Lapsus Myastenia Gravis Siska Revisi
Lapsus Myastenia Gravis Siska Revisi
Diajukan Kepada:
Pembimbing: dr Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc
Disusun Oleh:
Siska Sulistiyowati 1620221168
1
PENGESAHAN
Pembimbing
Disetujui di : Ambarawa
Tanggal : 07 April 2018
2
I. Identitas Pasien
Nama : Nn.S
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Junggul, Bandungan
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Status : Belum Menikah
No CM : 064xxx
Tanggal Kontrol Poli RS : 27/03/18
4
II.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Kelainan pada timus : disangkal
Riwayat pneumonia : disangkal
5
II.8 Resume Anamnesis
Pasien perempuan berusia 19 tahun datang dengan keluhan kelopak mata sebelah kiri
lebih turun dibandingan mata kanannya terutama saat terlalu lama membaca/menonton tv (+)
dan membaik setelah istirahat atau berwudhu. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 8 tahun
yang lalu dan saat ini kelopak mata kiri semakin turun dan semakin terasa berat serta
menggangu aktivitas dan pekerjannya. Pasien juga megeluh suara serak dan makin mengecil
ketika terlalu banyak berbicara (+) 1 hari yang lalu dan saat ini sudah membaik. Keluhan lain
seperti penglihatan ganda, sulit menelan, suara sengau, sulit mengunyah, sesak nafas, pusing,
mual-muntah, kelemahan anggota gerak, bicara pelo, tremor, kesemutan/kebas/kekakuan
anggota gerak, demam, batuk-batuk lama, penurunan berat badan, konsumsi obat-obatan
dalam jangka waktu lama disangkal oleh pasien. Dipoli dokter spesialis saraf menduga pasien
menderita miastenia gravis, kemudian pasien diberikan obat mestinon tablet 2x1 dan
mecobalamin 2x1 tablet. Pasien mengatakan setelah mengkonsumsi obat mestinon selama 2
kali, keluhan berat pada kelopak mata kirinya membaik namun kelopak mata kirinya masih
turun dibandingkan yang kanan.
III. Diskusi I
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan maka dapat didiagnosis secara klinis
pasien mengalami miastenia gravis. Pada miastenia gravis awitan biasanya tidak jelas dan
progresivitas relatif lambat. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien yang sudah berlangsung
selama beberapa tahun. Keluhan pertama pasien adalah adanya keluhan pada mata yaitu
kelopak mata kiri lebih turun, namun belum terdapat penglihatan ganda. Hal ini sesuai teori
MG dimana pada 90% kasus, awal mulanya mengeluh kelemahan otot levator palpebrae
(ptosis) dan otot ekstraokuler (diplopia). Ptosis kemudian akan diikuti dengan kesulitan
menutup mata (dikarenakan kelemahan m.orbicularis oculi). Keluhan pada mata relatif lebih
dirasakan mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya.
Pada stadium selanjutnya akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan
otot untuk bicara (pada 80% kasus). Setelah banyak bicara suara dapat menghilang dan
menjadi sengau. Otot leher, gelang bahu dan panggul jarang terkena. Bila otot leher terkena,
maka ada keluhan sulit untuk mempertahankan posisi tegak kepala. Pada kasus yang parah,
semua otot terkena termasuk otot abdomen, interkostal,diafragma bahkan otot sfingter
kandung kemih dan anus. Sifat kelemahan pada miastenia gravis bersifat fluktuatif, gejala
bervariasi dari hari ke hari dan dari jam ke jam, biasanya akan membaik pada pagi hari atau
6
saat istirahat dan memburuk pada saat siang/sore hari saat aktivitas. Hal ini sesuai dengan
keluhan yang dialami pasien saat ini dimana semua keluhan seperti kelopak mata jatuh , suara
serak dan mengecil saat jika beraktifitas namun pulih kembali setelah beristirahat. Selain itu
riwayat pengobatan dimana pasien mempunyai responsi yang baik terhadap pemberian obat
mestinon dapat memperkuat kecurigaan terhadap miastenia gravis. Sehingga pada kasus ini
kecurigaan bahwa pasien mengalami miastenia gravis ditegakan atas dasar gambaran klinis
yang khas dan responsi yang baik terhadap pemberian obat mestinon.
IV.2 Epidemiologi
Insiden MG bervariasi antara 1-9 kasus/1000 penduduk, sedangkan prevalensi MG
diperkirakan antara 25-142 kasus/1000 penduduk. MG lebih banyak dijumpai pada wanita
ketimbang pria. Usia puncak pada wanita yaitu 20-24 tahun dan 70-75 tahun, sedangkan pada
pria 30-34 tahun dan 70-74 tahun.2
7
yang disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid berkisar antara 9-18%.
IV.4 Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini
mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan
dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu
serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati
hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.6
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps.
Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak
antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin
dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu
jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end
plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat
berlangsung lama.7,8
8
IV.5 Manifestasi Klinis 3
1. Gejala utama MG adalah kelemahan otot yang selalu sebelumnya terjadi kelelahan otot
akibat aktivitas kegiatan fisik atau latihan berulang yang akan membaik dengan istirahat
atau tidur
2. Kelemahan yang timbul bersifat intermitten/fluktuatif
3. Distribusi kelemahan otot bervariasi, bisanya memiliki pola tipikal, yaitu craniocaudal
dimulai dari otot-otot kranialis terutama kelopak mata dan otot ekstraokuler kemudian
menyerang otot-otot ekstremitas yang dimulai dari proksimal dan bersifat asimetrik.
Kelemahan juga dapat menyerang otot-otot pernapasan dan menyebabkan krisis miastenik
4. Berdasar distribusi otot yang terkena :
otot-otot penggerak kelopak mata, menyebabkan diplopia(41%)
otot kelopak mata menyebabkan ptosis (25%)
Otot lidah menyebabkan disatria (16%)
Otot-otot ekstremitas bawah menyebabkan gangguan gerak flasid (13%)
Kelemahan otot tubuh secara umum (11%)
Otot menelan-bulbar : kesulitan menelan(11%)
Otot-otot ekstremitas atas meyebabkan kelemahan yang bersifat flasid (7%)
Otot-otot pengunyah (7%)
Otot leher dan pernafasan akan menyebabkan gangguan nafas sampai gagal nafas.
9
IV.6 Klasifikasi
IV.6.1 Klasifikasi Osserman (derajat keparahan penyakit) 1
I. Miastenia Okuler
hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak
ada kasus kematian (15-20 %)
II. A. Miastenia umum derajat ringan :
Progres lambat, biasanya pada mata , lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan
bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian
rendah (30 %).
B. Miastenia umum derajat sedang :
Progres bertahap dan sering disertai gejala-gejala okular, lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya otot-otot rangka dan bulbar, tak terjadi krisis. Respon terhadap
terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas. (25 %)
III. Miastenia Fulminasi Akut :
Progres yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai
mulai terserangnya otot-otot pernafasan (terjadi krisis pernafasan). Biasanya penyakit
berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma
paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan angka kematian tinggi. (15%)
IV. Miastenia berat yang berkembang lamban :
Timbul paling sedikit 2 tahun sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon
terhadap obat dan prognosis buruk. (10 %)
10
IV.6.2 Klasifikasi Myathenia Gravis Foundation ( klinis ) 1
11
Late onset Myasthenia Gravis:
onset kejadian pada umur > 40 tahun, terutama menyerang pria, dengan kelenjar timus
normal atau mengalami atrofi, autoantibodi terhadap AChR, titin dan reseptor ryanodine.
Antistriational muscle antibodies (anti-titin dan reseptor ryanodine) ini dihubungkan
dengan gambaran penyakit yang lebih berat.
Tymoma associated Myasthenia Gravis:
pada umumnya ditemukan pada umur 40-60 tahun, dengan kelenjar timus mengalami
neoplasia, autoantibodi terhadap AChR, titin, reseptor ryanodine, dan KCNA4.
Myasthenia Gravis with anti MuSK:
umumnya menyerang kelompok umur < 40 tahun, predominasi wanita dan kelenjar timus
normal.
Seronegatif Myasthenia Gravis
yaitu pasien Myasthenia Gravis yang pada pemeriksaan tidak ditemukan autoantibodi
terhadap AChR dan MuSK. Subtipe ini ditemukan pada berbagai kelompok umur dengan
kelenjar timus mengalami hiperplasia.
Ocular Myasthenia Gravis
yang positif untuk anti-AChR antibody dengan radioimmunoassay.8 Antibodi AChR hampir
selalu dijumpai pada pasien MG dengan timoma. Selain itu, pasien tymoma associated MG
juga memiliki antibodi antivoltage gated K+ dan Ca2+, anti-Hu, antidihydropyrimidinase
related protein 5, dan antiglutamic acid decarboxylase).8
b. Seronegatif
Lebih kurang 15% pasien MG tidak ditemukan adanya antibodi AChR dan 40% di antaranya
didapatkan adanya antibodi MuSK. Pada pasien-pasien ini pada umumnya didapatkan gejala
kelemahan otot nafas, paralisis bulbar, kelemahan otot leher, namun jarang dijumpai adanya
gangguan pada otot mata. MG yang tidak dijumpai adanya antibodi anti AChR dan anti
MuSK disebut dengan MG seronegative. MG seronegatif hanya memiliki gejala mata saja.8
12
IV.7 Diagnosis
IV.7.1 Anamnesis
Awitan biasanya tidak jelas dan progresivitas relatif lambat. Biasanya diawali dengan
mata, muka, rahang tenggorok dan leher. Tetapi ditemui juga yang mulai dengan ekstremitas.
Sembilan puluh persen kasus, awal mulanya mengeluh kelemahan otot levator palpebrae
(ptosis) dan otot ekstraokuler (diplopia). Ptosis kemudian akan diikuti dengan kesulitan
menutup mata (dikarenakan kelemahan m.orbicularis oculi). Dan bisa juga ditemui suatu
tanda Cogan twitch pada mata yang ptosis. Pasien biasanya datang ke dokter dengan keluhan
pada mata yaitu melihat dobel atau kelopak mata sulit membuka. Keluhan pada mata relatif
lebih dirasakan mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya. Pada stadium
selanjutnya muncul akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan otot untuk
bicara (pada 80% kasus). Setelah banyak bicara suara dapat menghilang dan menjadi sengau.
Otot leher, gelang bahu dan panggul jarang terkena. Lebih sering terkena adalah m.erector
spinae. Bila otot leher terkena, maka ada keluhan sulit untuk mempertahankan posisi tegak
kepala. Pada kasus yang parah, semua otot terkena termasuk otot abdomen,
interkostal,diafragma bahkan otot sfingter kandung kemih dan anus. Kelemahan yang timbul
sering didahului emosional upset dan infeksi. Sifat kelemahan akan membaik pada pagi hari
atau saat istirahat, kelemahan yang sedang atau berat bisa berlangsung sampai 1 bulan. Gejala
pada mata (diplopia atau pandangan kabur) akan memburuk saat membaca lama, menonton
TV, menyetir kendaraan atau mengunyah dalam waktu lama.7
13
Gambar 3. Tes Wartenberg
2. Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).
3. Diplopia stress test yaitu pasien diminta untuk melihat ke samping secara
maksimal selama 30 detik, bila positif akan muncul gejala diplopia
4. Red glass test yaitu gelas berwarna merah diletakan pada depan mata kanan
dan sumber cahaya diletakan pada depan mata kiri, hal ini berfungsi untuk memeriksa
apakah terdapat pandangan dobel
5. Tanda Cogan yaitu tampak kedutan transien pada kelopak mata segera setelah
pasien diminta untuk melihat ke bawah dan ke atas secara cepat
6. Anggota gerak : penderita di suruh menggerakkan anggota gerak abduksi ke
atas kira-kira 20 kali atau menggerakkan tangan ke arah mulut dan dibandingkan akan
terjadi kelemahan
Tes Prostigmine
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau
subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.2,6
Tes Edrophonium
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang kerja
acetilkolin pada nerumuscular juction dalam beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan
2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi
maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon
disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama karena efektivitas tensilon sangat singkat. Efek
sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat digunakan atropin.
Tes dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas dalam waktu 30-45 menit
setelah penyuntikan. Perbaikan kekuatan otot akan bertahan selama 5 menit. Jika diperoleh
hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang
sesungguhnya dengan sindrom miastenik.
14
Gambar 4. Sebelum dan setelah tes edrophonium
Ice test
Prinsip dari pemeriksaan ini adalah fungsi otot pada pasien pasien MG akan membaik
pada kondisi temperatur yang rendah. Hal ini disebabkan oleh aktivitas AChE akan turun
pada temperatur yang rendah dan efek depolarisasi ACh akan meningkat pada NMJ.2,6
Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengkompres keloopak mata yang tertutup dengan
es selama 2 menit. Hasil dianggap positif bila celah kelopak mata membuka lebih dari 2 mm
daripada sebelumnya.2,6
15
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
16
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan
jitter dan fiber density yang normal.
17
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil,
kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial
berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram
atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.
2. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan
bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral,
kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat berupa:
peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum,
katarak.2
3. Pemberian immunomodulating jangka pendek dengan plasmapheresis dan
immunoglobulin intravena. Terapi ini diberikan pada keadaan khusus yaitu pada krisis
miastenik dan pada preoperatif timektomi atau operasi-operasi lain. Prinsip terapi
dengan plasmapheresis adalah menghilangkan autoantibodi yang bersirkulasi,
kompleks imun dan mediator-mediator inflamasi lainnya. Plasmapheresis dilakukan
empat sampai enam kali setiap selang sehari. Immunoglobulin intravena bekerja
dengan menginterferensi ikatan Fc reseptor dengan makrofag, reseptor
immunoglobulin dengan sel B dan pengenalan antigen oleh sel T. Immunoglobulin
diberikan selama lima hari dengan dosis 0,4g/kg/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan
1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.5
4. Pemberian immunomodulating jangka panjang dengan glukokortikoid dan obat-obat
immunosupresif lainnya. Prednison merupakan obat yang paling sering digunakan
dengan dosis 0,75-1 mg/kg/hari atau dapat diberikan 60-100 mg setiap selang sehari
(alternate days). Dosis prednison pada Myasthenia Gravis okuler lebih rendah yaitu
20-40 mg per hari. Obat immunosupresif lain yang dapat digunakan antara lain
azathioprine, ciclosporin, cyclophosphamide, methrotrexate, mycophenolate mofetil,
rituximab dan tacrolimus.5
5. Terapi pembedahan (timektomi), penatalaksanaan ini dianjurkan pada pasien dengan
timoma.5
Penatalaksanaan nonfarmakologik pada pasien Myasthenia Gravis juga
penting dilakukan yaitu dengan menghindari keadaan dan obat-obatan yang dapat
mencetuskan Myasthenia Gravis. Rehabilitasi juga dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.5,6
18
IV.7.5 Diagnosis Banding Ptosis Unilateral 11
1. Sindrom horner
Sindrom Horner’s adalah suatu sindrom yang terdiri dari kelainan berupa masuknya
bola mata, ptosis kelopak mata atas, kelopak mata atas sedikit naik, kontraksi dari
pupil, penyempitan dari fissura palpebra, anhidrosis dan warna kemerahan di sisi
wajah yang sakit, disebabkan oleh paralisasis saraf simpatis servikal. Disebabkan oleh
adanya kerusakan atau gangguan pada jalur saraf simpatis. Lesi lesi yang
menyebabkan sindroma Horner mengganggu serat serat preganglion ketika lesi lesi ini
mendesak toraks bagian atas. Gejala klinis nya ptosis, miosis, enoftalmus dan
anhidrosis
2. Congenital Myasthenic Syndrome
Adalah bentuk kelemahan yang paling mungkin muncul selama masa bayi dengan
kelelahan, kesulitan mengisap dot, tidak aktif, dan penurunan tonus otot. Onset pada
bayi dan anak-anak, antibody seronegatif dan tidak berespon terapi
immunomodulatooy. Diagnosis generik dari CMS dapat dibuat atas dasar onset saat
lahir hingga awal masa kanak-kanak, kelemahan yang melelahkan yang
mempengaruhi terutama otot okular dan otot tengkorak lainnya, riwayat keluarga
yang positif, dan respons EMG yang menurun atau EMG serat tunggal yang
abnormal. Tes untuk anti-AChR dan anti-MuSK antibodi diindikasikan pada pasien
sporadis setelah usia 1 tahun dan pada bayi artrogrypotic
3. Periodic paralysis hypokalemia
Kelainan yang ditandai dengan kadar kalium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5
mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan
otot skeletal. Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi
kadangkadang dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di
mana kedua keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal.
4. Early onset Myasthenia Gravis
onset kejadian pada umur < 40 tahun, lebih sering mengenai wanita dibanding pria,
dengan kelenjar timus pada umumnya mengalami hiperplasia dan adanya autoantibodi
terhadap AChR. Hiperplasia timus ditemukan pada 50-60% pasien dari kelompok ini.
Awalnya ptosis dapat muncul sebagai unilateral , sering bergeser dari satu mata ke
19
yang lain, untuk akhirnya melibatkan dua kelopak mata (bilateral)
20
VI.2 Status Internus
Kepala : normocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP tidak meningkat, kelenjar tiroid dbn
Thoraks : tidak ada deformitas
Pulmo dan Cor : sonor, vesikuler di seluruh lapangan paru, suara tambahan (-)
Abdomen : hepar dan lien tidak teraba, supel, NT (-)
Ekstremitas : edema (-), atrofi otot (-), deformitas (-)
21
Reflek Cahaya Konsesuil + +
Strabismus Divergen - -
Diplopia - -
N. IX
KANAN KIRI
(GLOSSOFARINGEUS)
Arkus Faring Simetris Simetris
Daya Kecap 1/3 Belakang Normal Normal
Reflek Muntah Normal Normal
Sengau - -
Tersedak - -
22
N. X (VAGUS) Kanan Kiri
Arkus faring Simetris Simetris
Reflek muntah Normal Normal
Disfonia (-) karena sudah membaik
Bersuara
ketika diperiksa
Menelan + +
N. XII (HIPOGLOSUS)
Sikap lidah Tidak ada Deviasi
Artikulasi Cukup jelas
Menjulurkan lidah Tidak ada Deviasi
Fasikulasi lidah -
VI.5 Motorik
B B 4+ 4+ N N Eu Eu
G B B K 4+ 4+ Tn N N Tr Eu Eu
+ + – –
RF + + RP – – Cl –
23
DARAH RUTIN
Hemoglobin 13.8 11.7 – 15.5 g/dL
Leukosit 5.7 3.6 – 11.0 ribu
Eritrosit 4.55 3.8 - 5.2 juta
Hematokrit 42.6 35 - 47 %
MCV 93.6 82 – 98 fl
MCH 30.3 27 - 32 pg
MCHC 32.4 32 -37 g/dL
RDW 12.5 10 -16 %
Trombosit 280 150 - 400 ribu
Limfosit 1.2 1.0 – 4.5
Monosit 0.4 0.2 -1.0
Granulosit 4.1 2-4
Liimfosit% 20.5 (L) 25 - 40 %
Monosit% 7.1 2–8%
Granulosit% 72.4 50 – 80 %
24
VII. Diskusi II
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos
mentis, GCS 15 (E4M6V5) dengan tanda vital: TD: 100/80 mmHg, N: 67x/menit,
RR: 20x/menit, S: 36,4oC. Pada pemeriksaan nervus cranialis diidapatkan adanya
parese N.III ditandai dengan adanya ptosis pada palpebra kiri pasien, serta N.X
ditandai dengan disfonia, namun pada pemeriksaan disfonia (-) karena sudah
perbaikan. Hal ini sesuai dengan teori dimana pada MG keluhan yang paling sering
terjadi adalah keluhan pada wajah yang mengenai otot eksta okular dan okular
sehingga timbul manifstasi ptosis dan diplopia serta otot orofaringeal yang
menimbulkan disfonia. Sehingga berdasarkan derajat keparahannya pasien termasuk
kedalam kategori MG ringan stadium I yang ditandai dengan kelemahan otot okular
yang semakin parah.
Pada pemeriksaan counting test didapatkan hasil (-) dimana penderita disuruh
menghitung 1-100 maka akan terjadi kelemahan suara menjadi serak dan menghilang
secara bertahap, didapatkan (-) karena sudah perbaikan. Sedangkan pada test
wartenberg (-) karena sudah dalam perbaikan namun saat pemeriksaan ini kelopak
mata pasien berkedut dan pasien sering berkedip. Penderita diminta untuk
memandang objek yang letaknya lebih tinggi antara kedua bola mata selama >30
detik maka akan terlihat ptosis dengan reaksi pupil tetap normal pada penderita MG
namun kelemahan ini akan membaik setelah pasien diminta untuk menutup mata
secara maksimal. Tanda Cogan (+) yaitu tampak kedutan transien pada kelopak mata
segera setelah pasien diminta untuk melihat ke bawah dan ke atas secara cepat.
Pemeriksaan khusus pada MG ini yang menunjukan hasil (+) dapat memperkuat
diagnosis MG karena tes provokasi ini mencetuskan terjadinya kelelahan otot pada
pasien. Hal ini sesuai dengan teori MG dimana keluhan biasanya diperberat oleh
aktivitas dan membaik setelah pasien beristirahat.
Pemeriksaan penunjang laboratorium elektrolit dilakukan untuk mencari
penyebab kelemahan otot pada pasien sehingga dapat menyingkirkan diagnosis
banding periodic paralysis hipokalemia karena pada pasien ini tidak ditemukan
adanya penurunan kalium. Pemeriksaan daah rutin dilakukan untuk menyingkirkan
adanya infeksi. Pada kasus disarankan pemeriksaan rontgen thoraks untuk mencari
tahu ada tidaknya hiperplasia timus ataupun timoma dikarenakan myasthenia gravis
25
sering terjadi bersamaan dengan timoma (15%) dan hiperplasi timus (65%). Kelenjar
timus terdiri atas sel myoid yang mengandung AChR. Sel limfosit B dan T yang
diproduksi kelenjar timus akan merusak AChR sehingga menimbulkan manifestasi
kelemahan otot. Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks PA pada pasien ini tidak
didapatkan adanya kesan hiperlasia timus maupun timoma. Hal ini terjadi
dikarenakan foto toraks tidak sensitif untuk skreening timoma. Hasil roentgen yang
negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya timoma ukuran kecil sehingga
terkadang perlu dilakukan CT-Scan thoraks untuk mengidentifikasi timoma pada
semua kasus miastenia gravis. Oleh karena itu untuk dapat memperkuat diagnosis
miastenia gravis sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti
pemeriksaan serologis antibodi anti AChR& anti MuSK, elektrofisiologi Single-fiber
Electromyography (SFEMG) & Repetitive Nerve Stimulation (RNS) dan bipsi
kelenjar timus.
Periodic paralysis hipokalemia adalah Kelainan yang ditandai dengan kadar
kalium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai
riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Periodic paralysis
hipokalemia dilemahkan karena pada pasien ini didaptkan hasil kalium yang normal.
Lambert-eaton myasthenic syndrome (LEMS) adalah penyakit dikarakteristikkan
dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal
dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar.
Lambert-eaton myasthenic syndrome (LEMS) dilemahkan karena Pada LEMS,
terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi
hiporefleksia, mulut kering, disertai gejala otonom. Sedangkan pada pasien ini tidak
terdapat hiporefleksia dan gejala otonom. Sedangkan Early onset Myasthenia Gravis
dipertahankan karena gejala nya seperti pada kasus ini yaitu awalnya ptosis unilateral
lalu menjalar menjadi bilateral, namun pada kasus ini harus diobservasi lagi.
Congenital Myasthenic Syndrome dipertahankan karena masih dibutuhkan
pemeriksaan serologi.
26
Diagnosis etiologi : autoimun susp miastenia gravis dd/ Early onset Myasthenia
Gravis dd/ Congenital Myasthenic Syndrome
IX. Terapi
1. Non Medikamentosa
Tirah Baring
Edukasi keluarga mengenai penyakitnya
- Diagnosis pasien
- Tata laksana yang akan dilakukan
- Prognosis dari penyakit yang diderita pasien
2. Medikamentosa
Mestinon tab 2x60 mg
Meticobalami 2x500 mg
X. Plan
1. Tes Prostigmin dan edrophonium (tensilon test)
2. Rongten Thorax
3. CT Scan thoraks
4. Serologi ( antibodi anti AChR & anti MuSK )
5. Elektrofisiologi (SFEMG & RNS)
6. Biopsi timus
XI. Prognosis
Death : Ad bonam
Disease : Dubia ad bonam
Dissability : Dubia ad bonam
Discomfort : Dubia ad bonam
Dissatisfaction: Dubia ad bonam
Distutition : Dubia ad bonam
27
merupakan pengobatan lini pertama pada tahap awal MG atau apabila dijumpai
gejala yang masih ringan. Pasien ini termasuk kedalam MG derajat I sehingga
pemberian AchEIs akan sangat bermanfaat. AchEIs bekerja dengan cara
memperlambat degradasi ACh oleh AChE. AChEIs akan meningkatkan kadar ACh
di celah sinaps dan dengan demikian akan mengkompensasi jumlah AChR yang
sedikit. Namun, AChEIs hanya merupakan pengobatan simtomatik dan tidak
mengobati penyebab utama MG.
Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping yang sering
muncul adalah gangguan gastrointestinal yang berhubungan dengan peningkatan
aktivitas muscarinic. Gangguan tersebut antara mual, muntah, kram perut, dan diare.
Efek samping ini dapat diobati dengan pemberian antimuscarinics (loperamide
hidroklorida, diphenoxylate hidroklorida, bromide propantheline) tanpa mengurangi
efek nicotinic AChEIs. Pemberian AChEIs dapat menyebabkan krisis kolinergik
yang ditandai oleh kelemahan otot yang lebih besar disertai dengan peningkatan
sekresi bronkial, diare, sakit perut, hipersalivasi dan bradikardia sehingga pemberian
AChEIs harus dihentikan pada kasus krisis miastenik.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Amato AA, Russel JA. Neuromuscular Disorders. New York: The McGraw-Hill
Companies; 2008.
2. Drachman DB. Myasthenia Gravis. The New England Journal of Medicine.
1994;330(25):1797-810.
3. Chaudhuri A, Behan P. Myasthenic crisis. QJ Med. 2009;102:97-107.
4. Godoy DA, Mello LJVd, Masotti L, Napoli MD. The myasthenic patient in
crisis: an update of the management in Neurointensive Care Unit. Arq
Neuropsiquiatr. 2013;1(9):628-43.
5. Baehr M, Frotscher M. Duus' Topical Diagnostic in Neurology. New York:
Thieme Stuttgart; 2005.
6. Schneider-Gold C, Toyka KV. Myasthenia Gravis: Pathogenesis and
Immunotherapy. Dtsch Arztebl. 2007;104(7):420-6.
7. Hughes BW, Casillas MLMD, Kaminski HJ. Pathophysiology of Myasthenia
Gravis. Seminars in neurology. 2004;24(1):21-31.
8. Trouth AJ, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J. Myasthenia
Gravis: A Review. Autoimmune Diseases. 2012;20(12):346-53.
9. Jani-Acsadi A, Lisak RP. Myasthenic crisis: Guidelines for prevention and
treatment. Journal of the Neurological Sciences. 2007;261:127-33.
10. G. O. Skeiea, S. Apostolskib, A. Evolic, N. E. Gilhusd, I. Illae, L. Harmsf, et al.
Guidelines for treatment of autoimmune neuromuscular transmission
disorders. European Journal of Neurology. 2010;11:143-56.
11. Mc Grogan, Sneddon S, de Vries CS. Insiden miastenia gravis: tinjauan literatur
sistematis. Neuroepidemiologi. 2010; 34 (3): 171-83.
(https://www.symptoma.com/en/info/myasthenia-gravis)
29