Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM

PRINSIP TEKNIK PERTANIAN


“PENGARUH VARIASI SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF
UDARA PENGERING, SERTA KADAR AIR TERHADAP
PROSES DAN WAKTU PENGERINGAN SAMPEL BIJI-
BIJIAN”
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Prinsip Teknik Pangan

Disusun oleh
Nama : Rian Sopian
NIM : 4444190054
Tanggal : 26 September
Kelompok : 6 (Enam)

JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

0
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam jumlah
yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Hasil dari proses
pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan kadar
air keseimbangan udara normal atau setara dengan nilai aktivitas air yang aman
dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis dan kimiawi. Proses pengeringan suatu
material padatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain luas permukaan
kontak antara padatan dengan fluida panas, perbedaan temperatur antara padatan
dengan fluida panas, kecepatan aliran fluida panas serta tekanan udara.
Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses perpindahan massa
dan perpindahan panas yang terjadi secara bersamaan. Proses perpindahan panas
yang terjadi dengan cara konveksi serta perpindahan panas secara konduksi dan
radiasi tetap terjadi dalam jumlah yang relatif kecil. Pertama-tama panas harus
ditransfer dari medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan
air, uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium
sekitarnya. Proses ini akan menyangkut aliran fluida dengan cairan harus
disediakan untuk menguapkan air dan air harus mendifusi melalui berbagai
macam tahanan agar dapat lepas dari bahan dan berbentuk uap air yang bebas.
Lama proses pengeringan tergantung pada bahan yang dikeringkan dan cara
pemanasan yang digunakan.
Dehidrasi adalah suatu cara atau proses (metode) pengurangan atau
penghilangan air dari dalam sel. Penjernihan adalah suatu cara atau proses
(metode) yang digunakan untuk menghilangkan warna asli suatu preparat supaya
ketika pemberian warna yang baru menjadi lebih sempurna daripada warna
aslinya. Fungsi dari dehidrasi pada metode pembuatan preparat dengan
penyelubungan agar parafin dapat terinfiltrasi dengan sempuna (Della, 2008).
Dehidrasi dilakukan setelah proses washing yang bertujuan untuk
mengeluarkan air dan jaringan, dalam prosesnya air harus dikelurkan dari

1
jaringan. Jika di dalam preparat lama akibat serangan dari bakteri maupun jamur
tersebut.
1.2 Tujuan
Adapun Tujuan dari praktikum kali ini adalah sebagai berikut
1. Mengetahui bagaimana pengaruh sifat psikometrik dari udara pengering
2. Mengetahui bagaimana kadar air biji-bijian berubah dengan suhu udara
pengeringan yang berbeda
3. Mengetahui pengaruh suhu udara pengering dan kelembaban relatif
terhadap waktu pengeringan

1.3 Hipotesis
Hipotesis yang terdapat dalam praktikum ini yaitu :
H0 : Variasi RH, Variasi Suhu, dan Variasi kadar air bahan tidak
berpengaruh terhadap waktu pengeringan.
H1 : Variasi RH, Variasi Suhu, dan Variasi kadar air bahan berpengaruh
terhadap waktu Pengeringan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengeringan
Pengeringan adalah pemisahan air dari bahan yang mengandung air dalam
jumlah kecil dengan mengalirkan udara melalui bahan. Pengeringan adalah
mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan pangan dengan
cara menguapkan sebagian air yang terkandung dalam bahan pangan dengan
menggunakan energi panas. Penghilangan kadar air dengan tingkat kadar air yang
sangat rendah mendekati kondisi “bone dry” (King, 1971).
Pengeringan merupakan metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkannya hingga kadar air
keseimbangan dengan kondisi udara normal atau kadar air yang setara dengan
nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis dan kimiawi
(Treybal, 1981).
Pengeringan (drying) zat padat berarti pemisahan sejumlah kecil air atau zat
cair lain dari bahan padat, sehingga mengurangi kandungan sisa zat cair di dalam
zat padat itu sampai suatu nilai terendah yang dapat diterima. Pengeringan
biasanya merupakan alat terakhir dari sederetan operasi, dan hasil pengeringan
biasanya siap untuk dikemas (Mc. Cabe, 1993). Secara umum, perbedaan
pengeringan (drying) dan peguapan (evaporation) adalah jumlah air yang
diuapkan dari material. Pada proses drying hanya mengurangi sejumlah kecil
kadar air dari material sementara evaporation mengurangi kadar air dari material
dalam jumlah yang besar. Pada beberapa kasus, kadar air dalam padatan dikurangi
secara mekanik dengan proses pemerasan, sentrifuging, dan berbagai cara lain
(Geankoplis, 1993).
Dalam operasi pengeringan pada sistem udara-air ada beberapa definisi yang
lazim digunakan. Perhitungan teknis biasanya didasarkan pada satuan massa gas
bebas uap. Uap yang dimaksud adalah bentuk gas dari komponen yang juga
terdapat dalam fasa cair. Sedangkan gas adalah komponen yang hanya terdapat
dalam bentuk gas saja (Geankolis, 1993).

3
Pengeringan merupakan operasi pengurangan kadar air bahan padat sampai
batas tertentu sehingga bahan tersebut bebas terhadap serangan mikroorganisme,
enzim, dan insekta yang merusak. Secara lebih luas, pengeringan merupakan
proses yang terjadi secara simultan antara perpindahan panas dari udara
pengeringan ke bahan yang dikeringkan dan terjadi penguapan uap air dari bahan
yang dikeringkan. Pengeringan dapat terjadi karena adanya perbedaan
kelembapan antara udara kering dengan bahan yang dikeringkan (Mujumdar,
2006).

2.2 Klasifikasi Proses Drying


Menurut pengoprasiannya, drying dibagi menjadi dua proses yaitu kontinyu
(sinambung) dan batch. Operasi drying secara batch dalam kenyataannya
merupakan operasi semibatch, dimana sejumlah bahan yang akan dikeringkan,
ditebarkan dalam suatu aliran udara yang kontinyu sehingga sebagian kandungan
air diuapkan. Dalam operasi secara kontinyu, bahan yang akan dikeringkan dan
udara mengalir secara kontinyu melewati suatu peralatan. Untuk mengurangi suhu
pengeringan, beberapa pengering beroperasi dalam vakum (Mc. Cabe, 1993).
Beberapa pengering dapat menangani segala jenis bahan, tetapi ada pula yang
sangat terbatas dalam hal umpan yang ditanganinya. Pokok pengering (dryer)
dibagi menjadi dua jenis yaitu, pengering (dryer) dimana zat yang dikeringkan
bersentuhan langsung dengan gas panas (biasanya udara) disebut pengering
adiabatik (adiabatic dryer) atau pengering langsung (direct dryer) dan pengering
(dryer) dimana kalor berpindah dari zat ke medium luar, misalnya uap yang
terkondensasi, biasanya melalui permukaan logam yang bersentuhan disebut
pengering non adiabatik (non adiabatic dryer) atau pengering tak langsung
(indirect dryer) (Mc. Cabe, 1993).
Dalam operasi pengeringan pada sistem udara-air ada beberapa definisi yang
lazim digunakan. Perhitungan teknis biasanya didasarkan pada satuan massa gas
bebas uap. Uap yang dimaksud adalah bentuk gas dari komponen yang juga
terdapat dalam fasa cair. Sedangkan gas adalah komponen yang hanya terdapat
dalam bentuk gas saja (Geankolis, 1993).

4
2.3 Mekanisme Pengeringan
Mekanisme pengeringan adalah bagian terpenting dalam teknik pengeringan
karena dengan mengetahui mekanisme pengeringan dapat diperkirakan jumlah
energi dan waktu proses optimum untuk tujuan pengawetan dengan pengeringan.
Energi yang dibutuhkan dalam pengeringan terutama adalah berupa energi panas
untuk meningkatkan suhu dan menambah tenaga pemindahan air. Waktu proses
erat kaitannya dengan laju pengeringan dan tingkat kerusakan yang dapat
dikendalikan akibat pengeringan (Afrianti, 2008).
Air dalam padatan ada yang terikat baik atau tidak terikat. Metode untuk
menghilangkan kadar air terikat yaitu penguapan. Penguapan terjadi ketika
tekanan uap dari kelembaban pada permukaan padat sama dengan tekanan
atmosfer. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan suhu kelembaban ke titik didih.
Fenomena semacam ini terjadi di pengering roller. Jika bahan kering adalah panas
sensitif, maka temperatur dimana penguapan terjadi yaitu, titik didih dapat
diturunkan dengan menurunkan tekanan. Jika tekanan diturunkan di bawah titik
tripel, maka tidak ada fase cair dapat eksis dan kelembaban dalam produk beku.
Penambahan panas menyebabkan sublimasi es langsung ke uap air seperti dalam
kasus pengeringan beku (Mujumdar, 2006).

2.4 Laju Pengeringan


Setiap material yang akan dikeringkan memiliki karakteristik kinetika
pengeringan yang berbeda-beda bergantung terhadap struktur internal dari
material yang akan dikeringkan. Kinetika pengeringan memperlihatkan perubahan
kandungan air yang terdapat dalam material untuk setiap waktu saat dilakukan
proses pengeringan. Dari kinetika pengeringan dapat diketahui jumlah air dari
material yang telah diuapkan, waktu pengeringan, konsumsi energi. Menurut Mc.
Cabe (1993), parameter-parameter dalam proses pengeringan untuk mendapatkan
data kinetika pengeringan adalah:
1. Moisture Content (X)
Moisture Content (X) menunjukkan kandungan air yang terdapat dalam
material untuk tiap satuan massa padatan. Moisture content (X) dibagi dalam 2
macam yaitu basis kering (X) dan basis basah (X’). Moisture content basis kering

5
(X) menunjukkan rasio antara kandungan air (kg) dalam material terhadap berat
material kering (kg). Sedangkan moisture content basis basah (X’) menunjukkan
rasio antara kandungan air (kg) dalam material terhadap berat material basah (kg).
Persamaan untuk menghitung moisture content basis kering adalah:
W −Ws
X t=
Ws
Dimana,
Xt = moisture content basis kering
W = berat bahan basah (kg)
Ws = berat bahan kering (kg)
2. Drying Rate (N, kg/m2s )
Drying rate (N, kg/m2s ) menunjukkan laju penguapan air untuk tiap satuan
luas dari permukaan yang kontak antara material dengan fluida panas. Persamaan
yang digunakan untuk menghitung laju pengeringan menurut Treybal (1981)
adalah:
WsdX t
R=-
A dt

Dimana,
R = laju pengeringan (kg H2O yang diuapkan/jam.m2)
Ws = berat bahan kering (kg)
A = luas permukaan bahan (m2)
Xt = moisture content basis kering (kg H2O/kg bahan kering)
T = waktu (jam)
Menurut Taib (1988), untuk mengetahui laju pengeringan perlu mengetahui
waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan suatu bahan dari kadar air tertentu
sampai kadar air yang diinginkan pada kondisi tertentu, maka bisa dilakukan
dengan cara:
1. Drying Test
Drying test yaitu hubungan antara moisture content suatu bahan vs waktu
pengering pada temperatur, humidity, dan kecepatan pengering tetap. Kandungan
air dari suatu bahan akan menurun karena adanya pengeringan, sedangkan
kandungan air yang hilang akan semakin meningkat seiring dengan penambahan

6
waktu hingga pada waktu (t) tertentu padatan mencapai keseimbangan kadar air
dan proses pengeringanpun berhenti. Untuk hubungan antara laju pengeringan
(drying rate) terhadap waktu adalah pada tahap awal, laju pengeringan akan
berjalan meningkat untuk selanjutnya menuju pada skala konstan dan menurun
bahkan berhenti dikarenakan padatan telah mencapai keseimbangan dengan air .

Gambar 2.1 Kurva hubungan moisture content suatu bahan dan drying rate
terhadap waktu (Perry dan Green, 1984)

2. Menggunakan Kurva Laju Pengeringan


Kurva laju pengeringan menunjukkan hubungan antara laju pengeringan vs
kandungan air, kurva ini terdiri dari 2 bagian yaitu periode kecepatan tetap dan
pada kecepatan menurun.

Gambar 2.2 Kurva hubungan laju pengeringan terhadap moisture content


suatu bahan (Treybal, 1981)

7
Dalam penelitian tentang pengeringan bunga rosella oleh Yuariski dan
Suherman (2012), laju pengeringan konstan (constant drying rate) tidak
diperoleh. Yang diperoleh hanyalah falling rate (hubungan antara X (moisture
content) vs dx/dt (laju pengeringan pada berbagai suhu). Hal ini terjadi karena
kelopak bunga rosella yang dikeringkan termasuk jenis tanaman agrikultur.
Dimana pada umumnya pengeringan tanaman agrikultur tidak diperoleh laju
pengeringan konstan. Periode falling rate banyak ditemukan pada pengeringan
produk biologikal. Laju pengeringan selama periode falling rate disebabkan
karena gradien konsentrasi dari kandungan air di dalam matriks buah. Pergerakan
kandungan air internal ini sebagai hasil dari beberapa mekanisme yaitu difusi
cairan, aliran kapiler, aliran yang disebabkan shrinkage, dan gradien tekanan.

8
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum yaitu cabinet drier, termometer, RH
meter, oven, dan timbangan analit, softaware virtual experiment Rpaulsingh.
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu biji bunga matahari,
dan biji jagung.

3.2 Cara Kerja


Adapun cara kerja yang digunakan pada praktikum ini yaitu:

Kadar air awal ditentukan terlebih dahulu


dengan oven vakum

Disebarkan pada layar wire mesh dan


dimulai pada blower

Biji jagung dan


Dicatat suhu dan kelembapan
biji bunga udara
matahari

Sampel diambil dari saringan mesh


pada beberapa interval periodik dan
ditentukan kadar air

Sampel dipilih dan dilakukan


kelembaban relatif udara, suhu udara,
kadar air awal dan waktu pengeringan

Hasil data berupa perubahan kadar air


dengan waktu.

9
3.3 Pengolahan Data
Adapun tabel variasi pada percobaan kali ini yaitu:
Kode Variabel tetap Variabel bebas
A1 Variasi RH T: 70oC RH : 20
A2 RH : 30
KA: 80%
A3 RH : 40
B1 Variasi Suhu Udara RH : 50% T: 45
B2 T: 60
Pengering KA : 80%
B3 T: 75
C1 Variasi Kadar Air Bahan RH : 50% KA: 75
C2 KA :50
T : 45oC
C3 KA : 25

Pada praktikum laboratorium ini diperoleh data perubahan kadar air dengan
waktu pengeringan untuk berbagai suhu dan kelembaban udara pengering.
Menggunakan data ini membuat plot kadar air vs waktu. Menggunakan kadar air
vs plot waktu, tentukan pengaruh suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada
pengeringan.

10
BAB IV
DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Data
Adapun data yang diperoleh pada praktikum ini, sebagai berikut:

Moisture Content in dry basis(%)


Corn
90
Sunflower Seed
80
70
100
60 A1
50
50 A2
40
30 A3
20 0
10 0 200 400 600 800
0
0 100 200 300 400 500 600 700
Time (min)
Gambar 1. Grafik Sampel Jagung (A)
Gambar 2. Grafik Sampel Kuaci (A)

100 Corn, Yellow Dent Sunflower B1-B3


Moisture Content

80 100
Moisture Conent

60 80
in dry basis

60 B1 T: 45C
40 40 B2 T: 60 C
20 20 B3 T: 75 C
0 0
0 100 200 300 400 500 600 700
0 100 200 300 400 500 600 700
Time (min)
Time
Gambar 3. Grafik Sampel Jagung (B) Gambar 4. Grafik Sampel Kuaci (B)

C- Jagung C-Kuaci
80 80
70 70
60
60
50
50 40
40 30
30 20
10
20 0
10 0 100 200 300 400 500 600 700
0
0 100 200 300 400 500 600 700 C1 C2 C3
Gambar 5. Grafik Sampel Jagung (C) Gambar 6. Grafik Sampel Kuaci (C)

11
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini akan melakukan percobaan virtual experiment
mengenai pengeringan. Alat yang digunakan pada praktikum yaitu cabinet drier,
termometer, RH meter, oven, dan timbangan analit, softaware virtual experiment
Rpaulsingh. Adapun bahan yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu biji
bunga matahari, dan biji jagung.
Pengeringan merupakan proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam
jumlah yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Hasil dari
proses pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan
kadar air keseimbangan udara normal atau setara dengan nilai aktivitas air yang
aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis dan kimiawi. Proses pengeringan
suatu material padatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain luas
permukaan kontak antara padatan dengan fluida panas, perbedaan temperatur
antara padatan dengan fluida panas, kecepatan aliran fluida panas serta tekanan
udara.
Untuk melakukan praktikum pengeringan mula-mula kadar air awal
ditentukan terlebih dahulu menggunakna oven vakum, kemudian disebarkan pada
layar wire mesh dan dimulai pada blower, setelah itu sampel dimasukan kemudian
suhu dan kelembapan udara dicatat, kemudian sampel diambil dari saringan mesh
pada beberapa interval periodik dan ditentukan kadar air, Sampel dipilih dan
dilakukan kelembaban relatif udara, suhu udara, kadar air awal dan waktu
pengeringan, setelah itu hasil data berupa perubahan kadar air dengan waktu pun
keluar.
Ada 3 buah variasi yang digunakan apda praktikum kali ini, yang pertama
adalah Variasi RH dengan variabel tetap T: 70oC dan KA: 80% dengan RH : 20,
RH : 30, dan RH : 40. Variasi Kedua adalah Variasi Suhu Udara Pengering
dengan variabel tetap RH 50% dan 80%, serta variabel bebas T sebanyak 45,60,
dan 75. Untuk variasi terakhir adalah variasi kadar air bahan dengan variabel tetap
RH :50% dan T 45oC dengan variabel bebas KA Sebanyak 75, 50, dan 25.
Dari praktikum yang dilakukan kali ini diperoleh data seperti diagram diatas,
pada gambar 1 dan 2 percobaan menggunakan variasi RH yang berbeda grafik
yang ditunjukan pada sampel A1, A2, dan A3 perubahan yang terjadi tidak terlalu

12
berbeda antara sampel 1 dan sampel lainya sedangkan pada gambar 3 dan 4
dengan menggunakan dengan menggunaka variasi suhu yang berbeda pada
sampel b1, b2, dan b3 sampel jagung hasil akhir yang diperoleh sangat berbeda
dibandingkan hasil akhir sampel kuaci sedankan gambar 5 dan 6 yang
menggunakan variasi kadar air bahan yang berbeda pada sampel c jagung yang
ditunjukan oleh gambar 5 memperoleh hasil akhir yang sangat berbeda
dibandingkan dengan sampel kuaci yang ditunjukan pada gambar 6 grafik
memiliki nilai akhir yang sama.
Perbedaan nilai akhir yang berbeda antara sampel kuaci dan jagung
dipengaruhi pola suhu dalam pengering, gejala perubahan suhu dalam pengering
ditentukan oleh sifat bahan umpan dan kandungan zat cairnya, temperatur medium
pemanas, waktu pengeringan, serta temperatur akhir yang dapat ditoleransi dalam
peneringan zat padat tersebut.
Dalam pengering batch yang menggunakan medium pemanas dengan suhu
tetap, temperatur zat padat yang basah itu meningkat dengan cepat dari nilai awal
Tsa menjadi temperatur penguapan Tv. Pada pengering non-adiabatik yang tidak
menggunakan gas pengering, Tv dapat dikatakan sama dengan titik didih zat cair
pada tekanan yang terdapat dalam pengering. Jika digunakan gas pengering, atau
jika pengeringan berlangsung adiabatik, Tv adalah temperatur wet bulb (yang
sama dengan temperatur jenuh adiabatik apabila gasnya adalah udara dan zat cair
yang diuapkan adalah air. Penguapan berlangsung pada Tv selama beberapa
waktu. Artinya, sebagian besar zat cair itu diuapkan pada temperatur jauh di
bawah temperatur medium pemanas. Menjelang tahap akhir pemanasan itu,
temperatur zat padat naik sampai Tsb yang dapat lebih tinggi sedikit atau bahkan
jauh lebih tinggi dari Tv (Treybal, 1981).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengeringan, yang pertama adalah
luas permukaan. Menurut King (1971), makin luas permukaan bahan makin cepat
bahan menjadi kering. Air menguap melalui permukaan bahan, sedangkan air
yang ada di bagian tengah akan merembes ke bagian permukaan dan kemudian
menguap. Untuk mempercepat pengeringan umumnya bahan pangan yang akan
dikeringkan dipotong-potong atau di iris-iris terlebih dulu. Hal ini terjadi karena:

13
(1) Pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluas permukaan bahan
dan permukaan yang luas dapat berhubungan dengan medium pemanasan
sehingga air mudah keluar.
(2) Potongan-potongan kecil atau lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana
panas harus bergerak sampai ke pusat bahan pangan. Potongan kecil juga akan
mengurangi jarak melalui massa air dari pusat bahan yang harus keluar ke
permukaan bahan dan kemudian keluar dari bahan tersebut.
Kedua adalah perbedaan suhu dan udara di sekitarnya. Menurut Perry dan
Green, (1984), Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan
bahan pangan makin cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan makin cepat
pula penghilangan air dari bahan. Air yang keluar dari bahan yang dikeringkan
akan menjenuhkan udara sehingga kemampuannya untuk menyingkirkan air
berkurang. Jadi dengan semakin tinggi suhu pengeringan maka proses
pengeringan akan semakin cepat. Akan tetapi bila tidak sesuai dengan bahan yang
dikeringkan, akibatnya akan terjadi suatu peristiwa yang disebut "Case
Hardening", yaitu suatu keadaan dimana bagian luar bahan sudah kering
sedangkan bagian dalamnya masih basah.
Ketiga ada Kecepatan aliran udara, Makin tinggi kecepatan udara, makin
banyak penghilangan uap air dari permukaan bahan sehinngga dapat mencegah
terjadinya udara jenuh di permukaan bahan. Udara yang bergerak dan mempunyai
gerakan yang tinggi selain dapat mengambil uap air juga akan menghilangkan uap
air tersebut dari permukaan bahan pangan, sehingga akan mencegah terjadinya
atmosfer jenuh yang akan memperlambat penghilangan air. Apabila aliran udara
disekitar tempat pengeringan berjalan dengan baik, proses pengeringan akan
semakin cepat, yaitu semakin mudah dan semakin cepat uap air terbawa dan
teruapkan (Fadilah, 2010).
Ke empat ada tekanan udara. Semakin kecil tekanan udara akan semakin
besar kemampuan udara untuk mengangkut air selama pengeringan, karena
dengan semakin kecilnya tekanan berarti kerapatan udara makin berkurang
sehingga uap air dapat lebih banyak tertampung dan disingkirkan dari bahan
pangan. Sebaliknya jika tekanan udara semakin besar maka udara disekitar

14
pengeringan akan lembab, sehingga kemampuan menampung uap air terbatas dan
menghambat proses atau laju pengeringan (King, 1971).
Terakhir adalah kelembapan udara, Semakin lembab udara maka semakin
lama pengeeringan sedangkan semakin kering udara maka makin cepat
pengeringan. Karena udara kering dapat mengabsorbsi dan menahan uap air.
Setiap bahan mempunyai keseimbangan kelembaban dengan nisbi masing-
masing. Kelembaban pada suhu tertentu dimana bahan tidak akan kehilangan air
(pindah) ke atmosfer atau tidak akan mengambil uap air dari atmosfer. Menurut
Treybal (1981), mekanisme keluarnya air dari dalam bahan selama pengeringan
adalah sebagai berikut:
1. Air bergerak melalui tekanan kapiler.
2. Penarikan air disebabkan oleh perbedaan konsentrasi larutan disetiap bagian
bahan.
3. Penarikan air ke permukaan bahan disebabkan oleh absorpsi dari lapisan-
lapisan permukaan komponen padatan dari bahan.
4. Perpindahan air dari bahan ke udara disebabkan oleh perbedaan tekanan uap.

15
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum yang berjudul “PENGARUH
VARIASI SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF UDARA PENGERING,
SERTA KADAR AIR TERHADAP PROSES DAN WAKTU PENGERINGAN
SAMPEL BIJI-BIJIAN” bahwa Variasi RH, Variasi Suhu, dan Variasi kadar air
bahan berpengaruh terhadap waktu Pengeringan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, Leni H. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Alfabeta. Bandung.


Della, 2008. Dehidrasi. Sinar Jaya: Surabaya.
Fadilah, dkk. 2010. Pengaruh Metode Pengeringan Terhadap Kecepatan
Pengeringan Dan Kualitas Karagenan Dari Rumput Laut Eucheuma Cottonii.
Program Studi Teknik Kimia FT Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Geankoplis, Christie J. 1993. Transport Process and Unit Operations, third
edition. Allyn and Bacon Inc. Boston.
King, C. J. 1971. Freeze Drying of Foods. Chemical Rubber Co., Inc. Boca Raton,
Fla.
Mc. Cabe, W.L. 1993. Unit Operation of Chemical Engineering, 3rd ed. McGraw-
Hill Book Co. New York.
Mujumdar, A. 2006. Handbook of Industrial Drying, 3rd ed. CRC Press.
Singapura.
Perry, R. H., and Green, D. (1984). Perry’s Chemical Engineer’s Handbook, 6th
ed. McGraw-Hill Book Company. New York.
Taib, Gunarif. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. PT.
Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Treybal, R.E. 1981. Mass Transfer Operations, Chapter: Humidification and
Drying.

17
LAMPIRAN

A-Jagung A-Kuaci
80 100
80
40 60
40
0
0 20
00 00 00 00 00 00
20 40 60 80 100 120 0
0 100020003000400050006000

A1 A2 A3 A1 A2 A3
Gambar 1. Grafik Jagung (A) Gambar 2. Grafik Kuaci (A)
B-Jagung B-Kuaci
100 100
80 80
60 60
40 40
20 20
0 0
0 20000 40000 60000 0 1000 2000 3000 4000 5000

B1 B2 B3 A1 A2 A3
Gambar 3. Grafik Jagung (B) Gambar 4. Grafik Kuaci (B)
C-Jagung 60 C- Kuaci
60 50
Waktu (menit)

40
40
30
20 20
0 10
0 100000 200000 300000 0
0 Kuaci C1 1500 Kuaci
500 1000 2000 C2
2500
A1 A2 A3 KuaciKadar
C3 Air
Gambar 5. Grafik Jagung (C) Gambar 6. Grafik Kuaci (C)

18
Gambar 1. A1 Kuaci

Gambar 2. A2 Kuaci

Gambar 3. A3 Kuaci

19
Gambar 4. A1 Jagung

Gambar 5. A2 Jagung

Gambar 6. A3 Jagung

20
21

Anda mungkin juga menyukai