai korupsi yang makin
menggurita, bahkan kalau yang terjebak itu mempunyai jaringan gerakan mahasiswa ekstra kampus,
kaum aktivis justru mem-backup. Berbagai ketidakadilan tak mendapatkan sentuhan kritis
mahasiswa. Gejala hedonisme sudah ‘’melahap’’ hampir seluruh mahasiswa di perkotaan dan
daerah-daerah.

Di tengah gemuruh budaya hedonis inilah, perlu kiranya menegakkan pendidikan integritas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 1996, ‘’integritas’’ berarti ‘’mutu, sifat, atau keadaan
yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang
memancarkan kewibawaan’’.

Integritas adalah satu kata yang mencakup sejumlah nilai yang kita pegang teguh, dan
menjadi pedoman bagi tindakan kita. Pendidikan integritas tak selalu harus berupa mata kuliah
tersendiri. Tetapi, justru nilai-nilai integritas yang merupakan good living values dapat muncul dalam
berbagai mata kuliah yang diberikan di dalam perguruan tinggi.

2. Agama Islam dan Piptek

Tiap manusia di muka bumi ini pada hakikatnya adalah seorang pemimpin atau Khalifah. Dalam
rangka tugas kekhalifahannya, manusia terus berupaya dan berusaha mencari tahu bagaimana cara
memanfaatkan alam yang terhampar luas ini. Bukanlah Allah telah menyediakan alam semesta
untuk manusia. Bersumber pada ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran) Allah SWT di
alam raya ini, akal manusia melahirkan banyak sekali cabang ilmu-ilmu kealaman yang  terkait
dengan benda-benda mati seperti ilmu astronomi,  fisika, biologi, kimia dan lain-lain.

Jika menurut batasan bahwa teknologi adalah hal yang berkaitan dengan cara menerapkan sains
untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia, mengundang kita untuk
menengok kepada sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya. Sekitar 750
ayatnya berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Berulang-ulang Al-Qur’an menyatakan
bahwa alam raya ini diciptakan dan ditundukkan (sakhkhara) oleh Allah untuk manusia.

Artinya      : “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhya pada yang demikian itu benar- benar terdapat
tanda- tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir”. (QS. al-Jatsiyah (45) : 13).
Secara jelas Allah berfirman di dalam QS. Al-Ra’du (13): 2-3).:

Artinya:       (2)       Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia bersemayam dan alas Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing
beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-
tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. (3)   Dan Dia-lah
Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanyaa.
Dan menjadikan padanya  semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam
kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan.

Alam ditundukkan bagi manusia bila manusia menguasai ilmu tentang aturan hukum-hukum yang
diperlakukan Allah kepada alam semesta, apa yang kita kenal dengan sunnatullah. Sunnatullah
bukanlah “hukum alah” yang secara otomatis berlaku dengan sendirinya secara alamiah tanpa ada
yang menciptakannya, melainkan hukum itu ada bersamaan dengan penciptaannya oleh Yang Maha
Pencipta.

Artinya: “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dneganserapi-rapinya”. (QS. Al-Furqan (25):2)

Hukum-hukum itu diciptakan Penciptanya bersamaan dengan penciptaan alam. Segala sesuatu di
alam ini memiliki ciri dan hukum-hukumnya tersendiri. Alam semesta ini juga sangat nyata berjalan
dengan kokoh, rapi dan harmonis. Apa sebabnya? Dengan penyelidikan-penyelidikan yang teratur
dan terarah, yang diikuti dengan pengolahan yang seksama terhadap data-data yang diperoleh,
maka orang telah banyak menemukan apa yang dinamakan hukum-hukum alam yang secara disiplin
telah ditaati oleh semua benda. sebagai makhluk-Nya di alam ini. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam
firman-Nya.

Artinya: “… padahal kepada-Nya lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah- lah mereka dikembalikan”. (QS. Ali Imran
(3) : 83).

Tak dapat diragukan lagi, bahwa ketaatan yang demikian itulah yang menyebabkan alam ini selalu
tegak dengan kokoh, rapi dan harmonis. Setelah kita beriman kepada Allah, maka menjadi mudah
bagi kita untuk menerima, bahwa hukum-hukum alam ini adalah sunnatullah atau aturan Allah yang
telah diciptakan dan diberlakukan bagi makhluk-Nya yang tidak berubah-ubah sebagaimana
dinyatakan dalam firman-Nya.

Artinya: “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnatullah, dan sekali-kali
tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnatullah itu” (QS. Fathir (35): 43).

Dalam ayat yang lain Allah SWT menyatakan:

Artinya: (7)  Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan dan
keseimbangan).

(8)   Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu (QS. Ar-Rahman(55): 7-8).

Dengan demikian maka ketaatan pada hukum-hukum itu pada hakekatnya adalah ketaatan pada
Allah sendiri, karena hukum dan tata gerak segala benda di alam ini tidak lain dari ciptaan Allah jua,
yang mencerminkan kehendak-Nya, sehingga dapat diambil konklusi bahwa alam semesta ini
mempunyai sifat umum (general property) berupa ketaatan kepada Allah. Sifat ini sebenarnya
sangat penting untuk menjadi pelajaran bagi manusia, karena manusia pun yang merupakan bagian
dari makhluk sama halnya dengan alam ini, juga wajib mempunyai sifat ketaatan kepada Pencipta-
Nya. Kalau tidak, maka hal itu merupakan pelanggaran yang sangat membahayakan bagi kehidupan
manusia sendiri. Inilah salah satu makna yang terkandung dalam firman-Nya yang mempertanyakan
keingkaran manusia meskipun dia diberikan kebebasan.

Artinya:         “Maka apakah mereka mencari agama (aturan, hukum, pedoman) yang lain dari
agama Allah, padahal kepada- Nya- lah berserah diri (Islam) apa yang ada di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. (QS. Ali Imran
(3) : 83).

Namun manusia dari sisi lain berbeda, karena manusia telah diberikan potensi akal, pancaindera,
dan kekuatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya serta menerapkannya menjadi nyata
dalam teknologi. Kelebihan ini memberi manusia kesempatan untuk mengelola alam, bahkan ada
kemampuan manusia untuk merubah dan melawan alam dengan mempelajari gerak dan sifat hukum
alam itu sendiri.

Inilah bedanya manusia dengan makhluk lainnya, sehingga dengan akal pikirannya, dan kekuatan
fisik serta pancainderanya dapat mengolah dan mendayagunakan hukum-hukum alam ini menjadi
sesuatu yang berguna. Sebagai contoh, air yang menurut hukum alamnya senantiasa mengalir ke
bawah, dengan kekuatan pikirannya manusia telah menemukan cara dan alat untuk menggerakkan
dan memancarkan air ke atas. Berbagai kekuatan yang nampaknya bahaya bagi manusia, dan dahulu
disembah dan dipuji, kini manusia setelah mempelajari hukum-hukum alam itu, dapat menemukan
berbagai alat hasil teknologi, yang memberikan kemudahan bagi manusia. Manusia umpamanya
telah menemukan pembangkit listrik bertenaga air, uap,  angin, bahkan arus dan gelombang laut.

Karena manfaat ilmu dan teknologi, banyak segi kehidupan ini menjadi mudah. Dahulu untuk
mengetahui waktu shalat umpamanya, umat Islam melihat kedudukan matahri langsung dengan
mata kepala, akan banyak didapati banyak kesulitan umpamanya cuaca buruk, atau di tengah hutan
atau di dalam tempat tertutup. Tapi sekarang cukup melirik posisi jarum jam yang melekat di
pergelangan tangan. Untuk mengetahui kabar berita dari tempat yang jauh, dahulu orang harus
berjalan berkilo-kilo meter tetapi dengan kemajuan teknologi, kini orang cukup mengangkat telepon,
malah telepon digenggaman tangan, sehingga berapapun jauhnya berita akan disampaikan, dapat
segera dikirim saat itu juga.

Penemuan-penemuan hukum alam yang tersebar di alam semesta ini pada gilirannya menggerakkan
iptek lebih maju lagi di berbagai bidang, baik listrik, mekanik, elektronik, komunikasi, transportasi,
penerbangan, bangunan, arsitektur dan lain sebagainya.

Pedoman Al-Qur’an dan As-Sunnah terhadap IPTEK

Sains dan teknologi sendiri sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Mereka memiliki peranan
penting yaitu membantu meringankan masalah yang dihadapi manusia. Sains dan teknologi saling
terkait satu sama lain. Namun sudah menjadi sifat dasar teknologi yang egois dimana ia selalu
menginginkan sesuatu yang lebih baik dari yang lain. Kemajuan Teknologi yang tidak terkendali
sering kali berakibat pada pengerusakan lingkungan. Begitu pula dengan ilmu pengetahuan sains.
Kemajuan sains tergantung dari perkembangan alatnya. Sains tidak akan berkembang, jika alat – alat
yang digunakan masih monoton. Padahal untuk menciptakan sesuatu, diperlukan alat yang canggih
pula agar hasil yang didapat maksimal. Itulah mengapa sains dan teknologi sangat erat
hubungannya. Masing – masing dari mereka memiliki fungsi yang berbeda dan sangat bermanfaat
bila dikembangkan bersama-sama. Tidak semua sains dan teknologi yang diciptakan itu baik untuk
kita. Disinilah funsi agama sebagai aspek pengontrol dari perkembangan tersebut. Maka akan secara
spesifik dibahas mengenai perspektif kitab suci kita dalam bidang IPTEK.

Al-Quran merupakan  pedoman yang disediakan oleh Allah kepada umat manusia disamping sunnah-
sunnah rasul. Karena Al quran kitab suci yang universal dan berlaku sepanjang massa, maka Al quran
dituntut untuk harus membuktikan keuniversalannya, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Hal tersebut dapat dilihat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang ada saat ini.

Al quran diturunkan bukan hanya semata-mata sebagai huda (petunjuk), tapi setidaknya Al quran
diturunkan memiliki 3 fungsi, yaitu sebagai huda, atau petunjuk bagi manusia; sebagai bayyinah,
atau penjelasan mengenai petunjuk itu; serta sebagai furqan, atau pembeda antara yang haq dan
yang bathil.

Sebelum masuk kepada pembahasan, terlebih dahulu kita melihat ayat yang pertama diturunkan
(iqra’), kata iqra’ dalam bahasa artinya “bacalah” namun jika kita dapat menafsirkannya secara lebih
dalam kata iqra’ memiliki arti yang lebih luas, yaitu sebagai kata perintah yang memerintahkan
kepada kita untuk dapat membaca, meneliti dan memahami segala macam yang terdapat dibumi,
dengan kata lain sebenarnya Al quran memerintahkan kepada kita untuk belajar dan berusaha
menggali segala macam ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam bumi ini.

Akal dan IPTEK dalam Al quran memiliki kedudukan yang tinggi, karena akal dan perintah menuntut
ilmu bukan hanya sebagai ajaran teori semata, namun ajaran tersebut harus benar-benar diamalkan
dan dilaksanakan, dalam Al quran surat Al-A’raf ayat 179 Allah berfirman:

“sesungguhnya kami ciptakan bagi neraka banyak jin dan manusia, mereka mempunyai kalbu (akal)
yang dengannya mereka tidak dapat memahami, mempunyai mata yang dengannya mereka tidak
melihat dan mempunyai telinga yang dengannya mereka tidak mendengar; mereka seperti binatang
bahkan lebih sesat lagi; merekalah orang yang lalai”

dan dalam surat yang lain Allah berfirman:

“Apakah mereka tidak melakukan perjalanan dipermukaan bumi dan mereka mempunyai kalbu
untuk memahami atau telinga untuk mendengar, sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tetapi
kalbu di dalam dadalah yang buta” ( Al-Hajj : 46)

dari dua ayat diatas dapat kita tafsirkan bahwa kedudukan akal dalam quran sangatlah tinggi, hal ini
bisa dilihat dari ancaman quran terhadap orang-orang yang tidak menggunakan akalnya dengan
baik, hal tersebut juga menjadi bukti bahwa Al-quran tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan,
malah quran menyuruh kepada seluruh manusia agar memperhatikan hal-hal yang terdapa di alam
semesta ini.

Dengan akal manusia dapat mempelajari seluruh IPTEK yang ada di muka bumi, maka dari itu quran
memerintahkan kepada umat muslim agar mereka menggunakan akal dengan sebaik-baiknya karena
dengan menggunakan akal secara maksimal dapat mengantarkannya menjadi khairu an-nas.

Dalam Al quran sendiri terkandung berbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat kita gali dan kita
dalami secara ilmiah agar dapat diambil manfaatnya, beberapa ilmu pengetahuan yang terdapat
dalam Al quran adalah yang berhubungan dengan ilmu filsafat, matematika, biologi, ekonomi,
strategi dan kepemimpinan serta ilmu geologi.

Maka dari penjabaran-penjabaran tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa di dalam Al-Quran
terdapat ayat-ayat yang menerangkan tentang berbagai macam ilmu, baik itu ilmu agama maupun
ilmu umum yang didalamnya terdapat keterangan seberapa pentingnya IPTEK di dalam hidup
manusia. Namun hal tersebut seharusnya tidak hanya sekedar wacana namun juga harus
diwujudkan. Maka tugas kita selaku generasi muda muslim selain mempelajari tata bahasa dalam Al-
Qur’an, kita juga harus bisa mengungkap ilmu-ilmu yang ada didalamnya untuk dimanfaatkan dalam
kehidupan kita.

Konsep Pengembangan IPTEK dalam Islam

Allah menciptakan manusia memiliki potensi akal dan pikiran sebagai bekal untuk hidup di
dunia. Melalui akal dan pikiran tersebut, manusia dapat memahami dan menyelidiki
elemen-elemen yang terdapat di alam serta memanfaatkannya untuk kesejahteraan
mereka. Akal dan pikiran tersebut merupakan kelebihan dan keistimewaan yang diberikan
oleh Allah kepada manusia sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al Isra 70:

َّ َ‫ت َوف‬
‫ض ْلنَا ُه ْم َعلَى َكثِي ٍر ِّم َّمنْ َخلَ ْقنَا‬ ِ ‫َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِي آ َد َم َو َح َم ْلنَا ُه ْم فِي ا ْلبَ ِّر َوا ْلبَ ْح ِر َو َرزَ ْقنَاهُم ِّمنَ الطَّيِّبَا‬

ِ ‫تَ ْف‬
‫ضيال‬

Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di muka Bumi dengan kedudukan yang lebih
tinggi dibandingkan makhluk ciptaan Allah lainnya di alam ini. Ketika Allah dalam firman-Nya di Q.S.
Ar Ra’du 2 memilih kata ”sakhkhara” yang berarti ”menundukkan” atau ”merendahkan”, hal
tersebut menunjukkan bahwa alam dengan segala manfaat yang dapat diperoleh darinya harus
tunduk dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah manusia.

‫س ّمًى يُ َدبِّ ُر األَ ْم َر‬


َ ‫س َوا ْلقَ َم َر ُك ٌّل يَ ْج ِري ألَ َج ٍل ُّم‬ َّ ‫س َّخ َر ال‬
َ ‫ش ْم‬ ْ ‫ت ِب َغ ْي ِر َع َم ٍد تَ َر ْونَ َها ثُ َّم ا‬
ِ ‫ستَ َوى َعلَى ا ْل َع ْر‬
َ ‫ش َو‬ َّ ‫هّللا ُ الَّ ِذي َرفَ َع ال‬
ِ ‫س َما َوا‬
َ‫ت لَ َعلَّ ُكم بِلِقَاء َربِّ ُك ْم تُوقِنُون‬
ِ ‫ص ُل اآليَا‬ ِّ َ‫يُف‬

Artinya: Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian
Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar
hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini Pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.

Dengan demikian, dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memanfaatkan
alam yang ”ditundukkan” oleh Allah untuk manusia, manusia hendaknya memahami konsep dan
tugasnya sebagai khalifah di Bumi. Manusia jangan sampai “ditundukkan” oleh alam melalui nilai-
nilai materialistik dan keserakahan karena sesungguhnya hal tersebut melanggar kodrat manusia
yang diberikan oleh Allah.

Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam hendaknya memiliki dasar dan
motif bahwa yang mereka lakukan tersebut adalah untuk memperoleh kemakmuran dan
kesejahteraan di dunia sebagai jembatan untuk mencari keridhaan Allah sehingga terwujud
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah berfirman dalam Q.S. Al Bayyinah 5:

‫صاَل ةَ َويُؤْ تُوا ال َّز َكاةَ َو َذلِ َك ِدينُ ا ْلقَيِّ َم ِة‬ ِ ِ‫َو َما أُ ِم ُروا إِاَّل لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬
َّ ‫صينَ لَهُ الدِّينَ ُحنَفَاء َويُقِي ُموا ال‬
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

Kondisi Umat Islam dalam Perkembangan Iptek Saat Ini

Terhambatnya kemajuan umat Islam di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini disebabkan
umat Islam tidak memahami konsep dan mengoptimalkan fungsinya sebagai khalifah di Bumi.
Seharusnya, v. Terlebih lagi, umat Islam adalah umat pilihan Allah yang dianugerahi iman dan
petunjuk berupa Al Quran dan sunnah rasul.

3. PENGERTIAN FILSAFAT

Filsafat secara harfiah berasal kata Philo berarti cinta, Sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi filsafat
secara istilah berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain menyatakan kata
Arab falsafah dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), Sophia berarti
pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta
pada kebenaran. Pelaku filsafat berarti filosof, berarti: a lover of wisdom. Orang berfilsafat dapat
dikatakan sebagai pelaku aktifitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai
sasaran utamanya..

  
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar
mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang
sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi
yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.  

Ciri-ciri berfikir filosfi :

Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.

Berfikir secara sistematis.

Menyusun suatu skema konsepsi, dan

Menyeluruh.

Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :

Sebagai dasar dalam bertindak.

Sebagai dasar dalam mengambil keputusan.

Untuk mengurangi salah paham dan konflik.

Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.

Filsafat adalah induknya segala ilmu, sebagai induk segala ilmu, maka filsafat mempengaruhi ilmu-
ilmu lainnya, seperti ilmu fiqih, ilmu kalam, tafsir dan sebagainya. Berbicara mengenai hukum fiqih,
maka fiqih sendiri bengandung arti mengerti dan memahami. Untuk memahami diperlukan pikiran
dan penggunaan akal. Selain itu fiqih juga memakai ijtihad yang pada intinya adalah pemakaian akal
untuk dalil-dalil yang bersifat dzonniy dan terhadap kasus-kasus hukum yang tidak jelas atau sama
sekali tidak ada dasarnya baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits.Filsafat menempatkan
pengetahuan sebagai sasaran, maka dengan demikian pengetahuan tidak terlepas dari pendidikan.
Jadi, filsafat sangat berpengaruh dalam aktifitas pendidikan seperti manajemen pendidikan,
perencanaan pendidikan, evaluasi pendidikan, dan lain-lain. Karena ada pengaruh tersebut, maka
dalam makalah ini mencoba untuk membahas tentang keterkaitan paradigma aliran-aliran filsafat
tersebut dengan kajian pendidikan khususnya manajemen pendidikan.

Pendapat Sidi Gazalba ini memperlihatkan adanya tiga cirri pokok dalam filsafat, sebagai berikut:

1.      Adanya unsur berpikir yang dalam hal ini menggunakan akal.

2.      Adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berpikir tersebut, yaitu mencari hakikat atau
inti mengenai segala sesuatu. Muzayyin Arifin, mengatakan bahwa filsafat pendidikan islam pada
hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandas ajaran-
ajaran agama islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dibina dan dikembangkan serta
dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran islam.

Filsafat pendidikan islam itu merupakan suatu kajian filosofis mengenai berbagai masalah yang
terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber
primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim, sebagai sumber skunder. Dengan
demikian, filsafat islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan
ajaran islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran islam. Jadi filsafat ini bukan yang
bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada
umumnya.

    Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam

Dalam hubungan dengan ruang lingkup filsafat pendidikan ini, Muzayyin Arifin lebih lanjut
mengatakan bahwa ruang lingkup pemikiran bukanlah mengenai hal-hal yang bersifat teknis
operasional pendidikan, melainkan menyangkut segala hal yang mendasari serta yang mewarnai
corak system pemikiran yang disebut filsafat itu. Dengan demikian, secara umum ruang lingkup
pembahasan filsafat pendidikan islam ini adalah pemikiran yang serba mendalam, mendasar,
sistematis, terpadu, logis, menyeluruh, dan universal mengenai konsep-konsep yang berkaitan
dengan pendidikan atas dasar ajaran islam. Konsep-konsep tersebut mulai dari perumusan tujuan
pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan seterusnya.

Adapun perspektif Al-Qur’an dan hadits mengenai filsafat ilmu adalah sebagai berikut :

(Q.S. Al-Israa’ (17) : 36)

‫ك بِ ِه ِع ْل ٌم إِ َّن ال َّس ْم َع‬ َ ‫ص َر َو ْالفُؤَا َد ُكلُّ أُولَئِكَ َكانَ َع ْنهُ َم ْسئُوال َوال تَ ْقفُ َما لَي‬
َ َ‫ْس ل‬ َ َ‫َو ْالب‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.”

            Maksud ayat di atas menjelaskan bahwa kita tidak dibenarkan mengikuti suatu paham atau
ajaran yang tidak dilandasi dengan pemahaman ilmu atau keyakinan yang benar yang dapat diterima
secara logis dan rasional. Sebab, dengan tanpa adanya hal-hal tersebut kita akan tergolong orang-
orang yang merugi dan dapat menjatuhkan kita kepada kebodohan dan kehinaan.  

Hadits Nabi SAW. Yang artinya :

Nabi
SAW. bersabda,”Barang siapa mempelajari suatu bab ilmu diamalkan atau tidak diamalkan adalah
lebih utama dari seribu raka’at shalat sunnah.”

            Dari hadits diatas menjelaskan bahwa berfilsafat dengan ilmu itu lebih utama dariseribu
raka’at shalat sunnah. Begitu besar dan pentingnya sebuah ilmu bagi umat Islam ini sehingga banyak
terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Al Qur’an dan Sunnah terhadap Filsafat

Islam adalah agama yang dinamis, yang berarti, selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Semua hukum atau aturan Islam terkandung dalam sebuah kitab yang telah disempurnakan Allah,
yang bernama Alquran, yang diturunan melalui perantara malaikat Jibril kepada nabi Muhammah
saw. Di samping itu, Alquran adalah kitab ilmiah yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang
berilmu. Penginterpretasian terhadap Alquran biasanya harus menggunakan sebuah kitab pula, yang
mana kitab ini adalah hasil perkataan, perbuatan dan segala hal tentang Rasulullah saw, yang
berhasil direkam oleh para sahabat, yang biasa disebut sebagai hadits. Kedua kitab ini saling
berhubungan satu sama lain, yang nantinya bisa memberikan gambaran jelas mengenai hukum-
hukum Islam itu sendiri, yang bisa menuntun manusia menjalani hidup di dunia ini[1].

Setiap ilmu adalah cahaya[2] dan sebaik-baik cahaya adalah cahaya yang bersumber dari Alquran
dan Sunnah. Orang yang tak berilmu diibaratkan seperti orang bodoh yang hanya berjalan di muka
bumi. Pahala seorang yang berilmu juga telah disinggung oleh Rasulullah saw, yakni sama dengan
pahala seribu orang ahli ibadah. Bukan hanya oleh Rasulullah saw, kelebihan orang yang berilmu
juga akan diangkat derajatnya oleh Allah beberapa derajat[3].

Kedudukan Filsafat dalam Alquran

Di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu,
‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali, (Ali Audah, 1997: 278-279). Delapan
bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah
Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan
keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti.
Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat
pendengaran, penglihatan dan hatinya[4].

Di dalam Alquran juga terdapat kalimat-kalimat yang sering diulang, seperti ’semoga kamu menjadi
orang-orang yang berfikir’ (sebelas kali pengulangan) dan ’semoga kamu menjadi orang-orang yang
berakal’ (tujuh belas kali pengulangan). Hal ini menegaskan bahwa berfilsafat, dalam hal ini
berfilsafat untuk mencari kebenaran tentang sesuatu, justru sangat dianjurkan. Berfilsafat adalah
sebuah ilmu, yang berarti bahwa filsafat itu adalah cahaya.

Secara umum, filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan
konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap
seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin
melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan[5].
Namun begitu, ilmu filsafat yang sebagian hanya menginterpretasi dari pikiran dan akal saja, tidak
boleh digunakan sepenuhnya dalam segala hal, seperti memikirkan zat Allah. Allah hanya
memerintahkan manusia untuk memahami ciptaan-Nya, seperti: langit, bumi, binatang, dan semua
ciptaan-Nya. Hal ini bukan berarti Allah tidak membolehkan memikirkan tentang zat-Nya, tapi lebih
karena esensi manusia itu sendiri, yakni sering lupa dan sering salah, dan segala kekurangan lainnya,
yang sangat tidak memungkinkan manusia itu bisa memikirkan zat tuhannya. Dengan kata lain,
makhluk musatahil akan bisa memikirkan tentang zat sang Khaliq.

Fungsi filsafat dalam Islam

1. Memecahkan masalah melalui filsafat

Keyakinan kepada adanya Tuhan harus didasarkan atas kesadaran akal, bukan sekedar kesadaran
yang bersifat tradisional yakni melestarikan warisan nenek moyang betapapun corak dan konsepnya
(Ahmad Azhar Basyir, 1993:17).

Akal adalah potensi (luar biasa) yang dianugerahkan Allah kepada manusia, karena dengan akalnya
manusia memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal. Dengan akalnya manusia dapat
membedakan mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang buruk, mana yang
menyelamatkan mana yang menyesatkan, mengetahui rahasia hidup dan kehidupan dan seterusnya.

Oleh karena itu, adalah pada tempatnya kalau agama dan ajaran Islam memberikan tempat yang
tinggi kepada akal, karena akal dapat digunakan memahami agama dan ajaran Islam sebaik- baiknya
dan seluas-luasnya. Sangat banyak ayat Al-Qur'an yang memerintahkan manusia mengunakan
akalnya untuk berfikir. Memikirkan alam semesta, memikirkan diri sendiri, memikirkan pranata atau
lembaga-lembaga sosial, dan sebagainya, dengan tujuan agar perjalanan hidup di dunia dapat
ditempuh setepat-tepatnya sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang
akan kembali kepada-Nya serta memetik hasil tanaman amal perbuatannya sendiri di dunia baik
sebagai abdi maupun sebagai khalifah-Nya di bumi.

Beberapa contoh ayat Al-Qur'an yang memerintahkan manusia berfikir tentang alam, diri sendiri,
ummat terdahulu dan pranata (lembaga) sosial, dikemukakan berikut ini. Dalam surat Ali Imran ayat
190, Allah berfirman, yang artinya :

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orangyang berakal".

Dalam surat Ar-Rum (30) kalimat pertama ayat 8, Allah bertanya; "Dan mengapa mereka tidak
memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? "

Dalam surat Al-Mu'min (40) kalimat pertama ayat 21 Allah bertanya kepada manusia yang hidup
sekarang tentang nasib mereka yang hidup dahulu, terjemahannya (lebih kurang), "Maka apakah
mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan bagaimana kesudahan
(nasib) orang-orang sebelum mereka?

Dalam surat Ar-Rum (30) tersebut di atas, Allah menyatakan dalam ayat 21 tentang pranata atau
lembaga perkawinan;

"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung kepadanya dan merasa tenteram bersamanya, dan dijadikan-Nya rasa
cinta dan kasih sayang di antara kamu (berdua). Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-
benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka yang berpikir."

2. Proses filsafat dalam rangka mencapai keimanan


Akal yang diberi tempat demikian tinggi di dalam agama Islam, mendorong kaum muslimin
mempergunakannya untuk memahami ajaran-ajaran Islam dengan penalaran rasional, sejauh ajaran
itu menjadi wewenang akal untuk memikirkannya.

Oleh karena itu, sesungguhnya, pada hakikatnya ummat Islam telah berfilsafat sejak mereka
menggunakan penalaran rasional dalam memahami agama dan ajaran Islam. Penalaran rasional
dalam memahami ajaran Islam adalah mempergunakan akal pikiran (ra'yu) untuk berijtihad
sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang Mu'az bin Jabal, (Ahmad Azhar Basyir, 1993:18-19).

Sebagai ilmu dan bidang studi, filsafat Islam muncul bersamaan dengan munculnya filsuf yang
muncul pertama, Al-Kindi pada pertengahan abad IX M. Atau bagian pertama abad III H, setelah
berlangsung gerakan penterjemahan buku ilmu dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab lebih dari
setengah abad di Bagdad. Oleh karena dapat dipahami kalau ada ulama yang menganggap filsafat
hanyalah hasil pemikiran berdasarkan akal manusia semata, seperti filsafat Yunani yang
diterjemahkan itu. Anggapan demikian tidak benar, sebab para filsuf muslim yang berfilsafat sama
seperti para ulama lainnya juga, mendasarkan pemikirannya pada Al-Qur'an dan Al-Hadits dan
memandang Al-Qur'an dan Al-Hadits di atas segala kebenaran yang didasarkan pada akal manusia
semata. Mereka tertarik kepada filsafat karena berpikir atau berfilsafat merupakan tuntutan agama
dalam rangka mencari kebenaran dan mengamalkan kebenaran itu. Yang mereka pergunakan
sebagai saringan (filter) adalah ajaran Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dengan mempergunakan Al-Qur'an
dan Al-Hadits sebagai dasar dan bingkai pemikiran, dapatlah disebut bahwa hasil pemikiran mereka
adalah filsafat Islam atau filsafat dalam Islam (Ensiklopedi Islam Indonesia, 1992: 232). Filsafat Islam
juga membicarakan masalah-masalah besar filsafat, seperti soal wujud, soal esa dan berbilang, yang
banyak dari yang Maha Satu (di bawah), teori mengenal kebahagiaan dan keutamaan, hubungan
manusia dengan Tuhan dan sebaliknya. Selain itu filsafat Islam mencakup juga tentang kedokteran,
hukum, ekonomi dan sebagainya. Juga memasuki lapangan ilmu-ilmu keislaman lain seperti ilmu
kalam, ilmu fikih dan ilmu tasawuf serta ilmu akhlak. Dalam pembahasan ilmu kalam, dan ilmu fikih
serta ilmu tasawuf (juga ilmu akhlak) terdapat uraian yang logis dan sistematis yang mengandung
pemikiran-pemikiran filosofos (kefilsafatan). Banyak persoalan-persoalan yang dibahas dalam filsafat
Islam. Di antaranya yang penting dalam kajian ini adalah persoalan (hubungan) akal dan wahyu atau
hubungan filsafat dengan agama, soal timbulnya yang banyak dari yang Maha Satu yaitu kejadian
alam, soal ruh, soal kelanjutan hidup sesudah ruh berpisah dengan badan atau mati (Ensiklopedi
Islam jilid II, 1993:16-17).

Filsafat Islam mencapai puncaknya di zaman al-Farabi dan Ibnu Sina pada abad XI dan XIIM atau
abad IV dan V H. Kedua tokoh ini merupakan bintang paling bercahaya dalam sejarah filsafat Islam,
sedang yang lain, sebutlah misalnya Ibnu Maskawih,

Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, juga bintang-bintang filsafat Islam, tetapi cahaya mereka tidaklah
secemerlang cahaya al-Farabi dan Ibnu Sina tersebut di atas. Setelah ada pertentangan di antara
para ahli atau ulama mengenai kefilsafatan seperti yang telah disinggung di atas yang berpuncak
pada polemik antara Ibnu Rusyd dan al-Ghazali sekitar abad XIIM, perhatian orang kepada filsafat
menjadi berkurang di kalangan Sunni. Perhatian itu baru bangkit dan berkembang kembali pada satu
abad terakhir ini (abad XX M). Di kalangan Syi'ah perhatian kepada filsafat (Islam) tidak pernah
berkurang, sampai sekarang. Malah pada waktu perhatian terhadap filsafat berkurang di kalangan
Sunni, kalangan Syi'ah mampu melahirkan filsuf-filsuf besar, seperti Mulla Sadra (w. 1640 M atau
1050 H).

Korelasi Hedonisme dengan IPTEK dan FILSAFAT


Hedonisme dipahami sebagai paham yang mementingkan kesenangan dan kemewahan fisik.
Hedonisme berasal dari bahasa Latin yang berarti kesenangan. Dalam sejarah filsafat Yunani, tokoh
pertama yang mengajarkan aliran hedonism adalah Democritus (400-300 SM), yang memandang
bahwa kesenangan merupakan tujuan pokok dalam kehidupan ini. Hidup hanya sekali, dan
karenanya kesenangan menjadi ukuran keberhasilan seseorang.

Tokoh lain adalah Aritiphus (395 SM), yang memandang bahwa satu-satunya yang ingin dicari
manusia adalah kesenangan. Oleh karena itu segala cara menjadi sah dilakukan apabila berutujuan
mencari kesenangan. Kesenangan didapat langsung oleh panca indera. Orang bijaksana, menurutnya
akan selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya, sebab kesakitan adalah suatu
pengalaman yang tidak menyenangkan.

Seperti akan mengoreksi para pendahulunya, Epicurus (341-270 SM) mencoba meluruskan
pemahaman akan hedonism. Menurut Epucurus, memang kesenangan tetaplah menjadi sumber
norma, tetapi tidak kesenangan jasmani semata-mata, sebab kesenangan tersebut pada akhirnya
kalau tidak dikendalikan akan menimbulkan rasa sakit juga. Terlalu bersenang-senang dengan makan
akan menimbulkan sakit perut, kolesterol, asam urat, dan penyakit lainnya. Terlalu banyak hubungan
seks akan menimbulkan kelelahan/loyo/lunglai. Maka kesenangan sejati menurutnya harus
bermakna tidak adanya rasa sakit dalam badan dan tidak adanya kesulitan jiwa. Jadi bukan sekedar
memperoleh kesenangan makan dan minum, bukan pula kesenangan seksual, tetapi lebih banyak
mencari argument yang menghilangkan segala kerisauan jiwa. Terlampau mengejar kesenangan fisik;
seperti uang, kehormatan, kekuasaan, tidak akan menimbulkan kekuasaan jiwa. Puncak hedonism
bagi Epikurus adalah ketenangan jiwa. Jiwa dapat mengenang kembali peristiwa-peristiwa yang
menyenangkan, dan mengatasi keterbatasn jasmani. Kesenangan tertinggi menurutnya adalah
kesenangan yang bisa dinikmati dengan pengendalian diri. Tidak lupa ia mengingatkan, bahwa
“Cinta uang adalah akar dari segala kejahatan”.

Dalam perkembangannya hedonism modern diatikan sebagai sebuah aliran pemikiran dan gaya
hidup yang mengabdi kesenangan semata, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek moral, agama,
sosial, dan budaya. Diyakini hedonism berjalan beriringan dengan kapitalisme dan neoliberalisme
yang memang untuk berjaya membutuhkan tingkat konsumerisme tinggi. Tingkat konsumerisme
tinggi yang dianggap sebagai puncak dari tahap-tahap peradaban masyarakat.

Hedonisme oleh aliran kapitalisme harus ditumbuhkan karena mencintai kesenangan akan
menimbulkan nafsu manusia untuk membeli dan mengkonsumsi hal apa saja yang ditawarkan, lalu
pasar menjadi tumbuh, dan bergeraklah sistem ekonomi kapitalis tersebut. Hedonism semakin subur
karena digerakkan oleh industri iklan yang bertugas merangsang syahwat manusia sedalam-
dalamnya, bila perlu dikuras habis harta kekayaan dan jiwa manusia untuk meraih kesenangan
walaupun iklan-iklan itu boleh jadi sekedar kebohongan semata.

Satu kenyataan yang merisaukan adalah bahwa hedonism telah meruntuhkan nilai-nilai budaya
masyarakat, karena demi kesenangan orang bisa lupa daratan, tak berpijak pada akar budaya di
mana ia berada. Maka seperti yang kita saksikan hari ini, demi mengejar kesenangan segala model
arsitektur dipaksakan berdiri di tengah arsitektur lokal yang lebih berkarakter, juga masuklah aneka
mode pakaian, makanan, dan pada sudut lain orang dengan dinginnya melakukan praktek
perampokan, korupsi, menjual anak kandung, melacurkan anak kandung, menelantarkan anak, dan
berbagai tindakan eksploitasi terhadap anak lainnya untuk mengejar kesenangan duniawi.

Tak pelak bila sebagian orang menilai hedonism tidak lain anak kandung materialism dan cucu
atheism. Hedonisme yang tampak berwajah tampan ternyata telah menempatkan dirinya sebagai
pewaris tunggal penghancur peradaban dan berhasil menundukkan sebagian besar umat manusia
untuk memperbudaknya.
Sesungguhnya bagi anak atau generasi muda, hedonism akan bernilai posiitf bila memotivasi dirinya
untuk belajar keras dan berprestasi demi meraih kesenangan, namun bernilai negatif bila yang
terjadi demi mengejar kesenangan ia menjadi pemalas, manja, tidak kreatif dan mencari jalan
terabas demi kesenangan duniawi sesaat.

Hal yang sama terjadi pada kemajuan teknologi. Diakui bahwa teknologi sangat bermanfaat karena
telah memberikan berbagai kemudahan hidup bagi manusia, namun pada sisi lain teknologi juga
telah memanjakan manusia sehingga akan membuat manusia menjadi pemalas, tidak kreatif, dan
semata-mata mengandalkan teknologi itu sendiri.

Bagi masyarakat di berbagai penjuru dunia, lompatan teknologi juga telah melahirkan gegar budaya,
yakni orang hanya mampu membeli sebuah produk tetapi tidak bisa mengendalikan. Ia bisa membeli
sepeda motor yang semestinya untuk alat transportasi, tetapi malahan digunakan untuk kebut-
kebutan, ia beli HP mestinya untuk memperlancar komunikasi tetapi dibelokkan menjadi sarana
perselingkuhan via sms, ia bisa memiliki akun facebook buka untuk membangun komunitas
komunikasi tetapi digunakan untuk menipu dan memperdaya orang lain, dan internet yang darinya
kita bisa mengunduh begitu banyak informasi, malahan dijadikan untuk menyebarkan materi
pornografi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohamad Daud. 2007. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Al-Qur’an
Kaelany HD. 2008. Islam Agama Universal. Jakarta : Midada Rahma Pres.
Mubarak, Zakky. 2010. Menjadi Cendekiawan Muslim; Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi.
Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniah.
www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=8454

www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/150.html

http://filsafat.kompasiana.com/2010/04/26/sekilas-tentang-hedonisme/

http://shafiyyah.blog.uns.ac.id/2009/06/30/manusiasainsdanteknologi/

Anda mungkin juga menyukai