Dosen Pembimbing :
Muallimah, S.Pd.I.,M.Ag
Disusun Oleh
Kelompok 5 :
Mantasia 21922097
MUHAMMADIYAH KENDARI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Strategi dan Metode
Pembelajaran Fiqh di MI ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Mualimah, S.Pd.I, M, Ag selaku Dosen
pengampu matakuliah Fiqh Muamalah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari
Pembaca demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Akad pernikahan dalam syariat Islam tidak sama dengan akad kepemilikan. akad
pernikahan diikat dengan memperhatikan adanya kewajiban-kewajiban di antara keduanya.
Dalam hal ini suami mempunyai kewajiban yang lebih berat dibandingkan istrinya
berdasarkan firman-Nya “akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya”. Kata satu tingkatan kelebihan dapat ditafsirkan dengan firmannya : “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (QS. An-Nisa ayat 34).
Pada dasarnya kewajiban suami juga merupakan hak isteri, sehingga jika berbicara
tentang kewajiban suami terhadap isteri, maka bisa juga berarti hak isteri atas suami.
Kewajiban adalah segala hal yang harus dilakukan oleh setiap individu, sementara hak adalah
segala sesuatu yang harus diterima oleh setiap individu. Dari definisi di atas, penulis
menyimpulkan bahwa kewajiban adalah segala perbuatan yang harus dilaksanakan oleh
individu atau kelompok sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa hak terdiri dari dua macam yaitu hak Allah dan
hak Adam. Dan hak isteri atas suami tentunya merupakan dimensi horizontal yang
menyangkut hubungan dengan sesama manusia sehingga dapat dimasukkan dalam kategori
hak Adam. Adapun yang menjadi hak istri atau bisa juga dikatakan kewajiban suami terhadap
isteri adalah sebagai berikut:
a. Mahar
Menurut Mutafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang harus diberikan oleh
seorang laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon isteri) karena pernikahan.
Pemberian mahar kepada calon istri merupakan ketentuan Allah SWT. bagi calon suami
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:
فَاِ ْن ِطنْب َ لَ ُك ْم َع ْن َش ْی ٍء ِّمْنهُ َن ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِیْٓـًٴـا َّم ِر ٓیْـًٴـا-ًؕص ُد ٰقتِ ِه َّن حِن ْلَة َ َو اٰتُوا الن
َ َِّسآء
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kata ًؕ النِ ْحلَةmenurut lbnu ‘Abbas artinya
mahar/maskawin. Menurut ‘A’isyah, ًؕالنِ ْحلَـة adalah sebuah keharusan. Sedangkan menurut
Ibnu Zaid ًؕ النِ ْحلَـ ـةdalam perkataan orang Arab, artinya sebuah kewajiban. Maksudnya,
seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan dengan sesuatu yang wajib diberikan
kepadanya, yakni mahar yang telah ditentukan dan disebutkan jumlahnya, dan pada saat
penyerahan mahar harus pula disertai dengan kerelaan hati sang calon suami.
b. Nafkah, Pakain dan Tempat Tinggal.
Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran. Yakni
Pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau
dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Fuqaha telah sependapat bahwa nafkah terhadap istri itu wajib atas suami yang
merdeka dan berada di tempat. Mengenai suami yang bepergian jauh, maka jumhur fuqaha
tetap mewajibkan suami atas nafkah untuk istrinya, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak
mewajibkan kecuali dengan putusan penguasa. Tentang kewajiban nafkah ini telah dijelaskan
Allah SWT. dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 233.
Maksud dari kata ٗ الْ َم ْولُْو ِد لَهpada ayat di atas adalah ayah kandung si anak. Artinya,
ayah si anak diwajibkan memberi nafkah dan pakaian untuk ibu dari anaknya dengan cara
ِ بِالْمعروadalah menurut kebiasaan yang telah berlaku
ف
yang ma’ruf. Yang dimaksud dengan ْ ُْ َ
di masyarakat tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu di bawah kepatutan, dan disesuaikan
juga dengan kemampuan finansial ayahnya.
c. Menggauli istri secara baik.
Menggauli istri dengan baik dan adil merupakan salah satu kewajiban suami terhadap
istrinya. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran surat an-Nisa ayat 19 yang berbunyi:
ِ ٰ َف-ؕض َّو مِب اۤ اَْن َف ُقوا ِمن اَمواهِلِم ٰ آء مِب ا فَض ِ ال َق ٰومو َن علَى الن
تُ الصل ٰح
ّ ْ َ ْ ْ ْ َ ٍ ض ُه ْم َع ٰلى َب ْع َ َّل اللّهُ َب ْع
َ َ ِّس َ َ ْ ُ ّ ُ اَ ِّلر َج
ِ و اٰلّتِی خَت ا ُفو َن نُشوزه َّن فَعِظُوه َّن و اهجروه َّن فِی الْمض-ؕب مِب ا ح ِف َظ ال ٰلّه ِ ِ
اج ِع َ َ ُ ْ ُُ ْ َ ُ ْ ُ َ ُْ ْ َ ْ َ ُ َ َ ِ ت لِّْلغَْی ٌ ٰت ٰحف ٰظ ٌ ٰقنت
اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َعلِیًّا َكبِْیًرا-ؕ فَاِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل َتْبغُ ْوا َعلَْی ِه َّن َسبِْیاًل- نۚ َّ اض ِربُ ْو ُه
ْ َو
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dari ال َق ّٰو ُم ْو َن َعلَى
ُ اَ ِّلر َج
ِ النِّسadalah kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum wanita. Artinya dalam rumah
آء َ
tangga seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus didengar dan ditaati
perintahnya, oleh karenaa itu sudah seharusnya seorang Istri mentaati suaminya jika
ِ
memerintahkannya dalam kebaikan. Menurut Ibnu Abbas maksud kata ٌ ٰقنتadalah para istri
ٰت
yang taat kepada suami. Artinya wanita sholeh itu salah satu tandanya adalah taat kepada
suami selama perintahnya tidak menyelisihi Allah dan Rasulnya.
b. Mengikuti tempat tinggal suami
Setelah menikah biasanya yang jadi permasalahan suami istri adalah tempat tinggal,
karena kebiasaan orang Indonesia pada masa-masa awal menikah suami istri masih ikut di
rumah orang tua salah satu pasangan lalu kemudian mencari tempat tinggal sendiri. Dalam
hal ini seorang istri harus mengikuti dimana suami bertempat tinggal, entah itu di rumah
orang tuanya atau di tempat kerjanya. Karena hal tersebut merupakan kewajiban seorang istri
untuk mengikuti dimana suami bertempat tinggal, sebagaimana firman Allah SWT sebagai
berikut:
C. Syiqaq
1. Pengertian Syiqaq
Syiqaq mengandung arti perselisihan atau retak. Istilah syiqaq berasal dari bahasa Arab
“syaqqa - yasyuqqu - syiqaaq”, yang artinya pecah, berhamburan. Sedangkan menurut istilah
fiqih, syiqaq berarti perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami istri yang telah
berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Syiqaq adalah krisis
memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi
pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin
dipertemukan dan kedua pihak tidak dapat mengatasinya.
2. Dasar Hukum Syiqaq dan Cara Penyelesaiannya
Syiqaq merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh agama Islam untuk
menyelesaikan pertengkaran yang terjadi dalam suatu keluarga. Hal ini dijelaskan dalam
firman Allah pada surat an-Nisaa’ ayat 35 yang Artinya: “Dan jika kamu khawatir ada
persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Memerhatikan.”
Firman Allah tersebut menjelaskan, jika terjadi kasus syiqaq antara suami istri maka
dianjurkan untuk mengutus seorang hakam dari pihak laki-laki maupun perempuan, dengan
tujuan untuk menyelidiki dan mencari sebab musabab permasalahan antara keduanya, dan
Allah meganjurkan agar pihak yang berselisih apabila memungkinkan untuk kembali
membina rumah tangga (hidup bersama) kembail. Dan perlu diketahui, yang dimaksud
dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam
menghadapi konflik keluarga tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989, syiqaq diartikan sebagai
perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Pengertian syiqaq yang
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang
terkandung dalam surat An-Nisaa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip
dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No. 9 Tahun 1974
jis pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum Islam: “antara suami
dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Secara kronologis Ibnu Qudamah dalam menjelaskan langkah-langkah dalam menghadapi
konflik tersebut, sebagai berikut:
Pertama: hakim mempelajari dan meneliti sebab terjadinya konflik tersebut. Bila ditemui
penyebabnya adalah karena nusyuz-nya istri, ditempuh jalan penyelesaian sebagaimana pada
kasus nusyuz tersebut di atas. Bila ternyata sebab konflik berasal dari nusyuz-nya suami,
maka hakim mencari seorang yang disegani oleh suami untuk menasehatinya untuk
menghentikan sikap nusyuznya itu dan menasehatinya untuk tidak berbuat kekerasan
terhadap istrinya. Kalau sebeb konflik timbul dari keduanya dan keduanya saling menuduh
pihak lain sebagai perusak dan tidak ada yang mau mengalah, hakim mencari seorang yang
berwibawa untuk menasehati keduanya.
Kedua: bila langkah-langkah tersebut tidak mendatangkan hasil dan ternyata pertengkaran
kedua belah pihak semakin menjadi, maka hakim menunjuk seorang dari pihak suami dan
seorang dari pihak istri dengan tugas menyelesaikan konflik tersebut. Kepada keduanya
diserahi wewenang untuk menyatukan kembali keluarga yang hampir pecah itu atau kalau
tidak mungkin menceraikan keduanya tergantung pendapat keduanya mana yang paling baik
dan mungkin diikuti.
1. Pengertian Hakamain
Hakamain merupakan bentuk tatsniyah dari hakam yang berarti pendamai. Hakam adalah
orang yang dapat menjadi juru damai di antara keduanya baik itu dari keluarganya maupun
dari selainnya. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri
untuk menyelesaikan masalah/kasus.
2. Persyaratan Hakamain
Syarat-syarat hakamain di antaranya sebagai berikut:
a. Berlaku adil diantara pihak yang bersengketa
b. Mengadakan perdamaian antara kedua suami istri dengan ikhlas
c. Disegani oleh kedua pihak suami istri
d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya, apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
Bagi kedua hakam disyaratkan harus laki-laki, adil, berpengalaman atau cakap dengan
hal-hal yang diharapkan dalam urusan ini. Dan disunnahkan kedua pendamai ini dari
keluarga sendiri, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Jika
dari keluarganya tidak ada yang bisa dijadikan hakam, maka hakim mengutus dua orang laki-
laki lain. Dan sebaiknya dari tetangga suami istri tersebut, yakni orang yang cakap dan
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan suami istri, dan dianggap mampu mendatangkan
perdamaian di antara keduanya. Hakamain tersebut juga harus bebas dari pengaruh-pengaruh
yang dapat merusak suasana dan mempersulit permasalahan. Mereka juga harus menjaga
citra suami istri tersebut serta menjaga rahasia keduanya.
3. Tugas dan Wewenang Hakamain
Dalam mengatasi problem yang terjadi di antara suami istri, hakamain yang juga sebagai
mediator mempunyai tugas dan wewenang. Adapun tugas dari hakamain ialah harus
bertindak dengan mempertimbangkan mashlahat, baik berupa tetap atau selesainya
pernikahan, bukan mengedepankan hajat suami, istri atau perwakilannya. Ini pendapat Ali,
Ibnu Abbas, Abu Salamah bin Abdur Rahman, As-Sya’bi, An-Nakho’i, Sa’id bin Jubair,
Malik, Al-Auza’i, Ishaq dan Ibnu Al-Munzir.
Terkait wewenang hakamain terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama
Malikiyyah berpendapat bahwa hakamain boleh memutuskan perkara tanpa izin dari suami
istri atau persetujuan hakim setelah hakamain tidak mampu untuk mendamaikan keduanya.
Dan jika mereka memutuskan dengan pisah maka berarti talak ba’in.
Adapun ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hakamain hanyalah wakil
dari suami istri. Jadi mereka tidak punya wewenang untuk memutuskan pisah dengan
menjatuhkan talak kecuali dengan izin suami istri tersebut. Sedangkan ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa hakamain harus mengajukan perkaranya kepada hakim, lalu kemudian
hakim yang menjatuhkan talak, yakni talak ba’in sesuai dengan yang ditetapkan hakamain.
Jadi hakamain tidak punya wewenang dalam menjatuhkan putusan tersebut.
Baik atas pendapat golongan yang mengatakan hakam berkedudukan sebagai wakil atau
sebagai hakim, keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan syara’ yaitu keduanya
harus telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan bersikap adil. Ini adalah syarat umum untuk
yang bertindak bagi kepentingan publik.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa tugas hakam adalah mencari jalan dami sehingga
kemungkinan perceraian dapat dihindarkan. Namun bila menurut pandangan keduanya tidak
ada jalan lain kecuali cerai, maka keduanya dapat menempuh jalan itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang disajikan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Nusyuz dimaknai dengan tidak tunduknya istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-
apa yang diwajibkan Allah atasnya. Hukum berbuat nusyuz adalah haram karena menyalahi
sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui al-Qur’an dan Hadis Nabi. Seperti yang
dijelaskan dalam QS. An-Nisaa’ ayat 34 dan ayat 128.
2. Nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dan nusyuznya suami. Untuk
nusyuz istri, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara menasehatinya, berpisah tempat
tidur, dan memukulnya. Namun bila dengan ketiga cara tersebut masalah belum dapat
terselesaikan baru diperbolehkan suami menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk
perceraian. Sedangkan untuk nusyuz suami, penyelesaiannya yaitu dengan ishlah
(perdamaian), sebagai suatu solusi perundingan yang membawa kepada perdamaian,
sehingga suami tidak sampai menceraikan istrinya.
3. Syiqaq adalah perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami istri yang telah berlarut-
larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Dasar hukum syiqaq adalah QS.
An-Nisaa’ ayat 35.
4. Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu
dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain.
5. Hakamain adalah orang yang dapat menjadi juru damai di antara keduanya baik itu dari
keluarganya maupun dari selainnya. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang
hakam dari pihak istri untuk menyelesaikan masalah/kasus. Syarat hakamain yaitu keduanya
harus telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan bersikap adil.
DAFTAR PUSTAKA