Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TEORI KONFLIK DALAM ORGANISASI

Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada
mata kuliah “Perilaku dan Budaya Organisasi”.

Dosen Pengampu : Nailatul Muna, M.Pd.I

Disusun oleh :

Khusnuyatu zukhro 18030738


Lailatul khasanah 19030849
Lina faizah19031029
Lu’luul maknun 19031026

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN


ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-
HUSAIN MAGELANG

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya. Tidak lupa juga sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, sehingga semua hambatan dan
kendala dalam penyusunan makalah yang berjudul “Perilaku Kelompok Dalam
Organisasi” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Perilaku dan Budaya Organisasi. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para mahasiswa/i dan juga bagi
penyusun. Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Nailatul Muna, M.Pd.I,
selaku dosen pengampu dalam mata kuliah Perilaku dan Budaya Organisasi yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga, kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari, makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaaan makalah ini. Demikian semoga makalah ini bisa bermanfaat
dan membantu bagi penyusun dan seluruh pembacanya.

Magelang, November 2021


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Konflik bukanlah suatu fenomena yang obyektif dan nyata, tetapi, ia ada dibenak
orang-orang yang terlibat. Hanyalah perwujudannya, seperti sedih, berdebat, atau
berkelahi yang terlihat nyata. Karena itu, untuk menangani konflik, seseorang perlu
bersikap empati, yaitu memahami keadaan sebagaimana dilihat oleh para pelaku penting
yang terlibat. Unsur yang penting dalam manajemen adalah persusi”.

Pernyataan diatas diungkapkan oleh Leonard Greenhalgh sebagaimana dikutip oleh


A. Dale Timpe dalam bukunya Managing People. Konflik pada dasarnya berawal dari hal-
hal yang bersifat abstrak, tapi kemudian konflik juga dapat berakibat buruk sampai ke
tingkat nyata, berupa benturan fisik antara orang-orang yang berkonflik

Konflik selalu mewarnai kehidupan, dari konflik sangat kecil sampai konflik sangat
besar. Konflik terjadi akibat perbedaan perepsi, berlainan pendapat dan karena
ketidaksamaan kepentingan. Konflik ada yang bisa diselesaikan secara tuntas, ada yang
setengah tuntas, ada juga yang berlarut-larut tanpa solusi.

B. rumusan masalah

a. apa yang dimaksud konflik

b. bagaimana Pandangan mengenai konflik

c. bagaimana Hubungan konflik dan kinerja organisasi

d. apa Tahap-tahap konflik

e. apa Faktor yang menyebabkan konflik

f. apa Dampak konflik yang disfungsional

g. bagaimana Pendekatan dalam menangani konflik

C.tujuan pembahasan

a. untuk mengetahui Pengertian konflik

b. untuk mengetahui Pandangan mengenai konflik


c. untuk mengetahui Hubungan konflik dan kinerja organisasi

d. untuk mengetahui Tahap-tahap konflik

e. untuk mengetahui Faktor yang menyebabkan konflik

f. untuk mengetahui Dampak konflik yang disfungsional

g. untuk mengetahui Pendekatan dalam menangani konflik


BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian konflik

Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti
bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnya istilah
konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar
pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan
internasional.
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan
pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber
pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.
Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik
sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh
dikehidupan.3 Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak
lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.
Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah
percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat
dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang
dengan ancaman kekerasan.

B.Pandangan mengenai konflik


Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bidang, yaitu
pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat
dihindari. Hal ini dikarenakan konflik dapat mengacaukan organisasi dan
mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh sebab itu, untuk mencapai
tujuan yang optimal, konflik harus dibubarkan. Konflik biasanya dikarenakan
oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi.
Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bekerja
meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini dikarenakan jumlah
faktor, selang lain yang dibangun organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai –
nilai, dsb-nya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai
tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bekerja
mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan
bersama.
C. Hubungan konflik dan kinerja organisasi

D. Tahap-tahap konflik

Konflik berubah setiap saat melalui aktifitas, intensitas dan ketenanggan yang
berbeda.adapun Tahapan-tahapan terjadinya konflik dibbagi menjadi lima tahapan sebagai
berikut:

1. Prakonflik
Ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidak sesuaian sasaran diantara dua belah
pihak atau lebih, sehingga timbullah sebuah konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan
umum, meskipun satu pihak atau lebih mengetahui potensi terjadinya konfrontasi.
Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak atau keinginan untuk
menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini.

2. Konfrotasi
Pada tahap ini konflik terjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada
masalah. Mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku
konfrontatif. Pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi diantara kedua
belah pihak. Masing–masing pihak mungkin mengumpulkan sumber daya dan kekuatan
dan mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan.
Hubungan diantara kedua belah pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi
antara para pendukung di masing-masing pihak.

3. Krisis
Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan kekerasan terjadi paling hebat.
Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika kedua belah pihak jatuh
korban dan saling membunuh. Komunikasi normal diantara kedua belah pihak
kemungkinan terputus. Pernyataan–pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang
pihak-pihak lainnya.

4. Akibat
Suatu konflik pasti akan meninggalkan akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak
lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata. Satu pihak mungkin menyerah dengan
sendirinya, atau menyerah atas desakan pihak lain. Kedua belah pihak mungkin setuju
untuk bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas
atau pihak ketiga yang mungkin lebih berkuasa memaksa dua belah pihak untuk
menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan
kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.

5. Pasca konflik
Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai macam konfrontasi kekerasan,
ketegangan berkurang dan hubungan mengarah pada situasi normal diantara kedua belah
pihak. Namun isu-isu dan masalah–masalah yang timbul karena sasaran mereka yang
saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi
prakonflik

E. Faktor yang menyebabkan konflik

Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan
sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan,
status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian
yang tidak merata di masyarakat.

Ketidak merataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap


sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak
tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan asset
sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian
asset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga menambahinya.
Pihak yang cenderung mempertahankan dan menambahinya disebut sebagai status quo
dan pihak yang berusaha mendapatkannya disebut sebagai status need. Pada dasarnya,
secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu:

1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk


secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti
perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha,
pegawai negeri, militer,wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan.
Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing
unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing
penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya
tersebut.

2. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi


berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat
menimbulkan konflik sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang
memiliki kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang
besar, sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan
rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat
seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial.
F. Dampak konflik yang disfungsional

konflik disfungsional ini terjadi karena adanya salah satu pihak yang tidak
melakukan fungsi sebagaimana yang seharusnya.sehingga akan mengganggu
/menghambat aktivitas secara keseluruhan dengan kata lain konflik ini akan mengganggu
kinerja perusahaan/organisasi secara keseluruhan. Adapun Dampak konflik ini pada
kinerja organisasi adalah:

1. Timbul oposisi yang tidak terkendali dan memunculkan ketidakpuasan, sehingga


hilang rasa kebersamaan yang pada akhirnya dapat mendorong rasa untuk
menghancurkan orang lain
2. Mengurangi efektivitas organisasi/perusahaan
3. Menghambat komunikasi
4. Mengurangi kekompakan anggota/karyawan
5. Dikalahkannya sasaran/kepentingan bersama, karena pertikaian antar anggota
6. Menghentikan berfungsinya kelompok berpotensi mengancam kelangsungan hidup
kelompok/organisasi.

G. pendekatan dalam menagani konflik

Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat
menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative
processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai
seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang
bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial, seperti
kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan
sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan

proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif. Sehubungan
dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha
menyelesaikan konflik. Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni
konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), détente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan
orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu,
kemudian cara yang formal, jika cara pertama membawa hasil.

Menurut Nasikun, bentuk-bentuk pengendalian konflik ada empat yaitu:

1.Konsiliasi (conciliation)

Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang


memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara
pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.

2.Mediasi (mediation)

Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama-
sama sepakat untk memberikan nasihat- nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya
menyelesaikan pertentangan mereka.

3.Arbitrasi

berasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim
(arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi.
Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,
artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima
keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi
pengadilan nasional yang tertinggi.

4.Perwasitan

Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk memberikan
keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2011), hal 345.

Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University


Press, 1998),hal.156

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.587.

Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal.99.

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), hal 68.

Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai