Anda di halaman 1dari 119

KAJIAN STRATEGI

INDUSTRIALISASI PERIKANAN
UNTUK MENDUKUNG
PEMBANGUNAN EKONOMI
WILAYAH

Direktorat Kelautan dan Perikanan


Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam
BAPPENAS
2016
i

ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk menyusun strategi pengembangan industri perikanan, khususnya terkait
industri pengolahan perikanan, terutama pada daerah-daerah sentra pengembangan perikanan dalam
rangka mengantisipasi peningkatan produksi perikanan, mendukung peningkatan mutu dan nilai tambah
produk perikanan, serta mendukung pembangunan ekonomi wilayah. Sementara itu sasaran dari kajian ini
adalah: (1) teridentifikasinya kondisi industri perikanan Indonesia, khususnya industri pengolahan
perikanan; serta (2) terumuskannya keterkaitan antarunsur dalam pengembangan wilayah berbasis
perikanan; serta (3) tersusunnya konsep strategi pengembangan industri perikanan, khususnya terkait
industri pengolahan perikanan, berbasis keunggulan spesifik daerah.
Jenis data yang digunakan dalam kegiatan ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil observasi, baik dalam bentuk kuesioner, FGD (focus group discussion), maupun
wawancara pada pihak terkait dan dokumentasi. Sementara itu, data sekunder diperoleh melalui kajian desk
study berupa data time series produksi perikanan dan pengolahan hasil perikanan, pertumbuhan ekonomi
wilayah, dan peraturan daerah yang terkait pengelolaan perikanan. Analisis data yang dilakukan dalam
kajian ini terdiri dari: (1) analisis deskriptif, diantaranya menggunakan diagram tulang ikan; (2) analisis
SWOT; (3) analisis pengembangan wilayah, melalui analisis location quotient (LQ) dan analisis shift share
(SSA).
Berdasarkan hasil analisis diagram tulang ikan, beberapa permasalahan terkait industrialisasi
perikanan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu terkait: (1) mutu bahan baku, terdiri dari: penerapan
good handling practices (GHdP), fasilitas penanganan perikanan yang dipasok untuk industri, dan
penerapan sanitasi pada pekerja dan peralatan penanganan ikan; (2) jaminan mutu, meliputi: jaminan mutu
bahan baku, jaminan mutu produk, sertifikasi mutu, dan ketertelusuran informasi produk; (3) pelayanan
pelanggan, meliputi: kesesuaian produk dengan permintaan pelanggan, ketersediaan pasokan produk untuk
konsumen, pengiriman produk tepat jumlah dan tepat waktu; dan (4) kemampuan teknologi.
Sepuluh provinsi dengan nilai LQ tertinggi adalah Provinsi Maluku (LQ = 6,40), Sulbar (LQ =
6,36), Sultra (LQ = 4,54), Gorontalo (LQ = 4,59), Bengkulu (LQ = 4,21), Maluku Utara (LQ = 4,06),
Lampung (LQ = 3,70), Sulteng (LQ = 3,68), Sulut (LQ = 3,65), dan Sulsel (LQ = 3,31). Nilai LQ lebih dari 1
menunjukkan bahwa lapangan usaha yang bersangkutan memiliki keunggulan relatif yang lebih tinggi dari
rata-rata atau disebut juga lapangan usaha basis Sementara itu, sepuluh provinsi dengan perhitungan nilai
SSA tertinggi adalah Sulsel (SSA = 1,15), Sulbar (SSA = 0,9), Sulut (SSA = 0,86), Sulteng (SSA = 0,76),
Maluku (SSA = 0,70), Sultra (SSA = 0,61), Gorontalo (SSA = 0,61), Maluku Utara (SSA = 0,50), Lampung
(SSA=0,47), dan Bengkulu (SSA = 0,45). Nilai SSA yang positif menunjukkan bahwa sektor perikanan
termasuk ke dalam sektor yang mengalami pertumbuhan. Berdasarkan analisis SWOT, didapatkan 15
strategi pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri pengolahan
perikanan, yaitu: (1) Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri pengolahan hasil
perikanan terutama UMKM; (2) Inisiasi pengembangan industri hasil perikanan yang memiliki nilai tambah
tinggi termasuk industri berbasis bioteknologi; (3) Pemberian insentif fiskal bagi usaha kecil untuk
peningkatan daya saing; (4) Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga food
safety produk hasil olahan UMKM; (5) Penguatan rantai pasok, kemitraan dan perluasan pasar; (6)
Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap industri hilir yang memiliki nilai tambah
tinggi; (7) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna; (8) Penerapan penangkapan yang berkelanjutan;
(9) Peningkatan suplai bahan baku memalui pemanfaatan potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ
tinggi; (10) Penerapan teknologi budidaya; (11) Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki
nilai tambah dan diversifikasi produk tinggi; (12) Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP); (13)
Penguatan infrastruktur di daerah yang memiliki potensi yang tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya
masih rendah (SSA rendah); (14) Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan sanitasi di
UKM dan Industri; dan (15) Akselerasi pengembangan pusat pertumbuhan industri perikanan dengan nilai
tambah tinggi di lokus pilihan (optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan). Selanjutnya
berdasarkan analisis LQ dan jumlah produksi pengolahan ikan per provinsi, dilakukan pemetaan provinsi
berdasarkan nilai LQ dan volume produksi UPI ke dalam sembilan kuadaran. Kemudian ke-15 strategi
pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri pengolahan perikanan
juga dipetakan ke dalam sembilan kuadran tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, strategi industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri
pengolahan perikanan, untuk mendukung ekonomi wilayah, terdiri dari: (1) Peningkatan koordinasi
antarsektor dalam rangka hilirisasi industri perikanan, (2) Sinkronisasi kebijakan dan pengkajian ulang
kebijakan yang menghambat industrialisasi perikanan; (3) Pengembangan industri perikanan pada daerah
yang memiliki LQ tinggi (LQ>4), yaitu: Sulbar, Gorontalo, Bengkulu dan Maluku Utara, agar dapat
memberi sumbangan terhadap peningkatan ekonomi wilayah sebagai basis perikanan nasional; serta (4)
Ppemilihan skala industri yang tepat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya perikanan yang
berkelanjutan, utilitas dan kapasitas industri, serta keunggulan wilayah.
ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan laporan kajian berjudul ”Kajian
Strategi Industrialisasi Produk Perikanan untuk Membangun Perekonomian
Wilayah” dapat diselesaikan. Penyusunan kajian ini didasarkan pada
pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang saat ini dihadapkan pada
berbagai tantangan, termasuk sektor hulu, aspek pengolahan dan pemasaran hasil
perikanan, serta produk kelautan di sektor hilir. Permasalahan lain terkait dengan
masih rendahnya produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang
disebabkan oleh struktur armada penangkapan ikan yang masih didominasi oleh
kapal berukuran kecil, belum optimalnya integrasi sistem produksi di hulu dan
hilir, serta masih terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana secara memadai.
Hasil dari kajian ini diharapkan mampu memberikan alternatif solusi dari
permasalahan tersebut, dan juga dapat digunakan sebagai acuan bagi penyusunan
kebijakan/strategi operasional dan perencanaan bagi stakeholders dan pelaku
usaha perikanan dalam pengembangan industri perikanan, terutama pada daerah-
daerah sentra pengembangan perikanan, mendukung peningkatan mutu dan nilai
tambah produk perikanan, serta mendukung pembangunan ekonomi wilayah.
Terakhir, kami mengucapkan terima kasih terutama kepada: Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, dan Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi DI Yogyakarta, serta semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan
dan penyempurnaan laporan kajian ini. Kami menyadari bahwa penyusunan
laporan kajian ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dalam rangka penyempurnaan hasil kajian ini.

Desember 2016,

Tim Penyusun
iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah................................................................................ 5
1.3 Tujuan dan Sasaran ................................................................................ 6
1.4 Ruang Lingkup Kegiatan ........................................................................ 6
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................... 8
2.1 Pengertian Perikanan .............................................................................. 8
2.2 Pengertian Industrialisasi Perikanan ...................................................... 8
2.3 Klasifikasi Industri ............................................................................... 10
2.4 Mutu Produk Perikanan ........................................................................ 11
2.5 Konsumsi Ikan ..................................................................................... 12
2.6 Produk Perikanan Non Konsumsi ......................................................... 13
2.7 Nilai Tambah pada Industri Pengolahan Ikan........................................ 13
2.8 Perdagangan Internasional Produk Perikanan ....................................... 14
2.9 Konsep Wilayah, Daerah, dan Kawasan ............................................... 15
2.10 Pewilayahan sebagai Alat Pendeskripsian dan Perencanaan.................. 17
2.11 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif.......................... 18
BAB III METODE KAJIAN ........................................................................... 20
3.1. Kerangka Pikir ..................................................................................... 20
3.2. Metode Pengambilan Data.................................................................... 22
3.3. Metode Analisis Data ........................................................................... 23
3.4 Lokasi Kunjungan Lapang .................................................................... 27
3.5 Jadwal Pelaksanaan Kajian ................................................................... 27
BAB IV ISU, PERMASALAHAN, DAN SASARAN STRATEGIS
DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN .............. 29
4.1 Permasalahan dalam Pengembangan Industrialisasi Perikanan.............. 29
4.1.1 Perikanan Tangkap ....................................................................... 29
4.1.2 Perikanan Budidaya ...................................................................... 30
4.1.3 Pengolahan Perikanan ................................................................... 31
4.1.4 Pemasaran Hasil Perikanan ........................................................... 32
4.1.5 Bidang Kewilayahan ..................................................................... 33
4.2 Sasaran Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Nasional ....... 34
BAB V REVIEW KEBIJAKAN INDUSTRI DAN PENGOLAHAN
PERIKANAN ................................................................................................... 36
iv

5.1Kebijakan Umum ................................................................................. 36


5.2Kebijakan Penguatan Industri Pengolahan Perikanan............................ 37
5.3Kebijakan Peningkatan Produksi dan Konsumsi ................................... 40
5.4Kebijakan Peningkatan Mutu Produk Hasil Perikanan .......................... 41
5.5Kebijakan Industri Pengolahan Perikanan kaitanya dengan
Pengembangan Wilayah ....................................................................... 43
5.6 Analisis Kebijakan Pemerintah yang Berkaitan Pengembangan
Industri Hulu-Hilir dan Kewilayahan .................................................... 46
BAB VI ANALISIS STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN
UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH ...... 50
6.1 Analisis Potensi Kewilayahan Industri Perikanan Nasional................... 50
6.2 Isu dan Permasalahan Industrialisasi Perikanan .................................... 54
6.3 Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan Perikanan ...... 64
6.4 Analisis SWOT .................................................................................... 65
BAB VII STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK
MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH ..................... 85
BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................... 94
8.1 Kesimpulan .......................................................................................... 94
8.2 Rekomendasi ........................................................................................ 95
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 96
LAMPIRAN ..................................................................................................... 99
v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Analisis Kajian Strategi Industrialisasi Perikanan


untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Wilayah..................... 22
Gambar 2 Ilustrasi Fishbone Analysis ............................................................ 24
Gambar 3 Analisis Nilai LQ Nasional ............................................................ 50
Gambar 4 Sepuluh Provinsi dengan Nilai LQ Tertinggi.................................. 51
Gambar 5 Hasil Perhitungan Nilai SSA Nasional ........................................... 52
Gambar 6 Sepuluh Provinsi dengan Nilai SSA Tertinggi................................ 52
Gambar 7 Grafik Hubungan Antara Jumlah UPI Bersertifikat SKP dan
Jumlah Penolakan Ekspor. ............................................................ 58
Gambar 8 Utilitas UPI Menengah-Besar di Indonesia .................................... 60
Gambar 9 Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan
Perikanan. ..................................................................................... 62
Gambar 10 Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan
Perikanan di Jawa Timur ............................................................... 63
Gambar 11 Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan ............... 64
Gambar 12 Matriks Pembagian Wilayah (cluster) berdasarkan Perhitungan
Nilai LQ dan Volume Produksi UPI .............................................. 85
Gambar 13 Pemetaan Provinsi Berdasarkan Nilai LQ dan Volume Produksi
UPI................................................................................................ 86
Gambar 14 Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan (S1-S15)
berdasarkan Kuadran Pembagian Wilayah dari Nilai LQ dan
Volume Produksi UPI.................................................................... 87
vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Posisi Indonesia sebagai Produsen Hasil Perikanan Dunia Tahun


2014 ..................................................................................................... 2
Tabel 2 Perhitungan Nilai Tambah per Kilogram Bahan Baku untuk
Menghasilkan Produk......................................................................... 13
Tabel 3 Jadwal Kegiatan Kajian Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung
Ekonomi Wilayah .............................................................................. 28
Tabel 4 Analisis Undang-undang yang Berkaitan dengan Kebijakan Industri
Perikanan ........................................................................................... 48
Tabel 5 Uraian Jenis Masalah dan Strategi Penanganan Permasalahan ............ 64
Tabel 6 Matriks SWOT Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung
Pengembangan Ekonomi Wilayah ...................................................... 82
Tabel 7 Cluster Wilayah Strategi Industri Perikanan Nasional ........................ 94
1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2015-2019
ditetapkan dengan memperhatikan tiga dimensi pembangunan nasional, yakni
SDM, sektor unggulan, dan kewilayahan. Sektor kelautan dan perikanan telah
menjadi salah satu sektor unggulan nasional dengan pendekatan fungsi/bisnis
proses mulai dari hulu sampai hilir. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan
saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk sektor hulu, aspek
pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, dan produk kelautan di sektor hilir.
Berkaitan dengan hal itu, pemerintah melalui kelembagaan terkait telah
mengambil kebijakan percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan yang
merupakan integrasi sistem produksi hulu dan hilir.
Kesejahteraan pelaku usaha perikanan, meliputi budidaya, penangkapan,
pengolahan dan pemasaran, merupakan salah satu pilar penting dalam
peningkatan daya saing bangsa di era perdagangan bebas serta penerapan MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN). Namun, kondisi kesejahteraan para nelayan dan
pelaku usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan dengan pendapatan yang
diperolehnya masih sangat terbatas. Permasalahan yang dihadapi adalah belum
adanya perlindungan terhadap pelaku usaha kecil menengah (UKM) untuk
meningkatkan daya saing melalui sinergi lintas sektor (termasuk dalam
mengakses sumber pembiayaan), perlindungan terhadap pasar domestik, dan
sertifikasi produk. Permasalahan lainnya adalah terkait dengan masih rendahnya
produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh
struktur armada penangkapan ikan yang masih didominasi oleh kapal berukuran
kecil, belum optimalnya integrasi sistem produksi di hulu dan hilir, serta masih
terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana secara memadai. Disamping itu,
aspek mendasar yang mempengaruhi lemahnya daya saing dan produktivitas
adalah kualitas SDM dan kelembagaannya. Saat ini jumlah SDM yang bergantung
pada kegiatan usaha kelautan dan perikanan sangat besar, namun pengetahuan,
keterampilan, penguasaan teknologi dan aksesibilitas terhadap infrastruktur dan
2

informasi belum memadai dan belum merata di seluruh wilayah Indonesia,


terutama di wilayah kepulauan.
Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menuntut penyediaan
pangan yang juga terus meningkat termasuk penyediaan protein hewani yang
berkualitas. Produksi ikan sebagai salah satu sumber protein hewani juga terus
mengalami peningkatan dari 7,7 juta ton pada tahun 2010 menjadi 10,9 juta ton
pada tahun 2014. Konsumsi ikan masyarakat terus meningkat dari 30,5
kg/kapita/tahun pada tahun 2010 menjadi 37,9 kg/kapita/tahun pada tahun 2014.
Selanjutnya, produksi perikanan, termasuk di dalamnya ikan, rumput laut, garam,
dan hasil olahan, diperkirakan akan mencapai 40-50 juta ton pada akhir tahun
2019. Indonesia merupakan salah satu negara produsen hasil perikanan terbesar
di dunia setelah China (FAO, 2016) dengan rincian sebagaimana tertera pada
Tabel 1. Namun demikian, keunggulan tersebut belum diikuti dengan kemampuan
dalam meningkatkan nilai tambah dan memenuhi kecukupan pangan nasional.
Indeks ketahanan pangan Indonesia berdasarkan kriteria affordability, availability,
quality, and safety berada diurutan ke-64 di bawah negara-negara Asia Pasifik
seperti New Zealand, Jepang, Australia, Korea Selatan, Malaysia, China,
Thailand, Vietnam, dan Philipina.

Tabel 1. Posisi Indonesia sebagai Produsen Hasil Perikanan Dunia Tahun 2014
Rumput
Perikanan Perikanan Perikanan
Laut/Aquatic
Tangkap Laut Tangkap Darat Budidaya
Farmed Plants
Peringkat ke-1 China China China China
Dunia (14,81 juta ton) (2,30 juta ton) (45,47 juta ton) (13,33 juta ton)
Peringkat Peringkat ke-2 Peringkat ke-7 Peringkat ke-3 Peringkat ke-2
Indonesia di (6,02 juta ton) (0,42 juta ton) (4,25 juta ton) (10,08 juta ton)
Dunia
Sumber: The State of Worls Fisheries and Aquaculture, FAO 2016

Untuk memenuhi sebagian bahan baku industri pengolahan perikanan


nasional dan kebutuhan konsumsi ikan di dalam negeri, impor perikanan masih
dilakukan hingga saat ini. Kebutuhan impor terbesar selama periode lima tahun
(2005-2010) adalah jenis ikan beku dan ikan segar atau dingin dengan
peningkatan rata-rata 51,1% dan 46,5%. Sisanya adalah jenis ikan kering, asin
atau asap dan ikan diolah atau diawetkan dengan peningkatan yang tidak terlalu
3

besar yaitu rata-rata 0,5% dan 1,9%. Total volume impor untuk kebutuhan
konsumsi domestik sebesar 10.753 ton. Volume impor terbesar adalah jenis ikan
beku 5.313 ton atau 49,41% dan ikan segar 5.215 ton atau 48,50%. Sementara
volume impor jenis ikan kering, asin atau asap 56,4 ton atau 0,52%; dan ikan
diolah atau diawetkan 168,4 ton atau 1,57% (KKP 2012).
Indonesia bersaing dengan Cina, Vietnam dan Thailand di tingkat Global
dalam merebut pasar produk olahan ikan di Eropa dan Amerika. Perubahan pola
konsumsi dan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia dalam pemenuhan
kebutuhan protein hewani yang sehat, mudah diperoleh, berkualitas, dan ramah
lingkungan (environmental friendly) menjadi tantangan besar industri pengolahan
perikanan nasional. Menurut FAO (2014), tingkat konsumsi ikan dunia meningkat
pesat dari 71% tahun 1980-an menjadi lebih dari 86% dari total produksi ikan
global yaitu sekitar 136 juta ton tahun 2012 (FAO 2014).
Preferensi masyarakat dunia terhadap produk pengolahan ikan pun sangat
besar. Dari total produksi ikan dunia untuk konsumsi, 54% merupakan produk
ikan olahan terdiri dari 12% produk pengeringan, penggaraman, dan pengasapan;
13% produk prepared dan preserved; dan 29% produk beku. Produk perikanan
yang paling diminati masyarakat dan memiliki harga tinggi dipasaran global
adalah jenis ikan yang diperdagangkan dalam keadaan hidup, segar, dan dingin
yaitu sebesar 46% dari total pemasaran produksi ikan yang dikonsumsi atau
sekitar 63 juta ton tahun 2012 (FAO 2014).
Peningkatan jumlah ekspor maupun nilai produk perikanan Indonesia
masih memiliki peluang yang besar. Peluang tersebut juga didukung oleh adanya
peningkatan konsumsi produk perikanan global. Walaupun demikian, kondisi
perdagangan global dengan tingkat persaingan yang tinggi menuntut daya saing
yang kuat dalam perdagangan berbagai barang dan jasa termasuk juga
perdagangan produk perikanan. Industri pengolahan ikan harus mampu
menghasilkan beragam produk kompetitif dengan mutu yang baik sehingga
memuaskan konsumen dan mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh
negara-negara lain.
Berkaitan dengan kepuasan konsumen terhadap produk perikanan, saat ini
unsur kesehatan, nutrisi serta keamanan pangan semakin ditekankan selain
4

terpenuhinya unsur karakteristik mutu produk. Negara-negara pengimpor hasil


perikanan utama dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Uni
Eropa semakin memperketat pengawasan mutu dan keamanan pangan yang
bertujuan melindungi masyarakatnya dari bahaya keamanan pangan. Amerika
Serikat menerapkan Bioterorism Act pada tahun 2002 yang lebih menekankan
persyaratan impor pangan. Jepang mengeluarkan kebijakan dan regulasi tentang
residu kimia pada produk pangan (Saragih 2007). Di lain pihak, Uni Eropa
melakukan inspeksi terhadap industri-industri perikanan yang aktif melakukan
ekspor ke wilayah Uni Eropa. Di dalam memenuhi kepuasan konsumen,
komoditas ekspor perikanan Indonesia masih menghadapi permasalahan mutu dan
keamanan pangan dalam. Amerika Serikat telah beberapa kali mengeluarkan
detention list pada produk perikanan Indonesia akibat benda asing atau kotoran
(filth) dan cemaran mikrobiologi yang melebihi ambang batas (indikator
penanganan sanitasi dan kehigienisan yang buruk) (Poernomo 2008). Beragam
kasus mutu dan keamanan pangan produk perikanan Indonesia lainnya juga
terdapat pada hasil inspeksi UE dalam The Rapid Alert System for Food and Feed
(RASFF).
Sebagian besar produksi perikanan diserap di dalam negeri dalam rangka
mendukung ketersediaan pangan, selebihnya terutama untuk jenis-jenis ikan
ekonomis tinggi seperti kelompok tuna dan udang, diekspor ke luar negeri.
Produksi perikanan yang akan dipasarkan tersebut perlu ditingkatkan mutu dan
nilai tambahnya melalui upaya pengolahan, pengemasan yang baik, higenis, dan
memenuhi standar keamanan, baik untuk produk perikanan yang akan dipasarkan
di dalam negeri maupun tujuan ekspor.
Selain menitikberatkan pembangunan pada dimensi pembangunan
manusia dan pembangunan sektor unggulan, seperti kedaulatan pangan,
kedaulatan energi, kemaritiman dan kelautan, serta pariwisata dan industri,
RPJMN 2015-2019 juga menitikberatkan pembangunan berdimensi pemerataan
dan kewilayahan, baik terkait pemerataan antarkelompok pendapatan, maupun
pemerataan antarwilayah desa, pinggiran, luar Jawa, dan Kawasan Timur. Sentra
produksi perikanan sebagian besar berada di Indonesia bagian Timur, terutama
untuk perikanan tangkap, sehingga diharapkan pengembangan perikanan di
5

wilayah Indonesia Timur dapat pula menggerakkan perekonomian di wilayah


tersebut.

1.2 Perumusan Masalah


Kurangnya peranan industri pengolahan perikanan nasional dalam
perdagangan perikanan olahan baik domestik ataupun internasional tidak terlepas
dari permasalahan yang dihadapi industri pengolahan perikanan nasional.
Permasalahan pertama berasal dari bahan baku seperti keterbatasan suplai bahan
baku dan bahan penolong produksi perikanan olahan misalnya minyak kedelai,
kaleng, dan bahan kemasan lainnya. Selain itu, isu tentang keamanan pangan
berupa penggunaan bahan pengawet makanan yang tidak tepat. Permasalahan lain
berkaitan dengan bahan baku adalah belum terintegrasinya teknologi penangkapan
ikan sampai dengan pengolahannya. Sementara itu pada aspek produksi, industri
pengolahan perikanan memiliki permasalahan dalam hal utilisasi kapasitas
terpasang industri yang belum optimal. Persyaratan dan standarisasi produk yang
mengacu pada standar internasional seperti Food Safety, Good Manufacturing
Procecces (GMP), Standar Nasional Indonesia (SNI) dan CODEX masih sulit
diadopsi dan diterapkan oleh industri pengolahan perikanan nasional.
Permasalahan lainnya adalah kurangnya sumberdaya manusia di bidang industri
pengolahan perikanan. Di bidang pemasaran dan infrastruktur, industri
pengolahan perikanan masih memiliki permasalahan dalam hal persyaratan ekspor
yang semakin ketat seperti masalah logam berat (mercury issue, dolphin saf,
histamin, dll), isu lingkungan, penggunaan antibiotik dan lainnya, serta
terbatasnya infrastruktur yang mendukung perdagangan serta prasarana dan sarana
lainnya seperti pelabuhan, dan cold storage.
Oleh karena itu, diperlukan beragam opsi yang dapat memecahkan
permasalahan industri pengolahan ikan, agar Indonesia mampu meningkatkan
kemampuan dan daya saing industri perikanannya. Keunggulan daya saing dapat
dicapai melalui kinerja dengan kegiatan berbiaya rendah atau diferensiasi.
Kegiatan berbiaya rendah merupakan keunggulan produktivitas, sementara
diferensiasi merupakan bagian dari keunggulan nilai. Pengelolaan rantai kegiatan
dari penangkapan ikan hingga konsumen yang baik secara nilai maupun biaya
6

memungkinkan industri pengolahan ikan mencapai keunggulan daya saing yang


tinggi. Rantai kegiatan tersebut pada hakikatnya merupakan rantai pasok yang
mengalirkan bahan baku ikan menuju industri pengolahan untuk diolah kemudian
didistribusikan hingga konsumen. Secara umum rantai pasok ikan laut tangkapan
dimulai dari pasokan ikan hasil tangkapan dari nelayan penangkap ke pedagang
pengumpul, yang kemudian memasoknya untuk kebutuhan konsumsi segar atau
pada perusahaan pengolahan ikan yang menghasilkan produk olahan untuk pasar
lokal maupun ekspor. Untuk mencapai keunggulan daya saing industri perikanan
yang mampu menghasilkan produk bermutu dan menyehatkan, diperlukan upaya
perbaikan kinerja mutu yang tepat.

1.3 Tujuan dan Sasaran


(1) Tujuan
Kajian ini ditujukan untuk menyusun strategi pengembangan industri
perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, terutama pada
daerah-daerah sentra pengembangan perikanan dalam rangka mengantisipasi
peningkatan produksi perikanan, mendukung peningkatan mutu dan nilai tambah
produk perikanan, serta mendukung pembangunan ekonomi wilayah. Hasil kajian
juga akan digunakan sebagai acuan bagi penyusunan kebijakan/strategi
operasional dan perencanaan bagi stakeholders dan pelaku usaha perikanan.

(2) Sasaran
Sasaran dari kajian ini adalah: (1) teridentifikasinya kondisi industri
perikanan Indonesia, khususnya industri pengolahan perikanan; serta (2)
terumuskannya keterkaitan antarunsur dalam pengembangan wilayah berbasis
perikanan; serta (3) tersusunnya konsep strategi pengembangan industri
perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, berbasis keunggulan
spesifik daerah.

1.4 Ruang Lingkup Kegiatan


Ruang lingkup kajian ini terdiri atas:
(1) Identifikasi tantangan dan peluang pengembangan industri perikanan,
khususnya terkait industri pengolahan perikanan, di lokus pilihan.
7

(2) Analisa kontribusi industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan


perikanan, dalam pembangunan ekonomi daerah.
(3) Identifikasi keterkaitan dengan isu kekinian, seperti: sustainable consumption
and production, blue economy, traceability, quality assurance, standardisasi
produk, di bidang industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan
perikanan.
(4) Analisa strategi industrialisasi perikanan, khususnya terkait industri
pengolahan perikanan, untuk peningkatan daya saing dan pembangunan
wilayah.
8

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Pengertian Perikanan


Menurut UU No. 45/2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31/2004
tentang Perikanan, perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengelolaan, sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya,
termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan
implementasi serta penegakkan hukum dari peraturan perundangan-undangan di
bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang
diarahkan untuk mencapai atau kelangsungan produktivitas sumber daya hayati
dan tujuan yang telah disepakati. Menurut FAO (2016), perikanan didefinisikan
sebagai aktivitas manusia yang meliputi penangkapan, kegiatan ekonomi,
manajemen, biologi/lingkungan dan teknologi perikanan.

2.2 Pengertian Industrialisasi Perikanan


Menurut Permen KP No. PER.27/MEN/2012, industrialisasi kelautan dan
perikanan adalah integrasi sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan
skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumber
daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, yang dilandasi oleh prinsip-
prinsip sebagai berikut:

(1) peningkatan nilai tambah: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan


dapat meningkatkan nilai tambah berupa produk-produk olahan yang makin
beragam dan berkualitas dengan nilai jual lebih tinggi. Meningkatnya nilai
jual produk produk berbasis kelautan dan perikanan tersebut diharapkan
mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong pertumbuhan
ekonomi berbasis kelautan dan perikanan lebih tinggi.
(2) peningkatan daya saing: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan
dapat meningkatkan daya saing produk kelautan dan perikanan melalui
efisiensi sistem produksi dan peningkatan produktivitas dengan hasil
9

berkualitas dan harga yang kompetitif, sehingga berdaya saing tinggi, baik di
pasar nasional maupun pasar global.
(3) penguatan pelaku industri kelautan dan perikanan: industrialisasi kelautan dan
perikanan akan mendorong penguatan struktur industri, yaitu peningkatan
jumlah dan kualitas industri perikanan dan pembinaan hubungan antarentitas
sesama industri, industri hilir dan hulu, industri besar, menengah dan kecil,
serta hubungan antara industri dengan konsumen pada semua tahapan rantai
nilai (value chain).
(4) berbasis komoditas, wilayah, dan sistem manajemen kawasan dengan
konsentrasi pada komoditas unggulan: kebijakan industrialisasi kelautan dan
perikanan difokuskan pada komoditas unggulan sesuai dengan permintaan
pasar, baik pasar domestik maupun luar negeri. Agar terintegrasi
pelaksanaannya dilakukan berbasis wilayah dan sistem manajemen kawasan,
yaitu berdasarkan pada distribusi sumber daya alam di wilayah-wilayah
potensial dan dengan sistem manajemen kawasan di sentra-sentra produksi
potensial dan prospek pertumbuhannya di masa depan.
(5) modernisasi sistem produksi hulu dan hilir: kemajuan sektor kelautan dan
perikanan dapat dipercepat dengan modernisasi sistem produksi yang mampu
meningkatkan produk kelautan dan perikanan bernilai tambah dan berkualitas
tinggi dengan memperhatikan seluruh rantai nilai (value chain). Modernisasi
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, percepatan, dan peningkatan skala
produksi di hulu dan hilir, sekaligus mendorong upaya pengembangan
komoditas dan produk produk unggulan untuk menghadapi persaingan pasar
global yang makin kompetitif; serta mendorong perubahan sistem produksi
hulu skala UMKM dengan menggunakan teknologi dan manajemen usaha
yang lebih efisien dan menguntungkan.
(6) kesimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan
lingkungan yang berkelanjutan: industrialisasi kelautan dan perikanan akan
dilaksanakan sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu
keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan
(7) perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat modern (transformasi sosial):
industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan dapat mendorong
10

perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang modern,


melalui perubahan cara berfikir dan perilaku masyarakat sesuai karakteristik
masyarakat industri.

2.3 Klasifikasi Industri


Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang
melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak
pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi
tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seorang atau lebih yang
bertanggung jawab atas usaha tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS
2016), perusahaan industri pengolahan dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
(1) industri besar, memiliki tenaga kerja 100 orang atau lebih
(2) industri sedang, memiliki tenaga kerja 20-99 orang
(3) industri kecil, memiliki tenaga kerja 5-19 orang
(4) industri rumah tangga, memiliki tenaga kerja 1-4 orang
Pengelompokan perusahaan industri pengolahan ini hanya didasarkan
kepada banyaknya tenaga kerja yang bekerja, tanpa memperhatikan penggunaan
mesin tenaga dan besarnya modal perusahaan.
Selanjutnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menetapkan kriteria
industri menjadi dua bagian yaitu:
(1) industri kecil, merupakan industri dengan nilai investasi paling banyak Rp.500
juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan
(2) industri menengah, merupakan industri dengan nilai investasi lebih besar dari
Rp. 500 juta atau paling banyak Rp.10 miliar, tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
Berdasarkan Permen KP No: PER.18/MEN/2006 tentang skala usaha
pengolahan hasil perikanan, klasifikasi usaha dikelompokkan menjadi: usaha
pengolahan hasil perikanan skala mikro, skala kecil, skala menengah, dan skala
besar. Sementara itu, pengertian klasifikasi usaha skala mikro, kecil, menengah,
dan besar terdapat dalam UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah, sebagai berikut:
11

(1) usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan, dengan aset maksimal Rp.50 juta dengan omset per
tahunnya mencapai Rp.300 juta.
(2) usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah
atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil, dengan aset antara
Rp.50 juta – Rp.500 juta dengan omzet per tahunnya berkisar antara Rp.300
juta – Rp.2,5 miliar.
(3) usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha
besar, dengan aset antara Rp.500 juta – Rp.10 miliar dengan omzet per
tahunnya berkisar antara Rp.2,5 miliar – Rp 50 miliar.
(4) usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha
dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari
Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta,
usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di
Indonesia, dengan aset lebih dari Rp.10 miliar dengan omzet lebih dari Rp.50
miliar.

2.4 Mutu Produk Perikanan


Dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan dan UU No. 31/2004 tentang
Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45/2009, serta PP No. 28/
2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan, telah ditetapkan bahwa produk
pangan termasuk dalam hal ini hasil perikanan yang dipasarkan untuk konsumsi
manusia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sehingga dapat
menjamin kesehatan manusia. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas
dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan
terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.
12

Persyaratan atau standar mutu produk sebagaimana dimaksud setidaknya


meliputi: (1) memenuhi kriteria keamanan hasil perikanan; (2) memiliki
kandungan gizi yang baik untuk produk pengolahan ikan; (3) memenuhi standar
perdagangan nasional untuk produk pengolahan ikan yang beredar di dalam
negeri; dan (4) memenuhi standar negara tujuan ekspor atau standar internasional
untuk produk pengolahan ikan yang akan diekspor.

2.5 Konsumsi Ikan


Konsumsi ikan adalah sejumlah ikan yang dikonsumsi masyarakat
berdasarkan survey yang dilakukan Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)
yang telah dikonversi menjadi setara ikan segar dalam bentuk energi dan protein
dengan satuan kal/kap/hari dan g/kap/hari. Konsumsi ikan terdiri atas konsumsi
ikan aktual dan ideal. Konsumsi ikan aktual adalah jumlah konsumsi setara ikan
segar dan konsumsi tidak tercatat yang dihitung dengan satuan kg/kapita/tahun.
Sedangkan konsumsi ikan ideal adalah adalah jumlah ikan yang seharusnya
dikonsumsi masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan energi dari ikan
berdasarkan perhitungan PPH yaitu kebutuhan pangan hewani sebesar 12%
Angka Kecukupan Energi (AKE) dalam rangka mencapai standar pelayanan
minimal (SPM).
Jumlah ikan yang dikonsumsi dan jenisnya yang bervariasi antarwilayah
dan antarnegara, mencerminkan tingkat perbedan ketersediaan ikan dan bahan
pangan lainnya, termasuk aksesibilitas sumber perikanan sebagai interaksi dari
beberapa faktor sosial ekonomi dan budaya, seperti tradisi, cita rasa, permintaan,
tingkat pendapatan, musim, harga, serta fasilitas dan infrastruktur kesehatan dan
komunikasi. Perubahan pola konsumsi ikan merupakan hasil dari faktor
peningkatan standar hidup, pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan kesempatan
perdagangan serta transformasi distribusi pangan (FAO 2012).
Jumlah dan jenis konsumsi ikan terkait dengan berbagai faktor, yaitu:
pengetahuan gizi dan teknik pengolahan ikan; kemudahan mendapatkan ikan;
harga ikan dan daya beli masyarakat; citra/image/gengsi ikan; nilai budaya dan
mitos; dan promosi konsumsi ikan (Sulistyo et al. 2004).
13

2.6 Produk Perikanan Non Konsumsi


Produk Hasil Perikanan Nonkonsumsi berdasarkan Keputusan Dirjen
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No.: 016/DJ-P2HP/2012, terdiri dari:
ikan hias, tanaman hias air, mutiara, kerajinan, minyak ikan, garam, tulang ikan,
khitin dan/atau khitosan, kolagen, gelatin, silase, rumput laut untuk keperluan
medis/farmasi, kosmetik, produk bioteknologi kelautan/ perikanan, artemia, dan
bubuk kulit kerang mutiara.

2.7 Nilai Tambah pada Industri Pengolahan Ikan


Analisis kondisi nilai tambah pada industri pengolahan ikan dilakukan
dengan menggunakan Metode Hayami (1987), melalui perhitungan nilai tambah
per kilogram bahan baku untuk satu kali kegiatan pengolahan yang menghasilkan
suatu produk tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk
pengolahan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor teknis dan
pasar.
Tabel 2. Perhitungan Nilai Tambah Per Kilogram Bahan Baku untuk
Menghasilkan Produk
No. Variabel Nilai
1 Output, Input dan  Output (kg/hr) A
Harga  Bahan baku (kg/hr) B
 Tenaga kerja (HOK/hari) C
 Faktor konversi d = a/b
 Koefisien tenaga kerja e = c/b
 Harga output (Rp./kg) F
 Upah rata-rata tenaga kerja (Rp./HOK) G
2 Pendapatan dan  Harga bahan baku (Rp) H
Keuntungan  Sumbangan input lain (Rp) I
 Nilai output j=dxf
 Nilai tambah k=j–i–h
 Rasio nilai tambah l% = (k x 100%)/j
 Imbalan tenaga kerja m=exg
 Bagian tenaga kerja n% = (m x 100%)/k
 Keuntungan o=k–m
 Tingkat keuntukan (%) p% = (o x 100%)/j
Sumber: Hayami (1987)
14

Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku dan
tenaga kerja, sementara faktor pasar yang berpengaruh ialah harga output, upah
kerja, harga bahan bakar dan input lain. Prosedur analisis nilai tambah
diperlihatkan pada Tabel 1.

2.8 Perdagangan Internasional Produk Perikanan


Investasi perdagangan internasional produk perikanan saat ini tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran, tetapi juga ditentukan oleh
hasil-hasil konvensi dan perjanjian internasional perikanan. Perjanjian tersebut
mengatur mekanisme perdagangan komoditi perikanan di pasar internasional,
antara lain:
(1) Perjanjian internasional terkait kelestarian sumber daya perikanan, seperti:
Code of Conduct for Responsible Fisheries, International Convention for the
Concervation of Atlanic Tuna (ICCAT), Indian Ocean Tuna Comision dan
Agreement of Straddling Stocks;
(2) Perlindungan internasional terhadap satwa yang terancam punah, seperti
Convention on International Trade of Endangered Species (CITES); dan
(3) Perjanjian internasional tentang perdagangan, seperti GATT/WTO, termasuk
perjanjian Sanitary and Phyto sanitary Measures (SPS); dan Agreement on
Technical Barriers to Trade, termasuk pengawasan dan pengendalian mutu
perikanan.
Globalisasi perdagangan makanan; perkembangan teknologi dalam
produksi perikanan; penanganan, pengolahan dan distribusi; serta tingginya
peningkatan kepedulian dan permintaan konsumen untuk keamanan dan mutu
makanan, menjadikan keamanan pangan dan jaminan kualitas sebagai hal yang
diprioritaskan pemerintah. Untuk memasuki pasar ekspor, perlu
mempertimbangkan hal-hal strategis lainnya, seperti: komoditas produk, daya
saing, mutu dan kualitas produk, selera dan daya beli konsumen, delivery time,
dan analisis kondisi negara tujuan ekspor termasuk populasi, agama, tradisi,
kondisi sosial politik dan peraturan ekspor impor (Disperindag, 2014).
15

2.9 Konsep Wilayah, Daerah, dan Kawasan


Secara teoritik, tidak terdapat perbedaan nomenklatur antara istilah
wilayah, daerah, dan kawasan. Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan
“wilayah” (region). Istilah “kawasan” di Indonesia digunakan karena adanya
penekanan fungsional suatu unit wilayah. Oleh karena itu, kawasan didefinisikan
sebagai karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di
dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek fungsional.
Sementara itu, “daerah” secara umum adalah suatu wilayah territorial
dengan pengertian, batasan dan perwatakannya didasarkan pada wewenang
administrasi pemerintahan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
tertentu. Daerah juga diartikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait padanya dengan batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administrasi. Contohnya adalah daerah-daerah otonom seperti
yang disebutkan di dalam Undang-Undang No 22/1999 (yang telah direvisi
menjadi UU No. 32/2004) tentang Pemerintah di Daerah: Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten, Daerah Kota.
Berdasarkan UU No. 26/ 2007 tentang Penataan Ruang, “wilayah” adalah
ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek
fungsional; sementara “kawasan” adalah wilayah dengan fungsi utama lindung
dan budidaya. Secara konseptual, wilayah dapat dibagi menjadi empat, yaitu: (1)
wilayah homogen, (2) wilayah nodal, (3) wilayah administratif, dan (4) wilayah
perencanaan.

(1) Wilayah Homogen, adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria
mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama, misalnya dalam hal
ekonomi dan. Wilayah homogen dibatasi berdasarkan keseragamannya secara
internal (internal uniformity). Contoh wilayah homogen adalah Pantai Utara
Jawa Barat, yang merupakan wilayah homogen sentra produksi ikan jenis
pelagis kecil, ikan asin dan kerupuk ikan.
16

(2) Wilayah Nodal. Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional
mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan wilayah belakangnya
(hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk,
faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi.
Soekirno (1985) menyatakan bahwa pengertian wilayah nodal yang paling
ideal digunakan dalam analisis mengenai ekonomi wilayah, yaitu mengartikan
wilayah tersebut sebagai ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa
pusat kegiatan ekonomi. Batas wilayah nodal ditentukan oleh sejauhmana
pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi bila digantikan oleh pengaruh
dari pusat kegiatan ekonomi lainnya.
(3) Wilayah Administratif, adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan
berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti:
provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan.

(4) Wilayah Perencanaan, adalah wilayah yang batasannya didasarkan secara


fungsional dalam kaitannya dengan maksud perencanaan. Wilayah ini
memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi
(Glasson dalam Pontoh dan Kustiwan, 2009). Wilayah perencanaan dapat
dilihat sebagai wilayah yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya
perubahan-perubahan penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan
kerja, namun cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-persoalan
perencanaannya dapat dipandang sebagai suatu kesatuan. Klaessen (dalam
Pontoh dan Kustiwan, 2009) menyatakan wilayah perencanaan harus memiliki
beberapa kriteria, diantaranya: (1) cukup besar dalam mengambil keputusan-
keputusan investasi yang berskala ekonomi, (2) mampu mengubah industrinya
sendiri dengan tenaga kerja yang ada, (3) mempunyai struktur ekonomi yang
homogen, (4) mempunyai sekurang-kurangnya satu titik pertumbuhan (growth
point), (5) menggunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan,
dan (6) masyarakat dalam wilayah itu mempunyai kesadaran bersama terhadap
persoalan-persoalannya. Wilayah perencanaan dalam hal ini bukan hanya
dipandang dari aspek fisik dan ekonomi saja, namun ada juga dipandang dari
aspek ekologis, misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS), pengelolaan terumbu karang dan sebagainya.
17

2.10 Pewilayahan sebagai Alat Pendeskripsian dan Perencanaan


Pengembangan konsep wilayah dan penerapannya dalam dunia nyata akan
menghasilkan suatu konsep pewilayahan. Permukaan bumi terbagi atas berbagai
wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah yang
diterapkan akan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang
dihasilkan. Manfaat melakukan proses pewilayahan terutama dalam melakukan
proses klasifikasi. Dalam pengetahuan, Johnston (1976) menyebutkan bahwa,
metode klasifikasi wilayah ini bermanfaat diantaranya sebagai: (1) alat
penyederhanaan fenomena wilayah, dan (2) sebagai alat pendeskripsian.
Klasifikasi ini dapat dipandang sebagai alat/metode yang cukup ampuh dalam
mendeskripsikan fenomena, termasuk dalam menggambarkan hubungan antara
manusia dengan sumberdaya yang karakteristik sumberdaya serta perilaku dan
cara-cara manusia memanfaatkannya dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan
pengklasifikasian spasial. Dengan demikian, klasifikasi spasial (pewilayahan)
merupakan suatu alat (tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan
berbagai karakteristik fenomena yang ada. Secara sederhana, pewilayahan
merupakan alat untuk “memotret” kehidupan nyata yang beragam secara spasial.
Secara teknis, perbedaan mendasar klasifikasi spasial dengan klasifikasi pada
umumnya adalah: (1) aspek spatial contiguity (kontiguitas spasial) dan (2) aspek
spatial compactness. Sifat spatial contiguity (kontiguitas spasial) memiliki
pengertian bahwa masing-masing wilayah yang didefinisikan satu sama lainnya
cenderung bersifat bersebelahan secara kontinyu sehingga agregat menjadi suatu
kesatuan yang kontigus (contiguous) atau saling mempengaruhi. Kontiguitas
merupakan karakter yang melekat dari suatu wilayah karena pada dasarnya tidak
ada wilayah yang bersifat bebas atau independen (terbebas dari pengaruh wilayah
lainnya). Oleh sebab itu, aspek interaksi spasial (spatial interaction) atau
keterkaitan spasial (spatial linkages) antar wilayah merupakan bahasan yang
sangat penting dalam ilmu wiayah. Di dalam proses-proses pewilayahan, kesatuan
atau kesinambungan hamparan adalah sangat dikehendaki. Sebaliknya
kecenderungan fragmentasi-fragmentasi spasial perlu dihindari. Wilayah-wilayah
yang berkesinambungan secara spasial (spatial contiguous) akan mempermudah
18

pengelolaan, sebaliknya wilayah-wilayah yang terfragmentasi (spatially


fragmentation) akan menciptakan berbagai bentuk inefisiensi.
Sebagai alat deskripsi, konsep pewilayahan merupakan bagian dari konsep
alamiah, yakni sebagai alat mendeskripsikan hal-hal yang terjadi secara alamiah di
dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep pewilayahan juga merupakan alat untuk
merencanakan/mengelola dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan
pewilayahan digunakan untuk penerapan pengelolaan (manajemen) sumberdaya
yang memerlukan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan
karakteristik spasial.

2.11 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif


Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung pada
keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis
setiap sektor di dalam memacu menjadi pendorong utama (prime mover)
pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Keunggulan komparatif adalah
perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih
luas dalam suatu wilayah. Sedangkan keunggulan kompetitif ialah potensi
ekonomi dari produksi sektoral yang dihasilkan oleh suatu wilayah.
Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi menjadi dua kelompok
(Rustiadi, et al., 2009), yaitu:
(1) sektor basis, kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan
kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor
antarwilayah. Industri basis akan menghasilkan output berupa barang dan jasa,
baik untuk kebutuhan pasar domestik wilayah tersebut maupun dari wilayah
lain (kegiatan ekspor sudah berkembang dengan baik).
(2) sektor non basis, merupakan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di
wilayahnya sendiri, dimana kapasitas ekspor di wilayah tersebut belum
berkembang.
Arus pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi industri basis
akan meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi, yang
pada gilirannya akan meningkatkan permintaan agregat dari hasil industri sektor
basis. Dengan demikian, kegiatan industri sektor basis berperan penting sebagai
19

penggerak utama (prime mover) dimana setiap perubahan kenaikan atau


penurunan per satuan unit output memiliki efek pengganda (multiplier effect)
terhadap perekonomian wilayah.
Perkembangan suatu wilayah dapat diketahui melalui dampak multiplier
yang dihasilkannya. Beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk melihat
perkembangan ekonomi suatu wilayah akibat adanya suatu aktivitas ekonomi
adalah pendapatan (income) dan tenaga kerja (employment). Menurut Blakely
(1994) dampak multiplier merupakan aproksimasi terbaik untuk mengetahui
potensi perubahan kesejahteraan dari suatu aktivitas ekonomi baru. Asumsi
dasarnya adalah bahwa suatu perubahan di sektor produksi akan menghasilkan
peningkatan pendapatan masyarakat. Sedangkan indikator tenaga kerja digunakan
untuk mengetahui besarnya peluang terciptanya lapangan pekerjaan baru oleh
aktivitas ekonomi yang dikembangkan di suatu wilayah.
20

BAB III METODE KAJIAN

3.1. Kerangka Pikir


UU No. 17/ 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025 telah menetapkan salah satu misi yang yang terkait dengan
pembangunan kelautan dan perikanan, yaitu “mewujudkan Indonesia menjadi
negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan
nasional”, dengan menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan
pemerintah, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan
kelautan, mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan
meningkatkan kemakmuran, dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu
dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
Selanjutnya, berdasarkan Perpres No. 2/2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dalam rangka
mewujudkan visi pembangunan mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri,
dan berkepribadian berlandaskan gotong royong, salah satunya akan dilaksanakan
melalui misi mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju,
kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Pada RPJMN 2015-2019,
kemaritiman dan kelautan menjadi salah satu sektor unggulan, dimana kekayaan
laut dan maritim Indonesia harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi
kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat. Beberapa sasaran utama
pembangunan nasional terkait hal tersebut adalah peningkatan produksi hasil
perikanan menjadi sebesar 40-50 juta ton dan peningkatan nilai ekspor hasil
perikanan menjadi USD 9,5 miliar pada tahun 2019.

Peningkatan target produksi ikan dan hasil perikanan yang cukup tinggi
hingga mencapai 40-50 juta ton pada tahun 2019 tentunya akan mempengaruhi
kondisi pasokan bahan baku untuk industri pengolahan perikanan serta
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di sentra-sentra produksi perikanan dan
sentra pengolahan perikanan. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan kajian
strategi industrialisasi perikanan untuk meningkatan mutu, nilai tambah, dan daya
saing produk perikanan agar mampu mendukung pengembangan wilayah.
Menurut data dari FAO (2015), Indonesia merupakan salah satu negara penghasil
21

produksi perikanan utama di dunia, baik untuk ikan yang berasal dari perikanan
tangkap, perikanan budidaya, maupun rumput laut. Namun keunggulan tersebut
belum diikuti dengan kemampuan Indonesia dalam meningkatkan nilai tambah
dan memenuhi kecukupan pangan nasional. Indeks ketahanan pangan Indonesia
berdasarkan kriteria affordability, availability, quality, and safety berada di urutan
ke-64, atau berada di bawah negara-negara Asia Pasifik seperti New Zealand,
Jepang, Australia, Korea Selatan, Malaysia, China, Thailand, Vietnam, dan
Filipina.

Menurut Permen KP No. PER.27/MEN/2012 tentang Pedoman Umum


Industrialisasi Kelautan dn Perikanan, industrialisasi kelautan dan perikanan
adalah integrasi sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan skala dan
kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumber daya
kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Usaha perikanan di Indonesia
sebagai basis dari industrialisasi didominasi oleh Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) sebesar 97,5% dari 63.887 unit pengolah ikan yang ada.
Sehingga untuk menentukan strategi industrialisasi dalam rangka pengembangan
wilayah perlu dianalisis berbagai faktor yang dapat meningkatkan produktivitas
UMKM sebagai basis utama, dan usaha besar sebagai basis pendukung. Secara
grafis kerangka analisis kajian Strategi Industrialisasi Perikanan Untuk
Mengembangkan Ekonomi Wilayah dapat dilihat pada Gambar 1.
22

Identifikasi potensi kewilayahan


industri pengolahan perikanan
nasional

Identifikasi dan analisis bahan baku, pelaku,


aktivitas dan alur distribusi hasil perikanan

Identifikasi permasalahan industri pengolahan


perikanan Identifikasi dan analisis
faktor-faktor yang
mempengaruhi
Level penanganan hasil perikanan
keunggulan daya saing
mulai dari aktivitas hulu hingga
industri pengolahan
industri pengolahan perikanan
perikanan

Identifikasi penyebab permasalahan pada industri


pengolahan ikan

Penyusunan strategi industrialisasi perikanan,


khususnya pengolahan perikanan

Gambar 1 Kerangka Analisis Kajian Strategi Industrialisasi Perikanan untuk


Mendukung Pembangunan Ekonomi Wilayah

3.2. Metode Pengambilan Data


Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil observasi, baik dalam bentuk kuesioner, FGD (focus
group discussion), maupun wawancara pada pihak terkait dan dokumentasi. Data
primer lebih difokuskan pada kinerja sektor perikanan baik sektor ekonomi,
sosial, lingkungan maupun kelembagaan serta permasalahan yang dihadapi. Data
primer ini diperlukan untuk mengetahui kondisi eksisting pengelolaan perikanan
di lapangan. Sementara itu, data sekunder diperoleh melalui kajian desk study
untuk mengumpulkan informasi mengenai penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya maupun perkembangan terkini mengenai pengelolaan industrialisasi
perikanan secara umum. Data sekunder yang digunakan diantaranya berupa data
23

time series produksi perikanan dan pengolahan hasil perikanan, pertumbuhan


ekonomi wilayah, dan peraturan daerah yang terkait pengelolaan perikanan.

3.3. Metode Analisis Data


Analisis data yang dilakukan dalam kajian ini terdiri dari analisis
deskriptif, analisis SWOT, dan analisis pengembangan ekonomi wilayah dengan
pendekatan mikro-makro.
(1) Analisis deskriptif
Analisis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang hal-
hal yang berkaitan dengan objek kajian. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk
tulisan, tabulasi data, matriks, gambar sesuai dengan konteks permasalahan yang
dibahas melalui diagram tulang ikan (fish bone analysis). Diagram tulang ikan
adalah diagram yang menunjukkan sebab akibat yang berguna untuk mencari atau
menganalisis sebab-sebab timbulnya masalah sehingga memudahkan cara
mengatasinya. Penggunaan diagram tulang ikan dalam kajian ini digunakan untuk
mengetahui permasalahan yang paling sering muncul pada daerah atau sentra
perikanan. Ilustrasi diagram tulang ikan dalam kajian ini disajikan pada Gambar
2.
24

F asilitas dan Infrastruktur Pe ngolahan pe rikanan Manajem en Industri

Suplai BBM Tren produksi Bahan baku

Produk
Pabrik Es Rantai pasok
konsumsi

Produk non kapasitas


Cold storage
konsumsi terpasang

Penyediaan air Preferensi


utilitas produksi
bersih konsumen

Kontinuitas nilai tambah kapasitas


bahan baku produk produksi

hambatan GMP, HAC C P,


Sistem logistik
tarif/non tarif ISO

pola konsumsi Bahan


Energi
ikan penolong/BTP
Strategi
Industrialisasi
perikanan

Kesejahteraan Lembaga terkait kemasan

NTN( Nilai bahan


tenaga kerja
Tambah pengawet

Pegangguran & Biaya keamanan


kemiskinan operasional pangan

teknologi
PDRB Wilayah Perlengkapan
informasi

Lahan dan
akses pasar Mesin
bangunan

asosiasi/serikat Alat Penangkap


Resiko usaha
nelayan Ikan

Jumlah
akses modal Kapal
badan/kelemba

Kebijakan Pe merintah Sosial Ekonomi Te knologi

Gambar 2. Ilustrasi Fishbone Analysis

(2) Analisis SWOT


Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan
untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi
bisnis. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis
atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung
dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT merupakan salah
satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah,
proyek atau konsep bisnis yang paling sering digunakan untuk mencari strategi
yang akan dilakukan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang terjadi
bukan sebagai pemecah masalah. Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:
25

a) Strengths (kekuatan), merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam


organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis
merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep
bisnis itu sendiri.
b) Weakness (kelemahan), merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam
organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kelemahan yang dianalisis
merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep
bisnis itu sendiri.
c) Opportunities (peluang), merupakan kondisi peluang berkembang di masa
datang yang akan terjadi. Kondisi yang akan terjadi merupakan peluang dari
luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. misalnya kompetitor,
kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar.
d) Threats (ancaman), merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman
ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.

Selanjutnya, analisis SWOT dipetakan ke dalam matriks sebagai tabel


informasi SWOT. Kemudian dilakukan pembandingan antara faktor internal yang
meliputi strengths dan weaknesses dengan faktor eksternal opportunities dan
threats. Langkah berikutnya adalah penyusunan strategi alternatif untuk
dilaksanakan. Strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling
menguntungkan dengan resiko dan ancaman yang paling kecil. Selain berguna
untuk pemilihan alternatif, analisis SWOT juga dapat digunakan untuk melakukan
perbaikan dan improvisasi dengan mengetahui kelebihan (strengths dan
opportunities) dan kelemahan (weaknesses dan threats) (Rangkuti, 2006).

(3) Analisis Pengembangan Ekonomi Wilayah


Analisis yang digunakan untuk mengetahui indikator sektor basis,
keunggulan komparatif, dan keunggulan kompetitif wilayah adalah metode
Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA).
a) Analisis Location Quotient (LQ)
Metode LQ digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang
merupakan indikasi sektor basis dan non basis yang merupakan perbandingan
26

relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam
suatu wilayah. Asumsi yang digunakan adalah terdapat sedikit variasi dalam pola
pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masing-
masing industry menghasilkan produk atau jasa yang seragam.
Analisis LQ menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada
substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi pasar ke luar
wilayah tersebut (ekspor). Hal ini memberikan suatu gambaran tentang industri
yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Shukla, 2000).
Metode analisis LQ dirumuskan sebagai berikut:

Di mana:
Xij = derajat aktivitas ke-j di wilayah ke-i
Xi = total aktivitas di wilayah ke-i
Xj = total aktivitas ke-j di semua wilayah
Xn = derajat aktivitas total wilayah

b) Analisis Shift Share (SSA)


Analisis Shift Share (SSA) digunakan untuk melihat keunggulan
kompetitif suatu wilayah. Indikator yang digunakan untuk menunjukkan potensi
ekonomi dalam analisis ini adalah sebagai berikut:
 Total shift (pergeseran keseluruhan), merupakan pergeseran total suatu
industri i adalah sama dengan selisih antara pertumbuhan yang terjadi (actual
change) dengan pertumbuhan/perubahan yang diharapkan (expected change)
terjadi jika industri i tumbuh pada laju yang sama dengan laju total
pertumbuhan nasional (semua industri).
 Proportional shift, merupakan pergeseran yang diamati tergantung pada
perbedaan antara laju pertumbuhan nasional (dari seluruh industri) dengan
laju pertumbuhan nasional dari masing-masing industri.
 Differential shift, merupakan pergeseran yang diamati tergantung pada
perbedaan antara laju pertumbuhan industri di wilayah bersangkutan dengan
27

laju pertumbuhan industri i di tingkat nasional. Persamaan analisis SSA


adalah sebagai berikut:

a b c
dimana:
a = komponen share
b = komponen proportional share
c = komponen differential share
X = nilai total aktivitas dalam total wilayah
Xi = nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah
Xij = nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu
tt = titik tahun akhir
t0 = titik tahun awal

3.4 Lokasi Kunjungan Lapang


Survei lapangan dan pengumpulan data dilakukan ke Provinsi Jawa Timur
dan DI Yogyakarta. Tempat-tempat tersebut adalah lokasi yang mewakili
keberadaan industri pengolahan perikanan dalam negeri yang ada dan tersebar di
wilayah Indonesia, sehingga diharapkan mampu memperkaya informasi hasil
kajian.

3.5 Jadwal Pelaksanaan Kajian


Kajian ini akan dilaksanakan selama delapan bulan, yaitu dari Bulan April
sampai Bulan November 2016. Secara lengkap jadwal kajian ini dapat dilihat pada
Tabel 2.
28

Tabel 3. Jadwal Kegiatan Kajian Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Ekonomi Wilayah

N April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November


Uraian Kegiatan
o I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1 Rapat Tim Perumus Rekomendasi
Kebijakan
2 Identifikasi Industri Perikanan
3 Laporan awal
4 Diskusi Terbatas dengan Pemangku
Kepentingan sektor perikanan
5 Penyusunan Bahan kajian
6 Perumusan dan bahan survey lapangan
7 Survey Lapangan
8 Penyusunan Hasil Survey dan kajian
9 Laporan Antara/Laporan Tengah
10 Perumusan Strategi Industrialisasi
Perikanan untuk Pembangunan Ekonomi
Wilayah
11 Konsep Strategi Industrialisasi Perikanan
untuk Pembangunan Ekonomi Wilayah
12 Seminar
13 Penyusunan laporan akhir
14 Perbaikan laporan akhir
15 Laporan akhir
29

BAB IV ISU, PERMASALAHAN, DAN SASARAN STRATEGIS DALAM


PENGEMBANGAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN

4.1 Permasalahan dalam Pengembangan Industrialisasi Perikanan


4.1.1 Perikanan Tangkap
Pengembangan perikanan tangkap menghadapi permasalahan yang
kompleks karena keterkaitannya dengan banyak sektor, termasuk dengan aspek
lingkungan. Terdapat berbagai isu pengelolaan perikanan tangkap di laut yang
berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan,
keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di bidang perikanan, ketahanan
pangan, dan pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari pemanfaatan sumber
daya perikanan. Beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami gejala
overfishing. Selain itu, praktik-praktik IUU fishing yang terjadi di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI), baik oleh kapal-
kapal perikanan Indonesia (KII) maupun oleh kapal-kapal perikanan asing (KIA)
menyebabkan kerugian baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun
ekonomi.
Kerugian negara akibat dari IUU fishing di perairan Arafura diperkirakan
mencapai Rp 11–17 triliun (Wagey et al., 2002). Sementara itu, estimasi kerugian
negara-negara di dunia akibat IUU fishing mencapai USD 10–23,5 miliar
(Agnew et al., 2005). Ancaman IUU fishing dipicu kondisi sektor perikanan
global, dimana beberapa negara mengalami penurunan stok ikan, pengurangan
armada kapal penangkapan ikan akibat pembatasan pemberian izin penangkapan.
Sementara di sisi lainnya, permintaan produk perikanan semakin meningkat dan
kemampuan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan masih lemah.
Berdasarkan hal tersebut, kapasitas dan kapabilitas pengawasan sumber daya
kelautan dan perikanan perlu ditingkatkan sebagaimana amanat UU No. 45/2009
tentang perubahan atas UU No. 31/2004 tentang Perikanan, melalui
pengembangan sistem pengawasan yang terintegrasi, penyediaan sarana dan
prasarana pengawasan, pemenuhan regulasi bidang pengawasan dan kelembagaan
di tingkat daerah, pengembangan kerjasama secara intensif dengan instansi lain,
serta menggalang komitmen dan dukungan internasional dalam penanggulangan
30

kegiatan IUU fishing. Masalah IUU fishing juga terkait dengan perbatasan dengan
negara tetangga, seperti kasus nelayan tradisional yang melanggar lintas batas
masuk ke negara lain. Meskipun upaya untuk edukasi dan peningkatan keasadaran
nelayan RI mengenai batas-batas laut sudah dilakukan, namun kemungkinan
nelayan tradisional untuk melintas batas dan melakukan pelanggaran ke negara
lain masih ada. Perbatasan laut merupakan salah satu isu dalam pengawasan
sumber daya perikanan dan kelautan di wilayah perairan Indonesia. Hingga saat
ini, masih terdapat perundingan terkait perbatasan wilayah dengan negara
tetangga yang belum terselesaikan.
Permasalahan lainnya yang dihadapi adalah terkait masih rendahnya
produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh
struktur armada penangkapan ikan yang masih didominasi oleh kapal berukuran
kecil, belum optimalnya integrasi sistem produksi di hulu dan hilir, serta masih
terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana secara memadai. Di samping itu,
aspek sangat mendasar yang mempengaruhi lemahnya daya saing dan
produktivitas adalah kualitas SDM dan kelembagaannya. Saat ini jumlah SDM
yang bergantung pada kegiatan usaha kelautan dan perikanan sangat besar, namun
pengetahuan, keterampilan, penguasaan teknologi dan aksesibilitas terhadap
infrastruktur dan informasi belum memadai dan belum merata di seluruh wilayah
Indonesia, terutama di wilayah kepulauan.

4.1.2 Perikanan Budidaya


Pengembangan perikanan budidaya masih dihadapkan pada permasalahan
terkait ketersediaan dan distribusi induk dan benih unggul, kesiapan dalam
penanggulangan hama dan penyakit, penyediaan fasilitas kolam dan air yang baik
serta prasarana saluran irigasi, harga pakan/harga bahan baku pakan, serta
implementasi kebijakan tata ruang dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil. Rendahnya produktivitas perikanan budidaya juga disebabkan oleh
struktur pelaku usaha perikanan budidaya yang didominasi pembudidaya skala
kecil/tradisional (sekitar 80%), yang memiliki keterbatasan aspek permodalan,
jaringan teknologi, dan pasar. Selain itu, serangan hama dan penyakit ikan/udang
31

serta penurunan kualitas lingkungan perikanan budidaya juga ikut mempengaruhi


pengembangan perikanan budidaya.
Sementara itu, terkait garam, hingga saat ini produksi garam nasional
masih belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri baik secara kuantitas
maupun kualitas. Hal ini karena mayoritas usaha pegaraman masih bersifat
tradisional, pengaruh cuaca berupa hujan yang terus menerus dan kemarau basah,
serta tata niaga garam yang belum mendukung.
Dalam rangka pengembangan usaha, permasalahan utama yang dihadapi
adalah masih adanya keterbatasan dukungan permodalan usaha dari pihak
perbankan dan lembaga keuangan lainnya kepada para nelayan/pembudidaya
ikan/petambak garam/pengolah hassil perikanan, berupa terbatasnya akses
permodalan atau kredit usaha akibat persyaratan perbankan (jaminan/agunan).

4.1.3 Pengolahan Perikanan


Isu utama yang dihadapi dalam pengembangan pengolahan perikanan
adalah:
(1) Lemahnya jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan (quality assurance
dan food safety). Pihak pembeli dari negara lain menuntut Indonesia untuk
memenuhi ketentuan terkait jaminan dan keamanan pangan (hasil perikanan),
diantaranya: penerapan Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP), Bioterrorism Act, sanitasi kekerangan, cemaran logam berat dan
histamin pada tuna dan certificate eco labelling selain health certificate.
(2) Tingginya tingkat kehilangan (losses) hingga sekitar 27,8% akibat kualitas
bahan baku yang kurang terjaga karena rendahnya pengetahuan nelayan,
pembudidaya ikan, pemasar dan pengolah hasil perikanan, dan petugas
TPI/PPI mengenai cara penanganan dan pengolahan yang baik (good
manufacturing practice/GMP) serta karena terbatasnya sarana dan prasarana
penangan ikan di atas kapal, TPI/PPI, distribusi dan unit pengolah ikan (UPI)
skala mikro dan kecil, seperti peralatan handling, es, dan air bersih.
(3) Kurangnya pasokan bahan baku industri pengolahan karena belum terjalinnya
kerjasama antara industri penangkapan ikan dengan pengolahan hasil
perikanan, sehingga perusahaan penangkapan cenderung mengekspor ikan
32

dalam bentuk ikan utuh (gelondongan) serta belum terstandarnya hasil


tangkapan karena 85% produksi perikanan tangkap didominasi/dihasilkan
oleh nelayan skala kecil. Di sisi lain, sentra penangkapan ikan banyak berada
di wilayah Indonesia bagian timur, sementara industri pengolahan banyak
berada di wilayah Indonesia bagian barat.
(4) Maraknya bahan kimia berbahaya dalam penanganan dan pengolahan ikan,
seperti: formalin, borax, zat pewarna, CO, antiseptik, pestisida, dan antibiotik
(chloramphenol, Nitro Furans, OTC). Hal ini disebabkan oleh substitusi
bahan pengganti tersebut yang kurang tersedia dan peredaran bahan kimia
berbahaya yang bebas, murah dan sangat mudah diperoleh.
(5) Jenis ragam produk dan pengembangan produk bernilai tambah (value added
products) belum berkembang optimal dan belum popular. Meskipun kajian
dan hasil penelitian pemanfaatannya sudah banyak tersedia, namun produksi
secara masal masih belum dapat direalisasi karena ketersediaan sarana
prasarana, mahalnya peralatan, kurangnya teknologi serta masalah kontinuitas
suplai bahan baku.
(6) Kurangnya intensitas promosi dan rendahnya partisipasi stakeholders. Saat ini,
produk perikanan yang bernilai tambah di masyarakat masih belum populer,
karena kurangnya intensitas promosi serta rendahnya partisipasi stakeholders
(khususnya produsen produk perikanan) dalam mengembangkan program
promosi.

4.1.4 Pemasaran Hasil Perikanan


Peningkatan pemanfaatan potensi sumber daya perikanan juga mendorong
peningkatan kegiatan perdagangan produk perikanan antarwilayah di Indonesia
(domestik) dan antarnegara (ekspor). Meningkatnya kegiatan perdagangan
tersebut, membawa konsekuensi meningkatnya risiko berupa masuk dan
tersebarnya hama dan penyakit ikan berbahaya, serta masuknya hasil perikanan
yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sehingga
diperlukan peningkatan sistem jaminan kesehatan ikan mutu dan keamanan hasil
perikanan yang terpercaya.
33

Globalisasi dalam kerangka perdagangan internasional, mendorong


semakin meningkatnya arus lalu lintas dan menurunnya secara bertahap hambatan
tarif (tariff barrier) dalam perdagangan hasil perikanan antarnegara. Keadaan ini
memicu masing-masing negara, termasuk negara mitra dagang seperti Uni Eropa,
China, Rusia, Canada, Korea, Vietnam dan Norwegia, semakin memperketat
persyaratan jaminan kesehatan, mutu dan keamanan hasil perikanan (health,
quality and safety assurance). Sebagai anggota World Trade Organization (WTO)
Indonesia berkewajiban melaksanakan isi ketentuan dalam “Agreement of The
Application of Sanitary and Phytosanitari Measure” yang memuat ketentuan
tentang penerapan peraturan-peraturan teknis guna melindungi kesehatan
manusia, hewan, ikan dan tumbuhan. Konsep perjanjian Sanitary and
Phytosanitary (SPS) merupakan instrumen pengendali perdagangan internasional
berupa hambatan teknis (technical barrier to trade)/hambatan non tariff (non
tariff barrier). Berdasarkan hal tersebut, pengembangan sistem jaminan
kesehatan, mutu dan keamanan hasil perikanan harus selaras dengan persyaratan
dan ketentuan internasional sehingga mampu meningkatkan daya saing hasil
perikanan dalam era perdagangan global.

4.1.5 Bidang Kewilayahan


Isu utama pembangunan wilayah nasional adalah masih besarnya
kesenjangan antarwilayah khususnya kesenjangan antara Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada kurun waktu 2015-
2019, arah kebijakan utama pembangunan wilayah nasional difokuskan pada
upaya mempercepat pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah dengan
mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah. Sebagai negara
maritim yang terdiri dari gugusan pulau-pulau (archipelagic state) di mana laut
Indonesia lebih luas dari daratan, peranan laut menjadi sangat penting dalam
pemerataan pembangunan nasional. Laut diharapkan dapat menghubungkan
Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, termasuk pulau-
pulau besar dan gugusan pulau-pulau kecil didalamnya, sekaligus sebagai perekat
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta untuk mendukung percepatan
pembangunan ekonomi wilayah berbasis maritim (kelautan).
34

Aktivitas pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, baik yang


berada di daratan, wilayah pesisir, maupun lautan, tidak dapat terlepas dari
keberadaan potensi bencana alam dan dampak perubahan iklim yang dapat terjadi
di wilayah Indonesia, seperti: kenaikan muka air laut (sea level rise) yang dapat
menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil dan sebagian wilayah/lahan
budidaya di wilayah pesisir, intrusi air laut ke daratan, peningkatan dan perubahan
intensitas cuaca ekstrim (seperti badai, siklon, banjir) yang berpengaruh terhadap
kegiatan penangkapan dan budidaya ikan, serta kerusakan sarana dan prasarana.
Sehingga diperlukan penyiapan kapasitas masyarakat untuk melakukan berbagai
upaya mitigasi bencana dan adaptasi dampak perubahan iklim. Selain potensi
bencana alam dan perubahan iklim, wilayah pesisir juga memiliki potensi
kerusakan pesisir berupa kerusakan ekosistem, abrasi, sedimentasi, pencemaran
dan permasalahan keterbatasan lahan. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya
rehabilitasi ekosistem, pengendalian pencemaran, dan upaya revitalisasi
diantaranya melalui reklamasi yang terkendali.

4.2 Sasaran Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Nasional


Perpres No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 telah menetapkan visi pembangunan untuk
mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan
gotong royong, yang salah satunya akan dilaksanakan melalui misi mewujudkan
Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan
kepentingan nasional. Pada RPJMN 2015-2019, kemaritiman dan kelautan
menjadi salah satu sektor unggulan, dimana kekayaan laut dan maritim Indonesia
harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan nasional dan
kesejahteraan rakyat. Beberapa sasaran pokok pembangunan nasional terkait
bidang kelautan dan perikanan yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 adalah:
(1) meningkatnya produksi hasil perikanan menjadi sebesar 40-50 juta ton pada
tahun 2019, meliputi produksi ikan sebesar 18,76 juta, rumput laut sebesar
19,54 juta ton, garam sebesar 4,50 juta ton, dan produk olahan perikanan
sebesar 6,80 juta ton.
35

(2) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan menjadi USD 9,5 miliar pada
tahun 2019.
(3) meningkatnya konsumsi ikan menjadi sebesar 54,5 kg/kapita/tahun.
(4) pertumbuhan PDB perikanan sebesar 7,2% per tahun pada tahun 2019.
Arah kebijakan yang ditetapkan untuk mencapai sasaran tersebut
diantaranya adalah: (1) peningkatan produksi perikanan melalui: ektensifikasi dan
intensifikasi produksi perikanan, penguatan faktor input dan sarana pendukung
produksi, penguatan keamanan produk pangan perikanan; (2) peningkatan mutu,
nilai tambah dan inovasi teknologi perikanan; (3) peningkatan kualitas sarana dan
prasarana perikanan; (4) peningkatan advokasi dan konsumsi makan ikan; (5)
penyempurnaan tata kelola perikanan; dan (6) pengelolaan perikanan
berkelanjutan.
Berdasarkan hal tersebut dan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber
daya kelautan dan perikanan, KKP melalui Permen KP No. 25/PERMEN-
KP/2015 tentang Rencana Strategis (Renstra) KKP 2015-2019 telah menetapkan
visinya untuk mewujudkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia yang mandiri,
maju, kuat dan berbasis kepentingan nasional dengan misi kedaulatan,
keberlanjutan dan kesejahteraan. Pencapaian visi dan misi pembangunan tersebut
dilaksanakan dengan memperhatikan tiga dimensi pembangunan nasional, yakni
sumber daya manusia (SDM), sektor unggulan, dan kewilayahan.
36

BAB V REVIEW KEBIJAKAN INDUSTRI DAN PENGOLAHAN


PERIKANAN

5.1 Kebijakan Umum


UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) 2005-2025 telah menetapkan salah satu misi yang terkait dengan
Kelautan dan Perikanan, yaitu “Mewujudkan Indonesia menjadi Negara
Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat, dan Berbasiskan Kepentingan Nasional”,
dengan menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah,
meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia yang berwawasan kelautan,
mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan
meningkatkan kemakmuran, dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu
dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
Selanjutnya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 yang telah ditetapkan melalui Perpres No.2/2015, memuat prioritas
pembangunan nasional, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup
gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta
program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga kewilayahan dalam
bentuk kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif.
Kerangka pencapaian tujuan RPJMN 2015-2019 dirumuskan lebih lanjut
dalam sembilan Agenda Prioritas Pembangunan Nasional (Nawacita), yaitu:
(1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara;
(2) Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya;
(3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan;
(4) Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya;
(5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia;
(6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional;
37

(7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor


strategis ekonomi domestik;
(8) Melakukan revolusi karakter bangsa; serta
(9) Memperteguh kebhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Selanjutnya, Presiden telah menyatakan bahwa laut adalah masa depan
peradaban bangsa dan bahwa sudah saatnya laut dipandang sebagai sumber
kehidupan manusia. Sehingga, pembangunan kelautan dan perikanan harus
dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan untuk mengubah suatu keadaan
menjadi keadaan yang lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya kelautan
dan perikanan secara optimal, efisien, efektif, dan akuntabel, dengan tujuan akhir
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

5.2 Kebijakan Penguatan Industri Pengolahan Perikanan


Dalam rangka mewujudkan sektor kemaritiman dan kelautan sebagai salah
satu sektor unggulan yang juga mampu mendukung terwujudnya redistribusi
keadilan dengan target gini ratio 0,3, maka paradigma pembangunan kelautan dan
perikanan, diarahkan pada: (1) pertumbuhan, untuk dapat meningkatkan
kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, (2) pemerataan,
dengan memberikan peluang bagi usaha skala kecil untuk maju dan mandiri
dengan tetap memelihara keberlanjutan usaha skala besar; dan (3) modernisasi,
agar seluruh usaha yang dilakukan dapat memberikan nilai tambah yang optimal
di dalam negeri.
Dalam rangka mendukung percepatan pelaksanaan pembangunan kelautan
dan perikanan, sampai tahun 2016 telah dilakukan penyusunan kebijakan dengan
melibatkan peran serta masyarakat guna memenuhi aspirasi masyarakat, antara
lain yaitu:
(1) UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang menyepakati empat norma
hukum penting, yaitu: (i) pemberdayaan masyarakat hukum adat dan nelayan
tradisional; (ii) penataan investasi; (iii) sistem perizinan; dan (iv) pengelolaan
kawasan konservasi laut nasional. Pemberdayaan masyarakat diperkuat dalam
inisiasi penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
38

beserta dengan pemerintah dan dunia usaha. Dengan norma hukum ini, maka
masyarakat dapat mengambil inisiatif mengusulkan rencana zonasi. Undang-
undang perubahan ini juga telah memberikan pengakuan hak asal-usul
masyarakat hukum adat untuk mengatur wilayah perairan yang telah dikelola
secara turun temurun. Dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan
pesisir dan pulau-pulau kecil pada wilayah masyarakat hukum adat oleh
masyarakat hukum adat menjadi kewenangan masyarakat hukum adat
setempat.
(2) UU No. 32/ 2014 tentang Kelautan, yang memuat penyelenggaraan
pembangunan kelautan ke depan, antara lain: (i) wilayah laut, (ii)
pembangunan dan pengelolaan kelautan, (iii) pengelolaan ruang laut dan
perlindungan lingkungan laut, (iv) pertahanan, keamanan, penegakan hukum,
dan keselamatan di laut, dan (v) tata kelola dan kelembagaan.
(3) Kebijakan terkait dengan upaya pemberantasan IUU Fishing,yaitu: (i) Permen
KP No. 56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium)
Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia; (ii) Permen KP No. 57/PERMEN-KP/2014
tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia, yang melarang transhipment; (iii) Permen KP No.
59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi
(Carcharhinus longimanus) dan Ikan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah
Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia.
(4) Permen KP No. 1/ 2015 tentang Penangkapan Lobster (panulirus spp),
Kepiting (scylla spp) dan Rajungan (portunus pelagicus spp), yang melarang
penangkapan species tersebut dalam kondisi bertelur dan mengatur ukuran
yang boleh ditangkap, dalam rangka menjamin keberadaan dan ketersediaan
stok Lobster, Kepiting dan Rajungan yang saat ini telah mengalami
penurunan populasi
(5) Permen KP No. 2/ 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan
Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), dalam rangka penataan
kembali pengelolaan perikanan untuk kelestarian sumber daya ikan,
39

pengurangan tekanan terhadap sumber daya ikan di 11 WPP-NRI, dan


pengaturan selektivitas alat penangkapan ikan, yang pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Penggunaan alat
penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) telah
mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian
lingkungan sumber daya ikan.
(6) Inpres No. 7/2016 tentang Percepatan Industri Perikanan Nasional, berisi
instruksi langkah-langkah strategis percepatan industri perikanan nasional,
melalui: (i) peningkatan produksi perikanan tangkap, budidaya, dan
pengolahan hasil perikanan; (ii) perbaikan distribusi dan logistik hasil
perikanan dan penguatan daya saing; (iii) percepatan penataan pengelolaan
ruang laut dan pemetaan WPP-NRI sesuai dengan daya dukung dan sumber
daya ikan dan pengawasan sumber daya perikanan; (iv) penyediaan sarana
dan prasarana dasar dan pendukung industri perikanan nasional; (v)
percepatan peningkatan jumlah dan kompetensi sumber daya manusia,
inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan bidang perikanan;
(vi) percepatan pelayanan perizinan di bidang industri perikanan nasional;
dan (vii) penyusunan rencana aksi percepatan pembangunan industri
perikanan nasional.
Selanjutnya, KKP diminta untuk mengevaluasi peraturan perundang-
undangan yang menghambat pengembangan perikanan tangkap, budidaya,
pengolahan, pemasaran dalam negeri, ekspor hasil perikanan, dan tambak
garam nasional; serta menyusun roadmap industri perikanan nasional,
penetapan lokasi, dan masterplan kawasan industri perikanan nasional
sebagai proyek strategis nasional.
Berbagai kebijakan dan upaya telah ditempuh merupakan langkah untuk
mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat dan sejahtera
melalui pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan,
dalam rangka mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia.
40

5.3 Kebijakan Peningkatan Produksi dan Konsumsi


Kebijakan peningkatan produksi perikanan pada RPJMN 2015-2019
diarahkan pada:
(1) Ekstensifikasi dan intensifikasi produksi perikanan untuk mendukung
ketahanan pangan dan gizi, melalui: (i) peningkatan produktivitas dan
pengembangan kawasan sentra produksi perikanan budidaya sesuai potensi
dan keunggulan lokal; (ii) peningkatan produksi perikanan tangkap dengan
memperhatikan ketersediaan stok dan aspek keberlanjutan; (iii)
pengembangan budidaya laut (marikultur) di lokasi-lokasi potensial; (iv)
pendayagunaan perairan umum daratan (PUD) untuk perikanan dan didukung
penerapan teknologi budidaya yang berwawasan lingkungan; (v) penguasaan
dan inovasi teknologi intensif untuk pembesaran komoditas ikan strategis
dengan memperhatikan daya dukung lingkungan; (vi) melanjutkan
revitalisasi tambak-tambak dan kolam yang tidak produktif; dan (vii)
pengembangan, penyediaan, dan penerapan teknologi perikanan yang
memperhatikan daya dukung lingkungan;
(2) Penguatan faktor input dan sarana prasarana pendukung produksi, melalui: (i)
penjaminan ketersediaan dan kemudahan rantai distribusi input, yang
mencakup BBM, induk unggul, benih ikan berkualitas, obat-obatan, dan
pakan bermutu berbasis bahan baku lokal; (ii) penguatan sistem dan jaringan
penyediaan induk dan perbenihan, termasuk di daerah Timur Indonesia; (iii)
pengembangan kapasitas manajemen dan infrastruktur pelabuhan perikanan
dan sarana penangkapan ikan; (iv) pemenuhan pasokan air minum dan energi
(listrik) di pelabuhan perikanan; (v) pengembangan infrastruktur irigasi ke
tambak dan kolam dengan kerjasama lintas pelaku dan pemerintah daerah;
(vi) pengembangan pelayanan kesehatan ikan dan lingkungan di sentra
produksi perikanan budidaya; (vii) penyediaan sarana karamba jaring apung
untuk akuakultur; dan
(3) Penguatan keamanan produk pangan perikanan, melalui: (i) penguatan
pengendalian, pengawasan dan advokasi mutu dan keamanan produk
perikanan, sertifikasi dan standarisasi mutu dalam negeri (SNI) serta
pengembangan dan penerapan sertifikasi eco labelling dan ketelusuran
41

produk (product traceability), serta Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB),
Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) dan penerapan sertifikasi hasil
tangkapan ikan (SHTI); (ii) peningkatan efektivitas karantina perikanan
untuk pengendalian penyakit, jaminan mutu produksi dan keamanan pangan
melalui sistem karantina yang terintegrasi (Integrated Quarantine and Safety
Control Mechanism) dan pencegahan/ penanggulangan penyakit ikan
(Biosecurity) dan (iii) pengembangan produk perikanan berkualitas dan
memenuhi standar Hazard Analysis and Critical Control/ HACCP untuk
menjamin keamanan produk dan mutu pangan olahan.
Sementara itu, kebijakan terkait Peningkatan Advokasi dan Konsumsi
Makan Ikan pada RPJMN 2015-2019 diarahkan melalui: (1) penguatan promosi,
advokasi dan kampanye publik untuk konsumsi ikan dan produk olahan berbasis
ikan, melalui gerakan ekonomi kuliner rakyat kreatif dari hasil laut, bazaar, lomba
inovasi menu ikan, pengembangan pusat promosi dan pemasaran hasil perikanan;
(2) peningkatan peran serta berbagai pemangku kepentingan dalam upaya
penggalakkan minat dan konsumsi makan ikan di masyarakat; (3) Pengembangan
sistem informasi produk perikanan dan harga ikan yang mudah diakses
masyarakat; (4) pemenuhan ketersediaan komoditas perikanan yang berkualitas,
mudah dan terjangkau di masyarakat dalam rangka mendukung ketahanan
pangan; dan (5) diversifikasi konsumsi produk olahan perikanan.
Dalam upaya mendukung akselerasi dan menyukseskan gerakan makan
ikan (Gemarikan), pada tahun 2006 KKP telah membentuk Forum Peningkatan
Konsumsi Ikan Nasional (Forikan) Indonesia berdasarkan Kepmen KP No.
29/MEN/2006 Tanggal 9 September 2006 dan dikukuhkan oleh Menteri Kelautan
dan Perikanan pada tanggal 20 September 2006. Forikan Indonesia merupakan
forum kerjasama yang beranggotakan unsur lintas lembaga, lintas sektoral, lintas
profesi dan lintas budaya baik dari kalangan pemerintah, swasta, maupun
masyarakat.

5.4 Kebijakan Peningkatan Mutu Produk Hasil Perikanan


UU No. 7/1996 tentang Pangan dan UU No. 31/ 2004 tentang Perikanan,
dan PP No. 28/2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan, telah menetapkan
42

agar produk pangan, dalam hal ini hasil perikanan, yang dipasarkan untuk
konsumsi manusia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang ditetapkan
sehingga dapat menjamin kesehatan manusia.
Berdasarkan PP No. 57/ 2015 tentang Sistem Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil
Perikanan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan adalah upaya
pencegahan dan pengendalian yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak pra-
produksi sampai dengan pendistribusian untuk menghasilkan hasil perikanan yang
bermutu dan aman bagi kesehatan manusia, meliputi kegiatan: (1) pengembangan
dan penerapan persyaratan atau standar bahan baku; (2) pengembangan dan
penerapan persyaratan atau standar higienis, teknik penanganan, dan teknik
pengolahan; (3) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar mutu
produk; (4) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar sarana dan
prasarana; (5) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar metode
pengujian; (6) pengendalian mutu; (7) pengawasan mutu; dan (8) sertifikasi.
Selanjutnya, terkait peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan dan
jaminan ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan, meliputi kegiatan: (1)
penanganan bahan baku; (2) pengolahan hasil perikanan; dan (3) distribusi hasil
perikanan. Sementara itu, jaminan ketersediaan bahan baku industri pengolahan
ikan dilakukan melalui: (1) optimalisasi produksi perikanan tangkap dan budidaya
berdasarkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan; dan (2) dengan
memastikan bahan baku Industri pengolahan ikan tidak berasal dari kegiatan
perikanan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur.
Persyaratan dan tata cara pemeriksaan mutu yang harus dipenuhi oleh
produk hasil perikanan yang berada atau didistribusikan di Indonesia diatur dalam
Kepmen KP No. 6/ 2002. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga keamanan
serta terjaminnya mutu hasil perikanan yang tidak membahayakan konsumen.
Kegiatan pemeriksaan mutu hasil perikanan dilakukan dengan cara melakukan
pengujian terhadap mutu produk di laboratorium serta melakukan pemeriksaan
terhadap dokumen-dokumen.
43

5.5 Kebijakan Industri Pengolahan Perikanan kaitanya dengan


Pengembangan Wilayah
Industrialisasi kelautan dan perikanan menurut Permen KP No.27/2012
tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan dan Perikanan mencakup
pengembangan perikanan budidaya, perikanan tangkap, dan pengolahan hasil
produk kelautan dan perikanan serta pengembangan industri garam rakyat. Tujuan
industrialisasi kelautan dan perikanan adalah terwujudnya percepatan peningkatan
pendapatan pembudidaya, nelayan, pengolah, pemasar, dan petambak garam.
Sasaran yang akan dicapai melalui industrialisasi kelautan dan perikanan adalah
meningkatnya skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai
tambah sumberdaya kelautan dan perikanan.
Industrialisasi kelautan dan perikanan dilaksanakan melalui strategi: (1)
pengembangan komoditas dan produk unggulan berorientasi pasar; (2) penataan
dan pengembangan kawasan dan sentra produksi secara berkelanjutan; (3)
pengembangan konektivitas dan infrastruktur; (4) pengembangan usaha dan
investasi; (5) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumber daya
manusia; (6) pengendalian mutu dan keamanan produk; dan (7) penguatan
pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.
Dalam rangka mendukung strategi industrialisasi kelautan dan perikanan,
secara simultan dilakukan penataan sistem manajemen, yang meliputi penataan
sistem manajemen sumberdaya kelautan dan perikanan, sistem manajemen
kelembagaan kelautan dan perikanan, serta struktur dan sistem manajemen
birokrasi dan pelayanan publik.
Industrialisasi kelautan dan perikanan dilaksanakan berdasarkan prinsip:
(1) peningkatan nilai tambah: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan
dapat meningkatkan nilai tambah berupa produk-produk olahan yang makin
beragam dan berkualitas dengan nilai jual lebih tinggi. Meningkatnya nilai
jual produk-produk berbasis kelautan dan perikanan tersebut diharapkan
mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong pertumbuhan
ekonomi berbasis kelautan dan perikanan lebih tinggi.
(2) peningkatan daya saing: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan
dapat meningkatkan daya saing produk kelautan dan perikanan melalui
44

efisiensi sistem produksi dan peningkatan produktivitas dengan hasil


berkualitas dan harga yang kompetitif, sehingga berdaya saing tinggi, baik di
pasar nasional maupun pasar global.
(3) modernisasi sistem produksi hulu dan hilir: kemajuan sektor kelautan dan
perikanan dapat dipercepat dengan modernisasi sistem produksi yang mampu
meningkatkan produk kelautan dan perikanan bernilai tambah dan berkualitas
tinggi dengan memperhatikan seluruh rantai nilai (value chain). Modernisasi
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, percepatan, dan peningkatan skala
produksi di hulu dan hilir, sekaligus mendorong upaya pengembangan
komoditas dan produk-produk unggulan untuk menghadapi persaingan pasar
global yang makin kompetitif. Modernisasi juga diharapkan dapat mendorong
perubahan sistem produksi hulu skala UMKM dengan menggunakan teknologi
dan manajemen usaha yang lebih efisien dan menguntungkan.
(4) penguatan pelaku industri kelautan dan perikanan: industrialisasi kelautan dan
perikanan akan mendorong penguatan struktur industri, yaitu peningkatan
jumlah dan kualitas industri perikanan dan pembinaan hubungan antar entitas
sesama industri, industri hilir dan hulu, industri besar, menengah dan kecil,
serta hubungan antara industri dengan konsumen pada semua tahapan rantai
nilai (value chain). Intensitas dan kualitas hubungan antarpelaku industri,
terutama hilir dan hulu perlu mendapatkan perhatian khusus dan dilaksanakan
secara terintegrasi dan berimbang untuk menjamin supply chain, sekaligus
memperkuat sistem produksi bahan baku nasional untuk menopang kebutuhan
industri pengolahan secara berkesinambungan. Selain itu, kebijakan
industrialisasi perikanan dan investasi akan diarahkan untuk mendorong
kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara usaha skala mikro, kecil,
dan menengah dengan usaha skala besar melalui pengembangan komoditas
nasional dan produk-produk inovatif dan kompetitif di pasar global.
Diharapkan industri skala kecil dan menengah akan berkembang menjadi
bagian dari jejaring sistem produksi perikanan yang lebih luas untuk
memperkuat basis industri perikanan secara nasional.
(5) berbasis komoditas, wilayah, dan sistem manajemen kawasan dengan
konsentrasi pada komoditas unggulan: kebijakan industrialisasi kelautan dan
45

perikanan difokuskan pada komoditas unggulan sesuai dengan permintaan


pasar, baik pasar domestik maupun luar negeri. Agar terintegrasi
pelaksanaannya dilakukan berbasis wilayah dan sistem manajemen kawasan,
yaitu berdasarkan pada distribusi sumberdaya alam di wilayah-wilayah
potensial dan dengan sistem manajemen kawasan di sentra-sentra produksi
potensial dan prospek pertumbuhannya di masa depan. Secara geografis
sentra-sentra industri pengolahan yang akan dikembangkan ditetapkan
berdasarkan posisinya secara ekonomi-geografis terhadap sentra-sentra
produksi bahan baku di kawasan sekitarnya. Pembangunan infrastruktur
seperti jalan, pengairan, listrik, dan komunikasi dilaksanakan secara
terintegrasi untuk mengembangkan konektivitas antar sentra-sentra produksi,
sebagai simpul-simpul jejaring ekonomi. Konektivitas antar simpul-simpul
jejaring ekonomi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sistem produksi
dan perdagangan di kawasan-kawasan industri perikanan.
(6) kesimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan
lingkungan yang berkelanjutan: industrialisasi kelautan dan perikanan akan
dilaksanakan sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu
keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam dan perlindungan
lingkungan berjangka panjang. Prinsip tersebut sangat penting untuk
memberikan jaminan keberlanjutan ekonomi kelautan dan perikanan dan tidak
merusak lingkungan. Konsep ini juga bermanfaat untuk memenuhi standar
kualitas manajemen yang dituntut oleh konsumen internasional. Pembangunan
industri perikanan akan dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang untuk
memberikan jaminan agar peningkatan intensitas dan skala produksi tidak
menyebabkan kerusakan lingkungan.
(7) perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat modern (transformasi sosial):
industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan dapat mendorong perubahan
masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang modern, melalui
perubahan cara berfikir dan perilaku masyarakat sesuai karakteristik
masyarakat industri.
46

5.6 Analisis Kebijakan Pemerintah yang Berkaitan Pengembangan


Industri Hulu-Hilir dan Kewilayahan
Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak
(tentang organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau
maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran
tertentu (Balai Pustaka, 1991). Analisis Kebijakan Pemerintahan adalah
penggunaan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan
memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat
dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan
(Dunn, 1988). Analisis kebijakan, dalam pengertiannya yang luas, melibatkan
hasil pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Tujuan analisis
kebijakan adalah untuk menyediakan informasi untuk para pengambilan kebijakan
yang digunakan sebagai pedoman pemecahan masalah kebijakan secara praktis,
dan juga agar dapat digunakan sebagai rujukan untuk pengembangan/ pembuatan
kebijakan untuk kedepannya.
Berikut ini analisis kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan
industri hulu-hilir dan kewilayahan dan perlu ditindak lanjuti lebih lanjut karena
bersifat tidak memihak nelayan kecil.
Industrialisasi lebih menitikberatkan kepada pertumbuhan ekonomi, yang
dominannya hanya memikirkan bagaimana produktivitas meningkat tanpa
memikirkan apakah dampak positifnya diminati oleh semua masyarakat
perikanan. Dalam industrialisiasi ini tentu lebih banyak mengambil keuntungan
adalah nelayan komersial dan industri, sementara nelayan tradisional yang lebih
dominan (89,95%) di Indonesia hanya menikmati sedikit saja keuntungan.
Nelayan-nelayan tradisional ini bertindak sebagai buruh kepada para pengusaha
perikanan yang menguasai industri perikanan. Tentu saja kebijakan ini belum
menyentuh nelayan atau mungkin tidak akan dapat menyentuh nelayan karena
kebijakan ini tidak pro kepada nelayan kecil.
Industrialisasi perikanan bukan berarti terjadi transformasi nelayan
tradisional menjadi nelayan industrial dengan semua atributnya. Industrialisasi
perikanan seharusnya dimaknai sebagai upaya transformasi budaya yang
47

membawa perubahan dari sekadar produksi menjadi produksi dengan mutu


produk yang baik: memiliki nilai ekonomi, memperhatikan keamanan pangan,
serta keberlanjutan sumber daya. Karena itu, nelayan tetap didorong untuk
meningkatkan produksi sesuai daya dukung sumber daya sehingga mampu
bersaing dalam persaingan pasar.
Dalam Permen KP No. 27/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi
Kelautan dan Perikanan, disebutkan bahwa prinsip pelaksanaannya adalah melalui
modernisasi yang didukung dengan arah kebijakan terintegrasi antara kebijakan
makro, pengembangan infrastruktur, sistem usaha dan investasi, ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta sumber daya manusia untuk kesejahteraan rakyat. Jadi, nilai
tambah, produktivitas, dan modernisasi menjadi kata kuncinya. Industrialisasi
perikanan berarti mengindustrikan perikanan melalui trasnformasi sosial-ekonomi
dan budaya perikanan dengan nilai-nilai industrialisasi.
48

Tabel 4 Analisis Undang-undang yang Berkaitan dengan Kebijakan Industri Perikanan

KEBIJAKAN YANG MENGHAMBAT


No. KETERANGAN HASIL ANALISIS
INDUSTRIALISASI PERIKANAN
1. Peraturan Menteri KP Nomor 56 Tahun 2014, Kapal-kapal ikan buatan luar negeri yang dimiliki Perusahaan  Menghambat suplai bahan baku dan terjadi PHK pada
Permen KP Nomor 10 Tahun 2015 dan SE Lokal tidak diperbolehkan operasi (tidak diberikan izin tenaga kerja.
Sekjen KP No. B-195/SJ.II/2016 dan No. perpanjangan operasi) padahal Perusahaan dan kapal telah  Sebaiknya segera dikeluarkan izin untuk kapal impor
B-755/SJ.VI/2016 dianalisa dan evaluasi (Anev) dan dinyatakan lulus/tidak dengan syarat berbadan hukum Indonesia, lulus anev,
terindikasi IUU legal, dan tidak terindikasi IUU Fishing.

2. Peraturan Menteri KP Nomor 57 Tahun 2014 Adanya larangan transhipment hasil penangkapan ikan di  Pengkajian ulang transhipment dengan pengawasan dan
Tentang transhipment tengah laut dimana sebelumnya transshipment diperbolehkan izin yang ketat, karena transhipment mampu menghemat
asalkan dilakukan antar kapal dalam satu kesatuan manajemen BBM dan menjaga mutu ikan segar
dengan persyaratan ketat

3. Permen KP No. 2/Permen KP/2015 tentang Adanya larangan KKP untuk penggunaan 17-macam alat  Perlu ditinjau kembali karena tidak semua alat tangkap
larangan penggunaan alat penangkapan ikan tangkap berjenis pukat termasuk alat tangkap cantrang yang merusak lingkungan dan secepatnya dicari solusi
pukat hela dan pukat tarik di wilayah sudah lama digunakan secara tradisional oleh nelayan, juga mengenai alat tangkap yang lebih baik atau sama
pengelolaan perikanan negara Republik pelarangan alat tangkap Pukat Udang (PU). efektifitasnya dengan cantrang.
Indonesia dan Keppres No. 85 Tahun 1982

4. Permen KP nomor 42/Permen KP/2014 Adanya pembatasan GT bagi kapal penangkap ikan.  Perlu pengaturan zonasi penangkapan dan jalur trayeknya.
tentang perubahan keempat atas peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan nomor
02/Men/2011 tentang Alur penangkapan ikan
dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan negara Republik
Indonesia.

5. Peraturan pajak PER.20.PJ.2015 , Surat Adanya beban pajak tambahan untuk PBB Sektor Lainnya  menyebabkan adanya tambahan biaya operasional yang
Edaran Dirjen Pajak SE No. 33.PJ.2015, dan untuk Usaha Perikanan Tangkap (PBB perikanan) diterapkan tinggi
Keputusan Dirjen Pajak nomor berdasarkan jumlah kapal yang dimiliki dan diberlakukan tanpa
KEP.126.PJ.2015 memperhatikan kondisi kapal bisa operasi atau tidak
49

KEBIJAKAN YANG MENDUKUNG


No. KETERANGAN HASIL ANALISIS
INDUSTRIALISASI PERIKANAN
1 PP No. 57 tahun 2015 tentang Sistem Jaminan Standar dan sertifikasi jaminan mutu industri perikanan,  Dengan standar dan jaminan mutu yang baik, produk
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Serta diharapkan mampu menaikan daya saing produk indonesia di perikanan Indonesia dituntut untuk mampu menyaingi
Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil pasar internasional produk pasar internasional.
Perikanan
2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Mampu menjaga kelestarian sumber daya perikanan dan  perlu pelatihan dan pendampingan yang intensif karena
No. 1 tahun 2015 tentang Penangkapan keberlanjutan usaha perikanan (sustainability), masih sulit diaplikasikan oleh nelayan.
Lobster (panulirus spp), Kepiting (scylla spp)
dan Rajungan (portunus pelagicus spp)
3 instruksi presiden (inpres) no 7 tahun 2016 Menginstruksikan kepada 25 Pejabat negara/kementrian terkait  Perlu ditinjau kembali untuk target peningkatan produksi
yang diterbitkan pada bulan Agustus 2016 untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk melakukan perikanan tangkap dan budidaya dengan tetap
tentang percepatan Industri Perikanan percepaan industri perikanan nasional memperhatikan potensi lestari (Maximum Sustainability
of Yield)
 Pertumbuhan jumlah industri tetap memperhatikan
kapasitas terpasang dan utilitas yang tinggi.
4 Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Menetapkan agar produk pangan dalam hal ini hasil perikanan  Mendukung program industralisasi perikanan
Pangan dan Undang-undang nomor 31 tahun yang dipasarkan untuk konsumsi manusia harus mengikuti
2004 tentang Perikanan, serta Peraturan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sehingga dapat
Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang menjamin kesehatan manusia.
keamanan Mutu dan Gizi Pangan
5 Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Sasaran yang akan dicapai melalui industrialisasi kelautan dan  Perlu dibuat regulasi untuk memudahkan tumbuhnya
Republik Indonesia Nomor Per.27/Men/2012 perikanan adalah meningkatnya skala dan kualitas produksi, industri perikanan skala kecil dan menengah yang tersebar
Tentang Pedoman Umum Industrialisasi produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumberdaya di Indonesia agar mampu menghasilkan produk berkualitas
Kelautan Dan Perikanan kelautan dan perikanan. dan berdayasaing tinggi.
50

BAB VI ANALISIS STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN


UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH

6.1 Analisis Potensi Kewilayahan Industri Perikanan Nasional


(1) Analisis Location Quetions (LQ)
Analisis LQ digunakan untuk mengamati keunggulan-keunggulan
kompetitif suatu wilayah terhadap wilayah sekitarnya dan untuk menentukan
lapangan usaha (sektor) basis suatu daerah. Keunggulan LQ terletak kepada
kemampuannya untuk menunjukkan tingkat keunggulan relatif dari suatu
lapangan usaha di suatu daerah terhadap lapangan usaha tersebut di daerah-daerah
lainnya dalam suatu negara (wilayah referensi). Analisis LQ Nasional yang
meliputi 33 provinsi dapat dilihat pada Gambar 3. Sementara 10 provinsi dengan
nilai LQ tertinggi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Analisis Nilai LQ Nasional


51

Gambar 4. Sepuluh Provinsi dengan Nilai LQ Tertinggi

Berdasarkan Gambar 4, nilai LQ untuk Provinsi Maluku, Sulawesi Barat,


Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Bengkulu, Maluku Utara, Lampung, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan lebih dari 1. Hal ini menunjukkan
bahwa lapangan usaha yang bersangkutan memiliki keunggulan relatif yang lebih
tinggi dari rata-rata (lapangan usaha basis). Lapangan usaha basis adalah lapangan
usaha yang mampu memenuhi atau melayani kebutuhan atau pasar di daerah
sendiri, bahkan dapat mengekspor barang dan jasa yang dihasilkannya ke luar
daerah yang bersangkutan. Adapun lapangan usaha non basis adalah lapangan
usaha yang hanya mampu memenuhi atau melayani kebutuhan atau pasar
daerahnya sendiri, atau bahkan harus mengimpor dari luar daerah tersebut.
Penyebab kemajuan sektor basis adalah adanya perkembangan jaringan
transportasi dan komunikasi, perkembangan pendapatan dan penerimaan
daerah, perkembangan teknologi, dan perkembangan prasarana ekonomi dan
sosial. Sementara itu, penyebab kemunduran sektor basis adalah adanya
perubahan permintaan dari luar daerah dan kehabisan cadangan sumber daya.

(2) Analisis Shift Share (SSA)


Analisis keunggulan kompetitif wilayah dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pergeseran struktur ekonomi dari suatu sektor dibandingkan dengan
cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pergeseran struktur
52

ekonomi tersebut dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness)


dari suatu sektor ekonomi serta menjelaskan kinerja sektor tersebut. Hasil analisis
SSA Nasional dapat dilihat pada Gambar 5 dan 10 provinsi dengan perhitungan
nilai SSA tertinggi dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 5. Hasil Perhitungan Nilai SSA Nasional

1,40
1,20 1,15

1,00 0,90 0,86


Nilai SSA

0,76
0,80 0,70
0,61 0,61
0,60 0,50 0,47 0,45
0,40
0,20
0,00
Gorontalo
Sulawesi Barat

Sulawesi Utara

Maluku

Sulawesi Tenggara

Lampung
Sulawesi Selatan

Sulawesi Tengah

Maluku Utara

Bengkulu

Gambar 6. Sepuluh Provinsi dengan Nilai SSA Tertinggi


53

Berdasarkan hasil analisis komponen pertumbuhan bernilai positif yang


menunjukkan sektor perikanan termasuk kedalam sektor yang mengalami
pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi wilayah dapat terus dikembangkan dengan
mengkaji pengembangan perwilayahan. Pengembangan wilayah merupakan
strategi memanfaatkan dan mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan
peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi wilayah akan
barang dan jasa yang merupakan fungsi dari kebutuhan baik secara internal
maupun eksternal wilayah. Faktor internal ini berupa sumber daya alam, sumber
daya manusia dan sumber daya teknologi, sedangkan faktor eksternal berupa
peluang dan ancaman yang muncul seiring dengan interaksinya dengan wilayah
lain.
Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan
pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait
dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3)
keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep
wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-
sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non
alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan
wilayah perencanaan. Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih
ditekankan pada pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi
pengembangan lokal wilayah yang mampu mendukung (menghasilkan)
pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat, termasuk
pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala pembangunan yang ada
di daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Secara umum, konsep
pengembangan wilayah terbagi atas empat (Komet 2000) yaitu: (1)
Pengembangan wilayah berbasis sumberdaya; (2) Pengembangan wilayah
berbasis komoditas unggulan; (3) Pengembangan wilayah berbasis efisiensi; dan
(4) Pengembangan wilayah menurut pelaku pembangunan.
54

6.2 Isu dan Permasalahan Industrialisasi Perikanan


Berdasarkan hasil pengamatan dan data sekunder yang terkumpul,
diketahui bahwa permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan perikanan
berkaitan dengan kinerja diantaranya adalah: mutu ikan hasil tangkapan, jaminan
mutu, pelayanan pelanggan, dan kemampuan teknologi.

(1) Mutu Ikan Hasil Tangkapan


Karakteristik bahan baku sangat mempengaruhi proses pengolahan dan
mutu produk akhir yang dihasilkan. Produk akhir dengan mutu baik dihasilkan
dari bahan baku yang bermutu baik. Pengaruh mutu bahan baku bagi keunggulan
nilai industri sangat besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi mutu
bahan baku terdiri dari penerapan Good Handling Practices (GHdP) pada
aktivitas budidaya ataupun penangkapan hingga penanganan di industri, fasilitas
penanganan perikanan yang dipasok untuk industri, dan penerapan sanitasi pada
pekerja, peralatan penanganan perikanan serta lingkungan.

a. Penerapan Good Handling Practices (GHdP)


Penerapan GHdP dapat meminimalkan penurunan mutu pada produk
perikanan yang dipasok ke industri, sehingga pengelola dan pekerja serta pemasok
perikanan untuk industri harus menerapkan GHdP dengan baik. Nelayan harus
memiliki pengetahuan dan keterampilan penanganan perikanan yang baik saat
penangkapan dan penyimpanan di kapal untuk meminimalkan kerusakan produk
perikanan.
Bagi industri pengolahan berorientasi ekspor, pasokan perikanan dengan
mutu yang baik setiap waktu dan sesuai jumlah yang dibutuhkan sangat
diperlukan. Industri-industri tersebut menggunakan perikanan yang berasal dari
hasil budidaya ataupun tangkapan kapal perusahaan sendiri, pemasok dan nelayan
mitra yang telah dipercaya. Industri atau pemasok melakukan pengawasan
terhadap penanganan perikanan mulai penangkapan hingga distribusi ke industri
untuk menjamin mutu hasil perikanan.
Penanganan yang baik terhadap bahan baku ikan sangat penting. Potensi
kerusakan fisik pada produk perikanan seperti memar harus diminimalkan pada
setiap penanganan produk perikanan dalam rantai pasok produk perikanan mulai
55

dari budidaya atau penanganan di kapal, pengangkutan hingga distribusi yang


dilakukan dengan cepat.
Pihak industri dapat memberikan bimbingan dan pengetahuan tentang
perikanan termasuk juga pananganan hasil budidaya dan tangkap kepada nelayan
mitra. Industri akan menolak bahan baku ikan yang dipasok oleh nelayan dengan
karakteristik di bawah standar akibat penanganan yang tidak baik. Terjadinya
benturan produk perikanan pada bak penampung dan meja kerja dapat
menimbulkan kerusakan bahan baku yang akan diolah. Produk perikanan dengan
daging yang memar sudah tidak memenuhi syarat organoleptik untuk dijadikan
produk olahan perikanan.

b. Fasilitas Penanganan Perikanan yang Dipasok untuk Industri


Pasokan bahan baku perikanan dengan mutu baik ditunjang oleh
tersedianya fasilitas penanganan yang baik. Fasilitas penanganan ikan harus
mampu meminimalkan terjadinya penurunan mutu perikanan akibat kerusakan
fisik maupun kontaminasi. Fasilitas terpenting adalah berkaitan dengan terjaganya
rantai dingin pada aktivitas distribusi hasil perikanan.
Sebagai contoh, kapal-kapal nelayan yang memasok ikan ke industri masih
banyak yang belum dilengkapi dengan refrigerator untuk mendinginkan ikan
sehingga es balok masih digunakan sebagai media pendingin. Kebutuhan es balok
nelayan mitra dicukupi dari es balok yang diproduksi oleh unit penghasil es balok
industri. Ruang penyimpanan ikan berpendingin baru terdapat pada kapal
pengangkut ikan. Kapal pengangkut tersebut mengangkut ikan dari nelayan mitra
di laut serta pos-pos pembelian (pengumpulan bahan baku ikan hasil tangkapan)
yang letaknya jauh dari lokasi.

c. Penerapan Sanitasi pada Pekerja dan Peralatan Penanganan Ikan


Meningkatnya kepedulian dan perhatian konsumen terhadap kebersihan
dan higienitas produk pangan berdampak pada semakin perlunya penerapan
sanitasi dalam setiap proses pengolahan maupun komoditas pangan yang
diperdagangkan. Melalui penerapan sanitasi pekerja dan peralatan penanganan
produk perikanan, potensi bahaya pada bahan baku industri pengolahan perikanan
akibat kontaminasi dapat diminimalkan. Industri dengan pasar utama adalah pasar
56

ekspor, penerapan sanitasi oleh pekerja maupun peralatan penanganan ikan sangat
diperhatikan.
Penerapan sanitasi dimulai dari kegiatan budidaya ataupun penangkapan
perikanan dengan menjaga kebersihan tempat dan wadah penyimpanan produk
perikanan, serta nelayan. Standar sanitasi peralatan yang digunakan dalam
penanganan perikanan diterapkan oleh perusahaan. Fasilitas penting yang
berkaitan dengan sanitasi bahan baku maupun lingkungan penanganan bahan baku
adalah ketersediaan air bersih.

(2) Jaminan Mutu


Penolakan produk hasil perikanan Indonesia di pasar global diantaranya
disebabkan oleh kurang cermatnya penanganan mutu pada aktivitas produksi di
bagian hulu hingga aktivitas produksi di bagian hilir (Retnowati, 2007). Bagi
industri pengolahan berbasis ekspor, jaminan mutu terhadap bahan baku dan
produk serta dimilikinya sertifikat mutu merupakan syarat utama untuk
memperoleh kepercayaan konsumen terhadap mutu produk yang dihasilkan.

a. Jaminan mutu bahan baku


Jaminan mutu bahan baku diperoleh melalui pengawasan mutu terhadap
setiap ikan segar yang dipasok ke industri. Pengawasan mutu meliputi penilaian
kesesuaian mutu ikan yang dipasok dengan standar mutu yang digunakan oleh
industri. Standar bahan baku pada industri berperan dalam hal pengendalian mutu,
mempermudah proses pengolahan serta keseragaman produk akhir yang
dihasilkan. Standar bahan baku yang diterapkan oleh industri perikanan meliputi
standar organoleptik, fisik, kimia, dan mikrobiologi.
Standar fisik bahan baku terdiri dari ketentuan ukuran bobot ikan dan suhu
ikan. Standar ukuran bahan baku ikan diperlukan untuk mempermudah
dihasilkannya produk akhir sesuai dengan standar permintaan pelanggan. Suhu
ikan pada saat diterima oleh bagian penerimaan bahan baku menjadi indikator
adanya perubahan mutu pada ikan selama transportasi menuju industri.
b. Jaminan mutu produk
Jaminan mutu produk diperoleh melalui pengawasan titik kritis
pengolahan serta kesesuaian produk dengan standar produk dan pengolahan yang
57

digunakan oleh perusahaan. Standar produk meliputi karakteristik fisik, kimia,


dan mikrobiologi. Standar fisik merupakan kriteria fisik produk berupa
penampilan dan ukuran. Kesesuaian produk dengan batas toleransi bahaya pada
standar kimia dan mikrobiologi menjadi jaminan bagi konsumen bahwa produk
yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi.

c. Sertifikasi mutu
Sertifikasi mutu berkaitan erat dengan diperolehnya sertifikat jaminan
mutu oleh perusahaan. Peran penting kepemilikan sertifikat mutu oleh industri
adalah mampu meningkatkan daya saing industri melalui kepercayaan pelanggan
dan penerimaan produk yang dihasilkan oleh industri tersebut. Untuk
meningkatkan daya saing industri pengolahan ikan Indonesia, Permen KP No.
01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan mengharuskan setiap industri pengolahan ikan untuk memiliki sertifikat
jaminan mutu yang meliputi Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Sertifikat
Penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) atau Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) dan Sertifikat Kesehatan.
Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) adalah sertifikat yang diberikan
kepada unit pengolahan ikan yang telah menerapkan Good Manufacturing
Practices (GMP), serta memenuhi persyaratan Standard Sanitation Operating
Procedure (SSOP) dan Good Hygiene Practices (GHP) sesuai dengan standar dan
regulasi dari Otoritas Kompeten. Sertifikat Penerapan PMMT atau HACCP
merupakan sertifikat yang diberikan kepada perusahaan yang telah menerapkan
konsep HACCP sebagai sistem mutu. Sertifikat Kesehatan adalah sertifikat yang
dikeluarkan oleh laboratorium yang ditunjuk oleh pemerintah yang menyatakan
bahwa ikan dan hasil perikanan telah memenuhi persyaratan jaminan mutu dan
keamanan untuk dikonsumsi manusia.
Pada kurun waktu 2010-2015, jumlah peningkatan sertifikasi Unit
Pengolah Ikan (UPI) telah berhasil menurunkan penolakan ekspor produk
perikanan dalam negeri (Gambar 7). Dengan demikian jaminan mutu merupakan
faktor penting dan berperan dalam Industrialisasi Perikanan Nasional. Kebijakan
industrialisasi diharapkan menjadikan program peningkatan mutu produk melalui
peningkatan jumlah UPI yang tersertifikasi menjadi priorotas, terutama untuk UPI
58

skala kecil dan menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 60.885 unit (KKP
2015).

Sumber: KKP 2015, diolah


Gambar 7. Hubungan Antara Jumlah UPI Bersertifikat SKP dan Jumlah
Penolakan Ekspor

d. Ketertelusuran Informasi Produk


Dokumen ketertelusuran informasi produk menjadi pelengkap jaminan
mutu dan semakin diperlukan bagi produsen maupun konsumen dalam bisnis
pangan global. Negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat telah
memberlakukan peraturan sistem ketertelusuran bagi produk perikanan yang
dipasarkan di negaranya. Pelaku usaha yang memasarkan produk ikan olahan di
negara-negara tersebut harus mampu menunjukkan informasi yang berkaitan
dengan produk seperti negara asal, metode produksi dan area penangkapan
(NIFA, 2000; Liu, 2002).
Ketertelusuran memiliki makna kemampuan untuk menelusuri sesuatu, di
mana informasi terkait harus dapat diperoleh ketika diperlukan. Informasi yang
terkait dengan pemasok, asal ikan tangkapan yang diperoleh, serta waktu
pengiriman bahan baku diperlukan dalam dokumen ketertelusuran bahan baku dan
sebagai sumber evaluasi perusahaan terhadap kinerja pemasok ikan. Dokumen
ketertelusuran produk mencakup informasi jenis produk yang dihasilkan,
59

perlakuan dalam proses pengolahan, serta pihak yang bertanggung jawab terhadap
produk yang dihasilkan. Bagi industri pengolahan ikan, pelaksanaan sistem
ketertelusuran berkaitan erat dengan jaminan keamanan pangan, mutu dan
pelabelan. Pelabelan produk bukan berarti seluruh informasi yang terkait dengan
produk dicantumkan pada label produk. Berdasarkan standar TraceFish yang
diterapkan di negara-negara Uni Eropa, pelabelan produk dalam sistem
ketertelusuran adalah pelabelan setiap unit barang yang diperdagangkan dengan
suatu nomor ID yang unik (Liu, 2002). Nomor ID tersebut mempermudah
pengguna melakukan penelusuran informasi pada dokumen ketertelusuran produk.

(3) Pelayanan Pelanggan


Meningkatkan kepercayaan pelanggan terhadap produsen dan produk yang
dihasilkannya dapat dilakukan dengan memenuhi kepuasan pelanggan terhadap
produk sesuai dengan yang diinginkan. Dalam perdagangan bebas, kepercayaan
pelanggan berperan memperkuat daya saing perusahaan. Bagi industri yang
memasarkan hampir 90% produk yang dihasilkannya ke pasar ekspor, memenuhi
kepuasan pelanggan sangat diperlukan untuk mempertahankan pangsa pasarnya
dari pesaing perusahaan luar negeri maupun domestik.
Perusahaan pengolahan ikan di Indonesia sudah memiliki kesadaran dan
usaha yang cukup baik untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Rata-rata industri
pengolahan ikan di Indonesia telah mampu mengidentifikasi dan memenuhi
keinginan pembeli (Priyambodo, 2006). Dalam mencapai kepuasan pelanggan,
terdapat tiga hal yang diterapkan oleh industri, yaitu kesesuaian produk dengan
permintaan pelanggan, kontinuitas pasokan produk untuk pembeli, serta
pengiriman produk tepat waktu dan jumlah. Pelayanan pelanggan yang baik akan
optimal jika industri mampu memperoleh keuntungan yang maksimal dengan nilai
utilitas produksi yang tinggi (lebih dari 80%). Kondisi eksisting UPI menengah
dan besar saat ini memiliki utilitas yang sangat rendah, yaitu kurang dari 28%.
60

27,4

27,2

27
Utilitas (%)

26,8

26,6

26,4

26,2

26

NTB
Sumbar

Lampung

Jateng

Kalbar

Sulteng

Maluku
Sumsel

Babel

DKI Jakarta

Bali

NTT

Kalsel
Jatim

Kaltara

Malut
Sultra
Aceh

Bengkulu

Jabar

Banten

Kalteng

Gorontalo
Sulbar

Pabar
Sumut

Kepri

Kaltim

Sulut

Sulsel

Papua
Provinsi

Sumber: KKP 2015, diolah


Gambar 8. Utilitas UPI Menengah-Besar di Indonesia

a. Kesesuaian produk dengan permintaan pelanggan


Pelanggan dari Amerika Serikat dan UE lebih menyukai produk dengan
ukuran yang lebih besar dan bentuk seragam. Pada umumnya produk fillet ikan
yang dipesan adalah fillet ikan tanpa kulit. Konsumen dari Jepang lebih menyukai
produk dengan ukuran tertentu yang kecil dan unik serta bentuk beragam. Fillet
ikan yang dipesan masih memiliki kulit yang menempel pada daging ikan.

b. Ketersediaan pasokan produk untuk konsumen


Kemampuan memasok produk setiap saat sesuai permintaan pelanggan
merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi terutama oleh perusahaan
berbasis ekspor. Pada industri pengolahan ikan laut tangkapan, kemampuan
memasok produk secara berkesinambungan tidak mudah karena sangat berkaitan
dengan pasokan bahan baku yang juga tidak mudah diperoleh setiap waktu.
Pasokan bahan baku yang berkesinambungan merupakan permasalahan yang
dihadapi oleh industri pengolahan ikan laut tangkap skala besar mupun kecil di
Indonesia hingga saat ini. Faktor iklim atau cuaca dan tingginya persaingan
61

memperoleh ikan tangkapan merupakan faktor utama yang mempengaruhi


perolehan bahan baku perusahaan.

c. Pengiriman Produk Tepat Jumlah dan Tepat Waktu


Kemampuan pengiriman produk tepat jumlah dan tepat waktu ditentukan
oleh tingkat produktivitas perusahaan maupun infrastruktur sistem transportasi
dan komunikasi yang menunjang distribusi produk tepat waktu. Infrastruktur
transportasi dan komunikasi menjadi faktor penunjang terkirimnya produk secara
tepat waktu. Namun saat ini di Indonesia, kondisi infrastruktur sistem transportasi
dan komunikasi belum mampu mendukung distribusi produk perikanan kepada
konsumen secara tepat waktu (Priyambodo, 2006).

(4) Kemampuan Teknologi


Peran teknologi dalam mendukung kegiatan operasional perusahaan untuk
mewujudkan kinerja mutu yang baik di industri pengolahan ikan sangat besar.
Untuk meningkatkan kinerja industri maka salah satu upaya yang ditempuh adalah
dengan meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi dan penggunaan
regenerasi penggunaan teknologi sesuai tuntutan pasar (Rahmat dan Priyambodo,
2006). Kemampuan teknologi perusahaan dapat diketahui dari kemampuannya
menggunakan teknologi untuk menciptakan nilai tambah melalui rantai
kegiatannya. Dengan kemampuan teknologi yang dimiliki, perusahaan akan
mampu meningkatkan kemampuan produksinya, mampu beradaptasi dengan
perubahan lingkungan bisnis dan bertahan dalam jangka panjang.
Kemampuan teknologi suatu perusahaan meliputi kemampuan strategis,
internal dan eksternal. Kemampuan strategis merupakan kemampuan perusahaan
dalam mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan terhadap perusahaan pesaing
ataupun kemampuan untuk meraih peluang-peluang pasar yang masih ada.
Kemampuan internal merupakan kemampuan untuk mengelola sumberdaya dan
teknologi yang dimiliki perusahaan serta kemampuan menciptakan atau
memenuhi kebutuhan organisasi perusahaan. Kemampuan eksternal adalah
kemampuan industri berinteraksi dan menjalin hubungan dengan pihak luar terkait
dengan usaha industrinya (Pratiwi, 2006).
62

Kemampuan dan penggunaan teknologi yang tepat pada industri perikanan


akan meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Analisis kondisi
nilai tambah pada industri pengolahan ikan dilakukan dengan menggunakan
Metode Hayami (1987), melalui perhitungan nilai tambah per kilogram bahan
baku untuk satu kali kegiatan pengolahan yang menghasilkan suatu produk
tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor teknis dan pasar. Faktor teknis
yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku dan tenaga kerja,
sedangkan faktor pasar yang berpengaruh ialah harga output, upah kerja, harga
bahan bakar dan input lain. Hasil perhitungan nilai tambah beberapa produk
perikanan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.

35
Nilai Tambah dan Keuntungan (%)

30

25 Nilai tambah Keuntungan


20

15

10

0
A B C D E F
Aktivitas Pengolahan Perikanan pada Rantai Pasok

Keterangan: A: Penanganan di TPI; B: Pemasaran Ikan Segar; C: Kerupuk Ikan; D: Jambal Roti;
E: Fillet di Pasar Lokal; F: fillet di Pasar Ekspor

Gambar 9. Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan


Perikanan
63

Nilai Tambah Keuntungan


100000
90000
80000
Nilai Tambah (Rp)

70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
A B C D E F G H I
Kegiatan Pengolahan di Jawa Timur

Keterangan: A: Pembekuan; B: Penggaraman/pengeringan; C Pemindangan; D


Pengasapan/Pemanggangan; E: Fermentasi; F: Pereduksian/Ekstraksi; G: Pelumatan Daging Ikan;
H: Penanganan Produk Segar; I: Pengolahan Lainnya

Gambar 10 Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan


Perikanan di Jawa Timur
64

6.3 Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan Perikanan


Diagram tulang ikan dapat menunjukkan sebab akibat yang berguna untuk
mencari atau menganalisis penyebab timbulnya masalah dari industrialisasi
perikanan di Indonesia. Penyebab utama permasalahan dalam industrialisasi
perikanan, khususnya terkait pengolahan ikan, di kelompokan menjadi empat
bagian yang terdiri atas jaminan mutu, mutu bahan baku, pelayanan pelanggan,
dan kemampuan teknologi. Secara detail analisis tulang ikan untuk mengetahui
kinerja industri pengolahan perikanan disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan

Dalam rangka menangani permasalahan terkait pengembangan


industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengolahan ikan, pada Tabel 5
diuraikan strategi penanganan masalah dalam faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja industri pengolahan ikan.

Tabel 5. Uraian Jenis Masalah dan Strategi Penanganan Permasalahan


No. Jenis Masalah Strategi Perbaikan Penyebab Masalah
1. Permasalahan terkait Mutu dan (1) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna
Jaminan Mutu Bahan Baku yang mendukung terjaminnya mutu ikan
selama transportasi, termasuk untuk
penyimpanan dan pendinginan ikan di kapal,
dengan harga lebih terjangkau
(2) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran
nelayan, pekerja di TPI dan pihak pembeli
untuk menerapkan kalayakan dasar jaminan
mutu dan keamanan pangan
(3) Peningkatan jaminan mutu dan keamanan
65

No. Jenis Masalah Strategi Perbaikan Penyebab Masalah


pangan di TPI
(4) Perbaikan sanitasi lingkungan di sekitar TPI
dan perairan pelabuhan pendaratan ikan
(5) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran pelaku
terkait untuk menerapkan GHdP dan sanitasi
pada penanganan ikan yang ditransportasikan
2. Permasalahan terkait Mutu dan (1) Penyediaan teknologi tepat guna berupa
Jaminan Mutu Produk peralatan dan teknologi produksi yang
mendukung perbaikan mutu dan keamanan
pangan produk bagi usaha kecil dan menengah
dengan modal terbatas
(2) Peningkatan penerapan jaminan mutu produk
maupun dalam kegiatan produksinya
(3) Peningkatan pengetahuan pelaku usaha
terhadap standar mutu bahan baku dan produk
(4) Peningkatan penerapan GMP dan SSOP serta
upaya penerapan HACCP dalam kegiatan
produksi
(5) Peningkatan pemahaman tentang sertifikasi
pada pelaku usaha pengolahan ikan
(6) Pengembangan pelayanan sertifikasi mutu pada
pelaku usaha pengolahan ikan
(7) Peningkatan pemahaman mengenai
ketertelusuran informasi
(8) Perbaikan sistem pencatatan informasi produk
maupun bahan baku pada usaha pengolahan
ikan serta aliran sumber pasokan oleh pihak -
pihak yang terkait dalam rantai pasok ikan
(pemasok dan pengelola TPI)
3. Permasalahan terkait (1) Peningkatan kemampuan market intelligence
Peningkatan Pelayan Pelanggan untuk membaca preferensi pelanggan/calon
pelanggan
(2) Peningkatan mutu produk dengan
meningkatkan standar pengawasan mutu
4. Lemahnya Kemampuan (1) Penyediaan akses terhadap teknologi tepat guna
Teknologi yang lebih baik
(2) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan
SDM industri pengolahan ikan skala kecil
untuk menggunakan teknologi atau peralatan
yang lebih baik
(3) Bantuan modal bagi usaha kecil dan menengah

6.4 Analisis SWOT


Analisis SWOT adalah salah satu metode perencanaan strategis yang
digunkan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weakness),
peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam strategi industrialisasi
66

perikanan untuk mendukung pengembangan ekonomi wilayah. Analisis SWOT di


lakukan dengan menguraikan parameter dari masing-masing kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman untuk selanjutnya disusun ke dalam sebuah
matriks (Tabel 6).

Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai kekuatan (strengths)


industrialisasi perikanan adalah: (1) potensi sumber daya laut yang besar, meliputi
perikanan tangkap, perikanan budidaya dan rumput laut; (2) pasar domestik yang
besar dengan konsumsi per kapita hasil perikanan dan produk turunannya; (3)
dukungan pemerintah dan akademisi bagi pengembangan industri pengolahan
hasil laut; (4) jumlah industri UKM perikanan yang melimpah; dan (5) kebijakan
daerah.
Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai kelemahan (weakness)
industrialisasi perikanan adalah: (1) ekspor produk hasil laut masih rendah; (2)
keterbatasan suplai bahan baku terutama musim paceklik; (3) belum
terintegrasinya teknologi penangkapan ikan sampai dengan pengolahannya; (4)
SDM dibidang industri pengolahan hasil laut masih belum siap pakai; (5)
infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri pengolahan hasil laut
masih terbatas; (6) kapasitas produksi industri pengolahan ikan belum optimal; (7)
jaminan kualitas dan mutu produk UKM masih sangat rendah; (8) kesenjangan
pembangunan wilayah; dan (9) sumber daya perikanan tangkap yang tidak
meratanya
Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai peluang (opportunities)
industrialisasi perikanan adalah: (1) kebutuhan konsumsi dunia produk hasil
perikanan yang semakin meningkat (besarnya peluang ekspor); (2) peluang
diversifikasi produk hasil laut; (3) peluang pengembangan industri hasil laut non
pangan dengan nilai tambah yang tinggi; dan (4) kuantitas SDM yang banyak dan
tersebar di berbagai sentra hasil laut.
Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai ancaman (threats) industrialisasi
perikanan adalah: (1) isu tentang food safety; (2) persyaratan dan standardisasi
produk yang mengacu pada standar internasional, masih sulit diadopsi dan
diterapkan; (3) persyaratan ekspor semakin ketat; (4) penerapan integrated
technology negara pesaing; (5) persaingan yang sangat ketat dalam mendapatkan
67

bahan baku ikan segar; dan (6) produk lokal kurang kompetitif dibanding China,
Vietnam dan Thailand.
82

Tabel 6. Matriks SWOT Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi Wilayah
STRENGTH (S) WEAKNESS (W)
1. Potensi sumber daya laut yang besar (perikanan tangkap, 1. Ekspor produk hasil laut masih rendah
perikanan budidaya dan rumput laut) 2. Pemanfaatan potensi Perikanan untuk Industri perikanan tidak
2. Pasar domestik yang besar dengan konsumsi per kapita hasil merata (LQ tidak berbanding lurus dengan SSA)
STRENGTH (S) & perikanan dan produk turunannya 3. Kemampuan Teknologi masih rendahpembangunan industri
WEAKNESS (W) 3. Kebijakan pemerintah dan dukungan akademisi bagi masih pada bidang pengolahan yang memiliki nilai tambah
pengembangan industri pengolahan hasil laut. dan pengolahan yang rendah
4. Dukungan pemerintah daerah atas pengembangan perikanan 4. Infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri
5. Produsen Ikan terbesar ke-2 di Dunia pengolahan hasil laut belum merata
6. Sebaran UPI didominasi oleh UMKM yang berpotensi dalam 5. Kapasitas produksi industri pengolahan ikan tidak sesuai
OPPORTUNITY (O) & peningkatan ekonomi wilayah dengan suplai bahan bakau)
THREAT (T) 6. Jaminan Kualitas dan Mutu Produk masih sangat rendah
7. Tidak meratanya sumberdaya perikanan tangkap (banyak
daerah overfishing)
1. Kebutuhan konsumsi dunia ataupun nasional atas produk S-O W-O
hasil perikanan yang semakin meningkat (besarnya
peluang ekspor)  Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi  Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna
OPPORTUNITY (O)

2. Meningkatnya kegiatan diversifikasi produk hasil laut industri pengolahan hasil perikanan terutama UMKM  Penerapan penangkapan yang berkelanjutan
3. Tingginya keuntungan dan nilai tambah hasil laut non  Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang  Peningkatan Suplai Bahan Baku memalui pemanfaatan
pangan. memiliki nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi
4. Besarnya peluang untuk membangun industri Bioteknologi  Penerapan Teknologi Budidaya
pengolahan di Wilayah penghasil lumbung ikan nasional  Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai
(LQ tertinggi) tambah dan diversifikasi Produk tinggi.
5. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah yang  Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP)
memiliki potensi perikanan tinggi ( Gap antara LQ dan
SSA).
1. Isu tentang food safety S-T W-T
2. Industri Hasil Perikanan di Indonesia saat ini masih
memiliki nilai tambah rendah  Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk  Penguatan Infrastruktur di derah yang memiliki potensi yang
3. Industri Pengolahan Perikanan Negara ASEAN memiliki peningkatan daya saing tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya masih rendah (SSA
nilai tambah dan keuntungan yang tinggi  Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam rendah)
THREAT (T)

menjaga food safety produk hasil olahan UMKM  Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan
 Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar sanitasi di UKM dan Industri
 Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap  Akselerasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri
industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi Perikanan dengan nilai tambah tinggi di lokus pilihan
(Optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan)
84

Tabel 6 menguraikan rincian kekuatan, peluang, kelemahan, dan ancaman dari


kondisi industrialisasi perikanan, sehingga menghasilkan strategi sebagai berikut:
(1) S1: Strategi 1, Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi
industri pengolahan hasil perikanan terutama UMKM
(2) S2: Strategi 2, Inisiasi pengembangan industri hasil perikanan yang memiliki
nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis bioteknologi
(3) S3: Strategi 3, Pemberian insentif fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan
daya saing
(4) S4: Strategi 4, Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam
menjaga food safety produk hasil olahan UMKM

(5) S5: Strategi 5, Penguatan rantai pasok, kemitraan dan perluasan pasar
(6) S6: Strategi 6, Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap
industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi
(7) S7: Strategi 7,Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna
(8) S8: Strategi 8, Penerapan penangkapan yang berkelanjutan
(9) S9: Strategi 9, Peningkatan suplai bahan baku memalui pemanfaatan potensi
perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi
(10) S10: Strategi 10, Penerapan teknologi budidaya
(11) S11: Strategi 11, Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki
nilai tambah dan diversifikasi produk tinggi.
(12) S12: Strategi 12, Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP)
(13) S13: Strategi 13, Penguatan infrastruktur di derah yang memiliki potensi yang
tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya masih rendah (SSA rendah)
(14) S14: Strategi 14, Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan
perbaikan sanitasi di UKM dan Industri
(15) S15: Strategi 15, Akselerasi pengembangan pusat pertumbuhan industri
perikanan dengan nilai tambah tinggi di lokus pilihan (optimalisasi kapasitas
terpasang industri perikanan)
85

BAB VII STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK


MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH

Berdasarkan hasil analisis pada Bab VI dan hasil rumusan para pemangku
sektor perikanan dan pengembangan wilayah, strategi industrialisasi perikanan,
khususnya industri pengolahan, untuk mendukung pengembangan ekonomi
wilayah disusun dengan menggabungkan strategi industrialisasi perikanan dengan
hasil analisis kewilayahan berdasarkan nilai LQ dan volume produksi UPI
menjadi sebuah matriks yang dapat dilihat pada Gambar 12.

4 C
Nilai LQ

100 200
Volume Produksi UPI

Gambar 12 Matriks Pembagian Wilayah (cluster) Berdasarkan Perhitungan Nilai


LQ dan Volume Produksi UPI

Selanjutnya berdasarkan nilai LQ dan volume produksi UPI per provinsi


yang telah dipetakan ke dalam kuadran pada Gambar 12, maka akan didapatkan
pemetaan provinsi sebagaimana yang terdapat pada Gambar 13.
86

Sulawesi Barat
Gorontalo
Bengkulu
Maluku Utara
Maluku

Kep. Bangka Belitung


Papua NTB
Nilai LQ

Papua Barat Bali Sulawesi Utara


Sulawesi Tenggara Lampung Aceh
Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan
NTT

2
DI Yogyakarta
Jambi
Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah Jawa Barat
Kalimantan Barat
Kep. Riau Jakarta
Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan Jawa Tengah
Sumatera Utara
Sumatera Barat Jawa Timur
Riau
Kalimantan Timur
Banten
100 200
Volume Produksi UPI

Gambar 13 Pemetaan Provinsi Berdasarkan Nilai LQ dan Volume Produksi UPI

Kemudian, 15 strategi pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya


terkait pengembangan industri pengolahan untuk mendukung pengembangan
ekonomi wilayah yang sudah diuraikan berdasarkan analisis SWOT, disesuaikan
dengan potensi wilayah berdasarkan analisa perhitungan LQ dan Volume
Produksi UPI, sehingga menghasilkan matriks strategi yang sebagaimana terlihat
pada Gambar 14.
87

I
IV VII
(S1, S2, S3, S4, S7, S9, S10,
(S4, S9, S11, S15) (S9, S11)
S11, S13, S14)

II V VII

(S1, S2, S3, S7, S9, S10, S11, (S2, S3, S5, S6, S9, S10, S12, (S2, S3, S5, S6, S9, S10,
S13, S14, S15) S15) S12)

III VI IX
(S1, S2, S3, S5, S6, S9, S13, (S2, S3, S5, S6, S8, S9, S10, (S2, S3, S5, S6, S8, S9, S10,
S14) S14, S15) S12)

Gambar 14. Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan (S1-S15)


Berdasarkan Kuadran Pembagian Wilayah dari Nilai LQ dan Volume Produksi
UPI

Selanjutnya, rincian 15 strategi pengembangan industrialisasi perikanan,


khususnya terkait pengembangan industri pengolahan hasil perikanan, dalam
rangka mendukung pengembangan ekonomi wilayah, adalah sebagai berikut:

(1) Peningkatan Ekonomi Wilayah Melalui Peningkatan Populasi Industri


Pengolahan Hasil Perikanan Terutama UMKM
UMKM memiliki peran penting dalam pengembangan usaha di Indonesia,
karena merupakan cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. Pengembangan
UMKM tidak semata-mata tanggung jawab Pemerintah, melainkan juga tanggung
jawab UMKM itu sendiri, Lembaga Keuangan/Perbankan, dan Swasta/Investor.
Salah satu upaya peningkatan dan pengembangan UMKM dalam perekonomian
dilakukan dengan mendorong pemberian kredit modal usaha kepada UMKM.
Pemerintah pada dasarnya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan
tiga masalah utama yang sering dihadapi oleh UMKM, yaitu terkait akses pasar,
modal, dan teknologi. Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UMKM,
antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan,
akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan
pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.
88

(2) Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang Memiliki Nilai


Tambah Tinggi Termasuk Industri Berbasis Bioteknologi
Salah satu langkah pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan
pangan adalah dengan menargetkan produksi ikan sebagai salah satu sumber
protein hewani menjadi 18,76 juta ton pada tahun 2019 atau meningkat sebesar
7,90 juta ton (72%) dari produksi tahun 2014. Salah satu upaya untuk
meningkatkan produksi perikanan dan hasil olahan perikanan adalah melalui
peningkatan pemanfaatan bioteknologi perikanan. Penerapan bioteknologi dalam
bidang perikanan sangat luas, mulai dari rekayasa media budidaya, produksi ikan,
hingga pascapanen hasil perikanan. Pemanfaatan mikroba telah terbukti mampu
mempertahankan kualitas media budidaya sehingga aman untuk digunakan
sebagai media budidaya ikan. Bioteknologi telah menciptakan ikan berkarakter
genetis khas yang dihasilkan melalui rekayasa gen. Melalui rekayasa gen juga
dapat diciptakan ikan yang tumbuh cepat, warnanya menarik, dagingnya tebal,
dan tahan penyakit. Begitu pula pada tahap pascapanen hasil perikanan,
bioteknologi mampu meningkatkan nilai produk serta produktivitas produk
perikanan yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing produk
perikanan.

(3) Pemberian Insentif Fiskal Bagi Usaha Kecil untuk Peningkatan Daya
Saing
Pemerintah diharapkan dapat menetapkan kebijakan insentif fiskal dan
moneter untuk menyelamatkan eksistensi serta membantu peningkatan daya saing
sektor usaha kecil dan menengah (UKM) dan industri padat karya. Pemberdayaan
UKM akan optimal apabila terdapat jaminan kesempatan seluas-luasnya bagi
UKM untuk memasuki kegiatan ekonomi. Dukungan yang diperlukan terutama
berupa bantuan peningkatan kemampuan untuk memperoleh akses pasar,
teknologi, dan permodalan yang dikembangkan melalui bank maupun bukan
bank.
89

(4) Peningkatan Peranan Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam


Menjaga Food Safety Produk Hasil Olahan UMKM
Agar perusahan atau industri pangan mampu bersaing secara global
diperlukan kemampuan mewujudkan produk pangan yang memiliki sifat aman
(tidak membahayakan), sehat dan bermanfaat bagi konsumen. Keamanan dan
mutu merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan
konsumen. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka menjaga keamanan
produk hasil perikanan adalah dengan melakukan perbaikan fasilitas dan sarana
UPI sesuai dengan standar, penetapan prosedur food safety pada UPI, penerapan
rantai dingin, serta penerapan Good Manufacturing Practices (GMP), Standard
Sanitation Operational Procedure (SSOP), Hazard Analysis Critical Control
Points (HACCP).

(5) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar


Perbaikan sistem distribusi perikanan dari proses hulu hingga ke hilir
harus diperhatikan seiring dengan meningkatnya permintaan pasar akan produk
perikanan dan berkualitas yang terus meningkat. Penguatan rantai pasok,
kemitraan dan perluasan pasar dapat dilakukan dengan peningkatan supply bahan
baku dalam negeri, pengembangan sistem rantai dingin dan distribusi, penguatan
sistem informasi pasar, dan sistem produksi yang efisien. Sistem Logistik Ikan
Nasional (SLIN) telah diterapkan, namun masih menghadapi beberapa kendala
terkait keterpencilan (remoteness), pasokan listrik dan air besih, dan faktor
musim.

(6) Penyesuaian Potensi Wilayah Sumber Daya Perikanan terhadap Industri


Hilir yang Memiliki Nilai Tambah Tinggi
Industri perikanan tangkap serta perikanan budidaya dan industri
pengolahan ikan menjadi inti dari klaster industri perikanan karena pada kedua
jenis industri tersebut terjadi aliran material (ikan) dan proses pertambahan nilai.
Potensi wilayah perikanan Indonesia yang tersebar luas perlu dipetakan
berdasarkan ketersediaan bahan baku ikan pilihan sehingga pemilihan industri
perikanan yang akan dikembangkan dapat disesuaikan dengan potensi yang
90

dimiliki wilayah tersebut. Sebagian wilayah Indonesia Timur dengan nilai LQ


tinggi (Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara) sebaiknya
diarahkan pada peningkatan industri dengan nilai tambah yang tinggi seperti
produk farmaseutika dan nutraseutika dari rumput laut, dan produk dengan
rekayasa bioteknologi misalnya albumin dan minyak ikan dengan nilai jual dan
kualitas yang tinggi.

(7) Penyediaan Peralatan dan Teknologi Tepat Guna


Implementasi teknologi tepat guna merupakan salah satu strategi untuk
mempercepat kemajuan ekonomi masyarakat karena dapat memberikan nilai
tambah produk dan perbaikan mutu, membantu mewujudkan usaha produktif yang
efisien, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Implementasi teknologi tepat
guna dipandang sebagai sebuah strategi untuk mengoptimalkan pendayagunaan
semua aspek sumber daya lokal (alam, manusia, teknologi, sosial) secara
berkelanjutan yang mampu memberikan nilai tambah.
Kemampuan daya saing Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) perlu
dilindungi dengan kebijakan pemerintah yang memberikan akses yang lebih luas
terhadap informasi, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal
peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi. Pemanfaatan teknologi tepat
guna yang sesuai dengan situasi lokal pada gilirannya akan mendorong
optimalisasi sumber daya alam sehingga melahirkan kemandirian masyarakat
yang dibarengi dengan kegiatan-kegiatan inovatif.

(8) Penerapan Penangkapan yang Berkelanjutan


Salah satu permasalahan utama yang dihadapi perikanan tangkap adalah
menurunnya stok sumber daya ikan akibat kerusakan lingkungan karena
penggunaan bahan peledak, bahan kimia beracun, serta alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut, diantaranya perlu dilakukan
pengelolaan izin penangkapan yang sesuai dengan potensi sumber daya ikan yang
tersedia, sosialisasi penggunaan alat tangkap ramah lingkungan dan cara
menangkap ikan yang tidak merusak.
91

(9) Peningkatan Suplai Bahan Baku Melalui Pemanfaatan Potensi Perikanan


di Wilayah dengan Nilai LQ Tinggi
Sebagian bahan baku industri pengalengan ikan di Indonesia saat ini masih
bergantung pasokan impor. Hal ini menyebabkan peningkatan biaya produksi ikan
kaleng di industri pengalengan ikan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan
untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan penyediaan suplai bahan baku melalui
pemanfaatan potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi. Peningkatan
supply chain and value chain management terus dilakukan dengan peningkatan
produksi produk olahan ikan bernilai tambah tinggi melalui peningkatan kapasitas
Usaha Kecil Menengah (UKM) dan industrialisasi pengolahan.

(10) Penerapan Teknologi Budidaya


Penerapan bioteknologi dalam bidang perikanan sangat luas, diantaranya
meliputi: pengembangan pakan, benih unggul, dan kualitas air, dari proses
persiapan produksi hingga pascapanen hasil perikanan.

(11) Peningkatan Pendirian Industri Perikanan yang Memiliki Nilai


Tambah dan Diversifikasi Produk Tinggi
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan saat ini diarahkan pada
industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk perikanan
serta mengurangi ketergantungan terhadap pada negara lain. Pemerintah berupaya
untuk meningkatkan produksi produk olahan ikan bernilai tambah tinggi melalui
peningkatan kapasitas dan kualitas Usaha Kecil Menengah (UKM) melalui
peningkatan kapasitas SDM dan akses permodalan. Selanjutnya, pengembangan
produk dilakukan melalui pengembangan industri pengolahan hasil perikanan
yang menghasilkan produk antara, produk semi akhir dan produk akhir yang
berdaya saing.
Semakin tinggi nilai tambah yang diperoleh dalam pemanfaatan sumber
daya perikanan, maka akan semakin besar manfaat ekonomi yang diperoleh,
sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat, penyerapan
tenaga kerja, perkembangan dunia usaha, dan PDB.
92

(12) Peningkatan Sertifikasi Kelayakan Pengolahan (SKP)


Salah satu bentuk perlindungan terhadap konsumen dari pangan yang tidak
aman dan membahayakan kesehatan adalah dengan diterbitkanya Sertifikasi
Kelayakan Pengolahan (SKP) pada pelaku industri perikanan. SKP merupakan
bukti jaminan bahwa suatu produk memenuhi persyaratan standar atau spesifikasi
persyaratan mutu yang ditetapkan. Sementara itu, penerapan Standar Nasional
Indonesia (SNI) adalah salah satu upaya Pemerintah untuk memberikan jaminan
terhadap produk pangan yang bermutu. Berdasarkan hal tersebut, pembinaan
UKM serta pendampingan dan monitoring kualitas produk harus terus dilakukan
secara kontinu dan berkesinambungan.

(13) Penguatan Infrastruktur di Daerah yang Memiliki Potensi yang Tinggi


(LQ tinggi), Namun Pemanfaatannya Masih Rendah (SSA rendah)
Pengembangan infrastruktur pendukung perikanan lainnya seperti
pembangunan jalan produksi, saluran air, dan jalan penghubung antara kawasan
produksi dengan kawasan pengolahan-pemasaran memerlukan penataan ulang,
terutama terkait dengan rencana peningkatan produksi perikanan dan percepatan
industrialisasi. Pembangunan infrastruktur saat ini masih berpusat pada kawasan
Jawa dan Bali, sementara daerah dengan nilai LQ yang tinggi masih terbatas
fasilitas infrastrukturnya. Fasilitas infrastruktur penting yang diperlukan
diantaranya adalah: air bersih dan sanitasi; serta listrik dan energi, termasuk
BBM.
Berdasarkan tipologi spesifik masyarakat Indonesia baik secara fisik
(kepemilikan modal, lahan, serta ketersediaan sarana, prasarana dan bahan baku
bagi pengolahan) maupun budaya, maka model pengembangan industri
pengolahan perikanan yang layak dikembangkan adalah yang dapat menumbuh
kembangkan industri pada skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan
bila memungkinkan, dikaitkan dengan industri besar yang dapat memfasilitasi
modal, sarana dan prasarana, pengadaan input produksi, serta pemasaran hasil,
seperti pada model inti-plasma. Model pengembangan dari setiap industri harus
disesuaikan dengan jenis industri dan lokasi tempat industri tersebut berkembang.
93

(14) Peningkatan Jaminan Mutu, Keamanan Pangan, dan Perbaikan


Sanitasi di UKM dan Industri
Peningkatan jaminan mutu dan pelaksanaan penerapan GMP, SSOP dan
HACCP pada UMKM perikanan harus diawasi dengan ketat. Hal ini karena
penerapan GMP, SSOP dan HACCP merupakan implementasi dari jaminan mutu
pangan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermutu oleh produsen
yang pada akhirnya akan menciptakan kepuasan bagi konsumen.

(15) Akselerasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri Perikanan


dengan Nilai Tambah Tinggi di Lokus Pilihan
Untuk mempercepat akselerasi dibutuhkan faktor-faktor pendukung,
seperti tersedianya infrastruktur pendukung produksi dan distribusi barang yang
memadai, terdapat jaminan pasokan bahan baku perikanan dan sumber energi
pada harga kompetitif, tersedia sumber daya manusia yang handal, peningkatan
penggunaan teknologi, serta peningkatan akses pada pembiayaan investasi dan
peningkatan akses ke pasar domestik dan pasar ekspor. Akselerasi pembangunan
industrialisasi perikanan dengan nilai tambah di Indonesia, dilaksanakan melalui
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perikanan, mendorong partisipasi dunia
usaha dalam pembangunan infrastruktur, percepatan proses pengambilan
keputusan pemerintah, mendorong peningkatan daya saing Kabupaten/Kota, dan
meningkatkan integrasi pasar domestik.
94

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

8.1 KESIMPULAN
1. Strategi industri perikanan nasional, khususnya terkait industri pengolahan
perikanan mengikuti kondisi ekonomi wilayah dibagi menjadi 3 cluster
wilayah, yaitu: (1) LQ tinggi dengan volume produksi rendah; (2) LQ rendah
dengan volume produksi tinggi; dan (3) LQ dan volume produksi tinggi,
dengan rincian pada Tabel 7.

Tabel 7. Cluster wilayah Strategi Industri Perikanan Nasional


Cluster Strategi
LQ Tinggi dengan (1) Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri
Volume Produksi UPI pengolahan hasil perikanan terutama UMKM
rendah (2) Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang memiliki nilai
tambah tinggi termasuk industri berbasis Bioteknologi
Lokasi:
(3) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna
 Sulawesi Barat
(4) Penerapan penangkapan yang berkelanjutan
 Gorontalo
(5) Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai tambah
 Bengkulu
dan diversifikasi Produk tinggi.
 Maluku Utara (6) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya
 Maluku saing
(7) Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam
menjaga food safety produk hasil olahan UMKM
(8) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar
(9) Penguatan Infrastruktur di derah yang memiliki potensi yang tinggi
(LQ tinggi) namun volume produksi UPI masih rendah
(10) Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan
sanitasi di UKM dan Industri
LQ Rendah dengan (1) Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang memiliki nilai
Volume Produksi tambah tinggi termasuk industri berbasis Bioteknologi
Tinggi (2) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna
(3) Peningkatan Suplai Bahan Baku memalui pemanfaatan potensi
Lokasi:
perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi
 Jawa Barat
(4) Penerapan teknologi budidaya
 Jakarta
(5) Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP)
 Jawa Tengah
(6) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya
 Jawa Timur
95

Cluster Strategi
saing
(7) Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam
menjaga food safety produk hasil olahan UMKM
(8) Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap
industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi
LQ dan Volume (1) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya
Produksi tinggi saing
(2) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar
(3) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya
saing
(4) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar

2. Peningkatan mutu dan nilai tambah dilakukan dengan strategi: penguatan


infrastruktur, sanitasi dan higiene, dan peningkatan sertifikasi produk.
3. Strategi industrialisasi nasional dapat dijadikan sebagai acuan kebijakan
pengembangan ekonomi wilayah.

8.2 REKOMENDASI
Berdasarkan hasil analisis dan hasil rumusan para pemangku kepentingan
sektor perikanan, rekomendasi strategi industrialisasi perikanan untuk mendukung
ekonomi wilayah terdiri atas:
1. Peningkatan koordinasi antarsektor dalam rangka hilirisasi industri perikanan.
2. Sinkronisasi kebijakan dan pengkajian ulang kebijakan yang menghambat
industrialisasi perikanan.
3. Pengembangan industri perikanan pada daerah yang memiliki LQ tinggi
(LQ>4), yaitu: Sulawesi Barat, Gorontalo, Bengkulu dan Maluku Utara, agar
dapat memberi sumbangan terhadap peningkatan ekonomi wilayah sebagai
basis perikanan nasional.
4. Kajian tentang pemilihan skala industri yang tepat yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, utilitas dan kapasitas
industri, serta keunggulan wilayah.
96

DAFTAR PUSTAKA

Blakely EJ. 1994. Planning Local Economic Development.Ed.ke-2. London: Sage


Publications.
Dunn WN. 1988. Analisa Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta: PT Hanindita.
FAO. 2016. The State of World Fisheries and Aquaculture. Roma.
Glasson J. 1997. Pengantar Perencanaan Regional, diterjemahkan Paul Sitohang,
Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Hayami Y.1987. Agricultural marketing and processing inupland Java. A
perspective from a Sunda village. Bogor: CGPRT Centre.
Johnston RJ. 1976. Classification in Geography. CATMOG 6 Geobooks Norwich.
Kadarsah, Suryadi, dan Ramdani, M.Ali. 2002. Sistem Pendukung Keputusan:
Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep
Pengambilan Keputusan. Bandung: Rosdakarya.
Liu J. 2002. Investigation On Traceability Of Fish Products In Iceland - A
Traceability Study For Fish Processing Industry In China. United
National University. Iceland.
[NIFA] Norwegian Institute of Fisheries and Aquaculture Ltd. 2000. Tracing the
Fish. Fiskeriforskning Info. No. 4. August 2000.
Rustiadi E, Saifulhakim S, Panuju DR. 2006. Perencanaan Pengembangan
Wilayah. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumber daya Lahan.
Bogor: Fakultas Pertanian IPB.
Rangkuti F. 2006. Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan
Pelanggan. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Republik Indonesia. 1996. Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan.
Sekretariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia. 2002. Keputusan Menteri No. 6 tahun 2002. Sekretariat
Kabinet RI. Jakarta.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2004. Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang
Perikanan. Sekretariat Negara. Jakarta.
97

Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang


keamanan Mutu dan Gizi Pangan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2006. Kepmen No. 29/MEN/2006. Sekretariat Kabinet RI.
Jakarta.
Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.27/Men/2012 Tentang Pedoman Umum
Industrialisasi Kelautan Dan Perikanan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2014. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
56/PERMEN- KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium)
Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
57/PERMEN- KP/2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI.
Jakarta.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
59/PERMEN- KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi
(Carcharhinus longimanus) dan Ikan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari
Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik
Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Sekretariat
Kabinet RI. Jakarta.
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 tahun
2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla
spp) dan Rajungan (Portunus pelagicus spp). Sekretariat Kabinet RI.
Jakarta.
98

Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2


Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat
hela (trawl) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57
Tahun 2015 Tentang Sistem Jaminan Mutu Dan Keamanan Hasil
Perikanan Serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan.
Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
Saaty, T. Lorie. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses
Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang
Kompleks.Pustaka Binama Pressindo.
Saragih S. 2007. RI-Jepang Hubungan Timpang. Kompas, Internasional, Minggu,
19 Agustus: 5.
Sulistyo DE et al. 2004. Strategi Peningkatan Konsumsi Ikan di Indonesia.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Dikjen Peningkatan
Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran.
Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan, Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Bima Grafika.
Pratiwi, S. 2006. Aspek kapabilitas Eksternal pada Industri Pengolahan Ikan Laut.
Kebijakan Inovasi Industri Pengolahan Ikan Laut. Editor: Faisal, R.
Taufiq, dan M. Zubair. BPPT. Jakarta.
99

LAMPIRAN
100

Lampiran 1. Analisis Sektor Ekonomi Menggunakan Metode location


quotient (LQ) dan shift share analysis (SSA)

Analisis LQ digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di


suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Persamaan model
analisis LQ sebagai berikut :
LQ =
Keterangan:
Xij = Nilai PDRB sektor perikanan (j) di provinsi i
Xi = Nilai total PDRB seluruh sektor di provinsi i
Xj = Nilai PDRB sektor perikanan (j) nasional
Xt = Nilai total PDRB seluruh sektor nasional
Interpretasi nilai Location Quetiont (LQ)
0 = Aktifitas tidak berkembang
1 = Perkembangan sektor perikanan di wilayah (i) sama dengan rataan
seluruh unit provinsi j
<1 = Perkembangan sektor perikanan dibawah rataan seluruh provinsi (bukan
unggulan)
>1 = Perkembangan sector perikanan lebih tinggi dari rataan seluruh unit
provinsi j atau indikasi adanya pemusatan aktifitas di unit provinsi
(unggulan).
Contoh perhitungan LQ
Diketahui:
Nilai PDRB sektor perikanan pada tahun 2010 di Provinsi Maluku sebesar 2571
Nilai PDRB total seluruh sektor di provinsi Maluku sebesar 16175
Nilai PDRB sector perikanan nasional sebesar 143566
Nilai PDRB total seluruh sector skala nasional sebesar 6050455
LQ =
= 6.698757
Nilai LQ >1 artinya terjadi pemusatan aktifitas sektor perikanan di provinsi
Maluku (Basis)
Shift Share Analysis (SSA) digunakan untuk memahami pergeseran
struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan daerah agregat yang
101

lebih luas. Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu


aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya dalam
wilayah total. Analisis shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab
terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Persamaan SSA sebagai
berikut :

 X ..   X. X ..   X X. 
  1    
( t 1) j ( t 1) ( t 1) ij ( t 1) j ( t 1)
SSA   

 


 X .. (t 0 )   X. j (t 0) X ..
(t 0)   X ij ( t 0 ) X.
j ( t 0) 

a b c
Keterangan:
a = komponen regional share
b = komponen proportional shift
c = komponen differential shift, dan
X.. = nilai total aktifitas wilayah kab secara agregat
X.i = nilai total aktifitas tertentu di unit wilayah kab ke-i
Xij = nilai di wilayah kab ke-i dan aktifitas ke-j
t1 = titik tahun akhir
t0 = titik tahun awal
Kinerja perubahan aktivitas/ sektor dapat dilihat dari komponen analisis SSA
yaitu:
(1) Komponen laju pertumbuhan total (total shift), yang menyatakan pertumbuhan
total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah,
(2) Komponen pergeseran proporsional (pro-portional shift), menunjukkan
pertumbuhan total aktivitas atau sektor tertentu secara relatif, dibandingkan
dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan
dinamika sektor atau aktivitas total wilayah.
(3) Komponen pergeseran diferensial (differential shift), menjelaskan tingkat
competitiveness suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan
total sektor atau aktivitas tersebut dalam wilayah.
102

Lampiran 2. Hasil Kunjungan Ke Jawa Timur (Studi Kasus I)

A. Unit Pengolahan Ikan (UPI)

Dalam melakukan pengolahan ikan yang menangani produk segar


dilaksanakan oleh Unit Pengolahan Ikan (UPI). Jumlah UPI di Jawa Timur tahun
2015 berdasarkan jenis kegiatan pengolahan produknya terdiri atas sembilan
kategori yaitu pembekuan, penggaraman, pemindangan, pengasapan, fermentasi,
pereduksian/ekstraksi, pelumatan daging ikan, penanganan produk segar dan
pengolahan lainnya. Jumlah UPI tertinggi pada pengasapan sebesar 2.159 Unit.
Jumlah UPI di Jawa Timur disajikan pad Gambar 1.

Ket:
2.500 A: Pembekuan
B: Penggaraman
2.159 C: Pemindangan
2.024 D: Pengasapan
E: Fermentasi
2.000 F: Pereduksian/Ekstraksi
G: Pelumatan Daging Ikan
1.616 H: Penanganan Produk Segar
I: Pengolahan Lainnya
1.453
Jumlah UPI

1.500

1.000

632

500 362
204
141
38
0
A B C D E F G H I
Jenis Kegiatan Pengolahan

Gambar 1. Jumlah UPI di Jawa Timur berdasarkan Jenis Kegiatan Pengolahan


(DKP Jatim 2015)

Jumlah UPI tertinggi pada pengasapan sebesar 2.159 Unit. Produk utama
dari pengasapan adalah ikan asap. Ikan asap merupakan salah satu produk olahan
yang digemari konsumen di Indonesia karena rasa dan aroma yang khas. Teknik
pengolahan ikan melalui pengasapan relatif mudah sehingga banyak dilakukan di
lingkungan permukiman dalam bentuk home industry. Dengan kondisi ini, maka
seringkali ruang ruang untuk wadah proses pengasapan ikan ini berbentuk tidak
103

beraturan dengan penataan yang seadanya, sehingga dari aspek sirkulasi, alur
produksi dan kesehatan tidak memenuhi persyaratan higienitas dalam pengolahan
produknya (Wibawa, 2015). Jumlah UPI Pengasapan Ikan di Jawa Timur yang
tinggi, disebabkan karena teknologi yang sederhana dan mudah diaplikasikan.
Kabupaten sidoarjo ikan asap yang diolah dari bahan baku bandeng merupakan
salah satu produk unggulan daerah. Selain itu di surabaya ikan asap merupakan
salah satu produk khas untuk oleh-oleh. Bahan baku ikan asap bisa dari produksi
budidaya misalnya bandeng dan patin atau ikan laut. Jika ditinjau dari aspek
produksi, produk ikan asap ini sangat prospektif untuk dikembangkan karena
teknologi sederhana, bahan baku yang mudah didapatkan serta tidak tergantung
dengan musim tangkapan (produksi dari budidaya). Kendala lainya adalah sanitasi
yang rendah, teknologi tepat guna, serta permodalan.

B. UPI Per Kabupaten/Kota di Jawa Timur

Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Jawa Timur tersebar di 38 kabupaten/ kota.


Sebaran UPI penanganan produk segar di Provinsi Jawa Timur disajikan pada
Gambar 2. Jumlah paling tinggi terdapat pada kabupaten Tuban dengan jumlah
980 unit dan paling rendah pada Kabupaten Kediri sebanyak 3 unit. Kabupaten
Tuban merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang mempunyai wilayah
perairan laut sepanjang 65 km yang meliputi Kecamatan Palang, Tuban, Jenu,
Tambakboyo dan Bancar.Dengan kondisi geografis tersebut, produksi perikanan
laut di Kabupaten Tuban cukup melimpah, melebihi kebutuhan konsumsi ikan
oleh masyarakat. Potensi hasil laut dan pengembangan kawasan pantai lainnya
adalah budidaya rumput taut, terumbu karang, padang lamun. pengembangan dan
pembibitan mangrove.Selain dari perairan laut, produksi ikan di Kabupaten Tuban
juga didukung dari hasil budidaya ikan dan udang di perairan darat seperti
tambak, sawah tambak, kolam, karamba dan jaring apung.
JUMLAH UPI

0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1.000

PACITAN

115
67
PONOROGO
TRENGGALEK

345
TULUNGAGUNG
544

45
BLITAR

19
KEDIRI

79
MALANG

47
LUMAJANG
JEMBER
BANYUWANGI
340 336

23
BONDOWOSO
SITUBONDO
382

PROBOLINGGO
310

PASURUAN
471

SIDOARJO
344

MOJOKERTO
34 28

JOMBANG
NGANJUK
MADIUN
MAGETAN
10 23 10 20

NGAWI
KOTA/KABUPATEN

BOJONEGORO
224

TUBAN
980

LAMONGAN
685

GRESIK
758

BANGKALAN
679

SAMPANG
646

PAMEKASAN
148

SUMENEP
3

KEDIRI
18

BLITAR
Gambar 2. Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) per Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2015
42

MALANG
PROBOLINGGO
114

PASURUAN
194

MOJOKERTO
10

MADIUN
SURABAYA
513

BATU
110
111

2.000 2.003
Ket:
1.800 A: Pembekuan
1.692 B: Penggaraman
C: Pemindangan
1.600 D: Pengasapan
E: Fermentasi
1.369 F: Pereduksian/Ekstraksi
1.400 G: Pelumatan Daging Ikan
H: Penanganan Produk Segar
Jumlah Setifikat

I: Pengolahan Lainnya
1.200

1.000 919

800 Belum
Ada
SKP
600
PIRT
400 305 MD
197 205 232 237
200 92
67 54 21 23 44 17 80
10 6 0 0 45 11 4 9 26 13 3 0 0 0 3 1 21 11
0
A B C D E F G H I
Jenis Kegiatan pengolahan

Gambar 3. Jumlah Sertifikat yang Dimiliki UPI di Jawa Timur 2015


112

C. Jumlah Sertifikat UPI di Jawa timur


Jumlah sertifikat yang dimiliki oleh masing masing UPI berdasarkan
kegiatan pengolahan yang dilakukan disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan
gambar 3 dapat diperoleh informasi bahwa jumlah tertinggi pada masing masing
kegiatan pengolahan adalah belum memiliki sertifikat dengan jumlah berturut
turut adalah 10, 1.692, 1.369, 2.003, 305, 54, 44, 205 dan 919 unit. Jumlah UPI
yang belum tersertifikasi sangat tinggi jika dibandingan dengan sertifikat lainya
(SKP, MD, PIRT dan Halal) menunjukan rendahnya kesadaran pelaku usaha
untuk mengikuti prosedur pemerintah, atau jumlah produk yang dihasilkan masih
produk tradisional sehingga dirasa belum memerlukan sertifikasi jaminan produk.
Sehingga perlu peran pemerintah untuk membantu meningkatkan kualitas produk
dengan berbagai upaya baik pelatihan, penyuluhan, pemberian modal serta
edukasi terkait pentingnya jaminan produk sehingga produk tradisional olahan
perikanan Indonesia bisa menembus pasaran internasional.

D. Jumlah Tenaga Kerja


Jumlah tenaga Kerja pengolahan Perikanan disajikan pada Gambar 4.
Jumlah tenaga kerja pada UPI pengolahan hasil perikanan di Jawa Timur
berjumlah 89.673 orang, dengan komposisi laki-laki berjumlah 22.520 orang dan
perempuan 67.153 orang. Perbandingan jumlah tenaga kerja perempuan lebih
dominan dibanding tenaga kerja laki-laki. Kegiatan pengolahan pengasapan
memiliki tenaga kerja dengan jumlah terbanyak. Menurut terminologi FAO, ikan
olahan tradisional, atau "cured fish" adalah produk yang diolah secara sederhana
dan umumnya dilakukan pada skala industri rumah tangga, sehingga dalam proses
pengolahan memang didominasi oleh tenaga kerja perempuan.

E. Upah tenaga Kerja


Upah Tenaga Kerja masing masing UPI disajikan pada Gambar 5. UPI
dengan pengeluaran upah tenaga kerja terbanyak adalah pada kegiatan pengolahan
Penggaraman, pemindangan, dan pengolahan lain.
113

Ket:
28.000 26.161 A: Pembekuan
B: Penggaraman
26.000 C: Pemindangan
24.000 D: Pengasapan
E: Fermentasi
22.000 F: Pereduksian/Ekstraksi
G: Pelumatan Daging Ikan
20.000
Jumlah tenaga Kerja

H: Penanganan Produk Segar


18.000 I: Pengolahan Lainnya

16.000
14.000 12.871
11.749
12.000
10.000
7.869
8.000
5.306 5.723 5.384
6.000 4.397 3.975
4.000 2.160 2.347
2.000 216 597 251131 234 260
42
0
A B C D E F G H I Laki Laki
Jenis Kegiatan
Perempuan

Gambar 4. Jumlah Tenaga Kerja Pengolahan Perikanan di Jawa Timur 2015

50.000.000.000 Ket:
A: Pembekuan
45.000.000.000 B: Penggaraman
40.000.000.000 C: Pemindangan
D: Pengasapan
35.000.000.000 E: Fermentasi
F: Pereduksian/Ekstraksi
Upah (Rp)

30.000.000.000 G: Pelumatan Daging Ikan


H: Penanganan Produk Segar
25.000.000.000 I: Pengolahan Lainnya
20.000.000.000
15.000.000.000
10.000.000.000
5.000.000.000
0
A B C D E F G H I Laki-Laki
Jenis Kegiatan Perempuan

Gambar 5. Upah Tenaga Kerja di Jawa Timur 2015

Kegiatan pengolahan pemindangan mengeluarkan upah untuk membayar


tenaga kerja setiap tahunnya mencapai 55.606.504.723,00 rupiah. kegiatan
pengolahan penggaraman mengeluarkan upah sebanyak 68.573.562.706 rupiah.
Serta pengolahan lainnya mengeluarkan upah sebanyak 59.312.360.049,00 rupiah.
114

Pengembangan UPI di Jawa Timur masih berbasis program padat karya. padat
karya merupakan program pemerintah melalui bappenas untuk memberi lapangan
kerja terutama yang kehilangan pekerjaan pada masa sulit. Kegiatan pengolahan
tradisional dengan program padat karya membuka lapangan kerja bagi keluarga-
keluarga miskin atau kurang mampu yang mengalami kehilangan penghasilan
atau pekerjaan tetap. Namun masalah yang dihadapi dalam program kerja padat
karya adalah faktor upah yang ideal bagi seorang pekerja. Solusi yang ditawarkan
agar faktor upah ini ideal bagi pekerja adalah mengurangi program padat karya
dengan menjadikan pengolahan tradisional berbasis teknologi tepat guna,
sehingga perusahaan/UPI dapat memproduksi produk secara efisien. Selain itu
penggunaan teknologi tepat guna.

F. Volume dan Nilai Bahan Baku menurut Jenis Kegiatan Pengolahan

Ket:
A: Pembekuan
B: Penggaraman
700.000.000 C: Pemindangan
D: Pengasapan
600.000.000 E: Fermentasi
F: Pereduksian/Ekstraksi
500.000.000 G: Pelumatan Daging Ikan
H: Penanganan Produk Segar
I: Pengolahan Lainnya
Jumlah

400.000.000

300.000.000 Volume (kg)


200.000.000 Nilai (Rp)

100.000.000

0
A B C D E F G H I
Jenis Kegiatan Pengolahan

Gambar 6. Volume dan Nilai Bahan Baku menurut Jenis Kegiatan Pengolahan

Volume produksi kegiatan pembekuan berjumlah 11,392,312 Kg dengan


nilai bahan baku mencapai 103,806,240,000 rupiah. Volume produksi unit
pengolahan di Jawa Timur yang paling dominan adalah pada kegiatan
pengolahan penggaraman dengan volume produksi sebesar 77,776,305 kg dengan
nilai bahan baku mencapai 428.334.761.262 rupiah. Volume produksi pada
115

kegiatan pemindangan sebesar 44,446,396 Kg dengan nilai bahan baku sebesar


575,037,919,892 rupiah. Pada kegiatan pengasapan nilai bahan baku mencapai
272,594,640,422 rupiah dengan volume produksi sebanyak 19,426,174 Kg. Pada
kegiatan fermentasi produksi dengan volume 11,662,158 Kg menghasilkan nilai
bahan baku sebesar 82,377,125,696 rupiah. Volume produksi pada kegiatan
pereduksian/ekstraksi berjumlah 859,604 kg dengan nilai bahan baku mencapai
10,471,662,385 rupiah.

G. Realisasi Produk terhadap Kapasitas Terpasang


Realisasi produk terhadap kapasitas terpasang disajikan pada Gambar 7.
Kegiatan pengolahan perikanan di Jawa Timur pada kegiatan pembekuan,
penggaraman, pemindangan, pengasapan, fermentasi, pereduksian, pelumatan
daging ikan, penanganan produk segar, dan pengolahan lain memiliki realisasi
produk terhadap kapasitas terpasang secara berturut turut adalah sebanyak
93,33%; 71,77%; 76,18%; 79,85%; 80,07%; 84,95%; 69,78%; 82,76% dan
72,93%. Semakin rendah angka kapasitas terpasang suatu perusahaan berpengaruh
terhadap produktivitas pabrik, sehingga perlu dilakukan optimasi proses
pengolahan terhadap mesin/teknologi agar produk yang dihasilkan optimum.

100 93,33
Realisasi Produk Terhadap Kapasitas

90 84,95 82,76
79,85 80,07
80 76,18 Ket:
71,77 69,78 72,93
A: Pembekuan
70 B: Penggaraman
Terpasang (%)

C: Pemindangan
60 D: Pengasapan
50 E: Fermentasi
F: Pereduksian/Ekstraksi
40 G: Pelumatan Daging Ikan
H: Penanganan Produk Segar
30 I: Pengolahan Lainnya
20
10
0
A B C D E F G H I
Jenis Kegiatan Pengolahan

Gambar 7. Realisasi Produk terhadap Kapasitas Terpasang


116

H. PROFIL SOSIAL PERIKANAN JAWA TIMUR

Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki kawasan laut hampir


empat kali luas daratannya dengan garis pantai kurang lebih 2.916 km. Subsektor
perikanan dapat dikelompokkan menjadi perikanan on-farm dan perikanan off-
farm. Perikanan on-farm terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat,
sedangkan perikanan off-farm terdiri dari pengolahan ikan. Perikanan on-farm
merupakan kegiatan produksi perikanan yang terdiri dari perikanan laut dan
perikanan darat. Perikanan laut meliputi budidaya laut, budidaya tambak dan
perikanan tangkap laut sedangkan perikanan darat meliputi penangkapan ikan
perairan umum, budidaya kolam, budidaya jaring apung, budidaya minapadi,
budidaya sawah tambak dan budidaya karamba. Pengolahan ikan merupakan
kegiatan pasca produksi yang meliputi pengalengan, pembekuan, penggaraman,
pemindangan, pengasapan, fermentasi, pereduksian dan pelumatan. Kegiatan
perikanan tangkap laut membutuhkan infrastruktur tempat pendaratan atau
pelabuhan perikanan guna mendukung kegiatan usaha perikanan tangkap.
Tipe pelabuhan paling besar yang ada di Jawa Timur adalah pelabuhan
tipe B atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN). PPN di Jawa Timur ada dua
yaitu PPN Brondong di Kabupaten Lamongan dan PPN Prigi di Kabupaten
Trenggalek. Sedangkan pelabuhan tipe C atau Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
di Jawa Timur berjumlah enam, yaitu: PPP Lekok di Kabupaten Pasuruan, PPP
Mayangan di Kota Probolinggo, PPP Muncar di Banyuwangi, PPP Paiton di
Kabupaten Probolinggo, PPP Pondokdadap di Kabupaten Malang serta PPP Puger
di Kabupaten Jember. Disamping itu juga terdapat Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI) yang tersebar di semua kota/kabupaten yang memiliki pesisir di Jawa
Timur. Jumlah PPI yang terdapat di Provinsi Jawa Timur berjumlah 87 PPI (KKP
2013).
Kegiatan perikanan tangkap laut di Jawa Timur dapat dibagi dalam dua
wilayah, yaitu pantai utara jawa dan pantai selatan jawa. Wilayah yang termasuk
pantai utara Jawa adalah Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik, Kota Surabaya,
Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Sidoarjo, Pasuruan, Kota
Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo dan Kabupaten Situbondo.
117

Wilayah pantai selatan Jawa meliputi Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang,


Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek dan Pacitan.
Jumlah alat tangkap di Jawa Timur sebanyak 171.502 unit yang terdiri dari
143.019 unit alat tangkap di laut dan 28.483 unit alat tangkap di perairan umum
daratan. Unit penangkapan ikan di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi
pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, alat
pengumpul kerang, alat pengumpul rumput laut dan lain-lain. Pukat kantong yang
ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi payang, dogol dan pukat pantai,
sedangkan jaring insang terbagi menjadi jaring insang hanyut, jaring insang
lingkar, jaring insang tetap dan jaring tiga lapis (trammel net). Jaring angkat yang
ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi bagan perahu/rakit, bagan tancap,
serok, dan jaring angkat lainnya. Pancing terbagi menjadi rawai hanyut lain selain
rawai tuna, rawai tetap, pancing tonda dan pancing lainnya, sedangkan perangkap
dibagi menjadi bubu dan perangkap lainnya. Alat pengumpul terbagi menjadi alat
pengumpul kerang. Alat tangkap lainnya terbagi menjadi jala, tombak dan
sebagainya. Jumlah nelayan di Jawa Timur mencapai 251.849 orang. Sebaran
nelayan di pantai utara Jawa Timur terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep
sebanyak 40,015 orang (18%), selanjutnya jumlah nelayan terbanyak di pantai
Selatan Jawa Timur adalah Kabupaten Banyuwangi sebanyak 25.598 orang atau
11% dari jumlah nelayan di Jawa Timur.
Kegiatan usaha on-farm perikanan selain perikanan tangkap adalah
perikanan budidaya yang meliputi tambak, laut, kolam, karamba, jaring apung,
sawah tambak dan minapadi. Kegiatan budidaya perikanan ditandai dengan
penebaran benih ikan yang dibudidayakan. Berdasarkan jenisnya, benih ikan
berasal dari air tawar dan air laut. Benih dari air tawar meliputi ikan tawes, ikan
mas, ikan mujair, ikan nila, ikan gurami, ikan lele, ikan patin, ikan hias air tawar,
katak, udang galah, dan lobster air tawar. Benih dari air payau yakni ikan kerapu,
ikan kakap, ikan bandeng, udang windu, udang vaname, udang putih, gracilaria,
dan rumput laut cottoni.
Jumlah terbanyak adalah pembudidaya kolam, diikuti pembudidaya laut
dan tambak. Jumlah pembudidaya terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep
sebesar 80.567 (29%) diikuti Lamongan sebesar 46.395 (16,9%). Luas areal lahan
118

yang paling besar digunakan untuk budidaya adalah budidaya laut dimana
Kabupaten Sumenep menjadi kabupaten dengan luas lahan budidaya laut terluas
di Jawa Timur yang mencapai 287.325 ha (99%). Jumlah produksi perikanan
budidaya Jawa Timur pada tahun 2012 mencapai 929.173,87 ton dengan
kontributor terbesar dari budidaya laut yang mencapai 563.087,4 ton (61%).
Usaha pasca panen atau off-farm perikanan memanfaatkan output perikanan
onfarm baik dari perikanan tangkap maupun budidaya. Usaha pengolahan ikan
terbanyak adalah penggaraman, pengasapan dan pemindangan. Berbagai usaha
pengolahan ikan tersebar hampir merata di seluruh wilayah Jawa Timur.

Analisis LQ dan SSA


Penggunaan analisis metode LQ, kita dapat mengamati keunggulan-
keunggulan kompetitif suatu wilayah terhadap wilayah sekitarnya. Nilai LQ yang
lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa sektor/sub sektor ini lebih unggul
dibandingkan dengan sektor/sub sektor yang sama di wilayah Provinsi Jawa
Timur. Sebaliknya, nilai LQ yang kurang dari 1 berarti bahwa sektor/sub sektor
yang diamati tidak kompetitif. Analisis LQ provinsi Jawa Timur berdasarkan
perkembangan PDRB provinsi dibandigkan PDRB nasional pada tahun 2010-
2014. Perkembangan nilai LQ Jawa Timur pada tahun 2010-2014 dapat dilihat
pada Gambar 1.

1,20 1,10 1,08


0,99 1,02
0,98
1,00

0,80
Nilai LQ

0,60
LQ
0,40

0,20

0,00
2010 2011 2012 2013 2014
Tahun
Gambar 1 Perkembangan nilai LQ Jawa Timur 2010-2014
119

Berdasarkan nilai LQ produktivitas perikanan setiap tahunnya cenderung


stabil. Trend yang menarik terlihat pada produktivitas perikanan pada tahun 2010-
2011 yang tergolong non basis, sedangkan pada tahun 2012-2014 sektor
perikanan tergolong basis, artinya provinsi Jawa Timur memiliki potensi menjadi
sector basis unggulan dengan peningkatan inovasi pengembangan produk dan
arah pembangunan perikanan sebaiknya diutamakan pada usaha peningkatan nilai
tambah perikanan dengan meningkatkan produktivitas usaha pengolahan ikan
sehingga mampu menarik atau memanfaatkan output subsektor perikanan laut dan
darat. Prioritas wilayah pengembangan perikanan hendaknya memperhatikan
aspek keunggulan kompetitif dan spesialisasi perikanan suatu daerah dan unsur
pemerataan pengembangan ekonomi di Jawa Timur.
Analisis keunggulan kompetitif wilayah dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pergeseran struktur ekonomi dari suatu sektor dibandingkan dengan
cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pergeseran struktur
ekonomi tersebut dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness)
dari suatu sektor ekonomi serta menjelaskan kinerja sektor tersebut. Hasil analisis
SSA menunjukkan bahwa struktur ekonomi Jawa Timur mengalami
perkembangan pesat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis SSA dengan nilai
0.818191.
120

Lampiran 3. Kondisi Eksisting Perikanan di Lokus Pilihan (Studi Kasus II:


Wilayah Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara)

A. Potensi Wilayah

A. 1 Sumatera Utara

Potensi Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara terdiri dari Potensi


Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya, dimana Potensi Perikanan Tangkap
terdiri Potensi Selat Malaka sebesar 276.030 ton/tahun dan Potensi di Samudera
Hindia sebesar 1.076.960 ton/tahun. Sedangkan Produksi Perikanan Budidaya
terdiri Budidaya tambak 20.000 Ha dan Budidaya Laut 100.000 Ha, Budidaya air
tawar 81.372,84 Ha dan perairan umum 155.797 Ha, kawasan Pesisir Sumatera
Utara mempunyai Panjang Pantai 1300 Km yang terdiri dari Panjang Pantai
Timur 545 km, Panjang Pantai Barat 375 Km dan Kepulauan Nias dan Pulau-
Pulau Baru Sepanjang 350 Km (DKP Sumut, 2014). Wilayah pengembangan
sektor perikanan dibagi menjadi beberapa wilayah kerja dengan potensi wilayah
masing-masing. Wilayah tersebut adalah:
a. Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara
Terdiri dari 12 kabupaten/kota yang berada di wilayah Pantai Barat yaitu
Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias
Utara, Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten
Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan,
Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara. Dimana Potensi
Pengembangan pada wilayah ini adalah penangkapan ikan, pengolahan ikan.
Budidaya Laut yang terdiri dari Rumput Laut, Kerapu dan kakap, Budidaya tawar
yang terdiri dari mas, nila, Lele, Patin, Gurame, Tawes dan Nilam. Budidaya
Tambak yang terdiri dari Udang Vaname, Udang Windu, Kerapu, Kakap,
Bandeng
b. Wilayah Dataran Tinggi Sumatera Utara
Kabupaten/Kota yang termasuk pada wilayah dataran tinggi Sumatera
Utara adalah Wilayah yang berada di wilayah tengah Provinsi Sumatera Utara
yang terdiri dari 10 Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten
Toba Samosir, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Samosir, Kabupaten
121

Humbang Hasundutan, Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, Kota


Tebing Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat. Sedangkan Potensi Pengembangan
pada wilayah ini terdiri dari penangkapan ikan di perairan umum, pengolahan
ikan. budidaya air tawar yaitu Nila, Mas, Lele, Patin dan Gurame
c. Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara
Terdapat 11 Kabupaten/Kota yang termasuk pada wilayah Pantai Timur
Sumatera Utara yang terdiri dari Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kabupaten
Serdang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Asahan, Kabupaten
Labuhan Batu, kabupaten Labuhan batu Selatan, Kabupaten Labuhan Batu Utara,
Kabupaten Batubara, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Dimana potensi
pengembangan di wilayah Timur Sumatera Utara adalah penangkapan ikan,
pengolahan ikan. Budidaya Laut yang terdiri dari kerapu, kakap, dan kerang hijau,
Budidaya Tawar yaitu Mas, Nila, Lele, Patin, Gurame, Grass carp, Lobster air
tawar, Bawal tawar dan Ikan hias, Budidaya Tambak yaitu Rumput Laut, Udang
Vaname, Udang Windu, Kerapu, Kakap, Bandeng, sedangkan Budidaya perairan
umum yaitu Mas, Nila dll.

Kondisi Perikanan Di Sumatera Utara dan Ancamanya

Perikanan di Sumatera Utara wilayah pengembangan kedepanya dibagi


menjadi tiga wilayah masing wilayah pengembangan perikanan dan kelautan I, II
dan III. Daerah yang masuk wilayah I antara lain, Mandailing Natal, Sibolga,
Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Nias. Potensi unggulan wilayah itu
adalah penangkapan ikan lepas pantai dan perairan ZEE (Zona Ekonomi
Eksklusif). Wilayah pengembangan II yang merupakan bagian tengah Sumut
hanya bisa dikembangkan sebagai pusat perikanan budidaya. Misalnya, di sekitar
Toba Samosir, Simalungun, Dairi, dan Tapanuli Utara. Sama dengan wilayah I,
pembangunan perikanan di wilayah III, yakni di bagian timur Sumut, tetap akan
menjadi fokus pengembangan perikanan tangkap. Daerahnya terletak persis di
sekitar perairan Selat Malaka, yaitu mulai dari Langkat di perbatasan NAD,
hingga ke Medan, Deli Serdang, Tanjung Balai, Asahan, hingga Labuhan Batu
dekat perbatasan Riau. Pengembangan perikanan di wilayah II Sumut seharusnya
tidak menemukan banyak masalah karena lebih pada budidaya darat yang sudah
122

mengakar dari dulu di masyarakat. Persoalan paling besar di wilayah


pengembangan I dan III Sumut, sebab sebagai andalan dan pusat aktivitas
perikanan tangkap, maka ini terkait langsung dengan potensi alami di sana.
Pengurasan potensi perikanan laut yang tidak terkendali, apalagi dibarengi dengan
cara-cara penangkapan di luar batas, misalnya bom ikan, jelas akan menjadi
bumerang di belakang hari.
Potensi perikanan laut daerah ini sudah mulai tahap mengkhawatirkan,
bisa dilihat dari ketimpangan potensi alami antara perairan pantai timur dan pantai
barat Sumut. Ini mengkhawatirkan karena akan mengancam keberadaan dua
sumber produksi ikan terbesar Sumut. Sudah sejak lama pantai timur dan barat
Sumut menjadi ujung tombak perikanan tangkap, baik untuk pasar lokal, ekspor,
maupun industri perikanan. Belawan dan Sibolga terkenal sebagai pelabuhan
perikanan terbesar Sumut yang produksi ikan tangkapnya dikirim ke mana-mana.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan tahun 2001 mencatat, potensi perikanan di
perairan pantai timur Sumut (sekitar Selat Malaka) tercatat sekitar 276.030 ton per
tahun. Sedangkan pemanfaatan per tahun 2003 tercatat sekitar 255.499,2 ton.
Angka ini memang mengejutkan karena, dengan data-data di atas, tergambar jelas
kondisi perairan pantai timur Sumut sudah mendekati over fishing atau padat
tangkap. Keadaan demikian menunjukkan betapa potensi perairan pantai timur
sekitar Selat Malaka sudah sulit dioptimalkan karena tingkat pemanfaatannya
mencapai 92 persen. Data Badan Riset Kelautan tersebut setidaknya memberi
gambaran bahwa eksploitasi potensi perikanan tangkap di daerah ini tampaknya
mulai timpang. Bandingkan dengan potensi perikanan di pantai barat Sumut
(sekitar Samudra Hindia). Potensi perairan ini tercatat 1.076.960 ton per tahun,
dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 baru mencapai 96.597,1 ton (8,96
persen)
Di Provinsi Sumatera Utara telah ditetapkan kawasan andalan yang
merupakan bagian dari kawasan budi daya baik di ruang darat maupun ruang laut
yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi
kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya.
Pada tahun 2011 diterbitkan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang,
123

dan Karo (Mebidangro) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-
Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Pasal 123 ayat (4)
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Mebidangro berperan sebagai
alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan sebagai alat
koordinasi pelaksanaan pembangunan di kawasan Mebidangro. Peraturan
Presiden No. 13 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan ketentuan Pasal 123 ayat (4) Peraturan Pemerintah
No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, perlu
menetapkan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera
(www.sumut-pemprov.go.id)
Kawasan Andalan Sektor Unggulan
Perkotaan Metropolitan Medan-Binjai- industri, perkebunan, pariwisata, pertanian,
Deli Serdang-Karo (Mebidangro) perikanan
Pematang Siantar danSekitarnya Perkebunan, pertanian, industri, pariwisata
Rantau Prapat-Kisaran Perkebunan, kehutanan, pertanian, perikanan,
industri
Tapanuli dan Sekitarnya Perkebunan, pertambangan, perikanan laut,
pertanian, industri, pariwisata
Nias dan Sekitarnya Pariwisata, perkebunan, perikanan
Laut Lhokseumawe-Medan dan Perikanan, pertambangan
Sekitarnya
Laut Selat Malaka dan Sekitarnya Perikanan, pertambangan
Laut Nias dan Sekitarnya Perikanan, pertambangan
Sumber: PP No. 26 Tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional

A.2 Sulawesi Utara


Sulawesi Utara, secara geografis terletak pada posisi 0o30’ - 5 o 35’ LU, 123 o
30’ - 127 o 00’ Bujur Timur. Wilayah Sulawesi Utara berbatasan dengan Filipina
(utara), Teluk Tomini (selatan), Provinsi Gorontalo (barat) dan Laut Maluku
(timur). Luas wilayahnya 15.472,98 km2, terdiri dari Pulau Manado Tua, Pulau
Bangka, Pulau Talise, Pulau Bunaken, Pulau Mantehage, Pulau Lembeh, Pulau
Siau, Pulau Tagulandang, Pulau Karakelang, Pulau Karabuan, dan Pulau Salibabu.
Panjang garis pantai Provinsi Sulawesi Utara 1.837 km dengan luas daratannya
2.200 km2. Wilayah Perairan laut Provinsi Sulawesi Utara memiliki 124 pulau
yang terdiri dari 3 gugusan kepulauan:
124

1. Gugusan Kepulauan Talaud, terletak paling utara yang secara administratif


masuk di Kabupaten Talaud;
2. Gugusan Sangir Besar, secara administratif masuk di Kabupaten Sangihe;
3. Gugusan Tagulandang dan Biaro (disingkat Sitaro), menunggu status otonom.
Ada 15 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu:
Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan,
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara,
Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa
Tenggara, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Sangihe, Kabupaten Sitaro,
Kabupaten Talaud, Kota Mubagu, Kota Bitung, Kota Manado, Kota Tumohon.
2
Perairan laut Provinsi Sulawesi Utara seluas 314.982 km mempunyai tingkat
produktifitas perikanan sebesar 8,84 ton per kilometer persegi per tahun atau 264.000 ton
per tahun. Disamping itu, terdapat budidaya perikanan yang mendukung potensi sektor
perikanan. Jenis ikan yang dikembangkan adalah ikan laut dan ikan tawar seperti:
kepiting, teripang, udang, cumi-cumi, bulu babi, ikan tuna, cakalang, kerapu, malalugis,
tongkol dan rumput laut.
Adapun lokasi ekosistem utama di Provinsi Sulawesi Utara dapat dijumpai pada:
1. Kawasan Pantai Selatan (KPS) yang meliputi wilayah perairan Minahasa.
2. Kawasan Pantai Utara ( KPU) yang meliputi wilayah perairan Minahasa Utara.
3. Kawasan perairan Selat Lembeh Kota Bitung (KPS Bitung).
4. Kawasan Perairan Sangihe termasuk Sitaro (KPS Sangihe).
5. Kawasan Perairan Talaud (KPT).

A.3 JAWA TIMUR


Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki kawasan laut hampir
empat kali luas daratannya dengan garis pantai kurang lebih 2.916 km. Subsektor
perikanan dapat dikelompokkan menjadi perikanan on-farm dan perikanan off-
farm. Perikanan on-farm terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat,
sedangkan perikanan off-farm terdiri dari pengolahan ikan. Perikanan on-farm
merupakan kegiatan produksi perikanan yang terdiri dari perikanan laut dan
perikanan darat. Perikanan laut meliputi budidaya laut, budidaya tambak dan
perikanan tangkap laut sedangkan perikanan darat meliputi penangkapan ikan
perairan umum, budidaya kolam, budidaya jaring apung, budidaya minapadi,
125

budidaya sawah tambak dan budidaya karamba. Pengolahan ikan merupakan


kegiatan pasca produksi yang meliputi pengalengan, pembekuan, penggaraman,
pemindangan, pengasapan, fermentasi, pereduksian dan pelumatan. Kegiatan
perikanan tangkap laut membutuhkan infrastruktur tempat pendaratan atau
pelabuhan perikanan guna mendukung kegiatan usaha perikanan tangkap.
Tipe pelabuhan paling besar yang ada di Jawa Timur adalah pelabuhan
tipe B atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN). PPN di Jawa Timur ada dua
yaitu PPN Brondong di Kabupaten Lamongan dan PPN Prigi di Kabupaten
Trenggalek. Sedangkan pelabuhan tipe C atau Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
di Jawa Timur berjumlah enam, yaitu: PPP Lekok di Kabupaten Pasuruan, PPP
Mayangan di Kota Probolinggo, PPP Muncar di Banyuwangi, PPP Paiton di
Kabupaten Probolinggo, PPP Pondokdadap di Kabupaten Malang serta PPP Puger
di Kabupaten Jember. Disamping itu juga terdapat Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI) yang tersebar di semua kota/kabupaten yang memiliki pesisir di Jawa
Timur. Jumlah PPI yang terdapat di Provinsi Jawa Timur berjumlah 87 PPI (KKP
2013).
Kegiatan perikanan tangkap laut di Jawa Timur dapat dibagi dalam dua
wilayah, yaitu pantai utara jawa dan pantai selatan jawa. Wilayah yang termasuk
pantai utara Jawa adalah Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik, Kota Surabaya,
Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Sidoarjo, Pasuruan, Kota
Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo dan Kabupaten Situbondo.
Wilayah pantai selatan Jawa meliputi Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang,
Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek dan Pacitan.
Jumlah alat tangkap di Jawa Timur sebanyak 171.502 unit yang terdiri dari
143.019 unit alat tangkap di laut dan 28.483 unit alat tangkap di perairan umum
daratan. Unit penangkapan ikan di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi
pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, alat
pengumpul kerang, alat pengumpul rumput laut dan lain-lain. Pukat kantong yang
ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi payang, dogol dan pukat pantai,
sedangkan jaring insang terbagi menjadi jaring insang hanyut, jaring insang
lingkar, jaring insang tetap dan jaring tiga lapis (trammel net). Jaring angkat yang
ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi bagan perahu/rakit, bagan tancap,
126

serok, dan jaring angkat lainnya. Pancing terbagi menjadi rawai hanyut lain selain
rawai tuna, rawai tetap, pancing tonda dan pancing lainnya, sedangkan perangkap
dibagi menjadi bubu dan perangkap lainnya. Alat pengumpul terbagi menjadi alat
pengumpul kerang. Alat tangkap lainnya terbagi menjadi jala, tombak dan
sebagainya. Jumlah nelayan di Jawa Timur mencapai 251.849 orang. Sebaran
nelayan di pantai utara Jawa Timur terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep
sebanyak 40,015 orang (18%), selanjutnya jumlah nelayan terbanyak di pantai
Selatan Jawa Timur adalah Kabupaten Banyuwangi sebanyak 25.598 orang atau
11% dari jumlah nelayan di Jawa Timur.
Kegiatan usaha on-farm perikanan selain perikanan tangkap adalah
perikanan budidaya yang meliputi tambak, laut, kolam, karamba, jaring apung,
sawah tambak dan minapadi. Kegiatan budidaya perikanan ditandai dengan
penebaran benih ikan yang dibudidayakan. Berdasarkan jenisnya, benih ikan
berasal dari air tawar dan air laut. Benih dari air tawar meliputi ikan tawes, ikan
mas, ikan mujair, ikan nila, ikan gurami, ikan lele, ikan patin, ikan hias air tawar,
katak, udang galah, dan lobster air tawar. Benih dari air payau yakni ikan kerapu,
ikan kakap, ikan bandeng, udang windu, udang vaname, udang putih, gracilaria,
dan rumput laut cottoni.
Jumlah terbanyak adalah pembudidaya kolam, diikuti pembudidaya laut
dan tambak. Jumlah pembudidaya terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep
sebesar 80.567 (29%) diikuti Lamongan sebesar 46.395 (16,9%). Luas areal lahan
yang paling besar digunakan untuk budidaya adalah budidaya laut dimana
Kabupaten Sumenep menjadi kabupaten dengan luas lahan budidaya laut terluas
di Jawa Timur yang mencapai 287.325 ha (99%). Jumlah produksi perikanan
budidaya Jawa Timur pada tahun 2012 mencapai 929.173,87 ton dengan
kontributor terbesar dari budidaya laut yang mencapai 563.087,4 ton (61%).
Usaha pasca panen atau off-farm perikanan memanfaatkan output perikanan
onfarm baik dari perikanan tangkap maupun budidaya. Usaha pengolahan ikan
terbanyak adalah penggaraman, pengasapan dan pemindangan. Berbagai usaha
pengolahan ikan tersebar hampir merata di seluruh wilayah Jawa Timur.
127

A.4 D.I YOGYAKARTA


Potensi Perikanan
Potensi sumber daya alamnya bervariasi, seperti pertanian, kehutanan,
kelautan, dan perikanan. Luas lahan sawah irigasi teknis seluas 18.506 ha, dan
non irigasi teknis 29.848 ha, sedangkan potensi dan pemanfaatan di bidang
kelautan dan perikanan terdiri dari perairan umum seluas 3.113,5 ha dengan
tingkat pemanfaatan 5,20 ha, tambak 650 ha dengan tingkat pemanfaatan 58 ha,
sawah sebesar 240 ha belum dimanfaatkan; kolam 4.630,2 ha dengan tingkat
pemanfaatan 915 ha, dan mina padi sebesar 10.265,6 ha dengan tingkat
pemanfaatan 1.233 ha.
Pada tahun 2007, produksi perikanan tangkap laut sebesar 2.629,0 ton (Bantul
245,1 ton; Gunung Kidul 1.957,4 ton; Kulon Progo 426,5 ton), sedangkan
produksi perikanan budidaya sebesar 11.949 ton terdiri dari:
 Tambak sebesar 300,5 ton (Gunung Kidul 26,2 ton; Bantul 243,8 ton; Kulon
Progo 30,5 ton)
 Kolam sebesar 11.410,4 ton (Gunung Kidul 305,3 ton; Bantul 976,7 ton;
Kulon Progo 2.255,3 ton; Sleman 7.847,7 ton; dan Yogyakarta 25,4 ton)
 Sawah 156,7 ton (Sleman 156,6 ton; dan Yogyakarta 0,1 ton)
 Keramba 47,1 ton (Gunung Kidul 0,9 ton; bantul 21,6 ton; Kulon Progo 2,5
ton; Sleman 17,5 ton; dan Yogyakarta 4,6 ton)
 Jaring Apung 146,9 ton (Gunung Kidul 0,5 ton; dan Kulon Progo 146,4 ton)
 Air payau sebesar 300,5 ton (bandeng 2 ton; udang windu 2,9 ton; dan udang
vanamae 295,6 ton).
 Ikan Hias air tawar sebesar 30.777.765 ekor (Bantul 22.613.000 ton; Kulon
Progo 285.537 ton; Sleman 7.818.000 ton; dan Yogyakarta 61.228 ton).

Rumah Tangga Nelayan & Pembudidaya Ikan


Profil rumah tangga perikanan menunjukkan bahwa tidak seluruh
kehidupannya bergantung pada sektor perikanan, hal ini dikarenakan bahwa rata-
rata persentase penghasilan rumah tangga dari usaha sektor perikanan terhadap
total penghasilan rumah tangga per bulan di Provinsi Yogyakarta sebesar 69,85%.
Dilihat dari sisi pendidikan tertinggi yang ditamatkan, maka pendidikan Sekolah
128

Dasar/Sederajat merupakan pendidikan yang paling banyak ditamatkan bagi


anggota rumah tangga, yaitu tercatat sebesar 29,39%. Pada tingkat pendidikan
tertinggi yang ditamatkan untuk SMP/sederajat sebesar 16,36%. Kemudian untuk
pendidikan SMA/sederajat dan Perguruan Tinggi, masing-masing sebesar 19,39%
dan 3,94%. Persentase anggota rumah tangga yang berumur 10 tahun ke atas
sebesar 81,43%, diantaranya yang berusaha di sektor perikanan selama setahun
yang lalu adalah sebesar 44,66%.

Usaha Penangkapan
Nelayan di Provinsi Yogyakarta lebih banyak yang berusaha secara
berkelompok dibandingkan dengan perseorangan, masing-masing sebesar 56,86%
dan 43,14%. Walaupun kebanyakan nelayan melakukan usaha penangkapan
secara berkelompok, namun jenis perahu/kapal yang digunakan oleh nelayan
adalah kapal motor tempel (39,22%) dan motor (17,65%). Alat tangkap utama
yang digunakan paling banyak adalah jaring insang (80,00%) disusul jaring
angkat (20,00%). Untuk lokasi pembongkaran hasil tangkapan adalah sepenuhnya
di darat yaitu 100%. Dari hasil tangkapan tersebut, seluruhnya dijual di lokasi
setempat (daerah asal) tidak keluar ke kabupaten/kota, dengan menggunakan alat
pengangkut seluruhnya menggunakan tenaga manusia. Hasil tangkapan tersebut
dijual paling banyak di TPI/PPI/PP (98,00%), restoran/rumah makan (2,00%).
Pada umumnya hasil tangkapan tersebut dijual dalam keadaan segar yaitu sebesar
98,00%, dan dalam keadaan hidup sebesar 2,00%.

Usaha Pembudidayaan Ikan


Dalam usaha pembudidayaan ikan, modal awal yang paling banyak
digunakan adalah dari modal sendiri sebesar 82,50%, koperasi sebesar 5,00%, dan
lainnya 12,50%. Usaha tersebut pada umumnya dilakukan secara perorangan
sebesar 97,44% dengan jenis usaha pembenihan sebesar 53,85% dan pembesaran
sebesar 43,59%, sedangkan yang dilakukan secara berkelompok sebesar 2,56%
yang merupakan juga usaha pembenihan. Dari usaha pembenihan, wadah/tempat
yang paling banyak digunakan adalah kolam sebesar 41,03%, disusul sawah
129

sebesar 15,38%. Sedangkan untuk usaha pembesaran, wadah/tempat yang paling


banyak adalah kolam sebesar 33,33%, disusul sawah 10,26%.
Dari status lahan yang dimiliki berkaitan dengan wadah/tempat yang
digunakan, maka status kepemilikan milik sendiri/bebas sewa menempati urutan
tertinggi yaitu sebesar 40,00% dengan wadah/tempat yang digunakan adalah
kolam sebesar 30,00 persen, dan sawah 10,00%, status lahan lainnya adalah sewa,
dan bagi hasil masing-masing 37,50%, dan 2,50%.
Dalam keikutsertaan di kelembagaan koperasi, sebagian besar rumah
tangga usaha pembudidayaan ikan telah menjadi anggota koperasi, hal ini tercatat
sebesar 57,50%, penyebabnya terutama dikarenakan tidak adanya koperasi di desa
mereka, lokasi koperasi yang sulit dijangkau, tidak berminat, ada koprasi tetapi
tidak aktif.
Hasil produksi ikan di Provinsi D.I Yogyakarta sebagian besar dijual
kepada pedagang/pasar sebesar 52,50%, sedangkan sisanya dijual ke koperasi,
pembudidaya masing-masing sebesar 12,50%, ke juragan/bakul sebesar 7,50%,
dan konsumen/rumah tangga sebesar 2,50%. Dalam pemasaran hasil produksi,
para pembudidaya ikan tidak mengalami kesulitan karena para pembeli
kebanyakan mendatangi, tetapi mengalami kesulitan pemasaran apabila hasil
produksinya melimpah atau kwalitas buruk. Sedangkan cara pembayaran hasil
penjualan pada umumnya dilakukan secara kontan.
130

B. STATISTIK PERIKANAN
B1. PRODUKSI PERIKANAN

1600000
1400000
1200000
Produksi (ton)

1000000
Sumut
800000
Yogyakarta
600000
Jatim
400000
Sulut
200000
0
2010 2011 2012Tahun2013 2014

B2. JUMLAH SERTIFIKAT KELAYAKAN PENGOLAHAN (SKP)


200
180
160
140
SKP (unit)

120 Sumut
100
Yogyakarta
80
60 Jatim
40 Sulut
20
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tahun

B3. JUMLAH UPI YANG BERSERTIFIKAT SKP


120

100

80
Jumlah UPI

60 Sumut

40 Yogyakarta
Jatim
20 Sulut
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tahun
131

B4. ANALISIS NILAI LOCATION QUETIONS (LQ) DAN SHIFT SHARE


ANALYSIS (SSA)

Analisis LQ
Penggunaan analisis metode LQ, kita dapat mengamati keunggulan-
keunggulan kompetitif suatu wilayah terhadap wilayah sekitarnya. Nilai LQ yang
lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa sektor/sub sektor ini lebih unggul
dibandingkan dengan sektor/sub sektor yang sama di wilayah lainnya. Sebaliknya,
nilai LQ yang kurang dari 1 berarti bahwa sektor/sub sektor yang diamati tidak
kompetitif. Analisis LQ provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara
dan Yogyakarta berdasarkan perkembangan PDRB provinsi dibandingkan PDRB
nasional pada tahun 2010-2014. Perkembangan nilai LQ lokus 4 provinsi pada
tahun 2010-2014 dapat dilihat pada Gambar 1.

4,00 3,66
3,50
Location Question (LQ)

3,00
2,50
2,00
1,50 1,21
1,06
Rata-rata
1,00
2010-2014
0,50 0,19
0,00
Jawa Timur Sulawesi Sumatera Yogyakarta
Utara Utara
Provinsi

Gambar 1 Nilai LQ Lokus Pilihan


Berdasarkan nilai LQ produktivitas perikanan rata-rata pada tahun 2010-
2014 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Utara, sumatera Utara
tergolong sektor perikanan basis (LQ>1), artinya provinsi tersebut memiliki
potensi menjadi sector basis unggulan dalam peningkatan perekonomian wilayah,
sedangkan provinsi Yogyakarta sektor perikanan tergolong non basis (LQ<1).
Solusi yang ditawarkan dalam pengembangan sector perikanan agar menjadi basis
local adalah dengan peningkatan inovasi pengembangan produk dan arah
pembangunan perikanan sebaiknya diutamakan pada usaha peningkatan nilai
132

tambah perikanan dengan meningkatkan produktivitas usaha pengolahan ikan


sehingga mampu menarik atau memanfaatkan output subsektor perikanan laut dan
darat. Prioritas wilayah pengembangan perikanan hendaknya memperhatikan
aspek keunggulan kompetitif dan spesialisasi perikanan suatu daerah dan unsur
pemerataan pengembangan ekonomi di wilayah.

Analisis SSA

Analisis keunggulan kompetitif wilayah dilakukan dengan tujuan untuk


mengetahui pergeseran struktur ekonomi dari suatu sektor dibandingkan dengan
cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pergeseran struktur
ekonomi tersebut dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness)
dari suatu sektor ekonomi serta menjelaskan kinerja sektor tersebut. Hasil analisis
SSA Provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Yogyakarta dapat
dilihat pada Gambar 3. Hasil Analisis menunjukkan bahwa struktur ekonomi ke-
empat provinsi tersebut mengalami perkembangan.

1,00
0,87
0,90 0,82 0,79
0,80
0,70 0,64
Nilai SSA

0,60
0,50
0,40
0,30 Nilai SSA
0,20 2010-2014
0,10
0,00
Jawa Timur Sulawesi Sumatera Yogyakarta
Utara Utara
Provinsi

Gambar 3 Hasil analisis Shift Share


Direktorat Kelautan dan Perikanan
Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS

Gedung TS2A Lantai 5


Jl. Taman Suropati No.2, Jakarta 10310
Telepon/Fax: 021-3107960; Email: kelautan@support.bappenas.go.id

Anda mungkin juga menyukai