Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK 5

MAKALAH PPKN
PENEGAKKAN HUKUM

Dosen Pengampuh: Abdul Syaban, S.pd., M.pd.

DISUSUN OLEH:
SITTI FAUZIA FAIZAL (216601402)
HASDYAWATI (216601218)
FITRI PEBRIANI (216601224)
DESTI DWI NATALIA (216601200)
DIONISIUS FRANKLIN MARYANTO (216601261)
DIMAS (216601302)
BUNGA ADELIA (216601151)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
(STIE-66)
KENDARI
2021
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Penegakkan Hukum  ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Bapak Abdul Syaban , S.pd. ,M.pd. pada Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Penegakkan
Hukum bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Abdul Syaban , S.pd. ,M.pd. selaku Dosen pengampuh yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni. Kamijuga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini.Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Kendari , 27 November 2021

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penegakan Hukum.............................................................3
2.2 Aparatur Penegak Hukum...................................................................6
2.3 Faktor yang mempengaruhi Penegakkan Hukum................................7
2.4 Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia...................................9
2.5 Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum............................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................14

BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoneseia dalam kurun waktu
beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi
yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah “kebabalasan”
bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak
terkelola dengan baik ditambah dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang
sangat otoriter berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan
beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan. Terjadi pula
pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok etnis lain.
Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama”  berbagai
media di tanah air.

Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan


dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar
etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial
lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi
manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara
atau sebaliknya) maupun horisontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk
dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima tujuh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan
penghormatan, perlindungan atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan.

Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan,
penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis
tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin
berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan
aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru
mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan
pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM
berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat dari segala
tuntutan hukum.

Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar 1945,
Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-
undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 

1.2              Rumusan Masalah


Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis
mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penulis mengemukakan beberapa perumusan
masalah. Rumusan masalah itu adalah :
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Apakah penegakan hukum itu?
2.    Apakah itu aparatur penegak hukum?
3.    Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum?
4.    Apakah  Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?
5.    Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum?

1.3              Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
 1. Untuk memenuhi tugas mata kuiah Sistem Hukum Indonesia
 2. Untuk menambah pengetahuan tentang Penegakan Hukum
 3. Untuk mengetahui berbagai permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan  hukum  adalah  proses  dilakukannya  upaya  untuk  tegaknya  atau
berfungsinya  norma-norma  hukum  secara  nyata  sebagai  pedoman  perilaku  dalam  lalu
lintas  atau  hubungan-hubungan  hukum  dalam  kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.
Ditinjau dari  sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek  yang
luas  dan  dapat  pula  diartikan  sebagai  upaya  penegakan  hukum  oleh  subjek  dalam  arti
yang  terbatas  atau  sempit.  Dalam  arti  luas,  proses  penegakan  hukum  itu  melibatkan
semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan
normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri
pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan
sebagai  upaya  aparatur  penegakan  hukum  tertentu  untuk  menjamin  dan  memastikan
bahwa  suatu  aturan  hukum  berjalan  sebagaimana  seharusnya.  Dalam  memastikan
tegaknya  hukum  itu,  apabila  diperlukan,  aparatur  penegak  hukum  itu  diperkenankan
untuk menggunakan daya paksa.
            Pengertian  penegakan  hukum  itu  dapat pula  ditinjau  dari  sudut  objeknya,  yaitu
dari segi hukumnya.  Dalam  hal ini, pengertiannya juga mencakup  makna  yang luas dan
sempit.  Dalam  arti  luas,  penegakan  hukum  itu  mencakup pula  nilai-nilai  keadilan  yang
terkandung  di  dalamnya  bunyi  aturan  formal  maupun  nilai-nilai  keadilan  yang  hidup
dalam  masyarakat.  Tetapi,  dalam  arti  sempit,  penegakan  hukum  itu  hanya  menyangkut
penegakan  peraturan  yang  formal  dan  tertulis  saja.  Karena  itu,  penerjemahan perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’  dalam  arti  luas  dan  dapat  pula  digunakan  istilah  ‘penegakan  peraturan’  dalam
arti  sempit.  Pembedaan  antara  formalitas  aturan  hukum  yang  tertulis  dengan  cakupan
nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan  juga timbul dalam  bahasa Inggeris  sendiri
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’  yang berarti ‘the
rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh
hukum,  tetapi  bukan  dalam  artinya  yang  formal,  melainkan  mencakup  pula  nilai-nilai
keadilan  yang  terkandung  di  dalamnya.  Karena  itu,  digunakan  istilah  ‘the  rule  of  just
law’.  Dalam  istilah  ‘the  rule  of  law  and  not  of  man’  dimaksudkan  untuk  menegaskan
bahwa  pada  hakikatnya  pemerintahan  suatu  negara  hukum  modern  itu  dilakukan  oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan
sebagai  pemerintahan  oleh  orang  yang  menggunakan  hukum  sekedar  sebagai  alat
kekuasaan belaka.
             Dengan uraian di atas  jelaslah kiranya  bahwa  yang  dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam  arti  formil  yang  sempit  maupun  dalam  arti  materiel  yang  luas,  sebagai 
pedoman
perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan
maupun oleh  aparatur  penegakan hukum  yang  resmi  diberi  tugas  dan  kewenangan oleh
undang-undang untuk  menjamin berfungsinya  norma-norma hukum  yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita
tentang  penegakan hukum dapat  kita  tentukan  sendiri batas-batasnya.  Apakah  kita  akan
membahas  keseluruhan  aspek  dan  dimensi  penegakan  hukum  itu,  baik  dari  segi
subjeknya  maupun  objeknya  atau  kita  batasi  hanya  membahas  hal-hal  tertentu  saja,
misalnya,  hanya  menelaah  aspek-aspek  subjektifnya  saja.  Makalah  ini  memang  sengaja
dibuat  untuk  memberikan  gambaran  saja  mengenai  keseluruhan  aspek  yang  terkait
dengan tema penegakan hukum itu.

 PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF


             Seperti  disebut di  muka,  secara  objektif,  norma  hukum  yang hendak  ditegakkan
mencakup  pengertian  hukum  formal  dan  hukum  materiel.  Hukum  formal  hanya
bersangkutan  dengan  peraturan  perundang-undangan  yang  tertulis,  sedangkan  hukum
materiel  mencakup  pula  pengertian  nilai-nilai  keadilan  yang  hidup  dalam  masyarakat.
Dalam  bahasa  yang  tersendiri,  kadang-kadang  orang  membedakan  antara  pengertian
penegakan  hukum  dan  penegakan  keadilan.  Penegakan  hukum  dapat  dikaitkan  dengan
pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti
luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa
Inggeris juga terkadang dibedakan  antara konsepsi  ‘court of  law’  dalam arti  pengadilan
hukum  dan  ‘court  of  justice’  atau  pengadilan  keadilan.  Bahkan,  dengan  semangat  yang
sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court
of Justice’.
  Istilah-istilah  itu  dimaksudkan  untuk  menegaskan  bahwa  hukum  yang  harus
ditegakkan  itu  pada  intinya  bukanlah  norma  aturan  itu  sendiri,  melainkan  nilai-nilai
keadilan  yang  terkandung  di  dalamnya.  Memang  ada  doktrin  yang  membedakan  antara
tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara
perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan  kebenaran  formil  belaka,  sedangkan
dalam  perkara  pidana  barulah  hakim  diwajibkan  mencari  dan  menemukan  kebenaran
materiel  yang  menyangkut  nilai-nilai  keadilan  yang  harus  diwujudkan  dalam  peradilan
pidana.  Namun  demikian,  hakikat  tugas  hakim  itu  sendiri  memang  seharusnya  mencari
dan  menemukan  kebenaran  materiel  untuk  mewujudkan  keadilan  materiel.  Kewajiban
demikian  berlaku,  baik  dalam  bidang  pidana  maupun  di  lapangan  hukum  perdata.
Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu
sendiri,  sehingga  istilah  penegakan hukum dan  penegakan  keadilan  merupakan dua  sisi
dari mata uang yang sama.
  Setiap  norma  hukum  sudah  dengan  sendirinya  mengandung  ketentuan  tentang
hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu  lintas hukum. Norma-
norma  hukum  yang  bersifat  dasar,  tentulah  berisi  rumusan  hak-hak  dan  kewajiban-
kewajiban  yang  juga  dasar  dan  mendasar.  Karena  itu,  secara  akademis,  sebenarnya,
persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya
terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena
itu,  secara  akademis,  hak  asasi  manusia  mestinya  diimbangi  dengan  kewajiban  asasi
manusia.  Akan  tetapi,  dalam  perkembangan  sejarah,  issue  hak  asasi  manusia  itu 
sendiri  terkait  erat  dengan  persoalan  ketidakadilan  yang  timbul  dalam  kaitannya 
dengan  persoalan  kekuasaan.  Dalam  sejarah,  kekuasaan  yang  diorganisasikan  ke  dalam 
dan  melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan
ketidakadilan. Karena  itu, sejarah umat  manusia  mewariskan  gagasan  perlindungan dan 
penghormatan terhadap  hak-hak  asasi  manusia.  Gagasan  perlindungan  dan 
penghormatan  hak  asasi manusia  ini  bahkan  diadopsikan  ke  dalam  pemikiran  mengenai 
pembatasan  kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran
konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan
nomokrasi (negara hukum) dalam  sejarah,  sehingga  perlindungan  konstitusional  terhadap 
hak  asasi  manusia
dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis
(democratische  rechtsstaat)  ataupun  negara  demokrasi  yang  berdasar  atas  hukum
(constitutional democracy).
             Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan
persoalan  penegakan  hukum  dan  keadilan  itu  sendiri.  Karena  itu,  sebenarnya,  tidaklah
terlalu  tepat  untuk  mengembangkan  istilah  penegakan  hak  asasi  manusia  secara
tersendiri.  Lagi  pula,  apakah  hak  asasi  manusia  dapat  ditegakkan?  Bukankah  yang
ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu,
dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang
sudah  salah  kaprah.  Kita  sudah  terbiasa  menggunakan  istilah  penegakan  ‘hak  asasi
manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran
untuk  menghormati  hak-hak  asasi  orang  lain  di  kalangan  masyarakat  kitapun  memang
belum berkembang secara sehat.

2.2  Aparatur Penegak Hukum


            Aparatur  penegak  hukum  mencakup  pengertian  mengenai  institusi  penegak
hukum  dan  aparat  (orangnya)  penegak  hukum.  Dalam  arti  sempit,  aparatur  penegak
hukum  yang  terlibat  dalam  proses  tegaknya  hukum  itu,  dimulai  dari  saksi,  polisi,
penasehat  hukum,  jaksa,  hakim,  dan  petugas  sipir  pemasyarakatan.  Setiap  aparat  dan
aparatur  terkait  mencakup  pula  pihak-pihak  yang  bersangkutan  dengan  tugas  atau
perannya  yaitu  terkait  dengan  kegiatan  pelaporan  atau  pengaduan,  penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
            Dalam  proses  bekerjanya  aparatur  penegak  hukum  itu,  terdapat  tiga  elemen
penting  yang  mempengaruhi,  yaitu:  (i)  institusi  penegak  hukum  beserta  berbagai
perangkat  sarana  dan  prasarana  pendukung  dan  mekanisme  kerja  kelembagaannya;  (ii)
budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya,
dan  (iii)  perangkat  peraturan  yang  mendukung  baik  kinerja  kelembagaannya  maupun
yang  mengatur  materi  hukum  yang  dijadikan  standar  kerja,  baik  hukum  materielnya
maupun  hukum  acaranya.  Upaya  penegakan  hukum  secara  sistemik  haruslah
memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan
keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
            Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum  di  negara  kita  selama  ini,  sebenarnya  juga  memerlukan  analisis  yang  lebih
menyeluruh  lagi.  Upaya  penegakan  hukum  hanya  satu  elemen  saja  dari  keseluruhan
persoalan  kita  sebagai  Negara  Hukum  yang  mencita-citakan  upaya  menegakkan  dan
mewujudkan  keadilan sosial bagi seluruh rakyat  Indonesia. Hukum  tidak  mungkin  akan
tegak,  jika  hukum  itu  sendiri  tidak  atau  belum  mencerminkan  perasaan  atau  nilai-nilai
keadilan  yang  hidup  dalam  masyarakatnya.  Hukum  tidak  mungkin  menjamin  keadilan
jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya
penegakan  hukum  tetapi  juga  pembaruan  hukum  atau  pembuatan  hukum  baru.  Karena
itu,  ada empat  fungsi  penting  yang  memerlukan perhatian  yang  seksama,  yang  yaitu  (i)
pembuatan  hukum  (‘the  legislation of  law’  atau  ‘law  and  rule  making’),  (ii)  sosialisasi,
penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law,
dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). 
Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of
law)  yang efektif  dan  efisien  yang  dijalankan  oleh  pemerintahan  (eksekutif)  yang
bertanggungjawab  (accountable).  Karena  itu,  pengembangan  administrasi  hukum  dan
sistem  hukum  dapat  disebut  sebagai  agenda  penting  yang  keempat  sebagai  tambahan
terhadap  ketiga  agenda  tersebut di  atas.  Dalam  arti  luas,  ‘the administration  of  law’  itu
mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum
itu  sendiri  dalam  pengertian  yang  sempit.  Misalnya  dapat  dipersoalkan  sejauhmana
sistem  dokumentasi  dan  publikasi  berbagai  produk  hukum  yang  ada  selama  ini  telah
dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-
keputusan  administrasi  negara  (beschikkings),  ataupun  penetapan  dan  putusan  (vonis)
hakim di  seluruh  jajaran dan  lapisan  pemerintahan  dari  pusat  sampai  ke  daerah-daerah.
Jika  sistem  administrasinya  tidak  jelas,  bagaimana  mungkin  akses  masyarakat  luas
terhadap  aneka  bentuk  produk  hukum  tersebut  dapat  terbuka?  Jika  akses  tidak  ada,
bagaimana  mungkin  mengharapkan  masyarakat  dapat  taat  pada  aturan  yang  tidak
diketahuinya?  Meskipun  ada  teori  ‘fiktie’  yang  diakui  sebagai  doktrin  hukum  yang
bersifat  universal,  hukum  juga  perlu  difungsikan  sebagai  sarana  pendidikan  dan
pembaruan  masyarakat  (social  reform),  dan  karena  itu  ketidaktahuan  masyarakat  akan
hukum  tidak  boleh  dibiarkan  tanpa  usaha  sosialisasi  dan  pembudayaan  hukum  secara
sistematis dan bersengaja.

2.3  Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum


Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya
terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu :
a.    Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang
b.    Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan
hukum.
c.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e.    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.

Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam
mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
a. Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu
prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau
dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang
dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of
innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak
(biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena
hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian
yang tidak seimbang.
b. Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda
dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu
perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
c. Sikap Arrogence power
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi
orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang
bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,
terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan
yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
2. Faktor Objektif
a. Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa
kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda
cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal
dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.

b. Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan)
danskills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan
faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini
juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang
menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan
putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

2.4 Permasalahan Penegakan Huukum di Indonesia


Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan
substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh
beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan
tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik
polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang
bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan
dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak
disadari telah berlangsung dari hari ke hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan
hukum yang terjadi pada saat berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang
memberlakukan aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri.
Bahkan polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI  atau Polri yang
melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang
polisi yang bertugas memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih
tinggi. Secara tidak disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam
tapi sayangnya banyak masyarakat yang tidak  menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat
tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa
lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.

a.      Tingkat kekayaan seseorang.


Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang melakukan
pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang bisa mementahkan
dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau jika perlu pelaku dapat
membayar hakim atau jaksa agar memperingan masa tahanannya. Sebaliknya dengan pelaku
pelanggaran yang tidak memiliki uang yang banyak maka pelaku hanya bisa membayar
pengacara semampunya atau tidak sedikit pula yang mereka hanya pasrah menerima putusan
hakim. Padahal jika dibandingkan kasus pelanggarannya tidak merugikan pemerintah
milyaran rupiah. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum bisa dibeli dengan uang.

b.       Tingkat Jabatan Seseorang


Mari kita simak kasus berikut ini. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding keluar
negri yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding
tersebut anggota  DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ
anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sekitar 5,2 M dan uang saku dari PT.
Pembangunan Jaya Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus ini 9 orang staf Bapedal DKI Bambang
Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Penyelesaian masalah ini dilakukan setelah media cetak dan media elektronik menemukan
ketidaksesuaian dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara
administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa
dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terurik ketika sanksi ini hanya dikenalan pada
pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus
ini sampai ke pejabat tinggi DKI yaitu Gubernur Sutiyoso (saat itu) yang sebagai komisaris
PT. Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.

Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi mendapat
keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa penyebabnya sampai hal ini
terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut sebagai ketidakadilan hukum dimana karna
jabatan seseorang yang tinggi hukuman yang didapat ketika melakukan pelanggaran
hukumannya pun lebih ringan dibandingkan seseorang yang jabatannya rendah walaupun
pada kasus yang sama.

c.        Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD),
Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah militer dari empat
tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke
kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah
militer tinggi. Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba
lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika.
Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang
diterapkan pada kasus narkoba. Jelas sekaki kasus ini mengesankan adanya diskriminasi
hukum bagi keluarga bekas pejabat.

d.     Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang menewaskan tiga
orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat. Tekanan Internasional ini
mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan melucuti pesenjataan milisi Timor
Timor dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap
bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yamg terjadi di
bagian lain di Indonesia seperti Ambon, Aceh, Samlar, Sampit, kasus Atambua termasuk
kasus yang memgalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan
sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti dan situasi kembali
aman dan normal. Meskipun kasus lainnya juga mendapat perhatian dari Internasional,
namun tekanan yang diberikn pada kasus ini lebih menekan pemerintah Indonesia untuk
dapat diselesaikan secepatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional
menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus
kekerasan.  
Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan oleh
masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat.
Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat masyarakat
tidak mempercayai huktm sebagai sarana penyelesaian konflik dan cenderung menyelesaikan
permasalahannya diluar jalur hukum. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh
sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selaku berakibat merugikan pihak yang
tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan
tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia harus terus
diupayakan dengan mulai memperbaiki kinerja dan moral aparat baik polisi, jaksa, hakim
maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa
adanya perbaikan tersebut segala bentuk KKN akan terus berpengaruh dalam proses
penegakan hukum  di Indonesia. Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus menerus
diperbaiki, peran DPR sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan
menciptakan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih
tegas lagi. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam
penegakan hukum secara konsisten.

Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas aparat
penegak  hukum,  aturan  hukum  yang  tidak  responsif,  serta  tidak  diaplikasikannya  nilai-
nilai  Pancasila  khususnya  nilai  kemanusiaan,  nilai  musyawarah  untuk  mufakat  dan 
nilai keadilan  dalam  penegakan  hukum  oleh  aparat  penegak  hukum,  sehingga 
menimbulkan Ketidakpercayaan  masyarakat  terhadap  penegakan  hukum  yang  ada  di 
Indonesia.  Hasil penelitian,  menunjukkan  tingkat  kepercayaan  masyarakat  terhadap 
penegakan  hukum sangat  dipengaruhi  oleh  keadaan  atau  situasional  suatu  daerah, 
apabila  disuatu  daerah penegakan  hukumnya  baik,  maka  tingkat  kepercayaan 
masyarakat  juga  baik  di  daerah tersebut,  namun  apabila  penegakan  hukumnya  kurang 
baik,  maka  tingkat  kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut
menjadi kurang baik.  Dalam  rangka  pembentukan  hukum  nasional,  perlu  dibentuk 
konsepsi  sistem hukum  Indonesia,  yang  penulis  sebut  dengan  Indonesia  Juripridence 
maka  nilai-nilai Pancasila  harus  diserap dalam  pembentukan  hukum,  sehingga 
dibutuhkan  standar  hukum yang  bersifat  united  legal  frame  work  dan united  legal
opinion  (Kesatuan  pandangan)  di antara aparat penegak  hukum sehingga perlu dibentuk 
Undang-Undang sinergitas terpadu dalam  pelaksanaan  tugas  penegakan  hukum.  Untuk 
mengembalikan  kepercayaan masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum yang
memiliki integritas baik, aturan hukum  yang  responsif  yang  sejalan  dengan  nilai-nilai 
Pancasila  dan  selanjutnya diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh
aparat penegak hukum. 
2.5  PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN HUKUM
Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
Masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat
untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku
hukum masyarakat yang  baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang
baik pula. Selama  struktur sosial  masyarakat  tidak  terkandung  kearah  susunan 
masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah
kepada perilaku hukum yang baik.
Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku
manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang
dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata
lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka
pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa pemberdayaan
masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat
terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan  pemahamannya  terhadap  isi
kaedah  hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola
perilaku hukum masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat
dipengaruhi
oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai
terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi
struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan,
pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa
pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti sikap penegak
hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai pemegang peran; 4)
Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum
terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu diperhatikan segi
substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini
BAB III

PENUTUP

3.1              Kesimpulan

Penegakan  hukum  adalah  proses  dilakukannya  upaya  untuk  tegaknya  atau


berfungsinya  norma-norma  hukum  secara  nyata  sebagai  pedoman  perilaku  dalam  lalu
lintas  atau  hubungan-hubungan  hukum  dalam  kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.

Aparatur  penegak  hukum  mencakup  pengertian  mengenai  institusi  penegak


hukum  dan  aparat  (orangnya)  penegak  hukum.  Dalam  arti  sempit,  aparatur  penegak
hukum  yang  terlibat  dalam  proses  tegaknya  hukum  itu,  dimulai  dari  saksi,  polisi,
penasehat  hukum,  jaksa,  hakim,  dan  petugas  sipir  pemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif(Jakarta:


Sinar Grafika, 2010).

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996

Anda mungkin juga menyukai