Anda di halaman 1dari 7

Jelaskan dampak global change terhadap Penyakit Tidak Menular (polusi udara, climate change,

urbanisasi, food, nutrition and Agriculture, persistent chemicals in the environment, biodiversity
loss (Eka, Yanwar)

Berkembangnya ilmu pengetahuan serta teknologi adalah bentuk perubahan global akibat
dinamisnya kehidupan manusia. Banyak manfaat yang diperoleh dari dinamisnya perkembangan
ini, namun di sisi lain jika tidak diawasi secara maksimal akan menyebabkan berbagai dampak
negatif yang bisa mempengaruhi kesehatan manusia, khususnya terjadi penyakit tidak menular
seperti gangguan hormon endokrin dan merusak sistem reproduksi serta kekebalan pada makhluk
hidup maupun janin, gangguan kesehatan berupa masalah infeksi jantung, paru-paru, serta
saluran pernapasan, masalah gizi buruk, kekurangan gizi akibat gagal panen, hingga kelestarian
lingkungan

Berkembangnya ilmu pengetahuan serta teknologi adalah bentuk perubahan global akibat
dinamisnya kehidupan manusia. Pemicunya adalah kegiatan manusia yang dimulai sejak revolusi
industri tahun 1750 (Hosang, Tatuh and Rogi, 2012). Banyak manfaat yang diperoleh dari
dinamisnya perkembangan ini, sehingga dimanfaatkan banyak orang untuk melakukan urbanisasi
akibat minimnya lapangan pekerjaan di pedesaan, banyak orang yang berbondong-bondong
datang ke kota demi bekerja baik di industri, pusat perdagangan, serta jasa. Akibat banyaknya
pendatang ke kota membuat kebutuhan lahan untuk perumahan semakin meningkat, dan akibat
meningkatnya kebutuhan lahan ini terjadi alih fungsi lahan, sehingga membuat lahan hijau
semakin berkurang (Nandang, 2011). Berkurangnya lahan hijau akibat alih lahan ini menjadi
salah satu penyebab kepunahan biodiversitas yang merupakan salah satu masalah yang dihadapi
dunia saat ini karena berdampak serius bagi kehidupan manusia. Kepunahan ini disebabkan
pemansan global karena kegiatan manusia yang menghasilkan karbondioksida yang sumbernya
berasal dari bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik dan kendaraan bermotor, penggunaan
barang elektronik seperti TV, komputer, AC, kegiatan penebangan dan perusakan hutan, dinitro
oksida yang bersumber dari gas proses industri dan penggunaan pupuk buatan, sulfur-
heksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), uap air (H2O), hidroflorokarbon (HFCs), dan gas
methan (CH4) (Suryati, Salim and Titiresmi, 2007). Berkembangnya industri pun diikuti oleh
berkembangnya produk penunjang kegiatan produksi seperti dibuatnya POPs atau Persistent
Organic Pollutants yang merupakan senyawa organik toksik yang terdiri dari golongan pestisida,
bahan kimia industri, dan produk sampingan yang terbentuk secara tidak disengaja yang mampu
bertahan lama di lingkungan, dan jika masuk ke rantai makanan akan bersifat bio-akumulasi,
mampu berpindah pada rantai panjang dengan sangat mudah, dan akhirnya senyawa ini akan
sampai pada hewan dan manusia serta memberikan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan
seperti gangguan hormon endokrin dan merusak sistem reproduksi serta kekebalan pada makhluk
hidup maupun janin (Puspita Rokhwani and Syofyan Ratnaningsih, 2010).

Senyawa POPs masih digunakan secara luas di Indonesia untuk keperluan pembasmian
hama atau vektor, industri seperti pengawet bahan furniture untuk membasmi rayap, serta
pertanian. Hal ini mengakibatkan timbulnya residu senyawa POPs di lingkungan (tanah, air,
sedimen) serta lokasi pertanian, dan karena sifatnya yang tidak mudah terurai menyebabkan
mudahnya perpindahan residu melalui air, udara, stau sedimen dan menyebabkan masalah
kesehatan seperti kejang-kejang, keracunan akut atau kronis, iritasi saluran pernapasan, depresi,
kerusakan hati, dan konvulsi jika terakumulasi pada rantai makanan (Puspita Rokhwani and
Syofyan Ratnaningsih, 2010). Zat POPs ini termasuk ke dalam pencemar udara karena mampu
bertransmisi melalui media udara dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan tersebut. Selain
POPs, zat polutan yang menyebabkan pencemaran udara adalah Karbon Dioksida (CO2),
Partikular (PM10), Sulfur Dioksida (SO2), Hidrokarbon (HC), Chlorouorocarbon (CFC), Karbon
Monoksida (CO), Timbal (Pb), dan Nitrogen Dioksida (NO2). Zat-zat ini meningkat jumlahnya
di lingkungan akibat meningkatnya aktivitas manusia dalam pemanfaatan teknologi untuk
industri, kendaraan motor, serta pembangkit listrik. Selain itu, kebakaran hutan pun menjadi
masalah serius karena menghasilkan zat polutan di udara, sehingga menyebabkan gangguan
kesehatan berupa masalah infeksi jantung, paru-paru, serta saluran pernapasan, hujan asam
hingga kerusakan ekosistem (Abidin and Artauli Hasibuan, 2019).

Kegiatan manusia yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya energi bahan
bakar fosil seperti gas bumi, batubara, dan minyak dan alih fungsi lahan menjadi faktor yang
menyebabkan peningkatan laju emisi gas rumah kaca dan berakibat pada pemanasan global yang
menjadi salah satu penyebab perubahan iklim (Asnawi, 2015). Pemanasan global menyebabkan
perubahan pola-pola alamiah di lingkungan dan menyebabkan masalah seperti peningkatan suhu
bumi, perubahan pola curah hujan, kegagalan panen, kekeringan, banjir, perubahan tekanan
udara, serta musnahnya keanekaragaman hayati yang menjadi sumber daya untuk memenuhi
kebutuhan dunia baik dalam bidang bahan pakan, bahan pangan, bahan obat-obatan, bahan
pangan, bahan pemuliaan, bahan pengelolaan lingkungan, serta bahan baku industri (Suryati,
Salim and Titiresmi, 2007). Perubahan iklim seperti pergeseran musim kemarau atau hujan,
curah hujan yang tidak menentu yang berpengaruh pada waktu dan pola tanam berbagai
tanaman, khususnya tanaman pangan akan mempengaruhi dinamika dan kemampuan produksi di
bidang pertanian. (Hosang, Tatuh and Rogi, 2012).

Pada bidang pangan, terdapat tiga subsistem yang terdiri dari ketersediaan pangan,
distribusi pangan, dan konsumsi pangan yang merupakan komponen penting dalam sistem
ketahanan pangan (Hosang, Tatuh and Rogi, 2012). Demi mewujudkan sistem ketahanan pangan
ini berbagai program dirancang, Namun terdapat beberapa hal yang dapat menggagalkan
program pertanian antara lain alih fungsi lahan sawah, cepatnya pertambahan penduduk, dan
dampak perubahan iklim. Perubahan iklim sangat sensitif terhadap pertanian subsektor tanaman
pangan dan menimbulkan dampak penurunan produksi pangan di berbagai belahan dunia karena
faktor salinitas tanah dan suhu yang meningkat, cuaca ekstrim, serta serangan hama dan penyakit
tanaman (Asnawi, 2015). Cuaca ekstrim yang diakibatkan perubahan iklim menjadi indikator
masalah pangan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Menurut Lembaga Penelitian
Padi di Filipina, panen padi turun 10% akibat peningkatan suhu bumi 1 oC dan membuat
ketersediaan pangan bagi penduduk dunia terancam. Hal ini akan mengakibatkan dunia kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan beras sebagai makanan pokok jika tidak mendapat penanganan yang
baik (Hosang, Tatuh and Rogi, 2012). Akibat dari peningkatan suhu yang menurunkan produksi
pangan ini akan berlanjut pada terjadinya masalah gizi buruk, kemiskinan serta masalah
keamanan pangan suatu negara, khususnya pada orang dari kalangan miskin dan memiliki
keterbatasan akses pelayanan kesehatan. Masalah lain dari penurunan produksi pangan adalah
ancaman kekurangan gizi akibat gagal panen karena gagalnya penerapan kebijakan mengatasi
dampak perubahan iklim, khususnya pada anak-anak di pedesaan (Asnawi, 2015).

1. Polusi udara

2. Climate change

3. Urbanisasi

4. Food, nutrition and Agriculture

5. Persistent chemicals in the environment

6. Biodiversity loss
Abidin, J. and Artauli Hasibuan, F. (2019) ‘Pengaruh Dampak Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan
Untuk Menambah Pemahaman Masyarakat Awam Tentang Bahaya Dari Polusi Udara’, Prosiding SNFUR-
4, 2(2), pp. 978–979.

Asnawi, R. (2015) ‘Perubahan Iklim Dan Kedaulatan Pangan Di Indonesia. Tinjauan Produksi Dan
Kemiskinan’, Sosio Informa, 1(3), pp. 293–309. doi: 10.33007/inf.v1i3.169.

Hosang, P. R., Tatuh, J. and Rogi, J. E. X. (2012) ‘Analisis Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi
Beras Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2013 – 2030’, Eugenia, 18(3). doi: 10.35791/eug.18.3.2012.4101.

Nandang, D. (2011) ‘PENGARUH URBANISASI TERHADAP TUMBUHNYA RUMAH BEDENG DI SEMARANG’,


TEKNIK - UNISFAT, 6(2), pp. 79–88.

Puspita Rokhwani, H. and Syofyan Ratnaningsih, Y. (2010) ‘Persistent Organik Pollutants (Pops) Di
Beberapa Lokasi Pertanian Di Indonesia (2010)’, Jurnal Ecolab, 4(2), pp. 55–62. doi:
10.20886/jklh.2010.4.2.55-62.

Suryati, T., Salim, F. and Titiresmi (2007) ‘Pemanasan Global dan Keanekaragaman Hayati’, Teknologi
Lingkungan, 8(1), pp. 61–68.
3.     PCA-FLUVX

Sebuah studi kasus kontrol meneliti hubungan antara vaksinasi influenza dan primary cardiac
arrest (PCA) (Am J Epidemiol 2000: 152:674-677). Kasus PCA tanpa didahului penyakit jantung
(n=315) teridentifikasi dari laporan paramedic. Kelompok control didapat dengan menggunakan
teknik angka acak. Sepasang subjeck penelitian diwawancarai untuk menemukan siapa yang
menerima vksinasi influenza (Vx) selama tahun sebelumnya. Datanya adalah sebagai berikut:

  Kasus Control

Divaksinasi 79 176

Tidak Divaksinasi 236 373

a.     Jelaskan mengapa penelitian ini merupakan penelitian kasus-kontrol

Karena penelitian ini menggunakan kelompok kasus yang diambil dari pasien PCA dan
kelompok kontrol yang diambil dari pasien non PCA

b.     Hitunglah odds ratio dihubungkan dengan vaksinasi. Interpretasikan hasilnya. Apakah hal
ini menyatakan hubungan antara efek vaksinasi influenza dengan risiko PCA.

ad 79 x 373
OR = = = 0,71
bc 176 x 236

Interpretasi: orang yang diberi vaksin influenza berisiko 0,71 kali lebih besar terkena PCA dibandingkan
dengan orang yang tidak diberi vaksin influenza

karena OR < 1, maka vaksinasi influenza berhubungan negatif dengan penyakit PCA

c.     Peneliti menggunakan informasi dari responden pengganti (berpasangan) untuk memastikan
status pajanan baik di kelompok kasus maupun control. Hal ini diperlukan untuk   kasus
(karena mereka sudah meninggal) menurut anda mengapa pada kelompok control digunakan
responden pengganti (surrogate) sebagai sumber informasi?.

Hal ini dilakukan agar status pajanan pada kelompok kasus dan kontrol dapat dipastikan demi
memperoleh hasil yang valid dengan cara memastikan ada perlakuan yang sama antara kelompok
kasus dan kelompok kontrol, dan kepastian perlakuan yang sama antara kelompok kasus dan
kelompok kontrol ini dimaksudkan untuk menghindari bias admission rate

------------------------------------- eka -------------------------------

Anda mungkin juga menyukai