Anda di halaman 1dari 3

Bagaimanakah Nasib Ekspor Benih Lobster ke Depannya?

Baru-baru ini dunia perikanan dan kelautan di Indonesia dikejutkan dengan adanya kabar dari
Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia periode 2019-2024, Bapak Edhy Prabowo yang
tersandung dugaan kasus korupsi ekspor benih lobster. Sebelumnya, isu tentang ekspor benih
lobster ini sudah lebih dulu menjadi perbincangan hangat masyarakat. Tahun 2019, masyarakat
dihadapkan pada pro kontra terhadap adanya rencana pihak KKP untuk merevisi Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No 56 Tahun 2016 tentang larangan penangkapan dan/atau
pengeluaran lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portonus spp.) dari
wilayah negara Republik Indonesia.

Banyak masyarakat yang pro terhadap rencana tersebut tapi juga tidak sedikit masyarakat yang
menentangnya, termasuk saya. Saya menentang sekali adanya penangkapan benih lobster di
alam yang kemudian di ekspor ke luar negeri. Menurut pendapat saya, alangkah baiknya
apabila benih lobster tersebut tetap dibesarkan di negeri sendiri lalu kemudian dibesarkan dan
setelah dewasa nanti baru diekspor. Tentu, akan jauh bernilai hingga 100 kali lipat
dibandingkan dengan hanya mengekspor benih lobster ke luar negeri. Pada pasar, harga 1 ekor
bibit lobster atau istilahnya adalah peurulus yaitu berkisar antara Rp7.000 – Rp15.000
sedangkan harga 1 ekor lobster dewasa mampu menyentuh angka Rp700.000 – Rp1.500.000
tergantung bobot dan lokasi penjualan. Bisa dibayangkan berapa banyak keuntungan yang
diterima oleh Indonesia jika memilih membesarkan benih lobster di negeri sendiri alih-alih
mengekspornya ke luar negeri.

Permintaan pasar internasional terhadap kebutuhan lobster adalah sebanyak 2.000 – 2.500 ton
per tahunnya, dilansir dari data Badan Pusat Statistik pada tahun 2019 tepatnya pada triwulan
ke III, Indonesia memiliki nilai ekspor lobster dengan angka US$18.088.087 dengan volume
mencapai 862.086 kg. Hal ini menunjukkan bahwa lobster adalah produk prestige dan menjadi
prospek masa depan yang sangat menjanjikan. Sayangnya, untuk memenuhi permintaan pasar
internasional ini, Indonesia tidak bisa terus bergantung pada hasil tangkapan di alam, perlu ada
upaya untuk melakukan kegiatan budidaya lobster.

Kegiatan budidaya losbter yang sebelumnya dilarang oleh Peraturan Menteri No 56 Tahun 2019
kini didukung dengan adanya Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan
lobster, kepiting dan rajungan. Adanya Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 ini
dikarenakan berbagai kajian yang dilakukan para pakar perikanan dan kelautan, salah satunya
adalah Bapak Bayu Priambodo. Pada kuliah tamu yang saya dapatkan dari beliau, beliau
menuturkan bahwa lobster sulit bertahan hidup hingga mencapai usia indukan, oleh sebab itu
Survival Rate nya hanya mencapai angka 0.01% di alam. Kegiatan budidaya lobster dengan
mengambil benih lobster atau peurulus ini tentu dapat meningkatkan sintasan benih lobster
yang ada.

Berbicara tentang keberadaan benih lobster, terdapat istilah yaitu “sink population” yang
merupakan suatu wilayah dengan jumlah benih lobster yang banyak namun menghasilkan
lobster dewasa yang sangat sedikit. Sink population ini terdapat di wilayah Indonesia, Vietnam
dan Filipina Selatan. Indonesia memiliki wilayah sink population yang terdapat di daerah
Lombok Timur, Bali dan Lampung. Ada apa dengan sink population? Apa yang istimewa dari
adanya sink population di Indonesia?

Keberadaan sink population sangat memungkinkan Indonesia untuk melakukan kegiatan


budidaya lobster, karena dengan adanya sink population kita dapat “menangkap benih lobster”
untuk dibudidayakan dengan ketentuan yang tidak merusak alam. Seperti dilansir dari
Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 pasal 3 ayat 1 huruf e yang berbunyi “Pembudidaya
harus melepasliarkan Lobster (Panulirus spp.) sebanyak 2 (dua) persen dari hasil panen
Lobster (Panulirus spp.) yang dibesarkan”. Pembudidayaan lobster ini juga diatur dalam
Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 pasal 3 ayat 1 huruf f hingga huruf j dan pasal 4 ayat
1 dan ayat 2.

Tentu akan menjadi pertanyaan bagi kita semua, “mengapa harus 2%?” Jawabannya adalah
sebagai berikut. Apabila lobster dibiarkan di alam, maka SR nya adalah sebanyak 0,01%.
Apabila terdapat 10.000 ekor benih lobster, maka 1 lobster yang berhasil menjadi dewasa
mewakili 10.000 ekor lainnya. Jika terdapat 10.000 benih lobster yang ditangkap kemudian
dibudidayakan dengan SR mencapai 70% maka dapat menghasilkan 7.000 ekor lobster
dewasa. Berhubung kita memiliki “hutang” sebanyak 0,01% ke alam, maka kita perlu melunasi
hutang tersebut dengan mengembalikan 1% dari total 7.000 ekor yang berhasil dibudidayakan,
yaitu sebanyak 100 ekor lobster yang dikembalikan ke alam. Adanya perhitungan ini
menunjukkan bahwa tidak ada yang salah dari pembudidayaan lobster dengan mengambil
benih di alam asalkan kita mengembalikan “hutang” kita ke alam. Peraturan Menteri Nomor 12
Tahun 2020 menetapkan bahwa pembudidaya perlu mengembalikan sebanyak 2% dari hasil
panen lobster ke alam. Permintaan lobster terpenuhi dan sustainability dari lobster di alam juga
tidak terganggu.

Itu masih dari segi budidaya lobster, lantas bagaimana dengan ekspor benih lobster? Apakah
juga terdapat peraturan sejenis yang mengatur teknisan dalam ekspor benih lobster? Tentu
ada. Peraturan tentang ekspor lobster diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020
pasal 5 ayat 1 – 4 dan pasal 6. Salah satu pasalnya yaitu pasal 5 ayat 1 huruf c berbunyi
sebagai berikut:

“Eksportir telah berhasil melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster (Panulirus spp.) di


dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang ditunjukkan dengan:

1) sudah panen secara berkelanjutan; dan


2) telah melepas liarkan Lobster (Panulirus spp.) sebanyak 2(dua) persen dari hasil
pembudidayaan dan dengan ukuran sesuai hasil panen

Hal ini menunjukkan bahwa peraturan tentang ekspor benih lobster juga diatur dalam peraturan
menteri dan juga memiliki kesamaan dengan pembudidaya yaitu harus melepasliarkan lobster
yang dipanen sebanyak 2% ke alam.

Namun, apakah peraturan yang dibuat ini seindah dengan yang ada?

Nyatanya adalah tidak. Adanya peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 yang melegalkan
pembudidayaan lobster beserta dengan legalnya ekspor benih lobster menjadi boomerang bagi
negeri sendiri. Bagaimana tidak? Dilansir dari Kompas.com tanggal 14 Juli 2020 dengan penulis
yaitu Fika Nurul Ulya, terdapat pernyataan dari Bapak Effendy Wang yang merupakan Ketua
Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (HIPILINDO) yang berbunyi “dampak dari ekspor
benih lobster melemahkan semangat para pembudidaya. Perta kali, harga benih di lapangan
sebelum di ekspor adalah Rp2.000 – Rp 4.000. Setelah ekspor dibuka, harga benih melonjak
tajam menjadi Rp15.000 – Rp17.000 per ekornya”. Tingginya harga peurulus ini membuat
pembudidaya lobster di Indonesia semakin sulit bersaing dengan para pembudidaya dari
Vietnam. Para pembudidaya Indonesia pun cenderung akan mengambil stok di alam kembali
dan tidak ada sustainability lobster di alam Indonesia nantinya.

Hal ini diperparah dengan adanya kabar tidak enak yaitu adanya dugaan korupsi dari Menteri
Kelautan dan Perikanan terkait ekspor benih lobster dimana Bapak Edhy Prabowo diduga
menerima suap senilai Rp3,4 miliar dan 100.000 dollar AS dari PT Aero Citra Kargo selaku
perusahaan perantara dengan perusahaan eksportir benih lobster.

Pertanyaan-pertanyaan dan spekulasi pun mulai terbentuk. Apakah Peraturan Menteri nomor
12 tahun 2020 ini dibuat untuk meningkatkan produktivitas budidaya lobster, kepiting dan
rajungan yang dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia ataukah hanya menjadi tameng
regulasi untuk melegalkan adanya ekspor benih lobster dan eksploitasi sink population yang
keuntungannya dinikmati perut sebagian orang saja?

-End-

Tulisan ini dimuat di laman Sekilas News. Untuk linknya sebagai berikut:

Link: https://www.google.com/amp/s/sekilasnews.com/bagaimana-nasib-dari-ekspor-benih-lobster-ke-
depannya/%3famp

Anda mungkin juga menyukai