Anda di halaman 1dari 34

Masyarakat dalam Perspektif Ibnu Khaldun

Oleh : Khoirul Umam

Abstrak
Masyarakat menurut Ibnu Khaldun merupakan sekumpulan
manusia yang berkontribusi dalam menjalankan aktivitasnya sebagai
penggerak di muka bumi. Fitrah manusia yang paling dasar adalah
membentuk sebuah perkumpulan untuk saling membutuhkan satu sama
lain dan kuat dalam menghadapi kehidupan, yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap kejahatan dan penjajahan yang
dilakukan oleh sekelompok orang.
Ibnu Khaldun membagi masyarakat ke dalam dua jenis, yaitu
masyarakat Badui, yang memiliki watak keras dan memiliki rasa
solidaritas yang tinggi terhadap anggota keluarga, kelompok, dan
golongannya, dan masyarakat kota, yang memiliki sifat menetap, tidak
berpindah-pindah, dan malas.
Tulisan ini berusaha menggali pokok persoalan sekitar latar
belakang kehidupan Ibnu Khaldun, pandangannya tentang konsep
masyarakat, serta hubungan agama dan negara dalam masyarakat. Studi
ini bertujuan untuk mengetahui konsep pemikiran Ibnu Khaldun,
pandangannya tentang konsep masyarakat serta hubungan agama dan
negara dalam masyarakat.
Penulisan ini menggunakan metode kualitatif deskriftif dengan
mencoba memecahkan sebuah permasalahan yang masih belum jelas,
bersifat sementara, bahkan cenderung dinamis. Terkait dengan
pengumpulan data, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library
reseach), yaitu mengumpulkan data-data yang berkaitan langsung dengan
judul yang penulis bahas, baik berupa buku ilmiah maupun yang lainnya.
Studi ini memperoleh kesimpulan bahwa masyarakat dalam
perspektif Ibnu Khaldun merupakan sekumpulan manusia yang
berkontribusi dalam menjalankan aktivitasnya sebagai penggerak di muka
bumi. Ibnu Khaldun membagi masyarakat ke dalam dua bagian inti.
Pertama, masyarakat Badui Kedua, masyarakat kota, yang memiliki sifat
malas, menetap, berkembang. Di antara kedua masyarakat tersebut sering
terjadi konflik yang diakibatkan adanya rasa solidaritas, faktor ekonomi,
dan faktor politik.

255
Biografi Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun lahir tanggal 10 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M.
Ia termasuk salah seorang ulama keturunan Andalusia yang hijrah ke
Tunisia pada pertengahan abad ke-7 H. Nama lengkapnya ialah
Waliyuddin Abdurrahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Abdurrahman Ibn Khaldun. Nama kecilnya adalah Abdurrahman,
sedangkan Zaid adalah nama panggilan dari keluarga, karena dihubungkan
dengan anaknya yang sulung. Nama Waliyuddin adalah gelar kehormatan
dan kebesaran yang dianugerahkan oleh raja Mesir sewaktu ia diangkat
menjadi ketua pengadilan di Kairo Mesir.1
Pendidikan yang diberikan kakeknya kepada Ibnu Khaldun pada
saat kecil tidak lepas dari lingkungan yang sangat dipengaruhi budaya
tradisional. Kakeknya adalah salah seorang menteri dalam istana
Hafshiyyah di Tunisia, dan ayahnya meskipun tidak menjadi seorang
sarjana sudah paham betul kondisi kehidupan masa itu. Pendidikan
intelektual Ibnu Khaldun sudah dimulai pada saat kecil meskipun hanya
belajar kepada orang tuanya. Pendidikan Ibnu Khaldun yang sesungguhnya
dimulai ketika banyak sarjana yang datang ke tempat kelahirannya pada
masa kesultanan Mariniyah yang dipimpin oleh Abu Intan dari Fez.2
Ibnu Khaldun memiliki peluang yang luas untuk berkiprah di
bidang politik, namun pengalaman pahitnya di bidang ini membuat ia
kemudian memilih ilmu pengetahuan sebagai wilayah hidupnya. Ibnu
Khaldun kemudian bertolak ke daerah Banu Arif 3 bersama keluarganya,
dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup
tenang yang jauh dari kemunafikan politik. Di sinilah beliau menyusun
karyanya yang kemudian dikenal dengan Muqaddimah dan al ‘Ibar. Dari
sini kemudian ia pindah ke Tunisa.4

1
Muhammad Abdullah Enan, Ibnu Khaldun: His Life and Work, (New
Delhi: Bhavan, 1979), terj. Machnun Husein, p.14.
2
Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, (Bandung:
Mizan Media Utama, 2003), p.441.
3
Banu Arif adalah daerah kecil yang berada di Bougie pada masa
pemerintahan Dinasti Hafsiyyah. (http://id.m.wikipwdia.org/wiki/banu-arif).
4
Muhammad Iqbal dan A. Husein Nasution, Pemikiran Politik…, p.45.

256
Dari Tunisia beliau pindah ke Mesir, mengajar di Universitas
Al-Azhar, Kairo. Kuliahnya sangat diminati oleh mahasiswa karena
mereka ingin mengetahui secara langsung kedalaman ilmu pengetahuan
Ibnu Khaldun. Selama dua tahun di Mesir, Ibnu Khaldun diangkat menjadi
hakim. Kemudian karena pengaruhnya yang dalam, Ibnu Khaldun difitnah
oleh orang-orang yang tidak menyukainya dan diturunkan oleh Sultan dari
jabatannya sebagai hakim. Meskipun demikian ia tetap mengajar kuliahnya
di perguruan tinggi. Ibnu Khaldun wafat di Kairo, Mesir pada 26
Ramadhan 808 H/16 Maret 1406 M di Mesir.5

Pemikiran Ibnu Khaldun


Karya Ibnu Khaldun yang disebut sebagai magnum opus diakui
dan menjadi rujukan untuk memecahkan sebuah permasalahan sosial oleh
orang-orang Barat. Hal ini dikatakan oleh seorang ahli sejarah kebangsaan
Inggris yang terkemuka bernama Arnold Toynbee, seperti dikutip oleh
Izum Farihah:
“Ibnu Khadun telah menciptakan dan merumuskan sebuah
filosofi sejarah yang tidak dapat diragukan lagi, dan telah
menciptakan karya terbesar dalam sejarah”.6
Secara umum, sejarah yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun lebih
kepada peradaban hidup manusia, menceritakan masa kehidupannya, dan
menjelaskan kehidupan masyarakat Badui dan masyarakat kota.
Di bidang sosial, Ibnu Khaldun dianggap sebagai peletak dasar
ilmu-ilmu sosial. Namanya tidak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga
dikalangan non-Islam. Ibnu Khaldun dikenal karena pemikirannya, baik itu
tentang politik, sosiologi, fiqih ataupun bidang ilmu lainnya. Ibnu Khaldun
menganalisis apa yang disebut dengan gejala sosial dengan metode-
metodenya yang masuk akal yang dapat dilihat bahwa ia menguasai akan
gejala-gejala sosial tersebut. Sebagaimana yang telah disaksikan oleh Frans
Rosental, Ibnu Khaldun memberikan kontribusi kepada pemikiran manusia,

5
Muhammad Iqbal dan A. Husein Nasution, Pemikiran Politik…, p.46.
6
A.L. Tibawi, Islamic Education “Its Traditions and Modernization into the
Arab National System”, (London: Great Russel Street, 1979), p.42.

257
yang dipusatkan pada soal-soal kemanusiaan, yang mencakup pada aspek
fisik dan sosial.7
Kelebihan Ibnu Khaldun apabila dibandingkan dengan ulama
pemikir politik Klasik dan politik Pertengahan, Ibnu Khaldun dapat
dikatakan sebagai tokoh yang paling banyak berkecimpung dalam dunia
politik praktis. Politik yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun sebenarnya untuk
memperbaiki kehidupan masyarakat yang penuh dengan perpecahan. 8
Erwin Isak Jakob Rosenthal, seorang pakar politik yang berasal
dari Cambridge, Inggris dan yang telah menerjemahkan buku Muqaddimah
mengatakan:
“Keseluruhan politik Ibnu Khaldun berbasis pada pembedaan yang
fundamental antara kehidupan badawa (kehidupan nomaden) dan hadhara
(kehidupan kota yang secara bertahap mengalami perkembangan menuju
bentuk yang mapan dalam sebuah peradaban). 9 Penting dicatat bahwa
teorinya ini bersandar pada bacaannya tentang dinasti Murabithun dan
Muwahhidun di Afrika Utara yang mengalami transisi dari kehidupan
pedesaan menjadi kehidupan perkotaan yang didirikan secara bertahap
melalui pengembangan kekuasaan politik”.10
Dalam karya pertamanya, Muqoddimah, Ibnu Khaldun
menyebutkan ada empat yang menegaskan perbedan antara manusia
dengan makhluk lainnya. Manusia adalah makhluk berfikir yang
dengannya menghasilkan ilmu pengetahuan, manusia adalah makhluk
berpolitik yang dengannya memerlukan peraturan dan pengendalian oleh
kekuasaan, manusia adalah makhluk ekonomi yang ingin mencari
penghidupan dengan berbagai cara dan profesi, dan manusia adalah
makhluk berperadaban yang dengannya mengetahui aspek kehidupan
sejarah.11
Berdasarkan karakteristik tadi, Ibnu Khaldun menyatakan
bahwa organisasi kemasyarakatan adalah suatu keharusan dalam kehidupan

7
Izum Farihah, Agama menurut Ibnu Khaldun, (Kudus: STAIN Kudus,
2014), p.195.
8
Muhammad Iqbal dan A. Husein Nasution, Pemikiran Politik…, p.40.
9
Badawa dan Hadhara merupakan bahasa Cambridge, Inggris.
10
Erwin I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, (Inggris:
Cambridge University Press, 1962), p.90.
11
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.31.

258
manusia. Kodrat manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
secara sendirian, ia membutuhkan orang lain untuk menemaninya. Tanpa
kehidupan organisasi masyarakat, eksistensi manusia tidak akan sempurna,
dan disinilah lahir sebuah peradaban manusia. Ketika manusia sudah
mencapai organisasi sosial yang tinggi dengan kesadaran dan keharusan
yang ada pada dirinya, maka mereka membutuhkan seseorang yang akan
melaksanakan kewibawaan dan memelihara mereka dari berbagai jenis
permusuhan antar sesama manusia.12
Dalam permasalahan tersebut di atas, Ibnu Khaldun
mengungkapkan cara menyikapinya, yaitu dengan dibentuknya pemimpin
atau raja dalam organisasi tersebut untuk mengatur kehidupan mereka.
Tentunya kerajaan hanya bisa ditegakkan atas bantuan dan solidaritas
rakyat. Kedudukan sebagai raja adalah suatu kedudukan yang terhormat
dan diperebutkan oleh semua manusia. Ini didasarkan kepada ambisi dan
kodrat manusia yang ingin memiliki kebahagiaan dan penghormatan, serta
tidak dapat dipengaruhi oleh orang lain. Melihat ambisi dan keinginan dari
manusia tersebut, Ibnu Khaldun memberikan beberapa kualifikasi orang
yang akan menjabat sebagai raja atau pemimpin. Pertama, memiliki
pengetahuan yang luas tentang kepemimpinan. Kedua, adil, seorang raja
atau pemimpin harus bersikap adil terhadap rakyatnya, karena ini
merupakan tuntunan abadi dan semangat syariat. Ketiga, memiliki skill
dalam mengelola pemerintahan. Keempat, sehat badani dan jasmani.
Kelima, keturunan Quraisy, menurut Ibnu Khaldun suku Quraisy
merupakan suku yang sangat kuat dan disegani13. Alasan ini dimaksudkan
untuk melenyapkan perpecahan dikalangan suku-suku lain.14
Mengenai pemikiran politik Ibnu Khaldun, M. Iqbal dan A.H.
Nasution mengungkapkan catatan yang layak dikemukakan kepada semua
orang. Pertama, Ibnu Khaldun lebih banyak mendasarkan teori politiknya
pada pengalaman dan kiprah politik yang pernah dijalaninya ketika berada
di Andalusia, Maroko, Afrika, dan Mesir. Ini merupakan kelebihan

12
Muhammad Iqbal dan A. Husein Nasution, Pemikiran Politik…, p.48.
13
Salah satu contohnya yaitu pada perang Yarmuk, umat Islam berhasil
mengalahkan tentara Persia yang jumlahnya lebih banyak yaitu berjumlah 120.000 orang,
sementara umat Islam hanya berjumlah 30.000 orang. Lihat Ibnu Khaldun,
Muqoddimah..., p.193.
14
Muhammad Iqbal dan A. Husein Nasution, Pemikiran Politik…, p.49.

259
tersendiri bagi Ibnu Khaldun dibandingkan dengan pemikir politik lainnya
di abab pertengahan maupun klasik. Kedua, Ibnu Khaldun
mengembangkan teori ashabiyah yang dianggap sebagai sisa-sisa tradisi
Jahiliyah. Ketiga, Ibnu Khaldun juga berani keluar dari frame doktrin
Sunni yang mensyaratkan orang Quraisy sebagai pemegang puncak
pemerintahan dalam sebuah kenegaraan.15
Di bidang ekonomi, beliau termasuk salah satu dari ilmuan
terkemuka. Beliau membagi teori ekonominya ke dalam beberapa bagian,
di antaranya:
1. Teori tentang Harga
Kondisi pasar yang semakin hari semakin ramai, membuat
pertumbuhan ekonomi begitu cepat dan pesat. Setiap pedagang
tentunya mempunyai prinsip dan cara yang berbeda dalam menjual dan
mengatur harga barang di pasaran. Tingkat keuntungan yang wajar
akan mendorong tumbuhnya perdagangan, dan tingkat keuntungan
yang rendah akan menghambat tumbuhnya perdagangan dan akan
membuat hancur harga pasaran, bahkan bisa mengakibatkan
kebangkrutan setiap pedagang. Kerendahan harga yang melampaui
batas akan membuat kemerosotan harga dari produk pertanian. Jika
masalah ini tetap berlanjut maka akan mengakibatkan kemiskinan para
penyedia barang (dalam hal ini petani).16
2. Teori tentang Mata Uang
Barang-barang yang dijual dipasaran tentunya membutuhkan
uang sebagai alat tukar yang digunakan antara penjual dan pembeli.
Selain itu, petugas pembawa atau biasa disebut dengan pekerja
dipasaran, mereka membutuhkan bayaran atas apa yang telah mereka
lakukan (pekerjaan jasa). Oleh karenanya, fungsi uang dalam hal ini
adalah sebagai alat penukaran barang dan jasa, serta sumber kekayaan
setiap manusia dan negara. Tingkat kekayaan manusia dan negara tidak
ditentukan dari banyaknya uang, melainkan ditentukan oleh tingkat
produksi dari suatu negara.17

15
Muhammad Iqbal dan A. Husein Nasution, Pemikiran Politik…, p.53.
16
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.450.
17
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.449.

260
Di bidang sains, kiprah Ibnu Khaldun tidak diragukan teruma di
bidang sains sosial. Menurutnya yang membedakan manusia dari makhluk
yang lain khususnya yang ada di muka bumi adalah kemampuan berpikir.18
Seseorang yang tabiatnya merindukan ilmu pengetahuan, tetapi ia
dibesarkan di desa atau kota yang tidak berperadaban maju, maka ia tidak
akan menemukan pengajaran yang bersifat industri dan maju, karena tidak
adanya alat industri untuk kemajuannya. Ilmu yang dipelajari manusia
terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu ilmu pengetahuan yang alami dalam
diri manusia yang hanya didapat dari hasil berpikir dan indra yang
dimilikinya, dan ilmu pengetahuan yang bersifat tradisional yang didapat
dari berita atau informasi dari orang lain (disini tidak ada tempat bagi akal).
Sumber ilmu pengetahuan ini, keseluruhannya ditentukan oleh syariat-
syariat dari kitab suci dan sunnah yang telah ditetapkan kepada kita oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya.19
Berfikir merupakan penjamahan bayang-bayang dibalik
perasaan, dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat analisa dan sintesa
yang dilakukan. Menurut Ibnu Khaldun, kesanggupan berfikir dibagi
kedalam tiga tingkatan. Pertama, adalah pemahaman intelektual manusia
terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta. Kedua, adalah
pikiran yang melengkapi manusia dengan ide-ide dan prilaku yang
dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang atasan atau bawahannya
dan mengatur mereka. Ketiga, adalah pikiran yang melengkapi manusia
dengan pengetahuan mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi
indra tanpa tindakan praktis yang mengertinya.20
Dalam pembahasan ilmu rasional, Ibnu Khaldun berpendapat
bahwa pengkajian ilmu rasional dapat dikategorikan ke dalam beberapa
cabang. Pertama, cabang logika, merupakan ilmu yang menjaga pikiran
dan kesalahan dalam menyimpulkan pencairan-pencairan yang belum
diketahui. Kedua, ilmu metafisika, merupakan pengkajian terhadap
ketuhanan. Ketiga, ilmu alam, merupakan pengkajian terhadap materi-
materi yang ada di alam semesta. Keempat, ilmu ukur, ilmu ini mencakup
empat ilmu pengetahuan, diantaranya: ilmu ukur yang berupa pengkajian
18
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Muslim, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 2007), p.197.
19
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual…, p.199.
20
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual…, p.522.

261
ukur secara umum seperti ruang permukaan dan dimensi, ilmu aritmatika
(ilmu hitung), ilmu musik, dan ilmu astronomi.21

Kalam
Selanjutnya tentang kalam, menurutnya kalam adalah ilmu yang
mencakup argumentasi untuk akidah-akidah keimanan dengan
menggunakan dalil-dalil rasional dan dalil-dalil yang telah Allah SWT
tentukan. 22 Inti dari akidah adalah tauhid kepada Allah SWT dan
mengesakannya. Sementra itu dari kalangan ahli kalam, sebut saja aliran
Asy’ariah, mereka mengatakan bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat
seperti halnya manusia, namun sifat Tuhan tidak seperti sifat yang ada pada
manusia umumnya. 23 Dalam kejadian di alam semesta ini tentunya ada
sebab-sebab yang dilakukan oleh Allah SWT. Ibnu Khaldun mengatakan,
setiap kejadian di alam semesta, baik berupa zat-zat ataupun yang berupa
tingkah laku manusia, mestilah ada sebab-sebab yang mendahuluinya, yang
dengannya kejadian tersebut dapat berlangsung secara sempurna. Kejadian
inilah yang disebut dengan qodho dan qodhar Allah SWT.

Hakikat Masyarakat
Salah satu konsep sentral diskusi Ibnu Khaldun dalam karyanya
Muqaddimah adalah konsep tentang masyarakat. Kontribusi Ibnu Khaldun
dalam membuat konsep masyarakat mendapat pujian dari banyak pihak,
khususnya kaum Khaldunian. Diskusi Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah
menjadi rujukan bagi setiap pemikir dan akademisi, khususnya dalam
bidang sosiologi. Pada diskusi ini penulis akan mencoba memberikan
gambaran tentang konsep masyarakat yang telah didiskusikan oleh Ibnu
Khaldun, dan akan menjadi tema pembahasan dalam bab ini.
Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat atau berpolitik,
dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah “alinsu hayawan madani, dan
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “man is a political creature”.
Pernyataan tersebut menjadi jembatan bagi setiap manusia untuk

21
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual…, p.199.
22
Abdul Razak dan Rasihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia,
2012), p.21.
23
Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiqub al-
Juz’ al-Suni, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), terj. Yudian Wahyudi Asmin. p.68.

262
mendorong dirinya mengikuti kehidupan bermasyarakat, ditambah dengan
adanya kebutuhan setiap manusia dalam melangsungkan kehidupannya.
Setiap manusia yang sudah terbangun rasa solidaritasnya akan lebih
mementingkan manusia yang lain dari pada dirinya. Tidak bisa dipungkiri,
bahwa naluri manusia adalah ingin melakukan yang terbaik untuk dirinya
dan orang lain. Melakukan kebaikan terhadap orang lain, selain bertujuan
membangun rasa solidaritas tapi juga ingin mengharap kebaikan dari
Tuhannya dan manusia itu sendiri.24
Hidup manusia sehari-hari tidak lepas dari bantuan dan
pertolongan orang lain, baik itu disadari atau tidak. Secara tidak sadar
setiap manusia selalu berada dalam ruang lingkup kelompok dan golongan,
atau biasa kita sebut dengan masyarakat. Masyarakat memiliki peranan
penting untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat, sejahtera, damai,
dan lain-lain bagi manusia yang berada dalam lingkungannya. Kehidupan
masyarakat Islam yang dibangun oleh Rasulullah SAW di Mekah dan
Madinah sampai Era Modern sekarang ini tentunya banyak memberikan
perubahan, baik secara ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun memberikan gambaran tentang konsep
masyarakat pada saat itu, yaitu pada masyarakat Arab Badui dan Arab kota.
Ibnu Khaldun, sebagai seorang ahli sosiologi, mengungkapkan
pendapatnya tentang masyarakat. Menurutnya masyarakat merupakan
sekumpulan manusia yang berkontribusi dalam menjalankan aktivitasnya
sebagai penggerak di muka bumi. Manusia yang bermasyarakat
mempunyai peranan penting dalam mendirikan dan mengakumulasikannya
menjadi sebuah bangsa atau negara. Fitrah manusia yang paling dasar
adalah membentuk sebuah perkumpulan untuk saling membutuhkan satu
sama lain dan kuat dalam menghadapi kehidupan yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap kejahatan dan penjajahan yang
dilakukan oleh sekelompok orang.25
Masyarakat merupakan tempat beradu kegiatan, baik kegiatan
politik, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Semua orang tentu
membutuhkan dan tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Dalam

24
Louise Marlow, Hierarchy and Egalitarianism…, p.60.
25
Ibnu Khaldun, Muqoddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), terj.
Ahmadie Thaha, p.180.

263
masyarakat, setiap orang mengikuti intruksi dan perintah dari pemimpin
dan rajanya. Oleh karenanya, peran penting dari pemimpin masyarakat
sangat dibituhkan oleh rakyatnya.26 Setiap anggota masyarakat mempunyai
kewajiban yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan hidupnya
di masyarakat. Kitab suci dan sunah rasul, menurut Ibnu Khaldun
merupakan kekuatan yang paling mulia dalam pengajaran terhadap
peradaban masyarakat.
Masyarakat menjadi objek dari berbagai kehidupan, khususnya
dalam bidang ilmu pengetahuan. Berbagai argumentasi yang dilakukan
oleh orang-orang yang ada dalam masyarakat menentukan adanya
keberlangsungan popularitas dari semua orang. Watak benar atau salah,
baik atau buruk, positif atau negatif, semuanya tercermin dalam
masyarakat. Yang mejadi jembatan antara kedua watak tersebut adalah
moral dalam setiap individu. 27 Peradaban manusia dalam masyarakat,
tentunya didorong dengan kondisi geografis. Kondisi ini dapat
membedakan berbagai kehidupan manusia dalam masyarakat. Masyarakat
yang hidup di suhu yang panas secara pola pikir dan perlakuan berbeda
dengan masyarakat hidup di suhu yang dingin.28
Sebagai bentuk contoh dari pembahasan di atas, Ibnu Khaldun
dalam karya pertamanya Muqaddimah menjelaskan permasalahan yang
diambilnya dari masyarakat Badui, yang memiliki watak liar. Orang-orang
Badui yang nampak sebagai tukang-tukang rampok dan sering
menimbulkan kekacauan dan kehancuran. Mereka merampok apa saja yang
dapat mereka rampok tanpa perkelahian ataupun terjun ke dalam bahaya.
Mereka tidak pernah berperang atau menyerang terlebih dahulu kecuali
dalam keadaan terpaksa. Ini membuktikan bahwa manusia cenderung untuk
menggapai kebahagiaan melalui organisasi atau kelompok yang disebut
dengan masyarakat.29
Al-Farabi (257-339 H/870-950 M) yang dikutip dari Louise
Marlow: “alamiah” dipergunakan bagi manusia untuk hidup berdampingan
dengan orang lain. Manusia harus memaksakan dirinya untuk hidup

26
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.47.
27
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.67.
28
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.83.
29
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.180.

264
bermasyarakat, karena jika hidup sendirian manusia tidak akan
menyediakan dan tidak ada yang menyediakan seluruh kebutuhannya yang
kompleks. Dia juga tidak mempunyai kesempatan waktu luang untuk
memenuhi kebutuhan pendukungnya. Semua waktu dan kesempatan
digunakan untuk kemampuannya menyediakan makanan, pakaian, dan
tempat tinggalnya sendiri dalam melangsungkan hidup di alam semesta ini.
Untuk memenuhi ketiga kebutuhan primer tersebut dibutuhkan berbagai
proses yang sangat panjang jika pekerjaannya dilakukan hanya sendiri.
Oleh karena itu, setiap manusia wajib menjalin hubungan kerjasama
dengan manusia yang lain dengan tujuan adanya kemudahan bagi setiap
manusia dalam melakukan kegiatan.30
Dalam kehidupan masyarakat, semua manusia menurut Al-
Farabi, yang dikutip oleh Louise Marlow, membutuhkan kebahagiaan. Al-
Farabi menerangkan ada dua tingkatan kebahagiaan, yaitu kebahagiaan
dunia (al-as’adah al-dunya) dan kebahagiaan akhirat (al-sa’adah al-
quswa). Kedua tingkatan kebahagiaan tersebut tidak akan tercapai jika
setiap manusia tidak menyadari betapa pentingnya kehidupan
bermasyarakat. Hanya menyadari pentingnya bermasyarakat saja tidak
cukup, tapi setiap manusia harus terjun langsung mengikuti proses
kehidupan dalam masyarakat. Kondisi tempat tinggal pun mempengaruhi
rasa bahagia bagi setiap manusia, dan agar manusia mendapatkan
kebahagiaan yang sempurna, maka haruslah hidup di dalam tempat tinggal
terbaik, dibawah bimbingan orang-orang terbaik, terpelajar dan unggul dari
segi keilmuan.31
Menarik untuk diperhatikan, pendapat antar ilmuan Islam
khususnya tentang masyarakat masing-masing berbeda. Ibnu Sina (370-428
H/980-1037 M) tidak seperti Al-Farabi dalam mendeskripsikan
masyarakat. Menurutnya, saling berbagi barang kebutuhan dalam
kehidupan masyarakat di antara manusia hanya dapat dilaksanakan melalui
transaksi sosial (mu’amalah) antar manusia. Untuk itu dibutuhkan hukum
(sunnah) dan keadilan (adl) setiap kejadian. Pemikiran seperti ini juga
dianut oleh seorang filosof Islam dari Andalusia, Ibnu Bajjah, yang

30
Louise Marlow, Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought,
(Bandung: Mizan, 1999), terj. Nina Nurmila, p.60.
31
Louise Marlow, Hierarchy and Egalitarianism…, p.61.

265
meninggal pada tahun 553 H/1138 M. Ibnu Bajjah berpendapat bahwa
pemerintah bertanggung jawab memberikan tugas kepada masyarakat
untuk memastikan bahwa setiap masyarakat mengerjakan tugasnya dengan
baik sesuai dengan apa yang dapat dikerjakan. Pemimpin dalam sebuah
pemerintahan tentu mempunyai kewajiban tertentu yang berdampak baik
kepada rakyatnya. Orang-orang yang hidup dalam rumpun masyarakat
memercayakan jaminan kehidupan mereka kepada seorang pemimpin.
Oleh karenanya, mereka menganggap bahwa kepemimpinan dan kerajaan
dalam suatu masyarakat adalah wajib atas dasar ijtihad para ulama. 32
Kemaslahatan dalam masyarakat adalah keharusan bagi orang-orang yang
ada di dalamnya, sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan adalah
sebuah kepemimpinan.33
Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam al-Quran:
َّ ْۚ ُ َ ۡ َ َّ َ‫ارفُ َٰٓو ْۚا إ َّن أ َ ۡك َر َم ُك ۡم عند‬
َّ ‫ٱّلل أتقىك ۡم إن‬
َ‫ٱّلل‬ َ َ‫شعُوبٗ ا َوقَبَآَٰئ َل لتَع‬ ُ َّ‫َٰٓيَأَيُّ َها ٱلن‬
ُ ‫اس إنَّا َخلَ ۡقنَ ُكم من ذَك َٖر َوأُنثَى َو َجعَ ۡلنَ ُك ۡم‬
١٣ ‫ير‬ٞ ‫َعلي ٌم خَب‬
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah SWT
ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. (QS. al-Hujurat: 13)34
Dari ayat di atas, dapat kita pelajari tentang contoh kehidupan
manusia dalam bermayarakat. Salah satu contohnya, setiap masyarakat
pasti memiliki bahasa yang berbeda dengan masyarakat lain. Kemungkinan
besar pada awalnya yang disampaikan dalam bahasa tersebut berbentuk
lisan dan dilakukan secara spontan, dan selanjutnya menjadi karakteristik
dari masyarakat tersebut. Sha’sha’a ibn Shuhan yang wafat pada tahun 60
H/680 M, seperti dikutip oleh Louise Marlow, memberikan gambaran atas

Louise Marlow, Hierarchy and Egalitarianism…, p.61.


32
33
Muhammad Iqbal dan A. Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2010), p.18.
34
Tentang penafsiran QS. Al-Hujurat: 13, ayat ini tampaknya lebih
memperhatikan masalah kesukuan dibandingkan dengan perbedaan sosial. Inti ayat ini
adalah bahwa bermacam-macam manusia dan suku yang telah diciptakan Tuhan, tidaklah
memberi arti pada nilai seseorang. Akan tetapi, ayat ini sangat fleksibel dan di dalamnya
kaum muslimin mendapat dukungan untuk berbagai macam egaliterianisme. Semakin kuat
pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling
memberikan mengenal antara satu dengan yang lainnya. Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-
Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), Volume 12, p.618.

266
kejadian diatas. Menurutnya, manusia diciptakan kedalam berbagai
keadaan (akhyafan). Sebagian untuk beribadah, untuk berniaga, untuk
berdakwah, dan untuk berperang. Model yang dikemukakan olah Sha’sha’a
ini dianggap sebagai literatur kemasyarakatan versi Islam yang digunakan
untuk mendeskripsikan kehidupan masyarakat dalam kondisi sosial.
Masing-masing dari pekerjaan yang telah diungkapkan Sha’sha’a
memberikan dampak positif dan saling berkaitan bagi setiap manusia yang
lain.35
Hal serupa juga diungkapkan oleh Khalid ibn Shafwan yang
wafat pada tahun 135 H/752 M, yang dikutip oleh Louise Marlow. Ia
mengatakan bahwa masyarakat terdiri dari tiga strata, yaitu: ilmuwan,
ulama, dan budayawan. Model strata ini dinisbatkan pada bagian manusia
yang memiliki kemampuan berfikir, berilmu dan berkarya. Bagian penting
dari gambaran masyarakat terdahulu yang diungkapkan oleh para sosialis
adalah bahwa mereka berusaha mengidentifikasi pekerjaan dan aktifitas
yang cocok bagi manusia dalam kehidupan masyarakat yang mereka
tempati bersama. Manusia menjadi kuat karena kemampuan manusia dan
pertolongan dari orang lain. Kehidupan sosial dalam masyarakat begitu
penting untuk mempengaruhi adanya kekuatan setiap manusia. Hal ini
dikatakan oleh Khalid ibn Shafwan:
“Manusia yang paling lemah adalah manusia yang tidak
bersahabat, dan lebih lemah lagi manusia yang memutuskan tali
persahabatan yang telah terjalin sebelumnya”.36
Ungkapan di atas menggambarkan betapa pentingnya hidup
bersahabat, berkelompok dengan manusia yang lain. Kakuatan manusia
yang terbatas tidak akan bisa mengimbangi kehidupan setiap hari di muka
bumi ini. Banyaknya persaingan antar manusia dengan manusia, kelompok
dengan kelompok yang memaksa kita untuk menjadi makhluk yang kuat.
Membangun hubungan dalam masyarakat sama halnya dengan
membangun cinta pada diri seseorang, bahkan lebih dari itu. Dalam
membangun hubungan masyarakat membutuhkan pemikiran, pemahaman,
dan pemeliharaan secara seksama. Karena ketika tidak adanya hal tersebut
akan berakibat pada mundur dan hancurnya suatu masyarakat. Setiap orang

35
Louise Marlow, Hierarchy and Egalitarianism…, p.48.
36
Louise Marlow, Hierarchy and Egalitarianism…, p.48.

267
tentu membutuhkan masyarakat yang baik, dengan cara dan konsep terbaik
yang bisa membawa mereka kedalam kehidupan yang tentram, damai, dan
baik.
Agama Islam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat, khususnya perkembangan Islam dalam kehidupan masyarakat
Indonesia dan masyarakat lain yang memegang teguh prinsif keislamannya.
Menurut Harun Nasution, masyarakat Islam pada mulanya tersusun atas
orang-orang Arab saja, tetapi dengan tersiarnya Islam ke luar Arabia,
orang-orang bukan Arab memeluk agama Islam dengan menggabungkan
diri kepada salah satu suku bangsa Arab, yang biasa disebut Mawali 37 .
Kaum Mawali dalam prakteknya mempunyai kedudukan lebih rendah dari
orang-orang Arab. Orang-orang Arab sebagai bangsa yang berkuasa di
waktu itu, dianggap oleh masyarakat lebih tinggi. Karena mempunyai
kedudukan yang tinggi, agama dan kebudayaan Arab dianggap tinggi pula
kedudukannya oleh masyarakat lain. Tidak mengherankan kalau bangsa-
bangsa yang berada di bawah kekuasaan Islam di waktu itu banyak meniru
orang-orang Arab dari segi bahasa, pakaian, adat istiadat, dan banyak juga
yang meniggalkan agama aslinya dan masuk Islam.38
Nabi Muhammad SAW merupakan orang yang berpengaruh
dalam pembentukan masyarakat Islam, yang sangat dermawan dalam
melakukan kebajikan. Darinya pula terbentuklah masyarakat yang ideal,
tentram dan sejahtera di kalangan masyarakat Islam khususnya di Jazirah
Arab pada masa awal peradaban Islam. Ajaran Nabi Muhammad SAW
mampu melahirkan masyarakat yang ideal dalam Islam pada masanya,
terdiri dari orang-orang yang tidak mementingkan diri sendiri, yang selama
dua puluh tiga tahun berhasil bereksperimen dalam melaksanakan

37
Mawali adalah kelompok non-Arab yang telah memeluk agama Islam,
kelompok mawali berada dalam lingkungan pemerintahan Bani Umayah. Kedudukan
mereka yang paling rendah berada di Persia, pada akhirnya membawa sebuah gerakan
yang disebut dengan syu’ubiyah (gerakan yang menyerupai gerakan nasionalis dalam arti
modern). Dalam sejarah Islam, istilah mawali digunakan sebagai penggolongan warga
kelas dua karena mereka bukan keturunan bangsa Arab asli, padahal hak mereka sama.
Lihat Hasan M. Ambari, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 1999), p. 213.
38
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-
Perss, 1985), p.103.

268
demokrasi sejati di dunia berdasarkan persamaan, keadilan, dan
moralitas.39
Seperti dikutip oleh M. Che Anam, Asghar Ali Engineer
menyatakan bahwa:
“Nabi Muhammad SAW merupakan orang yang telah
mengubah struktur sosial (structure social, ‫ )بنية اجتماعية‬masyarakat
yang timpang dan tidak manusia (‫)ال انسانية‬. Ia tidak hanya
melakukan revolusi keimanan, melainkan juga melakukan protes
terhadap realitas sosio-kultural masyarakat Arab khususnya”.40
Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga dikenal sebagai seorang
insan yang memiliki keluasan hati untuk menampung cerita yang
menyelimuti kehidupan umat manusia, problem manusia yang menjadi
beban, dan harapan yang menjadi dambaan setiap manusia. Dalam
persoalan di atas, penulis memberikan pemahaman bahwa masyarakat
Islam yang damai, tentram, dan sejahtera tercipta karena adanya pengaruh
dari Nabi Muhammad SAW dalam menegakkan masyarakat Islam yang
sesuai dengan syariat dan ajaran Allah SWT.
Menurut keyakinan mayoritas umat Muslim, menerapkan model
masyarakat Islam ideal era Rasulullah SAW bukanlah utopia 41 , karena
model itu pernah terbukti dalam sejarah peradaban sebelumnya. Jika pada
periode Mekah kaum muslimin masih menempati posisi marginal dan
senantiasa tertindas oleh orang-orang kafir Quraisy, maka pada priode
Madinah mereka telah mengalami perubahan yang sangat dramastis, dan
berani keluar dari penindasan yang dilakukan orang-orang kafir Quraisy.
Di Madinah umat Islam meninggalkan konsep kemasyarakatan yang
absolut model Badui. Kehidupan sosial di Madinah secara berangsur-
angsur diwarnai oleh unsur kekerabatan dan kedekatan antar sesama umat
Islam. Umat Islam berhasil menguasai pemerintahan dan membuat
peradaban baru pada masa itu. Bukan hanya itu, kaum Muslimin juga

39
Munir Che Anam, Muhammad dan Karl Mark…, p.3.
40
Munir Che Anam, Muhammad dan Karl Mark…, p.4.
41
Utopia merupakan khayalan akan suatu negeri, dimana segala sesuatu
lengkap sempurna, negeri yang dicita-citakan, rencana akan suatu tak mungkin dapat
tercapai atau terlaksana. Sementara itu, orang orang yang mempunyai rencana-rencana
impian akan sesuatu yang ideal, atau pembaharuan yang tidak mungkin tercapai disebut
dengan utopis. Lihat Sutan Rajasa, Kamus Ilmiyah, (Surabaya: Karya Utama, 2002),
p.621.

269
berhasil menjadi a self-governing community di lingkungan masyarakat
Arab. Kehidupan yang damai, tentram, saling menghargai, tidak terlepas
dari perjuangan dan pengorbanan Rasulullah SAW dalam menegakkan
masyarakat yang Islami.42

Bentuk Masyarakat
Dilihat dari kondisi geografis, bangsa Arab memiliki peranan
besar terhadap perkembangan masyarakatnya. Bukan hanya hubungan
mereka dengan orang-orang Arab setempat, tetapi melakukan hubungan
luar dengan masyarakat non Arab, seperti Afrika, Eropa, bahkan Asia.43
Dilihat dari silsilah keturunan dan cikal bakal bangsa Arab, para
sejarawan membagi masyarakat ke dalam tiga bagian, yaitu:
1. Arab Ba’idah, yaitu masyarakat Arab terdahulu yang sejarahnya tidak
bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti masyarakat Ad, Tsamud,
Thasm, Jadis, Imlaq.
2. Arab Aribah, yaitu masyarakat Arab yang berasal dari keturunan
Ya’rub Yasyjub bin Qahthan, atau disebut dengan Qahthaniyah.
Tempat kelahiran Arab Aribah adalah negeri Yaman, lalu berkembang
menjadi dua kabilah, yaitu:
a. Kabilah Himyar, yang terdiri dari suku Zaid al-Jumhur, Qudha’ah,
dan Sakasik.
b. Kabilah Kahlan, yang terdiri dari suku Hamdan, Amnar, Thayyi’,
Madzhij, Kindah, Lakham, Judzam, Uzd, Aus, Khazraj, dan anak
keturunan Jafnah raja Syam.
3. Arab Musta’rabah, yaitu masyarakat yang berasal dari keturunan nabi
Isma’il yang disebut dengan masyarakat Arab Adnaniyah. Cikal bakal
keturunan masyarakat Arab Musta’rabah adalah Ibrahim AS, yang
berasal dari negeri Irak, dari sebuah daerah yang disebut Ar, berada
dipinggir barat sungai Eufrat, berdekatan dengan Kuffah.44

42
Departeman Agama, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam-Khilafah,
(Jakarta: IBVH), p.2.
43
Syaikh Syafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2015), terj. Kathur Suhardi, p.2.
44
Syaikh Syafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah…, p.4.

270
Dari sekian banyak suku dan kabilah masyarakat Arab, tentunya
mereka memiliki perbedaan dalam menjalankan kehidupan. Masing-
masing dari mereka ada yang menjalani kehidupanya dengan cara egaliter
(kesetaraan antara sesama), seperti yang dijalani oleh masyarakat Arab
Badui.
Peranan setiap orang tidak lepas dari ketergantungannya
terhadap orang lain yang saling membutuhkan. Atas dasar ketergantungan
seseorang kepada orang lain tersebut dan hak untuk mencari tujuan
bersama, setiap orang bekerjasama dengan orang lain. Hubungan yang
terjalin antara beberapa orang ini kemudian melahirkan beberapa kelompok
orang yang disebut dengan masyarakat. Perbedaan prinsip, nilai,
kepentingan, tujuan, dan lainnya dalam kehidupan masyarakat akan
menimbulkan bermacam-macam kelompok.
Dalam karyanya Muqaddimah, Ibnu Khaldun membagi
kehidupan masyarakat kepada dua bagian, yaitu masyarakat Badui dan
masyarakat Kota. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Philp K. Hitti
dalam karyanya History of the Arabs. Berdasarkan karakteristik dataran
dan kondisi daerahnya, bangsa penduduk Arab terbagi kedalam dua
kelompok utama, diantaranya:45
Pertama Masyarakat Badui. Kata “Badui” berasal dari kata
(‫ ) َبدَوي‬atau Bedouin adalah suku pengembara yang ada di Jazirah Arab dan
sering berpindah-pindah tempat dari satu tempat ketempat yang lain.46 Kata
‫ َبدَوي‬dalam Concise Dictionary berarti pengembara, pindah-pindah, suku
Badui. 47 Kehidupan orang-orang Badui dalam masyarakat yaitu saling
membantu dalam memperoleh kehidupan, dan juga untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang sederhana sebelum mereka mencari penghidupan
yang lebih tinggi. Dalam hal ini mereka menggunakan berbagai cara untuk
menyambung kehidupannya, meskipun dengan cara yang sangat sulit,
seperti berperang.48 Sebagaimana telah dijelaskan dalam Alquran:
‫َر‬ٞ ‫س َٰٓى أَن تُحبُّوا ش َٗۡيا َوه َُو ش‬
َ ‫ر لَّ ُك ۡ ۖۡم َو َع‬ٞ ‫س َٰٓى أَن ت َۡك َرهُوا ش َۡٗيا َوه َُو خ َۡي‬
َ ‫ه لَّ ُك ۡ ۖۡم َو َع‬ٞ ‫ب َعلَ ۡي ُك ُم ۡٱلقت َا ُل َوه َُو ُك ۡر‬ َ ‫ُكت‬
َ
٢١٦ َ‫ٱّللُ يَعۡ لَ ُم َوأنت ُ ۡم َال ت َعۡ لَ ُمون‬ َّ ‫لَّ ُك ْۡۚم َو‬

45
Philip K Hitti, History of the Arabs (Sejarah Arab), (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2010), terj. R. C. Lukman, p.28.
46
Rusdiana, Suku Badui Arab, diakses pada 27 November 2016
47
Munir Baalbaki, Al-Mawrid Al-Waseet (Concise Dictionary)…, p.145.
48
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.141.

271
Artinya: Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang
itu adalah sesuatu yang kamu tidak senangi. Bisa jadi kamu membenci
sesuatu, padahal itu baik bagi kamu, dan bisa jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal itu buruk bagi kamu. Allah SWT mengetahui sedangkan
kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah: 216).
M. Nasib Rifa’i, yang mengutip Tafsir Ibnu Katsir, menjelaskan
bahwa ayat ini sebagai anjuran untuk berjihad (berperang) dijalan Allah
SWT bagi kaum muslimin dalam mempertahankan semua yang berkaitan
dengan agama Islam. Mereka harus menangkal semua bentuk kejahatan
dari musuh agar tidak menerpa umat Islam.
Az-Zuhri berkata:
“Jihad itu wajib bagi setiap individu baik terjun maupun duduk.
Bila orang duduk dimintai tolong maka ia harus menolong, jika dimintai
lari maka harus lari, dan jika tidak dibutuhkan maka ia jangan ikut”.
Perkataan di atas dinisbatkan pada hadits Rasulullah yang
artinya:
“Barang siapa yang mati sedang dia tidak ikut berperang dan
hatinya tidak membisikannya untuk berperang, maka dia mati secara
jahiliyyah”.49
Melihat kondisi yang demikian, ayat ini secara tidak langsung
memerintahkan kepada umat Muslim berperang (jihad) dalam menjaga
harta demi kelangsungan hidup manusia.
Selain itu, masyarakat Badui tidak mau memperhatikan hukum
dalam kehidupan mereka, bahkan tidak mengetahui dan mengenalinya,
padahal hukum merupakan cara manusia untuk menghindarkan diri dari
pengrusakan orang lain. Perhatian mereka hanya tertuju kepada bagaimana
cara mendapatkan harta yang diambil dengan cara baik atau dengan cara
paksa dari hak orang lain. Apabila mereka sudah mendapatkannya, mereka
tidak punya interest atau keinginan berbagi dengan orang lain,
memperhatikan kebutuhan orang lain.50
Melihat contoh peristiwa di atas, dapat kita ketahui bahwa
watak orang-orang Badui adalah keras dan suka merampok apa saja yang

49
M. Nasib Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir (Jilid I Surat Al-Fatihah-An-Nisa),
(Jakarta: Gema Insani, 2009), p.348.
50
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.181.

272
mereka inginkan dari oleh orang lain. Rezeki mereka terletak di bawah
naungan panah yang dapat menyambung hidup mereka di muka bumi.
Perbuatan di atas sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan hukum-
hukum Allah SWT dan rasul-Nya. Islam mengajarkan umatnya untuk
senantiasa berbagi tidak hanya untuk umat sesama, bahkan terhadap umat
lain yang membutuhkan.
Gaya hidup masyarakat Badui yang unik membuat masyarakat
lain segan terhadapnya. Di satu sisi mereka adalah orang-orang yang keras,
dan di sisi lain mereka sangatlah peduli dengan kehidupan saudara yang
ada di kelompoknya. Sifat keras mereka biasanya muncul jika mendapat
ancaman dari kelompok lain atau ketika berseteru dengan kelompok suku
lain, dan mereka akan gigih dan keras dalam mempertahankan dan
membela kelompoknya. Sedangkan sifat peduli dan solidaritas tinggi hanya
akan timbul pada sesama kelompoknya. Karakter ini terbentuk oleh kondisi
geografis dan tempat tinggal mereka yang seakan menuntut mereka untuk
hidup demikian, agar tetap bisa bertahan hidup. Di antara karakter dan
perbuatan tersebut, kejahatan adalah sifat yang paling dekat kepada
manusia apabila gagal dalam memperbaiki kebiasaannya, dan jika agama
tidak dipergunakan sebagai contoh dan landasan untuk memperbaiki
kehidupannya. Sebagian besar manusia berada dalam keadaan seperti ini,
kecuali orang yang mendapat taufik dan kebaikan dari Allah SWT.51
Dalam masyarakat Badui, ikatan yang terbangun di antara
mereka adalah ikatan kesukuan dan ikatan darah (kekeluargaan). Ini bisa
jadi kelebihan mereka dalam menjaga kekeluargaan dan kesukuan mereka,
dan mungkin juga menjadi kelemahan mereka karena tidak bisa berbaur
dengan kelompok lain dan bermasyarakat secara luas. Ikatan ini membuat
siapapun yang tidak sesuku dan sedarah dengan mereka akan menajadi
musuh dan mereka tidak peduli dengan kelompok lain. Apabila mereka
merasa terganggu, hal yang pertama mereka lakukan adalah dengan
melakukan perlawanan dan memberontaknya, bahkan mereka tidak segan-
segan untuk mengumumkan perang kepada yang mengganggu mereka.
Keorganisasian atau sistem politik dalam masyarakat yang tidak mereka
ketahui, membuat kehidupan mereka berdasarkan satu komando atau
intruksi, dan biasanya komando atau intruksi ini dilakukan oleh kepala

51
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.150.

273
suku mereka. Selain itu, mereka juga tidak membentuk institusi yang
mengatur urusan mereka, sehingga hak dan kewajiban mereka
disamaratakan. Kedudukan kepala suku selain memberikan komando atau
intruksi, bagi mereka tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, karena
kedudukan tersebut tidak lain hanya untuk menjaga persatuan sukunya.52
Tidak adanya ketertarikan untuk mencari ilmu pengetahuan
mengakibatkan karakter mereka menjadi keras dan merasa paling benar di
antara kelopok yang lain, sehingga dalam diri mereka tidak peduli terhadap
kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Pemuka suku dan para syeikh
memiliki penghargaan dan rasa hormat yang tinggi dari kalangan
masyarakat Badui, oleh karenanya segala pengaruh wibawa datang dari
para syeikh, dan pemuka suku. Selain itu tugas dari pemuka suku dan para
syeikh adalah menyatukan solidaritas sosial antara kelompok mereka, yang
bertujuan untuk menjaga diri dan kampung mereka dari serangan
kelompok lain.53
Kehidupan masyarakat Badui memiliki makna tersendiri,
sebagaimana telah dijelaskan oleh Philip K. Hitti, dalam bukunya berjudul
History of the Arabs:
“Orang-orang Badui bukanlah orang-orang gipsi 54 yang
mengembara tanpa arah dan demi pengembaraan semata. Mereka mewakili
bentuk adaptasi manusia terhadap kondisi kehidupan (gurun), dimana ada
dataran hijau kesanalah mereka menggiring ternaknya. Di tataran nufud,
nomadisme lebih merupakan bentuk kehidupan ilmiah seperti halnya gaya
hidup industrialisasi di Detroit atau Manchester”.55
Kehidupan masyarakat Badui bermacam-macam dalam mencari
penghidupan, di antara mereka ada yang hidup dengan bertani, menanam
sayur dan buah-buahan, memelihara ternak baik kambing, sapi ataupun
hewan lainnya. Kemudian, apabila kondisi mereka telah memperoleh
kekayaan dan kemewahan di atas batas yang dibutuhkan, mereka akan
merasa tenang dan tidak mau ambil pusing dan mereka hanya akan

52
M. Elvandi, Inilah Politiku, (Solo: EAI, 2011), p.17.
53
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.150.
54
Gipsi adalah suku pengembara yang ada di Eropa. Lihat Philip K Hitti,
History of the Arabs (Sejarah Arab), (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), terj. R. C.
Lukman, p.28.
55
Philip K Hitti, History of the Arabs (Sejarah Arab)…, p.28.

274
memikirkan orang-orang yang ada di kelompoknya. Dengan demikian
mereka akan saling membantu dan berusaha dalam memperoleh kebutuhan.
Masyarakat Badui hidupnya selalu berkeliaran ke tempat-tempat yang jauh
di luar kota dan tidak pernah mendapatkan pengawasan dari tentara atau
penjaga. 56 Inilah yang mengakibatkan adanya kecenderungan mereka
dalam menjalankan kehidupannya dalam masyarakat.
Kedua Masyarakat Kota. Kata “kota” diambil dari bahasa Arab
ٌ
yaitu (‫ ) َمدينَة‬jamaknya adalah (yang berarti negeri, kota, pekan. 57 ُ‫ َمدَائن‬-‫( ُمد ٌُن‬
Sementara dalam kamus Al-Azhar kata kota diambil dari kata ( ُ‫ )ت َ َمدَّن‬yang
berarti penduduk yang berubah dari keadaan primitive ke kemajuan.58 Kata
kota menurut Munir Baalbaki diambil dari kata ٌ‫سكَانُ أَل َمدينَة‬
َ -ٌ‫ َمدينَة‬.59 Istilah-
istilah kota seperti, urban dan urbanisme/perkotaan merujuk pada berbagai
fenomena yang sangat bervariasi sesuai dengan perbedaan sejarah dan
wilayah. Secara umum kita dapat menyimpulkan bahwa kota adalah tempat
tertentu yang dihuni oleh cukup banyak orang.60 Masyarakat kota menurut
Ibnu Khaldun adalah masyarakat yang menetap dalam satu daerah tanpa
adanya keinginan untuk melakukan perpindahan tempat kehidupan.
Biasanya kehidupan masyarakat kota lebih enak dibandingkan dengan
masyarakat Badui, ini diakibatkan adanya keahlian pribadi dalam
masyarakat kota. Selain itu, diantara mereka ada yang melakukan
perniagaan, perdagangan, dan membangun perusahaan untuk menyambung
hidup mereka. Usaha mereka lebih berkembang daripada masyarakat Badui
yang tinggal berpindah-pindah. Penduduk tetap (masyarakat kota) sudah
terbiasa menikmati hidup mewah dan sering berurusan dengan kehidupan
dunia yang penuh dengan kenikmatan, serta tunduk mengikuti nafsu dan
syahwat mereka. Jika mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak
yang tercela dan kejahatan, maka jalan menuju kebaikan sudah menjauh
sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan, karena terlalu sering
dilakukan oleh mereka. Mereka sudah kehilangan kemampuan untuk

56
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.141.
57
A.W. Munawwir, Kamus Munawwir Arab-Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka
Progresif, 1984), p.1320.
58
S. Askar, Kamus Al-Azhar…, 2011), p.830.
59
Munir Baalbaki, Al-Mawrid Al-Waseet (Concise Dictionary)…, p.113.
60
Adam Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers,
2000), p.110.

275
menahan diri dari hawa nafsu yang ada dalam diri mereka. Oleh sebab itu,
perkataan yang keluar dari mulut mereka adalah perkataan buruk dan kotor,
ini mengakibatkan sering terjadinya perkelahian dan perusuhan di antara
mereka atau dengan kelompok yang lain. Berbeda dengan masyarakat
Badui yang hidup dengan seadanya tanpa memikirkan kemewahan, bagi
mereka kehidupan dalam kebersamaan itu lebih penting daripada hidup
dalam kemewahan namun jauh dari kebersamaan. 61
Masyarakat kota mempunyai karakter yang berbeda dengan
masyarakat Badui, karakter mereka adalah malas, suka yang mudah-
mudah, dan mereka tenggelam dalam kenikmatan dan kemewahan. Adanya
petugas yang menjaga diri dan harta mereka, menjadikan mereka
bertambah malas dalam melakukan yang menurut mereka berat. Mereka
lebih baik membayar kepada petugas dengan harga yang mahal daripada
harus turun langsung dalam menjaga diri dan harta mereka. Karakter yang
seperti ini tidak aneh dalam kehidupan masyarakat kota, bahkan ini sudah
menjadi kebiasaan dan turun temurun dari kakek moyang mereka yang
sejak awal sudah terjadi dalam menjaga diri dan harta mereka. Menurut
mereka melakukan penjagaan hanya membuang-buang waktu dan tidak ada
gunanya.62
Hiruk pikuk aktivitas kehidupan sosial dan ekonomi yang padat
dalam masyarakat kota membuat persaingan mereka menjadi ketat.
Meskipun kehidupan mereka seperti itu, namun kehidupan solidaritas di
antara mereka tetap terjaga. Keterjagaan dalam masyarakat kota
diakibatkan adanya penjagaan terhadap mereka yang dilakukan oleh
petugas dan pemerintah. Di antara mereka banyak yang menjadi ekonom,
dan petugas pemerintahan. Masyarakat kota seperti Mekah, Madinah, atau
daerah-daerah lain yang hidup dalam kecukupan memiliki peraturan-
peraturan yang disepakati bersama. Bukan hanya itu, peraturan dari
pemerintah yang ditujukan kepada mereka dijalani dengan baik dan
benar. 63 Maka dari itu kehidupan masyarakat kota lebih terjamin
dibandingkan dengan masyarakat Badui yang tinggal berpindah-pindah.
Adanya keterjaminan dalam masyarakat kota bukan menjadi alasan bahwa

61
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.146.
62
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.146.
63
M. Elvandi, Inilah Politiku..., p.17.

276
mereka tidak melakukan apa-apa dalam memperoleh kehidupan yang lebih
baik, justru mereka melakukan perkembangan dari satu sisi ke sisi yang
lain. Masyarakat kota terbentuk karena adanya perkembangan dari
kebudayaan primitif menuju kebudayaan menetap yang diakibatkan adanya
kebutuhan hidup manusia pada umumnya.
Kondisi geografis dan tempat tinggal antara orang tetap
(masyarakat kota) dengan orang yang selalu berkeliaran (masyarakat
Badui) mengakibatkan adanya perbedaan dalam hukum, pendidikan, dan
lainnya. Ini merupakan suatu fitrah yang Allah SWT berikan kepada setiap
makhluk ciptaannya sesuai dengan tabiat dan kehidupan yang berbeda,
baik baik atau buruk. Hal ini telah dijelaskan dalam Alquran:
١٠ ‫َو َهدَ ۡينَهُ ٱلنَّ ۡجدَ ۡين‬
Artinya: dan kami telah tunjukan kepada mereka dua jalan
(kebaikan dan keburukan). (QS. al-Balad: 10)
Thomas Aquinas seperti dikutip oleh Poespoprodjo
mengungkapkan:
“Terdapat dua macam perbuatan manusia dalam melakukan
kebaikan dan kejahatan, Pertama (human act, actus humanus)
adalah perbuatan yang dikuasai oleh manusia, yang secara sadar di
bawah pengontrolannya, dan dengan sengaja dikehendakinya.
Kedua (an act of a man, actus hominis) adalah aktivitas yang
dilakukan manusia secara kebetulan, tetapi ia tidak menguasainya
karena tidak mengontrolnya dengan sadar dan tidak
menghendakinya dengan sengaja”.64
Perbedaan yang terjadi antara masyarakat Badui dan masyarakat
Kota tidak dapat dijembatani. Jurang pemisah yang telah terjadi diantara
keduanya tidak akan bisa diselesaikan, bahkan setelah Islam berhasil
menyatukan bangsa Arab.65

Hubungan Agama dan Negara dalam Masyarakat


Agama 66 dan negara 67 adalah dua kata yang tidak dapat
dipisahkan dalam perkembangan masyarakat. Konsep dan ciri negara

64
Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999) p.85.
65
Philip K Hitti, History of the Arabs (Sejarah Arab)…, p.39.
66
Agama berasal dari bahasa Arab yaitu ) ٌ‫اديان‬- ٌ‫)دين‬, bahasa Inggris (Religion),
bahasa Belanda (Religie), bahasa Yunani (Religio) yang berarti agama atau tunduk. Secara
terminologi agama adalah sistem kepercayaan terhadap Tuhan berdasarkan gagasan atau

277
sering kali menjadi kajian yang menarik apabila dikaitkan dengan agama,
apalagi dalam kondisi kehidupan masyarakat dewasa ini. Sebagai
contohnya, kita dapat bercermin ke masa 14 abad sebelumnya, kondisi
kehidupan manusia dalam masyarakat tidak lepas dari agama dan negara
(pada masa tersebut masih disebut dengan khalifah). Kekhalifahan, dinasti,
dan kerajaan semua diatur berdasarkan syariat agama, yaitu agama Islam.
Ini menjadi kebanggaan terbesar bagi kaum muslimin dalam menunjukan
jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Agama dan negara
menduduki peranan penting dalam masyarakat. Allah SWT telah
berfirman:
‫سو َل َوأُولي ۡٱۡل َ ۡمر من ُك ۡ ۖۡم فَإن تَنَزَ ۡعت ُ ۡم في ش َۡي ٖء فَ ُردُّوهُ إلَى‬ ُ ‫ٱلر‬ َّ ‫ٱّللَ َوأَطيعُوا‬ َّ ‫َٰٓيَأَيُّ َها ٱلَّذينَ َءا َمنُ َٰٓوا أَطيعُوا‬
٥٩ ‫يًل‬ ‫سنُ ت َۡأو ا‬ َ ‫ر َوأ َ ۡح‬ٞ ‫ٱّلل َو ۡٱليَ ۡوم ۡٱۡلَٰٓخ ْۚر ذَلكَ خ َۡي‬
َّ ‫سول إن ُكنت ُ ۡم ت ُ ۡؤمنُونَ ب‬ُ ‫ٱلر‬
َّ ‫ٱّلل َو‬ َّ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan
taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
permasalahan tersebut kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa: 59)
Ayat ini menjelaskan perintah dan dorongan kepada manusia untuk
menciptkan masyarakat yang adil dan makmur, tolong menolong, taat
kepada Allah SWT, taat kepada Rasul Allah SWT, dan taat kepada
pemimpin berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran dan
Sunnah. Quraish Shibab menyebutkan dalam tafsirnya: Alquran
menerangkan bahwa apabila perintah taat kepada Allah SWT dan Rasul-
Nya digabung dengan hanya menyebut satu kali perintah taat, hal ini
mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang

ideologi yang mana akan melahirkan suatu norma, aturan, nilai-nilai yang berasal dari
wahyu maupun pemikiran manusia. Lihat. Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu
Perbandingah, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007) p.21.
67
Negara berasal dari bahsa Arab yaitu (‫بلدان‬-‫بألد‬-ٌ‫ )بلد‬yang berarti negara,
dalam kamus bahasa Inggris kata negara berarti nation yang artinya kebangsaan atau
kenegaraan, atau secara terminologi negara dapat diartikan orang yang menempati wilayah
tertentu dengan dikelola oleh pemerintahan yang sah. Istilah negara diambil dari istilah
yang dipergunakan pada masa pemerintahan Dinasti Mu’awiyah dan Dinasti Abbasiyah
yaitu istilah “dawlah”. Dalam Alquran maupun hadits tidak dapat ditemukan konsep
tentang negara. Konsep negara baru muncul pada abad ke-16 yang dikemukakan oleh
Nicolo Machiavelli (1469-1527). Lihat Masykuri Abdillah, Negara Ideal menurut Islam
dan Implementasinya pada Masa Kini, dalam (Negara, Islam, dan Civil Society), (Jakarta:
Paramadina, 2005), p.73.

278
diperintahkan Allah SWT dalam Alquran maupun perintah yang dijelaskan
Rasulullah SAW dalam Sunnah. Perintah taat Allah SWT dan Rasulullah
SAW adalah perintah tanpa syarat, dan ini membuktikan bahwa tidak ada
perintah Rasul yang salah. Selanjutnya kata ulil amri dalam ayat ini
menunjukan perintah taat kepada pemimpin, karena ulil amri adalah orang
yang berwenang mengurus urusan kaum muslimin.68
Dari ayat di atas, kita dapat mengambil beberapa intisari
pelajaran yang berharga mengenai hubungan agama dan negara dalam
masyarakat. Pertama, kita diwajibkan untuk menjalankan perintah Allah
SWT yang telah diwahyukan melalui Alquran, kita diperintahkannya
untuk selelu memegang teguh kepada Alquran dan menjadikannya
landasan hidup khususnya dalam konteks berbangsa dan bernegara. Kedua,
kita diperintahkan untuk mentaati Rasul yang telah membimbing kita
melalui ajarannya, salah satunya adalah sunnah yang berupakan perkataan,
perbuatan, dan diamnya nabi atas suatu perkara. Ketiga, disamping kita taat
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, kita juga diperintahkan untuk taat
kepada pemimpin kita. Perintah taat kepada pemimpin dalam artian adalah
pemimpin muslim yang senantiasa melakukan kewajibannya terhadap
Allah SWT.
Agama sangat detail dalam mengatur kenegaraan dan
kebangsaan dalam kehidupan masyarakat. Mengutip Alquran surat al-
Anbiya ayat 92:
ۡ َ‫إ َّن َهذ َٰٓهۦ أ ُ َّمت ُ ُك ۡم أ ُ َّم ٗة َوحدَ ٗة َوأَن َ۠ا َر ُّب ُك ۡم ف‬
٩٢ ‫ٱعبُد ُون‬
Artinya: Sesungguhnya (agama, tauhid) ini adalah agama kamu
semua, agama yang satu dan aku adalah tuhanmu, maka sembahlah aku.
(QS. al-Anbiya’:92).
Agama adalah sumber aspirasi manusia yang paling dalam.
Karena agama memiliki perangkat pengetahuan, kepercayaan, nilai moral,
norma-norma. Dalam agama juga ada ilmu sosial yang berfungsi sebagai
sember tatanan masyarakat, maupun negara yang bersifat khilafah, dinasti,
atau demokrasi. Agama dianggap penting dalam kehidupan masyarakat
yang mempelajari manusia dan kebudayaan.

68
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume
2, p.585.

279
Ibnu Khaldun memberikan definisi tentang agama. Agama
merupakan kekuasaan integrasi, perukun dan penyatu, karena agama
memiliki semangat yang bisa meredakan segala konflik dalam masyarakat.
Bahkan agama dapat memacu manusia ke arah kebenaran hakiki. Selain
itu, agama menjadi landasan moral bagi setiap manusia yang
menaganutnya, karennaya manusia bisa hidup dengan nyaman dan tentram
di dunia. Agama adalah kehendak Tuhan, apabila ada manusia yang
melanggarnya, maka ia akan jatuh dalam kemerosotan dan kehancuran.
Namun peran agama akan lebih banyak artinya apabia menggunakan
ashabiyah 69 dalam melealisir kebenaran itu sendiri. Agama adalah dasar
terpenting bagi peradaban yang sangat luas dan kuat dan ini berarti
peradaban ditegakan atas dasar dan prinsip agama. Suatu peradaban yang
menang dan kuat dikarenakan konsep ashabiyah yang digunakan oleh
orang-orang di dalamnya. Agama merupakan kekuatan paling dahsyat yang
dapat membentuk suatu peradaban manusia.70
Kedudukan agama dalam masyarakat sangatlah penting, karena
berkaitan dengan kehidupan manusia di muka bumi. Semua kegiatan
manusia di dunia diatur dalam agama, baik ibadah, sosial, dll. Menurut M.
Abd. Qadir Ahmad, seperti dikutip oleh Abdullah Ali, ada beberapa fungsi
agama dalam masyarakat:
1. ”Agama merupakan keharusan dalam masyarakat karena manusia lahir
sebagai makhluk sosial”.
2. “Agama merupakan kendali kebebasan manusia, andai setiap manusia
memberikan kebebasan mutlak, tentu tindakannya akan membatasi
kebebasan orang lain”.
3. “Agama memelihara hak-hak asasi, mencegah penganiayaan dan
perampasan hak orang lain”.
4. “Agama membantu lahirnya kesejahteraan dan kebahagiaan individu
dan masyarakat dengan kehidupan terhormat”.

69
ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat, secara
fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk
mengukur kekuatan kelompok sosial. (Lihat kamus Bahasa Arab-Indonesia: YPPA
Jakarta).
70
Toto Suharto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), p.164.

280
5. “Agama mewujudkan masyarakat yang bekerja sama dalam kebaikan
dan ketentraman”.71
Begitu juga dengan kedudukan negara dalam kehidupan
masyarakat yang sangat penting. Dilihat dari Muqoddimah, Ibnu Khaldun
menegaskan bahwa kedudukan negara adalah untuk kemakmuran dan
kesejahteraan kehidupan manusia. Negara didirikan atas dasar kepatuhan
dan rasa hormat setiap rakyat kepada pemimpinnya, meskipun cara yang
dilakukan oleh pemimpinnya secara paksa untuk mematuhi dan
menghormatinya.72
Hubungan negara dan masyarakat sangat erat. Terjadinya
sebuah negara tentu tidak akan terlepas dari adanya masyarakat.
Masyarakat tanpa negara juga pasti akan mengalami kehancuran karena
tidak adanya pelindung. Keadaan tersebut bukanlah suatu proses yang
sangat singkat, tetapi proses kejadian tersebut memiliki rentetan sejarah
yang panjang. Orang-orang yang ada di dalam masyarakat menyadari
bahwa dirinya hanyalah kumpulan dari sifat lemah dan tidak berdaya. Oleh
karena itu mereka (orang-orang yang ada di dalam masyarakat)
membutuhkan keamanan (naungan hukum) dari segala bahaya yang akan
mereka dihadapi dengan menunjuk seseorang sebagai pemimpin mereka
untuk memihaknya. Kebutuhan dasar inilah yang membentuk sebuah
negara. Negara tanpa masyarakat belumlah cukup untuk dikatakan sebuah
negara, karena masyarakatlah yang mempunyai otoritas untuk mengakui
adanya sebuah negara. Oleh karena itu relevansi masyarakat dan negara
menjadi satu-kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.73
Dalam persatuan tersebut, Islam menganjurkan kepada setiap
manusia untuk membuat perkumpulan yang disebut dengan negara. Ibnu
Khaldun mendefinisikan negara pada Muqoddimah bagian ketiga, masing-
masing negara memiliki kota, provinsi dan tanah tertentu yang telah
ditentukan. Artinya daerah yang telah ditentukan tersebut, hakikatnya
adalah Allah SWT yang menentukan.74

71
Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, (Bandung: Nuansa
Aulia, 2007), p.27.
72
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.188.
73
M. Djiauddin Rais. Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001),
p.86.
74
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.376.

281
Gagasan Ibnu Khaldun tentang pembentukan negara dalam
masyarakat yang dikaitkan dengan agama, dikaji melalui pendekatan
sosiologis dan diilustrasikan dengan sifat alamiah manusia yang senantiasa
hidup berkelompok, saling menuntungkan diri, dan tidak bisa hidup sendiri
tanpa membutuhkan orang lain. Sehingga dari sifat alamiah tersebut serta
dibarengi adanya tujuan dalam individu manusia, kemudian terbentuklah
ashabiyah di antara mereka. Alasan diperlukannya ashabiyah dalam
sebuah negara, karena: pertama, teori tentang berdirinya suatu negara
berkenaan dengan realitas kesukuan, dan kedua, bahwa proses
pembentukan suatu negara itu harus melalui perjuangan yang keras dan
berat.75
Dalam kajian komunitas Islam, perbedaan pendapat dan
perdebatan dipicu oleh persoalan dalam bentuk dan konsep negara. Hal ini
muncul karena baik Alquran maupun hadits tidak menyebutkan secara
khusus dan jelas bentuk dan konsep negara yang harus dikembangkan oleh
manusia pada umumnya. Kedua dasar tersebut (Alquran dan hadits) hanya
memberikan prinsip-prinsip dasar sebuah negara ideal dalam memberikan
perlindungan kepada manusia di dalamnya. Ketika konsep negara sesuai
dengan ajaran Islam maka kehidupan manusia akan baik, dan ketika konsep
negara tidak sesuai dengan ajaran Islam maka kehidupannya akan rusak. 76
Dalam penegakan hukum negara, pemikiran Ibnu Khaldun tidak
jauh berbeda dengan filosof muslim lainnya. Ketika ingin menentukan
hukum dalam sebuah negara, Ibnu Khaldun meminta pendapat para ulama
demi terwujudnya keadilan setiap individu dan kelompok.77 Yang nampak
pada pemikiran Ibnu Khaldun bukanlah soal kecendrungannya kepada
prinsip keagamaan, tapi pada sikap dan pandangannya tentang masyarakat,
serta konsisten menggunakan pendekatan rasional dan pengalaman dalam
melakukan penelitian.

75
A. Rahman Z., Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun,
(Jakarta: Gramedia pustaka utama, 1992), p.160.
76
Syamsul Nizar, Konsep Negara dalam Pemikiran Ibnu Khaldun, dalam
Jurnal Khaldun’s Political, p.96.
77
Muhammad Iqbal dan A. Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2010), p.48.

282
Melihat pemikiran Ibnu Khaldun tentang negara, kita dapat
memberikan gambaran teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu
negara dan sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
1. Tahap sukses, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat
(ashabiyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti
sebelumnya.
2. Tahap tirani, dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya.
Nafsu untuk menguasai menjadi tidak terkendali.
3. Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian
penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
4. Tahap tentram dan damai, dimana penguasa merasa puas dengan
segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5. Tahap kemewahan, dimana penguasa menjadi perusak warisan
pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini,
negara tinggal menunggu kehancurannya.
Dari tahapan tersebut akhirnya terbentuklah tiga generasi, yaitu:
Pertama, generasi pembangunan, yaitu generasi yang masih memegang
sifat-sifat kenegaraan dan prinsip yang kuat untuk membentuk sebuah
negara. Kedua, generasi penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan
secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan. Mereka menjadi tidak
peduli terhadap kepentingan bangsa dan negara, karena yang mereka
harapkan adalah bagaimana cara menikmati kekuasaan dan kebahagiaan
dalam negara yang telah terbentuk. Ketiga, generasi ketidak pedulian, yaitu
mereka yang tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negara dan
tidak pernah mempedulikan nasib negara. Sehingga dalam tahapan
terakhir ini, mereka hanya menjadi korban pemberontakan dan
pengahancuran negara mereka.78
Hal yang paling penting dalam pembentukan negara dan
penjagaan kehidupan dalam masyarakat, adalah adanya penopang di antara
keduanya yaitu agama. Oleh karena itu hubungan agama dan negara tidak
akan terwujud tanpa adanya hubungan sosial dalam masayarakat. Hakikat
dari hubungan tersebut satu sama lain saling membutuhkan dan
melengkapi. Seperti masyarakat Madani yang telah dibentuk oleh
Rasulullah SAW di Madinah dengan sifat egaliter, menghargai,

78
Ibnu Khaldun, Muqoddimah…, p.234.

283
menghormati, saling membantu, dan mementingkan agama dalam negara.
Tujuannya supaya hukum yang berlaku berdasarkan ketentuan Allah
SWT, dan terjaganya hukum yang telah Allah SWT tentukan.
Berdasarkan sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan,
masalah agama merupakan masalah sosial, karena menyangkut kehidupan
masyarakat yang tidak lepas dari kajian ilmu sosial. Oleh sebab itu, ilmu
agama pada dasarnya merupakan rumpun bagian dari ilmu sosial, yang
pada awalnya berinduk pada ilmu sosiologi, psikologi, dan antropologi.
Pernyataan tersebut memang benar adanya, namun tidak semua orang
membenarkan. Karena pada hakikatnya ilmu agama lebih penting dan
menjadi tumpuan ilmu yang lain dan gama mengatur semua kehidupan
manusia setiap hari.79
Diskusi di atas merupakan gambaran kehidupan suatu
masyarakat yang pernah terjadi pada masyarakat Arab sebelumya dengan
menggunakan konsep dan cara yang berbeda dalam menegakkan sebuah
peradaban yang baru. Apa yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun dalam
mengkaji tentang masyarakat, sebenarnya dilatar belakangi oleh kehidupan
yang dialaminya pada saat itu. Kondisi demikian, membuat seorang
sosiolog, Ibnu Khaldun, menjadi lebih hebat dalam menganalisis
kehidupan masyarakat. Peran Ibnu Khaldun dalam perubahan peradaban
manusia, khususnya peradaban Islam adalah menjadikan masyarakat Islam
sebagai salah satu contoh untuk peradaban masyarakat yang lain. Konsep
ashabiyah yang ada di dalamnya menjadi konsep yang tidak dapat
dipisahkan dari kondisi kehidupan masyarakat Islam. Keadilan,
ketentraman, dan kenyamanan akan berhasil ketika suatu masyarakat
menggunakan konsep tersebut, meskipun dari konsep yang diberikan oleh
Ibnu Khaldun tidak sedikit yang menentangnya.

Penutup
Konsep masyarkat yang dibangun oleh Ibnu Khaldun cenderung
menggunakan kajian sejarah, seperti kajian atas masyarakat Badui dan
masyarakat Kota yang sejak dulu telah ada sebelum lahirnya Ibnu Khaldun.
Di samping itu Ibnu Khaldun mengambil beberapa contoh kerajaan dan
dinasti yang silih berganti pemerintahan, kemudian dijadikan rujukan

79
Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan…, p.18.

284
dalam menyelesaikan karya terbesarnya. Masyarakat menurut Ibnu
Khaldun merupakan sekumpulan manusia yang berkontribusi dalam
menjalankan aktivitasnya sebagai penggerak di muka bumi. Manusia yang
bermasyarakat mempunyai peranan penting dalam mendirikan dan
mengakumulasikannya menjadi sebuah bangsa atau negara. Fitrah manusia
yang paling dasar adalah membentuk sebuah perkumpulan untuk saling
membutuhkan satu sama lain dan kuat dalam menghadapi kehidupan, yang
bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kejahatan dan
penjajahan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Masyarakat adalah
suatu perkumpulan, kelompok, golongan yang didasari rasa cinta dan
saling membutuhkan antar sesama demi terwujudnya cita-cita dan tujuan
bersama. Oleh karenannya semua manusia sadar atau tidak pasti butuh,
sebagai sandaran dalam menjalani kehidupan masyarakat. Sebagai
makhluk sosial, manusia dikatakan berhasil menjalai kehidupan ketika bisa
menjalin hubungan baik dengan yang lain secara luas.
Agama dan negara adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan
dalam perkembangan masyarakat. Konsep dan ciri negara sering kali
menjadi kajian yang menarik apabila dikaitkan dengan agama, apalagi
dalam kondisi kehidupan masyarakat dewasa ini. Agama dan negara
memberikan cerminan kepada kita, diantaranya: Pertama, kita diwajibkan
untuk menjalankan perintah Allah SWT yang telah diwahyukan melalui
Alquran, kita diperintahkannya untuk selelu memegang teguh kepada
Alquran dan menjadikannya landasan hidup khususnya dalam konteks
berbangsa dan bernegara. Kedua, kita diperintahkan untuk mentaati Rasul
yang telah membimbing kita melalui ajarannya, salah satunya adalah
sunnah yang berupakan perkataan, perbuatan, dan diamnya nabi atas suatu
perkara. Ketiga, disamping kita taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya,
kita juga diperintahkan untuk taat kepada pemimpin kita. Perintah taat
kepada pemimpin dalam artian adalah pemimpin muslim yang senantiasa
melakukan kewajibannya terhadap Allah SWT.

285
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mubarakfuri, Syaikh Syafiyyurrahman, Sirah Nabawiyah, (Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar, 2015), terj. Kathur Suhardi.
Agama, Departemen, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam-Khilafah,
(Jakarta: IBVH).
Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingah, (Bandung: Nuansa
Aulia, 2007).
Ali, Atabik dan Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer, (Jogjakarta: Multi
Karya Grafika, 1996).
Ambari, Hasan M., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi,
1999).
Anam, Munir Che, Muhammad dan Karl Mark “Masyarakat tanpa
Kelas”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).
As-Sirjani, Raghib, Tarikh Islami, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013).
Askar, S., Kamus Al-Azhar, (Jakarta: Senayan Publishing, 2011).
Baalbaki, Munir, Al-Mawrid Al-Waseet (Concise Dictionary), (Libanon,
Daar El-Ilm Lilmalayin, 1971).
Black, Jonathan, Sejarah Dunia yang Disembunyikan, (Ciputat-
Tangerang: Alvabeth, 2015).
C.H, Wan Hazmy, Zainurrasyid, Hussaini R, ed., Muslim Scholars and
Scientists, (Malaysia: IMA).
Elvandi, Muhammad, Inilah Politiku, (Solo: EAI, 2011).
Enan, Muhammad Abdullah, Ibnu Khaldun: His Life and Work, (New
Delhi: Bhavan, 1979).
Farihah, Izum, Agama menurut Ibnu Khaldun, (Kudus: STAIN Kudus,
2014).
Halim, Atang Abdullah, dan Beni Ahmad, Filsafat Umum, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2008).
Hardiman, F. Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, (Jogjakarta:
Kaninus, 2009).
Hitti, Philip K., History of the Arabs (Sejarah Arab), (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2010), terj. R. C. Lukman.
Imamuddin, S.M., Muslim Spain 711-1492 AD., (Leiden: E.J. Brill,
1981).

286
Iqbal, Muhammad dan A. Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2010).
Jurdi, Syarifudin, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2010).
Kahmad, Dadang, Sociology of Religion, (Bandung: R. Rosdakarya,
2002).
Kandu, Amirullah, Ensikplopedia Dunia Islam, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2010).
Khaldun, Ibnu, Muqadimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), terj.
Ahmadie Thaha.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996).
Kuper, Adam, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers,
2000).
Lane, Edward William, Arabic-English Lexicon, (London: Covent
Garden, 1885).
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Muslim, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 2007).
----------------------, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997).
Madkour, Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiqub al-
Juz’ al-Suni, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), terj. Yudian
Wahyudi Asmin.
Mafia, Wendi, dan Sholihin Siddiq, Paradigma Pengembangan
Masyarakat Islam Study Epistemologis Pemikiran Ibnu Khaldun,
(Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2003).
Mandzur, Ibnu, Lisaan al-‘Arab, (Kairo: Daarul Hadits, 2003), jilid II.
Marlow, Louise, Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought,
(Bandung: Mizan, 1999), terj. Nina Nurmila.
Montgomery, W., Muhammad at Mecca, (Oxford: Oxford University
Press, 1953).
Mulia, Musdah, Negara Islam-Pemikiran Politik Husain Haikal, (Jakarta:
Paramadina, 2001).
Munawwir, A.W., Kamus Munawwir Arab-Indonesia, (Jogjakarta:
Pustaka Progresif, 1984).
Mustansyir, Rizal, Filsafat Analitik, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo,
1995).

287
Najati, Muhammad Utsman, Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
Nasr, Sayyed Hossein, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, (Bandung:
Mizan Media Utama, 2003).
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-
Perss, 1985).
Nizar, Syamsul, Konsep Negara dalam Pemikiran Ibnu Khaldun, dalam
Jurnal Khaldun’s Political.
Outhwaite, William, Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, (Jakarta:
PMG, 2008), terj. Tri Wibowo.
Qardhawi, Yusuf, At-Tarbiyah as-Siyasiyyah ‘inda Imam Hasan al-
Banna, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2007).
Rais, M. Djiauddin. Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001).
Rifa’i, M. Nasib, Tafsir Ibnu Katsir (Jilid I Surat Al-Fatihah-An-Nisa),
(Jakarta: Gema Insani, 2009).
Rosental, Erwin Ijak. J., Political Thought in Medieval Islam,
(Cambridge: Cambridge University Press, 1962).
Shihab, Quraish, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
Volume 2.
Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1993).
Scott, John, Teori Sosial (Masalah Pokok dalam Sosiologi), (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2012).
Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2003).
Tibawi, A.L, Islamic Education “Its Traditions and Modernization into
the Arab National System”, (London: Great Russel Street, 1979).
Wahyu, Ramdani, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2007).

288

Anda mungkin juga menyukai