Anda di halaman 1dari 47

ANALISIS KEBIJAKAN PANGAN DAN GIZI DI INDONESIA

Oleh :

YUSMAINDAH JAYADI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan
rahmat-Nya yang senantiasa tercurahkan kepada kita semua, sehingga sampai
kesempatan ini kita masih tetap menjadi hamba-Nya yang patuh menjalankan apa
yang menjadi perintah-Nya. Insya Allah

Salawat dan salam kepada junjungan kita Nabi dan Rasul Allah,
Muhammad SAW, atas segala pengorbanan beliau untuk membawa kita ke dalam
nikmat Islam dan Iman yang begitu indah ini.

Penyusunan Makalah ini dapat diselesaikan dengan mengambil referensi


dari berbagai sumber yang ada.

Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi peningkatan kemapuan


menulis Penulis.

Wassalam Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Maret 2013

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan
pendek masing-masing 18,4 persen dan 36,8 persen sehingga Indonesia termasuk
di antara 36 negara di dunia yang memberi 90 persen kontribusi masalah gizi
dunia (UN-SC on Nutrition 2008). Walaupun pada tahun 2010 prevalensi gizi
kurang dan pendek menurun menjadi masing-masing 17,9 persen dan 35,6 persen,
tetapi masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu mendapat penanganan
masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan (Riskesdas 2010).
Masalah gizi sangat terkait dengan ketersediaan dan aksesibilitas pangan
penduduk. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2009 jumlah penduduk sangat
rawan pangan (asupan kalori <1.400 Kkal/orang/hari) mencapai 14,47 persen,
meningkat dibandingkan dengan kondisi tahun 2008, yaitu 11,07 persen.
Rendahnya aksesibilitas pangan (kemampuan rumah tangga untuk selalu
memenuhi kebutuhan pangan anggotanya) mengancam penurunan konsumsi
makanan yang beragam, bergizi-seimbang, dan aman di tingkat rumah tangga.
Rencana pembangunan jangka menengah nasional (2010-2014) secara
tegas telah memberikan arah pembangunan pangan dan gizi meningkatkan
ketahanan pangan dan status kesehatan dan gizi masyarakat. Selanjutnya dalam
Instruksi Presiden No. 3 tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang
Berkeadilan yang terkait dengan Rencana Tindak Upaya Pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium (MDGs), ditegaskan perlunya disusun dokumen Rencana
Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2011-2015 dan Rencana Aksi Daerah
Pangan dan Gizi (RAD-PG) 2011-2015 di 33 provinsi. Keluaran rencana aksi
diharapkan dapat menjembatani pencapaian MDGs yang telah disepakati dalam
RPJMN 2010-2014 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang anak balita menjadi
15,5 persen, menurunnya prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32 persen,
dan tercapainya konsumsi pangan dengan asupan kalori 2.000 Kkal/orang/hari
(Bappenas, 2011).
Sasaran pembangunan pangan dan gizi dalam RPJMN 2010-2014 dan
RAN-PG 2011-2015 adalah menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada balita,
termasuk stunting. Beberapa program dan kegiatan pembangunan nasional telah
dilakukan untuk mendukung sasaran tersebut. Seiring dengan hal tersebut,
gerakan perbaikan gizi dengan fokus terhadap kelompok 1000 hari pertama
kehidupan pada tataran global disebut Scaling Up Nutrition (SUN) dan di
Indonesia disebut dengan Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam Rangka Percepatan
Perbaikan Gizi Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 Hari Pertama
Kehidupan dan disingkat Gerakan 1000 HPK).

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah;

1. Bagaimana masalah gizi masyarakat di Indonesia?


2. Bagaimana masalah pangan di Indonesia?
3. Bagaimana dokumen-dokumen perencanaan Indonesia dan Sulawesi
Selatan menjawab masalah gizi dan pangan?
4. Bagaimana Rencana aksi nasional pangan dan gizi?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah;

1. Untuk mengetahui masalah gizi masyarakat di Indonesia?


2. Untuk mengetahui masalah pangan di Indonesia?
3. Untuk mengetahui dokumen-dokumen perencanaan Indonesia dan
Sulawesi Selatan menjawab masalah gizi dan pangan?
4. Untuk mengetahui Rencana aksi nasional pangan dan gizi?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masalah Gizi Masyarakat di Indonesia


1. KEP (Kurang Energi dan Protein)
Kurang energi dan Protein (KEP) pada anak masih menjadi masalah gizi
dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun
2010, sebanyak 13,0% berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi
buruk. Data yang sama menunjukkan 13,3% anak kurus, diantaranya 6,0% anak
sangat kurus dan 17,1% anak memiliki kategori sangat pendek. Keadaan ini
berpengaruh kepada masih tingginya angka kematian bayi. Menurut WHO lebih
dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk, oleh
karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat.
Pada Propinsi Sulawesi Selatan, prevalensi balita gizi buruk atau KEP
berat dan gizi kurang atau KEP sedang menurut BB/U adalah 6,4 % dan 18,6 %,
sedangkan menurut BB/TB prevalensi balita kurus dan sangat kurus adalah 4,8 %
dan 7,2 % (Riskesdas, 2010). Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan
mencatat ada 116 kasus anak balita gizi buruk selama Januari hingga Maret 2011.
Empat daerah kantong gizi buruk di Sulsel adalah Kota Makassar, Kabupaten
Pangkep, Maros, dan Jeneponto. Prevalensi tingkat gizi buruk di Makassar tahun
2010 ialah 6,8 persen, sedangkan Jeneponto 5,5 persen. Angka ideal tingkat gizi
buruk harus di bawah 5 persen.
Sebanyak 18 provinsi di Indonesia setidaknya masih memiliki tingkat
prevalensi gizi buruk yang tinggi, seperti di antaranya di Sulsel (6,4 persen), Nusa
Tenggara Barat (10,6 persen), dan Nusa Tenggara Timur (9 persen), dan lain-lain.
Berdasarkan data yang dipublikasaikan dari Thaha (2011) menyebutkan bahwa
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang dengan indikator berat badan menurut umur
di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2008 diketahui bahwa dari 33 provensi di
Indonesia sebanyak 20 provensi yang telah mengalami penurunan prevalensi gizi
buruk dan gizi kurang serta sebanyak 13 provensi kasus prevalensi gizi buruk dan
gizi kurang tetap bahkan diantanya ada beberapa yang mengalami peningkatan.
Prevalensi terendah terutama ditemukan di provensi Nusa Tenggara Barat.
2. Stunting
Dari 23 juta balita di Indonesia, 7,6 juta (35,6 %) tergolong pendek
(Riskesdas, 2010). Kejadian anak pendek pada usia balita, terkait dengan masalah
berat badan pada saat lahir <2500 gram (BBLR). Berdasarkan analisis Riskesdas
2010, diketahui prevalensi anak pendek pada balita adalah sebesar 42,8 persen
dari ibu yang berusia menikah pertama usia 15-19 tahun dan 34,5 persen dari ibu
berusia menikah pertama usia 24-29 tahun. Prevalensi anak pendek lebih besar
dari perempuan yang menikah lebih muda. Prevalensi anak balita pendek
cenderung lebih tinggi pada ibu-ibu yang pendek (tingginya kurang dari 150 cm).
Masalah inter-generasi terlihat dengan jelas, karena dari kelompok ibu yang
pendek prevalensi balita pendek adalah 46,7 persen dibanding kelompok ibu yang
tinggi (diatas 150 cm) yang prevalensi balita pendeknya hanya 34,8 persen.
3. Anemia Gizi
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 yang dikutip
dari Nurhaedar Jafar, 2012, prevalensi anemia gizi ibu hamil di Indonesia sebesar
24,5%, dan di Sulawesi Selatan 46,7%. Hal ini masih sangat besar khususnya
yang terjadi di Sulawesi Selatan.
Sejak tahun 1970-an pemerintah melaksanakan pemberian suplemen tablet
besi-folat. Masalahnya kegiatan ini cakupannya sangat rendah. Diharapkan ibu
hamil minum minimal 90 tablet besi-folat selama kunjungan antenatal pertama
(K1), terutama pada semester ke-1, sampai kunjungan ke-4 (K4) kehamilan.
Namun data riskesdas tahun 2010 kunjungan antenal 4 kali hanya 61,4 persen, dan
yang mengomsumsi 90 tablet besi hanya 18 persen, keduanya jauh dari sasaran
MDGs masing-masing 95 persen dan 85 persen (RANPG 2011-2015). Menurut
berbagai laporan, rendahnya cakupan tablet besi-folat terutama karena kurangnya
perencanaan pengadaan dan distribusi tablet besi-folat, serta pendidikan atau KIE
gizi dan kesehatan yang efektif. (Kerangka Kebijakan Gernas Darsi, 2012).
4. KVA (Kekurangan Vitamin A)

Secara nasional masalah kekurangan vitamin A pada balita secara klinis


sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat. Studi masalah gizi mikro
di 10 propinsi tahun 2006, diperoleh gambaran prevalensi xeropthalmia pada
balita 0,13% dan indeks serum retinol kurang dari 20µg/dl adalah 14,6%. Hasil
studi tersebut menggambarkan terjadinya penurunan, jika dibandingkan dengan
hasil survei vitamin A pada tahun 1992. Hasil riskesdas 2010, Pada pasca
persalinan, atau masa nifas, ibu yang mendapat kapsul vitamin A hanya 52,2
persen (rentang: 33,2% di Sumatera Utara dan 65,8% di Jawa Tengah).
Berdasarkan tingkat pendidikan, cakupan Ibu nifas yang tidak sekolah mendapat
kapsul vitamin A hanya 31 persen dibanding yang tamat PT (62,5%). Demikian
pula kesenjangan yang cukup lebar antara ibu nifas di perkotaan dan perdesaan,
serta menurut tingkat pengeluaran.
Berdasarkan data dari WHO 2009 dapat disimpulkan bahwa kekurangan
vitamin A pada wanita hamil dan anak usia pra-sekolah berdasarkan survey data
dan regression-based, Negara Indonesia khusus pada kekurangan vitamin A
termasuk ke dalam masalah kesehatan masyarakat moderate (> 10% - < 20%).
Adapun Buta Senja pada wanita hamil dan anak usia pra-sekolah berdasarkan
survey data dan regressiuon based, Negara Indonesia khusus pada buta senja tidak
termasuk ke dalam masalah kesehatan masyarakat.
5. GAKY
Hasil Studi Intensifikasi Penanggulangan GAKY (IP-GAKY) tahun 2003,
dan hasil Riskesdas 2007 mendapatkan hasil yang konsisten, bahwa rata-rata
EYU  sudah tinggi, dan proporsi EYU<100  µg/L telah dibawah 20%.  Direktur
Jenderal  Bina Kesmas telah mengeluarkan edaran Nomor: JM.03.03/BV/2195/09
Tanggal 03 Juli 2009 tentang penghentian suplementasi kapsul minyak iodium
pada sasaran (WUS, ibu hamil, ibu menyusui dan anak SD/MI). Disisi lain 
cakupan Rumah Tangga dengan garam cukup Iodium rata-rata nasional baru
mencapai 62,3%. Terdapat disparitas antar daerah cukup tinggi dimana persentase
cakupan terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (27,9%), dan tertinggi
Provinsi Bangka Belitung (98,7%).

6. Obesitas

Menurut RISKESDAS (2010), secara nasional status gizi pada kelompok


dewasa di atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah
kurus juga masih cukup tinggi. Angka obesitas pada perempuan cenderung lebih
tinggi dibanding laki-laki. Berdasarkan karakteristik masalah obesitas cenderung
lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan, berpendidikan lebih tinggi
dan pada kelompok status ekonomi yang tertinggi pula. Prevalensi obesitas usia
15 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar 11,7%. Adapun di Sulawesi Selatan
sendiri prevalensi obesitas untuk usia di atas 15 tahun adalah 11 % (Balitbangkes,
2010).

Sebuah studi yang memantau berat badan mahasiswa usia 17-19 tahun di
Amerika menemukan bahwa mahasiswa yang dilibatkan dalam penelitian tersebut
mengalami peningkatan berat badan. Dimana peserta yang mengalami overweight
dan obesitas meningkat dari 18% menjadi 31%. Jumlah mahasiswi yang memiliki
persen lemak tubuh lebih dari 30% dan mahasiswa yang memiliki persen lemak
tubuh lebih dari 20% meningkat dari 14 orang menjadi 26 orang selama 4 tahun
kemudian (Sareen, et all, 2012).

Dari Riskesdas 2010, khususnya pada perempuan usia 19 tahun prevalensi


gemuk adalah 8,5 persen, dan menjadi 37,3 persen pada usia 40-44 tahun. Ada
kecenderungan prevalensi gemuk meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Pada perempuan prevalensi kegemukan tertinggi (37,3%) terjadi pada usia 40-44
tahun, dan pada laki-laki pada usia 45-49 tahun ( 22,9%). Kombinasi gemuk-
pendek pada perempuan dan laki-laki terjadi pada kelompok usia 45-49 (14,1%)
dan 49-54 tahun (9,6).

7. BBLR dan KEK


Di Indonesia, pada tahun 2010, prevalensi BBLR sebesar 8,8 persen. Besar
kemungkinan, kejadian BBLR diawali berasal dari ibu yang hamil dengan kondisi
kurang energi kronis (KEK), dan risikonya lebih tinggi pada ibu hamil usia 15-19
tahun. Dimana proporsi ibu hamil KEK usia 15-19 tahun masih sebesar 31 persen.
Dipahami pula bahwa, ibu yang masih muda atau menikah di usia remaja 15-19
tahun cenderung melahirkan anak berpotensi pendek dibanding ibu yang menikah
pada usia 20 tahun keatas .
8. Kesenjangan status kesehatan dan gizi masyarakat antarwilayah dan
antartingkat sosial ekonomi masih lebar.

Status kesehatan dan gizi masyarakat terus membaik tetapi masih terjadi
disparitas antarwilayah dan antartingkat sosial ekonomi. Secara umum status
kesehatan masyarakat pada kawasan Indonesia bagian timur lebih rendah jika
dibandingkan dengan kawasan Indonesia bagian barat. Sebagai contoh, AKB di
Provinsi Sulawesi Barat sebesar 74, NTB sebesar 72, NTT sebesar 57, Papua
sebesar 41 dibandingkan dengan DIY sebesar 19, Jawa Tengah sebesar 36, DKI
sebesar 28 per 1000 kelahiran hidup. Demikian pula, masih terjadi disparitas
status kesehatan antara daerah perkotaan dengan perdesaan. Status kesehatan di
daerah perkotaan lebih baik jika dibandingkan dengan daerah perdesaan. Sebagai
contoh, status gizi-kurang anak balita di daerah perkotaan sebesar 11,7 persen,
sedangkan di desa 14,0 persen; status gizi-buruk anak balita di daerah perkotaan
sebesar 4,2 persen, sedangkan di daerah perdesaan 6,4 persen.
Selain itu, disparitas terjadi antartingkat sosial ekonomi. Kelompok
masyarakat miskin status kesehatannya cenderung lebih rendah jika dibandingkan
dengan kelompok masyarakat mampu. Sebagai contoh, AKB pada kelompok
masyarakat miskin sebesar 56, sedangkan pada kelompok masyarakat mampu
sebesar 26 per 1.000 kelahiran hidup. Akses penduduk terhadap pelayanan
kesehatan di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan masih rendah
disebabkan oleh kesulitan geografis, ketersediaaan sarana pelayanan kesehatan,
tenaga dan biaya operasional. Faktor lain yang mempengaruhi disparitas adalah
adanya perbedaan kemampuan fiskal masingmasing kabupaten/kota. Daerah
dengan kemampuan fiskal rendah cenderung mempunyai kemampuan terbatas
pada alokasi pembangunan kesehatan. Tantangan ke depan adalah memperbaiki
kesenjangan status kesehatan dan gizi masyarakat antarwilayah dan antartingkat
sosial ekonomi melalui pemihakan kebijakan, pengalokasian sumber daya,
pengembangan instrumen monitoring serta peningkatan advokasi dan capacity
building untuk daerah tertinggal.

B. Masalah Pangan di Indonesia

1. Dinamika Ekonomi Pangan Global


Berdasarkan penelusuran beberapa analisis dan literatur yang berkembang,
eskalasi harga pangan strategis yang sangat tinggi diperkirakan mengubah
struktur perdagangan global, bahkan tingkat laku yang ditunjukkan oleh beberapa
reaksi protektif oleh beberapa produsen pangan global. Misalnya, produsen utama
beras dunia seperti Cina, Thailand, Vietnam, India, Indonesia dan lain-lain
ternyata lebih mengutamakan konsumsi di dalam negerinya, dari pada harus
mengekspornya ke pasar global. Tidak secara kebetulan apabila negara-negara
produsen beras ini juga sekaligus konsumen besar beras dunia. Berbeda halnya
dengan Amerika Serikat (AS), yang bukan merupakan konsumen besar beras.
Produksi beras yang dihasilkan di negara bagian California, Hawaii, Louisiana,
dan lain-lain lebih diutamakan untuk tujuan ekspor, sehingga dalam beberapa
tahun terakhir, AS telah menjadi negara eksportir nomor 3 atau 4 terbesar dunia,
bergantian dengan India. Apakah fenomena baru perdagangan dunia ini akan
menjadi insentif bagi Amerika Serikat untuk meningkatkan penguasaan dan
perluasan pangsa pasar beras ke Asia, fakta empiris kelak yang akan
menjawabnya.
Dari beberapa penjelasan di atas, perubahan pola dan struktur perdagangan
komoditas pangan global tidak dapat dilepaskan dari tiga faktor penting berikut:
(1) fenomena perubahan iklim yang mengacaukan ramalan produksi pangan 8
strategis, (2) peningkatan permintaan komoditas pangan karena konversi terhadap
biofuel, dan (3) aksi para investor (spekulan) global karena kondisi pasar
keuangan yang tidak menentu. Penjelasan singkat dari faktor di atas diuraikan
berikut ini:
Pertama, perubahan iklim telah menimbulkan periode musim hujan dan
musim kemarau yang makin kacau, sehingga pola tanam dan estimasi produksi
pertanian, persediaan stok pangan menjadi sulit diprediksi secara baik. Laporan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa setiap
kenaikan suhu udara 2 derajat Celsius, akan menurunkan produksi pertanian
China dan Bangladesh 30 persen nanti pada tahun 2050. Sulit dilukiskan betapa
dahsyat dampak sosial-ekonomi yang terjadi, misalnya jika tiba-tiba tinggi air
laut meningkat sampai 3 meter. Sekitar 30 persen garis pantai di dunia akan
lenyap pada tahu 2080, dan bencana kekeringan akan menjadi menu sehari-hari
di negara-negara tropis dan sub-tropis. Dalam laporan berjudul “Stern Review on
the Economic of Climate Change”, seorang pakar berkebangsaan Inggris
Nicholas Stern (2006) mengemukakan risiko ekonomi, sosial, dan lingkungan
tentang dampak pemanasan global. Perubahan iklim bahkan telah dianggap
sebagai salah satu kontributor pada laju eskalasi harga pangan dan pertanian saat
ini, karena telah mengakibatkan gangguang besar pada sistem produksi pangan.
Kedua, kenaikan harga minyak dunia sejak 2007 itu sempat melonjakkan
harga-harga pangan secara dramatis, seperti yang terjadi pada pangan strategis
seperti gandum, beras, daging, dan susu. Sebagian besar negara yang memeliki
sumberdaya alam agak berlimpah, saat ini sedang mengembangkan bahan bakar
biologi (biofuels), yang juga telah mendorong permintaan terhadap minyak nabati
dunia menjadi meningkat pesat. Kebijakan pengembangan biofuel di
negaranegara maju (dan negara-negara berkembang) telah menyebabkan
perubahan fokus pemanfaatan komoditas pangan dan pertanian, tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan pangan, tapi juga untuk memenuhi energi. Akibat
berikutnya, harga dunia komoditas minyak dan lemak yang dapat digunakan
untuk energi menjadi meningkat tajam, bahkan ketika hargaharga pangan lain
cenderung menurun. Ketiga, kecenderungan melonjaknya nilai investasi
(spekulasi) komoditas pangan di pasar komoditas global, dibandingkan dengan
pasar keuangan global yang sedang diliputi ketidakpastian. Walaupun masih
harus dicermati dalam rentang waktu yang agak panjang, namun beberapa
kejadian akhir-akhir ini merupakan bukti-bukti awal dari pergeseran fokus
perdagangan komoditas global. Faktor melesunya pasar keuangan global atau
bursa saham di pasar-pasar besar dunia, serta melemhanya nilai tukar dollar AS
terhadap mata uang lain di dunia, juga ikut mempengaruhi keputusan para
investor yang mulai meminati pasar komoditi global. Dalam istilah pasar
keuangan global, fenomena saat ini juga dikenal sebagai low inventory stocks,
yang sekaligus menunjukkan terjadinya tingkat volatilitas pasar yang sangat
tinggi. Akibatnya, tingkat harga pangan di pasar global menjadi ”tersandera” oleh
keputusan segelintir investor (spekulan) skala besar, yang sebenarnya tidak
mencerminkan prinsip-prinsip klasik perdagangan, yang berdasar pada perbedaan
keuntungan komparatif dalam memproduksi komoditas pangan. Tidak berlebihan
untuk dikatakan bahwa akan sangat berisiko tinggi apabila perdagangan pangan,
hanya digantungkan pada pasar keuangan dan pasar komoditas global, yang pasti
menimbulkan dampak ketidakmerataan dan ketimpangan yang mengkhawatirkan.
Implikasi lain dari perubahan pola dan struktur perdagangan global saat ini
adalah semakin berkembangnya strategi intervensi yang dilakukakan oleh negara
dalam rangka stabilisasi harga pangan. Telah cukup banyak studi yang
menunjukkan bahwa stabilisasi harga bahan pangan sangat erat kaitannya dengan
pertumbuhan ekonomi, terutama dari perspektif makro.Ketika pangsa
perdagangan komoditas pangan global semakin banyak dikuasai oleh negara-
negara maju, dalam hal ini Amerika Utara dan Eropa Barat, maka negara-negara
berkembang, yang sebagian besar juga masih miskin, menjadi sangat tergantung
pada pasokan pangan global. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia
pada akhir 1990-an telah memberikan pelajaran berarti bahwa liberalisasi
perdagangan pangan bukanlah resep mujarab yang mampu menjawab persoalan
fluktuasi dan stabilisasi harga pangan, apalagi jika dimaksudkan untuk
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Atas saran untuk melakukan
reformasi ekonomi dan keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan global
seperti IMF dan Bank Dunia, Indonesia pernah mencoba melakukan liberalisasi
perdagangan pangan, termasuk menghilangkan tarif impor dan bea masuk beras
dan beberapa komoditas strategis sampai 0 persen. Akibat yang paling mencolok
adalah bahwa pasca liberalisasi kebijakan pangan tersebut, tingkat harga beras
sebagai pangan pokok menjadi lebih berfluktuatif. Stabilisasi harga yang
dihipotesiskan oleh IMF dan Bank Dunia akan tercipta setelah pasar pangan
domestik terhubung dengan pasar global, ternyata sulit terbukti di lapangan.
Lembaga-lembaga internasional yang bervisi arus tengah dan juga liberal
tersebut– sehingga sering disebut neoliberal – nampak tidak terlalu memahami
lebih dalam tentang persoalan struktural yang melingkupi perdagangan
komoditas pangan strategis di Indonesia.
Menariknya, banyak ekonom arus tengah yang juga menjadi bagian tidak
terpisahkan dari poses globalisasi dan perdagangan bebas komoditas pangan, kini
bahkan mengkritik keras pendekatan dan paradgima yang diusulkan lembaga
keuangan global tersebut. Sebaliknya pula, para ekonom yang sebelumnya secara
konsisten menganjurkan intervensi pemerintah untuk melakukan stabilisasi harga
pangan serta mempertahankannya secara konsisten, kini justru menjadi pengkritik
terdepan tentang kebijakan stabilisasi tersebut. Di Indonesia dan negara
berkembang lain, pangan merupakan bagian terbesar dari komponen konsumsi
penduduk, fluktuasi harga pangan yang sangat tinggi dapat mengganggu stabilitas
kehidupan ekonomi yang tentu saja sangat mempengaruhi kinerja pertumbuhan
ekonomi. Upaya pemerintah dalam stabilisasi harga pangan dianggap masih
cukup relevan, setidaknya sampai tercipta suatu fase di mana pangsa pengeluaran
terhadap bahan makanan tidak lagi menjadi bagian yang sangat dominan.

2. Penyediaan Pangan Strategis


Krisis finasial global sekarang ini terasa lebih berat bagi ekonomi
Indonesia karena bersamaan dengan lonjakan harga minyak bumi dunia, fluktuasi
harga pangan yang luar biasa tinggi, fenomenal perubahan iklim yang
mengacaukan ramalan produksi, serta variabilitas cuaca yang semakin tidak
bersahabat. Pada tingkat makro global, mungkin saja krisis finansial menjadi
salah satu pemicu percepatan pergeseran kekuatan ekonomi global dari
negaranegara maju ke arah negara-negara berkembang progresif atau yang lebih
dikenal dengan “new emerging markets”. Akan tetapi, pada bidang pangan dan
pertanian, posisi negara-negara berkembang yang notabene memiliki jumlah
penduduk lebih besar dari negara-negara maju, masih belum dapat melepaskan
diri dari permasalahan struktural dalam sistem produksi dan konsumsi, ketahanan
pangan, kemiskinan, pengangguran, kualitas pendidikan dan lain-lain. Produksi
beras global diperkirakan sekitar 643 juta ton pada tahun 2007. Angka tersebut
juga sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan produksi beras 581 juta ton pada
tahun 2006 atau dari perkiraan Food Outlook FAO sebelumya pada edisi Juni
2007. Kenaikan produksi di India, Myanmar dan Indonesia diperkirakan cukup
signifikan untuk meningkatkan produksi beras dunia tahun 2007. Persoalan
menjadi agak kompleks ketika produktivitas beras rata-rata dunia nyaris tidak
bertambah pada beberapa tahun terakhir dan tercatat hanya 4,1 ton per hektar.
Maknanya, betapa rendahnya tingkat perubahan teknologi, aplikasi benih baru
dan teknologi lain di sektor pangan pokok ini.
Ancaman krisis pangan di belahan bumi lain bahkan lebih menakutkan,
terutama karena pertambahan penduduk, pemanasan global dan ketidakpastian
iklim serta ancaman ekologis karena keterlambatan adaptasi dan mitigasi
peruabahan iklim. Laporan WFP menyebutkan bahwa sekitar 854 juta jiwa di
seluruh dunia terancam kelaparan. Kelompok rawan pangan ini bertambah sekitar
4 juta jiwa per tahun, sehingga kenaikan harga pangan dunia saat ini benar-benar
di luar jangkauan mereka dari kelompok lapis paling bawah tersebut. Inilah
tantangan paling besar bagi siapa pun yang peduli tentang ekonomi pangan dan
pencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG).
Di dalam negeri, ketahanan pangan Indonesia menghadapi tantangan yang
semakin kompleks karena beberapa kecenderungan global di atas, musim
kemarau panjang tahun ini yang diperkirakan menurunkan produksi pangan
strategis. Pencapaian Indonesia dalam peningkatan produksi pangan pokok
(beras) mungkin perlu diapresiasi, sekalipun masih terdapat kontroversi statistik
dan metode penghitungan. Badan Pusat Statistik (BPS) meramalkan produksi
beras 2009 mencapai 62,6 juta ton gabah kering giling (GKG), atau meningkat
3,71 persen dari 60,3 juta ton produksi tahun 2008. Apabila karena kemarau
panjang, ramalam produksi beras tahun ini diperkirakan sama dengan tahun lalu,
hal itu berarti terdapat potensi kenaikan produksi 2,3 juta ton padi, sesuatu yang
tidak dapat diabaikan begitu saja.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah
memprediksi musim kering tahun ini akan terjadi sampai sampai Januari 2010,
dan hampir seluruh wilayah di Indonesia mengalami anomali cuaca yang merata.
Produksi bahan pangan penting menunjukkan kecenderungan peningkatan,
kecuali kedelai yang mengalami penurunan sejak dekade 1990an. Pada tahun
2009 ini, produksi jagung diramalkan 17 juta ton, terutama karena peningkatan
luas panen di Propinsi Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara, Lampung,
dan Sumatera Utara. Angka tersebut memang masih belum mampu mencapai
target swasembada jagung, yang seharusnya telah tercapai sejak tahun 2007,
karena Indonesia masih harus memenuhi konsumsi jagung dari pasar impor. Hal
yang agak positif adalah bahwa penggunaan benih unggul jagung hibrida,
terutama buah hasil bioteknologi pertanian. Bersamaan dengan itu, peningkatan
produksi jagung hibrida juga sekaligus mampu mendukung sektor peternakan
karena industri pakan ternak ikut tumbuh pasca stagnansi yang cukup serius pada
puncak krisis ekonomi. Membaiknya produksi jagung domestik sedikit
membantu mengurangi ketergantungan sektor peternakan kecil terhadap pakan
impor, dan sempat memberikan ekspektasi pertumbuhan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, karena laju konsumsi jagung yang tumbuh lebih cepat, Indonesia masih
harus mengandalkan jagung impor dalam jumlah yang cukup signifikan.
Berikut ini akan diuraikan secara rinci karakter menonjol dari seluruh
tujuh komoditas pangan strategis di tingkat nasional, yaitu: (1) beras akan terus
menempati posisi strategis secara ekonomi, sosial dan politik, baik karena faktor
historis, maupun karena ideologis dan emosional sebagian besar penduduk
Indonesia; (2) jagung akan mengalami transisi yang cukup signifikan dari posisi
komoditas pangan menjadi bahan baku industri pakan; (3) kedelai akan merespon
signal insentif harga baik di tingkat domestik, maupun tingkat intenasional; (4)
gula akan mengalami komptisi internal gula tebu dengan gula rafinasi, yang
masih belum mampu menjawab tantangan struktural di dalamya; (5) minyak
goreng akan mengalami transisi konsumsi yang lebih responsif terhadap harga
bahan baku CPO, baik berupa insentif karena tingginya harga, maupun berupa
disinsentif karena anjloknya harga dan lainnya; (6) terigu akan menyesuaikan diri
dengan peningkatan permintaan, walaupun sulit berharap banyak dari gandum
domestik; dan (7) daging akan terus mencari titik keseimbangan baru produksi,
impor dan negara asal, serta tingkat konsumsi yang akan berkembang pesat.
3. Akses Pangan dan Pengentasan Kemiskinan
Akses pangan sering didekati dari kebijakan pangan murah (cheap food
policy) yang konon pro-rakyat miskin dan selama 10 tahun terakhir telah
dilaksanakan melalui program beras untuk keluarga miskin (raskin). Program
raskin sendiri adalah penyempurnaan dari instrumen operasi pasar murni (OPM)
dan operasi pasar khusus (OPK) karena penurunan daya beli sejak krisis ekonomi
1997. Waktu itu, argumen yang berkembang adalah fakta hasil Survai Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 1999 yang menyebutkan bahwa sebagian besar (76
persen) rumah tangga Indonesia adalah konsumen beras (net consumer) dan
hanya 24 persen sisanya produsen beras (net producer). Di daerah perkotaan, net
consumer beras adalah 96 persen atau hanya 4 persen saja yang merupakan net
producer beras. Di daerah pedesaan, net consumer beras sekitar 60 persen atau
hanya 40 persen penduduk desa yang merupakan net producer beras. Pada
intinya, karena beras juga merupakan makanan pokok dengan karakteristik
permintaan yang tidak elastis – perubahan harga tidak terlalu berpengaruh
terhadap konsumsi beras – maka kelompok miskin itulah yang menderita cukup
parah karena perubahan harga beras.
Dalam perjalanannya, pemikiran kebijakan pangan murah tersebut
memperoleh kritik yang cukup keras, karena dianggap tidak memberikan insentif
yang cukup kepada petani padi dan bahan pangan lain untuk meningkatkan
produksi dan produktivitasnya. Sejak krisis ekonomi itu, spread harga atau marjin
antara harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen melebar
sangat besar, dari sekitar Rp 400 sampai melebihi Rp 2000 per kilogram.
Implikasinya adalah bahwa nilai tambah pengolahan dan perdagangan beras tidak
dinikmati oleh petani dan konsumen, tapi lebih banyak oleh pedagang,
penggilingan padi dan pelaku lain. Hal itu dapat juga diterjemahkan bahwa
sistem pasca panen dan distribusi beras di dalam negeri tidak efisien dan
menyisakan fenomena asimetri pasar yang menjadi kendala serius
dalampembangunan ekonomi. Fokus kebijakan pangan di Indonesia perlu
diarahkan untuk meningkatkan harga gabah dan menurunkan harga beras atau
untuk mengurangi spread harga gabah dan beras, yang masih memberikan
keuntungan bagi usaha penggilingan padi dan perdagangan beras.
Beberapa ekonom pertanian sebenarnya telah mengusulkan strategi
kebijakan kecukupan pangan (food adequacy), untuk menjamin ketersediaan dan
kecukupan pangan di seluruh wilayah Indonesia, yang dapat dijangkau dan aman
dikonsumsi masyarakat luas. Strategi ini adalah bagian tak terpisahkan dari
seluruh dimensi ketahanan pangan, khususnya di tingkat mikro rumah tangga,
karena ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting: ketersediaan,
aksesibilitas dan stabilitas. Di tingkat rumah tangga, tingkat ketersediaan pangan
(atau tepatnya kecukupan pangan) diukur dengan membandingkan tingkat
konsumsi enegeri dan protein dengan angka kecukupan gizi (AKG). Indonesia
memiliki standar AKG yang dihasilkan dari Widyakarya Pangan dan Gizi
(WNPG) ke-VII, pada Juni 2008, yaitu 2.200 kilokalori (kkal) dan 57 gram
protein per kapita per hari. Persentase penduduk yang sangat rawan pangan
menurun dari 13,1% tahun 2002 menjadi 11,1% tahun 2008. Meski menurun
jumlah penduduk yang defisit energi tingkat berat (sangat rawan pangan)
diperkirakan masih sekitar 25,1 juta jiwa pada tahun 2008 (Departemen
Pertanian, 2008).
Implikasinya adalah bahwa dalam konteks kebijakan pengentasan
kemiskinan dan ketahanan pangan, kedua paket kebijakan pangan murah dan 47
kecukupan pangan masih belum cukup. Pengentasan kemiskinan perlu bervisi
pemberdayaan masyarakat, sekaligus dapat menciptakan lapangan kerja produktif
di pedesaan dan perkotaan. Perbaikan keterkaitan (linkages) aktivitas ekonomi di
pedesaan dan perkotaan diharapkan mampu meningkatkan arus pergerakan
produk dan jasa, yang sekaligus mampu menciptakan lapangan kerja baru.
Dimensi lain yang perlu dicover adalah struktur usahatani keluarga,
sistem produksi yang tidak efisien, sampai pada aspek distribusi dan tataniaga
beras yang sangat tidak berpihak pada petani produsen. Pengentasan kemiskinan
perlu mempertimbangkan aspek kepemilikan atau penguasaan lahan yang amat
marjinal, akses terhadap faktor produksi dan teknologi baru, dan sebagainya.
Kasus ledakan gizi buruk dan dan gizi kurang yang semakin banyak dijumpai di
Indonesia adalah salah satu dari contoh buruknya sinergi antara ketersediaan
pangan di tingkat makro dan aksesibilitas individu dan rumah tangga terhadap
bahan pangan. Bagaimana mungkin suatu daerah lumbung beras yang memiliki
surplus produksi beras tapi banyak penduduknya yang tidak memiliki akses
terhadap pangan. Mereka inilah yang masuk dalam kategori penduduk miskin dan
memiliki akses buruk terhadap pangan. Apabila pembangunan ketahanan pangan
difokuskan langsung pada kelompok miskin ini, maka manfaatnya akan terlihat
secara jelas ketika kelompok pendapatan rendah ini telah mampu memenuhi
kecukupan pangan, baik energi maupun proteinnya.
Hal ini pun merupakan langkah penting dalam upaya mengeluarkan petani
dari kemiskinan, sebagaimana komitmen Indonesia dan negara-negara lain di
dunia dalam melaksakan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millineum
Development Goals =MDGs, yaitu mengurangi proporsi penduduk yang hidup
kemiskinan dan kelaparan, sampai setengahnya pada tahun 2015 nanti.
Secara teoritis, pembangunan pertanian dapat meningkatkan ketahanan
pangan, melalui peningkatan jumlah ketersediaan pangan dan perbaikan akses 48
atau daya beli terhadap pangan. Sejarah pembangunan pertanian di Indonesia
menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui verietas
unggul, lonjakan produksi peternakan dan perikanan telah terbukti mampu
mengatasi persoalan kelaparan dalam tiga dasa warsa terakhir. Peningkatan
produktivitas dan perbaikan pendapatan petani telah berkontribusi pada perbaikan
ekonomi pedesaan, sehingga akses dan daya beli terhadap bahan pangan juga
meningkat. Dalam konteks ini, penganekaragaman pangan pun berlangsung
cukup baik sehingga kualitas dan pemenuhan gizi seimbang juga lebih terjamin.
Cukup banyak strategi pengentasan kemiskinan telah mengedepankan aspek
penyediaan pangan, akses terhadap bahan pangan, baru kemudian memfokuskan
pada stabilitas harga pangan atau strategi pembangunan jangkan panjang lainnya.
Akan tetapi, setelah “berhasil” dalam periode tumbuh tinggi sampai
pertengahan tahun 1980-an, pada awal dekade 1990-an, pembangunan pertanian
Indonesia tidak mampu melepaskan dari jebakan kemiskinan yang memang lebih
bersifat struktural. Sektor pertanian mengalami fase dekonstruktif dan tumbuh
rendah sekitar 3,4 persen karena proteksi besar-besaran pada sektor industri,
apalagi berlangsung melalui proses konglomerasi yang merapuhkan fondasi
ekonomi yang sebenarnya. Ketika krisis ekonomi menimbulkan pengangguran
besar dan limpahan tenaga kerja dari sektor perkotaan tidak mampu tertampung
di sektor pedesaan, pertanian pun harus menanggung beban ekonomi-politik yang
tidak ringan.
Bagi Indonesia persoalan menjadi lebih pelik karena jumlah petani gurem
dengan lahan tidak sampai 0,5 hektar semakin lama semakin banyak. Hasil
Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian
meningkat menjadi 25,4 juta dari sekitar 20,8 juta pada tahun 1993 atau
meningkat sebesar 2,2 persen per tahun. Jumlah petani gurem pun ikut meningkat
dari 10,8 juta (52,7 persen) menjadi 13,2 juta (53,2 persen) rumah tangga.
Sebagaimana dapat diduga, sebagian besar dari petani gurem tersebut berada di
Jawa karena 75 persen petani Jawa tergolong gurem atau meningkat dari 70
persen pada tahun 1993. Maksudnya, saat ini hanya 25 persen dari seluruh petani
di Jawa yang dapat dikatakan berkecukupan dan tidak terjerat kemiskinan. Potret
petani sebaliknya terjadi terjadi di Luar Pulau Jawa. Rumah tangga petanidi
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan lain-lain umumnya menguasai lahan
rata-rata cukup besar, dan hanya 34 persen dari rumah tangga petani di sana yang
tercatat menguasai lahan di bawah 0,5 hektar.
Komposisi penguasaan lahan di Indonesia sampai saat ini tidak banyak
berubah, terutama bahwa pertanian pangan di Indonesia masih mengandalkan
usahatani skala kecil, di bawah 0,5 hektar. Menurut Hasil Pendapatan Usahatani
(PUT) yang dilakukan Badan Pusta Statisktik (BPS) tanggal 31 Juli 2009, jumlah
rumah tangga usahatani (RUT) tahun 2009 ini adalh 17,8 juta rumah tangga.
Perssentase petani tanaman pangan yang miliki luas areal kurang dari 0,5 hektar
tercatat 9.545.260 unit rumah tangga usahatani atau 53.5 persen dari total
RUT.Persentase jumlah rumah tangga petani dengan skala usaha tidak ekonomis
ini cukup konsisten dengan hasil Sensus 2003, jika tidak dikatakan telah
meningkat, walau pun cukup kecil. Implikasinya bagi pembangunan pertanian
adalah bahwa persoalan struktural yang belum terpecahkan selama beberapa
dekade terakhir, masih akan menjadi salah satu kendala cukup serius dalam
perbaikan akses pangan, dan tentu saja dalam upaya untuk meningkatkan
diversifikasi pangan.
Petani skala kecil inilah harus mengandalkan aktivitas ekonomi dari luar
usahatani untuk mempertahankan kehidupan rumah tangganya. Singkatnya,
perubahan komposisi pendapatan rumah tangga pedesaan ini seharusnya menjadi
referensi penting bagi pengembangan kelembagaan ketahanan pangan dan
pembangunan pertanian secara umum. Dua implikasi penting dari pergesaran
dominasi aktivitas off-farm ini adalah sebagai berikut: Pertama, meningkatnya
dominasi off-farm nyaris identik dengan upaya survival bagi mereka dengan
skala usaha ekonomi tidak memadai. Kedua, semakin besarnya dominasi aktivitas
off-farm dapat juga berarti semakin membaiknya tingkat permintaan efektif
(effective demand) di pedesaan karena aktivitas perdagangan, jasa dan usaha lain
juga meningkat. Kedua fenomena di atas tentu masih jauh dibandingkan dengan
pergeseran pangsa pendapatan luar usahatani di Jepang, Amerika Serikat dan
negara maju lain, yang identik dengan semakin berkembangnya usahatani paruh
waktu (part-time farming) dan efisiensi usahatani yang lebih baik. Dengan
demikian, maka semakin jelaslah bahwa pembangunan ketahanan pangan perlu
menjadi satu kesatuan dengan proses pembangunan ekonomi atau transformasi
struktural ekonomi secara umum.
4. Indeks Harga Pangan Dunia yang Tidak Stabil
Organisasi Pangan Dunia (FAO) belum lama ini melaporkan indeks harga
pangan dunia naik pada September 2012 menjadi 215,8 poin dibanding 212,8
poin pada Agustus 2012. Namun FAO menyatakan meskipun terjadi kenaikan
harga karena kurangnya pasokan, namun bukan berarti akan terjadi krisis pangan
dalam waktu dekat. Hal ini berarti, tanpa penanganan manajerial  yang baik
terhadap masalah pangan, dalam jangka panjang masalah pangan bisa menjadi
problema yang berat.
Dampak kenaikan harga pangan di dunia berpengaruh pada kenaikan harga
pangan di Indonesia, karena ketergantungan pangan Indonesia terhadap impor
demikian besar. Kejadian tahun 2012 di Indonesia tercatat bagaimana terjadi
kelangkaan kedelai pada medio bulan Juli, dan belum lama ini terjadi kenaikan
harga daging sapi yang spektakuler. Demikian juga, komoditas lainnya,
sepertinya beras yang dinyatakan surplus kondisinya secara nasional, akan tetapi
tetap saja masih dilakukan impor. Belum lagi, yang cukup memprihatinkan pada
kenaikan komoditas pangan di Indonesia ditengarai munculnya masalah kartel
pangan. Sampai-sampai Presiden Presiden SBY dalam kasus kedelai meminta
agar kartel kedelai yang terbukti merugikan masyarakat ditindak secara hukum.
Pernyataan Presiden ini secara eksplisit menyatakan bahwa  dalam hal kedelai
dan bisa jadi pangan lainnya tentunya bentuk pasar kartel tidak boleh ada karena 
benar-benar dapat  merugikan masyarakat.

Tantangan untuk menciptakan ketahanan pangan yang mengarah


kepadakedaulatan pangan pada masa-masa mendatang akan terasa berat, kalau
pangan di Indonesia tidak ditangani secara serius. Data impor pertanian yang
makin membengkak dibandingkan dengan ekspornya sangatlah berbahaya bagi
perekonomian Indonesia.  Misal data impor dari Kemendag tentang makanan dan
minuman pada tahun 2009 senilai US $ 2.510.396.014 dan tahun 2011 naik
fantastis menjadi US $ 4.871.648.004 (naik 73,74 %), sementara ekspor tahun
2009 senilai US $ 2.785.369.709, tahun 2011  naik hanya menjadi US $
3.454.058.139 (28,13 %). Kalau pada tahun 2009 neraca perdagangan makanan
dan minuman mengalami surplus, tahun 2011 telah menjadi defisit, demikian juga
kiranya untuk tahun 2012.

C. Dokumen- Dokumen Perencanaan Indonesia Dan Sulawesi Selatan


Menjawab Masalah Gizi Dan Pangan
RPJPN (2005-2025) RPJMN (2005-2025) RPJPD RPJMD
(2013-2018) (2008-2013

Arah Pembangunan Arahan Kebijakan


Jangka Panjang Tahun 2. Meningkatnya status kesehatan dan RPJPD umum
2005–2025: gizi masyarakat ditandai dengan : Sulawesi pembangu-
Sasaran Status Target Selatan Tahun nan daerah
Awal 2014
4.1.2 Mewujudkan 2008-2028 a. arah
Meningkatnya 70,7 a) 72
Bangsa Yang Berdaya- umur harapan kebijakan
Saing hidup (tahun) RPJPD b. agenda
Menurunnya 228 b) 418 Sulawesi pembangunan
angka
A. Membangun Sumber kematian ibu
Selatan 2008- 1.peningka-
Daya Manusia yang melahirkan per 2028 tan kualitas
Berkualitas 100.000 mengamanahk pendidikan
Pembangunan pendidikan kelahiran an penekanan dan kesehatan
hidup
dan kesehatan merupakan untuk RPJMD masyarakat
investasi dalam Menurunnya 34 b) 24 Tahap sasaran
meningkatkan kualitas angka II tahun 2013- 1)
sumber daya manusia kematian bayi 2018 sebagai meningkatnya
per 1000
sehingga penting kelahiran berikut. kualitas
perannya dalam hidup 1.Meningkatk kesehatan
meningkatkan Menurunnya 19 b) 15 an kualitas masyarakat
angka
pertumbuhan ekonomi kematian
penyelenggara yang
dan menurunkan tingkat neonatal per an tugas dicerminkan
kemiskinan dan 1000 kelahiran pemerintah oleh angka
pengangguran. hidup dalam usia
Menurunnya 18,4 c) <15,0
4. Pembangunan prevalensi menyediakan harapan hidup
kesehatan diarahkan kekurangan fasilitas 73,7 tahun
untuk meningkatkan gizi pelayanan dengan
diantaranya
kesadaran, kemauan, dan untuk beberapa
gizi kurang dan
kemampuan hidup sehat gizi buruk pemenuhan indikator
bagi setiap orang agar pada balita (%) hak-hak dasar antara, seperti
peningkatan derajat Menurunnya 36,8 c) <32 masyarakat imr 22 per
prevalensi anak
kesehatan masyarakat balita yang
yang semakin seribu
yang setinggi-tingginya pendek/stuntin membaik, kelahiran, aki
dapat terwujud. g (persen) yang antara 226 per
Pembangunan kesehatan lain mewujud seribu.
diselenggarakan dengan dalam bentuk 2)
berdasarkan peningkatan meningkatnya
perikemanusiaan, standar kualitas
pemberdayaan dan 3. Menurunnya disparitas status pelayanan pengetahuan
kemandirian, adil dan kesehatan dan gizi masyarakat minimal untuk masyarakat
merata, serta antarwilayah dan antartingkat sosial kesehatan dan yang
pengutamaan dan ekonomi serta gender. pendidikan, dicerminkan
manfaat dengan 4. Meningkatnya penyediaan anggaran termasuk oleh angka
perhatian khusus pada publik untuk kesehatan dalam untuk rata-rata lama
penduduk rentan, rangka mengurangi risiko finansial perumahan, sekolah 8,5
antara lain ibu, bayi, akibat gangguan kesehatan bagi sanitasi dan tahun dan
anak, manusia usia seluruh penduduk terutama air bersih dan angka melek
lanjut (manula), dan penduduk miskin. mendorong huruf 92
keluarga miskin. 5. Meningkatnya perilaku hidup bersih serta persen;
Pembangunan kesehatan dan sehat (PHBS) pada tingkat memfasilitasi 3)
dilaksanakan melalui rumah tangga dari 50 persen kelembagaan meningkatnya
peningkatan upaya menjadi 70 persen. masyarakat mutu
kesehatan, pembiayaan 6. Terpenuhinya kebutuhan tenaga sehingga pendidikan,
kesehatan, sumber daya kesehatan strategis di daerah mampu ikut dengan
manusia kesehatan, obat terpencil,tertinggal, perbatasan dan terlibat dalam indikator
dan perbekalan kesehatan kepulauan. penyelenggara meningkatnya
yang disertai oleh 7. Peningkatan akses dan kualitas an dan persentase
peningkatan pengawasan, pelayanan kesehatan dilakukan penyediaan kelulusan
pemberdayaan melalui delapan fokus prioritas. fasilitas dalam ujian
masyarakat, dan Pertama, peningkatan kesehatan pelayanan. nasional untuk
manajemen kesehatan. ibu, bayi dan balita melalui: 2.Meningkatk tingkat
Upaya tersebut dilakukan (a) peningkatan pelayanan an kualitas pendidikan
dengan memerhatikan continuum care kesehatan ibu dan manusia yang dasar dan
dinamika kependudukan, anak; ditandai menengah;
epidemiologi penyakit, (b) penyediaan sarana kesehatan dengan 4)
perubahan ekologi dan yang mampu melaksanakan PONED meningkatnya berkurangnya
lingkungan, kemajuan dan PONEK; (c) peningkatan kualitas dan jumlah
iptek, serta globalisasi pertolongan persalinan oleh tenaga relevansi penduduk
dan demokratisasi dengan terlatih; (d) peningkatan cakupan pendidikan kurang
semangat kemitraan dan kunjungan ibu hamil (K1 dan K4); yang pangan dan
kerja sama lintas sektor. (e) peningkatan cakupan komplikasi didukung oleh gizi, yang
Penekanan diberikan kebidanan yang ditangani; (f) manajemen dicerminkan
pada peningkatan peningkatan cakupan penanganan pelayanan prevalensi gizi
perilaku dan kemandirian komplikasi kebidanan pelayanan pendidikan kurang pada
masyarakat serta upaya nifas; (g) peningkatan cakupan yang semakin anak balita
promotif dan preventif. peserta KB aktif yang dilayani efisien dan 20%, gizi
Pembangunan nasional sektor pemerintah; (h) pemberian efektif. buruk 5%.
harus berwawasan makanan pemulihan pada ibu hamil Selanjutnya 5)
kesehatan, yaitu setiap KEK; (i) peningkatan cakupan meningkatkan meningkatnya
kebijakan publik selalu neonatal dengan komplikasi yang derajat persentase
memerhatikan ditangani; (j) peningkatan cakupan kesehatan dan lingkungan/pe
dampaknya terhadap kunjungan bayi; (k) peningkatan status gizi rumahan
kesehatan. cakupan imunisasi tepat waktu pada masyarakat, sehat, sanitasi
Pembangunan dan bayi dan balita; (l) perbaikan disamping dan air bersih
perbaikan gizi kesehatan dan gizi ibu hamil; (m) meningkatkan dengan
dilaksanakan secara pemberian ASI eksklusif sampai pula kualitas indikator
lintas sektor yang enam bulan; kesetaraan capaian
meliputi produksi (n) peningkatan peran posyandu dan keadilan berupa
pangan, pengolahan, dalam rangka peningkatan kesehatan gender serta cakupan air
distribusi, hingga anak; (o) penyediaan tenaga perlindungan bersih 78%
konsumsi pangan pelayanan kesehatan bayi dan balita anak. rumah tangga,
tingkat rumah tangga (dokter, bidan dan kader); dan (p) 3.Mentransfor ketersediaan
dengan kandungan gizi perbaikan kualitas lingkungan dalam masikan mck pada
yang cukup, seimbang, rangka penurunan faktor risiko potensi setiap desa.
serta terjamin kesehatan bagi bayi dan balita. spesifik yang
keamanannya dalam Kedua, perbaikan status gizi dimiliki, baik 2.
rangka mencapai status masyarakat dengan meningkatkan: berupa Peningkatan
gizi yang baik. (a) asupan zat gizi makro sumberdaya dan
(karbohidrat, protein, dan lemak) alam maupun Pemerataan
dan zat gizi mikro (kapsul Vitamin potensi Kesejahteraa
A, zat besi (Fe), garam beryodium, budaya n
dan zat gizi mikro lainnya) untuk (indigeneous Masyarakat
memenuhi angka kecukupan gizi; knowledge), Sasaran
(b) survailans pangan dan gizi; (c) menjadi 1)Meningkat-
pengetahuan masyarakat tentang keunggulan nya kontribusi
pola hidup sehat dan penerapan gizi lokal yang sektor
seimbang; (d) pemberian ASI akan pertanian pada
eksklusif sampai enam bulan; (e) berfungsi pertumbuhan
pemberian Makanan Pendamping sebagai basis ekonomi
ASI (MP-ASI) mulai dari bayi usia dan identitas Sulawesi
6−24 bulan dan makanan bagi ibu pembangunan Selatan, yaitu
hamil KEK; (f) pemantauan dari setiap 6,46%
pertumbuhan bayi dengan prioritas daerah pertahun
usia dua tahun pertama; (g) kegiatan kabupaten dan selama kurun
gizi berbasis masyarakat melalui kota serta waktu rencana
posyandu dan keluarga sadar gizi; kawasan (2008 - 2013).
(h) fortifikasi; (i) pemberian andalan. 2)Meningkat-
makanan pemulihan balita gizi- 4.Memperkuat nya daya beli
kurang; (j) penanggulangan gizi kelembagaan masyarakat
darurat; (k) tatalaksana penanganan masyarakat menjadi 680 -
gizi buruk anak balita (0−59 bulan); yang mampu 700 pada
dan (l) peningkatan jumlah, kualitas, berfungsi tahun 2013.
dan penyebaran tenaga gizi. sebagai soft- 3)Menurun-
Penanganan masalah gizi structure nya penduduk
memerlukan upaya komprehensif pengembanga miskin
dan terkoordinasi, dari mulai proses n kawasan sebesar 20%,
produksi pangan, pengolahan, yang tetap yaitu dari
distribusi, hingga konsumsi yang mengedepank 971.500
cukup nilai gizinya dan aman an menjadi
dikonsumsi. Oleh karena itu, kepentingan 777.200
kerjasama lintas bidang dan lintas dan orang.
program terutama pertanian, keterlibatan 4)
perdagangan, perindustrian, masyarakat Menurunnya
transportasi, pendidikan, agama, lokal, dalam pengangguran
kependudukan, perlindungan anak, hal ini berupa terbuka
ekonomi, kesehatan, pengawasan kelompok- sebesar 40%,
pangan dan budaya sangat penting kelompok yaitu dari
dalam rangka sinkronisasi dan usaha mikro, 385.800 orang
integrasi kebijakan perbaikan status kecil dan menjadi
gizi masyarakat. menengah 230.900
Ketiga, pengendalian penyakit (UMKM), orang.
menular serta penyakit tidak serta 5)Meningkat-
menular, diikuti penyehatan introduksi nya akses
lingkungan, dengan meningkatkan: teknologi dan masyarakat
(a) kemampuan pencegahan dan manajemen terhadap aset
penanggulangan faktor risiko, guna produktif,
termasuk imunisasi; (b) survailans memperluas antara lain
epidemiologi dalam rangka jaringan diukur dari
mengembangkan sistem pasar. jumlah
kewaspadaan dini dengan didukung 5.Revitalisasi sertifikat
oleh peningkatan jumlah dan dan tanah yang
kualitas tenaga survailans; (c) restrukturisasi dikeluarkan,
komunikasi, informasi dan edukasi Kawasan jumlah atau
(KIE); (d)penguatan penemuan Andalan yang prosentase
penderita dan tata laksana kasus; (e) terus kredit kepada
upaya menuju eliminasi penyakit- dilanjutkan UMKM dan
penyakit terabaikan; (f) kesehatan dengan Koperasi, dan
lingkungan dengan menekankan penekanan sebagainya.
pada akses terhadap air minum dan yang sedikit 6)Meningkat-
sanitasi dasar serta perubahan berbeda. nya
perilaku hygiene dan sanitasi Tahap awal diversifikasi
melalui Sanitasi Total Berbasis revitalisasi konsumsi
Masyarakat (STBM) dan diharapkan pangan pokok
pendekatan kabupaten/kota/kawasan telah ditandai
sehat; (g) penguatan sistem diselesaikan dengan
pengendalian zoonosis secara pada tahapan berkurangnya
terpadu; (h) survailans penyakit pembangunan konsumsi
tidak menular; (i) promosi dan sebelumnya, beras sebesar
pemberdayaan sehingga pada 3,8
masyarakat; dan (j) tata laksana tahapan ini kg/kapita/tahu
kasus penyakit tidak menular. kegiatan dapat n.
Khusus untuk pengendalian semakin Program
penyakit menular, seperti HIV dan difokuskan Pembanguna
AIDS serta kepada n Daerah
penyakit zoonotik terutama flu penguatan Tujuan
burung dan influenza tipe A baru keunggulan pembangu-
yang memiliki dampak lokal yang nan jangka
besar dalam pembangunan sosial, dimiliki oleh menengah
ekonomi dan penanggulangan setiap merupakan
kemiskinan, kawasan. perwujudan
memerlukan upaya komprehensif Restrukturisas melalui
dan terkoordinasi (One World One i upaya
Health/OWOH) kawasan pencapaian
serta kerjasama lintas bidang dan andalan pada tujuan
lintas program. Koordinasi dan tahapan pemenuhan
kerjasama pembangunan hak dasar
pengendalian HIV dan AIDS antara ini memasuki masyarakat
lain mencakup: kesehatan, babak baru, berdasarkan
pendidikan, pertahanan berupa Visi dan
dan keamanan, transportasi, ilmu penekanan Misi
pengetahuan dan teknologi, pada upaya- pembangunan
kesejahteraan sosial, upaya Sulawesi
perlindungan anak, pemuda, peningkatan Selatan.
kependudukan, hukum dan hak asasi kualitas Untuk
manusia, komunikasi interkoneksita mencapai hal
dan informasi, agama, dan budaya. s fungsional tersebut, maka
Sementara itu, koordinasi dan antar kawasan disusun
kerjasama untuk yakni rancangan
pengendalian penyakit zoonotik keterkaitan program dan
terutama mencakup kesehatan, industrial kegiatan yang
peternakan, dan yang sifatnya
lembaga penelitian, serta kerjasama mewujud indikatif yang
internasional. Pada keadaan dalam bentuk terbagi
pandemi, diperlukan keterkaitan ke kedalam 7
kerjasama yang lebih luas dengan depan agenda dan
koordinasi yang lebih kuat di tingkat (fordward kebijakan
pusat dan linkage) yang saling
daerah. dan/atau terkait dan
Keempat, pengembangan keterkaitan saling
sumberdaya manusia kesehatan, kebelakang mendukung
dengan (backward satu dengan
meningkatkan: (a) jumlah, jenis, linkage). lainnya
mutu dan penyebaran sumber daya 6.Pembangun dapat
manusia kesehatan; an desa terus dijelaskan
(b) perencanaan, pengadaan, dan dilanjutkan, sebagai
pendayagunaan serta pembinaan dan untuk berikut :
pengawasan memantapkan
sumber daya manusia kesehatan; (c) model A. Agenda
penyempurnaan sistem insentif dan pengembanga Dan
penempatan n desa Kebijakan
SDM kesehatan di daerah tertinggal, sebagai Lima Tahun
perbatasan dan kepulauan; (d) komunitas. RPJMD
penguatan Selain untuk Agenda dan
peraturan perundangan dalam aspek semakin kebijakan
standardisasi, akreditasi, sertifikasi meningkatkan rencana
kompetensi kualitas pembangunan
dan lisensi SDM kesehatan, serta kemandirian jangka
penerapannya dalam praktik desa, juga menengah
kedokteran dan profesi menjaga atau daerah
kesehatan lainnya; dan (e) bahkan Provinsi
kerjasama antara institusi meningkatkan Sulawesi
pendidikan tenaga kesehatan daya dukung Selatan 2008
dengan penyedia pelayanan lingkungan – 2013
kesehatan dan organisasi profesi. dengan diuraikan
Kelima, peningkatan ketersediaan, intensitas sebagai
keterjangkauan, pemerataan, yang lebih berikut :
keamanan, mutu tinggi 1.
dan penggunaan obat serta dibandingkan Peningkatan
pengawasan obat dan makanan, tahapan Kualitas
melalui: (a) peningkatan sebelumnya. Pendidikan
ketersediaan, dan keterjangkauan 7.Memperkuat dan Kesehatan
obat, terutama obat esensial generik; keterkaitan Masyarakat,
(b) peningkatan industrial meliputi
penggunaan obat rasional; (c) antar kawasan kebijkankebija
peningkatan keamanan, khasiat dan seiring dengan kan
mutu obat dan semakin sebagai
makanan yang beredar; (d) berkembangn berikut:
pengembangan peraturan dalam ya a.Pendidikan
upaya harmonisasi standar perekonomian Gratis
termasuk dalam mengantisipasi di berbagai b.Peningkatan
pasar bebas; (e) peningkatan kawasan Kualitas
kualitas sarana produksi, andalan, Pelayanan
distribusi dan sarana pelayanan dalam arti Pendidikan
kefarmasian; (f) peningkatan pola agribisnis c. Promosi
pelayanan kefarmasian dapat Pendidikan
yang bermutu; (g) peningkatan dipraktikkan d.Pemberantas
penelitian, pengembangan dan dengan an Buta
pemanfaatan obat semakin baik Aksara
tradisional Indonesia; (h) yang diikuti e.Pengembang
peningkatan penelitian di bidang dengan an Budaya
obat dan makanan; (i) pengembanga Baca
peningkatan kemandirian di bidang n agroindustri, f. Kesehatan
produksi obat, bahan baku obat, obat khususnya Gratis
tradisional, pada kawasan g.Peningkatan
kosmetika dan alat kesehatan; (j) andalan yang Kualitas
penguatan sistem regulatori berbasis pada Pelayanan
pengawasan obat dan pertanian. Kesehatan
makanan; (k) penguatan sistem 8. Rangkaian h. Perbaikan
laboratorium obat dan makanan; (l) kebijakan Gizi
peningkatan diatas Masyarakat
kemampuan pengujian mutu obat diharapkan i.Pemberantas
dan makanan; (m) peningkatan akan an dan
sarana dan prasarana mengurangi Pencegahan
laboratorium pengujian; (n) kesenjangan Penyakit
peningkatan penerapan standar antar daerah, Menular
internasional meningkatkan j. Promosi
laboratorium; (o) penyusunan kesejahteraan Kesehatan
standar dan pedoman pengawasan masyarakat, k.Peningkatan
obat dan makanan; menurunkan Pelayanan
dan (p) peningkatan pemeriksaan angka Perumahan,
sarana produksi dan distribusi obat pengangguran Lingkungan
dan makanan. dan jumlah Permukiman,
Keenam, pengembangan sistem penduduk Sanitasi, dan
jaminan pembiayaan kesehatan, miskin sejalan Air Bersih
melalui: (a) dengan l. Peningkatan
peningkatan efektivitas jaminan pertumbuhan dan Perbaikan
kesehatan masyarakat yang ekonomi yang Kampung dan
menjamin akses dan berkualitas. Permukiman
kualitas pelayanan serta tata kelola Pertumbuhan
administrasi yang akuntabel dan ekonomi pada
transparan; (b) peningkatan cakupan tahapan ini
jaminan kesehatan semesta secara diproyeksikan
bertahap; dan (c) peningkatan mencapai 7,66
pembiayaan pelayanan kesehatan persen per
bagi penduduk miskin dan golongan tahun yang
rentan (bayi, disumbangkan
balita, ibu hamil dan lansia). sektor industri
Ketujuh, pemberdayaan masyarakat dan jasa
dan penanggulangan bencana dan masing-
krisis masing
kesehatan, dengan meningkatkan: sebesar 8,70
(a) upaya perubahan perilaku dan persen dan
kemandirian 8,60 persen,
masyarakat untuk hidup sehat; (b) serta sektor
pengembangan sarana dan prasarana pertanian
serta sebesar 6,43
peraturan dalam rangka mendukung persen.
upaya kesehatan berbasis Capaian-
masyarakat; (c) capaian
mobilisasi masyarakat dalam rangka tersebut di
pemberdayaan, advokasi, kemitraan atas
dan diharapkan
peningkatan sumber daya akan
pendukung; (d) keterpaduan memperbaiki
pemberdayaan masyarakat di posisi
bidang kesehatan dengan kegiatan Sulawesi
yang berdampak pada income Selatan
generating; (e) terutama IPM
evakuasi, perawatan dan pengobatan yang berada
korban pada daerah bencana; (f) pada kisaran
kemitraan 9-14 terbaik di
bidang kesehatan dengan organisasi Indonesia.
masyarakat; (g) kemandirian
masyarakat dalam menanggulangi
dampak kesehatan akibat bencana;
dan (h) pengembangan sistem
peringatan dini untuk penyebaran
informasi terjadinya wabah dan
peningkatan
kesiapsiagaan masyarakat.
Kedelapan, peningkatan pelayanan
kesehatan primer, sekunder dan
tersier,
melalui: (a) peningkatan jumlah
rumah sakit dan puskesmas serta
jaringannya,
terutama pada daerah terpencil,
perbatasan, dan kepulauan serta
daerah dengan
aksesibilitas relatif rendah; (b)
peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan dasar dan
rujukan dalam bentuk pemenuhan
kebutuhan sarana, prasarana, dan
ketenagaan; (c)
peningkatan kualitas fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan yang
memenuhi standar
bertaraf internasional; (d)
penyediaan Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK) bagi
pelayanan kesehatan primer di
puskesmas; (e) peningkatan utilisasi
fasilitas kesehatan,
termasuk dengan menjalin
kemitraan dengan masyarakat dan
swasta; (f) peningkatan
akses dan kualitas pelayanan
kesehatan bagi lansia dan penduduk
di daerah rawan
bencana; dan (g) pengembangan
inovasi pelayanan kesehatan sesuai
masalah mendesak
setempat, misalnya kesehatan
perkotaan dan kesehatan kerja.
Kedelapan fokus prioritas tersebut
didukung oleh peningkatan kualitas
manajemen dan pembiayaan
kesehatan, sistem informasi, dan
ilmu pengetahuan dan
teknologi kesehatan, melalui: (a)
peningkatan kualitas perencanaan,
penganggaran dan
pengawasan pembangunan
kesehatan; (b) pengembangan
perencanaan pembangunan
kesehatan berbasis wilayah; (c)
penguatan peraturan perundangan
pembangunan
kesehatan; (d) penataan dan
pengembangan survailans dan
sistem informasi kesehatan
untuk menjamin ketersediaan data
dan informasi kesehatan; (e)
pengembangan
penguasaan dan penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi
kesehatan dalam bidang
kedokteran, kesehatan masyarakat,
rancang bangun alat kesehatan dan
penyediaan
bahan baku obat; (f) peningkatan
penapisan teknologi kesehatan dari
dalam dan luar
negeri yang cost effective; (g)
peningkatan pembiayaan kesehatan
untuk kegiatan
preventif dan promotif; (h)
peningkatan pembiayaan kesehatan
dalam rangka
pencapaian sasaran output dan
outcome; (i) peningkatan
pembiayaan kesehatan di
daerah untuk mencapai indikator
SPM; (j) penguatan advokasi untuk
peningkatan
pembiayaan kesehatan; (k)
pengembangan kemitraan dengan
penyedia pelayanan
masyarakat dan swasta; dan (l)
peningkatan efisiensi penggunaan
anggaran.
Upaya peningkatan akses dan
kualitas pelayanan kesehatan
tersebut juga
ditujukan untuk mengurangi
kesenjangan status kesehatan dan
gizi masyarakat
antarwilayah, gender, dan
antartingkat sosial ekonomi,
melalui: (a) pemihakan
kebijakan yang lebih membantu
kelompok miskin dan daerah yang
tertinggal; (b)
pengalokasian sumberdaya yang
lebih memihak kepada kelompok
miskin dan daerah
yang tertinggal; (c) pengembangan
instrumen untuk memonitor
kesenjangan
antarwilayah dan antartingkat sosial
ekonomi; (d) peningkatan advokasi
dan capacity
building bagi daerah yang
tertinggal; (e) pendekatan
pembangunan kesehatan
berdimensi wilayah; dan (f)
penanggulangan daerah bermasalah
kesehatan (PDBK).

Tahapan Dan Skala VISI, MISI,


Prioritas TUJUAN
IV.2.1 RPJM ke-1 (2005 DAN
– 2009) SASARAN
meningkatkan kualitas 1. Visi
dan akses masyarakat Pembanguna
terhadap pelayanan n Daerah
pendidikan dan kesehatan Berdasarkan
pemahaman
IV.2.2 RPJM ke-2 (2010 atas
– 2014) permasalahan/
Kesejahteraan rakyat isu strategis
terus meningkat pembangunan
ditunjukkan oleh yang potensil
membaiknya berbagai dihadapi pada
indikator pembangunan periode 2013-
sumber daya manusia, 2018, arahan
antara lain meningkatnya dari RPJPD
derajat kesehatan dan Sulawesi
status gizi masyarakat; Selatan, serta
arahan dari
IV.2.3 RPJM ke-3 (2015 visi
– 2019) RPJMN 2010-
Kesejahteraan rakyat 2014, visi
terus membaik, pembangunan
meningkat sebanding daerah
dengan tingkat Sulawesi
kesejahteraan negara- Selatan 2013-
negara berpenghasilan 2018 adalah:
menengah, dan merata Sulawesi
yang didorong oleh Selatan
meningkatnya sebagai Pilar
pertumbuhan ekonomi Utama
yang berkualitas yang Pembanguna
disertai terwujudnya n Nasional
lembaga jaminan sosial. dan Simpul
Kualitas sumber daya Jejaring
manusia terus membaik Akselerasi
ditandai oleh Kesejahteraa
meningkatnya derajat n
kesehatan dan status gizi Dalam
masyarakat rumusan visi
ini ada tiga
IV.2.4 RPJM ke-4 (2020 pokok visi
– 2024) yakni pilar
Kesejahteraan utama
masyarakat yang terus pembangunan
meningkat ditunjukkan Indonesia,
oleh makin tinggi dan simpul
meratanya tingkat jejaring, dan
pendapatan masyarakat akselerasi
dengan jangkauan kesejahteraan.
lembaga jaminan sosial Penjelasan
yang lebih menyeluruh; masing-
mantapnya sumber daya masing pokok
manusia yang berkualitas visi adalah
dan berdaya saing, antara sebagai
lain ditandai oleh berikut.
meningkat dan meratanya Pilar Utama
akses, tingkat kualitas, Pembanguna
dan relevansi pendidikan n Nasional
seiring dengan adalah
meningkatnya derajat gambaran
kesehatan dan status gizi tentang posisi
masyarakat Sulawesi
Selatan
pada tahun
2018 yang
menjadi acuan
dan
berkontribusi
nyata terhadap
solusi
persoalan
mendasar
bangsa
Indonesia.
Persoalan
mendasar
tersebut
khususnya
dalam
perwujudan
katahanan,
kemandirian
dan
kedaulatan
pangan di
mana
Indonesia
masih
mengimpor
beras,
garam, jagung
dan daging.
Sulawesi
Selatan juga
lebih berperan
dalam
mengembangk
an pola
ideal
perwujudan
kehidupan
religius dan
kerukunan
antar umat
bergama,
selain dapat
mengembangk
an tata
kehidupan
berbangsa,
bernegara dan
bermasyarakat
, khususnya
pada
pengembanga
n demokrasi,
dalam
substansi dan
konteks yang
sesuai dengan
cara dan
karakter
Sulawesi
Selatan.
Simpul
Jejaring
adalah
gambaran
tentang posisi
Sulawesi
Selatan pada
tahun 2018
yang
semakin
menempatkan
dirinya
sebagai pusat
pertumbuhan
dan
perkembangan
luar pulau
Jawa,
pusat
pelayanan
barang dan
jasa, hub
pendidikan,
hub
kesehatan,
serta hub
perhubungan
darat,
laut dan
udara. Dengan
posisi
demikian,
Sulawesi
Selatan
semakin kuat
mensinergikan
kemajuan
kabupaten dan
kota serta
semakin
bersinergi
dengan
perkembangan
regional,
nasional dan
internasional.
Akselerasi
Kesejahteraa
n adalah
gambaran
tentang proses
dan hasil
perubahan
pada
masyarakat
Sulawesi
Selatan
melalui
pengelolaan
keragaman
modal
manusia,
sosial,
budaya,
alam, fisik,
dan finansial
sehingga
dapat
mempercepat
perwujudan
kemakmuran
ekonomi,
kesejahteraan
sosial dan
kelestarian
lingkungan
yang
berkeadilan
dan
berkelanjutan.
Pada saat
itu,
pertumbuhan
ekonomi
berada di atas
rata-rata
nasional,
pendapatan
perkapita
lebih dari
Rp.30 juta,
angka
pengangguran
dan angka
kemiskinan
berada di
bawah rata-
rata nasional.
Agroindustri
berkembang
pesat sebagai
kelanjutan
dari
perkembangan
agribisnis,
sementara
industri
manufaktur
dan
pertambangan
akan
berkontribusi
signifikan
dalam struktur
perekonomian
. Kondisi ini
merupakan
fase akhir era
tinggal landas
dan
merupakan
awal
kematangan
ekonomi yang
sudah
menunjukkan
terbentuknya
kelas
menengah dan
civil society
dengan
jumlah yang
signifikan.
2. Misi
Pembanguna
n Daerah
Untuk
mewujudkan
visi tersebut,
misi yang
akan
dijalankan
pada 2013-
2018 adalah:
1. Mendorong
semakin
berkembangn
ya masyarakat
yang religius
dan
kerukunan
intra
dan antar
ummat
beragama;
2.
Meningkatkan
kualitas
kemakmuran
ekonomi,
kesejahteraan
sosial dan
kelestarian
lingkungan;
3.
Meningkatka
n akses dan
kualitas
pelayanan
pendidikan,
kesehatan
dan
infrastruktur
;
4.
Meningkatkan
daya saing
daerah dan
sinergitas
regional,
nasional dan
global;
5.
Meningkatkan
kualitas
demokrasi dan
hukum;
6.
Meningkatkan
kualitas
ketertiban,
keamanan,
harmoni sosial
dan kesatuan
bangsa;
7.
Meningkatkan
perwujudan
kepemerintaha
n yang baik
dan bersih.
3. Tujuan
Pembanguna
n Daerah
Untuk
terwujudnya
visi
pembangunan
daerah maka
tujuan
pembangunan
daerah yang
hendak
dicapai pada
2018 adalah:
1.
Berkembangn
ya masyarakat
yang religius
dan
kerukunan
intra dan antar
umat
beragama;
2.
Meningkatnya
kemakmuran
ekonomi,
kesejahteraan
sosial dan
kelestarian
lingkungan;
3.
Meningkatny
a akses dan
kualitas
pelayanan
pendidikan,
kesehatan
dan
infrastruktur
;
4.
Meningkatnya
daya saing
daerah dan
sinergitas
regional,
nasional dan
global;
5.
Meningkatnya
kualitas
penyelenggara
an demokrasi
dan
penegakan
hukum;
6.
Meningkatnya
kualitas
ketertiban,
keamanan,
harmoni
sosial, dan
kesatuan
bangsa;
7.
Meningkatnya
kualitas
penyelenggara
n
kepemerintaha
n yang baik
dan bersih.
D. Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi 2011-2015

Mengingat waktu untuk mencapai tujuan MDGs tahun 2015 sangat


pendek, maka sepanjang tahun 2011-2015 pembangunan yang berkeadilan harus
dilaksanakan melalui berbagai pendekatan baru yang membawa perubahan di
tingkat eksekutif, legislatif, dan masyarakat untuk implementasi program yang
fokus, intensif, dan berkelanjutan. Pendekatan baru tersebut adalah:
1. Prioritas pelayanan kesehatan dan gizi berkelanjutan harus difokuskan
pada periode emas kehidupan yaitu masa ibu prahamil, masa ibu hamil
(janin dalam kandungan), bayi dan anak baduta dengan paket intervensi
kesehatan-gizi yang sudah terbukti efektif.
2. Peningkatan aksesibilitas pangan di tingkat rumah tangga pada wilayah
sangat rawan pangan dan wilayah rawan pangan melalui pengembangan
desa mandiri pangan dan lumbung pangan masyarakat, percepatan
diversifikasi pangan sumber daya local dan pengembangan agroindustri di
perdesaan untuk memperluas lapangan kerja.
3. Peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap serta perubahan
perilaku/budaya konsumsi pangan masyarakat kearah konsumsi pangan
yang semakin beragam, bergizi seimbang, dan aman
4. Penerapan standar keamanan pangan berdasarkan kajian resiko,
meneruskan teknologi inovatif yang tepat guna, memberdayakan
pemerintah daerah dalam peningkatan pengawasan, kuantitas
dan kualitas pengawas makanan dan mengembangkan system
kewaspadaan pangan dan gizi.
5. Penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui upaya
mendorong kebijakan sehat bidang pangan dan gizi, penguatan
pengawasan sosial, pembinaan PHBS di rumah tangga, dan
internalisasinya dalam kurikulum pendidikan di sekolah dasar dan
menengah.
6. Peningkatan kemitraan dan kerjasama multi-sektor dalam lembaga
nasional pangan dan gizi yang efektif, serta membentuk badan yang
bersifat paralel sampai tingkat daerah.
Rencana Aksi
Negara-negara yang tergabung dalam PBB dalam sidang tahun 2010 telah
sepakat bahwa untuk mencapai tujuan MDG1, percepatan dan kelestarian
pencapaian tujuan pembangunan pangan dan gizi perlu difokuskan pada upaya-
upaya sebagai berikut:
1. Peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian secara simultan akan
berdampak tidak saja pada penurunan kelaparan tetapi juga pada penurunan
kematian ibu dan anak melalui perbaikan gizi, serta tingginya pendapatan
keluarga dan pertumbuhan ekonomi. Terkait dengan upaya ini petani penggarap
perlu akses langsung pada pupuk, bibit unggul, peralatan pertanian, irigasi air
setempat dan lumbung pasca panen.
2. Ketahanan pangan diarahkan pada pemerataan akses pada pangan yang
beragam mengacu pada konsumsi makanan lokal dan kebutuhan gizi yang
berbeda pada setiap kelompok masyarakat. Wilayah sangat rawan dan rawan
pangan mendapat prioritas utama untuk distribusi pangan termasuk makanan
pendamping ASI bagi keluarga miskin dan distribusi makanan fortifikasi.
3. Paket intervensi dengan pendekatan pelayanan berkelanjutan difokuskan
pada ibu pra-hamil, ibu hamil, bayi dan anak baduta.
4. Implementasi program standar emas makanan bayi dengan inisiasi
menyusu dini, pemberian ASI eksklusif sampai usia bayi 6 bulan, pemberian
makanan pendamping ASI secara bertahap dari makanan keluarga dan ASI
dilanjutkan hingga anak berusia 2 tahun, baik pada kondisi stabil maupun dalam
keadaan darurat akibat bencana. Mengacu pada kesepakatan global tersebut,
kebijakan dan strategi pangan dan gizi nasional untuk periode 2011-2015
dirumuskan sebagai berikut.
A. Tujuan
1. Menurunnya prevalensi gizi kurang anak balita menjadi 15,5 persen,
2. Menurunnya prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32 persen, dan
3. Tercapainya konsumsi pangan dengan asupan kalori 2.000 Kkal/orang/hari.
B. Kebijakan dan Strategi Pangan dan Gizi Nasional
Penanganan masalah gizi memerlukan upaya komprehensif dan
terkoordinasi, mulai proses produksi pangan beragam, pengolahan, distribusi
hingga konsumsi yang cukup nilai gizinya dan aman dikonsumsi. Oleh karena itu
kerjasama lintas bidang dan lintas program terutama pertanian, perdagangan,
perindustrian, transportasi, pendidikan, agama, kependudukan, perlindungan anak,
ekonomi, kesehatan, pengawasan pangan dan budaya sangat penting dalam rangka
sinkronisasi dan integrasi kebijakan perbaikan status gizi masyarakat.
Kesepakatan yang telah dicapai pada beberapa pertemuan di tingkat dunia
untuk mempercepat pencapaian MDGs telah direspons dengan komitmen nasional
untuk menyediakan sumber daya terutama untuk sektor prioritas seperti
pendidikan dan kesehatan, penambahan lapangan kerja dan mengurangi
kesenjangan antara keluarga kaya dan keluarga miskin melalui program distribusi
pangan keluarga miskin, program keluarga harapan, program memandirikan
masyarakat dan pemberian subsidi kebutuhan pokok untuk masyarakat miskin.
Kebijakan
Peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan anak melalui
ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan
sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme koordinasi lintas
bidang dan lintas program serta kemitraan.
Strategi
1. Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu pra-hamil, ibu hamil dan
anak melalui peningkatkan ketersediaan dan jangkauan pelayanan
kesehatan berkelanjutan difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu
pra-hamil, ibu hamil, bayi, dan anak baduta.
2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam melalui peningkatkan
ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang difokuskan pada keluarga
rawan pangan dan miskin.
3. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui
peningkatkan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada
makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah tangga
(PIRT) tersertifikasi.
4. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui
peningkatkan pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta
non formal terutama dalam perubahan perilaku atau budaya konsumsi
pangan yang difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan
berbasis sumber daya lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta
merevitalisasi posyandu.
5. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan
kelembagaan pangan dan gizi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten
dan kota yang mempunyai kewenangan merumuskan kebijakan dan
program bidang pangan dan gizi, termasuk sumber
daya serta penelitian dan pengembangan.
C. Kebijakan dan Strategi Pangan dan Gizi Provinsi
Tabel Intervensi Strategi 5 Pilar dengan Stratifikasi Provinsi

Berikut kebijakan, strategi, dan nama provinsi dari masing-masing strata:


1. Strata 1: Provinsi dengan Prevalensi Pendek pada Anak Balita < 32
persen dan Proporsi Jumlah Penduduk dengan Rata-rata Asupan
Kalori < 1.400 Kkal/orang/hari sebesar < 14,47 persen
Kebijakan: Melanjutkan penurunan prevalensi kurang gizi pada ibu dan
anak dan mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat, agar berkontribusi
terhadap percepatan pencapaian MDGs 1, 4, 5 dan 6.
Strategi:
a. Peningkatan aksesibilitas pangan dengan mengembangkan
pemetaan kabupaten dan kota berdasarkan indikator prevalensi
pendek anak balita dan asupan kalori < 1.400 Kkal/orang/hari
untuk prioritas penanganan wilayah.
b. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi dengan harmonisasi
Rencana Aksi Pangan dan Gizi di tingkat kabupaten dan kota untuk
mencapai target MDGs.
c. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui
peningkatan akses informasi dan edukasi tentang PHBS bidang
pangan dan gizi kepada individu, keluarga, dan masyarakat
terutama untuk menanggulangi gizi lebih dan penyakit tidak
menular terkait gizi.
d. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan dengan
menjaga mutu dan keamanan pangan termasuk makanan jajanan,
produk industri rumah tangga (PIRT), dan air minum
e. Perbaikan gizi masyarakat dengan mengukur panjang/tinggi
badan semua anak baduta setiap 6 bulan selama bulan distribusi
kapsul vitamin A. Provinsi: Kepulauan Riau, Bengkulu, dan Bali.
2. Strata 2: Provinsi dengan Prevalensi Pendek pada Anak Balita < 32
persen dan Proporsi Jumlah Penduduk dengan Rata-rata Asupan
Kalori < 1.400 Kkal/orang/hari sebesar > 14,47 persen
Kebijakan: Melanjutkan penurunan prevalensi kurang gizi pada ibu dan
anak dan meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat terutama di daerah
sangat rawan pangan.
Strategi:
a. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi dengan meningkatkan
sumber daya termasuk anggaran dan SDM bidang pangan.
b. Peningkatan aksesibilitas pangan dengan: (i) meningkatkan
aksesibilitas pangan beragam untuk memenuhi asupan kalori minimal
2000 Kkal/orang/hari terutama bagi rumah tangga miskin, daerah
terpencil dan daerah perbatasan dan (ii) mempercepat
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang
bermutu dan aman.’
c. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan dengan
meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan
d. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan
meningkatkan pemberdayaan masyarakat untuk mencapai kemandirian
keluarga khususnya remaja dan perempuan dalam berperilaku hidup
bersih dan sehat termasuk sadar gizi
e. Perbaikan gizi masyarakat dengan memfokuskan pelayanan
berkelanjutan pada ibu pra-hamil, ibu hamil dan anak baduta dengan
intervensi paket pelayanan kesehatan dan gizi.
Provinsi: Bangka Belitung, Jambi, Kalimantan Timur, DI Yogyakarta,
DKI Jakarta Raya, Sulawesi Utara, Maluku Utara dan Papua.
3. Strata 3: Provinsi dengan Prevalensi Pendek pada Anak Balita > 32
persen dan Proporsi Jumlah Penduduk dengan Rata-rata Asupan
Kalori < 1.400 Kkal/orang/hari sebesar < 14,47 persen
Kebijakan: Mempercepat penurunan prevalensi kurang gizi pada ibu dan
anak dan mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat untuk mencapai
asupan kalori 2000 Kkal/orang/hari.
Strategi:
a. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi dengan (i)
mengembangkan peta SDM terkait gizi termasuk D3 gizi dan petugas
kesehatan lain untuk identifikasi kesenjangan deskripsi pekerjaan dan
kompetensi petugas dan (ii) menjamin implementasi SPM bidang
kesehatan dan bidang pangan.
b. Perbaikan gizi masyarakat dengan mengembangkan kebijakan dan
strategi untuk kegiatan aksi yang menjangkau semua perempuan pra-
hamil dan ibu hamil dengan paket pelayanan kesehatan reproduksi dan
gizi, termasuk program penanggulangan WUS KEK dan anemia, dan
peningkatan program keluarga berencana serta dengan mendorong
pengembangan dan penerapan kebijakan sehat terkait pangan dan gizi
termasuk pemberian ASI Eksklusif (0-6 bulan) dan makanan
pendamping ASI (6-24 bulan) berbasis sumberdaya pangan lokal,
pemasaran makanan formula untuk anak, dan konsumsi garam
beryodium
c. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan
mengutakan gerakan pemberdayaan masyarakat untuk mendukung
PHBS bidang pangan dan gizi melalui peningkatan kemitraan lintas
sektor, swasta, dan peran serta organisasi sosial kemasyarakatan
d. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan dengan
meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan
e. Peningkatan aksesibilitas pangan dengan mengembangkan pemetaan
kabupaten dan kota berdasarkan indikator prevalensi pendek anak
balita dan asupan kalori < 1.400 Kkal/orang/hari untuk prioritas
penanganan wilayah.
Provinsi: Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Banten, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat, dan Nusa Tenggara Barat.
4. Strata 4: Provinsi dengan Prevalensi Pendek pada Anak Balita > 32
persen dan Proporsi Jumlah Penduduk dengan Rata-rata Asupan
Kalori < 1.400 Kkal/orang/hari sebesar > 14,47 persen
Kebijakan: Mempercepat penurunan prevalensi gizi kurang pada ibu dan
anak dan peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang beragam untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Strategi:
a. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi dengan (i) meningkatkan
kemitraan dan kerjasama multi-sektor dalam badan pangan dan gizi tingkat
provinsi yang efektif dan badan yang bersifat paralel di tingkat kabupaten
dan kota, (ii) memantau dengan intensif implementasi program terkait
dengan pengentasan kemiskinan termasuk meningkatkan anggaran yang
mampu mengungkit kinerja utama kabupaten dan kota, (iii)pemutakhiran
deskripsi pekerjaan untuk SDM terkait pangan dan gizi di semua tingkat
(provinsi, kabupaten dan kota, kecamatan dan desa/kelurahan) untuk
memenuhi kebutuhan tenaga sesuai dengan arah program pangan dan gizi,
termasuk memberikan insentif kepada petugas yang bekerja di area
penduduk yang tak terlayani, dan (iv) peningkatan advokasi dan sosialisasi
pengembangan kebijakan sehat mendukung pangan dan gizi di semua
jenjang administrasi.
b. Perbaikan gizi masyarakat dengan meningkatkan ketersediaan dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan pada ibu dan anak
sejak janin dalam kandungan, persalinan, neonatal, bayi dan anak baduta
dengan paket intervensi gizi efektif.
c. Peningkatan aksesibilitas pangan dengan meningkatkan aksesibilitas
pangan yang beragam, aman, dan bergizi seimbang untuk memenuhi
asupan kalori minimal 2.000 Kkal/orang/hari terutama bagi rumah tangga
miskin, daerah terpencil dan daerah perbatasan.
d. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan
meningkatkan pemberdayaan perempuan dan keluarga dalam menerapkan
PHBS temasuk sadar gizi.
e. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan dengan
meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan
Provinsi: Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua Barat.

Berdasarkan analisis situasi pangan dan gizi pada tingkat nasional maupun
regional, serta perumusan kebijakan dan strategi pangan dan gizi tingkat nasional
dan provinsi, maka disusun matrikss rencana aksi pangan dan gizi yang berisikan
tentang program dan kegiatan, indikator, serta target tahunan beserta alokasi
anggaran indikatif dari berbagai sektor yang akan terlibat dalam implementasi
rencana aksi di tingkat nasional yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian
Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional,
Kementerian PPN/Bappenas, dan Badan POM. Penyusunan program dan kegiatan
didasarkan atas pendekatan 5 pilar pangan dan gizi yaitu gizi masyarakat,
aksesibilitas pangan, mutu dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat,
serta kelembagaan pangan dan gizi.
BAB III

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah

1. Masalah gizi masyarakat di Indonesia adalah KEP, Stunting, Anemia Gizi


Besi, KVA, GAKY, BBLR, KEK, Obesitas, selain itu kesenjangan status
kesehatan dan gizi masyarakat antarwilayah dan antartingkat sosial
ekonomi masih lebar.
2. Masalah pangan di Indonesia adalah dinamika ekonomi pangan global
yang berkaitan dengan stabilisasi harga pangan di Indonesia yang masih
terganggu, ancaman krisis pangan di belahan bumi lain bahkan lebih
menakutkan, terutama karena pertambahan penduduk, pemanasan global
dan ketidakpastian iklim serta ancaman ekologis karena keterlambatan
adaptasi dan mitigasi peruabahan iklim, ketahanan pangan Indonesia
menghadapi tantangan yang semakin kompleks karena beberapa
kecenderungan global di atas, musim kemarau panjang tahun ini yang
diperkirakan menurunkan produksi pangan strategis.
3. Bagaimana dokumen-dokumen perencanaan Indonesia dan Sulawesi
Selatan menjawab masalah gizi dan pangan adalah RPJPN, RPJMN,
RPJPD, dan RPJMD
4. Rencana aksi nasional pangan dan gizi berisi kebijakan umum dan lebih
spesifik ke provinsi yang memiliki strategi lima pilar utama.
DAFTAR PUSTAKA

Bappenas, 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015.

Budi Santosa, Purbayu, 2013. Tantangan Masalah Pangan. http://feb.undip.ac.id.


Universitas Diponegoro, fakultas Ekonomi dan Bisnis

Departemen Kesehatan RI. Laporan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas)


Indonesia tahun 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2010.
Dewan Ketahanan Pangan, 2009. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-
2014. Jakarta
Jafar, Nurhaedar, 2012. Peranan Gizi Pada Anemia ibu Hamil. Makassar:
Universitas Hasanuddin
Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Sadar Gizi, Republik Indonesia, 2012.

Laksono, Agung, 2012. SambutanMentri Koordinator Bidang Kesejahteraan


Rakyat. Dikutip dari Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 HPK, 2012.

Lampiran PPRI No.5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka


Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 12 tahun 2008 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Memengah Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2008-2013

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025

RPJPD Sulawesi Selatan Tahun 2008-2028

Thaha, A.Razak. 2011. Pemilihan Prioritas Program Gizi di Indonesia Tahun


2011-2012. Dalam Seminar Nasional Kaukus Kesehatan Dewan
Perwakilan Rakyat RI. Jakarta. http://sr.cdt31.org [online]

WHO dan CDC, Worldwide prevalence of Vitamin A Deficiency 1993–2005


WHO Global Database on Anaemia. www.whqlibdoc.who.int

www.WHO.int

Anda mungkin juga menyukai