Anda di halaman 1dari 10

Ainun Najib

Seorang teman penulis pernah belajar di sebuah sekolah berasrama yang terletak di kab.

Bone sulsel. Lembaga pendidikan berbasis islam ini adalah Pesantren yang berada langsung di

bawah naungan Nahdatul Islam (NU) Indonesia. Sistem berasrama yang membuat siswa

berinteraksi lebih lama dengan sesamanya mengakibatkan permasalahan tersendiri.

Permasalahan yang timbul pun diakibatkan oleh berbagai macam faktor. Salah satunya adalah

faktor pilih-pilih teman.

Permasalahan ini berbeda dengan permasalahan yang biasanya berhubungan dengan fisik,

seperti bullying. Seperti pengalaman yang teman saya alami ketika berada di Pesantren.”politik

teman”, begitu dia menyebutnya. Dimana ketika orang-orang di sekitarnya memilih untuk

membuat kelompok tersendiri hingga menjadi kelompok kecil yang jumlahnya terbilang banyak.

Permasalahannya adalah setiap “geng-geng” ini lebih mementingkan anggotanya

dibandingkan hal lainnya, bahkan dalam pelajaran. Anggapan solidraitas sesama anggota geng

yang berlebihan menghasilkan permasalahan yang baru.Dari banyaknya geng-geng yang

bermunculan, persaingan yang keras antar geng menjadi permasalahan baru. Bahkan dalam

kekersan seperti perkelahian antar geng bukanlah hal yang sulit dijumpai.

Bahkan pada sebuah kasus yang pernah teman penulis alami ketika berada di kelasnya.

Saai itu guru membagi siswa untuk sebuah tugas kelompok. Hal yang tak diingnkan terjadi saat

itu. teman penulis masuk ke dalam sebuah kelompok yang berisikan orang-orang dari berbagai

geng saingan.

Banyak terjadi perselisihan diantara mereka. Salah satunya dalam menentukan ketua

kelompok dari dua orang yang berselish untuk mendapatkannya. Kenapa harus ketua kelompok

yang mereka selisihkan?, tak lain jawabannya adalah dengan terpilih menjadi ketua kelompok

mereka dapat memerintah anggotanya sendiri. Dari mendapatka hak memerintah tersebut,

mereka dapat memandang rendah orang yang bukan berasal dari gengnya.

Tak ada yang bisa menyelesaikan permasalahan tersebut. Guru?, dalam hal ini pemilihan

ketua ditentukan oleh masing-masing kelompok. Tak selesai dari perselishan, akhirnya mereka

memilih untuk menyelesakannya ketika pulang sekolah. Hal yang teak diingikan kembali

terjadi!. Setiap anggota kelompok lebih memilih untuk memanggil anggota gengnya untuk

membantu menyelesaikan masalah.


Kebalikan dari keinginan awal untuk menyelesaikan masalah, perselisihan yang terjadi

malah semakin memanas. Setiap calon ketua kelompok didukung penuh oleh anggota gengnya.

Perselisihan yang telah panas sejak awal tambah memanas dengan hadirnya anggota geng

masing-masing. Mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap toleransi dalam memberikan hak

berbicara pada lawan.

Salah seorang anggota geng yang sejak awal telah panas emosinya akhirnya

melampiaskan amarahnya ke salah satu anggota geng saingan. Aksi adu jotos pun tak

terhindarkan. Keadaan semakian gawat dengan perkelahian yang terjadi antar geng. Hingga

akhirnya para guru bersama dua orang satpam berhasil menghentikan perkelahian tersebut.

Persidangan yang menghadirkan dua kubu pun tak terhindarkan. Semua guru bersepakat

memberkan hukuman skorsing selama 2 minggu. Kerugian melanda semua orang saat itu. Baik

sekolah maupun siswanya mendapat cap buruk dari luar. Lembaga pendidikan berasrama yang

seharusnya bisa menjadikan siswa lebih baik dari sekolah luar, malah menjadi ladang untuk

tumbuhnya kekerasan di Indonesia.

Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan

setempat "local wisdom" atau pengetahuan setempat "local knowledge" atau kecerdasan

setempat "local genious, merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi

kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab

berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Kearifan budaya adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat

untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban; hidup

damai; hidup rukun; hidup bermoral; hidup saling asih, asah, dan asuh; hidup dalam keragaman;

hidup penuh maaf dan pengertia;. hidup toleran dan jembar hati; hidup harmoni dengan

lingkungan; hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada pencerahan; hidup untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri.

Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat sendiri. Itulah bagian

terdalam dari kearifan kultur lokal (Nashir, 2003).


Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang

perlu diangkat kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Menteri Kebudayaan dan

Pariwisata, Jero Wacik, dalam sambutannya pada Simposium Internasional IX Pernaskahan

Nusantara di Baubau, tanggal 5 Agustus 2005 mengatakan, kearifan lokal yang terdapat di

berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai

dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

Kayam (1998) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah hasil upaya yang terus-

menerus dari manusia dalam ikatan masyarakat dalam menciptakan prasarana dan sarana yang

diperlukan untuk menjawab tantangan kehidupannya. Dari segi kognitif, kebudayaan tidak hanya

mencakup hal-hal yang telah dan sedang dilakukan atau diciptakan manusia, melainkan juga hal-

hal yang masih merupakan cita-cita atau yang masih harus diwujudkan, termasuk norma,

pandangan hidup atau sistem nilai.

Ati mapaccing 

Dalam bahasa Bugis, ati mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia' madeceng (niat

baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia'

maja' (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata

bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan

pikiran yang baik.

Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik

(nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya

harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a)

menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi.

Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor,

dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan

dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Dalam

Lontara' disebutkan:

Dua kuala sappo, unganna panasae, belo kanukue

(Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.)


Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut lempu yang berasosiasi dengan kata jujur,

sedangkan hiasan kuku dalam bahasa Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam aksara

Lontara' dapat dibaca paccing yang berarti suci atau bersih. Bagi manusia Bugis, segala macam

perbuatan harus dimulai dengan niat suci karena tanpa niat suci (baik), tindakan manusia tidak

mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Seseorang yang mempunyai bawaan hati yang

baik tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya jernih.

Demikian pula, ia sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat.

Kedua, manusia sanggup untuk mengejar apa yang memang direncanakannya, tanpa

dibelokkan ke kiri dan ke kanan. Lontara' menyebutkan:

Atutuiwi anngolona atimmu; aja' muammanasaianngi ri ja'e padammu rupa tau nasaba'

mattentui iko matti' nareweki ja'na apa' riturungenngi ritu gau' madecennge riati maja'e nade'sa

nariturungeng ati madecennge ri gau' maja'e. Naiya tau maja' kaleng atie lettu' rimonri ja'na.

(Jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada sesamamu manusia, sebab pasti

engkau kelak akan menerima akibatnya, karena perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan

buruk. Orang yang beritikad buruk akibatnya akan sampai pada keturunannya keburukan itu.)

Assimellereng

Konsep assimellereng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara

sahabat dengan sahabat lain. Dikenal juga dengan konsep “sipa’ depu-repu” (saling memelihara).

Dalam kehidupan sehari-hari, menifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah

ungkapan Bugis:

“tejjali tettappere, banna mase-mase”

Ungkapan tersebut biasanya diucapkan ketika tuan rumah kedatangan tamu. Maksudnya

adalah “kami tidak punya apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai

permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami miliki adalah kaih sayang”

(Mattulada, 1985). Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan kesulitan sanak keluarganya,

tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette’ perru.


Lontarak sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tertinggi,

rela berkorban menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang, demi kesetiakawanan dan

slidaritas antar sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita,

membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam Lontarak disebutkan:

Iya padecengi assiajingeng: (yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu:)

sianrasa-rasannge nasiammase-maseie (sependeritaan dan kasih-mengasihi), sipakario-rio

(gembira menggembirakan), tessicirinnaiannge ri sitinajae (rela merelekan harta benda dalam

batas-batas yang wajar), sipakainge’ ri gau’ patujue (ingat memperingati dalam hal-hal yang

benar), siaddappengeng pulanae (selalu memaafkan).

Lontarak amat menekankan pentingnya manusia berbuat secara wajar, seperti dapat

disimak dalam ungkapan:

Aja' mugaukenngi padammu tau ri gau' tessitinajae

(Jangan engkau melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap sesamamu manusia)

Selanjutnya, Lontarak memperingatkan bahwa sifat serakah atau tamak, sewenang-

wenang, curang, perbuatan tega atau tidak menaruh belas kasihan kepada orang lain dapat

menghancurkan nilai kepatutan dan dapat menimbulkan kerusakan dalam negara. Pertama,

keserahan atau ketamakan, menghilangkan rasa malu sehingga mengambil hak-hak orang lain

bukan lagi hal yang tabu. Karena, orang yang bersifat serakah atau tamak tidak pernah merasa

cukup sehingga apa yang dimiliki selalu dianggap kurang. Kedua, kekerasan akan menyebabkan

melenyapkan kasih sayang di dalam negeri.

Panngaderreng

Suku Bugis terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral,

yang disebut panngaderreng (atau panngadakkang dalam bahasa Makassar). Sistem budaya ini

menjadi acuan bagi orang Bugis dalam kehidupan sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga

sampai pada kehidupan yang lebih luas sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995).

Sebagai suatu sistem, panngaderreng mempunyai beberapa unsur. Salah satunya adalah

sara’. Sara’ adalah pranata-paranata dan kaidah yang berasal dari Islam. Hukum Islam atau

syari’ah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi sara’ sebagai suatu unsur pokok

dari panngaderreng dan kemudian menjiwai keseluruhan panngaderreng.


Siri’

Konsep siri’ mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng.

Basjah (dalam Koentjaraningrat, 1997) memberi tiga pengertian terhadap kosep siri’ yaitu, malu,

daya pendorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan

seseorang, atau daya pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak mungkin.

Dalam ungkapan Bugis disebutkan: Siri' emmi to riaseng tau (Hanya karena Siri'-lah kita

dinamakan manusia). Itulah sebabnya mengapa para orang tua Bugis menjadikan Siri' sebagai

hal yang amat penting dalam nasihat-nasihat, sebagaimana dituturkan oleh Muhammad Said

sebagai berikut.

Taro-taroi alemu siri', Narekko de' siri'mu inrekko siri'

(Perlengkapilah dirimu dengan siri', Kalau tidak ada siri'-mu, pinjamlah siri'.)

Siri’ merupakan sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas

sosial. Siri’ dapat menjadi motif penggerak kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu

prestasi sosial masyarakat Bugis. Menurut masyarakat Bugis, siri’ seharusnya—dan biasanya,

memang—seiring sejalan dengan pessé.

Pessé, atau lengkapnya pessé babua, berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam

perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga,

kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial (Pelras, 2006). Hal ini melambangkan solidaritas,

tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok

sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau

menderita sakit keras.

Pessé berhubungan erat dengan identitas dan merupakan pengikat antar anggota

kelompok sosial atau etnis. Kedua konsep ini—siri’ dan pessé—dapat digunakan sebagai kunci

utama untuk memahami berbagai aspek perilaku sosial orang Bugis, khususnya dua perilaku

yang tampak saling berlawanan, yaitu persaingan dan kesetiakawanan.

Bukan berarti Budaya Siri' na pacce hanya untuk kaum Bugis-Makassar, Tetapi seluruh

masyarakat indonesia bahkan seluruh orang di dunia hendaknya untuk menanamkan budaya

tersebut karena pada dasarnya budaya seperti Siri' na pacce, bukan hanya berada di sulawesi

selatan, tetapi diseluruh wilayah budaya di indonesia memiliki harkat dan pedoman budaya dari

wilayah masing-masing hanya saja istilah yang berbeda walaupun visi, misi dan makna yang

tergantung sama.
Sipakalabbiriq

Sipakalabbiriq berarti saling menghormati. Barangkali jika berkunjung ke Sulawesi

Selatan, anda akan mendengar beberapa kata asing meskipun sebenarnya sedang berkomunikasi

dengan Bahasa Indonesia. Kata ‘iyeq’, ‘kita’ dan imbuhan ‘-ki’  adalah yang paling sering akan

anda temui. Sebenarnya bukan karena tidak mengerti kaidah, hanya saja karena sudah melekat

dan ada perasaan tidak enak menggunakan sinonim Bahasa Indonesia-nya, itulah sebabnya kata-

kata itu lebih sering digunakan.

Kata ‘iyeq’ berarti ‘iya’ dalam Bahasa Indonesia. Dalam bahasa Makassar, terdapat dua

kata yang sinonim yakni kata ‘iyo’ dan ‘iyeq’. Namun dalam penggunaannya terhadap orang

yang dianggap lebih tua dan atau dihormati, penggunaan kata ‘iyeq’ adalah hal yang wajib. Itu

akan dianggap lebih sopan.

Penggunaan imbuhan ‘-ki’ pun sama maksudnya. Yaitu untuk menunjukkan penghargaan

dan penghormatan kepada lawan bicara. Imbuhan ini berfungsi untuk mempersilakan. Contohnya

pada kata makanki yang berarti silakan makan atau pada kata majuki yang berarti silakan maju.

Imbuhan ini juga memiliki sinonim yaitu imbuhan ‘-ko’. Hanya saja imbuhan yang terakhir

disebutkan, dalam penggunaannya tidak menunjukkan sikap sopan terhadap lawan bicara.

Adapun kata ‘kita’ sebenarnya sinonim dengan kata ‘kau’ dalam Bahasa Indonesia.

Namun meskipun memiliki arti yang sama, orang-orang Bugis-Makassar menganggap bahwa

tingkatan penggunaan kata ‘kita’ akan lebih sopan kepada lawan bicara dibandingkan dengan

kata ‘kau’ yang dianggap kasar.

Dalam kearifan lokal Bugis-Makassar, kita kerap menemui dua kata yang sebenarnya

sama artinya tapi berbeda penggunaannya. Namun sekali lagi, bahwa kata-kata yang diucapkan

tetaplah harus seirama dengan gerak tubuh pada saat mengucapkannya. Kata-kata yang

disebutkan di atas, seyogyanya juga diucapkan dengan posisi kepala yang sedikit menunduk dan

tersenyum. Mungkin dengan mengajarkan hal-hal kecil ini kepada semua orang, peluang

karakter sipakalabbiriq atau saling menghormati akan lebih mendarah daging.

Mappasitinaja
Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut.

Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar.

Definisi kewajaran diungkapkan oleh cendekiawan Luwu sebagaimana dikutip oleh Ambo Enre

(1992) sebagai berikut.

Ri pariajanngi ri ajannge, ri parialau'i alau'e, ri parimanianngi

maniannge, ri pariase'i ri ase'e, ri pariawai ri awae.

(Ditempatkan di Barat yang di Barat, ditempatkan di Timur yang di Timur, ditempatkan di

Selatan yang di Selatan, ditempatkan di atas yang di atas, ditempatkan di bawah yang di bawah.)

Dari ungkapan itu, tergambar bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila

ia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia

mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak-hak orang

lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan

orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak-hak yang patut dihormati.

Sipakaingaq

Kearifan lokal yang selanjutnya ialah sipakaingaq. Dalam Bahasa Indonesia berarti

saling mengingatkan. Bisa dibayangkan barangkali jika dalam sebuah kelompok yang saling

mengingatkan dengan sesamanya, bisa dipastikan akan tumbuhnya sikap saling menghormati

dengan sesamanya. Namun untuk diterapkan pada orang yang belum dikenal, sebelumnya kita

harus memperlihatkan niat baik dulu untuk orang itu.

Perlihatkan kesopanan yang harus dilakuan seperti yang penulis tulis di pembahasan

sebelumnya agar orang itu tidak tersinggung. Perhatikan cara kita berbicara dengan orang lain

apalagi yang belum kita kenal. Munculkan sifat positif mulai dari pikiran hingga tingkah laku.

Perlihatkan bahwa kita berniat baik.

Seperti sebuah mobil, sipakaingaq adalah setirnya. Bila mungkin ada yang keluar dari

sikap yang seharusnya, kita akan beramai-ramai mengingatkan untuk kembali ke jalur

semestinya. Bersama kita berjalan pada jalur yang semestinya hingga akhirnya yang kita impikan

juga pada jalur yang benar. Berbuat baik bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain.
Banyak kearifan lokal yang mengajarkan kita bagaimana itu solidaritas antar sesama.

Karena itu, kearifan Lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi generasi

muda dalam percaturan global saat dan di masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai

bangsa baik secara fisik maupun non fisik akan tetap terjaga.

Mengingat aspek kebudayaan yang ada di Indonesia begitu beragam, maka perlu kiranya

Sekolah sebagai representasi dari dunia pendidikan yang ada dimasing-masing daerah untuk

lebih serius dalam melakukan eksperimen ilmiah mengenai kekayaan etnisitas daerah masing-

masing.

Setidaknya dengan membawa kearifan lokal masuk ke sekolah dasar yang notabene

adalah awal pembentukan karakter siswa, ada dua hal yang bisa kita petik sebagai hasil. Pertama,

kebudayaan lokal akan tetap lestari dalam ingatan dan perilaku siswa-siswa kita. Hal tersebut

akan menjadi identitasnya sebagai orang Bugis-Makassar sebagai suatu bagian dari kekayaan

budaya di Indonesia.

Kedua, mandat kurikulum 2013 yang menekankan pada pembentukan karakter akan

berada pada capaian yang lebih baik. Dengan begitu, nawacita terkait revolusi mental yang

dicanangkan oleh pemerintah pun bukanlah isapan jempol belaka.

Kemudian perhatian secara serius dapat dilakukan dan dikampanyekan guna kembali

menjadi kearifan lokal sebagai pilar kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga aspek kebudayaan

yang beragam tersebut mampu diketahui, dikembangkan serta menjadi karakter masyarakat

Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan latar belakang budaya.

Anda mungkin juga menyukai