Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN


(APPENDISITIS)

ANGGI AINUN NISA


PO7120421003

PERSEPTOR LAHAN PERSEPTOR INSTITUSI

PROFESI NERS ANGKATAN 5

POLTEKKES KEMENKES PALU

T.A 2021 – 2022


A. PENGERTIAN

Penyakit usus buntu adalah peradangan yang terjadi pada usus buntu atau
apendiks. Usus buntu merupakan organ berbentuk kantong kecil dan tipis, berukuran
sepanjang 5 hingga 10 cm yang terhubung pada usus besar. Saat menderita radang
usus buntu, penderita dapat merasa nyeri di perut kanan bagian bawah. Jika dibiarkan,
infeksi dapat menjadi serius dan menyebabkan usus buntuh pecah, sehingga
menimbukan keluhan rasa nyeri hebat hingga membahayakan nyawa penderitanya
(Gortel et al , 2015).

B. ETIOLOGI

Penyakit usus buntu terjadi karena rongga usus buntu mengalami infeksi. Dalam
kondisi ini, bakteri berkembang biak dengan cepat sehingga membuat usus buntu
meradang, bengkak, hingga bernanah. Banyak faktor yang diduga membuat seseorang
mengalami radang usus buntu, di antaranya:

 Hambatan pada pintu rongga usus buntu


 Penebalan atau pembengkakan jaringan dinding usus buntu karena infeksi di saluran
pencernaan atau di bagian tubuh lainnya

 Tinja atau pertumbuhan parasit (misalnya infeksi cacing kremi atau ascariasis) yang


menyumbat rongga usus buntu

 Cedera pada perut.

 Kondisi medis, seperti tumor pada perut atau inflammatory bowel disease.

Kendati demikian, penyebab penyakit usus buntu tetap belum dapat dipastikan.
Berbagai mitos yang menyebabkan bahwa makanan tertentu, seperti biji cabai, dapat
memicu terjadinya usus buntu juga belum terbukti kebenarannya. Berbagai cara
mencegah usus buntu juga belum terbukti efektif sepenuhnya dan siapa pun bisa terkena
penyakit ini (Gortel et al , 2016).

C. PATOFISIOLOGI

Obstruksi total dalam lumen apendiks akan menimbulkan peningkatan tekanan


sehingga terjadi sekresi cairan dan mukus yang terus-menerus dari mukosa apendik dan
stagnasi material yang menyebabkan obstruksi tersebut. Bersamaan dengan itu, bakteri
intestinal dalam apendiks akan berkembangbiak menjadi banyak, dan mengundang
leukosit, sehingga terbentuklah pus, mengakibatkan tekanan intraluminal apendiks
menjadi semakin tinggi.

Obstruksi yang berkelanjutan terus akan meningkatkan tekanan intraluminal di


atas kapasitas yang dapat ditahan oleh vena-vena apendiks, sehingga aliran darah dalam
pembuluh darah ini ikut terobstruksi. Sebagai konsekuensinya, terjadi iskemia pada
dinding apendiks, lalu kekuatan epitelial akan menurun, dan mengundang invasi bakteri
ke dalam dinding apendiks.

Dalam beberapa jam, situasi terlokalisir ini dapat memburuk, karena bisa
terjadi trombosis arteri dan vena, memungkinkan terjadinya perforasi dan gangren.
Apabila proses ini berlanjut, dapat terjadi abses, atau peritonitis periapendikular.
Appendicitis dapat menjadi kronis, apabila obstruksi hanya parsial, transien, atau
intermiten. Karenanya, penderita akan mengalami appendicitis berulang, dengan
gambaran klinis nyeri abdomen kuadran kanan bawah yang hilang timbul. Hal ini
dapat mengaburkan diagnosis sebenarnya, dan membuat dokter mendiagnosis sebagai
penyakit gastrointestinal yang lain ( Kothadia, J.P., S. Katz, and L. Ginzburg, 2015).

D.MANIFESTASI KLINIS

Menurut Wijaya AN dan Putri (2013), gejala-gejala permulaan pada


apendisitis yaitu nyeri atau perasaan tidak enak sekitar umbilikus diikuti anoreksia,
nausea dan muntah, ini berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam
nyeri bergeser ke nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik Mc. Burney, nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung,
nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan, nyeri pada kuadran
kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, dan
mengedan, nafsu makan menurun, demam yang tidak terlalu tinggi, biasanya terdapat
konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare ( Kothadia, J.P., S. Katz, and L.
Ginzburg, 2015).
E. PATHWAY KEPERAWATAN
Hiperplasia, folikel limfoid,
fecalis, hipertropi jaringan
limfoid, cacing usus (ascaris)

Obstuksi lumen appendiks

Peningkatan tekanan
intralumen/dinding appendiks

Aliran darah dan limfe


menurun

Edema/ulserasi mukosa

APPENDISITIS
Pre Op Post Op

Pasien kurang Distensi Abdomen


Infeksi sekunder bakteri Perforasi (pecahnya
mengintepretasikan apendiks), abses
informasi Menekan gaster
Peradangan/Inflamasi
Ansietas Peningkatan produksi
Risiko Infeksi
Respon antigen dan antibody HCL
Obstuksi lumen appendiks
Mual muntah
Pengeluaran mediator
kimia : Histamin,
Bradikinin, Prostagladin
Output cairan Penurunan
Mengganggu nafsu
pusat thermostat
Mengiritasi saraf-saraf bebas Mengganggu pusat berlebihan di hipotalamus
makan
di kuadran kanan bawah thermostat
abdomen dhipotalamus
Kekurangan Ketidakseimbangan
Mengganggu pusat thermostat
Peningkatan suhu Volume Cairan Nutrisi Kurang
di hipotalamus dari
Sensasi Nyeri kebutuhan
tubuh
tubuhkebutuhan tubuh
Mengganggu pusat thermostat
Nyeri Akut Hipertermia di hipotalamus
Sumber: (Nurarif & Kusuma, 2016)

F. PENATALKSANAAN

Penatalaksanaan medis appendisitis menurut (BMJ, 2016) adalah sebagai berikut:


1) Penanggulangan konservatif terutama di berikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik berguna
untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi, sebelum operasi
dilakukan penggantian cairan dan elektrolit serta pemberian antibiotik sistemik.
2) Operatif. Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka
tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang apendiks, penundaan dengan
pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi, pada abses
apendiks dilakukan drainage.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Laboratorium Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000- 18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi,
dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan
spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2) Radiologi Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CTscan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas
yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
3) Analisa urin Bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4) Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase Membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
5) Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) Untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
6) Pemeriksaan barium enema Untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
7) Pemeriksaan foto polos abdomen Tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus
atau batu ureter kanan ( Kothadia, J.P., S. Katz, and L. Ginzburg, 2015).
H. PENGKAJIAN FOKUS
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang membutuhkan perawatan
tidak terlepas dari pendekatan dengan proses keperawatan. Proses keperawatan yaitu
suatu proses pemecahan masalah yang dinamis dalam usaha untuk memperbaiki dan
melihat pasien sampai ke taraf optimum melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk
mengenal, membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan melalui langkah-langkah
yaitu pengkajian, perencanaan, pelaksanaan tindakan, dan evaluasi keperawatan yang
berkesinambungan. Menurut (Febriani dkk, 2020) berikut tinjauan teoritis tentang
pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan Appendisitis:
A. Pengkajian
Pengkajian kerupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini, semua data-data
dikumpulkan secara sistematis gunamenentukan status kesehatan klien saat ini.
Pengkajian dilakukan secara komperhensifterkiat dengan aspek biologis, psikologis,
social maupun spiritual klien. Tujuan pengkajian adalah mengumpulkan informasi dan
membuat data dasar klien. Metode utama yang dapat digunakan dalam pengumpulan data
adalah wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostic.
1) Identitas klien. Apendisitis dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.
2) Keluhan utama. Pada anak dengan apendisitis biasanya memiliki keluhan Nyeri
terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
3) Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang. Yang harus dikaji adalah nyeri, mual muntah dan
penurunan nafsu makan.
2) Riwayat kesehatan dahulu. Yang harus dikaji antara lain penyakit anak
sebelumnya, apakah pernah dirawat di RS sebelumnya, obat-obatan yang
digunakan sebelumnya, riwayat alergi, riwayat operasi sebelumnya atau
kecelakaan dan imunisasi dasar.
3) Riwayat kesehatan keluarga. Yang harus dikaji adalah riwayat penyakit
apendisitis dalam keluarga dan penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM,
Hipertensi, dll.
4) Pemeriksaan fisik
1). Pemeriksaan umum.
Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai,
konjungtiva anemis
2). Ukuran antropometri.
Adalah pengukuran fisik yang dapat diukur dengan alat pengukur seperti
timbangan dan pita meter meliputi: berat badan, panjang badan, lingkar kepala,
lingkar dada dan linglkar lengan.
3).Pemeriksaan fisik Head To Toe
a. Kulit
Terdapat edema, turgor kulit menurun, sianosis, pucat.
b. Kuku
1. Kuku merefleksikan status kesehatan secara umum, status nutrisi dan
pekerjaan, kondisi psikologi
2. Inspeksi warna dasar kuku, ketebalan, tekstur kuku, sudut antara kuku dan
dasar kuku, serta kondisi bagian lateral dan proksimal kuku.
3. Palpasi dasar kuku
c. Kepala Dan Leher.
1. Kaji adanya riwayat trauma
2. Kaji adanya tanda-tanda neurologis: sakit kepala, pusing, kehilangan
kesadaran, kejang atau penglihatan kabur
3. Inspeksi kepala: ukuran, dan bentuk
d. Telinga
1. Inspeksi telinga
2. palpasi telinga dan prosesus mastoideus: tidak ada nyeri, bengkak, nodules
atau lesi
e. Hidung
1. Inspeksi keadaan eksternal hidung
2. Palpasi hidung
3. palpasi dan perkusi sinus frontalis dan maksilaris
f. Rongga mulut dan faring
1. Inspeksi bibir, mukosa mulut, gusi, gigi 2
2. Inspeksi uvula
g. Leher
1. Kaji fungsi otot leher
2. Palpasi nodus limfatik : lokasi, ukuran, bentuk, pergerakan, kesimetrisan,
karakteristik permukaan
3. Palpasi kelenjartiroid
4. Arteri karotid dan vena jugularis
5. Palpsi trakea
h. Abdomen : terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus ditandai dengan distensi
abdomen.
5.) Pola fungsi kesehatan menurut Gordon.
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan
olahraga (lama frekwensinya).
2) Pola nutrisi dan metabolism.
Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat pembatasan
intake makanan atau minuman sampai peristaltik usus kembali normal.
3) Pola Eliminasi.
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung kemih, rasa
nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola eliminasi
urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena
pengaruh anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.
4) Pola aktifitas.
Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri.
5) Pola sensorik dan kognitif.
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran, kemampuan
berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
6) Pola Tidur dan Istirahat
Nyeri yang berat dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
7) Pola Persepsi dan konsep diri.
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan
harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
8) Pola hubungan.
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik
dalam keluarganya dan dalam masyarakat. penderita mengalami emosi yang tidak
stabil.
9) Pemeriksaan diagnostic.
a) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut.
b) Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan non spesifik
seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau untuk mengetahui adanya
komplikasi pasca pembedahan.
c) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi.
d) Pemeriksaan Laboratorium.
1) Darah : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 µ/ml.
2) Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon klien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual
maupun potensial (PPNI, 2017). Berdasarkan pada semua data pengkajian diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada kl appendicitis, antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (inflamasi
appendicitis).(D.0077)
b. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (Infeksi pada appendicitis).
(D.0130)
c. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0080)
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (I.08238)
agen pencedera fisiologi (inflamasi keperawatan diharapkan Observasi
appendicitis).(D.0077) tingkat nyeri (L.08066) - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
dapat menurun dengan
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Kriteria Hasil :
- Identifikasi skala nyeri
- Keluhan nyeri menurun
- Identifikasi respons nyeri non verbal
- Meringis menurun
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Sikap protektif menurun
- Gelisah menurun
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri

- Kesulitan tidur menurun - Identifikasi pengaruh budaya terhadap respons nyeri


- Frekuensi nadi membaik - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/ dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitas istirahat dan tidur
- Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaboratif
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2. Hipertermia berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia (I.15506)


proses penyakit (Infeksi pada keperawatan diharapkan Observasi
appendicitis). (D.0130) termoregulasi (L.14134) - Identifikasi penyebab hipertermia (mis. Dehidrasi, terpapar
membaik dengan Kriteria
lingkungan panas, penggunaan inkubator)
Hasil :
- Monitor suhu tubuh
- Menggigil menurun.
- Monitor kadar elektrolit
- Takikardi menurun.
- Monitor haluaran urine
- Suhu tubuh membaik.
- Suhu kulit membaik.
Terapeutik

- Tekanan darah membaik - Sediakan lingkungan yang dingin


- Longgarkan atau lepaskan pakaian
- Basahi dan kipasi permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen srtiap hari atau lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis (keringat berlebih)
- Lakukan pendinginan eksternal (mis. Selimut hipotermia atau
kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)
- Hindari pemberian antiperitik atau aspirin
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
3. Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas (I.09314)
kurang terpapar informasi keperawatan diharapkan Observasi
(D.0080) tingkat ansietas (L.09093) - Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis. Kondisi, waktu,
dapat menurun dengan
stressor)
Kriteria Hasil :
- Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
- Verbalisasi kebingungan
-Monitor tanda anxietas (verbal dan non verbal)
menurun
Terapeutik
- Verbalisasi khawatir
akibat kondisi yang
- Ciptakan suasana  terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan

dihadapi menurun - Temani pasien untuk mengurangi kecemasan , jika


- perilaku gelisah menurun memungkinkan
- perilaku tegang menurun - Pahami situasi yang membuat anxietas
- konsentrasi meningkat - Dengarkan dengan penuh perhatian
- pola tidur membaik - Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan
- Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
- Diskusikan perencanaan  realistis tentang peristiwa yang akan
datang
Edukasi
- Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
- Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
- Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
- Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi ketegangan
- Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat anti anxietas, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Gorter, et al. (2016). Diagnosis and Management of Acute Appendicitis. EAES Consensus
Development Conference 2015. Surgical Endoscopy, 30(11), pp.4668-4690.

Kothadia, J.P., S. Katz, and L. Ginzburg, Chronic appendicitis: uncommon cause of chronic
abdominal pain. Therap Adv Gastroenterol, 2015.

BMJ. Appendicitis: Patient information from BMJ. Dec 2016

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan
Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Jogjakarta: Mediaction.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), 
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),  Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), 
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai