Output dari proses dalam sistem produksi dapat berbentuk barang dan/atau jasa,
yang dalam disebut sebagai produk. Pengukuran karakteristik output seyogianya
mengacu kepada kebutuhan atau keinginan konsumen dalam pasar yang amat sangat
kompetitif sekarang ini. Pengukuran output yang paling mudah dan bersifat klasik
adalah unit output yang diproduksi oleh sistem produksi itu. Dalam era persaingan
bebas sekarang ini, pengukuran sistem produksi yang hanya mengacu kepada kuantitas
output semata akan dapat menyesatkan (misleading), karena pengukuran ini tidak
memperhatikan karakteristik utama dari proses yaitu: kapasitas, efisiensi, efektivitas,
dan fleksibilitas.
Dalam sistem produksi modern, seperti: Lean atau Just-in-Time (JIT), beberapa
pengukuran pada tingkat output sistem produksi yang relevan dipertimbangkan,
adalah:
1. Kuantitas produk sesuai pesanan konsumen atau permintaan pasar, diukur dalam
satuan unit.
2. Tingkat efektivitas dari sistem produksi, merupakan rasio output aktual terhadap
output yang direncanakan sesuai permintaan pasar, diukur dalam satuan persen,
nilai ideal adalah 100%. Penyimpangan dari nilai 100%, baik lebih atau kurang harus
dikoreksi pada proses produksi berikutnya agar memperkecil atau menghilangkan
penyimpangan yang ada.
3. Banyaknya produk cacat, dapat diukur dalam satuan unit atau persentase dari
output total yang diproduksi sesuai permintaan pasar. Dalam sistem produksi Lean
Six Sigma besaran persentase (per seratus) diubah menjadi per sejuta (defects per
million opportunities = DPMO).
4. Biaya per unit output, diukur dalam satuan mata uang seperti: rupiah/unit,
dollar/unit, dll.
5. Karakteristik kualitas produk sesuai keinginan konsumen (pasar). Lingkungan
diketahui bahwa sistem produksi berada dalam lingkungan yang ikut mempengaruhi
keberadaan sistem produksi itu. Para manajer bisnis dan industri yang bermaksud
2
c. Kelebihan produksi di atas tingkat permintaan pasar, apabila dijual oleh produsen
akan menimbulkan penawaran berlebih (excess supply), sehingga keseimbangan
pasar terganggu yang akan menekan harga jual produk itu.
Dalam situasi persaingan pasar yang amat sangat kompetitif sekarang ini, di mana
pasar yang menetapkan harga (produsen harus mengikuti harga pasar yang berlaku)
serta konsumen hanya membeli produk pada saat dibutuhkan dengan harga yang
kompetitif pada tingkat kualitas yang diinginkan, maka strategi produksi tepat waktu
(Just-in-Time) lebih tepat dibandingkan strategi produksi konvensional yaitu:
menghasilkan output maksimum pada tingkat penggunaan input tertentu, melebihi
kebutuhan konsumen (pasar).
Sistem produksi tepat waktu (Just-In-Time Production System) pada awalnya
dikembangkan dan dipromosikan oleh Toyota Motor Corporation di Jepang, sehingga
sering disebut juga sebagai sistem produksi Toyota. Strategi ini kemudian diadopsi oleh
banyak perusahaan Jepang, kemudian meluas ke Amerika Utara yang pada akhir-akhir
ini dikenal sebagai Sistem Produksi Lean, bahkan berkembang terus menjadi Lean Six
Sigma.
Strategi produksi Just-in-Time (JIT) diterapkan pada seluruh sistem industri modern
sejak proses rekayasa (engineering), pemesanan material dari pemasok (suppliers),
manajemen material dalam industri, proses fabrikasi industri, sampai kepada distribusi
produk industri kepada konsumen. Tampak bahwa sistem industri modern berorientasi
kepada kepuasan konsumen dengan jalan mengintegrasikan ketiga komponen utama,
yaitu: pemasok material (input), proses fabrikasi (factory process), dan pelanggan
(customers) sebagai satu sistem yang utuh.
Beberapa sasaran utama yang ingin dicapai dari sistem produksi Just-in-Time,
adalah: (1) reduksi scrap dan rework, (2) meningkatkan jumlah pemasok yang ikut Just-
in-Time, (3) meningkatkan kualitas proses industri (orientasi zero defect), (4)
mengurangi inventori (orientasi zero inventory), (5) reduksi penggunaan ruang pabrik,
(6) linearitas output pabrik (berproduksi pada tingkat yang konstan selama waktu
tertentu), (7) reduksi overhead, dan (8) meningkatkan produktivitas total industri
secara keseluruhan.
Untuk dapat menerapkan strategi Just-in-Time, maka sistem informasi dalam
industri harus bersifat transparan dan komprehensif, di mana beberapa mode
informasi yang diperlukan adalah: (1) daftar pemasok material dalam program Just-in-
6
Time, (2) laporan kualitas yang komprehensif dalam perusahaan, (3) laporan secara
rutin kepada pemasok material dan departemen pembelian material dari perusahaan,
serta (4) pertemuan secara periodik dengan setiap pemasok material.
Agar strategi Just-in-Time yang diterapkan menjadi efektif, maka tentu saja perlu
dibuat tindakan korektif dalam program ini apabila berjalan tidak sesuai dengan
harapan yang ada. Beberapa tindakan korektif dalam program Just-in-Time adalah: (1)
membuat daftar masalah kepada pemasok material, (2) meminta komitment pemasok
untuk menyelesaikan masalah, (3) memberikan dukungan teknik dan manajemen
kepada pemasok apabila diperlukan, (4) diskualifikasi pemasok material itu apabila
tidak ada respons terhadap masalah dalam waktu tertentu, (5) melakukan inspeksi
secara berkala, dan (6) diskualifikasi terhadap pemasok yang tidak melakukan
peningkatan atau perbaikan kualitas. Skema sistem produksi Just-in-Time, tampak
bahwa sasaran dari strategi produksi Just-in-Time (JIT) adalah reduksi biaya dan
meningkatkan arus perputaran modal (capital turnover ratio) dengan jalan
menghilangkan setiap pemborosan (waste) dalam sistem industri. JIT harus dipandang
sebagai sesuatu yang lebih luas daripada sekedar suatu program pengendalian
inventori. JIT adalah suatu filosofi yang berfokus pada upaya untuk “menghasilkan
produk dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan konsumen pada tempat dan
waktu yang tepat”.
Nilai tambah produk diperoleh hanya melalui aktivitas aktual yang dilakukan langsung
pada produk, tidak melalui: pemindahan, penyimpanan, penghitungan, dan
penyortiran produk. Pemindahan, penyimpanan, penghitungan, dan penyortiran
produk, tidak menambah nilai pada produk itu, tetapi merupakan biaya, dan biaya
yang dikeluarkan tanpa memberikan nilai tambah pada produk merupakan
pemborosan (waste). Untuk memahami filosofi JIT secara lengkap, kita harus
memahami pendekatan JIT pada kualitas dan pengendalian kualitas (quality control).
Secara tradisional, para pembuat produk (manufacturers) biasanya melakukan inspeksi
terhadap produk setelah produk itu selesai dibuat (setelah berbentuk produk jadi),
dengan jalan menyortir produk yang baik dari yang jelek (menyortir produk yang
memenuhi syarat dari yang tidak memenuhi syarat), kemudian mengerjakan ulang
(rework) bagian-bagian yang cacat atau tidak memenuhi syarat itu. JIT justru bertujuan
mencegah pendekatan pada pengendalian kualitas secara tradisional di atas.
Pandangan JIT adalah jangan membuang-buang waktu dengan hanya menyortir
bagian-bagian yang baik dari yang jelek atau bagian-bagian yang memenuhi syarat dari
yang tidak memenuhi syarat, tetapi pergunakanlah waktu itu untuk mencegah
memproduksi bagian-bagian yang jelek atau tidak memenuhi syarat itu. Dengan kata
lain, JIT berpandangan bahwa “Kerjakanlah Secara Benar Pada Waktu Awal (Do It
Right The First Time)”. Pendekatan JIT pada pengendalian kualitas terpadu (Total
Quality Control = TQC) bertujuan untuk membangun suatu sikap yang berdasarkan
pada tiga prinsip utama, yaitu:
1. Prinsip pertama: output yang “bebas cacat” adalah lebih penting daripada output
itu sendiri.
2. Prinsip kedua: cacat, kesalahan-kesalahan, kerusakan, kemacetan, dll., dapat
dicegah.
3. Prinsip ketiga: tindakan pencegahan adalah lebih murah daripada pekerjaan
ulang (rework).
kontinu di mana semakin lancar aliran produksi itu akan semakin baik. Aliran produksi
kontinu ini dapat dilaksanakan menggunakan sistem produksi JIT yang dibantu dengan
sistem autonomous. Pengertian autonomous di sini tidak sekedar berupa penggunaan
alat-alat otomatis tetapi lebih merupakan suatu sikap untuk menghentikan proses
produksi secara otomatis apabila ditemukan adanya bagian-bagian yang cacat dalam
sistem produksi itu. Dengan demikian bagian-bagian yang cacat itu sejak awal telah
disingkirkan secara otomatis, tidak membiarkan lolos sampai menjadi produk cacat
yang merupakan pemborosan. Dari sini tampak bahwa JIT memberikan tanggung
jawab yang lebih besar kepada pekerja, di mana mereka secara langsung diberikan
kewenangan untuk tidak meloloskan bagian-bagian yang tidak memenuhi syarat dalam
proses produksi itu. Pengendalian kualitas semacam ini dilakukan melalui kerja sama
(kontrol melalui teamwork) serta secara awal mampu memberikan signal akan adanya
proses yang menghasilkan parts yang tidak memenuhi syarat dan secara otomatis hal
itu perlu dihentikan.
Dalam pabrik-pabrik modern, pengendalian proses secara otomatis ini telah banyak
diterapkan, misalnya telah diprogram bahwa apabila ada parts yang tidak memenuhi
standar yang telah ditetapkan, maka secara otomatis proses akan berhenti (mesin
mati, dll.). Tampak bahwa sistem produksi JIT menggunakan metode produksi yang
berorientasi pada: inventori minimum, waktu setup mesin dan peralatan yang pendek,
menciptakan pekerja multifungsional (memiliki keterampilan multifungsi), serta
menyelesaikan pekerjaan dalam siklus waktu yang pendek sesuai standar yang
ditetapkan. Sistem produksi JIT menggunakan aliran informasi berupa kartu (kanban)
atau peralatan lainnya seperti andon (lampu), dll. Kanban dalam bahasa Jepang berarti
kartu, dengan demikian aliran informasi dalam sistem produksi JIT menggunakan
kartu-kartu yang berisi catatan-catatan singkat yang mendukung metode produksi JIT
itu.
TOYOTA mengembangkan sistem Kanban untuk memindahkan material dalam
suatu lingkungan yang terkontrol melalui pengendalian penggunaan parts itu.
9
Sistem produksi Toyota (JIT) yang dikemukakan di atas merupakan hasil dari suatu
proses evolusioner selama bertahuntahun sejak mulai diterapkan pertama kali pada
awal dekade tujuhpuluhan. Toyota telah memperoleh pengakuan dunia industri
tentang keberhasilannya mengurangi inventori sampai pada tingkat minimum
(orientasi zero inventory), meskipun pada masa awal masih dianggap sebagai suatu
impian dalam dunia industri. Impian tentang inventori minimum dalam dunia industri
telah menjadi kenyataan berkat jasa Toyota, oleh karena itu sistem produksi JIT
disebut juga sebagai sistem produksi Toyota.
Contoh penerapan strategi produksi Just-in-Time (JIT) telah berhasil dilakukan oleh
perusahaan TOYOTA di Jepang, yang pada saat ini menduduki peringkat atas di dunia.
TOYOTA merupakan salah satu perusahaan yang paling banyak meraih keuntungan di
Jepang maupun di luar Jepang. Namun pihak manajemen belum merasa puas terhadap
hasil kerja yang telah diraih itu. Pihak manajemen TOYOTA sering kali melakukan
pengurangan penggunaan tenaga kerja dari beberapa divisi yang ada dalam
perusahaan, kemudian membebani tenaga kerja yang tinggal itu untuk menghidupkan
perusahaan. Setelah pengurangan jumlah tenaga kerja, pekerja yang ada akan
berusaha keras dan mencari gagasan baru guna mempertahankan tingkat produksi
yang sama seperti sebelum adanya pengurangan tenaga kerja itu. Pengurangan tenaga
kerja di sini tidak berarti pemecatan (pemutusan hubungan kerja = PHK), tetapi
pekerjapekerja itu dipindahkan ke tempat kerja lain atau menciptakan unit kerja baru
yang produktif. TOYOTA pernah menutup salah satu gudang pemasok (supplier’s
warehouse) yang tadinya menyimpan material untuk TOYOTA, dan mulai mengangkut
material langsung dari pabrik pemasok ke pabrik TOYOTA. Dengan dukungan TOYOTA,
maka pemasok itu juga menerapkan strategi produksi Just-in-Time. Beberapa manfaat
yang diperoleh perusahaan-perusahaan industri di Amerika Serikat maupun di Jepang,
setelah menerapkan strategi produksi JIT.
Lean Six Sigma yang merupakan kombinasi antara Lean yang bersumber dari Just-in-
Time (JIT) dan Six Sigma, dapat didefinisikan sebagai suatu filosofi bisnis, pendekatan
sistemik dan sistematik: untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan
(waste) atau aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-valueadded activities),
melalui peningkatan terus-menerus (continuous improvement) untuk mencapai tingkat
kinerja enam sigma (kapabilitas proses 6-sigma), dengan cara mengalirkan produk
(material, workin-process, output) dan informasi menggunakan sistem tarik (pull
system) dari pelanggan internal dan eksternal, untuk mengejar keunggulan berupa
hanya memproduksi 3,4 cacat untuk setiap satu juta kesempatan atau operasi (3,4
DPMO = Defects Per Million Opportunities).
Beberapa dimensi atau atribut yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kualitas
jasa, adalah:
11
untuk membayar jasa yang diterima. Seyogianya biaya yang ditetapkan harus
kompetitif dengan pesaingpesaing lainnya dalam industri jasa itu.
Ide utama yang melandasi program Lean Six Sigma adalah apabila kita dapat
mengukur berapa banyak kesalahan (defects) dalam proses produksi (industri
manufaktur) atau proses operasional (industri jasa), maka kita secara sistematik akan
mengetahui bagaimana menghilangkan kesalahan-kesalahan itu dan membawa proses
produksi atau proses operasional menuju berkemampuan bebas kesalahan (zero
defects target). Industri-industri kelas dunia sedang berusaha giat secara terus-
menerus menuju target bebas kesalahan (zero defects target) ini.
Dengan demikian Lean Six Sigma merupakan suatu metodologi yang
memperlengkapi bisnis dengan alat-alat untuk meningkatkan kapabilitas dari proses
bisnis, baik pada industri manufaktur maupun industri jasa. Peningkatan dalam kinerja
dan penurunan dalam variasi proses telah mengakibatkan reduksi kesalahan dan
peningkaan dramatik dalam keuntungan, moral atau semangat karyawan, dan kualitas
dari produk. Penggunaan metodologi Lean Six Sigma dalam bisnis dan industri akan
membawa perusahaan menuju kepada: peningkatan kepuasan pelanggan, peningkatan
profit margins, memperpendek cycle times, dan reduksi biaya-biaya secara
terusmenerus.
Penerapan Six Sigma dalam industri jasa, misalnya industri jasa asuransi telah
mengubah perilaku dari proses General Electric (GE Insurance Solutions), yang
sekarang dikenal sebagai GE Way, yang berlandaskan pada filosofi bahwa Lean Six
Sigma (proses bebas kesalahan) merupakan segala sesuatu yang dikerjakan oleh GE
dan dalam segala produk yang didesain (GE lean six sigma way—it is now the way we
work - in everything we do and in every product we design).
Pelanggan adalah titik pusat dari GE Insurance Solution’s universe; pelanggan yang
mendefinisikan kualitas. Pelanggan GE Insurance mengharapkan keunggulan dalam:
kinerja (performance), keandalan (reliability), harga kompetitif (competitive prices),
penyerahan tepat waktu (on-time delivery), pelayanan (service), proses transaksi yang
jelas dan benar (clear and correct transaction processing).
13
Keberhasilan implementasi Lean Six Sigma pada GE Insurance karena beberapa hal,
yaitu: (1) implementasi program Lean Six Sigma yang berfokus pelanggan, (2) filosofi
yang dikendalikan oleh data dan diterapkan pada semua bidang (data-driven
philosophy and apply it to everything). Keberhasilan dari praktek-praktek Lean Six
Sigma ini kemudian disebarluaskan ke seluruh organisasi yang menjadi bisnis dari GE.
Sesuai dengan prinsip-prinsip Lean Six Sigma, maka beberapa langkah berikut dapat
diikuti apabila kita ingin menerapkan Lean Six Sigma dalam industri jasa.
Langkah Pertama, Spesifikasi nilai dari jasa (service value) yang diharapkan pelanggan.
Nilai inti dari pelayanan adalah terletak pada proses jasa itu sendiri yang terdiri dari
serangkaian metode untuk melakukan sesuatu. Menyiapkan invoice, menerima
telepon, memproses aplikasi kartu kredit, menyiapkan makanan, menerima tamu yang
check in di hotel, memberikan kuliah di perguruan tinggi, merupakan contoh-contoh
dari proses pelayanan. Langkah terbaik untuk mengidentifikasi nilai yang diharapkan
pelanggan, adalah melalui menjawab beberapa pertanyaan berikut:
• Apakah tujuan dari proses jasa itu?
• Bagaimana proses jasa itu menciptakan kepuasan pelanggan?
• Apa yang menjadi input dan output utama dari proses jasa itu?
Spesifikasi nilai dari jasa yang diharapkan oleh pelanggan ini, mengharuskan kita
untuk menspesifikasikan desain dari jasa itu secara detail termasuk sejumlah langkah-
langkah yang harus dilakukan (aktivitas nilai tambah dan tugas-tugas spesifik) dalam
penyerahan jasa yang biasanya dalam pendekatan Lean Six Sigma Service adalah
menggunakan Service Value Stream Mapping.
Langkah Ketiga, Menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua
aktivitas sepanjang Service Value Stream dalam rantai proses jasa itu. Contoh
beberapa tipe pemborosan dalam proses jasa adalah: kesalahan-kesalahan dalam
melakukan suatu aktivitas, melakukan aktivitas yang tidak perlu, menunggu untuk
proses berikut, langkah-langkah proses dan pengesahan/ persetujuan yang berlebihan,
dll seperti ditunjukkan dalam Bagan “The Seven Wastes”. Dalam langkah ini kita dapat
menerapkan Error-Proofing Services, berupa mendesain prosedur-prosedur untuk
mencegah kesalahan-kesalahan dalam proses jasa itu. Errorproofing procedures dapat
diklasifikasikan berdasarkan tipe-tipe kesalahan seperti: server errors atau customer
errors.
1. Server errors dihasilkan dari task, treatment, or tangibles of the service, di mana (a)
Task errors termasuk mengerjakan aktivitas secara tidak tepat, mengerjakan hal-hal
yang tidak perlu, mengerjakan pesanan bukan yang diinginkan pelanggan,
mengerjakan aktivitas secara lambat sehingga membuat waktu menunggu
bertambah lama, dll, (b) Treatment errors yang terjadi ketika berinteraksi dengan
pelanggan seperti: tidak sopan, tidak peduli, acuh tak acuh dan perilaku negatif
lainnya, dan (c) Tangible errors merupakan hal-hal yang terkait dengan elemen fisik,
15
seperti: fasilitas yang tidak bersih, pakaian yang kotor, pendingin udara (AC) yang
tidak berfungsi, kesalahan-kesalahan dokumen, dll.
2. Customer errors yang terjadi selama: persiapan, penyerahan, atau resolusi. (a)
Customer errors dalam persiapan mencakup kegagalan dalam menyiapkan input
(material, informasi, dll) yang diperlukan untuk proses jasa, ketidakpahaman
peranan dalam transaksi jasa, tidak ada rasa tanggung jawab dalam memberikan
pelayanan yang tepat, dll. (b) Customer errors yang terjadi selama penyerahan jasa
dapat berupa kurang perhatian atau tidak peduli, kesalahpahaman, dll. (c) Customer
errors selama tahap resolusi dari penyerahan jasa dapat berupa kegagalan dalam
mengantisipasi kejadian yang tidak diharapkan, dll. Dalam hal ini pihak manajemen
dapat menetapkan sistem kompensasi seperti memberikan voucher atau gift
certificate kepada pelanggan yang merasa dirugikan ketika melakukan transaksi jasa
itu.
waktu maksimum 5 hari kerja), maka dalam hal ini kita mengetahui bahwa DPMO
(Defects Per Million Opportunities) adalah 161.087, yang berarti kemampuan proses
jasa baru mencapai 2,49 Sigma, masih jauh dari target Six Sigma.
Pemikiran Lean Six Sigma perlu disebarluaskan ke seluruh bagian tanpa memandang
tipe industri atau tipe kegiatan, dengan demikian Lean Six Sigma dapat diterapkan
dalam semua proses, sehingga Lean Six Sigma yang diterapkan dalam industri
manufaktur akan menjadi: Lean Six Sigma Manufacturing, Lean Six Sigma yang
diterapkan dalam industri jasa akan menjadi Lean Six Sigma Service, Lean Six Sigma
yang diterapkan dalam bidang perbankan akan menjadi Lean Six Sigma Banking, Lean
Six Sigma yang diterapkan dalam bidang pendidikan akan menjadi Lean Six Sigma
Education, dan apabila diterapkan dalam bidang-bidang akuntansi dan keuangan,
pemasaran, pembelian, produksi, office, dll, akan menjadi: Lean Six Sigma Accounting
& Finance, Lean Six Sigma Marketing, Lean Six Sigma Purchasing, Lean Six Sigma
Production, Lean Six Sigma Office, dll. Bahkan setiap orang dapat menjadi Lean Six
Sigma Person, yaitu: orang yang telah bebas dari Waste of Thinking dan belajar terus-
menerus untuk menghindari kesalahankesalahan yang sesungguhnya dapat dihindari
(bebas kesalahan yang tidak diharapkan), karena telah mengadopsi Lean Six Sigma
Thinking menjadi seorang Lean Six Sigma Thinker!