MAKALAH PPKN
PENEGAKKAN HUKUM
DISUSUN OLEH:
SITTI FAUZIA FAIZAL (216601402)
HASDYAWATI (216601218)
FITRI PEBRIANI (216601224)
DESTI DWI NATALIA (216601200)
DIONISIUS FRANKLIN MARYANTO (216601261)
DIMAS (216601302)
BUNGA ADELIA (216601151)
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penegakan Hukum.............................................................3
2.2 Aparatur Penegak Hukum...................................................................6
2.3 Faktor yang mempengaruhi Penegakkan Hukum................................7
2.4 Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia...................................9
2.5 Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum............................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoneseia dalam kurun waktu
beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi
yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah “kebabalasan”
bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak
terkelola dengan baik ditambah dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang
sangat otoriter berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan
beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan. Terjadi pula
pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok etnis lain.
Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama” berbagai
media di tanah air.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan,
penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis
tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin
berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan
aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru
mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan
pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM
berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat dari segala
tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar 1945,
Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-
undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang
luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti
yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan
semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan
normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri
pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan
sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan
untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam
arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan
nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the
rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh
hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just
law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan
sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat
kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai
pedoman
perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita
tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan
membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi
subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja,
misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja
dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait
dengan tema penegakan hukum itu.
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam
mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
a. Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu
prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau
dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang
dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of
innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak
(biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena
hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian
yang tidak seimbang.
b. Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda
dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu
perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
c. Sikap Arrogence power
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi
orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang
bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,
terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan
yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
2. Faktor Objektif
a. Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa
kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda
cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal
dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
b. Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan)
danskills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan
faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini
juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang
menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan
putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi mendapat
keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa penyebabnya sampai hal ini
terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut sebagai ketidakadilan hukum dimana karna
jabatan seseorang yang tinggi hukuman yang didapat ketika melakukan pelanggaran
hukumannya pun lebih ringan dibandingkan seseorang yang jabatannya rendah walaupun
pada kasus yang sama.
c. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD),
Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah militer dari empat
tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke
kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah
militer tinggi. Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba
lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika.
Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang
diterapkan pada kasus narkoba. Jelas sekaki kasus ini mengesankan adanya diskriminasi
hukum bagi keluarga bekas pejabat.
d. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang menewaskan tiga
orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat. Tekanan Internasional ini
mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan melucuti pesenjataan milisi Timor
Timor dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap
bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yamg terjadi di
bagian lain di Indonesia seperti Ambon, Aceh, Samlar, Sampit, kasus Atambua termasuk
kasus yang memgalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan
sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti dan situasi kembali
aman dan normal. Meskipun kasus lainnya juga mendapat perhatian dari Internasional,
namun tekanan yang diberikn pada kasus ini lebih menekan pemerintah Indonesia untuk
dapat diselesaikan secepatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional
menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus
kekerasan.
Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan oleh
masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat.
Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat masyarakat
tidak mempercayai huktm sebagai sarana penyelesaian konflik dan cenderung menyelesaikan
permasalahannya diluar jalur hukum. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh
sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selaku berakibat merugikan pihak yang
tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan
tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia harus terus
diupayakan dengan mulai memperbaiki kinerja dan moral aparat baik polisi, jaksa, hakim
maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa
adanya perbaikan tersebut segala bentuk KKN akan terus berpengaruh dalam proses
penegakan hukum di Indonesia. Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus menerus
diperbaiki, peran DPR sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan
menciptakan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih
tegas lagi. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam
penegakan hukum secara konsisten.
Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas aparat
penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak diaplikasikannya nilai-
nilai Pancasila khususnya nilai kemanusiaan, nilai musyawarah untuk mufakat dan
nilai keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga
menimbulkan Ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada di
Indonesia. Hasil penelitian, menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keadaan atau situasional suatu daerah,
apabila disuatu daerah penegakan hukumnya baik, maka tingkat kepercayaan
masyarakat juga baik di daerah tersebut, namun apabila penegakan hukumnya kurang
baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut
menjadi kurang baik. Dalam rangka pembentukan hukum nasional, perlu dibentuk
konsepsi sistem hukum Indonesia, yang penulis sebut dengan Indonesia Juripridence
maka nilai-nilai Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga
dibutuhkan standar hukum yang bersifat united legal frame work dan united legal
opinion (Kesatuan pandangan) di antara aparat penegak hukum sehingga perlu dibentuk
Undang-Undang sinergitas terpadu dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum yang
memiliki integritas baik, aturan hukum yang responsif yang sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila dan selanjutnya diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh
aparat penegak hukum.
2.5 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN HUKUM
Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
Masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat
untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku
hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang
baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah susunan
masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah
kepada perilaku hukum yang baik.
Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku
manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang
dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata
lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka
pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa pemberdayaan
masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat
terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi
kaedah hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola
perilaku hukum masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat
dipengaruhi
oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai
terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi
struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan,
pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa
pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti sikap penegak
hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai pemegang peran; 4)
Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum
terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu diperhatikan segi
substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA