Anda di halaman 1dari 14

HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF DALAM PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN DAERAH

Maksud penyelenggaraan otonomi daerah dengan Undang-undang No.22 tahun 1999,


tentang Pemerintah Daerah, antara lain adalah untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa otonomi daerah diharapkan
akan memberdayakan masyarakat dan menghidupkan demokrasi yang tercermin dari
keterwakilan mereka di DPRD dan produk-produk kebijakan DPRD serta Pemerintah Daerah.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga perwakilan rakyat merupakan unsur
yang paling penting disamping unsur-unsur lainnya seperti, sistem pemilihan, persamaan di
depan hukum, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat dan sebagainya. Setiap
sistem demokrasi adalah ide bahwa warga negara seharusnya terlibat dalam hal tertentu di
bidang pembuatan keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui wakil
pilihan mereka di lembaga perwakilan.
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan politik di Indonesia adalah
terbentuknya sistem politik yang demokratis. Oleh karena itu, kedaulatan atau kekuasaan yang
tertinggi dalam negara haruslah berada di tangan rakyat. Artinya, rakyatlah yang berdaulat dan
sekaligus sebagai pemilik utama kekuasaan tertinggi tersebut.(Dahlan Thaib: 2000)
Sesungguhnya, semua bentuk pemerintahan memiliki satu sifat yang sama, yaitu
kewenangan untuk membuat hukum atau peraturan, serta kekuasaan untuk memaksa semua
pihak agar menaati hukum dan peraturan itu. Beda antara sistem yang demokratis dan yang tidak
demokratis terletak pada kenyataan bahwa di dalam sistem yang demokratis, kewenangan dan
kekuasaan semacam itu dibangun dan dipelihara berdasarkan kesepakatan dari rakyat, sementara
di dalam sistem yang tidak demokratis kesepakatan rakyat tidak merupakan persyaratan.
(M.Ryaas Rasyid:1997)
Memang prinsip dasar satu kehidupan yang demokratis adalah tiap warga negara ikut
aktif dalam proses politik. Namun, Almond dan Verba (1960) sudah mengingatkan bahwa kalau
setiap warga negara ikut serta dalam setiap proses politik, demokrasi justru tidak akan berjalan.
Lundberg (1990) malah memandang anggapan tiap warga negara ikut dalam tiap tahap proses

1
politik sebagai suatu mithos. Demokrasi baru bisa berjalan kalau masyarakat sadar bahwa
mereka memiliki hak untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Demokrasi baru bisa berjalan
kalau pencapaian tujuan-tujuan dalam masyarakat diselenggarakan oleh wakil-wakil mereka,
dilaksanakan dalam suatu representative government , yang dibentuk berdasarkan hasil satu
Pemilu. Cara ini menjamin rakyat ikut serta dalam proses politik tanpa sepenuhnya terlibat dalam
proses itu. (Riswandha Imawan:1998)
M. Soebiantoro dan Budi Winarno (1997), bahwa untuk memahami perkembangan
demokrasi di Indonesia, dapat dilihat dari sejauh mana peranan yang dimainkan oleh lembaga
legislatif dalam hubungannya dengan eksekutif. Apabila dalam suatu sistem politik, lembaga
legislatifnya berperanan dengan baik, artinya dapat melaksanakan fungsi-fungsinya secara
optimal, maka dapat dikatakan bahwa secara empirik negara yang bersangkutan telah
melaksanakan azas demokrasi dalam artian yang sebenarnya. Sebaliknya, apabila legislatif
kurang memainkan peranan yang berarti dalam proses politik, maka negara yang bersangkutan
dapat dikatakan belum dapat melaksanakan asas demokrasi yang dalam artian substansial,
kendatipun negara yang bersangkutan menggunakan label demokrasi. Secara demikian, maka
peranan yang dimainkan oleh lembaga legislatif menentukan kualitas demokrasi.
Dalam tataran kenegaraan melemahnya peran legislatif dan menguatnya peran
eksekutif sangat terasa pada zaman pemerintahan Orde Baru. M. Soebiantoro dan Budi Winarno
(1997) dalam abstraksi hasil penelitian tentang “Perkembangan Demokrasi di Indonesia Analisis
Hubungan Legislatif dan Eksekutif di Indonesia 1950 –1992” ; The declining role of Indonesia’s
legislative was caused by the political policy which was made by Indonesian elite. Elite had
made the legislative was in inferior position vis-à-vis the executive in deciding political policies.
The dominant position of Indonesia’ excecutive was supported by the model of bureaucratic
polity- that is, a political system in which power and participation in national decitions are
limited almost entirely to the employees of the state, particularly the officer corps and the
highest levels of bureaucracy.

Menguatnya peran Eksekutif di Pusat juga diikuti oleh menguatnya peran kepala
daerah terhadap DPRD. Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah memberi peluang bagi terjadinya hal tersebut dengan menempatkan DPRD sebagai

2
bagian dari pemerintah daerah bukan suatu badan legislatif daerah yang terpisah dari eksekutif
daerah.
Bagaimana besarnya kekuasaan yang diemban oleh Kepala Daerah dapat terlihat
dalam pasal 80, UU No.5 tahun 1974 ; Kepala wilayah sebagai wakil pemerintah adalah
penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin
pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala
bidang. Selanjutnya dalam penjelasan umum undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dalam
diri kepala daerah terdapat dua fungsi, yaitu fungsi sebagai kepala daerah otonom dan fungsi
sebagai kepala wilayah. Sebagai kepala daerah otonom ia memimpin penyelenggaraan dan
bertanggungjawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah. Sebagai kepala wilayah ia
memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas pemerintah pusat di
daerah. Dengan kata lain kepala daerah karena jabatannya disamping sebagai kepala daerah
otonom dia juga merangkap sebagai kepala wilayah, yang menjadi wakil pemerintah pusat di
daerah.
Ketentuan lain yang melemahkan ruang gerak kewenangan DPRD adalah terlihat
dalam tata cara pemilihan Kepala Daerah. Undang-undang ini menjelaskan bahwa kepala daerah
dicalonkan dan dipilih oleh DPRD sedikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang.
Selanjutnya hasil pemilihan tersebut diajukan oleh DPRD kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri, sedikit-dikitnya dua orang untuk dipilih salah satu diantaranya. Uniknya Presiden
atau Menteri dalam Negeri tidak terikat dengan jumlah suara yang diperoleh oleh calon-calon
yang diajukan DPRD. Implikasi dari sistem pengangkatan tersebut adalah pada
pertanggungjawaban Kepala Daerah tidak kepada DPRD tetapi kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri (pasal 22 ayat 2 UU No.5 tahun 1974)
Pola pertanggungjawaban demikian tidak menjadikan Pemerintah Daerah makin dekat
kepada rakyatnya tapi lebih cendrung mengabdi pada Pemerintah Pusat. Affan Gafar (2000)
mengemukakan ; Untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang dekat dengan rakyat di daerah,
maka perlu redefinisi tentang pemerintahan daerah, sehingga UU No.5/1974 sudah seharusnya
diubah dengan sebuah UU Pemerintahan Daerah yang baru, yang lebih mencerminkan kehendak
masyarakat di daerah. Rekruitmen pejabat pemerintahan di daerah, dengan sendirinya, sudah
seharusnya melibatkan warga masyarakat di daerah, terutama DPRD.

3
Salah satu gema reformasi adalah sekitar penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
terutama yang berkaitan dengan kedudukan kepala daerah dan optimalisasi peran DPRD sebagai
penyalur aspirasi rakyat di daerah. Sebagaimana diketahui menguatnya peran kepala daerah atau
eksekutif di satu pihak dan melemahnya peran DPRD di pihak lain dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut berbagai kepentingan merupakan salah satu alasan untuk mencabut
UU No. 5 tahun 1974. (Dahlan Thaib : 2000 :85).
Dalam sistem pemerintahan daerah kedudukan antara dua lembaga akan menentukan
pola hubungan yang terjadi antara keduanya. Hubungan antara legislatif daerah dalam hal ini
DPRD dengan Eksekutif Daerah atau Pemerintah Daerah telah mengalami beberapa kali
perubahan sejalan dengan perubahan peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang
Pemerintahan Daerah. Pemberlakuan undang-undang No.22 tahun 1999 juga membawa beberapa
perubahan dalam kedudukan dan hubungan antara DPRD dengan Pemerintah Daerah. Dalam UU
No.22 Tahun 1999 pasal 14 ayat 1; Di Daerah dibentuk DPRD sebagai badan legislatif daerah
dan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah.
Adanya pemisahan peran yang jelas antara Pemerintah Daerah selaku Badan Eksekutif
Daerah dengan DPRD selaku Badan legislatif daerah, memberikan paradigma baru pada
hubungan antara DPRD dengan Pemerintah Daerah. Sama seperti yang dianut oleh Undang-
undang No.5 tahun 1974 dalam Undang-undang No.22 tahun 1999, DPRD berkedudukan sejajar
dan menjadi mitra bagi pemerintah daerah. Kesetaraan dan kemitraan tersebut, menunjukkan
suatu kondisi dan peran yang “equal” antara keduanya. Kesetaraan kedua lembaga tersebut saat
ini menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti, terutama beberapa hal menyangkut fungsi
legislatif (perundang-undangan) dan fungsi pengawasan (control) serta tugas dan wewenang
pengusulan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Nuansa baru yang dibawa oleh UU No.22 tahun 1999, adalah adanya suasana
parlementer dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagaimana wacana yang
berkembang saat ini bahwa suasana parlementarian dapat terlihat dengan begitu luasnya
kewenangan yang ada pada DPRD, antara lain dengan kewajiban kepala daerah untuk
menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD. Kepala daerah dapat diberhentikan
sebelum masa jabatan berakhir apabila pertanggungjawabannya ditolak oleh DPRD. Menurut
E.Koswara (2000), ini semacam impeachment yang menandakan berjalannya mekanisme check
and balances. Bagir Manan (2001) melihat wewenang menetapkan peraturan daerah (Perda)

4
yang telah disetujui bersama ada pada kepala daerah merupakan pengaruh dari sistem
parlementer serta pengaruh sistem check and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan.
Secara umum implikasi yang terjadi dengan makin luasnya kewenangan yang dimiliki
oleh DPRD diantaranya adalah kecenderungan menguatnya peran DPRD sebagaimana
dikemukakan banyak pendapat belakangan ini. Kecenderungan mana juga terjadi di daerah.
Peran DPRD ketika diberlakukannya UU No.5 tahun 1974, hampir tidak kelihatan sama sekali,
kalau tidak boleh dikatakan tidak kelihatan sama sekali, baik dalam pelaksanaan fungsi legislasi
maupun pengawasan. Kondisi demikian tidak terlepas dari kuatnya dominasi eksekutif (Pemda)
pada waktu itu.
Ketika pendulum bergerak kearah yang berlawanan, dengan terjadinya reformasi
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, DPRD yang dulunya dalam posisi yang lemah atau
dilemahkan berubah menjadi lembaga yang mempunyai kekuasaan yang sangat luas atau
powerful. Di daerah penguatan fungsi DPRD baru terlihat pada pelaksanaan fungsi pengawasan.
Berbicara tentang menguatnya peran DPRD tidak bisa dipisahkan dengan pola
hubungan legislatif-eksekutif daerah, karena kedua lembaga itu merupakan penyelenggara
pemerintahan daerah dalam artian luas. Dalam kerangka hubungan legislatif-eksekutif daerah
terkadang terjadi polemik antara eksekutif dan legislatif tentang keabsahan atau legitimasi Bupati
dan Wakil Bupati.
Menguatnya peran DPRD, memunculkan kesan dan anggapan seolah-olah ada
dominasi badan legislatif daerah terhadap badan eksekutif daerah. Pandangan tersebut tidak
sepenuhnya benar, jika dikaitkan dengan adanya suasana parlementer dan mekanisme check and
balances yang mewarnai hubungan legislatif dan eksekutif daerah sebagaimana disebutkan di
atas. Dalam konteks pembicaraan ini, menarik untuk disimak terjadinya pola hubungan yang
baru antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta dampak perubahan pola hubungan tersebut
terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

1. Pembagian Kekuasaan
Dalam pemerintahan yang demokratis kekuasaan tidak berada dan dijalankan oleh
satu badan tapi dilaksanakan oleh beberapa badan atau lembaga. Tujuan dari dibagi-baginya
penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak terpusat hanya pada satu tangan

5
yang dapat berakibat pada terjadinya pemerintahan yang otoriter dan terhambatnya peran
serta rakyat dalam menentukan keputusan-keputusan politik.
Dengan adanya pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara sebagai salah
satu ciri negara demokrasi, di dalamnya terdapat beberapa badan penyelenggara kekuasaan
seperti, badan legislatif, eksekutif, yudikatif dan lain-lain. Pada umumnya negara yang
menerapkan sistem pembagian kekuasaan mengacu pada teori “Trias Politica” Montesquieu
dengan melakukan beberapa variasi dan pengembangan dari teori tersebut dalam
penerapannya.
Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam
kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam
peristilahan baru sering disebut rule making functions) ; kedua kekuasaan eksekutif atau
kekuasaan melaksanakan undang-undang ( dalam peristilahan baru sering disebut rule
application function) ; ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule adjudication
function). Trias politica adalah satu prinsip normative bahwa kekuasaan- kekuasaan
(functions) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah
penyalah gunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-
hak azasi warga negara lebih terjamin.
Doktrin ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632 – 1704) dan
Montesquie (1689 – 1755) dan pada taraf ini ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan
(separation of powers). Filsuf Inggeris John Locke mengemukakan konsep ini dalam
bukunya berjudul Two Treatises on Civil government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik
atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta membenarkan revolusi Gemilang tahun
1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh parlemen Inggeris.
Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama
lain. Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang.;
kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya
termasuk kekuasaan mengadili (Locke memandang mengadili itu sebagai “uitvoring”, yaitu
dipandangnya sebagai termasuk pelaksanaan undang-undang) dan kekuasaan federatif ialah
kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan

6
dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan
luar negeri) (Miriam Budiardjo 1978 : 151).
Akan tetapi, sekalipun ketiga kekuasaan sudah dipisah satu sama lain sesempurna
mungkin, namun para penyusun undang-undang dasar Amerika Serikat masih juga
menganggap perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui
batas kekuasaannya. Maka dari itu dicoba untuk membendung kecenderungan ini dengan
mengadakan suatu sistem “checks and balances” (pengawasan dan keseimbangan) dimana
setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.
Berbicara teori check and balances akan lebih lengkap bila melihat teori itu dalam
sistem ketatanegaraan Amerika karena teori ini sudah cukup lama diterapkan. Bambang
Cipto (1995) ; Sejarah kolonial Amerika memberikan cap khusus pada sistem politik
Amerika modern. Selama berkuasa pihak pemerintah kolonial Inggris menentukan siapa
yang akan menjadi gubernur. Pengalaman pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan
legislatif agaknya cukup dalam terbenam ke dalam kesadaran masyarakat Amerika pada
awal-awal kemerdekaan. Dorongan dari pemikiran Montesqueiu menjadikan kecenderungan
ke arah prinsip pemisahan kekuasaan sangat kuat mewarnai pemikiran politik para bapak
pendiri Amerika. Itulah sebabnya parlemen di negara-negara bagian Amerika lebih dikenal
sebagai legislature daripada “parlemen”. Sementara diluar Amerika digunakan istilah
“parlemen”, “diet” , atau “assembly” yang maknanya adalah tempat untuk mendiskusikan
urusan politik.
Sekalipun demikian harus diingat bahwa Amerika mengenal sistem “checks and
balances. Sistem ini menutup kemungkinan bagi tumbuhnya sebuah badan pengambil
keputusan tunggal atau monopoli kekuasaan pada satu badan politik. Dengan sendirinya
legsilature dalam sistem Amerika bukan satu-satunya pembuat dan pelaksana undang-
undang. Sebagai konsekwensinya badan eksekutif juga memiliki wewenang untuk
menjalankan fungsi yang sama seperti yang dilakukan oleh legislature. Jika disimak
penjelasan di atas, akan terlihat bahwa perbedaan antara satu sistem parlemen dengan sistem
parlemen lainnya terletak pada derajat pemisahan tersebut. Jadi secara prinsip masing-
masing parlemen memiliki wewenang yang kurang lebih sama namun pada tingkat tertentu
mereka menunjukkan perbedaan.

7
Hubungan legislatif eksekutif juga dipengaruhi oleh masa bakti masing-masing
anggota. Besarnya tingkat kemandirian baik kongres maupun eksekutif Amerika
dimungkinkan antara lain oleh masa bakti yang berbeda. Prinsip pemisahan kekuasaan
dicerminkan dalam cara pemilihan anggota kedua badan yang ditopang oleh kedua
masyarakat pemilih berbeda serta masa bakti berbeda. Kongres tidak berhak untuk
menentukan pemilihan kepala eksekutif, demikian pula sebaliknya. Kecuali dalam kasus luar
biasa dalam mana proses pemilihan presiden gagal menentukan calon presiden, maka
terbuka peluang bagi kongres untuk ikut serta dalam penentuan kepala eksekutif. Kongres
bahkan tidak mudah menghentikan tugas kepresidenan kecuali dengan prosedur
impeachment yang sangat jarang dilakukan. Keterbatasan-keterbatasan di atas sangat
diyakini oleh masyarakat politik Amerika sehingga menimbulkan apa yang kemudian
dikenal luas sebagai prinsip checks and balances. (ibid)
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa sistem atau mekanisme check and
balances itu berlaku dalam pemerintahan yang menganut sistem parlementer.
Menyangkut pelaksanaan sistem “checks and balances” dengan kewenangan
presiden, Miriam Budiardjo (1978) menjelaskan ; Dalam rangka “checks and balances” ini
presiden diberi wewenang untuk memveto rancangan undang-undang yang telah diterima
oleh Congress, akan tetapi di fihak lain veto ini dapat dibatalkan oleh Congress dengan
dukungan 2/3 suara dari kedua majelis. Mahkamah Agung mengadakan check terhadap
badan eksekutif dan badan legislatif melalui yudicial review (hak uji). Dilain fihak Hakim
Agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif seumur hidup dapat dihentikan oleh
Congress kalau ternyata telah melakukan tindak kriminil. Begitu pula presiden dapat di
–“impeach” oleh badan itu. Presiden boleh menandatangani perjanjian internasional, tetapi
baru dianggap sah jika senat juga mendukungnya. Begitu pula untuk pengangkatan jabatan-
jabatan yang termasuk wewenang presiden, seperti hakim agung dan duta besar, diperlukan
persetujuan dari Senat. Sebaliknya menyatakan perang (suatu tindakan eksekutif) hanya
boleh diselenggarakan oleh Congress. Jadi sistem “checks and balances” ini, yang
mengakibatkan satu cabang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi
kerja (seperti yang dilihat di Inggris dalam fungsi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif),
tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara lebih efektif.

8
Oleh karena keadaan tersebut di atas, maka ada kecenderungan untuk menafsirkan
Trias Politica tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan (saparation of powers), tetapi sebagai
pembagian kekuasaan (devision of powers) yang diartikan bahwa hanya fungsi pokoklah
yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct
hands), tetapi untuk selebihnya kerjasama diantara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan
untuk kelancaran organisasi.
Dahlan Thaib (2000) mengemukakan bahwa dengan adanya pemisahan kekuasaan
maka tidak ada campur tangan antara organ-organ negara itu dalam operasional kekuasaan
masing-masing. Dengan sistem yang demikian maka di dalam ajaran Trias Politica terdapat
suasana “Check and Balances” , dimana di dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara
itu terdapat sikap saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin masing-masing
lembaga negara itu melampaui batas kekuasaan yang telah di tentukan. Dengan demikian
akan terdapat hubungan kekuasaan antar lembaga-lembaga negara tersebut.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa sistem check and balances dapat mencegah
lembaga atau badan-badan yang telah mempunyai kekuasaan masing-masing untuk tidak
melakukan hal-hal yang bukan menjadi bagian kekuasaannya. Penyelenggaraan kekuasaan
akan menjadi lebih efektif karena antara cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain
hubungannya diatur sedemikian rupa dalam kerangka keseimbangan dan pengawasan.
Penjelmaan konsep Trias Politica dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia antara lain dapat dilihat dari undang-undang dasar negara. Dengan menelaah tiga
undang-undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu ; Undang-undang Dasar 1945
yang berlaku dari 1945 sampai 1949 yang kemudian diganti dengan UUD Federal dan UUD
Sementara 1950, selanjutnya diberlakukan kembali tahun 1959 melalui Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Miriam Budiardjo (1978) berpandangan bahwa ketiga undang-undang dasar
tersebut tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politica yang dianut, tetapi
oleh karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional,
maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut trias politica dalam arti pembagian
kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian bab dalam undang-undang dasar 1945. Misalnya
Bab III tentang kekuasaan pemerintah negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat
dan Bab IX tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif dijalankan presiden

9
dibantu oleh menteri-menterinya, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman.
Dalam bab III UUD 1945, mengatur antara lain mengenai kekuasaan yang dimiliki
oleh presiden seperti, kekuasaan bidang pemerintahan, membentuk undang-undang,
membentuk peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang, memegang kakuasaan
tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara. Dengan persetujuan DPR
presiden dapat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Bab ini juga mengatur tentang pemilihan presiden dan wakil presiden serta masa jabatannya,
pemberian grasi, amnesti abolisi dan rehabilitasi, dan lain-lainnya. Jika diamati secara
mendalam, pemberian grasi, amnesti, abolisi dan reahabilitasi dapat dikategorikan pada
kekuasaan presiden dalam bidang yudikatif.
Dalam bab VII UUD 1945, mengatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
antara lain mengenai, susunan DPR, masa sidang DPR sedikit-dikitnya satu kali dalam
setahun, persetujuan terhadap suatu undang-undang, pengesahan rancangan undang-undang
yang berasal dari DPR oleh presiden. Bab ini juga mengatur hak presiden untuk menetapkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa.
Sedangkan dalam bab IX UUD 1945 mengatur, tentang kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut undang-undang dimana susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman
tersebut diatur lagi dengan undang-undang. Disini juga diatur syarat untuk menjadi dan
diberhentikan sebagai hakim, yang pengaturannya labih lanjut dilakukan dengan undang-
undang.
Miriam Budiardjo melihat penggunaan konsep Trias Politica dengan cara pandang
terhadap pasal-pasal dan bab yang terdapat dalam hukum dasar yang berkaitan dengan
pengaturan pembagian kekuasaan dalam negara, serta penerapannya pada lembaga-lembaga
penyelenggara kekuasaan tersebut.
Sementara Inu Kencana (1994: 118 -119) dalam bukunya “Sistem Pemerintahan
Indonesia” mengemukakan beberapa model pembagian kekuasaan yang dikutip dari
beberapa pakar. Disini ia menggunakan kata praja untuk kekuasaan. Pendapat-pendapat
tersebut dapat digolongkan serta diberi istilah sebagai berikut :

10
Eka Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh satu badan. Bentuk ini sudah
tentu diktator(autokrasi) karena tidak ada balance (tandingan) dalam era pemerintahannya.
Jadi yang ada pihak eksekutif saja, dan bisa muncul pada suatu kerajaan absolut atau
pemerintahan facisme.
Dwi Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh
Frank J. Goodnow dikategorikan sebagai lembaga administratif (unsur penyelenggara
pemerintahan) dan lembaga politik (unsur pengatur undang-undang).
Tri Praja ialah apabila kekuasaan dipegang oleh tiga badan. Bentuk ini diusulkan
oleh para pakar yang menginginkan demokrasi, yaitu dengan pemisahan atas lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tokohnya Montesquieu dan John Locke, serta yang agak
identik Gabriel Almond.
Catur Praja ialah apabila kekuasaan dipegang oleh empat badan. Bentuk ini baik
apabila benar-benar dijalankan dengan konsekwen, bila tidak akan tampak kemubaziran.
Van Valen Hoven pernah mengkategorikan bentuk ini menjadi regiling, bestuur, politie dan
rechspraah.
Panca Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh lima badan. Bentuk ini
sekarang dianut oleh Indonesia karena walaupun dalam hitungan tampak enam badan yaitu
konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif, inspektif, dan konstitutif. Namun dalam
kenyataannya konstitutif (MPR) anggota-anggotanya terdiri dari anggota legislatif bahkan
ketuanya sampai saat ini dipegang oleh satu orang.
Karena kaburnya gagasan Trias Politica dewasa ini, maka ada usaha untuk mencari
peristilahan yang lebih mendekati kenyataan. Salah satu usaha kearah ini dapat dilihat
dalam analisis Gabriel D. Almond seorang sarjana yang terkenal sebagai penganut
pendekatan tingkah laku. Sarjana ini lebih suka memakai istilah rule making function, dari
pada istilah fungsi legislatif untuk menghindarkan pengertian seolah-olah ketentuan-
ketentuan dan perundang-undangan yang akhirnya mengikat masyarakat politik hanya
ditentukan dalam badan legislatif. Istilah “rule making” mencakup juga kegiatan membuat
ketentuan-ketentuan yang mengikat yang diselenggarakan dalam badan eksekutif dan
panitia-panitia kecil, dewan-dewan ataupun rapat-rapat diluar lingkungan badan legislatif.
Dalam analisa ini istilah rule application function mengganti istilah fungsi eksekutif,

11
sedangkan istilah rule adjudication function mengganti istilah fungsi yudikatif.(Miriam
Budiardjo :1978 ;151-158)
Pada tingkat penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia pembagian
kekuasaan diberikan kepada badan legislatif daerah (DPRD) dan badan eksekutif daerah
(Pemerintah Daerah). Jika dipahami lebih jauh, dalam menjalankan kekuasaannya masing-
masing badan tersebut juga mengenal dan melaksanakan mekanisme “check and balances”
yang dapat dianggap sebagai miniatur dari mekanisme check and balances yang terdapat
pada penyelenggaraan pemerintahan yang lebih tinggi.

2. Hubungan Legislatif dan Eksekutif Daerah


Hubungan antara legislatif daerah (DPRD) dengan eksekutif daerah (Pemda) akan
muncul berkaitan dengan dilaksanakannya tugas dan wewenang masing-masing, terutama
bidang tugas yang menjadi urusan bersama seperti pembuatan peraturan daerah (Perda),
penetapan APBD dan lain-lainnya. UU no.22 tahun 1999 pasal 16 ayat 2 menyatakan bahwa
badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah.
Untuk menjamin pelaksanaan tugas dan kewenangan agar dapat berlangsung
seimbang, kepada kedua institusi ini diberi kedudukan sejajar dalam pola kemitraan.
Artinya, diantara kedua institusi tidak dikenal hubungan secara hirarkhi atau tidak berlaku
hubungan atasan-bawahan. Dengan demikian yang dikenal adalah hubungan koordinatif atau
kerjasama, dan bukan hubungan sub ordinatif. Dalam hubungan horizontal ini, masing-
masing institusi berada pada jalur tugas dan kewenangannya yang tidak dapat saling
diintervensi. Pemda tidak dapat memasuki ranah politik, dan DPRD tidak bisa memasuki
administrasi pemerintah daerah.(B.Yudoyono :2001 ;95)
Melalui penelitian ini akan coba diungkap sejauh mana pelaksanaan fungsi legislasi
dan pengawasan yang dilakukan oleh DPRD serta pengaruhnya terhadap pola hubungan
legislatif dan eksekutif daerah dan berjalannya mekanisme “check and balances”. Suasana
parlementer dalam hubungan legislatif-eksekutif daerah yang menunjukkan adanya
mekanisme check and balances antara lain dikemukakan oleh :
Bagir Manan (2001: 136), wewenang menetapkan Perda yang telah disetujui
bersama ada pada kepala daerah. ada dua dasar ketentuan ini. Pertama ; pengaruh sistem
parlementer. Dalam sistem parlementer kepala negara yang menetapkan atau mengesahkan

12
RUU menjadi undang-undang. Lebih-lebih lagi dalam negara yang berbentuk kerajaan.
Rajalah yang secara hukum sebagai pembentuk undang-undang. Di Inggris dikenal sebutan
Queen (King) in Parliament yang menunjukkan bahwa parlemen pada dasarnya adalah
aparat raja (ratu). Kedua ; pengaruh sistem checks and balances dalam sistem pemisahan
kekuasaan. Di Amerika Serikat (dan negara-negara semacam itu), wewenang menetapkan
RUU yang telah disetujui Kongres ada pada presiden, sebagai bentuk checks and balances
antara Kongres dan Presiden.
E.Koswara (2000), melihat mekanisme Check and Balances pada proses
pemberhentian kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir (impeachment). Terdapat
tujuh kategori kemungkinan kepala daerah dapat diproses pemberhentiannya sebagai kepala
daerah sebelum masa jabatannya berakhir, sebagai berikut :
(1) Pertanggungjawabannya ditolak oleh DPRD.
(2) Tidak memenuhi syarat sebagai kepala daerah.
(3) Melanggar sumpah/janji kepala daerah.
(4) Melanggar larangan bagi kepala daerah.
(5) Mengalami krisis kepercayaan publik yang luas.
(6) Melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam hukuman kurungan 5(lima) tahun
atau lebih.
(7) Apabila diduga melakukan makar dan terbukti melakukan perbuatan yang dapat
memecah belah Negara Kesatuan RI.
Lima kategori pertama dilakukan dengan melibatkan DPRD. Artinya kalau
impeachment tersebut akan dikenakan kepada kepala daerah, tidak otomatis kepala daerah
berhenti, melainkan melalui proses sidang DPRD dimana setidak-tidaknya 2/3 anggota
DPRD harus hadir, dan 2/3 dari anggota yang hadir harus menyetujuinya untuk dapat
diusulkan pemberhentiannya kepada presiden. Dengan demikian terdapat check and balance
antara pemilihan, penetapan, pengesahan dan pemberhentian kepala daerah. Proses
pemberhentian untuk dua kategori terakhir tidak memerlukan keterlibatan DPRD, melainkan
langsung dilakukan oleh presiden, yaitu (a) bagi kepala daerah yang diduga melakukan
makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah negara kesatuan Republik
Indonesia diberhentikan untuk sementara dari jabatannya oleh presiden tanpa melalui
keputusan DPRD ; (b) bagi kepala daerah yang terbukti melakukan makar dan perbuatan

13
yang dapat memecah belah negara kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan
keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, diberhentikan
dari jabatannya oleh presiden tanpa melalui persetujuan DPRD.
Dalam UU No.22 tahun 1999 kedudukan DPRD diberdayakan dengan memperluas
hak-hak dan wewenangnya, serta pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD
dipertegas, yang memungkinkan kepala daerah dapat diproses melalui impeachment ,
apabila pertanggung jawabannya ditolak oleh DPRD. Namun demikian, kedudukan DPRD
tetap merupakan mitra sejajar dengan kepala daerah untuk tetap memelihara check and
balances antara DPRD dan kepala daerah, serta terpeliharanya efektivitas dan stabilitas
pemerintahan daerah. Pemberlakuan UU No.22 tahun 1999 tidak hanya mambawa
perubahan paradigma hubungan eksekutif-legislatif daerah tapi juga pada perubahan pola
hubungan pusat dan daerah. Dari makalah Workshop DPRD Lombok Tengah (2000) secara
ringkas digambarkan bagaimana terjadinya perubahan karakteristik relasi kekuasaan baik di
antara lembaga-lembaga politik utama dalam berbagai tingkatan maupun antara daerah-
daerah dengan Jakarta. Perubahan karakteristik ini muncul dengan terjadinya peralihan dari
era pemerintahan Soeharto yang sentralistik-otoritarianisme ke era reformasi yang lebih
demokratis.
Setidaknya ada dua hal penting dengan adanya perubahan format tersebut ;
Pertama, terjadinya pergeseran arena pergulatan politik dari pusat ke daerah dengan adanya
keleluasaan daerah untuk membuat keputusan politik tanpa harus diintervensi oleh pusat.
Hal ini dimungkinkan dengan adanya UU No.22 tahun 1999, yang memberi keleluasaan
pada daerah dalam membuat keputusan politik. Kedua, memungkinkan terjadinya
pergeseran dari “pemerintahan oleh birokrasi” (bureaucratic government) kepada
“pemerintahan partai” (party government) baik di tingkat Nasional maupun di Daerah. Hal
ini dimungkinkan dengan berlakunya UU No.4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan
MPR/DPR dan DPRD serta hasil Pemilu 1999.
Dengan beralihnya ajang pergulatan politik dari pusat ke daerah sangat
memungkinkan terjadinya pergeseran pola hubungan antara legislatif dan eksekutif daerah.
Sementara itu kenyataan saat ini menunjukkan telah berlangsungnya pemerintahan partai.
Jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan
wakilnya pada umumnya dikuasai oleh Parpol.

14

Anda mungkin juga menyukai