Sastra Kita,
Kritik, dan
Lokalitas
komodo books
Desain Sampul:
Tugas Suprianto
Visualisasi Isi:
Tim Komodo Books
ISBN 978-602-98260-6-7
ii SUHARDI
Sambutan
Walikota Tanjungpinang
iv SUHARDI
Sambutan Rektor
Universita s Maritim Raja A li Haji
Tanjungpinang
vi SUHARDI
Pengantar Penulis
viii SUHARDI
Daftar Isi
x SUHARDI
• Bau Busuk dalam Cerpen “Aroma Bangkai
Depan Rumah Mantan Penghulu” 185
• Saya dalam Cerpen “Berebut Kursi
Penghulu Barebarelanglang” 190
• Novel “Rasa Memang Tak Pernah Bisa Dipaksa”
Nilai Rasa di Mata Pengarang 194
• Cerpen Riki Utomi “Gadis Pelantai”:
Potret Guru Masa Depan 198
• Tema Cinta dalam Cerpen Indonesia 201
• Cita-Cita, Realitas, dan Izin Allah 205
• Alam dan Kritikan Pedas atas
Pengrusakan Hutan dalam Sajak 208
• Tiga Langkah Memahami Sajak Rumahitam 121211 212
• Permainan Personifikasi dalam Sajak 216
4 SUHARDI
dalamnya tidaklah akan berarti apa-apa jika tidak dilakukan
penggalian dan disampaikan kepada masyarakat Indonesia,
termasuk dalam hal ini tentunya sastra lisan yang terdapat di
Provinsi Kepulauan Riau. Pandangan Djamaris tersebut juga
sesuai dengan Keputusan Kongres Bahasa Indonesia V Tahun
1998 yang menegaskan bahwa dalam waktu dekat akan
menerbitkan buku hasil-hasil penelitian sastra lisan/sastra
nusantara. Selain untuk melestarikan keberadaan sastra lisan
tersebut juga untuk memotivasi masyarakatnya untuk mau terus
menggali kekayaan budaya yang dimiliki bangsanya. Hal ini
tentunya juga untuk menepis pandangan sebagian masyarakat
bahwa sastra lisan sarat dengan hayalan semata. Lebih jauh
Djamaris (1994:16) menyatakan bahwa misi sastra lisan adalah
memberikan ajaran moral kepada penikmatnya di samping
memberikan hiburan. Semua itu sangat bermanfaat penikmatnya
karena sastra itu sendiri mengandung nilai-nilai kehidupan,
moral, hukum, dan sebagainya. Sastra lebih membentuk
penikmatnya menjadi bangsa yang beradab, bangsa yang selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan sopan santun.
Ajip Rosidi (1995:128) salah seorang sastrawan senior
Indonesia mengatakan, “Di beberapa negara,sastra lisan telah
diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini sehingga anak-anak
sejak dini telah mengenal bentuk-bentuk sastra lisan yang ada di
daerahnya. Kondisi ini tentu jauh berbeda jika dibandingkan
dengan yang terjadi di Indonesia. Terutama sejak kegiatan
mendongeng hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Penyebabnya adalah tuntutan ekonomi keluarga yang semakin
tinggi, anak-anak lebih banyak dibesarkan oleh pembantu
ketimbang orang tuanya sendiri. Dari satu sisi kebutuhan materi
mungkin dapat dipenuhi akan tetapi kebutuhan jiwa tentunya
6 SUHARDI
Dengan demikian, tidak dapat dikatakan berimajinasi
tidaklah ada gunanya. Seorang pengusaha sukses awalnya juga
dimulai dari sebuah khayalan bagaimana mereka dapat menjadi
pengusaha sukses. Dengan usaha yang gigih ternyata benar
kemudian mereka menjadi pengusaha sukses. Simpulannya,
tidak selalu khayalan itu tidak berguna, bahkan sebagian besar
menjadi sesuatu yang sangat luar biasa.
8 SUHARDI
sastrawan. Selanjutnya, Seger mengatakan teks sastra adalah
seperangkat tanda-tanda verbal eksplisit, terbatas dan
terstruktur serta fungsi estetisnya dirasakan dominan pembaca.
10 SUHARDI
Konsepsi Estetik dalam sastra
Seni yang universal belum ada. Teori estetik secara implisit
dalam sastra Indonesia tradisional sampai hari ini belum
ditemukan. Namun, konsepsi estetik Sastra Melayu Klasik dan
puisi Jawa kuno sudah ada ditemukan seorang peneliti Rusia,
Braginsky. Dari hasil penelitiannya, Braginsky menyimpulkan
bahwa: (1) Keindahan aspek ontologis, keindahan puisi sebagai
pem-bayaran kekayaan Tuhan sang Maha Pencipta. Berkat
kekayaan keindahan daya cipta-Nya, sastrawan atau penyair
dapat menuangkan keindahan mutlak berasal dari Tuhan ke
dalam karya seni dan sastra; (2) Keindahan aspek imanen,
keindahan tertuang melalui kata-kata hasil avokasi alam, seperti
taman dan ketertiban panca indera; dan, (3) Keindahan aspek
psikologis atau pramagtik, keindahan tercipta hasil interaksi jiwa
pembaca dengan teks, seperti timbulnya efek pembaca menjadi
heran, benci, emosi, dan kasihan.
12 SUHARDI
disampaikan secara lugas melainkan dalam bentuk kiasan atau
tersirat. Kritik tersebut dapat saja berupa kritik terhadap
kurangnya perhatian pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat atau kritik atas ketidakadilan yang
sering terjadi di dalam masyarakat. Pembaca biasanya akan
mampu menangkap kritik yang disampaikan penulis melalui teks
bacaan setelah mereka membacanya.
Analisis penemuan kritik yang disampaikan pengarang dalam
karyanya sangat menarik dilakukan sebab dengan cara seperti
ini kita akan mampu menemukan identitas pengarang itu sendiri.
Kita akan mampu mengetahui siapa pengarang sesungguhnya.
Analisis dapat saja dilakukan pada beberapa karya sastra yang
sudah ada, misalnya analisis kaba Gadih Ranti, Tuanku Lareh
Simawang, dan Rambun Pamenan karya Syamsuddin ST.R.
Endah. Ketiga kaba tersebut sangat kentara sekali mengandung
kritik pengarang terhadap penguasa yang ada saat cerita ini
ditulis. Sikap pengarang dengan cara memenangkan tokoh yang
bernama Bujang Saman dalam perkelahian dengan Angku Kapalo
(penguasa) dalam cerita kaba Gadih Ranti jelas sekali
memperlihatkan sikap pengarang yang tidak suka dengan
ketidakadilan (sikap Angku Kapalo), seperti suka memeras
rakyat, berlaku semena-mena, dan sebagainya yang menurut
pandangan pengarang perlu dihapus dan diperbaiki di masa
datang. Tokoh Bujang Saman merupakan tokoh simbol diri
pengarang sendiri. Bujang Saman adalah tokoh muda yang suka
membela dan menegakkan keadilan. Tokoh yang berani melawan
ketidakadilan.
Hal yang sama juga dapat dijumpai dalam kaba Tuangku
Lareh Simawang, yaitu sebuah kitik pengarang terhadap
penguasa saat itu. Kritik terhadap kebiasaan buruk para
14 SUHARDI
memperlihatkan bahwa pengarang tidak suka dengan penguasa
yang zalim. Pengarang mengajak pembaca untuk selalu mene-
gakkan kebenaran di muka bumi ini dan mencegah kemung-
karan. Pengarang selalu menghimbau kepada para penguasa
untuk selalu berbuat adil, menjauhi kezaliman, dan selalu melihat
kondisi rakyatnya. Jangan lupa diri dan jangan korup. Semua itu
memperlihatkan dengan jelas kepada para pembaca bahwa
pengarang memang hati nuraninya masyarakat.
16 SUHARDI
dikemukakan Budi Darma dan kawan-kawan serta telah dimuat
di Republika sekitar tahun 1995.Menurut Budi Darma yang
menjadi penyebab tidak lahirnya sastra besar saat ini adalah
keadaan masyarakat saat ini yang mabuk dengan kesenangan.
Sastra besar hanya akan lahir jika situasi dalam masyarakat
sangat buruk, misalnya ada perang.
Pandangan yang sama juga dikemukakan Ayu Sutarto (salah
seorang pakar humaniora dari Universitas Jember (Batam Post,
8 Agustus 2004). Menurut Ayu Sutarto, ketika makhluk
penghuni bumi yang disebut manusia berubah menjadi
homoeconomus, sastra tidak lagi diposisikan sebagai produk
kebudayaan yang bermanfaat dan berpengaruh. Sastra hanya
diminati oleh segelintir orang dan terisolasi dari ruang publik
aktivitas manusia.
Oleh sebab itulah, tantangan yang paling berat dihadapi ke
depan adalah rendahnya minat masyarakat terhadap sastra dan
langkanya lahir karya-karya sastra besar yang mampu menya-
darkan manusia dari kehidupannya terhadap peran sastra.
Namun, di balik semua itu, saya berpandangan lain. Menurut
saya penyebab tidak lahirnya sastra besar saat ini adalah kurang
seriusnya para sastrawan menggali realitas yang ada saat ini
sebagai sumber data penulisan. Ketidakseriusan tersebut
disebabkan menulis hanyalah pekerjaan sampingan alias pengisi
waktu saja. Para sastrawan bekerja pada bidang lainnya demi
menghidupi keluarga dan kebutuhan hidupnya. Sampai hari ini
memang, pekerjaan menulis sastra tidak memberikan nilai
ekonomis yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sastrawan tidak bisa menggantungkan nasibnya pada karya
sastra itu sendiri. Sastrawan menulis karya sastra hanya untuk
melepaskan hobi saja. Situasi seperti ini sesungguhnya sangatlah
18 SUHARDI
biasanya yang dilakukan siswa hanyalah membaca sinopsisnya
saja. Dalam pembelajaran sastra di kelas siswa lebih banyak
didokrin tanpa diberikan kebebasan bagi siswa untuk menentu-
kan sendiri berdasarkan pengalaman bacanya. Contohnya dalam
penentuan tema cerita, biasanya yang paling benar adalah
pendapat dari gurunya. Siswa harus mengikutinya. Akibatnya,
siswa tidak memiliki rasa percaya diri yang tinggi sebab mereka
takut salah. Dengan demikian, siswa akan bersifat pasif, yaitu
menunggu pendapat dari gurunya.
Akibat dari sistem pembelajaran sastra yang demikian,
lulusan yang dihasilkan setiap sekolah (yang nantinya menjadi
anggota masyarakat) rendah kemampuan dan minat baca
sastranya. Inilah jenis masyarakat yang terlihat berikutnya.
Akibat lebih lanjut realitas tersebut adalah walaupun ada saat ini
karya sastra berkualitas lahir, akan tetapi karya sastra tersebut
tidak akan disentuh/dibaca. Buku-buku tersebut akan berdebu
terletak di toko buku sebab tidak pernah disentuh. Penerbitpun
akhirnya malas menerbitkan buku-buku yang berhubungan
dengan sastra sebab lama terjual.
Memang benar pandangan yang dikemukakan Ayu Sutarto
bahwa anak-anak sekarang lebih mengenal Doraemon, Kungfu
Boy, Inuyasha, dan Samurai X yang terdapat pada komik-komik
Jepang atau Superman, Batman, dan Spiderman yang terdapat
pada komik-komik Amerika ketimbang tokoh Hang Tuah, Sang
Kancil, Putri Sakdung, Dewi Sri, Putri Duyung, Awang Semaun,
Si Tenggang, Bundo Kanduang, dan Cindua Mato yang
kesemuanya itu sangat kaya dengan nilai-nilai kejujuran, kerja
sama, kasih sayang, tanggung jawab, dan keadilan. Nilai-nilai
tersebut sangat berguna sekali dalam membentuk kehidupan
masa depan yang lebih beradab.
20 SUHARDI
tinggi nilai rasanya, kepekaan, peradaban, dan lebih berbudaya.
Pembelajaran sastra di sekolah hendaknya tidak hanya
membahas aspek bahasa yang ada dalam karya sastra saja
melainkan juga penggalian nilai-nilai sastra yang terdapat dalam
karya sastra tersebut, seperti nilai etika, estetika, dan nilai moral.
Caranya adalah dengan menggali nilai instrinsik dan ekstrinsik
yang ada dalam karya sastra, misalnya tentang tema, amanat,
alur, latar, tokoh, watak tokoh, dan gaya bahasa. Baik dengan
menggunakan pendekatan mimesis, obyektif, pragmatik,
maupun ekspresif. Yang dibaca siswa hendaknya jangan buku
synopsis sastra melainkan karya sastra itu langsung. Hanya
dengan membaca karya secara langsunglah sentuhan batin
pembaca dapat terjadi.
Untuk dapat siswa menanggapi tentang sikap tokoh Datuk
Maringgih, pembaca harus dihadapkan dulu dengan novel Siti
Nurbaya. Tanpa demikian, mustahil respon baik siswa muncul.
Kelemahan yang terjadi selama ini adalah yang dibaca siswa lebih
banyak dalam bentuk buku-buku sinopsis karya sastra. Untuk
meningkatkan pengalaman baca sastra siswa ke depan juga perlu
dilakukan penyebaran buku-buku sastra yang berkualitas ke
berbagai sekolah. Hal ini agar siswa dapat mengenal dan
menangkap makna yang tersembunyi dalam karya tersebut.
Dalam hal ini diharapkan pihak pemerintah memiliki
perhatian mewujudkan kondisi yang demikian. Baik dalam
bentuk memberikan bantuan dana maupun karya-karya itu
langsung. Selain itu juga diharapkan pihak swasta yang memiliki
perhatian untuk memajukan dunia pendidikan nasional saat ini
yang sedang terpuruk. Selain itu, agar lahirnya karya sastra
berkualitas maka perlu ditingkatkan kesejahteraan para
sastrawan dan penyairnya sehingga mereka lebih bergairah
dalam melahirkan karya sastra.
22 SUHARDI
Realitas dan Imajina si
dalam Sastra
24 SUHARDI
itulah, sering dalam karya prosa (cerpen dan novel) perma-
salahan yang diangkatnya sering berhubungan dengan realitas
yang pernah terjadi di dalam masyarakat, seperti peristiwa
tenggelamnya kapal Tampomas II milik Pelni di tahun 1980-an
atau tenggelamnya kapal mewah dan tercepat pada masa itu
Titanic yang tenggelam akibat menabrak gunung es, dan
sebagainya.
Berkaitan dengan realitas tersebut maka lahir sebuah drama
keluarga yang berjudul Tampomas II; begitu juga akibat peristiwa
tenggelamnya kapal Titanic lahir film yang berjudul Titanic. Satu
hal yang perlu dicermati di sini adalah yang menjadi realitas hanya
pada kapal Tampomas II dan Titanic, sementara kisah sebuah
keluarga atau percintaan dua anak muda di kapal tersebut adalah
fiktif belaka.
Di dalam karya sastra yang berbentuk novel lainnya, juga
dapat dijumpai unsur-unsur realitas. Contohnya pada novel Siti
Nurbaya karangan Marah Rusli. Realitas yang terkandung di
dalamnya adalah di dalam masyarakat Minangkabau dulunya
memang jodoh seorang anak kemenakan ditentukan oleh mamak
(paman). Karena memang di dalam adat Minang itu sendiri
mamak memegang peranan penting. Mamak tidak hanya
bertugas menghidupi anak istrinya melainkan juga memiliki
tanggung jawab untuk memelihara kemenakannya. Hal ini
sebagaimana yang terdapat dalam pepatah adatnya yang
berbunyi, “Kaluak paku kacang balimbiang, timpuruang
lenggang-lenggangkan, dibaok urang ka Saruaso, anak
dipangku kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipateng-
gangkan, tenggang kampuang jaan binaso”. Dalam pepatah adat
tersebut juga terkandung bahwa tugas seorang mamak itu bahkan
tidak hanya membimbing anak-istri dan kemenakan melainkan
26 SUHARDI
imajinatif. Realitas yang hanya ada dalam pikiran pengarang
semata. Sementara Kapal van der Wicjk adalah kenyataan bahwa
pada zaman penjajajan Belanda dulunya adalah sebuah kapal yang
melayari kepulauan di Indonesia ini; dan kapal tersebut memang
tenggelam di laut Surabaya akibat terbakar.Gabungan unsur
realitas dan imajinasi dalam sebuah karya sastra akan menambah
karya sastra itu semakin indah. Bahkan ada pandangan yang
mengatakan bahwa semakin tinggi unsur imajinatif dalam sebuah
cipta sastra maka semakin bermutu karya sastra tersebut, begitu
juga sebaliknya.
Sementara itu, unsur imajinasi lebih kental dibanding realitas
dapat ditemukan pada novel-novel karya Iwan Simatupang. Saat
membaca karya tersebut pembaca memerlukan kosentrasi yang
tinggi pula karena imajinasi pengarang yang liar membawa
pembaca untuk lebih menghikmatinya . Begitu juga saat kita
membaca novel-novel buah karya Putu Wijaya, seperti Stasiun,
Telegram, Bom, atau Gress. Untuk memahami jalan pikiran Putu
dalam novelnya ini dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman
khusus.
Dengan adanya dua unsur yang mempengaruhi karya sastra,
sebuah karya yang hadir di depan mata kita bukanlah sesuatu
yang berbau unsur sejarah atau fakta saja, namun ada unsur
imajinasi. Oleh sebab itulah, Marah Rusli menuliskan bahwa Siti
Nurbaya dikuburkan di kaki Gunung Padang tidak pernah marah
dan menuntut pengarangnya karena telah membohonginya.
Pembaca sangat sadar bahwa pengarang telah bermain dengan
imajinasi.Pengarang senang sebab telah mampu menghiburnya
walaupun hanya sesaat.
Hal lain juga pernah terjadi, saat lahirnya cerpen yang ditulis
seseorang yang menggunakan nama samaran Ki Pandji Kusmin
28 SUHARDI
yang fakta. Andaikan yang ditulis Ki Pandji Kusmin adalah fakta
sejarah (buku sejarah) maka memang benar bahwa Ki Pandji
Kusmin harus diadili sebab telah berani mendustakan
fakta.Namun, sebaliknya jika yang dikemukakan Ki Pandji
Kusmin adalah fiktif (karya novel) maka selayaknya Ki Pandji
Kusmin tidak perlu diadili sebab Ki Pandji Kusmin sedang
menulis mimpi atau angan-angannya belaka. Semua itu
realitasnya hanya di dalam pikiran semata. Bukan realitas
sesungguhnya. Hal ini sama saja dengan orang yang sedang
bermimpi. Adakah larangan orang bermimpi. Undang-undang
negara mana sampai sekarang yang melarang orang bermimpi?
Apa yang dilakukan aparat yang telah mengadili H.B. Jassin
sebagai penanggung jawab ruangan sastra tersebut dari sisi lain
memang ada benarnya juga, mengingat masih banyak masyarakat
kita yang belum mendapat pendidikan yang cukup. Kelompok
inilah dikhawatirkan akan salah dalam memahami maksud karya
sastra karya Ki Panji Kusmin ini. Mereka menyamakan saja
antara karya fiksi dengan karya fakta.Mereka menyamakan saja
antara buku novel atau cerpen dengan buku-buku sejarah. Jika
memang benar demikian, maka sudah selayaknya juga buku
tersebut ditunda penerbitannya.
Oleh sebab itulah, inilah tugas kita kaum terdidik untuk
mencerdaskan mereka-mereka yang belum mendapatkan
pendidikan yang layak sehingga proses berpikir mereka lebih
bak di masa datang. Di sisi lain, mencekal karya sastra juga
merupakan perbuatan yang tidak baik sebab sama saja dengan
perbuatan menghentikan kreativitas seseorang. Bahkan karya
sastra juga merupakan media pendidikan dan pengetahuan yang
dibutuhkan masyarakat. Satu hal yang perlu dicermati di sini
30 SUHARDI
Kritikus Tidak Diperlukan Lagi?
32 SUHARDI
bukanlah orang sembarangan. Tentulah sangat berbeda bila
dibandingkan dengan orang kebanyakan. Sungguh yang tidak
masuk akal jika kritik yang dihasilkan orang kebanyakan lebih
baik ketimbang dari kritik yang diberikan oleh kritikus. Manalah
mungkin sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu. Saya setuju contoh yang dikemukakan Saudara Damhuri
(Kompas, 2 Januari 2011) bahwa tidaklah akan mungkin sama
emas bila dibandingkan dengan loyang. Tidaklah akan sama
kritik yang ditulis seorang selebiritis dengan kritik yang ditulis
seorang pakar kritik (kritikus). Kalaulah sama dokter umum
dengan dokter spesialis untuk apa dokter umum harus
mengambil spesialis, bukankah ini pekerjaan sia-sia?
Ketiga, akal sehat saya tidak menerima pandangan Saudara
Arif bahwa kritikus tidak dibutuhkan lagi saat ini sebab semua
orang dapat menjadi kritikus. Tunggu dulu! Kritikus seperti apa
yang semua orang dapat menjadi kritikus? Apakah hanya orang
yang dapat menghasilkan kririk saja terlepas berkualitas atau
tidak, atau memang kritik yang dihasilkan tersebut mumpuni.
Saya rasa hanya orang yang memiliki ilmu kritik sajalah yang
mampu menghasilkan kritik yang berkualitas.
Keempat, pembaca/pemirsa dapat diibaratkan seorang
nakhoda kapal yang sedang berlayar. Seorang nakhoda dapat
saja ia mau berlayar kemana saja akan tetapi satu hal yang perlu
diingat jika ia ingin selamat sampai tujuan dia pasti mem-
butuhkan yang namanya navigasi. Kalau tidak bisa-bisa kapalnya
menghantam karang atau tersesat.
Kelima, benarkah kritik sastra tidak perlu berupaya
membangun jembatan antara karya sastra dan pembaca karena
karya sastra tidak ditulis untuk menyembunyikan makna
34 SUHARDI
Krisis Kritik Sastra
dan Sepinya Penonton
36 SUHARDI
adalah pengarang itu sendiri. Kritikus sastra tidak terlalu tampak
peranannya di sini karena dia bukan pengarang atau penulis.
Dengan demikian, tidak banyaknya realitas yang ada diangkat
dalam karya sastra kemungkinan disebabkan pengarang itu
sendiri tidak mau atau tidak melihat ketimpangan yang ada di
sekitarnya.
Tentang tidak terlihatnya kontribusi hasil pelatihan kritikus
seni terhadap kuantitas kritik seni saat ini kemungkinan
disebabkan beberapa hal, yaitu (1) peserta pelatihan yang diikut-
sertakan kemungkinan besar bukan orang yang berlatar-
belakang kritikus seni sehingga setelah mereka ikut pelatihan
tidak ada kontribusi positif, seperti lahirnya kritik seni itu sendiri;
(2) ada kemungkinan peserta pelatihan tersebut adalah tokoh
politik sehingga setelah pelatihan kritik yang banyak lahir lebih
berbau politik ketimbang seni; (3) kemungkinan yang mendekati
kesempurnaan adalah pelatih yang dipilih bukan berasal dari latar
belakang kritikus melainkan tokoh politik sehingga yang terjadi
adalah banyak kritik yang muncul lebih berbau politik ketimbang
seni —mohon maaf jika saya keliru sebab saya tidak mengetahui
siapa saja peserta pelatihan dan siapa saja pelatihnya.
Selain itu,mengapa orang seperti Mursal Esten, lebih banyak
memberikan kritik politik ketimbang kritik seni ada kemung-
kinan beliau ingin menyempurnakan dirinya yang tidak hanya
memiliki perhatian terhadap budaya, melainkan juga perpoli-
tikan di Indonesia. Kalaulah berkaitan dengan bidang budaya
beberapa bukunya berkaitan dengan budaya dan kritik sastra
sudah banyak beredar dan digunakan sebagai rujukan penelitian
para mahasiswa di Indonesia. Satu hal positif yang dapat dilihat
pada budayawan Mursal Esten adalah ternyata beliau tidak hanya
menguasai ilmu budaya melainkan juga ahli dalam ilmu politik.
38 SUHARDI
Sinetron Tidak Membumi
***
40 SUHARDI
dijumpai.Mungkin bila diprosentasekan hanya ada 10%
saja.Sementara yang lainnya, yaitu 30% golongan menengah, dan
60% golongan bawah.Bukankah hal ini merupakan penipuan
atau ketidakjujuran yang dilakukan penulis atau sutradara
sinetron tersebut?Semua itu tidak ada yang membumi, yaitu
berangkat dari kondisi yang sesungguhnya.
Terkadang menyaksikan sebuah sinetron Indonesia tersebut
seolah pemirsa diajak oleh penulis skenario menghayal bebas,
seperti: angan-angan memiliki rumah mewah, mobil bagus, atau
pembantu cantik-cantik. Semua keadaan yang ditampilkan
dirasakan sangat jauh dari kenyataan yang ada di sekitar sebab
yang sering dijumpai hanyalah kehidupan masyarakat yang
prihatin, seperti: rumah yang tidak layak huni, tidak punya mobil
bagus, dan tidak ada pembantu yang cantik, dsb..Dari karya
sastra sejenis sinetron ternyata tidak dapat memperlihatkan
realitas masyaraat Indonesia yang sesungguhnya.
Bertolak dari kenyataan tersebut, para penulis skenario atau
sutradara hendaknya memilih sinetron yang menyajikan
permasalahan yang sangat dekat dengan realitas masyarakat
Indonesia yang sesungguhnya.Jangan masyarakat terlalu banyak
diajak berkhayal. Bukankah sebuah karya sastra yang baik itu
merupakan karya sastra yang mampu menggambarkan realitas
yang ada?Bukan mengada-ada.
Ada beberapa hal yang dapat ditimbulkan di masa datang
bila tidak cepat dilakukan revisi atau penanggulangannya.
Masyarakat Indonesia bukannya menjadi semakin sadar akan
keterpurukannya melainkan bertambah tidak tahu diri. Mereka
semakin berani berhutang untuk mendapatkan kemewahan
sementara kemampuannya tidak ada. Begitu juga mereka akan
melakukan apa saja demi memperoleh kemewahan itu sendiri,
42 SUHARDI
Sinetron: Sekedar Penjual Mimpi
44 SUHARDI
baik. Yang ada lebih banyak mengajak pemirsanya meng-
khayalkan sesuatu yang jauh dari kenyataan yang ada di
sekitarnya. Permasalahan yang diangkat sinetron Indonesia lebih
banyak adalah permasalahan masyarakat lapisan atas sementara
sebagian besar masyarakat Indonesia berada pada lapisan bawah.
Menyaksikan sinetron Indonesia laksana kita diajak bermimpi.
Efek yang dapat ditimbulkan oleh keadaan ini sangat buruk.
Orang akan mau berbuat dan melakukan apa saja untuk dapat
memiliki uang banyak, mobil mewah, dan rumah gedongan. Tak
peduli cara mendapatkan kemewahan itu: apakah dengan cara
mencuri atau melalui korupsi. Dunia sinetron kita tidak banyak
menyentuh sisi-sisi dramatis realitas masyarakat Indonesia yang
sesungguhnya.
Tidak adanya sinetron yang lahir dan mampu mengangkat
sisi dramatis dan realitas masyarakat Indonesia sehari-hari
sesungguhnya tersebut bukan disebabkan oleh tidak adanya
pengalaman dan keterampilan para sutradara dan produser film
TV kita.Hal ini lebih disebabkan oleh tidak adanya perhatian
dan kesadaran mereka ke arah tersebut.Mereka lebih mengejar
materiil ketimbang estetik .Namun, yang anehnya lagi memang
model seperti ini yang banyak disukai masyarakat saat ini.
Apakah masyarakat selaku pemirsa televisi kita memiliki selera
rendah? Hal itu bisa didiskusikan lebih lanjut, karena sinetron
yang berangkat dari realitas sosial juga banyak digemari
masyarakat. Yang jelas, produser dan sutradara sinetron lebih
banyak memproduksi sinetron mimpi ketimbang yang lebih
bermutu tinggi.
Jadi, adanya pernyataan yang mengatakan bahwa ketidak-
mampuan para sutradara, dan produser film TV dalam menyedia-
kan sinetron yang berkualitas (memberikan pengetahuan,
46 SUHARDI
Berangkat dari beberapa permasalahan di atas maka kalaulah
memang ada perhatian dan keinginan untuk memberikan
pengetahuan, pendidikan, dan hiburan kepada masyarakat
Indonesia di masa datang, tidak ada salahnya memperbaiki segala
kesalahan dan kekurangan masa lalu.Marilah kita bangun bangsa
ini secara bersama-sama guna lebih cepat bangsa ini lepas dari
keterpurukannya.Hal itu dapat dilakukan sesuai dengan
bidangnya masing-masing. Apakah ia sebagai seorang guru,
dosen, pakar politik, maupun para wakil rakyat.
48 SUHARDI
Djenar” (Republika, 28 Nopember 2004), dan sebuah esai sastra
yang diturunkan Sijori Mandiri (17 Oktober 2004) berjudul,
“Sastra Seksual dan Pembusukan Budaya”.
Esai sastra yang berjudul, “Seks, Sastra, Kita” ditulis oleh
Sunaryo Basuki Ks. (novelis dan guru besar Pendidikan Bahasa
dan Seni di IKIP Negeri Singaraja). Menurut Sunaryo judul
esainya ini dikutip dari artikel yang ditulis Goenawan Muhammad
yang berjudul “Seks, Sastra, Kita” —yang kemudian menjadi judul
buku yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, 1980. Menurut
Sunaryo apa yang terjadi hari ini merupakan sebuah efek dari
ucapan Goenawan Muhammad melalui artikelnya tersebut, yang
terkesan menyarankan realisasi deskripsi seks dalam sastra. Di
masa lalu sastrawan dituntut untuk dapat menyebarkan moral
yang baik kepada masyarakat, mendidik masyarakat untuk
menjadi insan yang bermoral, berdasarkan Pancasila. Sepanjang
pengetahuan saya hanya satu sastrawan masa lalu yang berani
keluar dari jalurnya. Dia adalah Montinggo Busye. Montinggo
Busye pada beberapa karyanya mencoba membeberkan masalah
seks secara blak-blakan dalam karyanya. Selanjutnya diikuti oleh
sastrawan Asbari Nurpatria dan Ali Sahab. Menurut Sunaryono,
kasus Montinggo Busye tidak dapat disamakan dengan kasus
yang terjadi pada sastrawan kita saat ini. Terutama bila dilihat
dari latar belakang, pengalaman, dan keterampilan yang dimiliki
Montinggo Busye. Sunaryono sangat menyayangkan mengapa
para sastrawan muda kita tidak mengalihkan saja tema-tema yang
bernuansa eksplorasi tubuh ke tema-tema kemasyarakatan yang
lebih mendesak.
Sejalan dengan Sunaryono, Fadlillah melalui esainya
berjudul “Teks-Teks Seks Sebagai Resiko dalam Sastra: Sebuah
Dekonstruksi untuk Goenawan Muhammad” (Kompas, 28
November 2004) berpandangan lain. Menurutnya, permasalahan
50 SUHARDI
persoalan yang sedang dihadapi kaum perempuan saat ini.
Contohnya kaum lelaki sering mempersoalkan masalah
keperawanan, tetapi apakah hal yang sama juga dipersoalkan
kaum lelaki. Walaupun demikian, Ayu Utami tidak membantah
bahwa saat ini banyak lahir novel-novel bertemakan seksual yang
ditulis oleh kaum perempuan dapat menimbulkan sensasi dan
kontroversi dalam masyarakat. Hal itu, menurut Ayu Utami,
lumrah saja. Memang inilah baru kondisi realitas masyarakat kita
saat ini. Sebuah masyarakat yang masih menganggap tabu dan
kontroversial jika mengupas persoalan seks. Sementara dalam
kehidupannya terjadi berbagai problem.
Selain itu, Ayu berharap pemilihan tema sekitar seks
hendaknya bukan tujuan akhir melainkan lebih merupakan
proses yang baik untuk mencapai keberanian perempuan dalam
menyatakan berbagai pendapatnya. Tokoh lain pun juga tidak
mau ketinggalan. Sastrawan Wan Anwar, sebagaimana dikutip
dari Media Indonesia, 9 Maret 2004, menyatakan bahwa marak-
nya tema-tema seks dalam novel yang ditulis kaum perempuan
semakin mengukuhkan bahwa masyarakat kita memang semakin
latah. Dalam hal ini, Wan Anwar memberikan contoh pada salah
seorang penyanyi dangdut yang namanya cepat naik daun
melalui goyang ngebor-nya.
Dadan Suwarna, dosen di Fakultas Sastra Universitas Pakuan
Bogor, melalu esainya yang berjudul “Menimbang-Nimbang
Cerpen Djenar” mencoba menengahi berbagai kritikan yang
dilontarkan masyarakat terhadap beberapa karya Djenar Maesa
Ayu yang dinilai sangat kontradiktif. Menurut Dadan, cacian dan
makian yang harus diterima sang penulis atas karya-karyanya
adalah sebuah resiko. Cacian itu harus diterima dengan lapang
dada. Selain itu, satu hal yang harus dipahami adalah ternyata
teks tersebut harus ditafsirkan juga sebagai teks yang naratif
52 SUHARDI
akan menimbulkan efek negatif; (4) Keberanian penulis
perempuan memunculkan adegan-adegan seks dalam karyanya
jelas menjadikan sastra perempuan rendah nilai estetiknya,
jumut, elistis, dan ekslusif; dan, (5) Jangan berharap seksualitas
fiksi perempuan akan mampu hadir sebagai karya sastra besar
dan dapat dibanggakan.
Terlepas dari semua itu, yang jelas munculnya karya sastra
yang berbau seksualitas yang ditulis penulis perempuan
menimbulkan kontroversi yang kuat di kalangan masyarakat.
Hal ini disebabkan masyarakat selama ini, harus diakui, masih
menganggap tabu membicarakan daerah sekitar selangkangan.
Apalagi untuk konsumsi seluruh pembaca dari berbagai jenis
umur. Padahal, masih banyak tema-tema sosial lain yang cukup
penting untuk dibicarakan dan diangkat menjadi tema sastra.
Memang ada benarnya juga yang dikemukakan Aguk bahwa niat
para penulis perempuan untuk mengangkat derajat kaum
perempuan yang selama ini terpinggirkan bisa berbalik menjadi
semakin terpinggirkan, tenggelam, dan hina sebab karya-karya
yang mereka hasilkan merusak budaya Timur kita yang begitu
santun dan bermartabat tinggi. Barangkali, para penulis
perempuan kita tersebut perlu banyak belajar lagi pada karya-
karya sastra yang ditulis sastrawan dunia agar mereka tidak
menjadi latah.
Selain permasalahan teks seks dalam karya sastra, seperti
novel dan cerpen, tema sastra penting lainnya yang juga terjadi
pada tahun 2004-an adalah permasalahan yang terjadi sekitar
pernyataan Sapardi Djoko Damono pada Sayembara Menulis
Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003 (yang kebetulan tiga
orang pemenangnya adalah kaum perempuan), bahwa masa
depan novel Indonesia berada di tangan perempuan karena lelaki
lebih bodoh, dan malas membaca. Pada tahun sebelumnya,
54 SUHARDI
Mitos dan Kontra Mitos
dalam Sastra
***
56 SUHARDI
dimaksud dengan mitos adalah sesuatu yang diyakini secara
umum oleh kelompok masyarakat tertentu dan kemudian
memberikan pengaruh terhadap pola tingkah laku dan pandangan
hidup masyarakat tersebut.
Berdasarkan rumusan tersebut maka dalam sebuah mitos
terkandung 3 unsur penting, yaitu (1) Segala sesuatu yang telah
menjadi keyakinan atau dipercayai oleh masyarakat dalam
kehidupan sehari-harinya; (2) Segala sesuatu yang telah diyakini
oleh kelompok masyarakat tersebut kemudian teraplikasi dalam
kehidupan masyarakat tersebut, baik secara individu maupun
kelompok; (3) Segala sesuatu yang telah diyakini tersebut
tercermin dalam pola tingkah laku sehari-harinya. Maksudnya,
bentuk-bentuk tingkah laku yang diperlihatkan sekelompok
masyarakat tersebut memperlihatkan adanya pengaruh mitos
tersebut. Contohnya, setiap malam ke-27 bulan Ramadhan setiap
rumah harus terang, termasuk di luar rumah. Karena munurut
mitosnya, pada malam tersebut akan turun para malaikat
mengecek dan mencatat segala amal baik umat Islam pada malam
itu. Rumah yang akan dikunjungi tersebut adalah rumah yang
terang di dalam dan luar rumah. Berdasarkan mitos ini juga maka
selalu setiap malam yang ke-27 umat Islam selalu menghiasi
rumahnya dengan berbagai bentuk penerangan, mulai dari
menyalakan pelita di sekeliling rumah sampai lampu-lampu
lainnya.
Bentuk mitos lainnya adalah keyakinan bahwa Malin Kundang
adalah memang anak durhaka. Ia telah durhaka terhadap ibunya
sendiri. Akibat kedurhakaannya tersebut ia dikutuk menjadi batu.
Mitos ini telah menjadi keyakinan yang menyerupai realitas
sesungguhnya. Umumnya masyarakat telah menerima cap buruk
terhadap Malin Kundang tersebut. Selalu saja kalau ada orang
tua bila anaknya agak nakal ditakut-takuti nanti dikutuk bisa
***
58 SUHARDI
memandang mitos tersebut tidak benar dan perlu diluruskan
maknanya. Dengan kata lain, terjadi bentuk kontra mitos.
Namun banyak mitos yang masih terjaga sapai sekarang,
termasuk yang berasal dari dunia sastra Indonesia. Cerita Malin
Kundang misalnya, diyakini masyarakat sebagai tokoh yang
durhaka, tokoh yang tidak berbalas budi, atau tokoh yang
dilaknat. Akibatnya, nama Malin Kundang menjadi mitos dalam
masyarakat. Tokoh ini sering digambarkan kepada anak-anak
agar jangan, seperti Malin Kundang si anak durhaka yang dikutuk
oleh ibunya sehingga menjadi batu. Bentuk mitos Malin Kundang
ini memang ampuh dalam mendidik anak-anak Minang
dahulunya.Mereka begitu yakin bahwa Malin Kundang tersebut
memang anak durhaka.
Begitu juga terhadap mitos Cinduamato.Cinduamato yang
dikenal sebagai tokoh yang jujur dan tidak memiliki nafsu birahi.
Begitu juga terhadap tokoh yang bernama Bundo Kanduang
sebagai tokoh yang maha sakti. Cinduamato berhasil membawa
Puti Bungsu dari Sungai Ngiang Pagaruyuang tanpa cacat. Bundo
Kanduang yang hanya disebabkan meminum air kelapa gading
dapat hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Dang
Tuangku. Bahkan Rasyid Manggis (1990:10) menyatakan bahwa
mitos Cinduamato sebgai mitos utama kerajaan Minangkabau,
menjadi rujukan dan acuan sejumlah nilai dan tingkah laku yang
ideal anggota masyarakat.
Seiring perkembangan zaman, beberapa bentuk mitos
tersebut sekarang ditolak keberadaannya.Wisran Hadi dengan
beberapa bentuk karya parodinya melakukan kontra mitos
terhadap mitos Malin Kundang. Melalui teks sandiwara yang
ditulisnya, berjudul “Malin Kundang” yang di dalamnya mengi-
sahkan tentang tokoh Malin Kundang. Wisran berusaha
meyakin-kan ibunya bahwa ia masih hidup. Ia tidak mungkin
60 SUHARDI
Menghidupkan Sanggar Sastra
di Sekolah
62 SUHARDI
mengusulkan agar pengajaran sastra tidak digabungkan dengan
pengajaran bahasa. Maksudnya, pengajaran sastra terpisah
dengan pengajaran bahasa. Selain itu, Taufik menyarankan guru
sastra sebaiknya adalah mereka lulusan fakultas sastra atau
mereka dari kalangan maniak sastra. Namun dilematika yang
akan terjadi adalah siswa sekolah menengah tidak dipersiapkan
untuk menjadi seorang penulis. Mereka lebih dipersiapkan untuk
mampu masuk perguruan tinggi. Oleh sebab itulah, pengajaran
di sekolah menengah lebih banyak bersifat teoritis ketimbang
aplikatif. Selain itu juga, siswa di jenjang sekolah menengah lebih
dipersiapkan untuk sukses menghadapi Ujian Nasional yang
memang lebih banyak berhubungan dengan teori ketimbang
praktek.
Ketiga, karena guru kita saat ini bukan berlatar belakang
penulis sastra, maka sampai saat ini sangat langka kita jumpai
buku-buku antologi sastra buah karya para guru sastra kita.
Kondisi ini tentunya di masa datang pasti akan berubah sebab
saat ini saya sudah melihat perkembangan terbaru. Beberapa
cipta sastra buah karya para mahasiswa calon guru yang telah
menghiasi halaman sastra dan budaya koran ini. Merekalah yang
akan mengubah kondisi yang ada saat ini.
Dan, keempat, beberapa indikator problematika pengajaran
sastra yang terjadi sekolah saat ini berdampak langsung pada
rendahnya motivasi penulisan sastra di kalangan siswa.
Walaupun demikian, tidak ada juga salahnya memang jika
para siswa kita saat ini tidak hanya dibekali dengan teori sastra
melainkan juga dibekali dengan pengalaman menulis karya
sastra. Apalagi di beberapa sekolah saat ini telah memiliki sanggar
sastra. Untuk memaksimalkan peranan sanggar sastra yang ada
di sekolah tersebut sudah saatnya pihak pimpinan sekolah (baca:
64 SUHARDI
Kongres Cerpen Indonesia Mutakhir III
Upaya Pembongkaran Ideologi
66 SUHARDI
Sebagaimana juga yang dikemukakan S. Prasetyo Utomo
bahwa surat kabar telah memberikan kontribusi yang cukup
besar dalam memajukan dunia sastra Indonesia. Surat kabar telah
berfungsi sebagai media ekspresi sastra, membentuk resepsi
estetika pembaca, mensponsori penerbitan buku kumpulan
cerpen terbaik (seperti yang dilakukan Kompas) dan telah
menjadi media komunikasi masyarakat.
Tingginya jumlah pertumbuhan karya cerpen Indonesia
mutakhir selama ini tidak diimbangi oleh pertumbuhan kritikus
sastra. Sejak tiadanya kritikus handal Indonesia HB Jassin, dunia
kritik sastra Indonesia seolah-olah sedang terjadi kevakuman.
Hal ini sebagaimana terbukti dengan tidak lahirnya hingga hari
ini kritikus handal yang menyamai HB Jassin. Kondisi ini
mengakibatkan, antara pengarang, karya sastra dan pembaca
tidak terjadi komunikasi yang mesra. Kondisi seperti ini tentu
tidak boleh dibiarkan berlalu begitu lama. Secepatnya perlu
dicarikan solusinya. Sayang jika berbagai karya sastra indah yang
telah dilahirkan oleh para penulis atau sastrawan tidak sampai
ke pembacanya. Sangat disayangkan juga bila berbagai cipta
sastra yang telah lahir tersebut tidak dibaca para penikmatnya
hanya disebabkan kurangnya peran kritikus sasra dalam
menjembatani antara karya sastra dengan pembacanya.
Kongres Cerpen Indonesia Mutakhir III yang dilaksanakan
di Lampung telah melakukan pembongkaran terhadap ideologi
cerpen Indonesia mutakhir. Dari pembongkaran ideologi
tersebut, ditemukan beberapa hal. Pertama, cerpen Indonesia
Mutakhir saat ini sering berbenturan secara langsung dengan tiga
kepentingan, yaitu (1) kritikus merindukan teks yang berkadar
literer, (2) penerbitan surat kabar yang lebih mementingkan
tema, dan (3) pembaca yang memiliki cakrawala estetika
68 SUHARDI
Literary Award “Sari A nggrek”
Sumbangan Penting bagi Dunia Sa stra
70 SUHARDI
karya-karya yang mereka hasilkan. Mungkin hal ini juga yang
membuat salah seorang sastrawan dan budayawan Indonesia
Umar Junus memilih hidup dan berkarya di negeri jiran Malaysia
ini ketimbang di Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi pada sastrawan senior Indonesia
Subagio Sastrowardoyo yang sebagian besar umurnya
dihabiskan di Australia ketimbang di Indonesia. Begitu juga Ajip
Rosidi yang lebih banyak berkiprah di negara samurai Jepang.
Sastrawan lainnya adalah penyair dan teaterawan yang mendapat
julukan sebagai “Si Burung Merak” yaitu WS Rendra yang
menghabiskan sebagian umurnya di Australia. Wisran Hadi
sepertinya juga akan mengikuti jejak seniornya Umar Junus,
yang akan hijrah juga ke Malaysia. Kondisi ini jika tidak cepat
diantisipasi, Indonesia akan kehilangan banyak sastrawan besar.
Pemerintah sebaiknya cepat mengambil langkah-langkah agar
mereka tidak hijrah ke berbagai negara lain. Jika tidak bagaimana
Indonesia nantinya?
Munculnya pertanyaan berbagai pihak tentang mengapa saat
ini tidak lahir karya sastra besar seperti dulu penyebabnya
adalah karena kurangnya perhatian dan penghargaan pemerintah
terhadap sastrawan Indonesia. Sastrawan masih dianak tirikan.
Pemerintah masih sibuk mengurusi dirinya sendiri. Seni budaya
masih dilirik sebelah mata, yaitu sesuatu yang belum penting,
atau tidak penting. Pemerintah Indonesia saat ini sepertinya sibuk
mengurusi jual-menjual aset negara melalui istilah privatisasi
dengan dalih menyelamatkan negara yang ternyata malah
kekayaan menguras negara. Mana mungkin sastrawan akan
melahirkan sastra besar bila hidupnya selalu dilecehkan.
Sastrawan itu bukan robot yang tidak memiliki keinginan apa-
apa.
72 SUHARDI
sastra, khususnya di Sumatera Barat kepada sastrawan
cemerlang di Sumatera Barat. Padahal daerah Sumatera Barat
telah membuktikan berhasil melahirkan sastrawan penting dalam
khasanah sastra Indonesia seperti Marah Rusli, Abdul Muis,
HAMKA, Muh. Yamin, AA Navis, Asroel Sani, Chairil Anwar,
Mochtar Lubis, dan Marzuki Satria. Bahkan saat ini telah lahir
para sastrawan muda Sumatera Barat yang karya-karyanya telah
banyak berbicara di kancah nasional. Sebut saja diantaranya
adalah Gus tf Sakai, Yusrizal KW, atau Haris Effendi Thahar.
Atas gagasan yang dilakukan Haji Azhar ini tidak tertutup
kemungkinan akan lahir beberapa sastrawan muda yang
cemerlang di daerah Sumatera Barat ini. Pandangan terhadap
kehidupan sastrawan semakin baik. Dengan demikian, Sumatera
Barat kembali akan melahirkan sastrawan tangguh sehingga
slogan yang mengatakan Sumatera Barat sumber gudangnya
sastrawan dan pemikir besar memang ada benarnya.
Kita berharap ke depan, sikap yang ditunjukkan Haji Azhar
tersebut diakui oleh para pengusaha lainnya. Baik yang berada
di daerah Sumatera barat maupun yang berada di luar Sumatera
Barat. Dengan kata lain, ke depan akan lahir Pak Haji Azhar-Pak
haji Azhar yang baru. Pak Haji yang memiliki perhatian dan peduli
terhadap sastrawan dan dunia kesusastraan Indonesia. Selain itu
juga dihimbau agar pihak Dewan Pimpinan Harian Dewan
Kesenian Sumatera Barat cepat merespon sinyal yang dipancar-
kan Pak Haji Azhar Muhammad tersebut.
Tidak lupa juga kita berharap, hendaknya proses penilaian
yang dilakukan nantinya oleh dewan juri betul-betul jujur dan
bertanggung jawab dalam menentukan sastrawan yang berhak
menerima hadiah sastra “Sari Anggrek Group” tersebut sehingga
niat baik terhadap sastrawan dan dunia sastra Sumatera Barat
74 SUHARDI
Ha sil SidangDewan Kurator Ternate
Pemberian Ruang bagi Peserta Lokal
76 SUHARDI
informasi yang perlu diketahui oleh masyarakat. Sampai hari ini
memang sangat sulit diperoleh informasi hasil TSI 3 lalu dalam
bentuk buku di pasaran. Sepertinya hasil TSI 3 tersebut sudah
menjadi menara ‘gading’ yang sulit untuk disentuh.
Mengingat tema yang diangkat pada TSI 4 di Ternate sangat
bagus, yaitu berkaitan dengan perkembangan Sastra Indonesia
abad ke-21, saya sebagai pemerhati dan pecinta sastra di daerah
ini juga sangat berharap kepada panitia pelaksana TSI agar hasil
TSI tersebut dapat dibukukan dan dicetak banyak serta
disebabarkan di beberapa toko buku nasional.
Saat ini sangat sulit diperoleh buku-buku yang mengangkat
permasalahan sastra Indonesia abad ke-21, sementara materi
perkuliahan yang berhubungan dengan kajian sastra abad ke-21
ini sangat dibutuhkan. Baik di kalangan mahasiswa maupun dosen
dalam kajian sastra. Kondisi seperti ini sudah lama terjadi
semenjak beberapa penerbit buku sastra ternama selama ini tidak
lagi menerbitkan buku-buku sastra. Termasuk dalam hal ini
adalah majalah Horizon yang antara hidup dan mati.
Selain itu, kehadiran buku-buku sastra yang jumlahnya
cukup besar sangat membantu sekali para mahasiswa di Provinsi
Kepulauan Riau, khususnya mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Mengingat masih terbatasnya ketersediaan buku-buku bahasa
dan sastra Indonesia di toko-toko buku yang ada di Kota Batam
dan Tanjungpinang. Semoga semua ini menjadi perhatian
bersama.
78 SUHARDI
ini dari waktu ke waktu. Kumpulan tulisan tangan, catatan kecil,
dan surat-surat yang ditulis tangan oleh para penulis sastra selalu
dikumpulkan Jassin. Dari beberapa sumber juga menyebutkan
bahwa H.B. Jassin telah melakukan pengumpulan dokumen
sastra tersebut sejak beliau berumur 13 tahun. Mulai dari
penyimpanan buku-buku harian, sekolah, karangan yang pernah
ditulis di kelas hingga surat dan foto pribadi. Apakah dengan
kerja keras yang sudah dilakukan Jassin tersebut kini harus
dibiarkan begitu saja?
Kedua, PDS HB. Jassin telah menjadi rujukan para peneliti
sastra dalam dan luar negeri yang sedang menyelesaikan
penulisan skripsi, tesis, dan disertasinya dalam bidang sastra
Indonesia. Ketiga, PDS H.B. Jassin juga menjadi pilihan para
pengamat dan peneliti sastra asing dalam mencatat perjalanan
sastra Indonesia sebagai bahagian sastra dunia. Keempat, PDS
H.B. Jassin adalah salah satu asset bangsa Indonesia, yaitu pusat
dokumentasi sastra terlengkap. Baik dalam bentuk fiksi dan non
fiksi, buku referensi, naskah drama, biografi pengarang, kliping,
foto pengarang, makalah, skripsi, disertasi, kaset rekaman suara
hingga rekaman video para sastrawan besar Indonesia.
Dengan demikian, PDS H.B. Jassin harus diselamatkan agar
tidak sampai tutup. Ini adalah harga mati.
Untuk itu perlu dukungan semua pihak. Sebagai aset bangsa
Indonesia yang kini sedang bermasalah maka semua pihak perlu
memikirkannya. Semua pihak perlu memberikan dukungan
dana. Jika selama ini hanya dibebankan kepada pihak Gubernur
DKI Jakarta saja maka ke depannya perlu dilibatkan pemerintah
daerah termasuk perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Bahkan
bila perlu meminta sumbangan dari luar negeri. Dengan demikian,
pekerjaan rumah (PR) yang cukup berat yang tidak terselesaikan
selama ini tentunya menjadi ringan karena dipikulkan secara
80 SUHARDI
Bintan Arts Festival,
Sebuah Catatan
82 SUHARDI
Mereka janganlah dilihat dan diperhatikan saat akan ada
sebuah event seni berskala besar saja. Namun, yang lebih penting
lagi adalah bagaimana mereka dapat melestarikan dan terus
mengembangkan seni budaya masyarakatnya ke depan dengan
tidak melupakan jaminan kesejahteraan hidupnya.
Hal ini sebagaimana yang pernah disampaikan “Si Burung
Merak” W.S. Rendra beberapa tahun lalu, saat karcis masuk
untuk pertunjukan teaternya dirasakan mahal oleh salah seorang
penikmatnya sehingga ia tidak dapat masuk untuk menyaksikan
pergelaran tersebut. Saat itu muncul pernyataan dari peserta
yang tidak dapat masuk tersebut dan menuduh Rendra telah
mengkomersilkan seni. Pernyataan itu langsung dijawab Rendra
dengan santai bahwa seniman atau sastrawan itu adalah manusia
biasa juga sebagaimana manusia lainnya yang butuh kehidupan
yang layak. Ia butuh makan dan kebutuhan hidup lainnya yang
semuanya memerlukan uang. Seniman dan sastrawan itu juga
memiliki istri dan anak yang perlu dihidupinya. Seniman dan
sastrawan itu tidak pegawai negeri yang setiap bulannya
menerima gaji tetap.
Selama ini di Indonesia umumnya yang terjadi adalah
seniman, sastrawan, dan budayawan dituntut selalu untuk dapat
menghasilkan karya-karya terbaik mereka. Sementara kehidupan
mereka tidak diperhatikan. Seniman dan sastrawan itu tidak
ubahnya pekerja rodi zaman penjajahan dulu yang dituntut untuk
selalu bekerja siang malam memeras otaknya tanpa diberikan
makanan yang cukup. Mungkin faktor ini juga yang menye-
babkan beberapa sastrawan dan budayawan senior Indonesia
lebih memilih hidup di luar negeri daripada di Indonesia, seperti
Malaysia, Australia, Jepang, maupun Jerman. Kehidupan
seniman dan sastrawan di sana lebih diperhatikan oleh
84 SUHARDI
Ketiga, siapapun yang memimpin Kepri hendaknya tidak
memiliki pandangan yang picik bahwa pembangunan seni budaya
tidak penting sehingga tidak perlu dialokasikan dalam APBD.
Manusia tidak cukup dididik melalui sains saja, sebab dapat
menjadikan manusia robot. Yang baik itu adalah memadukan
sains dan pengetahuan budaya sehingga lahir manusia yang
memiliki sikap yang baik (dan berbudaya). Untuk itu pemerintah
Kepri hendaknya dapat terus mengalokasikan dananya untuk
perkembangan seni budaya daerah. Ketersediaan dana tersebut
sehingga tidak mengganggu bahkan akan memperlancar
terlaksananya event-event seni budaya masyarakat (Melayu
Riau), seperti BAF setiap tahunnya.
Bila perlu event-event seni budaya, seperti BAF dimasukkan
dalam salah satu program pengembangan seni budaya Provinsi
Kepulauan Riau. Kegiatan seperti ini tentunya sangat besar
nilainya dalam memperkenalkan seni budaya Melayu Provinsi
Kepulauan Riau kepada masyarakat di luar Provinsi Kepulauan
Riau tentunya.
Seiring dengan pengembangan seni budaya Melayu Provinsi
Kepulauan Riau tersebut, satu hal juga yang sangat diharapkan
perhatian pemerintah Provinsi Kepulauan Riau adalah pem-
berian fasilitas yang cukup kepada para seniman dan sastrawan
untuk menyalurkan karya-karya terbaik mereka. Baik dalam
bentuk seni pertunjukan maupun publikasi dalam bentuk buku
seni budaya lainnya. Contohnya, buku-buku tentang seni Melayu
Provinsi Kepulauan Riau (tari, musik, pantun, dongeng, puisi/
sajak, syair, cerpen, maupun seni pertunjukan lainnya).
Keempat, sudah saatnya seni budaya Melayu Provinsi
Kepulauan Riau dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-
86 SUHARDI
adalah pengadaan guru-guru yang akan mengajarkan materi BM
tersebut.
Kelima, kalau memang ada tekad untuk menjadikan Pulau
Penyengat sebagai pusat kebudayaan Melayu ke depan, sejak
sekarang sudah dipikirkan infrastruktur pendukungnya.
Mungkin dalam bentuk pembangunan fasilitas seni
pertunjukannya, seperti sanggar-sanggar seni Melayu dan
pembangunan pasar seni Melayu yang menyediakan souvenir
khas Melayu, seperti batik Gonggong atau aksesori lainnya. Di
samping kesiapan dukungan masyarakat pulau Penyengat
melaksanakan hajatan tersebut, barangkali juga diperlukan
sebuah penataan lokasi yang baik sehingga terlihat pulau
Penyengat betul-betul asri dan mengundang selera turis manca
Negara untuk datang berkunjung ke pulau Penyengat.
Berikut yang juga tidak kalah pentingnya adalah adanya
program pertunjukan seni budaya Melayu Provinsi Kepulauan
Riau yang permanen. Bila hal ini dapat diwujudkan, pulau
Penyengat dapat menyaingi Bali sebagai pulau Dewata.
88 SUHARDI
dilakukannya itulah yang benar. Apa yang dilakukan Duano
ternyata benar, lahan persawahannya menjadi subur. Padinya
tumbuh dengan sempurna.Sementara yang lainnya gagal.
***
***
90 SUHARDI
Berbagai tokoh pun memberikan pandangannya tentang
sosok AA Navis sebagai sastrawan besar, humanis, dan peka
terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang ada. Di antaranya
adalah Gubernur Sumatera Barat, H. Zainal Bakar dalam kata
sambutannya saat melayat ke rumah duka mengatakan bahwa
AA Navis adalah orang yang telah berjasa membawa nama harum
Sumatera Barat di berbagai pentas nasional dan dunia.
Rusli Marzuki Saria salah seorang sastrawan Sumatera Barat
juga mengatakan bahwa AA Navis adalah sosok sastrawan yang
sangat produktif di zamannya.Walaupun umurnya sudah tiga
perempat abad tetapi beberapa karya sastra terbaik tetap lahir
dari tangannya. Bahkan Hasril Chaniago menambahkan bahwa
Navis adalah sastrawan besar, humanis, dan sangat peka dengan
masalah kemanusiaan. Tak kalah pandangan yang sama juga
disampaikan budayawan Yulizal Yunus dari IAIN Imam Bonjol
Padang yang menyebutkan bahwa Navis tidak hanya sastrawan
berpendirian, juga seorang otodidak kreatif dan produktif
bahkan mengagumkan sebagai sejarawan yang berhasil
menyingkap sejarah Minangkabau yang penuh misteri, ditulis
dengan gaya bahasa yang khas, di antaranya tercermin pada
bukunya yang berjudul Alam Takambang Jadi Guru. Bahkan
dalam berbagai novelnya sarat dengan esensi sejarah lokal.
Bahkan tidak ketinggalan adik kandung Navis yang bernama
Anas Navis mengatakan bahwa AA Navis merupakan tokoh yang
gigih, ulet, dan produktif. Tokoh yang selalu memanfaatkan
waktu dengan kegiatan yang berarti, seperti membaca, menulis,
atau memahat patung.
Kini AA Navis telah meninggalkan kita. Namun, khazanah
hidupnya tetap menyemangati hidup kita.Sebagai seorang tokoh
92 SUHARDI
Geliat Sastra Koran Kita
94 SUHARDI
maju ke depan, yaitu sebagai solusi terbaik. Hal ini pernah
dikemukakan Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama bahwa
sastra harus maju ke depan di masa-masa keadaan masyarakat
sedang sulit hari ini. Kedua, umumnya pengasuh ruang sastra
dan budaya di beberapa surat kabar adalah sastrawan sehingga
mereka memiliki pandangan bahwa ruangan sastra perlu ada di
dalam surat kabar. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan
redaktur sastra Media Indonesia, Djajat Sudrajat, bahwa sastra
dan budaya sangat penting bagi kehidupan manusia. Selain itu,
rubrik sastra sangat digemari oleh pembaca koran. Menurut
Djajat, dunia sastra adalah dunia yang tidak pernah silau dengan
gemerlapnya profesi-profesi baru yang muncul di dunia yang
telah menyatu berkat kecanggihan komunikasi lain. Dunia sastra
adalah dunia yang tidak pernah kapok dengan kemiskinan
materi. Dunia sastra adalah dunia yang tidak pernah merepotkan
pemerintah, akan tetapi pemerintahlah yang acapkali
merepotkan dunia sastra. Contohnya saja adanya kebijakan
berkaitan dengan pencekalan. Namun, sastra adalah dunia
dengan logikanya sendiri. Diperlukan atau tidak, sastra akan
tetap hadir menemui pembacanya.
Dalam sebuah kesempatan, Afrizal Malna menyatakan bahwa
koran adalah media massa yang isinya dimuat umum dan isinya
enak dibaca. Cerpen adalah satu-satunya genre sastra yang
memiliki keluwesan untuk memenuhi kategori umum itu dan
mengisi hari Minggu setelah hari-hari sibuk. Di saat wilayah publik
telah terbagi-bagi dalam berbagai wilayah kerja dan komunikasi,
sastra hadir untuk memberikan pencerahan dan refresing. H.B.
Jassin dalam bukunya yang berjudul “Koran dan Sastra
Indonesia” menyatakan bahwa koran telah mengambil bagian
dalam perkembangan sastra Indonesia.Di saat penerbitan buku-
96 SUHARDI
Para peneliti sastra juga dapat menjadikan karya sastra yang
telah diterbitkan koran sebagai obyek penelitiannya. Baik
tinjauan dari aspek, sosial, politik, budaya, maupun tinjauan dari
aspek agama. Kegiatan seperti ini tentunya juga akan
memperkaya hasil-hasil penelitian sastra di Indonesia. Hingga
hari ini bentuk penelitian sastra koran memang sangat sedikit
jumlahnya. Sementara kehidupan sastra Indonesia saat ini banyak
ditentukan sastra koran. Bahkan banyak karya sastra terbaru —
khususnya puisi dan cerpen— banyak diterbitkan melalui koran
ketimbang dalam bentuk buku.
Para mahasiswa program studi bahasa dan sastra Indonesia
juga dapat menjadikan karya sastra koran sebagai obyek
penulisan skripsinya. Beberapa bentuk sastra yang ada dan
dipublikasikan media koran dapat dilakukan peninjauan dari
beberapa sudut pandang. Apakah dari segi intrinsiknya maupun
ekstrinsiknya.Apakah dengan menggunakan metode mimesis,
obyektif, pragmatik, maupun ekspresif. Tergantung minat yang
bersangkutan. Jika hal ini dapat diwujudkan maka dunia
pendidikan kita akan kaya dengan berbagai hasil riset sastra.
Kehadiran cipta sastra akan terlihat bernilai positif terhadap
pengetahuan dan pengalaman baca sastra masyarakat umumnya.
Mudah-mudahan, di masa mendatang, koran tetap berperan
melanjutkan perjalanan sastra Indonesia hingga penerbitan buku
sastra bergairah. Koran dapat terus memberi warna dan mampu
hadir sebagai sosok yang mampu meningkatkan kenyamanan
hidup umat manusia khususnya masyarakat Indonesia yang
berbudaya.
98 SUHARDI
dimanfaatkan peneliti sastra untuk mempublikasikan hasil
penelitiannya terhadap berbagai cipta sastra yang lahir saat ini.
Kondisi ini sangat berbeda dengan kebijakan yang terdapat
pada Haluan Kepri. Harian ini masih mempertahankan ruang
esai sastra di setiap edisi minggu. Acungan jempol perlu diberikan
kepada pihak redaksi Haluan Kepri edisi Minggu (sebagai
penanggung jawab ruang sastra dan budaya). Semoga Haluan
Kepri menjadi acuan sumber informasi kehidupan sastra
Indonesia, khususnya sastra Indonesia di Provinsi Kepulauan
Riau.
Sastra, satrawan, dan peneliti sastra adalah tiga komponen
utama yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain.
Ketiganya merupakan satu sistem yang terpadu dengan utuh.
Sejarah telah membuktikan hal tersebut. Novel legendaris
Merahnya Merah karya Iwan Simatupang pada saat kemuncul-
annya kurang diminati pembaca karena banyak kalangan
peminat sastra menilai karya ini sulit dipahami bahasanya.
Namun, berkat peran aktif kritikus H.B. Jassin yang terus
menjembatani antara karya dengan pembaca, akhirnya novel
tersebut disukai banyak kalangan. Novel Merahnya Merah ini
akhirnya diterima masyarakat. Bahkan, kini, novel ini merupakan
bahan penelitian dan studi yang wajib dilakukan mahasiswa
jurusan bahasa dan sastra Indonesia.
Jasa H.B. Jassin lain juga tercatat dalam sejarah sastra
Indonesia adalah mengetengahi perdebatan yang terjadi pada
Chairil Anwar atas karya puisinya yang berjudul Kerawang-
Bekasi dan Aku yang pernah dinilai dan dituduh sebagai karya
plagiat. Namun, H.B. Jassin lagi-lagi membantah pernyataan
tersebut melalui bukti-bukti yang dihasilkan melalui
penelitiannya. Chairil terbebas dari tuduhan tersebut. Hal yang
100 SUHARDI
Media Massa dan Identitas Penyair
***
Dari banyak penyair pemula yang ada saat ini, mereka masih
banyak yang belum menampakkan identitasnya masing-
masing.Mereka banyak yang terbius dengan penyair seniornya.
Wajah yang terlihat melalui karya-karya mereka masih banyak
memperlihatkan wajah orang lain. Contohnya memperlihatkan
wajah penyair Afrizal Malna, Sutardji Calzoum Bachri, Yose Rizal
Manua, dan sebagainya. Hal ini mungkin disebabkan adanya
anggapan bagi mereka bahwa hanya dengan meniru gaya penyair
senior itulah karya mereka nanti akan berhasil dimuat di
beberapa media massa. Akibatnya, beberapa karya puisi yang
mereka hasilkan kurang bermakna.Mereka dalam penulisan
puisinya seakan mereka-reka bahasa untuk mendapatkan unsur
estetik. Oleh sebab itulah, karya yang mereka lahirkan laksana
busa sabun yang hanya mampu bertahan beberapa saat saja.
Tingginya keinginan para penyair untuk memperoleh ruang
sosialisasi di media massa, disebabkan adanya pandangan bahwa
dengan dipublikasikannya karya-karya mereka di media massa
maka berdampak pada peningkatan motivasi kreativitas, rasa
percaya diri, dan pembangunan citra yang positif di masa datang.
Dengan dimuatnya karya mereka di media massa maka sebuah
nilai yang cukup tinggi. Tingginya motivasi kreativitas dan
perebutan ruang sosialisasi di kalangan penyair juga berdampak
102 SUHARDI
negatif, yaitu sering terjadi konflik yang tidak sehat, seperti
adanya sikap saling menjelekkan antar sesama penyair.Realitas
ini akhirnya melahirkan sebuah sikap atau pandangan di
kalangan pengurus seni bahwa mengurus para penyair lebih sulit
daripada mengurus sebuah negara.
Walaupun demikian, sudah ada juga di antara para penyair
muda kita yang ada saat ini telah menemukan identitasnya
sendiri. Sebutlah, mislanya, penyair muda Ayu Oka Rusmini
dengan warna lokal yang kental (Bali), Sitok Srengenge dalam
bahasa cintanya yang personal dan komunikatif. Begitu juga
penyair Abidah Al Khalieqy dengan idiom-idiom Islamnya dan
sederet penyair muda lainnya.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan para penyair muda
kita ke depan agar mereka memperoleh peluang eksistensi yang
mudah, yaitu: Pertama, mereka harus menguasai metode-metode
puisi dengan baik, misalnya diksi, pengimajinasian, majas,
tipografi, ritme, dan rima. Hal ini sesuai juga dengan yang
dikemukakan Alton C. Morris, bahwa kegagalan para penyair
sering disebabkan oleh ketidakpedulian mereka terhadap
penguasaan metode-metode puisi yang baik. Alhasil, mereka
sering gagap atau gagal dalam melahirkan karya puisi yang indah
dan baik.Bahkan Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa
puisi yang baik tidak ditentukan oleh “apa” adanya melainkan
oleh “bagaimana” adanya.
Kedua, para penyair muda perlu bekerja keras guna memper-
oleh peluang eksistensialis. Caranya adalah bekerja dengan
sungguh-sungguh dan berusaha menghasilkan karya yang
berkualitas secara tematik.Hanya puisi yang baiklah yang
mampu memberikan makna pada sejarah peradaban manusia.
104 SUHARDI
Surat Kabar dan Ruang Sastra
106 SUHARDI
Mereka berdua menyatakan bahwa pandangan Budi Darma itu
keliru.
Polemik yang juga cukup hangat pernah ditampilkan
Republika adalah polemik berkaitan dengan “Puisi Gelap dan
Puisi Terang.” Selain itu, polemik berkaitan dengan pemberian
hadiah sastra ’Magsasay’ oleh pemerintah Filipina kepada
seorang sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Mochtar Lubis dan
kawan-kawan memprotes kebijakan pemerintah Filipina tersebut
yang dinilai keliru. Hal ini memuncak dengan tindakan
pengembalian hadiah yang pernah diterimanya tersebut ke
pemerintah Filipina.
Besarnya peranan media surat kabar dalam perjalanan sastra
Indonesia sebetulnya sudah berlangsung cukup lama. H.B. Jassin
melalui bukunya yang berjudul Koran dan Sastra Indonesia
mengatakan bahwa adanya ruang sastra di berbagai media surat
kabar tersebut akan membawa efek positif yaitu semakin
maraknya kehidupan sastra Indonesia di masa datang (1994:vi).
Namun yang tidak kalah pentingnya dari semua itu adalah
tumbuhnya sastrawan-sastrawan muda dari berbagai daerah
dengan warna kedaerahannya.
Munculnya ruang sastra dan budaya di surat kabar menurut
Djajat Sudrajat dikarenakan sastra dan budaya merupakan aspek
yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia. Dunia sastra
adalah dunia yang tidak pernah silau dengan gemerlapnya
profesi-profesi baru yang muncul di dunia dan menyatu berkat
kecanggihan komunikasi lainnya. Dunia sastra adalah dunia yang
tidak pernah kapok dengan kemiskinan materi. Dunia sastra
adalah dunia yang tak pernah merepotkan pemerintah. Namun
pemerintahlah yang sering merepotkan dunia sastra melalui
108 SUHARDI
Jabbar, Emha Ainun Najib, A. Mustofa Bisri, dan para penyair
muda lainnya seperti Yusrizal KW, Isbedy Setiawan ZS, F. Rahadi,
Nirwan Dewanto, Raudal Tanjung Banua, dan masih banyak lagi
lainnya. Dalam bidang tulis menulis cerpen, dunia surat kabar
Indonesia juga sering memuat cerpen-cerpen buah karya
Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, A. Mustofa Bisri, Danarto, Seno
Gumira Ajidarma, Mardi Luhung, dan lain-lain.
***
110 SUHARDI
Domina si Tema Sosial Cerpen
dalam Koran
112 SUHARDI
Ibu tidak tahu”. “Kasihan, ya Bu?” “Aku ingin melihat ia jadi
kupu-kupu.” “Tetapi kita tidak bisa”. “Tetapi aku ingin”. “Tak
bisa”. “Aku, ingin…”
Ucapan Warni yang mengatakan bahwa belatung tidak akan
menjadi kupu-kupu mengisyaratkan bahwa manusia tidak
mampu mengubah keadaan yang ada. Sementara pembuktian
Suci di akhir cerita bahwa belatung dapat menjadi kupu-kupu
tidak lain sebuah simbol bahwa manusia mampu mengubah
realitas yang ada, asalkan ia memiliki keinginan untuk meng-
ubahnya. “Betulkan, Bu?” “Lihatlah belatung bisa berubah
menjadi kupu-kupu”.
Cerpen, “Seperti Angin Berlalu” karya Wilson Nadeak
(Kompas, 2 Mei 2004) bercerita tentang adanya pandangan
bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan selama hidup tidak
ada gunanya sebab setelah kita meninggal dunia nanti tidak akan
dikenang orang. Beberapa kebaikan yang telah kita lakukan
kepada orang lain semuanya akan sirna seiring angin berlalu.
Cerpen ini memulai ceritanya dari kematian seorang usahawan
kaya dengan berlimpah ruahnya para pelayat memenuhi ruangan
rumah. Usahawan ini semasa hidupnya sangat berjasa pada
masyarakat. Ia selalu membantu orang-orang yang hidup dalam
kesempitan dengan cara meminjami uang seberapa yang
diperlukan tanpa pamrih. Namun, sewaktu usahanya bangkrut,
banyak orang yang memalingkan diri untuk mau membantunya.
Termasuk keluarganya sendiri. Usahawan tersebut akhirnya
meninggal dunia pada sebuah rumah kontrakan seorang diri.
Cerpen “Kyai Sepuh dan Maling” karya Sandy Tyas (Kompas,
30 Mei 2004) bercerita tentang seorang maling yang berhasil
memasuki rumah kyai termashur. Maling tersebut tidak berhasil
membawa kabur peralatan elektronik curiannya disebabkan sang
114 SUHARDI
berada di dalam gerbong, serta bayangan kereta api yang
menabrak mobil pengantin yang memakan korban seluruh
penumpangnya. Semua itu terjadi saat ia menunggu kedatangan
istri dan anak-anaknya di sebuah stasiun kereta api. Tak
beberapa lama kemudian, anaknya Reta menelepon bahwa ia
tidak jadi beangkat sebab nenenya di rawat di rumah sakit.
Cerpen “Bilal” karya K Usman (Republika, 17 Oktober 2004)
bercerita tentang rasa kecemburuan dan sakit hati terhadap
sesama. Walaupun mereka adalah golongan orang yang sangat
mengerti dengan ilmu agama. Cerita dimulai permintaan para
santri agar kakek (panggilan kepada Bilal) mau menceritakan
kisah Bilal bin Rabah al Habsyi. Kemudian berlanjut pada latar
belakang Kakek Bilal yang nama aslinya adalah Bilal bin Abu
Yani. Umurnya telah 60 tahun, pernah berjasa pada akhir
revolusi mengusir penjajahan Belanda. Kemudian ia nyantri,
mengajarkan anak-anak mengaji dan dakwah dari desa ke desa
serta kota hingga beliau sampai ke masjid Al Ikhlas. Kedatangan
Bilal sangat disambut baik pengurus masjid. Bilal di masjid Al
Ikhlas sangat disenangi masyarakat. Suara adzannya sangat indah
dan pintar mengaji. Jabir mengakui keunggulan Bilal. Bilal pun
sebenarnya sangat sayang pada Jabir. Ia rela mengajarkan teknik
adzan yang baik dan membaca al Quran yang baik pada Jabir
tetapi Jabir menolaknya. Ia lebih senang menjauhi Bilal.
Rasa dengki dan iri yang dimiliki Jabir memuncak. Jabir
berniat melakukan sesuatu hal yang dapat mengakibatkan nama
Bilal ternoda dan diusir dari masjid. Rencana tersebut dilakukan
Jabir dengan cara mencuri sebuah jam dinding pemberian Pak
RT yang sedang terpasang di dinding. Kejadian itu dilakukan
Jabir saat Bilal pergi ke puskesmas yang sebelumnya meminjam
kunci masjid ke Bilal. Jabir mencak-mencak dan menuduh Bilal
116 SUHARDI
paman Eman melarangnya sebab lulusan pesantren susah
mendapatkan lapangan kerja. Namun kedua orang tua Eman
tetap ngotot dengan keinginannya tersebut.
Cerpen “Persahabatan Sunyi” karya Harris Effendi Thahar
(Kompas, 21 Nopember 2004) bercerita tentang lelaki tua
gelandangan bersama anjing kecilnya yang saat pergi kemana-
mana selalu menemaninya. Lelaki tua ini selalu berjalan dengan
gerobak kecilnya ke arah yang tidak jelas dan kembali setelah
malam hari. Rumah yang dijadikan tempat tinggalnya adalah di
bawah jembatan tol, tidur dengan beralaskan kardus bekas dan
makan dari hasil mengais makanan di rumah makan. Tidak
seorangpun yang peduli dengannya. Bahkan saat lelaki tua itu
berpapasan dengan orang lain selalu orang lain itu menutup
hidungnya dan menghindar. Cerpen “Persahabatan Sunyi” karya
Harris ini lebih banyak melukiskan suasana ibu kota (Jakarta)
yang banyak dipenuhi kaum gelandangan.
Dari beberapa cerpen yang menghiasi dunia persuratkabaran
Indonesia selama tahun 2004 tersebut terlihat jelas bahwa tema-
tema yang hadir meliputi tema yang berkaitan dengan tema sosial,
yaitu realitas masyarakat masa kini. Contohnya tema-tema yang
berkaitan dengan melacur, merampok, membunuh, iri hati,
narkoba, dan pengemis/gelandangan.
118 SUHARDI
penggagas YCPI— yang menyatakan bahwa JCI merupakan
wadah bagi para cerpenis Indonesia yang karyanya tidak sempat
dipublikasikan di media massa, majalah, atau jurnal sastra, baik
disebabkan tidak memenuhi sebagian persyaratan tema, maupun
penulisannya. Akibatnya, banyak karya cerpen yang berkualitas
tidak mendapatkan kesempatan untuk dimuat (diterbitkan).
Dalam hal ini, Hudan memberikan beberapa contoh, yaitu cerpen
yang berjudul Tamlika yang berisi kritik pedas terhadap peme-
rintah tidak pernah dimuat media massa dan majalah sastra
lainnya. Begitu juga dengan beberapa karya cerpen Danarto yang
berjudul Menjaring Malaikat, Godlop, dan Adam Makrifat yang
juga tidak pernah diterbitkan. Selain itu, ada juga puisi dari
Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang
berjudul Hujan Menulis Ayam yang tidak pernah diterbitkan.
Padahal karya-karya tersebut termasuk karya terbaik. Hal itulah
yang mendorong dan melatarbelakangi lahirnya jurnal tersebut.
Hudan Hidayat lebih lanjut menjelaskan bahwa JCI akan
berupaya memberi ruang bagi bentuk pengucapan yang baru
kepada peminat cerpen Indonesia. JPI akan menjadi sebuah
bacaan baru. Bahkan, JPI ke depan diharapkan akan menjadi
juru bicara bagi cerpen Indonesia kepada generasi muda cerpenis
Indonesia, bahwa generasi cerpen Indonesia tidak hanya terhenti
pada generasi Danarto dan Seno Gumira Adjidarma saja
melainkan masih berlanjut pada generasi berikutnya.
Tentunya, kelahiran JPI perlu disambut gembira.
Kelahirannya tersebut diharapkan mampu memberikan warna
tersendiri dalam dunia cerpen Indonesia. Oleh karenanya, JPI
hendaknya (1) mampu menyajikan karya-karya cerpen yang
bermutu kepada peminatnya, (2) mampu menjadi media rekreasi
dan pengembangan diri bagi cerpenis Indonesia, dan (3)mampu
120 SUHARDI
perlu diperhatikan pengelola JPI. Ia jangan lengah. Persaing-
annya cukup berat di luar.
Penyair Beni R. Budiman (Republika, 3 Maret 2002) menulis,
bahwa ada beberapa sebab menurunnya kualitas sebuah majalah.
Di antaranya adalah (1) pertumbuhan pembacanya tidak
sebanding dengan pertumbuhan penduduk kita saat ini. Dengan
kata lain, hanya sebahagian kecil saja pembaca majalah tersebut;
(2) para penulis cerpen senior telah banyak yang mengalihkan
karya cerpen terbaiknya ke media lain yang lebih mapan,
sehingga kebanyakan karya sastra yang dimuat diisi oleh para
penulis baru; (3) cerpenis yang mengisi ruang sastra tersebut
hanya penulis yang itu-itu saja; dan (4) kualitas karya sastra yang
dimuat semakin menurun dan ringan. Kalah dengan media surat
kabar yang ada saat ini dengan berbagai karya sastra terbaiknya.
Berbagai hal yang dikemukakan Beni R. Budiman di atas perlu
dijadikan masukan agar JPI tetap eksis.Pengelola harus berusaha
bagaimana pembaca JPI terus bertambah. Bukankah dengan
pertambahan jumlah pembaca tersebut juga akan memberikan
dampak terhadap keuangan JPI sendiri. Grafik pertumbuhan
pembaca JPI hendaknya terus bergerak naik, jangan naik turun
yang akhirnya tenggelam.Pembaca hendaknya dapat membaca
selera pembacanya.Hal ini ibarat sebuah rumah makan, yang
pengelolanya harus menyediakan berbagai macam jenis
menu.Baik yang berbentuk komedi maupun tragedi.
Pengurus jangan bersikap menunggu bola baru bergerak.
Sesekali ia juga perlu melakukan jeput bola. Maksudnya
pengelola tidak hanya menerima segala cerpen yang datang atau
masuk ke ruang redaksi.Ia juga harus mampu menyeleksi kualitas
beberapa cerpen yang dikiimkan cerpenis. Begitu juga variasi
publikasinya, kalau dapat memvariasikan kuantitas publikasi
122 SUHARDI
Kila s Balik Sa stra
Koran Sijori Mandiri 2010
124 SUHARDI
• Keempat, cerpen Gadis Pelantai karya Riki Utomi (Minggu,
28 Nopember 2010). Cerpen ini menyuguhkan tema tentang
sosok guru masa depan. Sosok guru yang sangat disukai dan
disegani para siswanya. Kehadirannya sangat ditunggu siswa
dan sosoknya laksana orang tua para siswa. Hangat di kelas
dan mampu memotivasi semangat belajar siswa. Inilah model
guru yang perlu ditiru semua guru di Indonesia.
• Kelima, cerpen Surau Kami karya Fatih Muftih (Minggu, 5
Desember 2010). Cerpen ini mengangkat tema tentang kepe-
dulian seorang anak muda terhadap surau tua yang sudah
ditinggalkan para jamaahnya. Surau ini terlihat tidak terurus,
jarang digunakan, dan dindingnya sudah terlihat lusuh.
Bahkan terdengar informasi bahwa surau ini akan digeser
karena beberapa meter dari surau ini telah berdiri sebuah
masjid yang gagah. Seorang anak muda yang bernama David
berhasil mengatasi krisis yang dialami pengurus surau dengan
cara mencari dana ke luar. David berhasil merehabilitasi
surau dan menghidupkan surau dengan kegiatan-kegiatan
keagamaan seperti wiridan dan mengajar anak-anak mengaji.
Tema yang disuguhkan pengasuh melalui cerpen ini sangat
bagus di saat para anak muda saat ini mulai kurang perha-
tiannya terhadap hal-hal yang berbau agama. Di saat sebagian
besar anak muda saat ini mengalami krisis akhlak akibat jauh
dari nilai-nilai agama.
Puisi
Khusus dalam hal genre sastra puisi atau sajak, saya hanya
memilih lima puisi atau sajak terbaik yang berhasil disuguhkan
pihak pengasuh ruang Sastra dan Budaya Sijori Mandiri selama
tahun 2010. Puisi atau sajak-sajak tersebut adalah:
126 SUHARDI
• Kelima, puisi karya Kedung Darma Ramansyah. Ada 7 judul
sajak karya Kedung Darma Ramansyah yang dimuat Sijori
(Minggu, 5 Desember 2010). Sajak tersebut adalah “Sajak
Bangun Tidur” “Setelah Bertemu Kamu”, “Kabar Hari Di Saku
Dadamu”, “Seonggok Puisi”, “Sajak Sentimentil bagi Kesepian
yang Berlobang”, “Sajak Pancaroba yang Gagal Dibaca”, dan
“Sajak berjudul di Suatu Malam”. Kedung Darma Ramansyah
dalam sajaknya tersebut menyuguhkan tema tentang kepura-
puraan, ketidakpedulian terhadap umur yang berlalu,
kegagalan, rasa, keputusasaan, dan hawa-nafsu.
132 SUHARDI
mengajarkan agama pada orang lain minta upah?” Sungguh sifat
yang sangat tidak terpuji.
***
134 SUHARDI
Padang Panjang dari Jakarta setelah beberapa lama tinggal di
rumah Zainuddin di Jakarta. Zainuddin menitipkan salam khusus
untuk mamak Hayati yang dulunya telah tega mengusir dan
memutuskan hubungan cintanya dengan Hayati.
***
136 SUHARDI
Spirit Rebab
dan Upaya Pelestariannya
138 SUHARDI
tidak mencintai seni budaya nenek moyangnya. Coba diberikan
pengetahuan dan pemahaman yang cukup pada mereka. Tidak
tertutup kemungkinan akan tumbuh rasa cinta mereka terhadap
kekayaan seni budaya bangsanya.
Permasalahan yang sama juga pernah dinyatakan Wisran
Hadi, sastrawan dan budayawan nasional asal Sumatera Barat,
melalui karya parodinya berjudul “Malin Kundang”. Dalam
karyanya ini, Wisran Hadi mencoba mengajak para pembacanya
untuk berpikir kembali, yaitu: “Layakkah Malin Kundang dicap
sebagai anak durhaka?” Bukankah buruk baiknya seorang anak
sangat tergantung dari didikan yang diberikan kedua orang
tuanya? Orang tua mana yang begitu tega menyumpahi anaknya
sendiri menjadi batu? Harimau saja tidak pernah memakan
anaknya sendiri. Pandangan Wisran Hadi tersebut merupakan
cerminan pandangan yang dikemukakan tokoh psikologi
Sigmund Freud tentang teori ‘tabularasa’-nya. Menurut Freud,
anak itu ibarat kertas putih, kosong, dan masih suci. Orang
tuanyalah yang mewarnainya. Bagi Wisran Hadi, yang membuat
Malin Kundang itu durhaka adalah orang tuanya sendiri. Oleh
sebab itu, Malin Kundang tidak salah, yang salah adalah kedua
orang tuanya sendiri.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan sebelumnya
bahwa kajian ini akan mencoba mencari jawaban, yaitu (1) apa
itu rebab dan (2) apa spirit yang terkandung dalam seni rebab itu
sendiri. Baik dilihat dari aspek etos kerja maupun ekonomi.
Untuk menjawab apa itu rebab, Umar Junus —salah seorang
sastrawan dan budayawan asal Sumatera Barat yang kini
menghabiskan sebagian besar umurnya di negara jiran
Malaysia— dalam bukunya Kaba dan Sistem Sosial Minang-
kabau: Suatu Problematika Sosiologi Sastra mengatakan bahwa
140 SUHARDI
mendengarkan rebab juga memperoleh pendidikan langsung,
terutama melalui amanat yang disampaikan dalam kaba (cerita).
Selain itu, rebab juga dapat memiliki spirit terhadap etos kerja
masyarakat Minang. Ibu-ibu dan bapak-bapak saat mem-
bersihkan ladang atau sawahnya biasanya memutar kaset rebab.
Spirit rebab tersebut mampu membangkitkan semangat dan
tenaga mereka dalam bekerja. Mereka tanpa merasa bosan dan
cukup terhibur sehingga mereka tahan bekerja hingga sore
harinya.
Sambil mendengarkan cerita yang disampaikan si tukang
rebab tersebut, para pekerja terkadang mengiringinya dengan
sorak sorainya dan tertawa gembira karena mereka merasakan
sesuatu yang menggelitik diri mereka dari si tukang cerita (tukang
kaba). Bahkan dalam acara-acara gotong royong pengerjaaan
jalan atau lainnya yang sifatnya kerja sama membersihkan
kampung, tak jarang masyarakat juga memutar kaset rebab.
Rebab sudah menjadi bahagian kehidupan masyarakat Minang,
terutama masyarakat pesisir selatan Sumatera Barat.
Jika kondisi tersebut dapat dipertahankan, dampak dari spirit
rebab tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi
masyarakat. Hasil pangan akan melimpah ruah sebab dikerjakan
secara baik dan bersama-sama. Kehidupan ekonomi rakyat akan
semakin baik. Bahkan dengan spirit rebab, menyebabkan rasa
persatuan dan kesatuan di kalangan masyarakat semakin tinggi
sebab segala sesuatu dikerjakan secara bersama-sama (gotong
royong).
142 SUHARDI
dengan perguruan tinggi yang ada di daerah ini untuk bersama-
sama melakukan kajian, penelitian, pendokumentasian, hingga
publikasi melalui penerbitan dalam bentuk buku-buku. Jika
kegiatan ini dapat diwujudkan maka manfaatnya juga dapat
dinikmati oleh sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Lingga
ini. Terutama para guru pengampu mata pelajaran budaya
Melayu yang tidak perlu susah lagi untuk mendapatkan materi
ajarnya. Buku ini dapat dijadikan sebagai sumbernya. Mengingat
salah satu kelemahan penyebaran sastra lisan itu karena hanya
dikuasai seseorang atau kelompok orang saja maka ke depan
tentunya tidak lagi. Siapapun dapat menikmati legenda ini karena
sudah dapat dibaca dalam bentuk buku.
Sastra (lisan) selain memiliki fungsi hiburan, juga memiliki
unsur pendidikan (moral, estetika, budaya). Penikmat sastra lisan
akan memiliki kekayaan (moral, esteti, dan budaya) setiap
mengkonsumsi jenis sastra ini. Hal inilah yang dimaksud Nurgani
(1990) bahwa membaca cipta sastra akan membuat penikmatnya
menjadi bangsa yang beradab. Bangsa yang sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai (moral, etika, estetika, dan budaya).
Pulau Pilang merupakan pulau kecil yang letaknya di
Kabupaten Lingga (lebih kurang 40 menit jika ditempuh dengan
mengendarai motor dari kota Dabo). Asal mula nama pulau ini
bernama Pilang dapat diuraikan berdasarkan cerita yang masih
hidup di masyarakat berikut ini.
***
144 SUHARDI
Sambil meneteskan air mata, Pilang menjawab, “Ibu
kepergian Pilang bertujuan untuk mengubah keadaan kita selama
ini, mudah-mudahan dengan doa ibu, Pilang berhasil di negeri
orang. Kalau Pilang berhasil di sana, Pilang berjanji akan
menjemput ibu dan membawa ibu hidup bersama”.
Si ibu kemudian menjawab, “Dengan siapa nantinya kamu di
sana Nak?” Kamu nanti tinggal di mana, Nak? Ibu pun tak punya
uang untuk bekal kamu nantinya di sana. Kita tak punya siapa-
siapa di sana, Nak. Pikirkanlah dulu matang-matang, Nak! Dari
pada kamu sengsara nantinya di sana, lebih baik kita di sini saja
hidup bersama Ibu.”
Pilang tampaknya sudah bulat niatnya untuk merantau.
Pilang tidak terpengaruh saran ibunya itu. Akhirnya melihat
keras-nya hati sang anak untuk tetap pergi merantau, walaupun
dengan rasa berat hati, si ibu akhirnya mengalah juga, dan
mengijinkan anaknya merantau.
Pagi-pagi sekali sang ibu sudah bangun. Ia mempersiapkan
beberapa nasi yang dibungkus dengan daun lengkap dengan
sambalnya sebagai bekal di perjalanan buat Pilang. Sebelum Sang
mentari keluar dari ufuknya begitu jauh, Pilang bersama ibunya
pergi menuju pantai tempat kapal yang akan membawa anaknya
Pilang. Air mata ibunya laksana hujan lebat keluar dari kelopak
matanya, sedih karena ditinggal sang anak satu-satunya.
Terbayang dalam pikirannya, ke depan hanya dialah lagi tinggal
di gubuk tua itu. Hari-hari ke depan kesendirianlah yang akan
dijalaninya. Lain rasanya sewaktu ia ditinggal suaminya dulu,
lain pula saat anak satu-satunya harapan hari tuanya, yang akan
merawat dan membantunya menapak kehidupan ini, kini harus
meninggalkannya sendiri. Kesunyian itu begitu suram dan
menyakitkan rasanya, tetapi apa boleh buat. Sebagai seorang
146 SUHARDI
“Hai anak muda, apakah kamu baru sekali ini berlayar?”
Tanya sang saudagar kepada Pilang.
“Ya tuan, selama ini pekerjaan saya hanya membantu ibu
mencari kayu api untuk mendapatkan uang.”
“Oh, jadi sekarang kamu mau kemana?” tanya sang saudagar
kembali.
“Entahlah tuan, belum tahu entah kemana, aku mengikut saja
kemana kapal ini mau berlayar” jawab Pilang.
“Tidak ada saudara yang akan kamu tuju?” tanya saudara
itu.
“Tidak, tuan!”
“Kalau begitu, kamu ikut saya saja. Nanti di rumah saya saja
kamu tinggal”.
“Terima kasih Tuan, atas kebaikannya tapi apakah mungkin
orang seperti saya ini pantas tinggal di rumah Tuan?”
“Sudahlah, kamu saya angkat sebagai anak buah saya dan
akan saya berikan gaji. Kebetulan saya sedang mencari anak buah
untuk membantu pekerjaan saya.”
Sebagai seorang anak yang sudah biasa di ajar sang ibu kerja
keras, kerja dari pagi hingga malam tidaklah menjadi suatu beban
bagi Pilang. Hal ini pula jualah yang membuat sang majikan
semakin sayang dengannya. Walaupun demikian, Pilang tidak
lupa diri. Tugas dan tanggung jawabnya dilaksakanakn dengan
baik. Pilang yang awalnya diangkat sebagai pegawai biasa, yaitu
tukang hitung dan rapikan barang di gudang kini dipercayakan
lagi sebagai kasir. Segala upah buruh, ialah yang mengaturnya.
Gaji yang diperolehnya pun semakin tinggi sebab sudah menjadi
orang kepercayaan tuannya. Kini kantongnya semakin tebal.
Pilang telah bermandikan uang. Sebaliknya, Pilang semakin lupa
148 SUHARDI
“Pilang, besok kami mau datang ke rumah orang tuamu untuk
meminangmu.” Tolong kami diantarkan ke sana. “Tuan, mohon
maaf, hamba sudah tidak ada lagi memiliki kedua orang tua.
Kedua orang tua hamba sudah lama tiada,” jawab Pilang.
Pilang sengaja berbohong sebab selain ia malu karena orang
tuanya di kampung hanya memiliki gubuk reot, ia malu memiliki
orang tua miskin. Menurutnya mengantarkan sang majikan untuk
menjumpai orang tuanya sama saja membukakan aib keluarga.
Lebih baik tidak usah. Baginya urusan bekeluarga cukup dengan
dirinya saja tidak usah melibatkan orang tua. Toh juga tidak akan
mengurangi maknanya. Sikap yang diperlihatkan Pilang ini
memang sungguh telah berubah seratus persen. Terutama
semenjak keadaan ekonominya semakin baik.
“Pilang apakah kamu juga tidak memiliki saudara?” tanya
sang majikan.
“Tidak tuan, semuanya sudah meninggal,” jawab Pilang
meyakinkan sang majikan.
“Baiklah kalau begitu, besok kita laksanakan akad nikah.”
Kita akan sebarkan undangan dan kita buat acara perkawinanmu
semeriah-meriahnya”.
Pilang hanya mengangguk bahagia. Terbayang dipikirannya
hidup sebagai seorang menantu konglomerat. Tidur di rumah
dengan kasur besar dan ruangan mewah. Terbayang dialah yang
akan mewarisi semua kekayaan sang majikan! Memang benar,
acara perkawinan Pilang dengan Intan Sari berlangsung selama
satu minggu. Tamu melimpah ruah memenuhi rumah dan halaman
rumah.
Tibalah saatnya Pilang melaksanakan tugasnya kembali.
Sambil berbulan madu bersama sang istri cantiknya, Pilang terus
150 SUHARDI
Anak buah kapal itu langsung menjawab, “Nenek tua ini
mengaku-ngaku ibunya Tuan Pilang.”
Alangkah terkejut dan herannya Intan Sari bahwa yang di
hadapannya mengaku ibu suaminya. “Kalau memang ia
mertuaku, mengapa selama ini suaminya mengatakan bahwa
ibunya telah meninggal dunia?” Intan Sari bertambah bingung.
Untuk memastikannya Intan Sari berlari menaiki tangga menuju
ruang suaminya beristirahat. Ia membangunkan suaminya bahwa
ada orang di bawah sana sedang mencarinya dan mengaku
sebagai ibunya. “Bang, bangunlah Bang. Ada orang yang cari
Abang”.
Setelah beberapa kali dibangunkan, Pilang bangun juga dan
berjalan menuruni tangga diiringi istri tercinta kemudian
menghampirinya.
“Ibu mencari siapa?” tanya Pilang.
Tanpa pikir panjang sang nenek langsung memeluk, “Pilang,
aku ini ibumu”. Ibumu yang sudah lama merindukan
kedatanganmu.”
“Bukan-bukan, kau bukan ibuku. Mana mungkin ibuku setua
dan seburuk ini,” jawab Pilang. “Bukan-bukan, kau bukan ibuku!”
“Benar nak, aku ibumu. Ini aku bawakan makanan
kesukaanmu masa kecil”.
“Sudah bawa ke sana saja, aku tidak mau makan!”
Sang istri menjadi bertambah curiga mengapa nenek tua ini
tahu makanan kesukaan suaminya. Tak mungkin kalau tidak
orang yang sudah kenal tahu dengan makanan kesukaan
suaminya. “Bang, kalau memang beliau adalah ibumu, akui
sajalah Bang!”
“Aku tak apa-apa.”
152 SUHARDI
serius. Baik berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan maupun
pesan moral yang terkandung di dalamnya.
***
Nilai Etika/Moral
Legenda Pulau Pilang ini mengandung nilai-nilai etika atau
moral yang cukup tinggi. Cerita ini memberikan tuntunan kepada
para penikmatnya agar selalu berbuat baik kepada kedua orang
tua. Bila tidak maka hidup dan kehidupan kita akan mendapat
laknat, kesusahan, bahkan kesengsaraan. Jika mau selamat dunia
dan akhirat maka muliakanlah kedua orang tua. Betapa tidak,
sejak dalam kandungan hingga kita dilahirkan ke permukaan
bumi ini, susah senang mereka alami demi anak-anaknya. Belum
lagi susahnya saat dia mengandung kita selama sembilan bulan.
Jasa orang tua/ibu tidak akan bisa dibalas dengan apapun.
Lihat saja, Pilang karena keangkuhan dan kesombongannya
harus menerima ganjaran, yaitu menjadi batu. Ia sombong karena
telah kaya dan memiliki istri cantik. Ia malu beribukan seseorang
tua peot dan lusuh. Ia merasa hina beribukan kakek tua orang
miskin. Ia tega menghardik dan mengusir dengan kasar ibunya.
154 SUHARDI
Nilai Estetika
Selain nilai etika/moral, Legenda Pulau Pilang juga
mengandung nilai-nilai estetika/keindahan. Baik dilihat dari segi
pilihan kata, alur penyajian, tema maupun amanat yang disam-
paikan. Pilihan kata yang tidak sulit memudahkan siapapun untuk
memahaminya. Alur cerita yang begitu runut dan gaya bahasa
yang digunakan si pencerita yang begitu baik membuat pendengar
meneteskan air mata. Keindahan Legenda Pulau Pilang tidak
kalah dengan Legenda Malin Kundang dari Sumatera Barat.
Hanya saja latar dan nama tokoh yang membedakannya.
Nilai Etika
Nilai etika (perilaku) tokoh, terutama tokoh Pilang adalah
tokoh yang tidak menjunjung tinggi sopan santun. Terutama
sopan santun berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau
orang lain yang dianggapnya tidak sederjat dengannya (tua,
buruk, miskin, dan hina). Perilaku ini tentunya dalam masyarakat
Indonesia —khususnya masyarakat Melayu— tidak bisa diterima.
Budaya Melayu tidak menerima perilaku buruk seperti ini.
Terutama jika dilihat pada Gurindam XII karya Raja Ali Haji.
Bagi masyarakat Melayu, tokoh Pilang adalah contoh tokoh yang
berperilaku buruk. Pilang menjadi model tokoh yang tidak perlu
dicontoh atau diteladani.
Nilai Religius
Masyarakat Melayu Provinsi Kepulauan Riau, khususnya
Dabo Kabupaten Lingga, dominan beragama Islam. Ajaran Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu memuliakan kedua
orang tua (ayah dan ibu). Bahkan Hadist Nabi Muhammad SAW
156 SUHARDI
Antara Pilang dan Malin Kundang
Apa Kesamaan atau Perbedaannya?
Tema
Tema yang terkandung pada Legenda Pilang adalah tentang
seorang anak lelaki Melayu yang durhaka terhadap orang tuanya
(ibu). Karena merasa malu beribukan ibu tua yang sudah reot,
Amanat
Amanat yang terkandung pada cerita Pilang dan Malin
Kundang memiliki kesamaan, yaitu (1) jangan durhaka terhadap
orang tua (ibu atau bapak); (2) jangan lupa diri, sombong, dan
angkuh; (3) anak harus mengabdi kepada orang tua, jika memiliki
reski yang lebih wajib membantu orang tua; (4) ingat dan sadarlah
kegagahan yang dimiliki hari ini adalah berkat ketulusan hati
orang tua; dan (5) dekatkanlah diri selalu kepada Allah, agar tidak
158 SUHARDI
lupa diri dan sombong. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada
orang yang memiliki sikap sombong.
Alur Cerita
Cerita Pilang menggunakan alur maju. Maksudnya, cerita
bergerak dari awal hingga akhir. Cerita dimulai dari kehidupan
Pilang bersama ibunya semasa kecil. Setelah dewasa, Pilang
memohon izin ibunya untuk merantau guna memperbaiki
kehidupan ekonomi dan membantu orang tuanya. Di rantau
Pilang berhasil menjadi saudagar kaya dan mempersunting gadis
cantik. Di waktu berlayar kapal pilang terdampar ke tanah
kelahirannya sendiri. Ibu Pilang mendapat informasi bahwa
anaknya yang bernama Pilang kini telah menjadi orang yang kaya
raya, kini kapalnya sedang berlabuh di pelabuhan. Pilang tidak
menerima kehadiran sang ibu, ia malu memiliki ibu miskin dan
lusuh. Pilang murka kepada ibunya. Ibunya kecewa dan sedih.
Pilang dikutuk menjadi batu.
Model alur yang sama juga terjadi pada cerita Malin Kundang.
Malin masa kecilnya hidup dengan ibunya di sebuah gubuk tua
di tepi pantai Air Manis Padang. Setelah dewasa Malin minta izin
untuk pergi merantau guna mengubah nasib. Di rantau Malin
berhasil menjadi seorang saudagar kaya. Malin juga berhasil
mempersunting seorang gadis cantik. Saat berniaga, kapal Malin
terdampar di Pantai Air Manis tempat tanah kelahirannya. Ibu
Malin mendapat berita dari tetangganya bahwa Malin telah
datang dengan kapalnya dan didampingi sang istri cantik. Sang
ibu sangat berharap Malin menerima kedatangannya. Malin
menolak dan tidak mengakui nenek tua itu adalah ibunya. Sang
ibu putus asa. Saat kapal Malin mau meninggalkan pelabuhan
Pantai Air Manis, kapalnya diterjang badai dan terdampar ke
Tokoh Utama
Tokoh utama kedua cerita sama-sama ibu dengan satu orang
anaknya. Pilang dengan ibunya dan Malin Kundang dengan
ibunya.
Watak Tokoh
Watak tokoh yang dimiliki kedua cerita juga memiliki kesa-
maan. Ibu Pilang memiliki watak suka mengutuk sementara ibu
Malin Kundang juga demikian. Kutukannya juga sama, yaitu
menjadi batu. Tokoh Pilang juga memiliki watak seorang yang
lupa diri, sombong, dan jauh dari nilai-nilai agama. Ia tega tidak
mengakui orang tuanya sendiri. Watak tokoh yang sama juga
dimiliki Malin Kundang.
***
160 SUHARDI
Pilang lebih berbau masyarakat Melayu Kepulauan Riau
sementara Malin Kundang lebih berbau Padang.Tidak ada
sumber yang ditemukan menyatakan pengembang kedua cerita
tersebut sama. Tidak ada juga data-data yang memperkuat mana
yang lebih dahulu kedua cerita tersebut lahir. Hal ini mungkin
disebabkan kedua cerita tersebut bersifat anonim. Namun yang
jelas kedua cerita tersebut telah menjadi sebuah mitos dalam
masyarakat penganutnya. Dipercaya hingga sekarang.
162 SUHARDI
bersumpah/ Tahu membela segala rakyatnya/ Tahu menjaga
kampung halamannya. Rela berlapang di dalam sempit/ Rela
berbagi walau sedikit. Menjalankan tugas tahan beragas/
Menjalankan amanah tahan dilapah/ Menjalankan yang hak
tahan diinjak/ Menunaikan janji tahan dikeji. Membela rakyat
tahan dikerat/ Membela bangsa tahan binasa/ membela negeri
tahan mati (H. Huzrin Hood, Batam Post, 10 Mei 2011).
Selanjutnya, filosofis adat Melayu juga menyatakan bahwa
jabatan itu adalah sebuah tanggung jawab dan beban yang harus
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh serta akan diminta
pertanggung jawabannya di kemudian hari.
Melekatnya sebuah tanggung jawab seiring penerimaan gelar
tersebut sangat disadari oleh orang nomor satu di Provinsi
Kepulauan Riau ini. Kesadaran akan sebuah tanggung jawab
sebagaimana pernyataan beliau bahwa gelar yang diterimanya
merupakan amanah yang wajib dijaga dan dijalankan, demi
menjaga marwah masyarakat Melayu. “Duduk saya semoga
berpegang iman, tegak saya semoga berpegang pada adat.
Sebagaimana saya menjaga hati dan jiwa di dalam tubuh, saya
akan menjaga dan memegang penuh gelar Datuk Setia Amanah
yang saya terima. Saya mohon do’a dan dukungan dari semua
pihak, agar bisa memangku dan menjalankan gelar ini dengan
baik. Semoga, kami mendoakan, semoga niat baik tersebut dapat
diwujudkan. Amin!
Kesuksesan berikutnya yang juga diproleh Gubernur Provinsi
Kepulauan Riau H.M. Sani adalah terbitnya sebuah buku yang
berisi tentang liku-liku perjalanan hidup masa kecilnya hingga
saat ini, yaitu menjadi Gubernur Provinsi Kepulauan Riau. Buku
tersebut berjudul Untung Sabut. Tidak banyak gubernur yang
164 SUHARDI
BAGIA N III.
KRITIK & ULASA N
***
168 SUHARDI
sisi menyalahi aturan yang sebenarnya tetapi di sisi lain telah
menjadi sarana ekspresi yang sangat fungsional, dan (3) bahasa
yang digunakan dalam sajak-sajak Chairil Anwar mampu mem-
bangkitkan suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekaan, dan
kelincahan yang sangat mengagumkan, khususnya dalam dunia
sastra Indonesia. Untuk itu, H.B. Jassin —kritikus sastra
Indonesia yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia—
menyatakan keberhasilan Chairil Anwar menjadi sastrawan
terkenal disebabkan keseriusannya dalam menekuni dunia
kesusastraan Indonesia.
Nama Chairil Anwar muncul di khasanah sastra Indonesia
sejak zaman Jepang. Chairil Anwar dikenal melalui beberapa
karya sajaknya yang cukup revolusioner dan reformis. Dalam
beberapa sajaknya terlihat jelas sikap individualis yang
dimilikinya. Sikap yang menghendaki kebebasan atau
memberontak terhadap kungkungan yang ada. Hal ini sebagai-
mana terlihat dalam sajaknya yang berjudul Aku berikut ini: kalau
sampai waktuku/ ku mau tak seorang pun kan merayu/ tidak
juga kau/tak perlu sedu sedan itu/ aku ini binatang jalang/ dari
kumpulan yang terbuang/ biar peluru menembus kulitku/ aku
tetap meradang menerjang/ luka dan bisa kubawa berlari
berlari/ hingga hilang pedih dan peri/ dan aku lebih tak peduli/
aku mau hidup seribu tahun lagi.
Sajak tersebut sudah memperlihat sikap penyair yang
sesungguhnya. Sebuah sikap tegar dan pantang menyerah karena
memiliki keinginan untuk hidup lebih lama (seribu tahun lagi).
Kata ‘binatang jalang’ merupakan kata kunci yang menggam-
barkan bahwa penyair adalah orang yang pantang menyerah
dengan keadaan.Penyair bukan orang yang cengeng, yaitu yang
suka bersedih-sedih karena disakiti dan disisihkan dalam
170 SUHARDI
Kebudayaan bukanlah sintesis yang dicampur-baur. Namun
kebudayaan adalah cara suatu bangsa mengatasi masalah yang
lahir dari situasi zaman dan tempat.
Dalam sejarah perjalanan sastra Indonesia, Chairil Anwar
dikenal dengan tokoh “Angkatan 45”.Istilah Angkatan 45
pertama kali dilontarkan Rosihan Anwar tahun 1948. Kelompok
lain menjuluki Chairil Anwar dengan sebutan “Angkatan Chairil
Anwar”. Sementara kelompok lainnya, menjuluki Chairil Anwar
dengan sebutan “Angkatan Kemerdekaan”. Namun, istilah yang
hingga hari ini tetap melekat adalah “Angkatan 45”.
Pemberian nama ini pun juga menimbulkan pro-kontra di
beberapa kalangan. Armijn Pane dan Sutan Takhdir Alisyahbana
menolak pemberian nama tersebut. Menurutnya, Chairil Anwar
juga merupakan hasil dari sebuah pohon yang telah ditanam
selama ini.Maksudnya, Chairil Anwar merupakan penerus
kepenyairan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru. HB
Jassin, Sitor Situmorang, dan Aoh K. Hadiadmaja mencoba
membela dengan mengatakan Chairil Anwar tidak dapat
digolongkan lagi ke angkatan sebelumnya sebab telah memiliki
perbedaan yang cukup signifikan, terutama terlihat dari segi gaya
penulisan dan visi yang diembannya. Hal ini juga diperkuat lagi
H.B. Jassin melalui sebuah esainya yang berjudul “Angkatan 45”.
Sebagai tokoh penyair yang telah berhasil melakukan
pembaharuan dunia perpuisian Indonesia, namanya sangat
terkenal. Baik di kancah nasional maupun internasional. Hal ini
tidak lain karena beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke
berbagai bahasa (Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Rusia,
Jepang, dan Jerman). Burton Raffel telah menterjemahkan
beberapa sajak Chairil Anwar ke dalam bahasa Inggris.Burton
Raffel menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul
172 SUHARDI
Pandangan itu memang ada benarnya juga sebab dalam dunia
perpuisian modern Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri telah
banyak melakukan perubahan dan perombakan.Hal ini sebagai-
mana terlihat melalui kredonya, yaitu “mengembalikan kata
kepada akarnya, yaitu mantra.” Menurut Sutardji dengan
pembebasan tersebut akan dicapai kreativitas yang baik. Bahkan
secara spontanitas ia telah memproklamirkan dirinya sebagai
presiden penyair Indonesia.
Seperti halnya Chairil Anwar, beberapa karya Sutardji juga
telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Harry Aveling
telah menterjemahkan karya Sutardji ke dalam bahasa Inggris.
Terjemahan tersebut termuat dalam buku antologi puisinya yang
berjudul Arjuna in Meditation (Calcuta, India), Writing from The
World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia),dan dua
antologi berbahasa Belanda.
***
174 SUHARDI
“Peradilan Rakyat”-nya Putu Wijaya
Potret Buram Dunia Hukum
176 SUHARDI
Walaupun demikian, realitas yang dijadikan pengarang dalam
karyanya tentulah bukan realitas murni. Melainkan modifikasi
antara imajinasi dan realitas yang ada. Konsep ini sejalan dengan
yang dikemukakan Rene Wellek dan Austin Warren melalui
bukunya yang berjudul Teori Kesusastraan bahwa cipta sastra
diciptakan pengarang dengan maksud membebaskan penulisnya
dari tekanan emosi di dalam dirinya. Melalui pengekspresian
emosi tersebut maka beban batin berkurang bahkan hilang.
Dengan kata lain, cipta sastra adalah ungkapan perasaan
pengarang terhadap kenyataan atau kritik sosial yang disampai-
kan pengarang terhadap kenyataan. Dalam kaitan inilah, cerpen
Putu Wijaya yang berjudul Pengadilan Rakyat menjadi contoh
menarik.
Cerpen ini merupakan potret dunia hukum kita saat ini.
Cerpen yang mengisahkan pertemuan seorang anak dengan
ayahnya. Si anak dideskripsikan seagai seorang Pengacara Muda
yang cukup terkenal karena kasus-kasus yang ditanganinya
selalu berakhir sukses dengan kemenangan di pengadilan.
Sementara si ayah yang juga seorang pengacara juga telah
memiliki reputasi besar. Apa yang dilakukan oleh kedua orang
pengacara ini? Berikut dapat dilihat melalui dialog berikut:
“Aku datang bukan sebagai putramu melainkan sebagai seorang
pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri
yang sedang kacau ini. Aku datang kemari ingin mendengarkan
suaramu, aku mau berdialog. Belum lama ini negara menu-
gasiku untuk membela seorang penjahat besar tetapi aku tolak
sebab aku curiga negara hanya ingin menunjukkan sebuah
teater spektakuler bahwa di negeri ini sudah terjadi kebangkitan
baru dari dunia hukum. Menurutku pencarian keadilan harus
mutlak bukan sebuah teater. Aku tak mau menjadi pecundang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan harus-
lah melalui pengadilan yang bersih.
178 SUHARDI
Walaupun demikian, tentunya kita sepakat hal ini tidak bisa
dibiarkan. Kepercayaan masyarakat terhadap sebuah keputusan
hukum perlu ditingkatkan. Caranya adalah dengan menghapus
praktek-praktek pengadilan yang kotor. Yang lebih penting lagi
melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat agar mereka
mengerti hukum. Inilah tugas kita semua ke depan, termasuk
tugas sastrawan untuk menghasilkan karya yang dapat
menjunjung peradilan bersih.
180 SUHARDI
perlihatkan kepiawaian sang penulis dalam bermain imajinasinya
melainkan juga mengandung kekayaan kritik sosial terhadap
realitas yang terjadi saat ini. Kritik sosial tersebut sebagaimana
bila diselami mulai dari judul yang dipilih, latar cerita, hingga
watak tokoh. Hal tersebut sebagaimana dapat dikemukakan
berikut ini.
Permainan Imajinasi
Umar Junus (salah seorang kritikus sastra dan budayawan
nasional Indonesia) dalam sebuah seminar sastra di Universitas
Bung Hatta Padang pernah mengatakan bahwa kekuatan sebuah
cipta sastra adalah pada kemampuan pengarang (sastrawan)
dalam mempermainkan daya imajinasinya. Bahkan Mursal Esten
(budayawan nasional Indonesia) dalam bukunya “Pengantar
Teori dan Sejarah Sastra” memperkuat pandangan Junus dengan
mengatakan berkualitas tidaknya sebuah cipta sastra sangat
ditentukan kekuatan imajinasi yang digunakan pengarang di
dalam karyanya. Permainan imajinasi yang dimaksud adalah
ilusi-ilusi atau angan-angan positif yang timbul dan bergejolak
di dalam pikiran pengarang untuk mewujudkan sesuatu yang
lebih baik di masa datang. Saini KM mengatakan bahwa beda
cipta sastra dengan cipta sejarah hanyalah karena cipta sastra
memasukkan unsur imajinasi sementara cipta sejarah tidak.
Salah satu contoh permainan imajinasi dalam cerpen Rumah
Tak Berpintu karya Tarmizi Asultan adalah pilihan judul dari
cerpen tersebut. Pembaca atau penikmat sastra akan berkerut
keningnya, sebab mana mungkin ada rumah tidak memiliki pintu.
Kira-kira rumah apakah itu? Dari mana penghuni rumah akan
masuk jika rumah itu tak berpintu? Ini rumah atau sebuah kotak
yang bersegi empat, semua bagiannya tertutup rapat.
Latar Cerita
Permainan imajinasi berikutnya yang dilakukan pengarang
adalah penyebutan ‘kota’ sebagai tempat yang wah. Tempat yang
sangat menjanjikan untuk semua orang yang datang memperoleh
kehidupan yang lebih baik. Keberhasilan tokoh (saya) dalam
cerpen ini menjadi saudagar kaya sebetulnya hanyalah kebetulan
sebab betapa banyak di kota orang-orang yang hidupnya morat
marit. Jangankan menjadi saudagar kaya raya hidup serba
berkecukupan saja susah. Lihat saja realitas yang ada di kota-
kota besar, seperti Jakarta atau Batam. Batam misalnya, betapa
banyak kita jumpai rumah-rumah kumuh yang tak layak huni di
sepanjang jalan. Begitu juga Jakarta, betapa banyak masyarakat
yang hidup di bawah kolong jembatan. Jadi, kota dan desa
realitasnya adalah sama. Siapa saja yang mau bekerja keras,
memiliki ilmu dan keterampilan yang cukup, serta selalu
182 SUHARDI
mendekatkan diri kepada Allah, insya allah akan sukses. Yang
susahnya itu adalah bila hidup serba menanggung (serba kurang,
yaitu kurang ilmu, kurang keterampilan, kurang keyakinan, dsb).
Hal ini sebagaimana kata pepatah “ berburu ke padang datar,
rapat rusa belang kaki, berguru kepalang ajar, laksana bunga
kembang takjadi.”
Watak Tokoh
Tokoh-tokohyang terdapat di dalam cerpen Rumah Tak
Berpintu adalah tokoh-tokoh yang tegar, memiliki keyakinan
yang tinggi, dan pekerja keras. Salah satu tokohnya adalah Ramli.
Ramli karena pendidikannya yang cukup, pekerja keras,
memiliki keyakinan yang tinggi dan dekat dengan Allah, ia
berhasil diterima disebuah kantor pemerintah (walikota). Tokoh
saya juga demikian. Sejak kecil sudah dipercaya orang tuanya
untuk mengolah kelong milik keluarga. Melalui kelong inilah
keluarga tokoh “saya” menggantungkan kehidupannya. Tidaklah
heran jika tokoh saya ini setelah pindah ke kota berhasil (menjadi
saudagar kaya). Sebetulnya, tokoh saya sewatu di desa juga telah
berhasil. Melalui hasil kelong yang diolahnya, tokoh saya berhasil
memenuhi kebutuhan ekonomi orang tua dan adik-adiknya.
Walaupun itu atas nasehat yang selalu diberikan temannya
(Ramli). Siapa saja yang mau bekerja keras, memiliki ilmu yang
cukup, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah pasti
kehidupannya baik.
Kritik sosial yang cukup pedas terdapat di dalam cerpen ini
terdapat pada paragraf terakhir, yaitu “Ternyata rumah megah
itu tidak memiliki pintu bagi orang-orang akar rumput yang tidak
memiliki nyali untuk berurusan ke rumah tersebut. Nyali besar
184 SUHARDI
Bau Busuk dalam Cerpen
“A roma Bangkai Depan Rumah
Mantan Penghulu”
***
186 SUHARDI
rumahnya sangat megah di Kampung Barebarelanglang. Mantan
penghulu kota tersebut bernama Haji Mansyor. Tokoh aku sangat
heran, mengapa orang lain yang sering melewati jalan tersebut
sepertinya tidak mencium bau busuk tersebut. Apakah indra
penciuman mereka tidak normal lagi sehingga tidak bisa
merasakan bau yang tidak sedap tersebut.
Tokoh aku berikutnya memperoleh informasi bahwa
sesungguhnya salah seorang dari penjaga keamanan rumah
megah itu ada yang mencium bau tak sedap itu. Kemudian ia
melaporkannya kepada sang majikan. Namun apa yang terjadi
berikutnya? Penjaga keamanan tersebut diberhentikan (dipecat)
dari tugasnya. Sang majikan menuduh bahwa penjaga keamanan
tersebut telah berbuat lancung sehingga perlu diberikan sanksi,
yaitu diberhentikan. Awalnya sang majikan mencoba mencari
kebenaran yang disampaikan penjaganya tersebut akan tetapi ia
tidak menemukannya sehingga sang majikan mengartikan
perbuatan sang penjaganya sebagai perbuatan penghinaan
terhadap dirinya. Oleh sebab itulah, ia memberikan sanksi, yaitu
memecat salah seorang anggota penjaga keamanannya tersebut.
Sejak peristiwa tersebut, anggota penjaga keamanan yang lain
tidak berani melakukan perbuatan yang sama dilakukan
sahabatnya. Walaupun sebetulnya ia juga mencium bau busuk
tersebut tetapi ia mengabaikannya saja, sehingga hari-hari
berikutnya menjadi sesuatu yang sudah biasa. Mereka tidak mau
menerima sanksi dipecat sebab saat ini untuk memperoleh kerja
sangat sulit. Apalagi bekerja di rumah seorang pejabat terkenal.
Dengan apa anak-anaknya nanti akan dibiayai penghidupannya.
Dengan apa nantinya mereka beli beras, bayar uang sekolah anak,
dan lain sebagainya.
188 SUHARDI
penghulu memecat salah seorang penjaga keamanannya karena
telah berani menuduhnya sebagai koruptor.
Kode budaya yang terkandung di dalam cerpen ini adalah
potret para penguasa saat ini yang selalu cenderung korup. Saat
sebelum menjadi penguasa selalu berkoar-koar, “Mari basmi
korupsi!”, akan tetapi menjadi sebaliknya ketika yang bersang-
kutan sudah menduduki kursi kekuasaan. Semuanya menjadi
halal. Lupa diri. Namun masyarakat pada umumnya tidak akan
melupakan janji itu.
Keistimewaan lain dari cerpen Aroma Bangkai Depan Rumah
Mantan Penghulu” adalah pesan moral yang disampaikan
pengarang kepada pembacanya. Pesan moral tersebut adalah
terimalah nasihat yang baik, walaupun dari bawahan sekalipun.
Karena itulah teman yang baik, yaitu teman yang selalu
menasehati kita. Jangan sombong, mentang-mentang punya
jabatan orang lain mau dilecehkan saja. Ingat jika kelak tidak
lagi menjabat (jadi rakyat biasa). Jabatan itu hanyalah sementara,
tidak dipakai selamanya. Berperilakulah sebagai pengayom agar
selalu dicintai dan disenangi seluruh masyarakat.
C ipta sastra memang tidak bisa lepas dari realitas. Hal ini
karena bahan baku yang akan dijadikan produk cipta sastra
selalu berkaitan dengan realitas yang ada. Sejarah telah banyak
membuktikan bahwa pada umumnya karya sastra besar selalu
berkaitan dengan realitas masa itu. Sebut saja diantaranya novel,
Tenggelamnya Kapal van der Wicjk karya HAMKA; drama
keluarga berjudul Tampomas II; begitu juga dengan film yang
cukup sukses, yaitu Titanic yang dibintangi Leonardo de Caprio
dengan sutradara James Cameron. Saking dekatnya dengan
realitas, sering para penonton dan pembaca ragu: apakah yang
disajikan itu realitas atau imajinasi? Padahal, semua itu lebih
banyak unsur fiktifnya ketimbang dari faktanya. Di sinilah
memang terlihat kepiawaian pengarang atau penulis dalam
memadu dua unsur tersebut sehingga terkesan fakta semua yang
disajikannya.
Kepiawaian pengarang dalam meramu unsur fiktif dan fakta
tidak lain disebabkan di dalam diri pengarang tersebut sudah
terdapat dua daya (kemampuan), yaitu daya kreatif dan daya
imajinatif. Dengan daya kreatif yang dimiliki, seorang pengarang
dapat saja menjadikan segala yang ada di sekitarnya menjadi
bahan dahan penciptaan karyanya. Apakah dalam bentuk cerpen,
novel, drama, maupun puisi. Pengarang yang piawai sangat jarang
mengalami kekurangan stok/bahan cerita. Berbeda tentunya
dengan pengarang yunior atau pemula. Sementara daya
190 SUHARDI
imajinatif adalah kemampuan pengarang mengimajinasikan
sesuatu yang tampak (realitas) tersebut sehingga hadir sosok yang
lain (realitas dalam imajinasi) yang lebih sempurna bahkan
melampaui sesuatu yang ada. Besar-kecil dan kuat lemahnya
permainan imajinasi yang dilakukan pengarang sangat menen-
tukan pula berkualitas tidaknya cipta sastra yang dilahirkan.
Budi Darma (sastrawan yang juga guru besar sastra
Universitas Negeri Surabaya) dalam sebuah diskusi sastra
mengatakan bahwa semakin sedikit kadar imajinasi dalam cipta
sastra maka semakin dekatlah cipta sastra itu dengan realitas
alias semakin kurang berkualitas. Begitu juga sebaliknya, semakin
kuat kadar imajinasi dalam cipta sastra maka semakin
berkualitaslah cipta sastra tersebut. Namun yang jelas adalah
realitas (fakta) dan imajinasi (fiktif) adalah dua unsur yang harus
ada dalam sebuah cipta sastra.
Sebagai mahluk sosial, pengarang hidup bersama-sama
masyarakat. Sama-sama merasakan susah, senang, sakit, duka,
dan sebagainya bersama-sama masyarakat sekitarnya. Baik atas
kebijakan penguasa yang berpihak pada masyarakatnya atau
sebaliknya, yaitu para penguasa yang zalim terhadap rakyatnya.
Kelebihan pengarang dibanding anggota masyarakat lainnya
adalah pengarang mampu menyampaikan keluh kesahnya (kritik)
kepada penguasa melalui wadah yang disebut cipta sastra.
Apakah bersifat cacian, makian, kutukan, maupun bentuk-
bentuk emosi lainnya. Baik langsung maupun tidak langsung
(sindiran). Namun yang jelas dari semua itu, pengarang sebagai
anggota masyarakat ingin menggugah para penguasa untuk selalu
memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Jangan bersikap
korup, zalim, dan sombong. Semuaya adalah masukan kepada
penguasa agar bekerja lebih baik lagi dan jangan lupa diri.
192 SUHARDI
‘saya’ sama dengan pilihan istrinya, yaitu salah satu kandidat
terbaik, tidak korup, dan layak menduduki penghulu kota
periode berikutnya. Tokoh ‘saya’ sangat kagum kepada istrinya
sebab memiliki kepekaan politik yang cukup brilian. Harapan
tokoh ‘saya’ dan istrinya adalah tokoh yang diidolakannya
tersebut menang dalam pemilu yang akan dilaksanakan beberapa
bulan nanti.
Sosok tokoh ‘saya’ yang terdapat pada cerpen ini memper-
lihatkan sosok seorang suami yang baik. Suami yang ingin
membahagiakan sang istri tercintanya. Ia rela terusik tidurnya
demi mendengarkan keluhan istrinya. Ia rela ikut terlibat
memikirkan calon penghulu kota Barebarelanglang yang akan
memimpin ke depan demi menyenangkan hati istrinya. Walaupun
sesungguhnya ia tidak terlalu tertarik. Bahkan tokoh ‘saya’
diakhir cerita juga ikut mendoakan semoga pilihan istrinya itu
berhasil memperoleh kemenangan bersaing dengan kandidat
lainnya.
Karakter tokoh ‘saya’ dalam cerpen ini memperlihatkan sosok
tokoh yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Tidak hanya
itu, tokoh ‘saya’ juga memiliki karakter tokoh yang tidak ambil
pusing terhadap realitas yang ada di sekitar lingkungannya alias
tokoh yang tak mau usil. Siapapun yang akan jadi asalnya melalui
proses yang benar, akan diterimanya dengan baik. Nilai positif
lainnya, tokoh ‘saya’ merupakan tokoh yang rela berkorban demi
sang istri. Sungguh sosok lelaki (suami) yang susah dicari, sebab
tidak semua suami memiliki kepedulian yang tinggi kepada
istrinya. Sebuah sikap yang perlu ditiru para suami.
194 SUHARDI
daya dorong tersendiri bagi para pencinta novel Indonesia untuk
cepat-cepat memilikinya. Kedua, dari segi warna sampul yang
disajikan. Warna pink (merah muda) yang berpadu dengan warna
putih menimbulkan sebuah kesan tersendiri. Bahkan menurut
sebuah ilmu percintaan warna pink mengantarkan makna cinta
yang sedang bergelora. Warna ini tentunya juga memiliki
hubungan yang erat dengan judul dan isi novel. Ketiga, dari segi
ilustrasi kulit muka novel. Sosok lelaki dan warna muda yang
sedang memegang bunga tentunya menimbulkan kesan
tersendiri. Cuma saja di dalam ilustrasi sampul novel RMTB ini
warna bunganya tidak ditampilkan. Akan tetapi jika dilihat dari
segi bentuknya, seperti bunga yang dipegang sang wanita adalah
bunga ros. Sejenis bunga yang selalu digunakan seseorang untuk
menyatakan rasa sayang dan cintanya kepada sang kekasih yang
dicintainya.
Dari sisi lain, sebagaimana yang dikemukakan Prof. Dr.
Mursal Esten dalam sebuah bukunya yang berjudul Pengantar
Teori & Sejarah Sastra Indonesia bahwa karya itu lahir karena
adanya reaksi atas kondisi masyarakat, hal itu biasanya
disampaikan pengarang dengan menggunakan gaya bahasa yang
cukup halus agar masyarakat tidak merasa tersinggung. Akan
tetapi mampu menangkap dengan tepat pesan-pesan yang disam-
paikan pengarang didalam karyanya.
Oleh sebab itulah, guna menangkap pesan-pesan apa yang
disampaikan pengarang dalam novel ini kepada pembaca/
penikmatnya, novel RMBTBD perlu dilakukan semacam
pembedahan. Abrams —salah seorang kritikus sastra dunia—
menawarkan beberapa pendekatan yang dapat digunakan sebagai
pisau pembedah sastra, yaitu: (1) pendekatan ekpresif, yaitu
pendekatan yang lebih menitik beratkan pada hubungan karya
Sensitivitas Pengarang
Dengan daya kreativitas dan kekuatan daya sensitivitas yang
dimiliki pengarang terhadap realitas yang ada di sekitarnya,
menyebabkan pengarang tidak pernah kekurangan obyek
penulisan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Prof. Dr.
Hasanuddin W.S. —salah seorang budayawan Nasional
Indonesia asal Kepri — pada dalam salah bukunya yang berjudul
Analisis Fiksi Indonesia bahwa sebuah karya akan lahir jika sang
penulis memiliki dua modal pokok, yaitu kreativitas dan
sensitivitas.
Sejalan dengan pandangan itu, sensitivitas yang dimiliki
pengarang dapat ditandai dari kepekaannya dalam menangkap
realitasya yang ada di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Terutama mereka-mereka yang sedang dipermainkan oleh “rasa”
(suka, sayang, cinta, atau cemburu); bahkan —kalau mau berkata
jujur setiap orangpun pernah mengalaminya. Bahkan dimata
196 SUHARDI
sang penulis, sesuatu yang disebut “rasa” ini bisa dikembangkan
menjadi sesuatu yang berharga (karya). Tokoh-tokoh yang
dihadirkan pengarang dalam novel RMTBD ini adalah tokoh yang
sedang dipermainkan oleh sesuatu yang disebut rasa tersebut.
Terutama tokoh utama yang bernama Guru Zack dan Anggie.
Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah dosakah bila
di dalam diri ini memiliki rasa (sayang, cinta) itu? Jawabnya
tentunya tidak ada suatu larangan atau dosa menyayangi dan
mencintai lawan jenisnya.
Imajinasi Pengarang
Walaupun realitas yang disajikan pengarang di dalam novel
Rasa Memang Tak Pernah Bisa Dipaksa ini begitu dekat akan
tetapi sesuatu yang tidak dapat dibantah adalah realitas yang
disajikan itu bukanlah realitas murni. Melainkan hasil perpaduan
realitas yang ada di sekitar pengarang dengan realitas yang ada
di dalam diri pengarang (imajinasi pengarang). Sejalan dengan
hal tersebut, pemanfaatan unsur imajinasi dalam novel RMTBD
ini terlihat jelas masih belum sempurna. Banyak terdapat ruang-
ruang kosong yang dibiarkan begitu saja oleh pengarang di dalam
cerita ini. Hal ini juga yang menyebabkan konflik yang terjadi
antar tokoh kurang begitu hidup.
198 SUHARDI
terabaikan. Akibatnya, lahirlah produk pendidikan yang kaya
ilmu pengetahuan tapi miskin akhlak. Kalau mereka mendapat
kesempatan menjadi pimpinan maka mereka akan menjadi
pimpinan yang cenderung korup.
Mengajar bagi seorang guru bukanlah tugas yang sulit sebab
semua orang dapat melakukannya, asalkan ia memiliki ilmu
pengetahuan yang cukup. Namun, yang sulit itu adalah mendidik.
Hanya guru yang memiliki ilmu mendidik yang dapat melaku-
kannya. Bukti kepemilikan ilmu mendidik ini ditunjukkan dalam
bentuk semacam SIM, yaitu “Akta Mengajar”. Hal ini jugalah
yang menyebabkan mengapa guru yang belum memperoleh akta
mengajar tersebut diwajibkan untuk mengambilnya. Mereka
yang telah memperoleh akta mengajar tersebut biasanya dapat
menempatkan dirinya dengan baik di tengah-tengah anak
didiknya dan menjalankan tugasnya dengan baik (mengajar dan
mendidik). Bahkan mereka sering dijadikan model oleh para anak
didiknya. Hal inilah yang terjadi pada sosok Guru Azmi (yang
sering di sapa Kak Azmi) sebagai potret guru masa depan.
Potret yang ideal tersebut dipaparkan tokoh aku dalam
cerpen Gadis Pelantai karya Riki Utomi berikut ini.
Pertama, sang guru selalu tampil ceria. “ Dia perempuan yang
kami senangi. Perawakannya sederhana dan gayanya pun
sederhana. Ia selalu tampil ceria, nyaris tak ada secuil pun
masalah hinggap pada wajahnya yang masih remaja itu.”
Kedua, bersahaja dan mengundang simpati siswa. “Kami
senang dengannya karena sikapnya yang bersahaja atau
perangainya yang mengundang simpati siapa saja.”.
Ketiga, penuh senyum kepada siapa saja. “... aku melihatnya
penuh senyum kepada siapa saja”.
200 SUHARDI
Tema Cinta dalam Cerpen Indonesia
202 SUHARDI
pengetahuan saya yang berani memilih latar, yaitu ‘pesantren’.
Suasana yang lazim di lingkungan pesantren adalah suasana santri
yang hampir setiap hari sebahagian besar kehidupannya
dihabiskan untuk memperdalam ilmu agama dan lebih
mendekatkan diri kepada Allah, Sang Maha Pencipta alam
semesta.
Kedua, tokoh cerita yang dihadirkan dalam cerpen Elegi
Santriwati ini adalah tokoh-tokoh pesantren yang biasanya
memiliki nama sapaan “ustad”. Di antara nama sapaan tersebut
adalah Ustad Imron, Ustad Bobby, dan Ustad Ahmad.
Kelembutan dan perhatian yang tulus diberikan Ustad Bobby
ternyata menumbuhkan bibit cinta di hati seorang santri yang
bernama “Met”. Rasa cinta ini ternyata mendapat sambutan atau
respon baik dari Ustad Bobby. Akhirnya percintaan mereka
terjalin dengan hangat. Keadaan menjadi lain saat teman Met
yang bernama Fadilah membaca buku Bear yang sering digunakan
Met untuk berkomunikasi. Fadilah marah, ia menyuruh Met
untuk memutuskan hubungan dengan Ustad Bobby. Met tidak
mau menuruti nasehat Fadilah. Fadilah melaporkan Met ke
Ustazah Mutia (salah satu keamanan pesantren). Ustazah Mutia
membentak tokoh Met dan mengancam akan memanggil orang
tuanya. Ustad Bobby atas pelanggaran disiplin dikeluarkan oleh
pihak yayasan.
Ketiga, tema cinta yang disuguhkan cerpen karya Fatih
Muftih ini adalah tema cinta yang tumbuh di kalangan dua anak
muda di lingkungan pesantren. Berupa rasa ingin disayang, ingin
diperhatikan, dan ingin dimanja oleh lawan jenis. Perasaan
seperti ini tentunya sangat wajar dimiliki oleh dua insan muda
(baik oleh santriwan maupun santriwati, baik di kalangan ustad
maupun ustazah). Terutama mereka yang sudah beranjak balik.
204 SUHARDI
Cita-Cita, Realita s, dan Izin A llah
206 SUHARDI
harus dipahami dengan baik. Pertama, untuk dapat hidup lebih
baik, manusia perlu bercita-cita. Cita-cita ingin menjadi dokter,
guru, dosen, pilot, dan lainnya. Dengan adanya cita-cita tersebut
kita termotivasi untuk beriktiar sungguh-sungguh untuk
mencapainya. Kedua, di balik cita-cita yang telah direncanakan,
manusia juga harus siap menghadapi realitas yang terjadi. Ada
kemungkinan apa yang dicita-citakan memang demikian realitas
yang terjadi. Akan tetapi banyak pula lain yang dicita-citakan
lain pula realitas yang terjadi. Kondisi seperti ini harus siap untuk
dihadapi agar tidak sampai prustasi. Ketiga, realitas yang terjadi
itu sangat erat kaitannya dengan izin Allah. Firman Allah dalam
Al-Quran Surat Kursyi, “Wassia Qursihussamawati wal ardhi”
(Segala yang ada di langit dan di bumi merupakan kuasa Allah).
Manusia hanya bisa merencanakan akan tetapi apakah rencana
itu kesampaian atau tidak semua izin Allah. Sejak lahir manusia
itu telah ditentukan tiga hal, yaitu (1) Umur, (2) rezeki, dan (3)
jodoh. Sadarilah bahwa cita-cita tersebut bukanlah sesuatu yang
harus diwujudkan.
Boleh saja sesuatu yang akan terjadi ke depan adalah sesuatu
yang di luar yang direncanakan manusia. Dunia ini memang
laksana panggung sandiwara, kita adalah aktor dan aktris yang
akan menjalankan tugas sesuai dengan skenario yang telah ditulis
Allah.
208 SUHARDI
Perbedaan lain yang terlihat pada sajak-sajak karya Hasrizal
ini adalah pada pandangannya yang intens bahwa alam adalah
bahagian dari dirinya. Jika dirinya mau tetap sehat dan segar
maka alam itu perlu dipelihara dari tangan-tangan manusia yang
tidak bertanggung jawab. Tangan-tangan manusia yang memiliki
sifat rakus, yang lebih mementingkan saat ini saja tanpa
memikirkan dosa yang harus ditanggung anak cucunya di
kemudian hari. Padahal Tuhan telah menciptakan alam ini
dengan sempurna. Ulah tangan-tangan manusia yang tidak
bertanggung jawab itu juga telah diturunkan beberapa bencana
agar manusia insyaf akan dosa-dosanya. Mulai dari banjir, tanah
longsor, gempa bumi, hingga angin kencang yang memporak-
porandakan rumah dan fasilitas umum.
Kritikan pedas yang disampaikan penyair muda ini terhadap
ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab,
beresiko terhadap hilangnya kelestarian alam sebagaimana
terlihat melalui sajak yang berjudul Cerita Mak berikut ini: “
…Nak! Pungguk tak lagi menyalak ‘Ug’…’Ug’… ’Ug’…’Ug’ karena
tempatnya bertengger telah lengser lantaran kalah suara di
pemilihan umum kemarin. Dan digantikan lolongan mesin
pemotong dan pengeruk lahan dari pasangan yang kata mereka
pilihan.” Bait sajak ini mendeskripsikan bahwa hutan sudah mulai
gundul karena mesin potong yang selalu digunakan manusia
hingga burungpun tidak ada tempat bertengger lagi sebab semua
pohon telah tumbang.
Perhatikan pula bait berikutnya: “Nak!”…Coba kau lihat!
Kolam besar yang menganga lebar yang kau sebut danau biru
itu, dulu adalah rimba tempat Mak mengambil rotan untuk atap
daun kelapa.” Maksudnya hutan yang dulunya memiliki berbagai
jenis hasil hutannya (seperti rotan) kini yang tinggal hanyalah
210 SUHARDI
Halang jangan biarkan mereka sentuh hijaunya rimbun tambun.
Halau jauhkan dari kita”. Maksud kata halau di sini adalah cegah
para penjarah hutan dan perusakannya. Tunjukkan bahwa kita
memiliki kekuatan bukan lemah.
Membaca sajak-sajak Hasrizal ini membawa kita pada ber-
keliling ke daerah Tanjungpinang dan Bintan yang hutannya di
sana sini sudah mulai punah. Hijau dedaunan dan warna biru
yang dulunya memancar di hutan-hutan tersebut kini berganti
dengan warna kuning tanah akibat galian timah para penambang.
Kicauan burung murai di waktu pagi hampir tidak terdengar
lagi karena pohon dan ranting tempatnya bertengger dan bermain
kini tiada lagi. Yang ada kini adalah galian timah yang begitu luas
dan limbah bekas penambangan yang juga telah dirasakannya
dampaknya oleh nelayan yang hidup di sekitarnya. Entah sampai
kapan ini akan berakhir. Wallahualam. Mungkin setelah
membawa korban yang besar, baru manusia sadar. Nauzubillah
bin zalik.
212 SUHARDI
sungguh sangat disayangkan tentunya, sebab sesuatu yang
bermutu akan berlalu begitu saja.
Berikut ini saya coba pilihkan salah satu dari sajak-sajak yang
telah diterbitkan tersebut, yaitu sajak-sajak Rumahitam (Haluan
Kepri, Minggu, 6 Maret 2011). Memang untuk menangkap makna
yang dikandung dalam sebuah sajak tidak semudah menangkap
makna dalam cerpen atau novel. Dibutuhkan persiapan awal,
berupa langkah-langkah pemahaman yang benar.
Langkah-langkah tersebut adalah: Pertama, amati kata-kata
yang dominan digunakan penyair di dalam sajaknya. Yang
dimaksud dengan kata-kata yang dominan adalah kata-kata yang
sering diulang penyair di dalam sajaknya. Kata-kata yang
dominan ini biasanya berimplikasi terhadap situasi yang
dilukiskan sajak. Secara tidak langsung akan membuka celah
dalam menangkap makna sajak secara keseluruhan. Contoh:
sajak Rumahitam 121211, yaitu:
Bismillahirrahmanirrahim/salam pada alam langit dan bumi/
kutulis sajak ini ketika masih tetap setia menanak nasib di bahu
jalan dan perempatan,/ketika matahari menua,/kita berteduh
di bawah balliho sepasang calon walikota,/satu di antara dua
wajah itu lebat kumisnya,/dua-duanya menyapa dengan
senyuman ranum,/aku menyaksikannya:melihat nganga singa
siap melumat nasib kita/kita masih setia menanak nasib
dipabrik-pabrik/ ketika datang dan pulang,/kita sempat jua
menatap sepasang wajah yang lain di balliho yang lain pula,/
sama:sepasang wajah itu juga menawarkan senyum ranum,/
para ibu-ibu banyak juga yang terkagum-kagum,/sedang para
suami menahan miris hati/ketikakita masih tetap saja setia
menanak nasib di atas ayun gelombang dan dingin udara
malam,/sekebaran-selebaran dengan wajah-wajah senyum
ranum menemani,/dan kita penuh harap: akankah nasib dapat
berubah,/atau kita semakin hanyut menanak nasib sendiri,/
ketika nanti sepasang dari mereka jadi,/kita tetap dibuai mimpi
dan janji-janji/ketikakita tetap setia menanak nasib di jalan-
jalan kegusarisauan/tiba jua hari penentuan itu,/lalu kita
214 SUHARDI
(kebohongan belaka), memahat birahi mereka yang liar
(memberikan peluang pada sifat rakus),mengguratkan harap
pada kedalaman tusukan paku-kaku itu (menambah
ketidakpastian dan menyakitkan).
Ketiga, usut kata ganti yang digunakan dalam sajak tersebut.
Perhatikan kutipan sajak tersebut:
Bismillahirrahmanirrahim/salam pada alam langit dan bumi/
kutulis sajak ini ….kita berteduh di bawah balliho sepasang
calon walikota,…. melihat nganga singa siap melumat nasib
kita….kita masih setia menanak nasib dipabrik-pabrik…kita
sempat jua menatap sepasang wajah yang lain di balliho…sedang
para suami menahan miris hati… kita masih tetap saja setia
menanak nasib di atas ayun gelombang dan dingin udara
malam,… kita penuh harap: … kita semakin hanyut menanak
nasib sendiri…kita tetap dibuai mimpi dan janji-janji..kita tetap
setia menanak nasib di jalan-jalan kegusarisauan,lalu kita
sempatkan ke bilik-bilik suara, mereka mengumpulkan suara
terbanyak dari kita, lalu bersenang-senang,/sedang nasib kita
tetap saja di tarikan gelombang,kita diminta lagi memungut
dusta/lalu kita coba mengeja kata,/menerjemahkan jadi angka-
angka,/memahat birahi mereka yang liar, siapa sepatutnya dari
mereka yang mendapat amanah,/siapa pula yang latah, tamak
ingin tetap memeluk kita.
216 SUHARDI
permainan personifikasi yang membuat kalimat-kalimat yang
disajikan menjadi hidup, seperti adanya frase pelukan bulan,
menyelimuti dingin, menggigit tulang, dan menahan hatiku.
Semua bentuk-bentuk frase tersebut merupakan bentuk-bentuk
permainan personifikasi yang dilakukan penyair terhadap benda
mati (bulan, awan, dan angin) yang seolah-olah benda hidup
(manusia).
Perhatikan juga bait berikutnya: indahnya janji/membuatku
betah merajut mimpi/ tapi kenyataan membuatku terjaga/
aku wanita/terbuai janji bulan / memamah malam
bersamanya / tapi mendung mendendam / memekatkan
warna malam/bulan berlayar menjauh/hingga aku
terkulai/ di tepi telaga duka/ sangsai menahan pedih luka/
harapkan berkecai pada malam. Frase merajut mimpi, janji
bulan, memamah malam dan mendung mendendam juga
merupakan permainan personifikasi yang begitu indah.
Bentuk-bentuk permainan personifikasi juga dapat dijumpai
pada sajak “Abak dan Sawah”, yaitu aku iba denganmu abak/
tapi miskin mengikat kuat pada langkah…/ kau lelaki
perkasa abak/ mampu menari bersama lumpur dan
badai…. puisi ini makin sarat dengan makna.
Selanjutnya bandingkan juga pada sajak yang berjudul
“Nyanyian Rindu Untuk Mak”, yaitu: Mak/ fajar merekah/ tak
seindah senyummu/ angin mendesau/ menyapa hatiku
yang risau kian galau/ mak / hari ini masih seperti kemarin/
wajahmu menari di kelopak mata/ menyentuh jiwa resah/
hingga gelora terpancar hati membara/ pada jarak yang
membentang sayapnya/ mak/ rindu mengaliri ngarai
jiwa/ menyisakan robekan luka/ rantau ini/ tak sehangat
pelukmu/ tak seramah kasihmu/ gamang aku menitinya/
218 SUHARDI
Daftar Pustaka
220 SUHARDI
Pudentia M.P.S.S.(ed.). 1998. Metodologi Kajian Tradisi
Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa
Situmorang, Saut. 2004. Politik Sayembara Sastra. Kompas.
Essay
Sultan, Tarmizi A. 2010. Rumah Tak Berpintu. Sijorimandiri.
Cerpen
________. 2010. Aroma Bangkai Depan Rumah Mantan
Penghulu. Sijorimandiri. Cerpen
________. 2010. Berebut Kursi Penghulu Berebarelanglang.
Sijorimandiri. Cerpen
Sumardjo, Jakob dan Saini KM. 1986. Apresiasi Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia
Suwarna, Dadan. 2004.Menimbang-Nimbang Cerpen Djenar.
Republika. Essay
Tf, Sakai. 2004. Belatung. Kompas. Cerpen
Thahar, Harris Effendi. 2004. Persahabatan Sunyi. Kompas.
Cerpen
Tyas, Sandy. 2004. Kyai Sepuh dan Maling. Kompas. Cerpen
Usman, K.2004. Bilal. Kompas.Cerpen
Utomi, Riki.2010. Gadis Pelantai.Sijorimandiri. Cerpen
Wijaya, Putu. 2009. Peradilan dalan Peradilan Rakyat.
BatamPos. Cerpen
Wilson, Nadeak. 2004. Seperti Angin Berlalu. Kompas.
Cerpen
222 SUHARDI
Indeks
A
A. Teeuw 8, 188
AA Navis 70, 73, 88, 89, 90, 91, 92, 132, 134
Abdul Muis 12, 26, 70, 73
Abidah Al Khalieqy 103
Acep Zamzam Noor 64, 202
Adorno 10
Afrizal Malna 18, 62, 65, 68, 95, 102, 108, 201, 216
Agus R. Sarjono 168
Ajip Rosidi 5, 71, 84
Alton C. Morris 103
Angkatan 45 171, 174
Anugerah Seni 175
Asroel Sani 73
Austin Warren 177
B
Batam Pos 17, 81, 98, 123, 163, 205, 230
Batu Belah 58
Batu Menangis 58
Baudelaire 10
Beni R. Budiman 121
Budi Darma 17, 35, 36, 94, 106, 107, 191
C
cerita rakyat 4
cerpen 24, 25, 27, 28, 29, 48, 52, 53, 61, 65, 66, 67, 68,
84, 85, 88, 89, 90, 93, 94, 97, 100, 105, 106, 108, 109,
110, 111, 112, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124,
125, 132, 175, 176, 177, 178, 180, 181, 182, 183, 185,
186, 188, 189, 190, 193, 198, 199, 201, 202, 203,
204, 205, 206, 212, 213, 229
D
Dami N Toda 84, 172
Danarto 65, 94, 96, 106, 109, 119
Darman Moenir 65, 69, 70
Datuk Maringgih 21, 133
Daya kreatif 176
daya kreatif 176, 180, 190
denotatif 188, 208
Dewan Kesenian Jakarta 48, 53, 54, 94, 173
Djamaris 4, 5, 219
dongeng 3, 5, 68, 84, 85, 116
drama 25, 39, 43, 45, 60, 61, 66, 79, 175, 180, 190
E
Eka Budianta 16
eksistensi manusia 10
Emha Ainun Najib 109
estetika 8, 21, 67, 143, 153, 154, 155, 156
F
Ferdinand de Saussure 8
fiktif 25, 26, 28, 29, 34, 190, 191
Filsuf 9
filsuf 10
G
Gadih Ranti 13, 219
gaya bahasa 21, 91, 109, 155, 167, 168, 195, 212, 216
gelar kehormatan 162
Goenawan Muhammad 48, 49, 66
Gubernur 175
224 SUHARDI
guru sastra 20, 62, 63, 96
Gus tf Sakai 54, 62, 65, 73, 111, 112, 201
Gusmarni Zulkifli 206, 216, 218
H
H.B. Jassin 3, 28, 29, 48, 78, 79, 80, 95, 98, 99, 100,
107, 169, 171
H.M. Sani 162, 163, 164
Haluan 61, 65, 75, 94, 98, 99, 123, 198, 202, 205, 206,
208, 212, 213, 220, 222, 230
Hamid Jabbar 64, 108, 201
HAMKA 12, 62, 73, 100, 133, 134, 190, 220
Hang Tuah 6, 19
Haris Effendi Thahar 65, 73, 117, 176, 201
Harry Aveling 173
Hasanuddin WS 24, 36, 220
Hasril Chaniago 91
Hasrizal 208, 209, 211, 220
Humam S. Chudori 116
Huzrin Hood 163
I
imajinasi 6, 7, 26, 27, 84, 103, 116, 176, 177, 180, 181,
181, 182, 190, 191, 196, 197, 208
Imam Budi Utomo 6
J
Jakarta 12, 28, 39, 48, 53, 54, 64, 79, 93, 94, 98, 101,
106, 117, 120, 135, 158, 173, 182, 194, 205, 219, 220, 221
Jakob Sumardjo 20, 154
Jamal D. Rahman 64
K
karya sastra 8, 12, 13, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,
2 5 , 26, 27, 2 9 , 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40,
41, 42, 50, 52, 53, 58, 62, 63, 64, 67, 69, 71, 78,
L
latar cerita 160, 181, 182, 202
Layar Terkembang 6, 18, 202
legenda 3, 6, 99, 142, 143, 153, 156, 157, 168, 174
LEKRA 68
Les Fleur du Mal 10
M
majas 103, 214
Makyong 4
Malaysia 70, 71, 82, 83, 84, 90, 139
Malin Kundang 57, 58, 59, 60, 139, 155, 157, 158, 159,
160, 161
Marah Rusli 12, 25, 27, 70, 73, 131, 132, 133, 135
Media Indonesia 48, 50, 51, 62, 65, 94, 95, 106, 111,
205, 219
Melayu Klasik 11
metafora 214
226 SUHARDI
Mimbar Minang 65, 94, 122, 230
mimesis 9, 21, 97, 196
Minangkabau 4, 25, 26, 58, 59, 86, 91, 133, 134, 135, 137,
140, 220, 230
mitologi 4
mitos 3, 4, 56, 57, 58, 59, 60, 161
Mochtar Lubis 68, 70, 73, 94, 106, 107, 174, 220
modern 8, 10, 18, 30, 31, 58, 61, 111, 132, 173
Muhammad Candra 194, 205
Muhardi 24, 36
Mursal Esten 12, 23, 35, 36, 37, 56, 176, 181, 195, 208
Mustofa Bisri 109, 202
N
NH Dini 12
novel 18, 21, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 39, 88, 90, 91, 93,
99, 131, 133, 1q34, 175, 176, 180, 185, 190, 194, 195, 196,
197, 201, 202, 213
novelis 194
O
Oka Rusmini 103
Orde Baru 68
otodidak 91
P
Padang 27, 35, 36, 38, 65, 89, 91, 94, 110, 134, 135, 159,
160, 161, 181, 220, 230
Padang Expres 230
panca indera 11
Panusuk Eneste 96
penokohan 109
penyair 4, 11, 21, 54, 71, 101, 102, 103, 104, 108, 109,
109, 110, 111, 167, 168, 169, 171, 172, 173, 174,
186, 188, 194, 201, 205, 209, 210, 213, 214, 215, 216, 217
personifikasi 216
R
Rambun Pamenan 13, 14
Ranah Minang 89, 157
Rawangtingkuluk 58
Remy Novaris DM 101
Rendra 71, 83, 108, 201, 216
Rene Wellek 177
Republika 17, 49, 62, 65, 68, 94, 96, 106, 107, 110,
111, 115, 116, 121, 172, 205, 219, 221
Rien T Seger 8
Roland Barthes 32
Rousseau 9, 10
Rumahitam 64, 186, 212, 213, 214
Rusli Marzuki Saria 91
S
Saini KM 20, 153, 181, 221
Salah Asuhan 6, 18, 26, 70, 202
Sapardi Djoko Damono 12, 48, 53, 62, 88, 103, 216
sastra Indonesia 11, 16, 48, 59, 60, 61, 62, 66, 67, 69, 72,
73, 77, 78, 79, 84, 88, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 104,
105, 107, 108, 123, 127, 167, 169, 171, 174, 186,
201, 202, 230
sastra lisan 3, 4, 5, 142, 143
SEA Write Award 90, 175
228 SUHARDI
sekolah dasar 86, 164
Seno Gumira Adjidarma 65, 68, 96, 119
Sijori Mandiri 6, 49, 98, 105, 106, 110, 111, 123, 124,
125, 127, 230
sinetron 34, 39, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 175
Singgalang 65, 69, 89, 94, 110, 220, 230
siswa 18, 19, 20, 21, 37, 61, 62, 63, 64, 77, 96, 97,
99, 108, 110, 125, 164, 198, 199, 200
Siti Nurbaya 6, 18, 21, 25, 27, 36, 70, 131, 133, 134,
135, 167, 202
Sitok Srengenge 62, 103
Subagio Sastrowardoyo 71, 84, 111, 172
Sumatera Barat 35, 38, 56, 65, 69, 70, 72, 73, 86, 89, 91,
110, 137, 139, 140, 141, 155, 157, 230
Sunaryo Basuki Ks. 49
Sutan Takdir Alisyahbana 172
Sutardji Calzoum Bachri 12, 102, 108, 119, 167, 172,
173, 216
T
Taman Ismail Marzuki 194
Tampomas II 25, 190
Tanjungpinang 31, 75, 76, 77, 81, 82, 202, 211, 219, 230
Tarmizi A. Sultan 61, 76, 106, 124, 180, 186, 192, 205
Tata Bahasa Struktural 8
Taufik Ismail 4, 12, 62, 64, 108, 110, 201
Teater Mandiri 175
Teguh Karya 39
teks 9, 11, 13, 48, 51, 52, 53, 59, 60, 67, 68, 93, 196, 219
Tenggelamnya Kapal van der Wicjk 26, 100, 133, 134,
190, 202
Titanic 25, 190
tokoh adat Melayu 86
tradisi 11, 58, 111, 153
Tuanku Lareh Simawang 13
V
Verdenius 9
W
wacana 153
watak tokoh 21, 88, 157, 160, 181
Wisran Hadi 59, 60, 65, 70, 71, 139
Y
Yulizal Yunus 91
Yusrizal KW 62, 65, 73, 109, 201
Z
Zapin 81, 82
230 SUHARDI
Tentang Penulis