Anda di halaman 1dari 5

Masa Depan Dakwah di Indoneisa

Pendahuluan

Masa sekarang ini adalah masa yang sangat istimewa di mana semua orang bisa mendapatkan dan
mengerjakan sesuatu dengan sangat mudah. Sedangkan di era digital ini orang tinggal mencari sesuatu
yang diinginkan di salah satu situs internet. Semua informasi yang diperlukan akan muncul dengan
berbagai model. Era ini adalah puncak dimana semuanya yang serba instan dan banyak dinikmati oleh
masyarakat. Sekarang da`i (mubaligh) pun bisa berdakwah atau menyampaikan dakwahnya melalui
media-media yang ada seperti berdakwah dengan media televisi, radio, dan juga media tulisan.
Realitas yang ada banyak sekali da`i yang sudah memanfaatkannya terutama dalam pertelevisian.
Pada umumnya, dakwah yang dilaksanakan dalam sebuah majelis taklim di sebuah surau, masjid
atau musholla berlangsung dalam suasana sakral dan khidmat. Kemajuan teknologi dan informasi,
memungkinkan seorang da’i untuk berimprovisasi dengan selingan humor dan hal-hal lain, agar
materi ceramahnya tetap menarik untuk disimak. Mengingat tantangan dakwah diera teknologi dan
informasi, khususnya media memang tidak bisa dilepaskan dari wahana hiburan. Dampaknya,
orientasi dakwah yang diperankan para da’i, juga semakin berkembang, bahkan cenderung menjadi
bias. Semula, dakwah yang lebih banyak bersentuhan dengan ranah ibadah, selalu dilandasi dengan
niat dan motivasi untuk beribadah pula, yakni dilaksanakan dengan penuh suka cita, hati yang ikhlas
dan hanya mengharap ridla Allah Swt semata. Namun, dalam perkembangannya pola berdakwah
melalui media sebagai wujud kemajuan teknologi menjadi tantangan bagi tersendiri bagi seseorang
da’i. Pengaruh media, memungkinkan seorang da’i memperoleh popularitas dimata pemirsanya
seperti layaknya seorang selebriti dan tidak menutup kemungkinan pula setiap kegiatan dakwahnya,
sering dinilai dengan materi.

A. Pola Dakwah Masa Depan di Indonesia

Kehadiran alat-alat teknologi informasi yang telah menimbulkan era informasi dan
globalisasi,disamping telah memberi dampak positif yang mampu membawa kemudahan-kemudahan
dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, juga telah menimbulkan efek negatif
yang tidak dikehendaki yang dapat mengancam nilai-nilai agama, moral dan kehidupan manusia
sendiri. Oleh karena itu, kehadiran alat-alat teknologi informasi di samping menjadi tantangan bagi
pelaksanaan kegiatan dakwah, juga dapat menjadi peluang bagi penyelenggaraan aktivitas dakwah
dalam era informasi ini. Berdasarkan asumsi tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk merumuskan
pola dakwah dalam menghadapi problema masyarakat di era informasi sehingga proses dakwah dapat
mencapai tujuan yang diharapkan dan tantangan-tantangan yang muncul dapat diatasi secara
bijaksana.
Ada beberapa kiat sebagai aktualisasi dari pola dakwah di era informasi yang ditawarkan dalam
penulisan ini, di antaranya adalah makna dai harus diperluas, tidak hanya terbatas pada apa yang
disebut dengan muballigh, ustadz dan ulama yang tampil memberi ceramah, khutbah dan taushiyah
keagamaan di tengah-tengah masyarakat, tetapi juga termasuk dalam makna dai, seperti pekerja sosial
yang muslim, dokter yang muslim dan konselor yang muslim, asalkan mereka ada usaha mengajak
orang yang dihadapinya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Pola dakwah selanjutnya yang perlu dipertimbangkan adalah agar materi dakwah dapat diperluas
dan diaktualisasikan menjadi realitas kehidupan duniawi untuk menuju kehidupan ukhrawi yang
abadi. Selanjutnya mengenai medan dakwah sebagai tempat beradanya mitra dakwah tidak hanya
dipusatkan di mesjid-mesjid, mushalla, meunasah dan tempat-tempat pengajian, tapi perlu diperluas
kepada objek dakwah yang berada di cafe-cafe, restoran, kantor pemerintah dan swasta, hotel, rumah
sakit, lembaga pemasyarakatan, stasion kereta api, terminal bis dan terminal kapal udara dan di
tempat-tempat yang lain. Dalam era informasi ini pendekatan dakwah tidak hanya dirasa cukup
dengan menggunakan pendekatan konvensional, seperti yang biasa digunakan selama ini, tapi harus
diperluas dengan penggunaan pendekatan multi-dimensional, meliputi pendekatan struktural,
pendekatan kultural, pendekatan sentripetal, pendekatan amal, pendekatan ekonomi, pendekatan seni,
pendekatan keilmuan serta menggunakan multi media.

1. Peluang Dakwah di Indonesia

Generasi milenial adalah mereka yang lahir dan tumbuh di era revolusi digital. Mereka adalah
kelompok generasi yang dibesarkan oleh media. Seluruh hidupnya dihabiskan untuk berinteraksi
secara virtual melalui media sosial. Mereka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya juga melalui
tehnologi. Intinya mereka adalah “anak teknologi”. Bagi mereka media adalah segalanya, no gadget
no life. Mereka tidak bisa berpisah dengan gadget, karena seluruh kesenangan dan kebutuhan
hidupnya ada pada gadget. Generasi milenial ini adalah generasi yang suka hal-hal instant, cepat,
tidak mau berpikir ruwet, sederhana dan simpel. Apapun yang mereka butuhkan, semua tersedia
dengan cepat melalui bantuan media yang sangat cepat pula. Ciri lainnya adalah suka posting hal
apapun termasuk untuk urusan yang sepele.
Mengenali mereka dengan segala karakteristiknya adalah memudahkan bagi para dai untuk
melakukan pendekatan dakwah di kalangan mereka. Generasi milenial adalah sebuah potensi dakwah
yang sangat besar karena memiliki karakteristik yang unik, serta peluang mengembangkan dakwah
secara lebih kreatif memiliki ruang yang sangat lebar. Untuk itu pendekatan pada generasi seperti ini
membutuhkan strategi tersendiri yang dapat diterima oleh mereka dengan baik. Karena itulah bagi
para dai perlu kiranya melakukan reorientasi dalam pendekatan dakwah di kalangan milenial ini.
Yaitu dengan meninggalkan pendekatan konvensional yang lama dan beralih pada cara-cara cerdas
kreatif yang dapat diterima dengan mudah oleh mereka kalangan milenial.
Berdakwah di kalangan muda ini sebenarnya telah dicontohkan oleh rasulullah di saat beliau
menyampaikan pesan dakwah melalui Abdullah bin Abbas di saat masih kecil

،‫ يَوْ ًما‬-‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ - ‫خَلفَ النَّبِ ِّي‬ ْ ‫ت‬ ُ ‫ ُك ْن‬:‫قال‬َ -‫ضي هللاُ َع ْنهُما‬ ِ ‫ َر‬- ‫س‬ ٍ ‫عبْد هللا بن َعبّا‬
‫ إِ َذا َسأ َ ْلتَ فَاسْأ َ ِل‬،‫ك‬ َ َ‫ احْ فَ ِظ هللاَ تَ ِج ْدهُ تُ َجاه‬،‫ك‬ َ ‫ظ‬ْ َ‫ت؛ احْ فَ ِظ هللاَ يَحْ ف‬ ٍ ‫ك َكلِ َما‬ َ ‫ إِنِّي أُ َعلِّ ُم‬،‫ يَا ُغالَ ُم‬:‫ال‬ َ َ‫فَق‬
َ‫ك بِ َش ْي ٍء لَ ْم يَ ْنفَعُوك‬ َ ‫ت َعلَى أَ ْن يَ ْنفَعُو‬ ْ ‫ َوا ْعلَ ْم أَ َّن األُ َّمةَ لَ ِو اجْ تَ َم َع‬،ِ‫ َوإِ َذا ا ْستَ َع ْنتَ فَا ْست َِع ْن بِاهلل‬،َ‫هللا‬
ُ‫ك إِالَّ بِ َش ْي ٍء قَ ْد َكتَبَه‬ َ ‫ك بِ َش ْي ٍء لَ ْم يَضُرُّ و‬ َ ‫ َوإِ ِن اجْ تَ َمعُوا َعلَى أَ ْن يَضُرُّ و‬،‫ك‬ َ َ‫إِالَّ بِ َش ْي ٍء قَ ْد َكتَبَهُ هللاُ ل‬
ُ ‫ت الصُّ ح‬
‫ُف‬ ِ َّ‫ت األَ ْقالَ ُم َو َجف‬ِ ‫ ُرفِ َع‬، َ‫هللاُ َعلَ ْيك‬.
Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai
kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di
hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak  memohon 
pertolongan,  mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk
memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah
tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu,
maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena
telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi).
Dalam hadis tersebut Rasulullah menekankan satu pesan tentang penjagaan atas agama, artinya pesan
yang harusnya di bangun bagi kalangan milenial adalah mewasiatkan kepada mereka tentang
pentingnya penjagaan terhadap agama, dengan menekankan pada penguatan akidah, namun tetap
mempergunakan bahasa yang mudah dipahami oleh mereka, melalui sebuah perumpamaan dan
kesederhanaan pemahaman.
Berdakwah di kalangan milenial adalah satu tantangan tersendiri sekaligus peluang besar karena pada
diri mereka ada masa depan Islam yang lebih panjang. Di sinilah reorientasi dakwah menjadi satu hal
mendesak yang harus dilakukan untuk para dai yang akan terjun di kalangan generasi milenial.
Selamat mengukir masa depan melalui dakwah kreatif bagi anak muda harapan Islam.

2. Kekuatan yang bisa dikembangkan untuk dakwah di indonesia

Salah satu potensi yang paling dominan di indonesia yang bisa lebih dikembangkan lagi adalah
Pondok Pesantren
Perkembangan pendidikan agama melalui pesantren sudah tumbuh dan berkembang
sejak 700 tahun silam. Pesantren memiliki pola pendidikan sendiri1 dan berbeda dengan pola
pendidikan pada umunya. Pola pendidikan pesantren memiliki ragam dan karakter sndiri,
antara satu pesantren dengan pesantren yang lain memliki cara dan metode masing-masing.
Walapun cara pendidikan yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk
memanusiakan manusia sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis.
Keuanggulan pendidikan pesantren yang menjadi primadona di dunia pendidikan
hingga saat ini dikarenakan kurikulum yang tawarkan bukan hanya untuk mengejar materi
semata, tapi pendidikan pesantren lebih memberikan keteladanan dalam proses pembelajaran
yang merupakan salah satu bagian dari dakwah. Sementara disisi lain pesantren merupakan
pusat keteladanan dari seorang kyai kepada santrinya yang saling berinteraksi lebih kurang
dua puluh empat jam. Keunggulan lainnya bahwa pesantren dan memupuk perasaan yang
sama sehingg memunculkan kebersamaan yang menimbulkan sikap tolong menolong
kesetiakawanan dan persaudaraan sesama santri.
Dari sisi pembinaan karakter individual, pesantren mengajarkan sikap hemat dan hidup
sederhana yang jauh dari sifat konsumtif masyarakat perkotaan. Dengan demikian, pesantren
sebagai institusi pendidikan milik masyarakat, sangat potensial untuk dikembangkan menjadi
pusat pengembangan dan pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM) menuju terwujudnya
kecerdasan dan kesejahteraan bangsa. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa
sejak zaman penjajahan sampai sekarang, pesantren bukan merupakan institusi pendidikan
yang popular dibandingkan dengan sekolah formal. Pesantren juga memiliki pola yang
berbeda dalam mendidik dengan orang-orang kota. Semangat kolektivitas di pesantren sangat
besar, sementara tidaklah demikian yang terjadi dengan pola pendidikan di sekolah formal.
Sesungguhnya pendidikan pesantren merupakan bentuk fullday school bahkan bisa dikatakan
lebih dari itu, karena pendidikan pesantren mengatur semua aktivitas santri di sekolah dan
hingga masuk ke asrama seperti bagaimana santri mandi, tidur dan makan, ke masjid dan lain
sebagainya. Hal ini menunjukan kontran perbedaan pendidikan pesantren dengan umum
lainnya. Tujuan pendidikan di pesantren tidaklah semata-mata untuk memperkaya pikiran
para santri dengan penjelasan-penjelasan, akan tetapi pendidikan dilakukan adalah rangka
meningkatkan moral,melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual
dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan
menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati sehingga mamapu menjadi
manusia yang seutuhnya sebagai generasi dakwah.

3. Tantangan yang ada dalam berdakwah di indonesia

Moh. Ali Azis menyebutkan, revitalisasi dakwah pada saat ini dan masa datang menjadi
sangat penting mengingat berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi, diantaranya:
1). Masalah-masalah yang tumbuh di masyarakat semakin kompleks dan meluas seperti krisis
moral di berbagai bidang kehidupan, kekerasan dalam berbagai bentuk, perilaku sosial yang
semakin menjauh dari nilai-nilai keagamaan, penindasan manusia atas manusia dalam
beragam corak, pengrusakan lingkungan dan alam kehidupan yang semakin semena-mena,
dan berbagai tindakan lainnya.

2). Semakin berkembangnya berbagai pemikiran yang ekstrem atau radikal dari yang
cenderung radikal konservatif-fundamentalistik hingga radikal liberalsekularistik, yang
menimbulkan pertentangan yang tajam dan hingga batas tertentu sehingga hilangnya jangkar
teologis dan moral yang kokoh dalam menghadapi gelombang kehidupan modern yang
dahsyat. Setiap radikalisme atau ekstrimitas apapun bentuknya selalu melahirkan
ketimpangan dan mengundang banyak benturan. Ekstrem konservatif memang memberi
peneguhan pada kemapanan beragama, tetapi menjadi naif dan kehilangan kecerdasan dalam
menghadapi kehidupan yang serba kompleks. Esktrem liberal memberi horizon yang cerdas
atau luas tetapi sering kehilangan pijakan nilai dan moral yang kokoh sehingga memberi
ruang pada sekularisasi bahkan nihilisme kehidupan. Di sinilah pentingnya wawasan baru
pemikiran dan gerakan dakwah yang berdimensi pemurnian (purifikasi) sekaligus pembaruan
(tajdid, dinamisasi) yang harus semakin kaya (bergizi tinggi) tanpa harus terseret pada
polarisasi yang ekstrem.

3). Semakin berperan dan meluasnya para juru dakwah kontemporer di media massa
elektronik dan majelis-majelis taklim yang mempengaruhi ruang publik umat sedemikian
rupa. Kehadiran dakwah media-elektronik dan majelismajelis taklim maupun majelis-dzikir
yang menguasai ruang publik umat dan masyarakat saat ini seungguh merupakan fenomena
baru yang berhasil menggeser peran-peran dakwah konvensional yang selama ini dilakukan
oleh organisasi-organisasi Islam besar seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan
Islam, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Al-Irsyad, dan lain-lain.

4). Semakin berperannya media massa, seperti media elektronik dan media massa dalam
mempengaruhi, membentuk, dan mengubah orientasi hidup manusia modern saat ini. Dengan
kata lain media massa modern tersebut sebenarnya telah menjelma menjadi ”organisasi
dakwah” yang berwajah lain, sekaligus menjadi pesaing tangguh organisasi-organisasi
dakwah Islam yang selama ini berkiprah di belantara kehidupan umat dan masyarakat.
Pengaruh dan daya jelajah media massa bahkan sangat spektakuler, sehingga dalam hitungan
detik dapat menjangkau setiap relung kehidupan manusia di mana pun dan kapan pun tanpa
harus permisi atau minta izin.

4. Kelemahan Dakwah yang ada di Indonesia

Masih cukup banyak ditemukan kelemahan di kalangan umat Islam dalam konteks
dakwah. Hal yang delematis adalah bahwa umat Islam sebagai penduduk mayoritas di
Indonesia, namun minus kualitas. Menurut Ahmad Syafii Maarif, tiga hal utama kelemahan
dan ketertinggalan umat, yaitu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.23 Label
mayoritas dengan minus kualitas, hal ini akan memperburuk citra Islam, sekaligus citra
Indonesia di mata dunia, jika tidak segera diatasi melalui pendekatan multi demensional dan
integratif.
. Dalam konteks tantangan dakwah, Hamka melihat bahwa umat Islam memiliki empat
penyakit utama yaitu keimanan yang lemah, egois, mabuk kekuasaan dan nafsu yang tidak
terkendali.24 Pertama, lemahnya semangat untuk berkorban untuk kepentingan agama. Hal
ini secara tidak langsung juga menunjukkan lemahnya iman di kalangan umat Islam. Menurut
Hamka, iman yang lemah adalah suatu kehinaan, yang bisa mendorong kepada akhlak yang
tidak baik, takut kepada musuh atau pengecut dan mementingkan diri sendiri. Setiap umat
Islam seharusnya memiliki jati diri sebagaimana yang digambarkan dalam Q.S. al-Fath/48:
29, yaitu tegas terhadap orang kafir dan berkasih sayang sesama Muslim.25 Kedua,
mementingkan diri sendiri dan tidak peduli terhadap hak-hak orang lain seperti hak sahabat
dan tetangga. Ketiga, mabuk kekuasaan. Keempat, nafsu yang tidak terkendali. Selain melihat
banyaknya kelemahan umat Islam, Hamka juga menasehati dai agar tidak membangkitkan isu
khilafiah, karena hal itu dapat membawa kepada perpecahan di kalangan umat Islam. Di
samping itu, perlu dikembangkan sikap optimisme dalam mencapai kesuksesan Islam. Sikap
seperti ini dapat dikembangkan dengan adanya keyakinan bahwa al-Qur’an memiliki konsep
yang sempurna.
Kemudian M. Natsir juga melihat beberapa kelemahan umat Islam. Pertama, umat Islam
merupakan penduduk mayoritas di Indonesia, namun potensi atau sumber daya manusia
(SDM) yang dimiliki masih rendah. Kedua, masalah kemunduran umat Islam dalam bidang
pendidikan, ekonomi maupun kesehatan. Ketiga, kelemahan dalam pengelolaan potensi umat
Islam. Hakikatnya, potensi umat Islam terus meningkat dari waktu ke waktu. Keempat,
kelemahan dalam bidang memajukan generasi Islam untuk estafet kepemimpinan. Menurut
M. Natsir, hal ini karena sikap tidak peduli antara generasi tua kepada generasi muda.

B. Polarisasi Penganut Islam di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai