Anda di halaman 1dari 18

Judul Makalah

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI, NUSYUZ, SYIQAQ, DAN HAKAMAIN

Dosen Pembimbing :

Muallimah, S.Pd.I.,M.Ag

Disusun Oleh

Kelompok 5 :

Hasfha Aflahul 21922078

Mantasia 21922097

FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MUHAMMADIYAH KENDARI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Strategi dan Metode
Pembelajaran Fiqh di MI ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Mualimah, S.Pd.I, M, Ag selaku Dosen
pengampu matakuliah Fiqh Muamalah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari
Pembaca demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Kendari, 19 November 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................


DAFTAR ISI .................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................
A. Latar Belakang .........................................................................................................
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan ......................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................
A. Hak dan Kewajiban Suami dan Istri……………………………………………….
B. Nusyuz
1. Pengertian Nusyuz .............................................................................................
2. Dasar Hukum Nusyuz ........................................................................................
3. Macam-Macam Nusyuz dan Cara Penyelesaiannya ..........................................
4. Implikasi Hukum yang Ditimbulkan .................................................................
C. Syiqaq
1. Pengertian Syiqaq ..............................................................................................
2. Dasar Hukum Syiqaq dan Cara Penyelesaiannya ..............................................
3. Implikasi Hukum ynag Ditimbulkan .................................................................
D. Hakamain
1. Pengertian Hakamain .........................................................................................
2. Syarat-Syarat Hakamain ....................................................................................
3. Tugas dan Wewenang Hakamain .......................................................................
BABIII PENUTUP ...................................................................................................
Kesimpulan ....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
BAB I
PENDAHULULUAN

A.    Latar Belakang


Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat dimana di dalamnya hanya
terdiri dari suami, istri dan sebagian anak. Dan setiap rumah tangga pasti menginginkan
menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah yang di dalamnya pasti
terdapat kenyamanan, baik ketika berada di rumah maupun berada di luar rumah. Dalam
realitas sosial yang terjadi di masyarakat pada umumnya di zaman sekarang seperti yang
sering kita lihat dan pernah kita dengar dari mana-mana bahkan media yang ada, sepertinya
banyak sekali keluarga yang mengalami perceraian. Di antara perceraian tersebut meliputi
berbagai macam faktor salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak-hak dan kewajiban
antara suami istri, biasanya istri tidak menerima akhirnya terjadilah nusyuz (pembangkangan)
seorang istri kepada suaminya. Biasanya perselisihan seperti ini dilatarbelakangi adanya
suatu kecurigaan dan tidak ingin bermusyawarah sebelumnya. Dan akhirnya suami istri
tersebut bertengkar dan berselisih sehingga terjadilah perceraian.
Melihat fenomena tersebut, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba menguraikan
tentang konsep nusyuz, syiqaq, dan hakamain.
B.     Rumusan Masalah
1. Apakah Hak dan Kewajiban Suami dan Istri ?
2. Apa pengertian nusyuz dan dasar hukumnya?
3. Bagaimana bentuk/macam-macam nusyuz dan cara penyelesaiannya?
4. Apa pengertian syiqaq dan dasar hukumnya?
5. Bagaimana cara penyelesaian syiqaq?
6. Apa pengertian, syarat, serta tugas-tugas hakamain?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan
informasi mengenai Nusyuz, Syiqaq, dan Hakamain kepada rekan-rekan pembaca pada
umumnya dan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Fiqh Muamalah pada
khususnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hak dan Kewajiban Suami Istri


1. Pengertian hak dan kewajiban suami istri
Yang dimakssud dengan hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang
lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang harus dilakukan seseorang
terhadap orang lain. Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan
Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan.
Kewajiban suami adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk
istrinya. Sedangkan kewajiaban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanakan dan lakukan
untuk suaminya. Begitu juga dengan pengertian hak suami adalah sesuatu yang harus
diterima suami dari isterinya. Sedangkan hak isteri adalah sesuatu yang harus diterima isteri
dari suaminya..
Dengan dilangsungkan akad nikah antara mempelai laki-laki dan mempelai
perempuan yang dilakukan oleh walinya, terjalinlah hubungn suami isteri dan timbul hak dan
kewajiban masing-masing timbal-balik.
2. Kewajiban Suami terhadap Isteri Menurut Al-Qur’an

Akad pernikahan dalam syariat Islam tidak sama dengan akad kepemilikan. akad
pernikahan diikat dengan memperhatikan adanya kewajiban-kewajiban di antara keduanya.
Dalam hal ini suami mempunyai kewajiban yang lebih berat dibandingkan istrinya
berdasarkan firman-Nya “akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya”. Kata satu tingkatan kelebihan dapat ditafsirkan dengan firmannya : “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (QS. An-Nisa ayat 34).
Pada dasarnya kewajiban suami juga merupakan hak isteri, sehingga jika berbicara
tentang kewajiban suami terhadap isteri, maka bisa juga berarti hak isteri atas suami.
Kewajiban adalah segala hal yang harus dilakukan oleh setiap individu, sementara hak adalah
segala sesuatu yang harus diterima oleh setiap individu. Dari definisi di atas, penulis
menyimpulkan bahwa kewajiban adalah segala perbuatan yang harus dilaksanakan oleh
individu atau kelompok sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa hak terdiri dari dua macam yaitu hak Allah dan
hak Adam. Dan hak isteri atas suami tentunya merupakan dimensi horizontal yang
menyangkut hubungan dengan sesama manusia sehingga dapat dimasukkan dalam kategori
hak Adam. Adapun yang menjadi hak istri atau bisa juga dikatakan kewajiban suami terhadap
isteri adalah sebagai berikut:
a. Mahar
Menurut Mutafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang harus diberikan oleh
seorang laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon isteri) karena pernikahan.
Pemberian mahar kepada calon istri merupakan ketentuan Allah SWT. bagi calon suami
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:

‫فَاِ ْن ِطنْب َ لَ ُك ْم َع ْن َش ْی ٍء ِّمْنهُ َن ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِیْٓـًٴـا َّم ِر ٓیْـًٴـا‬-ًؕ‫ص ُد ٰقتِ ِه َّن حِن ْلَة‬ َ ‫َو اٰتُوا الن‬
َ َ‫ِّسآء‬
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kata ًؕ‫ النِ ْحلَة‬menurut lbnu ‘Abbas artinya
mahar/maskawin. Menurut ‘A’isyah, ًؕ‫النِ ْحلَـة‬ adalah sebuah keharusan. Sedangkan menurut

Ibnu Zaid ًؕ‫ النِ ْحلَـ ـة‬dalam perkataan orang Arab, artinya sebuah kewajiban. Maksudnya,
seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan dengan sesuatu yang wajib diberikan
kepadanya, yakni mahar yang telah ditentukan dan disebutkan jumlahnya, dan pada saat
penyerahan mahar harus pula disertai dengan kerelaan hati sang calon suami.
b. Nafkah, Pakain dan Tempat Tinggal.
Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran. Yakni
Pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau
dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Fuqaha telah sependapat bahwa nafkah terhadap istri itu wajib atas suami yang
merdeka dan berada di tempat. Mengenai suami yang bepergian jauh, maka jumhur fuqaha
tetap mewajibkan suami atas nafkah untuk istrinya, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak
mewajibkan kecuali dengan putusan penguasa. Tentang kewajiban nafkah ini telah dijelaskan
Allah SWT. dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 233.

‫و َعلَى الْ َم ْولُْو ِد لَهٗ ِر ْز ُق ُه َّن‬-


َ َؕ‫اعة‬
َ‫ض‬ َّ ‫ت یُْر ِض ْع َن اَْواَل َد ُه َّن َح ْولَنْی ِ َك ِاملَنْی ِ لِ َم ْن اََر َاد اَ ْن یُّتِ َّم‬
َ ‫الر‬
ِ
ُ ‫َو الْ َوال ٰد‬
‫س اِاَّل ُو ْس َع َها‬ٌ ‫ف َن ْف‬
ِ ِ
ُ َّ‫اَل تُ َكل‬-ؕ‫َو ك ْس َو ُت ُه َّن بِالْ َم ْع ُر ْوف‬
Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.”

Maksud dari kata ٗ‫ الْ َم ْولُْو ِد لَه‬pada ayat di atas adalah ayah kandung si anak. Artinya,
ayah si anak diwajibkan memberi nafkah dan pakaian untuk ibu dari anaknya dengan cara
ِ ‫ بِالْمعرو‬adalah menurut kebiasaan yang telah berlaku
‫ف‬
yang ma’ruf. Yang dimaksud dengan ْ ُْ َ
di masyarakat tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu di bawah kepatutan, dan disesuaikan
juga dengan kemampuan finansial ayahnya.
c. Menggauli istri secara baik.
Menggauli istri dengan baik dan adil merupakan salah satu kewajiban suami terhadap
istrinya. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran surat an-Nisa ayat 19 yang berbunyi:

ِ ‫ضلُ ْو ُه َّن لِتَ ْذ َهُب ْوا بَِب ْع‬


‫ض َماۤ اَٰتْیتُ ُم ْو ُه َّن‬ ُ ‫ِّسآءَ َك ْر ًهاؕ َواَل َت ْع‬ ِ ِ ِ َّ
َ ‫ٰیۤاَیُّ َها الذیْ َن اٰ َمُن ْوا اَل حَی ُّل لَ ُك ْم اَ ْن تَرثُوا الن‬
‫فَاِ ْن َك ِر ْهتُ ُم ْو ُه َّن َف َع ٰسۤى اَ ْن تَكَْر ُه ْوا َشْیـًٴـا َّوجَیْ َع َل‬-‫ف‬ ِ ‫اح َش ٍة ُّمبِّینَ ٍةۚ وع‬
ۚ ِ ‫اش ُر ْو ُه َّن بِالْ َم ْع ُر ْو‬ ِ ‫اِاَّل ۤ اَ ْن یَّاْتِ بَِف‬
ََ َ َ ‫نْی‬
‫ال ٰلّهُ فِْی ِه َخْیًرا َكثِْیًرا‬
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

ِ ‫ وعا ِش ـروه َّن بِالْمعرو‬adalah ditujukan kepada suami-suami agar


‫ف‬
Maksud dari kata ْ ُْ َ ُ ُْ َ َ
berbicara dengan baik terhadap para istri dan bersikap dengan baik dalam perbuatan dan
penampilan. Sebagaimana suami juga menyukai hal tersebut dari istrinya, maka hendaklah
suami melakukan hal yang sama. Sebagaimana hadist dari riwayat ‘A’isyah ra., bahwasanya
Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya,
dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”. Dan di antara akhlak Rasulullah
saw. adalah memperlakukan keluarganya dengan baik, selalu bergembira bermain dengan
keluarga, bermuka manis, bersikap lemah lembut, memberi kelapangan dalam hal nafkah,
dan bersenda gurau bersama istri-istrinya.

ِ ‫اشروه َّن بِالْمعرو‬


‫ف‬ ِ
Adapun Imam Asy-Sya’rawi Rahimahullah mengatakan, ْ ُ ْ َ ُ ْ ُ ‫ َو َع‬, Kata
‫ الْ َم ْع ُر ْوف‬memiliki pengertian yang lebih tinggi tingkatannya dari kata al–mawaddah. Karena
makna kata al-mawaddah berarti perbuatan baik kita kepada orang lain hanya didasarkan
karena rasa cinta (al-hubb) atau karena kita merasa senang dan bahagia dengan keberadaan
orang itu. Adapun kata ‫ الْ َم ْع ُـر ْوف‬maknanya kita berbuat baik kepada seseorang yang belum
tentu kita sukai atau kita senangi. Artinya jika suatu saat istri kita sudah tidak lagi menarik
secara fisik atau keberadaannya sudah tidak menyenangkan lagi bahkan membangkitkan
kebencian dihati, maka tetaplah berlaku makruf terhadapnya dan bergaul dengannya dengan
sebaik-baiknya perlakuan sebagaimana perintah ayat tersebut, karena bisa jadi satu sisi dia
buruk namun pada sisi lainnya banyak kebaikan-kebaikannya yang bisa menutupi
keburukannya tersebut.
d. Menjaga istri dari dosa.
Sudah menjadi kewajiban seorang kepala rumah tangga untuk memberikan
pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah dan RasulNya.
Dengan ilmu agama seseorang mampu membedakan baik dan buruknya prilaku dan dapat
menjaga diri dari berbuat dosa. Selain ilmu agama, seorang suami juga wajib memberikan
nasehat atau teguran ketika istrinya khilaf atau lupa atau meninggalkan kewajiban dengan
kata-kata bijak yang tidak melukai hati sang istri, sebagaimana Firman Allah SWT. surah At-
Tahrim ayat 6 berikut :

‫َّاس َو احْلِ َج َارةُ َعلَْی َها َم ٓل ٰ ٕى َكةٌ ِغاَل ٌظ ِش َد ٌاد‬ ِ ِ َّ


ُ ‫یٰۤاَیُّ َها الذیْ َن اٰ َمُن ْوا ُقْۤوا اَْن ُف َس ُك ْم َو اَ ْهلْی ُك ْم نَ ًارا َّو ُق ْو ُد َها الن‬
‫ص ْو َن ال ٰلّهَ َماۤ اََمَر ُه ْم َو َی ْف َعلُ ْو َن َما یُ ْؤ َم ُر ْو َن‬
ُ ‫اَّل َی ْع‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
e. Memberikan cinta dan kasih sayang kepada istri.
Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Ar Rum ayat 21 di atas pada kalimat ‫َو‬
ًؕ‫ َج َع َل َبْینَ ُك ْم َّم َو َّد ًة َّو َرمْح َة‬dapat juga dimaknai bahwa seorang suami wajib memberikan cinta
dan kasih sayang kepada istrinya yang terwujud dalam perlakuan dan perkataan yang mampu
membuat rasa tenang dan nyaman bagi istri dalam menjalankan fungsinya sebagai istri
sekaligus ibu rumah tangga. Adapun bentuk perlakuan tersebut bisa berupa perhatian,
ketulusan, keromantisan, kemesraan, rayuan, senda gurau, dan seterusnya.
Dalam memberikan cinta dan kasih sayang bukanlah atas dasar besar kecilnya rasa
cinta kita kepada istri, akan tetapi hal tersebut merupakan perintah Allah SWT. agar suami
istri saling mencinta dan berkasih sayang sebagai wujud kepatuhan kepada Allah SWT. Jika
memberikan cinta dan kasih sayang antara suami istri sudah disandarkan pada perintah Allah
SWT. maka as-sakiinah (ketentraman) dalam rumah tangga akan mudah kita raih.
3. Kewajiban Isteri Terhadap Suami Menurut Al-Qur’an
a. Taat kepada suami
Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana yang tersirat dalam Al-
Qur’an Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:

ِ ٰ َ‫ف‬-ؕ‫ض َّو مِب اۤ اَْن َف ُقوا ِمن اَمواهِلِم‬ ٰ ‫آء مِب ا فَض‬ ِ ‫ال َق ٰومو َن علَى الن‬
‫ت‬ُ ‫الصل ٰح‬
ّ ْ َ ْ ْ ْ َ ٍ ‫ض ُه ْم َع ٰلى َب ْع‬ َ ‫َّل اللّهُ َب ْع‬
َ َ ‫ِّس‬ َ َ ْ ُ ّ ُ ‫اَ ِّلر َج‬
ِ ‫و اٰلّتِی خَت ا ُفو َن نُشوزه َّن فَعِظُوه َّن و اهجروه َّن فِی الْمض‬-ؕ‫ب مِب ا ح ِف َظ ال ٰلّه‬ ِ ِ
‫اج ِع‬ َ َ ُ ْ ُُ ْ َ ُ ْ ُ َ ُْ ْ َ ْ َ ُ َ َ ِ ‫ت لِّْلغَْی‬ ٌ ‫ٰت ٰحف ٰظ‬ ٌ ‫ٰقنت‬
‫اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َعلِیًّا َكبِْیًرا‬-ؕ ‫فَاِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل َتْبغُ ْوا َعلَْی ِه َّن َسبِْیاًل‬- ‫ن‬ۚ َّ ‫اض ِربُ ْو ُه‬
ْ ‫َو‬
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dari ‫ال َق ّٰو ُم ْو َن َعلَى‬
ُ ‫اَ ِّلر َج‬
ِ ‫ النِّس‬adalah kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum wanita. Artinya dalam rumah
‫آء‬ َ
tangga seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus didengar dan ditaati
perintahnya, oleh karenaa itu sudah seharusnya seorang Istri mentaati suaminya jika
ِ
memerintahkannya dalam kebaikan. Menurut Ibnu Abbas maksud kata ٌ ‫ ٰقنت‬adalah para istri
‫ٰت‬
yang taat kepada suami. Artinya wanita sholeh itu salah satu tandanya adalah taat kepada
suami selama perintahnya tidak menyelisihi Allah dan Rasulnya.
b. Mengikuti tempat tinggal suami
Setelah menikah biasanya yang jadi permasalahan suami istri adalah tempat tinggal,
karena kebiasaan orang Indonesia pada masa-masa awal menikah suami istri masih ikut di
rumah orang tua salah satu pasangan lalu kemudian mencari tempat tinggal sendiri. Dalam
hal ini seorang istri harus mengikuti dimana suami bertempat tinggal, entah itu di rumah
orang tuanya atau di tempat kerjanya. Karena hal tersebut merupakan kewajiban seorang istri
untuk mengikuti dimana suami bertempat tinggal, sebagaimana firman Allah SWT sebagai
berikut:

‫ث َس َكْنتُ ْم ِّم ْن ُّو ْج ِد ُك ْم‬


ُ ‫…اَ ْس ِكُن ْو ُه َّن ِم ْن َحْی‬
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut
kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).
c. Menjaga diri saat suami tak ada
Seorang wanita yang sudah menikah dan memulai rumah tangga maka harus membatasi
tamu-tamu yang datang ke rumah. Ketika ada tamu lawan jenis maka yang harus dilakukan
adalah tidak menerimanya masuk ke dalam rumah kecuali jika ada suami yang menemani dan
seizin suami. Karena perkara yang dapat berpotensi mendatangkan fitnah haruslah dihindari.
Allah SWT berfirman, “Wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri
ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka.” (QS. Annisa:34).
B. Nusyuz
1.      Pengertian Nusyuz
Nusyuz secara bahasa (etimologi), berarti meninggi atau terangkat. Istilah nusyuz ini
diambil dari kata al-nasyaz yang berarti bagian bumi yang tinggi. Adapun menurut
terminologis, nusyuz dimaknai dengan tidak tunduknya istri terhadap suami dalam hal
menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.
Menurut fuqaha Hanafiyah, secara terminologis mendefinisikannya dengan
ketidaksenangan yang terjadi di antara suami istri. Ualama mazhad Maliki, berpendapat
bahwa nusyuz adalah saling menganiaya suami istri. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah,
nusyuz adalah perselisihan di antara suami istri, sementara itu ulama Hambaliyah,
mendefinisikannya dengan ketidaksenangan dari pihak sitri atau suami yang disertai dengan
pergaulan yang tidak harmonis.
Menurut Slamet Abidin dan Aminuddin, secara terminologis nusyuz berarti durhaka.
Maksudnya, seorang istri melakukan pebuatan yang menantang suami tanpa alasan yang
dapat diterima oleh syarak. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak ke tempat
tidurnya.1[3]
Dan sebagai kesimpulannya, nusyuz adalah suatu fenomena yang sebenarnya berasal dari
perempuan, tetapi ada kalanya juga ditimbulkan dari laki-laki, walaupun bisa jadi berawal
dari keduanya dengan saling menuduh dan saling menghujat terhadap salah satunya.
2.      Dasar Hukum Nusyuz
Dasar hukum nusyuz, sebagaimana Allah menjelaskan dalam firman-Nya pada surat An-
Nisaa’ ayat 34 yang Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu
maka wanita saleh, ialah yang taat kepada Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirjan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan. Sungguh Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar.”
Ayat ini sering kali dikutip dan digunakan sebagai landasan tentang nusyuznya istri
terhadap suami, meskipun secara tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal mula terjadinya
nusyuz istri tersebut melainkan hanya sebatas solusi atau proses penyelesaiiannya saja yang
ditawarkan. Atau dapat juga ditarik beberapa pemahaman mengenai kandungan ayat tersebut,
yaitu:
1.      Kepemimpinan rumah tangga
2.      Hak dan kewajiban suami istri
3.      Solusi tentang nusyuz yang dilakukan oleh istri
Terdapat ayat lain juga yang biasa dikutip ketika membicarakan persoalan nusyuz yaitu
firman Allah surat An-Nisaa’ ayat 128 yang Artinya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu
dalam urusan mereka itu atau Allah menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka
karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.”
1
Ayat diatas sering dikutip sebagai dasar tentang nusyuznya suami, walaupun pada
realitanya maupun dalam literatur-literatur kajian fiqih persoalan tentang nusyuznya suami
kurang mendapat perhatian dan jarang menjadi objek kajian secara khusus.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan mengenai persoalan nusyuz KHI berangkat
dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi istri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga
kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-
batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Dan istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau
melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun dalam
masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyuz istri tersebut menurut KHI harus di
dasarkan atas bukti yang sah.
3.      Macam-Macam Nusyuz dan Cara Penyelesaiannya
Pada dasarnya nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dan nusyuznya
suami. Karena watak mereka berdua pada dasarnya berbeda, maka berbeda pula cara
penyelesaiannya.
a.       Nusyuz Istri
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan
nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena
adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan
yang wajib dilakukan.
Adapun beberapa perbuatan yang dilakukan istri, yang termasuk nusyuz, misalnya:
1)       Suami menyediakan rumah yang sesuai dengan kemampuan suami, tetapi istri tidak mau
pindah ke rumah tersebut. Atau istri meninggalkan rumah tanpa seizin suami.
2)       Penolakan istri ketika suami mengajak berjima’ tanpa adanya alasan yang syar’i.
3)       Apabila istri bepergian tanpa suami atau mahramnya walaupun perjalanan itu wajib, seperti
haji, karena perjalanan perempuan tidak dengan suami atau mahramnya termasuk maksiat.
Bagi suami, jika telah jelas bahwa istrinya nusyuz karena dengan berpalingnya perilaku
istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan permusuhan,
kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh tiga tahapan berikut:
1)      Menasehati
Yakni, suami memberi nasehat kepada istri untuk ingat pada Allah dan takut kepada-Nya,
serta mengingatkan tentang kewajiban istri untuk taat kepada suaminya, dan memberi
pandangan tentang dosanya berselisih dengan suami dan membangkang terhadapnya, dan
hilangnya hak-hak istri baik dari suami baik berupa nafkah dan lain-lain.
2)      Berpisah tempat tidur
Hal ini dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, dan
meninggalkan pergaulan dengannya. Maksudnya yaitu suami tidak tidur dengan istrinya,
memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika istri mencintai suami maka
hal itu terasa berat atasnya sehingga ia kembali baik. Jika ia masih marah maka dapat
diketahui bahwa nusyuz darinya sehingga jelas bahwa hal itu berawal darinya.
3)      Memukul
Jika dengan berpisah tempat tidur istri belum memperlihatkan adanya perbaikan, maka suami
berdasarkan boleh memukul istrinya dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam
hal ini adalah dalam bentuk ta’dib atau edukatif, bukan atas dasar kebencian. Suami dilarang
memukul dengan pukulan yang menyakiti.
Bila dengan pukulan ringan tersebut istri telah kembali kepada keadaan semula masalah
telah dapat diselesaikan. Namun bila cara-cara di atas telah ditempuh tapi tidak berhasil, dan
pada akhirnya masing-masing mendakwa berbuat aniaya dan tidak ada bukti bagi keduanya,
maka permasalahan dibawa kepada hakim agar diutuslah dua orang hakam kepada suami istri
tersebut. Seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk
mendamaikan atau memisahkan keduanya.
b.      Nusyuz Suami
Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan
kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan
kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau
nafaqah maupun meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri diantaranya menggauli
istrinya dengan baik. Nusyuz suami pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi
kewajibannya, yaitu:
1)      Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami
2)      Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama
seperti alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan di rumah istri.
3)      Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga
4)      Berbuat adil, apabila istri lebih dari satu.
Adapun tindakan istri bila menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan Allah
dalam surt an-Nisa ayat 128 yang Artinya: “Jika istri khawatir suaminya akan berlaku
nusyuz dan berpaling, tidak ada salahnya jika keduanya melakukan perdamaian dalam
bentuk perdamaian yang menyelesaikan. Berdamai itu adalah cara yang paling baik. Hawa
nafsu manusia tampil dalam bentuk pelit. Bila kamu berbuat baik dan bertakwa maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu kerjakan.”
Maka cara penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), sebagai suatu solusi
sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas adalah perundingan yang membawa kepada
perdamaian, sehingga suami tidak sampai menceraikan istrinya. Akan tetapi jika hal ini tidak
berhasil maka suami istri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa
datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan
Agama (KUA).
4.      Implikasi Hukum yang Ditimbulkan
Hukum berbuat nusyuz adalah haram karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan
agama melalui al-Qur’an dan Hadis Nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya
berhak atas dosa dari Allah dan dalam hubungannya dengan suami dan rumah tangga
merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami istri. Konsekuensi hukum akibat
nusyuz istri terhadap suaminya adalah gugur kewajiban suaminya memberi nafkah kepada
istri selama masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyuz itu tidak dengan sendirinya
memutus ikatan perkawinan. Dan apabila suaminya meninggal dunia, istri tidak mendapat
warisan, terkecuali harta pembawaan sebelum terjadi akad nikah. Apabila seorang istri
murtad, maka terputuslah hak untuk mendapat warisan, dan jika ada harta pembawaannya,
tidak diwarisi namun diserahkan kepada baitul mal. Alasan dari semua itu adalah karena
nafkah dan warisan merupakan nikmat Allah swt. Maka tidak dibenarkan mendapatkan dari
jalan kedurhakaan dan kemaksiatan. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh
melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut
apabila si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.

C. Syiqaq
1.      Pengertian Syiqaq
Syiqaq mengandung arti perselisihan atau retak. Istilah syiqaq berasal dari bahasa Arab
“syaqqa - yasyuqqu - syiqaaq”, yang artinya pecah, berhamburan. Sedangkan menurut istilah
fiqih, syiqaq berarti perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami istri yang telah
berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Syiqaq adalah krisis
memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi
pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin
dipertemukan dan kedua pihak tidak dapat mengatasinya.
2.      Dasar Hukum Syiqaq dan Cara Penyelesaiannya
Syiqaq merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh agama Islam untuk
menyelesaikan pertengkaran yang terjadi dalam suatu keluarga. Hal ini dijelaskan dalam
firman Allah pada surat an-Nisaa’ ayat 35 yang Artinya: “Dan jika kamu khawatir ada
persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Memerhatikan.”
Firman Allah tersebut menjelaskan, jika terjadi kasus syiqaq antara suami istri maka
dianjurkan untuk mengutus seorang hakam dari pihak laki-laki maupun perempuan, dengan
tujuan untuk menyelidiki dan mencari sebab musabab permasalahan antara keduanya, dan
Allah meganjurkan agar pihak yang berselisih apabila memungkinkan untuk kembali
membina rumah tangga (hidup bersama) kembail. Dan perlu diketahui, yang dimaksud
dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam
menghadapi konflik keluarga tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989, syiqaq diartikan sebagai
perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Pengertian syiqaq yang
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang
terkandung dalam surat An-Nisaa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip
dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No. 9 Tahun 1974
jis pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum Islam: “antara suami
dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Secara kronologis Ibnu Qudamah dalam menjelaskan langkah-langkah dalam menghadapi
konflik tersebut, sebagai berikut:
Pertama: hakim mempelajari dan meneliti sebab terjadinya konflik tersebut. Bila ditemui
penyebabnya adalah karena nusyuz-nya istri, ditempuh jalan penyelesaian sebagaimana pada
kasus nusyuz tersebut di atas. Bila ternyata sebab konflik berasal dari nusyuz-nya suami,
maka hakim mencari seorang yang disegani oleh suami untuk menasehatinya untuk
menghentikan sikap nusyuznya itu dan menasehatinya untuk tidak berbuat kekerasan
terhadap istrinya. Kalau sebeb konflik timbul dari keduanya dan keduanya saling menuduh
pihak lain sebagai perusak dan tidak ada yang mau mengalah, hakim mencari seorang yang
berwibawa untuk menasehati keduanya.
Kedua: bila langkah-langkah tersebut tidak mendatangkan hasil dan ternyata pertengkaran
kedua belah pihak semakin menjadi, maka hakim menunjuk seorang dari pihak suami dan
seorang dari pihak istri dengan tugas menyelesaikan konflik tersebut. Kepada keduanya
diserahi wewenang untuk menyatukan kembali keluarga yang hampir pecah itu atau kalau
tidak mungkin menceraikan keduanya tergantung pendapat keduanya mana yang paling baik
dan mungkin diikuti.

3.      Implikasi Hukum yang Ditimbulkan


Apabila dalam kasus syiqaq ini keduanya dapat berdamai maka salah atu hal yang terbaik
dapat adalah dengan menceraikan keduanya, dan kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah
bersifat ba’in, yaitu pernikahan yang putus secara penuh dan tidak memungkinkan untuk
kembali lagi kecuali dengan mengadakan akad dan mas kawin baru tanpa harus dinikahi oleh
pria lain sebelumnya.
C.    Hakamain

1. Pengertian Hakamain
Hakamain merupakan bentuk tatsniyah dari hakam yang berarti pendamai. Hakam adalah
orang yang dapat menjadi juru damai di antara keduanya baik itu dari keluarganya maupun
dari selainnya. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri
untuk menyelesaikan masalah/kasus.

2. Persyaratan Hakamain
Syarat-syarat hakamain di antaranya sebagai berikut:
a.       Berlaku adil diantara pihak yang bersengketa
b.      Mengadakan perdamaian antara kedua suami istri dengan ikhlas
c.       Disegani oleh kedua pihak suami istri
d.      Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya, apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
Bagi kedua hakam disyaratkan harus laki-laki, adil, berpengalaman atau cakap dengan
hal-hal yang diharapkan dalam urusan ini. Dan disunnahkan kedua pendamai ini dari
keluarga sendiri, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Jika
dari keluarganya tidak ada yang bisa dijadikan hakam, maka hakim mengutus dua orang laki-
laki lain. Dan sebaiknya dari tetangga suami istri tersebut, yakni orang yang cakap dan
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan suami istri, dan dianggap mampu mendatangkan
perdamaian di antara keduanya. Hakamain tersebut juga harus bebas dari pengaruh-pengaruh
yang dapat merusak suasana dan mempersulit permasalahan. Mereka juga harus menjaga
citra suami istri tersebut serta menjaga rahasia keduanya.
3. Tugas dan Wewenang Hakamain
Dalam mengatasi problem yang terjadi di antara suami istri, hakamain yang juga sebagai
mediator mempunyai tugas dan wewenang. Adapun tugas dari hakamain ialah harus
bertindak dengan mempertimbangkan mashlahat, baik berupa tetap atau selesainya
pernikahan, bukan mengedepankan hajat suami, istri atau perwakilannya. Ini pendapat Ali,
Ibnu Abbas, Abu Salamah bin Abdur Rahman, As-Sya’bi, An-Nakho’i, Sa’id bin Jubair,
Malik, Al-Auza’i, Ishaq dan Ibnu Al-Munzir.
Terkait wewenang hakamain terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama
Malikiyyah berpendapat bahwa hakamain boleh memutuskan perkara tanpa izin dari suami
istri atau persetujuan hakim setelah hakamain tidak mampu untuk mendamaikan keduanya.
Dan jika mereka memutuskan dengan pisah maka berarti talak ba’in.
Adapun ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hakamain hanyalah wakil
dari suami istri. Jadi mereka tidak punya wewenang untuk memutuskan pisah dengan
menjatuhkan talak kecuali dengan izin suami istri tersebut. Sedangkan ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa hakamain harus mengajukan perkaranya kepada hakim, lalu kemudian
hakim yang menjatuhkan talak, yakni talak ba’in sesuai dengan yang ditetapkan hakamain.
Jadi hakamain tidak punya wewenang dalam menjatuhkan putusan tersebut.
Baik atas pendapat golongan yang mengatakan hakam berkedudukan sebagai wakil atau
sebagai hakim, keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan syara’ yaitu keduanya
harus telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan bersikap adil. Ini adalah syarat umum untuk
yang bertindak bagi kepentingan publik.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa tugas hakam adalah mencari jalan dami sehingga
kemungkinan perceraian dapat dihindarkan. Namun bila menurut pandangan keduanya tidak
ada jalan lain kecuali cerai, maka keduanya dapat menempuh jalan itu.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang disajikan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Nusyuz dimaknai dengan tidak tunduknya istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-
apa yang diwajibkan Allah atasnya. Hukum berbuat nusyuz adalah haram karena menyalahi
sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui al-Qur’an dan Hadis Nabi. Seperti yang
dijelaskan dalam QS. An-Nisaa’ ayat 34 dan ayat 128.
2.      Nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dan nusyuznya suami. Untuk
nusyuz istri, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara menasehatinya, berpisah tempat
tidur, dan memukulnya. Namun bila dengan ketiga cara tersebut masalah belum dapat
terselesaikan baru diperbolehkan suami menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk
perceraian. Sedangkan untuk nusyuz suami, penyelesaiannya yaitu dengan ishlah
(perdamaian), sebagai suatu solusi perundingan yang membawa kepada perdamaian,
sehingga suami tidak sampai menceraikan istrinya.
3.       Syiqaq adalah perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami istri yang telah berlarut-
larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Dasar hukum syiqaq adalah QS.
An-Nisaa’ ayat 35.
4.       Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu
dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain.
5.       Hakamain adalah orang yang dapat menjadi juru damai di antara keduanya baik itu dari
keluarganya maupun dari selainnya. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang
hakam dari pihak istri untuk menyelesaikan masalah/kasus. Syarat hakamain yaitu keduanya
harus telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan bersikap adil.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khin, Mustofa, dkk. 1987. Fiqih Syafi’i Sistematis. Semarang: As-Syifa.


Rahman Ghazali, Abdul. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Group.
Syafruddin, Amir. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Group.
Tihami dan Sahrani, Sohari. 2009. Fikih Munakahat; Kajian fikih nikah lengkap. Jakarta: Rajawali
Grafindo Pers.
http://free-makalah.blogspot.com/tinjauan-umum-tentang-nusyuz.html. (diakses tanggal 15 Mei
2017)
http://www.suduthukum.com/dasarhukum-fiqih-munakahat.html. (diakses tanggal 15 Mei 2017)
http://iluzajhamim.blogspot.com/makalah-nusyuz-dan-syiqaq.html. (diakses tanggal 15 Mei 2017)

Anda mungkin juga menyukai

  • ESA BAB 1 Pro
    ESA BAB 1 Pro
    Dokumen13 halaman
    ESA BAB 1 Pro
    Permadi Trickers
    Belum ada peringkat
  • 262 556 1 SM
    262 556 1 SM
    Dokumen6 halaman
    262 556 1 SM
    Permadi Trickers
    Belum ada peringkat
  • 1 PB
    1 PB
    Dokumen15 halaman
    1 PB
    Permadi Trickers
    Belum ada peringkat
  • Bab 111
    Bab 111
    Dokumen7 halaman
    Bab 111
    Permadi Trickers
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Permadi Trickers
    Belum ada peringkat
  • Schedul Fix
    Schedul Fix
    Dokumen7 halaman
    Schedul Fix
    Permadi Trickers
    Belum ada peringkat