Anda di halaman 1dari 4

Nama : Krisna Pranata Bate’e

Nim : P07520120098
Kelas : 2C-DIII Keperawatan
Dosen : Ida Suryani Hasibuan, S.Kep, Ns. M. Kep
Tugas : Manajemen Keperawatan

Kasus Terkait Konflik Dan Buat Juga Cara Penyelesainya


Konflik Batas Desa
KSP telah selesai mengompilasi dan mengintegrasikan 83 dari 85 target peta tematik.
Salah satu yang belum diselesaikan adalah peta batas desa. Presiden Jokowi telah
menekankan mengenai pentingnya penyelesaian batas desa oleh Kepala Daerah. Banyak
batas desa yang belum disepakati dikarenakan keberadaan sumber daya alam tertentu, lahan
pertanian/perkebunan individu yang terpencar, dan salah kaprah tanah ulayat sebagai batas
desa.
Di Kabupaten Rokan Hulu, misalnya, konflik batas desa diwarnai dengan keberadaan
perkebunan kelapa sawit masyarakat di Kawasan Hutan Lindung. Upaya resolusi konflik
pernah dicoba melalui penerapan Perhutanan Sosial (PS) pada beberapa desa. Melalui PS,
masyarakat yang terlanjur mengelola lahan di Kawasan Hutan diberikan izin meneruskan
aktivitasnya dengan menerapkan sistem pengelolaan hutan lestari. Akan tetapi, legalisasi
lahan-lahan PS tersebut dilaksanakan tanpa melalui proses kesepakatan batas dengan desa-
desa tetangganya. Bahkan ada desa penerima sertifikat PS yang lahannya berada di desa lain.
Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan
Temuan pada satu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di perbatasan Kabupaten
Kampar dan Rokan Hulu menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit masyarakat telah
merambah hingga mencapai lebih dari 80% hutan lindung. Hal ini terjadi karena lambatnya
KPH untuk bergerak, sehingga seluruh kawasan hutan dianggap sebagai “tanah tak bertuan”
selama bertahun-tahun. Realisasi pembangunan KPH di Riau tidak menunjukkan
perkembangan yang setara dengan capaian provinsi-provinsi lainnya. Misalnya, kelembagaan
bagi sebagian besar KPH di Riau baru dibentuk pada akhir tahun 2017.

Situasi ini mencerminkan potret konflik perkebunan sawit dalam kawasan hutan di
Indonesia. KPH sebagai unit pengelolaan kawasan hutan dapat berkontribusi penting untuk
menyelenggarakan resolusi konflik di kawasan hutan. Namun, saat ini baru 12 dari 37 unit
KPH di Riau yang telah menyelesaikan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang
(RPHJP), sehingga anggaran dan perencanaan penanganan konflik masih minim.

 Penylesaian Konflik
Penyelesaian Konflik Menurut Stevenin dalam Handoko (2001: 48), terdapat lima
langkah meraih edamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut
ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
a). Pengenalan. Kesenjangan antara keadaan yang ada atau yang teridentifikasi dan
bagaimana keadaan yang seharusnya.Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan
dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal
sebenarnya tidak ada).
b). Diagnosis.Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai
siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian
pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
c). Menyepakati suatu solusi.Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang
memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.Saringlah penyelesaian yang tidak
dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak
terlalu baik. Carilah yang terbaik.
d). Pelaksanaan.Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Namun hati-hati,
jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah pada kelompok
tertentu.
e). Evaluasi.Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru.Jika
penyelesaiannya tampak tidak berhasil, embalilah ke langkah -langkah sebelumnya dan
cobalah lagi. Sementara itu Mangkunegara (2009) mengatakan para manajer dan karyawan
memiliki beberapa strategi dalam menangani dan menyelesaikan konflik.
menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama. Perlu
adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling
memperhatikan satu sama lainnya.

 KSP dapat menyelesaikan terkonflik lahan


1. Kebutuhan Peta untuk Penyelesaian Konflik
Melihat model-model kasus tersebut, yang pada umumnya juga terjadi di provinsi-
provinsi lain, penyelesaian Peta Batas Desa, Peta Perkebunan Rakyat, Peta Potensi Wilayah
Adat, dan Peta Perhutanan Sosial menjadi sangat penting untuk mencapai mimpi KSP.
Sayangnya, 3 peta terakhir belum menjadi peta tematik prioritas dalam KSP. Bahkan, seluruh
peta dalam geoportal KSP belum dapat diakses oleh masyarakat. Pemerintah perlu
memberikan akses kepada masyarakat agar dapat dimanfaatkan langsung dalam penyelesaian
konflik lahan bersama masyarakat.

2. Optimalisasi Peran Pemda sebagai Pengelola Data Spasial


Badan Informasi Geospasial (BIG) selaku ketua pelaksana KSP menekankan
pentingnya peran Pemda sebagai simpul jaringan dalam pelaksanaan KSP. Contohnya,
Pemerintah Provinsi Riau sudah memiliki Peraturan Gubernur No. 5/2019 tentang Satu Data
Satu Peta, unit pengelola informasi geospasial, dan geoportal yang terkoneksi ke pusat.
Namun, model-model kasus di Riau menegaskan bahwa Pemda perlu terlibat sampai ke
tingkat tapak, misalnya menjadi mediator antara 2 desa yang bersengketa batas.

3. Pelembagaan Penanganan Konflik Lahan yang Multi-Pihak


Tim Kerja Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan dan Hutan Adat yang
dibentuk Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) di Provinsi Sumatera
Selatan, serta Tim Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Kabupaten Musi Banyuasin
dapat menjadi contoh bagaimana resolusi konflik diupayakan melalui pendekatan
kelembagaan. Kedua tim ini terdiri dari perwakilan berbagai instansi, seperti Pemda tingkat
Provinsi atau Kabupaten, KPH, dan lembaga swadaya masyarakat. Sedangkan di Riau, Pokja
PPS mulai digencarkan melalui revisi SK Gubernur.

4. Dukungan Universitas dalam Peningkatan Kapasitas SumberDaya Manusia


Kebutuhan sumber daya manusia menjadi salah satu penyebab utama lambatnya
progres KSP. Aparatur Pemda yang memiliki kemampuan teknis pemetaan umumnya hanya
ditemukan pada instansi tertentu seperti; Dinas LHK, BAPPEDA dan Dinas PUPR.
Universitas di daerah dapat berkontribusi melalui kegiatan pelatihan, penelitian dan pelibatan
mahasiswanya. Contohnya, Universitas Riau bekerja sama dengan BIG dan Pemerintah
Kabupaten Siak dalam mengerahkan mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk
melaksanakan pemetaan desa secara partisipatif di salah satu kecamatan. Hasilnya,
mahasiswa membantu mendorong kesepakatan pada 7 dari 13 segmen batas desa.

5. Pelibatan Masyarakat untuk Pemetaan Partisipatif


Masyarakat lokal merupakan pengelola langsung kawasan tempat mereka tinggal,
sehingga paham mengenai semua potensi di sekitarnya. BIG memfasilitasi penyelenggaraan
pemetaan partisipatif berbasis masyarakat lokal melalui aplikasi PetaKita. Aplikasi ini perlu
dikembangkan lebih lanjut agar dapat digunakan di wilayah yang tidak terjangkau internet.
Selanjutnya, hasil pemetaan partisipatif dapat Pemda sesuaikan untuk kebutuhan KSP.

Selesainya geoportal KSP dan peta-peta di dalamnya layak diapresiasi. Namun, data-
data tersebut harus dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menyelesaikan konflik
lahan di lapangan. Pada akhirnya, tanpa upaya resolusi konflik yang memadai, bukan tidak
mungkin konflik di lapangan tak kunjung diselesaikan, atau terus bertambah

Anda mungkin juga menyukai