Setelah mengetahui definisi hukum tata negara menurut para ahli, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hukum tata negara adalah ilmu yang termasuk salah satu cabang ilmu hukum,
yaitu hukum ke- negaraan yang berada di ranah hukum publik.
2. definisi hukum tata negara telah dikembangkan oleh para ahli sehingga tidak
hanya mencakup kajian mengenai organ negara, fungsi dan mekanisme
hubungan antar organ negara itu, tetapi mencakup pula persoalan-persoalan
yang terkait dengan mekanisme hubungan antara organ-organ negara itu
dengan warga negara.
3. hukum tata negara tidak hanya merupakan Recht atau hukum dan apalagi hanya
sebagai Wet atau norma hukum tertulis, tetapi juga adalah lehre atau teori,
sehingga pengertiannya mencakup apa yang disebut sebagai verfassungsrecht
(hukum konstitusi) dan sekaligus verfassungslehre (teori konstitusi)
4. hukum tata negara dalam arti luas mencakup baik hukum yang mempelajari
negara dalam keadaan diam (staat in rust) maupun yang mempelajari negara
dalam keadaan bergerak (staat in beweging).
Di lapangan hukum tata negara, kita memusatkan perhatian hanya kepada hukum
dalam konteks kenegaraan, yaitu hukum negara (state law), hukum kota (municipal
law), hukum desa (village law), dan sebagainya. Dalam perspektif hukum tata
negara, hukum negara (the law of a state) kita lihat sebagai hukum yang terdiri atas
pedoman perilaku (rules of conduct) yang ditetapkan oleh lembaga negara yang
bertindak sebagai legislator atau regulator dan yang ditegakkan oleh lembaga
pengadilan yang dibentuk oleh negara (duly constituted courts of the state). Tetapi
di pihak lain juga berfungsi sebagai pedoman bagi organ-organ negara dalam arti
yang seluas-luasnya untuk menjalankan tugas dan kewenangannya. Pada pokoknya,
hukum konstitusi itu mendahului keberadaan organisasi negara. Konstitusi bukanlah
peraturan yang dibuat oleh pemerintahan, tetapi merupakan peraturan yang dibuat
oleh rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri tanpa
konstitusi sama dengan kekuasaan tanpa kewenangan.
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang
terpisah dari pasal-pasal UUD 1945 itu sendiri. Keduanya tercakup dalam
pengertian UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis yang berisi gerund norms.
Tentu saja, di samping UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, ada pula konstitusi
yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum dan praktik
penyelenggaraan negara yang di idealkan sebagai bagian dari pengertian konstitusi
dalam arti luas dan oleh karena itu adalah juga norma-norma dasar atau gerund
norms yang mengikat sebagai bagian dari konstitusi.
3. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang berisi norma-
norma hukum yang mengikat untuk umum, baik yang ditetapkan oleh legislator
mau- pun oleh regulator atau lembaga-lembaga pelaksana undang-undang yang
mendapatkan kewenangan delegasi dari undang-undang untuk menetapkan
peraturan-peraturan tertentu menurut peraturan yang berlaku. Produk legislatif
atau produk legislator yang dimaksud di sini adalah peraturan yang berbentuk
undang-undang, dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pem-
bahasannya dilakukan bersama-sama dengan Presiden/Pemerintah untuk
mendapatkan persetujuan bersama yang akhirnya setelah mendapat persetujuan
bersama akan disahkan oleh Presiden dan diundangkan sebagaimana mestinya
atas perintah Presiden. Untuk undang-undang tertentu, pembahasan bersama
dilakukan dengan melibatkan pula peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
4. Konvensi Ketatanegaraan
5. Traktat (Perjanjian)
Sumber hukum formil yang lain dari Hukum Tata Negara adalah traktat atau
perjanjian, sepanjang traktat atau perjanjian itu menentukan segi hukum
ketatanegaraan yang hidup bagi negara masing-masing yang terikat di dalamnya,
sekalipun ia termasuk dalam bidang Hukum Internasional. Bentuk traktat (treaty)
tersebut tidak selalu tertulis karena kemungkinan terjadi bahwa perjanjian hanya
diadakan dengan pertukaran nota atau surat-surat belaka. Dalam kamus Hukum
Internasional, tidak dibedakan antara traktat dan perjanjian. Bahkan, traktat dan
perjanjian sering dikatakan mempunyai arti yang sama saja. Akan tetapi, Bellefroid
berpendapat bahwa kedua hal itu mempunyai arti yang berbeda. Traktat adalah
perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu, sedangkan perjanjian tidak selalu terikat
pada bentuk tersebut (Bellefroid, Fac, Rechten, & Nieskens, 1956)
Negara kesatauan adalah Negara yang tidak tersusun dari beberapa Negara,
melainkan hanya terdiri atas satu Negara, sehingga tidak ada Negara di dalam Negara.
Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah
pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang
pemerintahan Negara, menetapkan kebjakan pemerintahan dan melaksanakan
pemerintahan Negara baik di pusat maupun di daerah-daerah (Soehino, 1980). Berbeda
dengan Negara Federasi, lebih lanjut Soehino menjelaskan, Negara Federasi adalah
Negara yang bersusunan jamak, maksudnya Negara ini tersusun dari beberapa Negara
yang semula telah berdiri sendiri sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat,
mempunyai Undang-Undang Dasar sendiri, tetapi kemudian karena sesuatu
kepentingan, Negara-Negara tesebut saling menggabungkan diri untuk membentuk
suatu ikatan kerja sama yang efektif. negara Kesatuan adalah Negara apabila kekuasaan
tidak terbagi dan Negara Serikat apabila kekuasaan di bagi antar Pemerintah Federal
dengan Negara Bagian.
Apeldoorn, L. J. Van. (2006). Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya
Paramita.
Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 1, 200. Retrieved from
www.jimly.com/pemikiran/getbuku/4
Bellefroid, J. H. P., Fac, H., Rechten, K. U. N., & Nieskens, J. J. H. (1956). Inleiding tot de
rechtswetenschap in Nederland. Dekker & van de Vegt.
Indonesia, R. (2000). Ketetapan tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan. Ketetapan MPR Nomor III/MPR.
Kusnardi, M., & Ibrahim, H. (1998). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Scholten, P. (1931). Mr. C. Asser’s handleiding tot de beoefening van het Nederlandsch
Burgerlijk Recht: Algemeen deel. Tjeenk Willink.