LAPORAN KASUS
SUBJEKTIF
Anamnesis (Autoanamnesis)
KU: Nyeri saat buang air kecil
AT : Pasien mengeluh nyeri saat buang air kecil sejak 1 minggu yang
lalu dan memberat sejak 3 hari yang lalu. Saat berkemih, pasien harus
menahan nyeri sewaktu berkemih, dalam sehari pasien dapat berkemih
sebanyak 5 kali dan selalu urin berwarna merah. Selain itu, pasien juga
mengatakan bila urinnya bercampur darah, pasien juga sempat
mengalami batuk pilek 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
lain berupa demam disangkal, nyeri perut tidak ada. BAB lancar.
Riwayat berobat di RS dengan keluhan yang sama pada 2 hari
sebelumnya ke IGD, diberi obat oral namun keluhan tidak juga
mereda. Riwayat penggunaan obat anti nyeri dan antibiotik ada. Tidak
ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga. Riwayat trauma
disangkal.
OBJEKTIF
A. Keadaan Umum : Sakit sedang (BB: 19kg)
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
6
Nadi : 88 x/menit, reguler, kuat angkat
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36, 4 ºC
C. Pemeriksaan Fisik
Kepala
o Ekspresi : Normal
o Simetris muka : Simetris kiri=kanan
o Deformitas :-
o Rambut : Hitam, lurus
Mata
o Eksoftalmus/enoftalmus : -/-
o Gerakan : Dalam batas normal
o Tekanan bola mata : N/ Palpasi
o Kelopak mata : Dalam batas normal
o Konjunctiva : Anemis -/-
o Kornea : Jernih
o Sklera : Ikterus -/-
Telinga
o Pendengaran : Dalam batas normal
o Tophi : (-)
Hidung
o Perdarahan : (-)
o Sekret : (-)
Mulut
o Bibir : Kering (-)
o Gusi : Normal
o Lidah : Kotor (-)
o Tonsil : T1-T1 Hiperemis (-)
o Faring : Hiperemis (-)
Leher
7
o Kelenjar getah bening : pembesaran (-)
o Kelenjar gondok : pembesaran (-)
Thoraks
Inspeksi :Normochest, pergerakan napas
simetris, kiri sama dengan kanan.
Paru
Palpasi
o Sela iga : kiri=kanan
o Nyeri tekan : (-)
o Massa tumor : (-)
Perkusi
o Paru kiri : Sonor
o Paru kanan : Sonor
Auskultasi
o Bunyi pernapasan: Vesikuler
o Bunyi tambahan: Rh(-), Wh(-)
Cor
o Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
o Auskultasi: BJ I/II murni reguler, bising (-)
Abdomen
o Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
o Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
o Palpasi : NT (-), MT (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Punggung
o Inspeksi:Gerakan napas simetris kiri&kanan.
o Palpasi : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
o Perkusi : Sonor (+), nyeri ketok (-)
o Auskultasi: vesikuler
8
Status Urologi :
Regio suprapubis:
o Inspeksi : Datar, bulging tidak ada, warna
kulit sama dengan sekitarnya, massa tumor tidak
ada.
o Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor
tidak ada.
Regio genitalia eksterna (Penis) :
o Inspeksi : Tampak penis telah di sirkumsisi,
warna kulit lebih gelap dari sekitarnya, OUE
terletak diujung penis, edema tidak ada, massa
tumor tidak ada, bloody discharge tidak ada,
urin tertampung di botol, urin berwarna merah.
o Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor
tidak ada.
Regio genitalia eksterna (Scrotum) :
o Inspeksi : Warna kulit lebih gelap dari
sekitarnya, edema tidak ada, hematom tidak ada,
massa tumor tidak ada.
o Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, teraba 2 buah
testis, ukuran kesan normal.
o Ekstremitas : Tidak ada kelainan
9
2.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium (17 Juni 2019)
Darah lengkap (17/06/2019) RSUD Abdul Rivai
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
WBC 8,7 x 103 4,0 – 12,0 mm3
RBC 4,30 x 106 3,50 – 5,20 mm3
HGB 12,6 12,0 – 16,0 g/dl
HCT 35,3 35,0 – 49,0 %
PLT 413 x 103 100 – 300 mm3
PCT 0,330 108 – 282 %
MCV 82,1 80 – 100 µm3
MCH 29,2 27,0 – 34,0 Pg
MCHC 35,6 31,0 – 37,0 g/dl
10
2.3 ASSESSMENT
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
2.4 Penatalaksanaan Awal
- IVFD RL 18 tpm
- Injeksi cefotaxim 2x950mg /iv
- Injeksi gentamisin 2x55mg /iv
- Per oral Ibuprofen sirup 3x1 ½ cth
- Per oral cefixim sirup 2x ¾ cth
RESUME
Pada pasien ini ditegakkan diagnose sebagai Glomerulonefritis Kronik
karena pasien datang dengan keluhan nyeri saat buang air kecil sejak 1 minggu
yang lalu dan memberat sejak 3 hari yang lalu. Saat berkemih, pasien harus
menahan nyeri sewaktu berkemih, dalam sehari pasien dapat berkemih sebanyak 5
kali dan selalu urin berwarna merah. Selain itu, pasien juga mengatakan bila
urinnya bercampur darah, pasien juga sempat mengalami batuk pilek 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Riwayat trauma disangkal. Pada pemeriksaan fisik
secara sistematis tidak didapatkan adanya kelainan, namun pada urin tampung
didapatkan urin berwarna darah. Pada pemeriksaan urin lengkap didapatkan
hematuria dan proteinuria.
11
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu
inflamasi dan proliferasi sel glomerulus1. Peradangan tersebut terutama
disebabkan mekanisme imunologis yang menimbulkan kelainan patologis
glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas10.
Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak
dijumpai pada anak adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus
(GNAPS). GNAPS dapat terjadi pada semua usia, tetapi peak age
incidence pada usia 6 – 7 tahun. GNAPS merupakan penyebab terbanyak
nefritis akut pada anak di negara berkembang, sedangkan di negara maju
terjadi dalam prevalensi yang rendah. GNAPS masih menjadi masalah
bagi para dokter dan dokter spesialis anak terutama dalam penegakan
diagnosis dan tata laksana3.
Beberapa kasus didiagnosis sebagai ensefalopati karena kesadaran
menurun dan kejang-kejang, tetapi ternyata GNAPS. Hal ini terjadi
karena GNAPS dapat menyebabkan ensefalopati hipertensi disertai
manifestasi kejang dan atau kesadaran menurun. Oleh karena itu, pada
setiap kasus dengan gejala kejang dan atau kesadaran menurun, jangan
lupa memeriksa tekanan darah untuk melacak adanya GNAPS4.
3.2 EPIDEMIOLOGI
GNAPS dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Biasanya
kasus terjadi pada kelompok sosio-ekonomi rendah, berkaitan dengan
higiene yang kurang baik dan jauh dari tempat pelayanan kesehatan.
Risiko terjadinya nefritis 5% dari infeksi kuman streptococcus beta
12
hemoliticus grup A yang menyerang tenggorokan sampai 25% yang
menyerang kulit (pioderma), sedangkan tanpa melihat tempat infeksi risiko
terjadinya nefritis 10-15%. Rasio terjadinya GNAPS pada pria dibanding
wanita adalah 2:1. Penyakit ini terutama menyerang kelompok usia
sekolah 5-15 tahun, pada anak < 2 tahun kejadiannya kurang dari 5%6.
Pada anak GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus
beta hemolyticus group A tipe nefritogenik. Tipe antigen protein M
berkaitan erat dengan tipe nefritogenik. Serotipe streptokokus beta
hemolitik yang paling sering dihubungkan dengan glomerulonefritis akut
(GNA) yang didahului faringitis adalah tipe 12, tetapi kadang kadang juga
tipe 1, 4, 6, dan 25. Tipe 49 paling sering dijumpai pada glomerulonefritis
yang didahului infeksi kulit / pioderma, walaupun galur 53, 55, 56, 57, dan
58 dapat berimplikasi. Protein streptokokus galur nefritogenik yang
merupakan antigen antara lain endostreptosin, antigen presorbing (PA-
Ag), nephritic strain-associated protein (NSAP) yang dikenal sebagai
streptokinase dan nephritic plasmin binding protein (NPBP)4.
3.3 PATOGENESIS
Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk
penyakit kompleks imun. Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa
GNAPS termasuk penyakit imunologik adalah3:
- Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan
gejala klinik .
- Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah.
- Kadar komplemen C3 menurun dalam darah.
- Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus.
- Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah.
13
menyebabkan sukarnya ditemukan kuman streptokokus. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, maka organisme tersering yang berhubungan
dengan GNAPS ialah Group A β-hemolytic streptococcus. Penyebaran
penyakit ini dapat melalui infeksi saluran napas atas (tonsillitis/faringitis)
atau kulit (pioderma), baik secara sporadik atau epidemiologik. Meskipun
demikian tidak semua GABHS menyebabkan penyakit ini, hanya 15%
mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena hanya serotipe tertentu dari
GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya mengandung
protein M atau T (terbanyak protein tipe M)3.
14
Proses Imunologik yang terjadi dapat melalui3:
- Soluble Antigen-Antibody Complex
Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi NAPℓr sebagai
antigen dan antibodi anti NAPℓr larut dalam darah dan
mengendap pada glomerulus.
- Insitu Formation
Kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation),
karena antigen nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted
antigen. Teori insitu formation lebih berarti secara klinik oleh
karena makin banyak humps yang terjadi makin lebih sering
terjadi proteinuria masif dengan prognosis buruk.
Imunitas Selular :
Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena
dijumpainya infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil
biopsi ginjal. Infiltrasi sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel
molekul adhesi ICAM – I dan LFA – I, yang pada gilirannya
mengeluarkan sitotoksin dan akhirnya dapat merusak membran basalis
glomerulus3.
3.4 PATOFISIOLOGI
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang
menyebabkan filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke
ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi
berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan
reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan
tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na,
sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air3.
Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na
dan air didukung oleh keadaan berikut ini3:
- Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh
proses radang di glomerulus.
15
- Overexpression dari epithelial sodium channel.
- Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas
angiotensin intrarenal.
16
lebih bersifat klinik. Dalam kepustakaan disebutkan bahwa selain GNAPS,
banyak penyakit yang juga memberikan gejala nefritik seperti hematuria,
edema, proteinuria sampai azotemia, sehingga digolongkan ke dalam
SNA. Berbagai penyakit atau keadaan yang digolongkan ke dalam SNA
antara lain3.:
2.4 Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
2.5 Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
2.6 Glomerulonefritis fokal
2.7 Nefritis herediter (sindrom Alport)
2.8 Nefropati IgA-IgG (Maladie de Berger)
2.9 Benign recurrent hematuria
2.10 Glomerulonefritis progresif cepat
2.11 Penyakit – penyakit sistemik
2.12 Purpura Henoch-Schöenlein (HSP)
2.13 Lupus erythematosus sistemik (SLE)
2.14 Endokarditis bakterial subakut (SBE)
17
GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan
jarang pada usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS
melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit
(pioderma) dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu
ada pioderma4. Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa
infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit
sebesar 31,6%. Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk
asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak
daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk
asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama
hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita
GNAPS simtomatik6.
18
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi
dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra
sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar
pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan
sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena
gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang
tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan
penurunan berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan
jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang dalam waktu
singkat akan kembali ke kedudukan semula3.
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,
sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus.
Suatu penelitian multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria
makroskopik berkisar 46- 100%, sedangkan hematuria mikroskopik
berkisar 84-100%. Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti
teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola. Hematuria
makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung
beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu.
Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya
menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai
hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik
GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap
lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang.
Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal,
mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik4.
4. Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus
GNAPS. Didapatkan hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi
dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus
dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi
19
ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet
yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya
hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi
yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah,
kesadaran menurun dan kejang-kejang. Penelitian multisenter di
Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi berkisar 4-50%5.
5. Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS
dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m 2 LPB/hari. Oliguria terjadi
bila fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti
ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada
akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang
menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan
prognosis yang jelek3.
6. Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan
sirkulasi yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan
sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi
ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada
hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi
bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi
Na dan air sehingga terjadi hipervolemia3.
7. Edema paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat
bendungan sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya
hanya terlihat secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk,
sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah
kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonary edema
yang umumnya terjadi dalam minggu pertama dan kadang-kadang
bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai bronkopnemonia
sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena itu
20
pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa
pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara
62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul
dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik toraks
dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya
kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan
dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan
(LDK) 3.
8. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise,
letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan
jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik
yang berlangsung lama3.
21
3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis
Darah
Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum
meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia,
asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Komplemen C3
rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi
C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar
properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut
menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen. Penurunan C3
sangat mencolok pada penderita GNAPS kadar antara 20-40
mg/dl (harga normal 50-140 mg/dl) 7. Penurunan komplemen C3
tidak berhubungan dengan derajat penyakit dan kesembuhan.
Kadar komplemen C3 akan mencapai kadar normal kembali
dalam waktu 6-8 minggu. Bila setelah waktu tersebut kadarnya
belum mencapai normal maka kemungkinan
glomerulonefritisnya disebabkan oleh yang lain atau berkembang
menjadi glomerulonefritis kronik atau glomerulonefritis
progresif cepat. Anemia biasanya berupa normokromik
normositer, terjadi karena hemodilusi akibat retensi cairan. Di
22
Indonesia 61% menunjukkan Hb < 10 g/dL. Anemia akan
menghilang dengan sendirinya setelah efek hipervolemiknya
menghilang atau sembabnya menghilang. Adanya infeksi
streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok
dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi
antimikroba sebelumnya. Beberapa uji serologis terhadap antigen
streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi,
antara lain antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti-
DNase B. Skrining antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena
mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen
streptokokus. Titer anti streptolisin O mungkin meningkat pada
75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun
beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O,
sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen
streptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan lebih dari
90% kasus menunjukkan adanya infeksi streptokokus, titer
ASTO meningkat pada hanya 50% kasus. Pada awal penyakit
titer antibodi streptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya
uji titer dilakukan secara serial. Kenaikan titer 2-3 kali berarti
adanya infeksi6.
Pencitraan
Gambaran radiologi dan USG pada penderita GNAPS
tidak spesifik. Foto toraks umumnya menggambarkan adanya
kongesti vena sentral daerah hilus, dengan derajat yang sesuai
dengan meningkatnya volume cairan ekstraseluler. Sering
terlihat adanya tanda-tanda sembab paru (11.5%), efusi pleura
(81.6%), kardiomegali ringan (80.2%), dan efusi perikardial
(81.6%). Foto abdomen dapat melihat adanya asites. Pada USG
ginjal terlihat besar dan ukuran ginjal yang biasanya normal. Bila
terlihat ginjal yang kecil, mengkerut atau berparut,
kemungkinannya adalah penyakit ginjal kronik yang mengalami
eksaserbasi akut. Gambaran ginjal pada USG menunjukkan
23
24
peningkatan echogenisitas yang setara dengan echogenisitas
parenkhim hepar. Gambaran tersebut tidak spesifik dan dapat
ditemukan pada penyakit ginjal lainnya6.
3.8 DIAGNOSIS
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai
pada pasien dengan gejala klinis berupa hematuri makroskopis (gross)
yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut, yang timbul setelah
infeksi streptokokus1. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis,
bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar
komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Beberapa
keadaan lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut pascastreptokok
pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis kronik4.
Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata
mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti
glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik
pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitis, sementara pada
glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 7-14 hari setelah
faringitis, sedangkan hipertensi dan sembab jarang ditemukan pada
nefropati-IgA6.
Pada pasien ini ditegakkan diagnose sebagai Glomerulonefritis
Kronik karena pasien datang dengan keluhan nyeri saat buang air kecil
sejak 1 minggu yang lalu dan memberat sejak 3 hari yang lalu. Saat
berkemih, pasien harus menahan nyeri sewaktu berkemih, dalam sehari
pasien dapat berkemih sebanyak 5 kali dan selalu urin berwarna merah.
Selain itu, pasien juga mengatakan bila urinnya bercampur darah, pasien
juga sempat mengalami batuk pilek 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat trauma disangkal. Pada pemeriksaan fisik secara sistematis tidak
didapatkan adanya kelainan, namun pada urin tampung didapatkan urin
berwarna darah. Pada pemeriksaan urin lengkap didapatkan hematuria dan
proteinuria.
24
3.9 DIAGNOSIS BANDING
25
3.10 PENATALAKSANAAN
a. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi
yang biasanya timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit
GNAPS. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di
tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit.
Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit3. Dahulu
dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan
alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini
lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari
perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi9. Bila masih
dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan
lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di
tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari
teman- temannya, sehingga dapat memberikan beban psikologik3.
b. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila
edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila
edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari.
Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1
g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik,
terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan
yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan
cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/ hari)
+ jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal
(10 ml/kgbb/hari) 3.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih
sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila
biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus,
sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan
biakan negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus5.
24
26
Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik
sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu
lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin
diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb
dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap
golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari3.
d. Simptomatik3
- Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah
pembatasan cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai
dengan keluaran. Bila terjadi edema berat atau tanda-tanda
edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid.
Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.
- Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada
hipertensi ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan
yang baik, tekanan darah bisa kembali normal dalam waktu 1
minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda
serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau
furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut
diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi
nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari
yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada
hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral
(ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006
mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5
mg/ kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat
digabung dengan furosemid (1 – 3 mg/kgbb).
- Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan
cairan, pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat.
Bila terjadi asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila
27
26
terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau Kayexalate
untuk mengikat kalium.
3.11 KOMPLIKASI
Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari, terjadi
sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti
insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia.
Walau oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun
bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan7.
Hipertensi ensefalopati, didapatkan gejala berupa gangguan penglihatan,
pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah
lokal dengan anoksia dan edema otak. Gangguan sirkulasi berupa dispne,
ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan meningginya
tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah,
melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma6. Jantung
dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap
dan kelainan di miokardium. Anemia yang timbul karena adanya
hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang menurun4.
3.12 PROGNOSIS
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis
GNAPS antara lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur
streptokokus tertentu, pola serangan sporadik atau epidemik, tingkat
penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus. Anak kecil
mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar atau
orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi
nekrotik glomerulus7.
Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal
menunjukkan prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal
berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10 %; sekitar
0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif
dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal.
28
26
Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %. Melihat GNAPS
masih sering dijumpai pada anak, maka penyakit ini harus dicegah karena
berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa
perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, mengontrol dan
mengobati infeksi kulit. Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan
insiden penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian hari4.
BAB 4
29
26
PEMBAHASAN
26
letargi dan anoreksia) merah.
- Palpasi : Nyeri tekan tidak ada,
massa tumor tidak ada.
Regio genitalia eksterna (Scrotum) :
- Inspeksi : Warna kulit lebih
gelap dari sekitarnya, edema
tidak ada, hematom tidak ada,
massa tumor tidak ada.
- Palpasi : Nyeri tekan tidak ada,
teraba 2 buah testis, ukuran
kesan normal.
Ekstremitas : Tidak ada kelainan
BAB 5
PENUTUP 31
26
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan
proliferasi sel glomerulus. Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang
banyakdijumpai pada anak adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus
(GNAPS). GNAPS dapat terjadi pada semua usia, tetapi peak age indence pada
usia 6 – 7 tahun. GNAPS merupakan penyebab terbanyak nefritis akut pada anak
di negara berkembang . Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk
asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada
bentuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik
diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik
yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.
Penatalaksanaan GNAPS berupa istirahat, diet, antibiotic, dan simtomatik.
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara
lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, pola
serangan sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran
histologis glomerulus. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding
anak yang lebih besar atau orang dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
32
26
1. Airlangga, E. (2018). Hematuria pada Anak. Jurnal Unsu, 3(1).
2. Hidayani, A. R., Umboh, A., & Gunawan, S. (2016). Profil
glomerulonefritis akut pasca streptokokus pada anak yang dirawat di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Jurnal e-Clinic, 4(2).
3. IDAI. (2012). KONSENSUS GLOMERULONEFRITIS AKU PASCA
STREPTOKOKUS.
4. Lumbanbantu, S. M. (2003). Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
pada Ana. Sari Pediatri, 5(2).
5. Putri, I. N., & Susianti. (2017). Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus dengan Krisis Hipertensi pada Anak. J Medula Unila, 7(2).
6. Rachmadi, D. (2010). DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
GLOMERULUS NEFRITIS AKUT. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK UNPAD RS Dr. Hasan Sadikin Bandung .
7. Raditya, I. M. (2013). Glomerulonefritis Akut (GNA). Jakarta: academia
edu.
8. Rena, N. M., & Suwitra, K. (2009). SEORANG PENDERITA SINDROM
NEFRITIK AKUT PASCA INFEKSI STREPTOKOKUS. Jurnal
Penyakit Dalam, 9(3).
9. Trikanti, N., & Widyastuti, E. (2014). Acute Post Streptococcus
Glomerulonephritis With Grade 1 Hypertension. J Agromed Unila, 1.
10. Umboh, V., & Umboh, A. (2018). Gambaran Klinis Glomerulonefritis
Akut pada Anak di RSUP Prof. Dr. Jurnal Biomedik, 10(3).
33
26