Anda di halaman 1dari 243

SUHARDI

Sastra Kita,
Kritik, dan
Lokalitas

komodo books

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS i


SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS
© Suhardi

Hak cipta dilindungi undang-undang.


All right reserved.

Desain Sampul:
Tugas Suprianto

Visualisasi Isi:
Tim Komodo Books

Cetakan ke-1, Juli 2011


xii + 232 hlm. 14,5 x 20,5 cm

ISBN 978-602-98260-6-7

Diterbitkan pertama kali


dalam edisi bahasa Indonesia oleh
PENERBIT PT KOMODO BOOKS
Jl. Pepaya Blok Q No. 9,
Mekarsari, Depok, Indonesia
Telp. 021-8715771 Faks. 021-8715771
Email: komodobooks@publicist.com

ii SUHARDI
Sambutan
Walikota Tanjungpinang

K ami mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah Swt.


Shalawat dan salam kami tujukan kepada junjungan alam
Nabi Muhammad Saw. yang telah membawa umat-Nya dari alam
jahiliyah ke alam yang berilmu pengetahuan.
Menurut pengamatan kami, Saudara Suhardi, penulis buku
ini, sangat tekun dalam melakukan kajian atau kritik terhadap
beberapa karya sastra Indonesia. Hal ini terbukti melalui tulisan-
tulisannya yang telah dimuat di beberapa surat kabar. Sungguh
sangat disayangkan, jika berbagai tulisannya yang tersebar di
berbagai surat kabar tersebut dibiarkan begitu saja. Maka, sudah
saatnya lah memang tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan
menjadi buku.
Sehubungan dengan hal tersebut, kami sangat menyambut
gembira atas terbitnya buku”Sastra Kita, Kritik, dan Lokalitas”
karya Suhardi ini.
Saat dunia kritik sastra sedang mengalami stagnasi, setelah
kepergian kritikus besar H.B. Jassin, kehadiran tulisan Suhardi
dalam kajian kritik sastra Indonesia memang sangat tepat.
Terutama dalam mengatasi ketidakseimbangan antara pertum-
buhan cipta sastra dengan pertumbuhan kritikus sastra. Keha-
diran buku Suhardi ini menghembuskan angin segar dalam dunia
kritik sastra Indonesia.
Kami mengucapkan tahniah kepada Saudara Suhardi atas
terbitnya buku ini. Mudah-mudahan, Saudara terus berkarya

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS iii


untuk memajukan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat
Indonesia terhadap dunia kesusastraan, khususnya sastra
Indonesia.
Sekali lagi, tahniah, dan terima kasih.

Tanjungpinang, 7 Juli 2011


Walikota Tanjungpinang,

Dra. Hj. Suryatati A. Manan

iv SUHARDI
Sambutan Rektor
Universita s Maritim Raja A li Haji
Tanjungpinang

S aya mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt.


Salawat dan salam saya tujukan juga kepada junjungan alam
Nabi Muhammad Saw yang telah membawa umat-Nya dari alam
jahiliyah ke alam yang penuh ilmu pengetahuan, seperti saat ini.
Saya sangat yakin sekali apapun yang terjadi di muka bumi ini
adalah kehendak dan izin-Nya jua.
Maraknya kegiatan penerbitan sastra saat ini, idealnya
memang juga harus diimbangi kegiatan kritik sastra. Hal ini
sebagaimana yang terjadi di kantong-kantong yang kegiatan
penciptaan karya sastranya bergairah selalu diiringi juga dengan
kegiatan kritik sastra.Kritik sastra, cipta sastra, dan penikmat
sastra —harus diakui— memiliki kaitan satu sama lain yang cukup
kuat. Bahkan, boleh dikatakan, kehadiran kritik sastra akan
sangat membantu masyarakat (selaku pembaca) dalam mengenal
dan memahami cipta sastra. Kritikus, sastrawan, dan pembaca
merupakan tiga komponen sistemis yang tidak bisa dipisahkan.
Sejak kritikus ulung Indonesia, H.B.Jassin meninggalkan kita
semua, kegiatan kritik sastra di dunia cipta sastra Indonesia
seakan turut mengalami stagnasi. Sementara, penerbitan karya
sastra terus berjalan.Oleh sebab itulah, hal yang telah dilakukan
Saudara Drs. Suhardi, M.Pd. selama ini dalam menulis kritik
sastra sangat saya apresiasi positif, termasuk usaha yang

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS v


dilakukannya untuk menerbitkan kumpulan tulisannya dalam
buku ini.
Saya berharap, lahirnya buku Sdr. Suhardi yang berjudul
Sastra Kita, Kritik, dan Lokalitas ini dapat memberikan efek
positif pada dunia pembelajaran sastra Indonesia, khususnya di
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Buku ini dapat dijadikan pendamping pembelajaran apresiasi
sastra Indonesia di kelas. Sekaligus, saya juga berharap, buku
ini dapat memotivasi mahasiswa untuk menulis, baik karya sastra
maupun kritik sastra.
Saya atas nama Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji
mengucapkan tahniah kepada Saudara Drs. Suhardi, M.Pd..
Teruslah berkarya guna memajukan dunia pendidikan di daerah
Provinsi Kepulauan Riau ini. Terima kasih.

Tanjungpinang, 10 Juni 2011


Rektor,

Prof. Dr. H. Maswardi M. Amin, M.Pd.


NIP 1950066241980121001

vi SUHARDI
Pengantar Penulis

P enulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt.


yang telah memberikan hidayah-Nya sehingga buku ini dapat
hadir ke hadapan pembaca. Banyak hidayah yang penulis
dapatkan selama menyusun buku ini, di antaranya adalah
kemudahan-kemudahan dalam pengumpulan bahan hingga
penyiapan hal teknis penerbitan. Semoga kemudahan tersebut
selalu bersama penulis hari ini dan di masa datang. Amin.
Buku yang berjudul Sastra Kita, Kritik, dan Lokalitas ini
merupakan kumpulan tulisan yang telah pernah dipublikasikan
di beberapa surat kabar, yang terbit antara tahun 2001 hingga
2011. Sungguh sangat disayangkan rasanya jika tulisan tersebut
tercecer. Oleh sebab itulah, guna menyelamatkan tulisan-tulisan
itu, penulis merasa perlu untuk menerbitkannya dalam bentuk
buku, sehingga dapat didokumentasi. Selain itu, yang lebih
penting lagi, masyarakat dapat mengakses kembali untuk
memperoleh informasi dan gagasan-gagasan penulis yang
tertuang dalam tulisan-tulisan tersebut. Untuk memudahkan
pembaca, penulis berupaya mengelompokkan tiap tulisan ke tiga
bagian tema besar —yang kemudian menjadi judul buku ini.
Dunia kritik sastra Indonesia saat ini boleh dikata dirundung
kelesuan setelah kritikus Indonesia, H.B. Jassin menghadap Sang
Maha Kuasa. Guna menghidupkan kembali suasana yang telah
tercipta masa lalu maka kehadiran buku kritik sastra Indonesia
ini semoga menjadi oase yang menyejukkan dunia kritik sastra.
Terutama di kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS vii


Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia guna memotivasi
para mahasiswa menulis kritik sastra, baik terhadap sastra lokal
maupun sastra Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak
yang telah membantu dalam penerbitan buku ini. Terutama
kepada Walikota Tanjungpinang Ibu Suryatati A. Manan, Bapak
Prof. Dr. H. Maswardi M. Amin, M.Pd. (Rektor Universitas
Maritim Raja Ali Haji), Dr. Berthold Damshäuser (pengamat dan
peneliti sastra dari Universitas Bonn, Jerman), Prof. Dr. H.
Atmazaki Tama, M.Pd. (dosen dan pengamat sastra dari
Universitas Negeri Padang); Tarmizi A. Sultan (sastrawan
Provinsi Kepulauan Riau); dan Muhammad Candra (sastrawan
Provinsi Kepulauan Riau), dan sejumlah pihak yang tak mungkin
penulis sebutkan satu persatu.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Komodo
Books yang menerbitkan buku ini. Semoga kerjasama ini tetap
terjalin dengan baik hingga masa datang.
Dan, secara khusus, buku ini dipersembahkan kepada istri
dan anak-anak penulis yang tersayang sebagai bentuk ucapan
terima kasih atas pengertian dan motivasinya yang penuh cinta
kepada penulis selama ini.
Selanjutnya penulis mengharapkan kritik dan saran kepada
pembaca guna kesempurnaan buku ini di masa mendatang.

Tanjungpinang, 30 Juni 2011

Drs. Suhardi, M.Pd.

viii SUHARDI
Daftar Isi

SAMBUTAN WALIKOTA TANJUNGPINANG iii


SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS MARITIM
RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG v
PENGANTAR PENULIS vii

BAGIAN I. SASTRA KITA


• Manfaat Karya Sastra 3
• Peran Estetik dalam Cipta Sastra 8
• Sastrawan dan Penguasa 12
• Mendorong Kehidupan Sastra yang Kondusif 16
• Realitas dan Imajinasi dalam Sastra 23
• Kritikus Tidak Diperlukan Lagi? 31
• Krisis Kritik Sastra dan Sepinya Penonton 35
• Sinetron Tidak Membumi 39
• Sinetron: Sekedar Penjual Mimpi 43
• Kontroversi Teks Seks dalam Sastra 48
• Mitos dan Kontra Mitos dalam Sastra 55
• Menghidupkan Sanggar Sastra di Sekolah 61
• Kongres Cerpen Indonesia Mutakhir III:
Upaya Pembongkaran Ideologi 65
• Literary Award “Sari Anggrek”:
Sumbangan Penting bagi Dunia Sastra 69
• Hasil SidangDewan Kurator Ternate:
Pemberian Ruang bagi Peserta Lokal 75

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS ix


• Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Budaya Literatur dan Perjalanan Bangsa 78
• Bintan Arts Festival, Sebuah Catatan 81
• Kepergian Maestro AA Navis 88
• Geliat Sastra Koran Kita 93
• Penelitian Sastra Koran 98
• Media Massa dan Identitas Penyair 101
• Surat Kabar dan Ruang Sastra 105
• Dominasi Tema Sosial Cerpen dalam Koran 111
• Cerpenis dan Jurnal Cerpen Indonesia 118
• Kilas Balik Sastra Koran Sijori Mandiri 2010 123

BAGIAN II. LOKALITAS


• Siti Nurbaya Hidup di Minangkabau? 131
• Spirit Rebab dan Upaya Pelestariannya 137
• Nilai Moral, Religi, dan Estetika dalam
Legenda Pulau Pilang 142
• Antara Pilang dan Malin Kundang:
Apa Kesamaan atau Perbedaannya? 157
• Amanah “Untung Sabut”:
Penuh Motivasi dan Teladan 162

BAGIAN III. KRITIK DAN ULASAN


• Dari Chairil Anwar hingga Sutardji Calzoum Bachri 167
• “Peradilan Rakyat”-nya Putu Wijaya:
Potret Buram Dunia Hukum 175
• Kritik Sosial dalam Cerpen “Rumah Tak Berpintu” 180

x SUHARDI
• Bau Busuk dalam Cerpen “Aroma Bangkai
Depan Rumah Mantan Penghulu” 185
• Saya dalam Cerpen “Berebut Kursi
Penghulu Barebarelanglang” 190
• Novel “Rasa Memang Tak Pernah Bisa Dipaksa”
Nilai Rasa di Mata Pengarang 194
• Cerpen Riki Utomi “Gadis Pelantai”:
Potret Guru Masa Depan 198
• Tema Cinta dalam Cerpen Indonesia 201
• Cita-Cita, Realitas, dan Izin Allah 205
• Alam dan Kritikan Pedas atas
Pengrusakan Hutan dalam Sajak 208
• Tiga Langkah Memahami Sajak Rumahitam 121211 212
• Permainan Personifikasi dalam Sajak 216

DAFTAR PUSTAKA 219


INDEKS 223
TENTANG PENULIS 231

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS xi


xii SUHARDI
BAGIA N I.
SASTRA KITA

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 1


2 SUHARDI
Manfaat Karya Sa stra

S astra adalah cipta seni. Sebagai sebuah cipta seni, sastra


memiliki nilai keindahan tinggi (Esten, 1994). Jika dilihat
dari medium yang digunakannya, sastra dapat diklasifikasikan
atas 2 kelompok, yaitu (1) sastra lisan dan (2) sastra tulisan. Sastra
lisan adalah sastra yang sistem penyajiannya menggunakan media
komunikasi lisan (tuturan). Sementara sastra tulis adalah cipta
sastra yang disajikan dengan menggunakan medium tulisan.
Walaupun keduanya memiliki perbedaan dari sudut media yang
digunakan, akan tetapi keduanya juga memiliki misi yang sama,
yaitu memperkaya khazanah sastra para peminat-nya.Bentuk-
bentuk sastra tulis di antaranya sastra yang dimuat dalam surat
kabar setiap hari Minggu, buku-buku sastra, jurnal sastra, dan
sebagainya. Sementara sastra lisan adalah cipta sastra yang
disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut), seperti dongeng,
legenda, dan mitos.
Selain kedua bentuk sastra tersebut, dilihat dari media apa
yang digunakannya, maka jenis sastra juga dapat dibedakan atas
(1) sastra media cetak atau sastra koran dan (2) sastra elektronik.
Istilah sastra koran juga pernah dikemukakan Paus Sastra
Indonesia H.B. Jassin dalam bukunya, “Sastra dan Media Massa”.
Sementara sebutan sastra elektronik adalah cipta sastra yang
ditayangkan melalui media elektronika, seperti: radio, televisi,
film, internet, atau dituangkan ke dalam kepingan cakram (VCD/
DVD). Pada abad informasi dewasa ini, sastra elekronik menjadi
salah satu alternatif publikasi. Hal ini seiring dengan kehidupan

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 3


masyarakat Indonesia yang sudah mulai rendah minat bacanya.
Rata-rata generasi muda Indonesia saat ini lebih suka menonton
daripada membaca. Permasalahan ini juga pernah dikemukakan
salah satu penyair Taufik Ismail.
Berdasarkan medium tertulis yang muncul dalam sejarah
sastra, bentuk-bentuk genre sastra yang muncul adalah epos
heroik, nyanyian pujaan untuk pendeta dan raja-raja, cerita
yang berbau misteri dan supernatural, lirik-lirik cinta,
nyanyian-nyanyian pribadi yang merupakan hasil meditasi,
kisah-kisah cinta, kisah-kisah petualangan,dan bentuk-bentuk
heroisme rakyat jelata. Semua itu jauh berbeda dengan bentuk-
bentuk epos heroik kelas atas, satir, satir pertempuran, balada,
dongeng tragedi rakyat, pembunuhan, cerita rakyat, fabel, teka-
teki, pepatah, falsafah hidup, himne, mantra-mantra, nyanyian
misteri para pendeta, dan mitologi (mitos).
Pudentia (1998:4-5) mengatakan, “Sastra lisan dalam penya-
jiannya tidak berdiri sendiri, melainkan berpadu dengan ungkap
lain. Tidak hanya paduan gerak, suara, dan alunan musik
melainkan juga paduan unsur-unsur tata rupa yang semua itu
sangat mendukung karakteristik tokoh yang ditampilkan.” Salah
satu bukti bahwa sastra lisan itu tidak berdiri sendiri contohnya
pertunjukan ’randai’ (seni yang berasal dari etnis Minangkabau).
Seni Randai merupakan perpaduan antara cerita dan gerak tari.
Begitu juga pada ’Makyong’ (seni yang berasal dari etnis Melayu).
Makyong juga perpaduan antara unsur cerita dan lakon).
Sastra lisan Indonesia sebagai kekayaan seni budaya
masyarakat Indonesia sarat dengan berbagai nilai-nilai budaya.
Ia tidaklah melulu berisi khayalan semata. Djamaris (1994:15)
mengatakan, “Sastra Nusantara sarat dengan nilai budaya bangsa
Indonesia. Kekayaan nilai-nilai budaya yang terkandung di

4 SUHARDI
dalamnya tidaklah akan berarti apa-apa jika tidak dilakukan
penggalian dan disampaikan kepada masyarakat Indonesia,
termasuk dalam hal ini tentunya sastra lisan yang terdapat di
Provinsi Kepulauan Riau. Pandangan Djamaris tersebut juga
sesuai dengan Keputusan Kongres Bahasa Indonesia V Tahun
1998 yang menegaskan bahwa dalam waktu dekat akan
menerbitkan buku hasil-hasil penelitian sastra lisan/sastra
nusantara. Selain untuk melestarikan keberadaan sastra lisan
tersebut juga untuk memotivasi masyarakatnya untuk mau terus
menggali kekayaan budaya yang dimiliki bangsanya. Hal ini
tentunya juga untuk menepis pandangan sebagian masyarakat
bahwa sastra lisan sarat dengan hayalan semata. Lebih jauh
Djamaris (1994:16) menyatakan bahwa misi sastra lisan adalah
memberikan ajaran moral kepada penikmatnya di samping
memberikan hiburan. Semua itu sangat bermanfaat penikmatnya
karena sastra itu sendiri mengandung nilai-nilai kehidupan,
moral, hukum, dan sebagainya. Sastra lebih membentuk
penikmatnya menjadi bangsa yang beradab, bangsa yang selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan sopan santun.
Ajip Rosidi (1995:128) salah seorang sastrawan senior
Indonesia mengatakan, “Di beberapa negara,sastra lisan telah
diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini sehingga anak-anak
sejak dini telah mengenal bentuk-bentuk sastra lisan yang ada di
daerahnya. Kondisi ini tentu jauh berbeda jika dibandingkan
dengan yang terjadi di Indonesia. Terutama sejak kegiatan
mendongeng hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Penyebabnya adalah tuntutan ekonomi keluarga yang semakin
tinggi, anak-anak lebih banyak dibesarkan oleh pembantu
ketimbang orang tuanya sendiri. Dari satu sisi kebutuhan materi
mungkin dapat dipenuhi akan tetapi kebutuhan jiwa tentunya

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 5


sangat miskin. Ini jugalah yang menjadi penyebab terjadinya
kenakalan remaja sebagai bentuk kurangnya kasih sayang dan
perhatian orang tua kepada anaknya sehingga mereka mencari
sesuatu di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan yang tidak
mereka peroleh di rumah. Bentuk perilaku yang muncul sering
negatif, seperti berbuat onar, terlibat narkoba, kebut-kebutan
di jalan raya, dan sebagainya.
Minimnya pengalaman sastra produk dalam negeri alias
bangsanya sendiri dan masuknya produk asing menyebabkan
mereka lebih banyak menikmati barang impor. Kondisi ini juga
didukung oleh media televisi dan internet saat ini sehingga anak-
anak Indonesia lebih mengenal Doraemon, Shincan, Power
Ranger, dan sebagainya ketimbang cerita-cerita, seperti Hang
Tuah, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan
bentuk-bentuk legenda seperti Legenda Pulau Pilang, Dongeng
Ikan Tongkol, dan Legenda Ikan Patin.
Imam Budi Utomo Kepala Kantor Bahasa Kepri pernah
menurunkan tulisannya di Sijori Mandiri (24 Januari 2010)
tentang berkembangnya pandangan keliru di dalam masyarakat
bahwa membaca sastra adalah perbuatan sia-sia. Sastra adalah
karya yang banyak membawa pembacanya berimajinasi.
Membaca cipta sastra sama halnya mengajarkan anak suka
berimajinasi yang tak ada guna. Pandangan seperti ini tentunya
perlu diluruskan. Kalaulah kita mau melihat sejarah bangsa
Amerika pada masa lalu, sebelum mereka maju seperti saat ini,
memang dimulai dari film-film fantasi. Namun berkat imajinasi
ini jugalah beberapa puluh tahun kemudian mereka berhasil
menciptakan pesawat ulang alik antariksa dan betul-betul
berhasil menginjakkan kaki mereka di bulan.

6 SUHARDI
Dengan demikian, tidak dapat dikatakan berimajinasi
tidaklah ada gunanya. Seorang pengusaha sukses awalnya juga
dimulai dari sebuah khayalan bagaimana mereka dapat menjadi
pengusaha sukses. Dengan usaha yang gigih ternyata benar
kemudian mereka menjadi pengusaha sukses. Simpulannya,
tidak selalu khayalan itu tidak berguna, bahkan sebagian besar
menjadi sesuatu yang sangat luar biasa.

Harian Umum Sijori Mandiri, 4 Juli 2010

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 7


Peran Estetik dalam Cipta Sastra

H akekatnya kajian karya sastra tidak dilepaskan dari unsur


estetik bagian penting membangun karya sastra itu dari
dalam. Bersama-sama dengan unsur instrintik dan ekstrintik
membentuk kesatuan dan memancarkan sinarnya pada para
penikmatnya sehingga estetikanya terasa.
Rien T Seger dalam Evaluasi Teks Sastra mengatakan
hampir setiap obyek dan tindakan mempunyai fungsi estetik.
Segala aktivitas yang dilakukan di kehidupan berkaitan erat
dengan estetik.Mulai berkomunikasi, berpakaian, duduk, makan,
dan bergaul. Unsur estetik tidak terpisahkan dari kehidupan.
Karya sastra sebagai estetika ditinjau dari karya sastra sebagai
seni berbahasa dan karya sastra sebagai bentuk seni.
Karya sastra seni bahasa memandang karya sastra sebagai
seni karena sastrawan menggunakan bahasa sebagai medium
dalam karya sastranya. Sementara karya sastra sebagai karya
seni memandang cipta sastra sebagai bernilai seni; sehingga
membedakan karya sastra dengan bentuk seni lainnya, seperti
seni lukis, musik, gerak, suara, dan seni pahat (kriya).
Medium sastra adalah bahasa. Mustahil sastra lahir tanpa
bahasa. Hubungan erat antara sastra dan bahasa dikemukakan
Ferdinand de Saussure —tokoh linguistik modern dan aliran Tata
Bahasa Struktural— tentang dua unsur penting dimiliki
bahasa:unsur tanda dan unsur yang ditandai. A. Teeuw
mengatakan bahasa sebelum digunakan seniman sistem tanda
dan sistem makna, mau tak mau, sudah mendasari ciptaan

8 SUHARDI
sastrawan. Selanjutnya, Seger mengatakan teks sastra adalah
seperangkat tanda-tanda verbal eksplisit, terbatas dan
terstruktur serta fungsi estetisnya dirasakan dominan pembaca.

Sejarah Estetik di Barat


Sejarah estetik di negara Barat erat kaitannya dengan Plato,
Verdenius, Rousseau, dan kawan-kawan. Menurut Plato
keindahan mutlak terdapat pada dunia tingkat ide-ide. Dunia ide-
ide mengatasi dunia kenyataan itulah disebut “dunia ilahi”. Tidak
langsung terjangkau manusia. Dunia ilahi ini dapat didekati
melalui pemikiran. Filsuf merupakan orang yang pertama kali
mampu mendekati dunia ilahi melalui pemikirannya. Filsuf
mampu mendekati dunia ilahi karena mereka yang memper-
gunakan pikirannya secara sempurna. Sementara itu, seniman
tak mungkin menjangkau dunia ilahi sebab pikirannya terikat
dunia nyata. Seni yang dihasilkan seniman sangat rendah nilainya.
Sebab peniruan dari alam (mimesis). Walau demikian, secara tidak
langsung seni berhubungan dengan benda-benda.
Verdenius berpendapat lain. Menurutnya, mengatakan seni
sejati berusaha mengatasi dunia nyata. Dalam bayang-bayang
yang hina menyarankan dari dunia lebih tinggi. Seni sejati
kemiripan tidak mengacu kenyataan sehari-hari melainkan pada
keindahan ideal. Sementara itu, menurut Agustinus, dunia ide
mutlak menentukan norma digantikan dunia ciptaan Tuhan.
Tuhan meletakkan dasar-dasar dan norma-norma mutlak bagi
manusia. Melalui kitab suci dan alam natural, manusia diberi
kemampuan untuk mengetahui norma kebaikan, kebenaran, dan
keindahan. Melalui seni, manusia diberikan kesanggupan
memelihara dan menafsirkan ciptaan dan wahyu Tuhan. Manusia

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 9


harus memanfaatkan seni dan kemampuannya sebagai seniman
dan penikmat seni mengabdi kepada Tuhan, menghayati
kemahamuliaan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Manusia
menyadari kehinaannya sebagai makhluk yang berdosa.
Rousseau, filsuf Prancis yang hidup abad ke-18, mengatakan
seniman adalah pencipta otonom. Merebut dan menafsirkan
dunia dan alam sebagai ciptaannya sendiri. Dunia estetik tidak
tergantung filsafat, teologi (agama) maupun etik. Keindahan
otonom terhadap kebaikan dan kebenaran. Pandangan Rousseau
ini satu abad kemudiaan diteruskan oleh Charles Baudelaire
dalam Les Fleur du Mal. Baudelaire mengatakan bahwa bunga
seni tumbuh dari yang buruk dan jahat; alam dan dunia tidak
baik, yaitu jahat bahkan musuh manusia. Dalam kaitan itu,
sastrawan bertugas memerangi dan mengatasinya dengan kata-
kata. Harus terkandung dunia modern menekankan tragik
eksistensi manusia.
Perkembangan lain yang sangat penting bagi estetik modern
adalah pendekatan marxisme yang dikembangkan oleh Adorno.
Pandangan ini muncul atas kekecewaannya dan protes pada
manusia atau masyarakat liberal-borjuis, masyarakat konsumtif,
menyebabkan seni kehilangan nilainya menjadi benda konsumsi
(Seger) . Seni secara mimetik muncul dari masyarakat semacam
itu atau masyarakat keterasingan, dikuasai nilai-nilai ekonomi
dan kebenaran, tak mungkin memiliki nilai estetik. Seni demi
dan dari dirinya sendiri menyerang dan menafikan kenyataan.
Adorno tak lagi menerima ajaran marxisme kuno mengatakan
seni mencerminkan kenyataan. Bagi Adorno, seni dalam arti
tertentu merupakan perjanjian kebahagiaan tetapi dengan
penghukuman kenyataan (sosial) sangat radikal.

10 SUHARDI
Konsepsi Estetik dalam sastra
Seni yang universal belum ada. Teori estetik secara implisit
dalam sastra Indonesia tradisional sampai hari ini belum
ditemukan. Namun, konsepsi estetik Sastra Melayu Klasik dan
puisi Jawa kuno sudah ada ditemukan seorang peneliti Rusia,
Braginsky. Dari hasil penelitiannya, Braginsky menyimpulkan
bahwa: (1) Keindahan aspek ontologis, keindahan puisi sebagai
pem-bayaran kekayaan Tuhan sang Maha Pencipta. Berkat
kekayaan keindahan daya cipta-Nya, sastrawan atau penyair
dapat menuangkan keindahan mutlak berasal dari Tuhan ke
dalam karya seni dan sastra; (2) Keindahan aspek imanen,
keindahan tertuang melalui kata-kata hasil avokasi alam, seperti
taman dan ketertiban panca indera; dan, (3) Keindahan aspek
psikologis atau pramagtik, keindahan tercipta hasil interaksi jiwa
pembaca dengan teks, seperti timbulnya efek pembaca menjadi
heran, benci, emosi, dan kasihan.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 11


Sa strawan dan Penguasa

K arya sastra merupakan karya seni. Ia lahir sebagai hasil


kontemplasi pengarang dengan realitas yang ada saat itu.
Kehadirannya merupakan wakil diri pengarang kepada masya-
rakatnya.Melalui karya sastra yang diciptakannya, kita dapat
melihat pikiran dan pandangan pengarang terhadap kenyataan
yang ada.
Mursal Esten dalam ceramahnya pada HUT Himpunan
Pengarang AKSARA pada 24 Juni 1995 di Jakarta mengatakan
bahwa pengarang itu adalah hati nuraninya masyarakat atau
bangsa. Melalui hasil karya sastra yang diciptakan pengarang,
dapat melihat rasa kepeduliannya kepada masyarakat. Oleh
sebab itulah, kekuatan seorang pengarang dapat dilihat dari
karya sastra yang diciptakannya.Pandangan tersebut memang
ada benarnya. Sebutlah nama-nama, seperti Marah Rusli, Abdul
Muis, HAMKA, NH Dini, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri,
Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan sederat nama besar
lainnya terkenal karena karya-karya mereka sangat dekat
dengan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakatnya.
Keberhasilan karya tokoh-tokoh tersebut bukan disebabkan
karena mereka telah mengangkat permasalahan yang sedang
dihadapi ke dalam karya-karyanya melainkan lebih disebabkan
mereka mampu memberikan solusi dari permasalahan yang
sedang terjadi di masyarakatnya.
Pengarang telah mencoba memberikan kritik terhadap
kondisi yang ada. Kritik tersebut disampaikannya melalui tokoh-
tokoh rekaan dalam ceritanya. Kritik tersebut tidaklah

12 SUHARDI
disampaikan secara lugas melainkan dalam bentuk kiasan atau
tersirat. Kritik tersebut dapat saja berupa kritik terhadap
kurangnya perhatian pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat atau kritik atas ketidakadilan yang
sering terjadi di dalam masyarakat. Pembaca biasanya akan
mampu menangkap kritik yang disampaikan penulis melalui teks
bacaan setelah mereka membacanya.
Analisis penemuan kritik yang disampaikan pengarang dalam
karyanya sangat menarik dilakukan sebab dengan cara seperti
ini kita akan mampu menemukan identitas pengarang itu sendiri.
Kita akan mampu mengetahui siapa pengarang sesungguhnya.
Analisis dapat saja dilakukan pada beberapa karya sastra yang
sudah ada, misalnya analisis kaba Gadih Ranti, Tuanku Lareh
Simawang, dan Rambun Pamenan karya Syamsuddin ST.R.
Endah. Ketiga kaba tersebut sangat kentara sekali mengandung
kritik pengarang terhadap penguasa yang ada saat cerita ini
ditulis. Sikap pengarang dengan cara memenangkan tokoh yang
bernama Bujang Saman dalam perkelahian dengan Angku Kapalo
(penguasa) dalam cerita kaba Gadih Ranti jelas sekali
memperlihatkan sikap pengarang yang tidak suka dengan
ketidakadilan (sikap Angku Kapalo), seperti suka memeras
rakyat, berlaku semena-mena, dan sebagainya yang menurut
pandangan pengarang perlu dihapus dan diperbaiki di masa
datang. Tokoh Bujang Saman merupakan tokoh simbol diri
pengarang sendiri. Bujang Saman adalah tokoh muda yang suka
membela dan menegakkan keadilan. Tokoh yang berani melawan
ketidakadilan.
Hal yang sama juga dapat dijumpai dalam kaba Tuangku
Lareh Simawang, yaitu sebuah kitik pengarang terhadap
penguasa saat itu. Kritik terhadap kebiasaan buruk para

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 13


penguasa, yaitu suka beristri banyak, berperilaku semena-mena,
tidak adil, kejam, dan korup. Penguasa dalam cerita kaba di sini
bernama Tuangku Lareh. Tokoh ini memiliki sikap pantang
melihat wanita cantik.Kalau ada pasti dipaksanya untuk mau
menjadi istrinya. Berbagai siasat buruk akan dilakukannya.
Tokoh yang tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan orang
lain. Suka berbuat tidak baik pada orang lain yang tidak
mendukung sikapnya. Bahkan, bila dipandang perlu, ia tak segan
membunuh orang yang menghalangi niatnya itu. Ia juga sering
berlaku korup, yaitu pajak yang dikumpulkannya dari
masyarakat sering tidak disetornya ke pemerintah untuk
dijadikan kekayaan pribadi. Akibat tingkah lakunya ini, istri dan
anak-anaknya terbengkalai. Akhirnya mereka memutuskan
untuk bunuh diri bersama.
Kritik pengarang kepada penguasa juga dapat dijumpai dalam
kaba Rambun Pamenan. Penguasa yang dikritik pengarang ini
adalah penguasa yang bernama Rajo Angek Garang. Perilaku
Rajo Angek Garang hampir sama dengan tokoh Tuangku Lareh
Simawang, yaitu suka memaksakan diri kepada orang lain. Ia
berani menculik wanita lain dan menyiksanya jika wanita
tersebut ditolak untuk dikawini. Wanita tersebut adalah ibu dari
tokoh yang bernama Rambun Pamenan. Karena si ibu Rambun
tak mau dipersunting, Rajo Angek Garang marah dan menyuruh
pasukannya untuk menjeput paksa ibu Rambun. Setelah itu ibu
Rambun disiksa dengan cara mengubur sebahagian badannya ke
dalam tanah. Ia tidak diberi makan dan minum yang cukup.
Akibat perilaku yang tidak baik ini, Rambun Pamenan marah,
setelah ia dewasa langsung didatangilah istana Rajo Angek Garang.
Kemudian, ia berhasil membunuh raja zalim ini.
Adanya sikap pengarang yang selalu mematikan tokoh zalim

14 SUHARDI
memperlihatkan bahwa pengarang tidak suka dengan penguasa
yang zalim. Pengarang mengajak pembaca untuk selalu mene-
gakkan kebenaran di muka bumi ini dan mencegah kemung-
karan. Pengarang selalu menghimbau kepada para penguasa
untuk selalu berbuat adil, menjauhi kezaliman, dan selalu melihat
kondisi rakyatnya. Jangan lupa diri dan jangan korup. Semua itu
memperlihatkan dengan jelas kepada para pembaca bahwa
pengarang memang hati nuraninya masyarakat.

Harian Umum Singgalang Padang, 14 Januari 2002

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 15


Mendorong Kehidupan Sastra
yang Kondusif

S aya sangat tersentuh dengan hal-hal yang dinyatakan oleh


Bung Eka Budianta (Sijori Mandiri, 22 Agustus 2004),
tentang masih memprihatinkan perkembangan sastra Indonesia
saat ini. Keprihatinan Bung Eka Budianta (saya sapa: Bung Eka)
tersebut adalah (1) tidak adanya lagi penerbitan karya sastra yang
berbobot akhir-akhir ini, (2) kurangnya minat baca sastra kaum
muda saat ini, (3) tidak adanya jaminan kehidupan sastrawan
sehingga mereka perlu kerja rangkap, dan (4) minimnya
perhatian pemerintah terhadap masa depan sastrawan.
Akibatnya, kehidupan dan perkembangan sastra berjalan
konstan. Sementara dari sisi lain, para kritikus dan pembaca
sastra menuntut lahirnya karya sastra yang berkualitas.
Hal yang dikemukakan Bung Eka tersebut sesungguhnya
memiliki hubungan sebab-akibat. Terutama dari segi sosialisasi
sastra di kalangan masyarakat. Ada sistem yang kurang tepat
selama ini diterapkan sehingga berdampak pada rendahnya minat
baca dan daya apresiasi sastra masyarakat. Jangan salahkan anak
mengapa anak tidak pandai berbicara sopan dengan orang
tuanya, ada kemungkinan orang tuanya tidak memberikan
contoh yang baik di dalam keluarga. Apa yang terlihat dalam diri
anak saat ini merupakan proses yang sudah dilaksanakan oleh
orang tua pada waktu sebelumya.
Pertanyaan yang diajukan Bung Eka tentang “Mengapa saat
ini tidak lahir karya sastra besar?” sebetulnya telah pernah

16 SUHARDI
dikemukakan Budi Darma dan kawan-kawan serta telah dimuat
di Republika sekitar tahun 1995.Menurut Budi Darma yang
menjadi penyebab tidak lahirnya sastra besar saat ini adalah
keadaan masyarakat saat ini yang mabuk dengan kesenangan.
Sastra besar hanya akan lahir jika situasi dalam masyarakat
sangat buruk, misalnya ada perang.
Pandangan yang sama juga dikemukakan Ayu Sutarto (salah
seorang pakar humaniora dari Universitas Jember (Batam Post,
8 Agustus 2004). Menurut Ayu Sutarto, ketika makhluk
penghuni bumi yang disebut manusia berubah menjadi
homoeconomus, sastra tidak lagi diposisikan sebagai produk
kebudayaan yang bermanfaat dan berpengaruh. Sastra hanya
diminati oleh segelintir orang dan terisolasi dari ruang publik
aktivitas manusia.
Oleh sebab itulah, tantangan yang paling berat dihadapi ke
depan adalah rendahnya minat masyarakat terhadap sastra dan
langkanya lahir karya-karya sastra besar yang mampu menya-
darkan manusia dari kehidupannya terhadap peran sastra.
Namun, di balik semua itu, saya berpandangan lain. Menurut
saya penyebab tidak lahirnya sastra besar saat ini adalah kurang
seriusnya para sastrawan menggali realitas yang ada saat ini
sebagai sumber data penulisan. Ketidakseriusan tersebut
disebabkan menulis hanyalah pekerjaan sampingan alias pengisi
waktu saja. Para sastrawan bekerja pada bidang lainnya demi
menghidupi keluarga dan kebutuhan hidupnya. Sampai hari ini
memang, pekerjaan menulis sastra tidak memberikan nilai
ekonomis yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sastrawan tidak bisa menggantungkan nasibnya pada karya
sastra itu sendiri. Sastrawan menulis karya sastra hanya untuk
melepaskan hobi saja. Situasi seperti ini sesungguhnya sangatlah

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 17


berbeda bila dibandingkan saat novel Siti Nurbaya, Salah
Asuhan, Tenggelamnya Kapal van der Wick, dan beberapa karya
besar lainnya. Contohnya saja, sebagaimana yang terlihat pada
sosok Chairil Anwar. Chairil menggantungkan sebahagian
hidupnya dari karya-karya puisi atau sajak yang ditulisnya.
Berkaitan dengan rendahnya daya apresiasi sastra
masyarakat ada beberapa sebab. Pertama, proses pembelajaran
sastra yang dilakukan guru di sekolah belum tepat. Kedua, belum
meratanya penyebaran karya sastra yang bermutu ke sekolah-
sekolah. Ketiga, daya beli masyarakat terhadap buku-buku sastra
rendah. Berangkat dari pengalaman saya mengajar selama dua
belas tahun pada jenjang sekolah menengah dan perguruan tinggi,
saya menemukan (1) guru yang mengajarkan materi sastra di
berbagai sekolah saat ini bukan guru yang memiliki
profesionalitas di bidang sastra (lulusan fakultas sastra atau
memiliki pengalaman menulis berbagai karya sastra) melainkan
guru bahasa yang diberikan tugas tambahan mengajar sastra
sementara pengalaman baca sastranya masih rendah.
Bayangkan saja, walaupun mereka telah duduk di sekolah
menengah, mereka tidak banyak mengenal karya-karya sastra
besar, seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Jalan Tak Ada Ujung,
Tenggelamnya Kapal van der Wick, Layar Terkembang, dan
Pada Sebuah Kapal. Apalagi berbagai bentuk karya sastra
modern, seperti karya-karya puisi Afrizal Malna, Yos Rizal
Manua, Wiji Tukul, atau karya Ayu Utami seperti Saman dan
Larung. Sebuah kondisi yang sangat menyedihkan. Selain itu,
pembelajaran sastra yang dilakukan guru di dalam kelas selama
ini lebih pada pengajaran bahasanya saja. Sangat sedikit yang
menyentuh pada aspek intrinsik dan esktrinsik sastra itu sendiri.
Kalaupun ada tugas pada siswa untuk membaca karya sastra,

18 SUHARDI
biasanya yang dilakukan siswa hanyalah membaca sinopsisnya
saja. Dalam pembelajaran sastra di kelas siswa lebih banyak
didokrin tanpa diberikan kebebasan bagi siswa untuk menentu-
kan sendiri berdasarkan pengalaman bacanya. Contohnya dalam
penentuan tema cerita, biasanya yang paling benar adalah
pendapat dari gurunya. Siswa harus mengikutinya. Akibatnya,
siswa tidak memiliki rasa percaya diri yang tinggi sebab mereka
takut salah. Dengan demikian, siswa akan bersifat pasif, yaitu
menunggu pendapat dari gurunya.
Akibat dari sistem pembelajaran sastra yang demikian,
lulusan yang dihasilkan setiap sekolah (yang nantinya menjadi
anggota masyarakat) rendah kemampuan dan minat baca
sastranya. Inilah jenis masyarakat yang terlihat berikutnya.
Akibat lebih lanjut realitas tersebut adalah walaupun ada saat ini
karya sastra berkualitas lahir, akan tetapi karya sastra tersebut
tidak akan disentuh/dibaca. Buku-buku tersebut akan berdebu
terletak di toko buku sebab tidak pernah disentuh. Penerbitpun
akhirnya malas menerbitkan buku-buku yang berhubungan
dengan sastra sebab lama terjual.
Memang benar pandangan yang dikemukakan Ayu Sutarto
bahwa anak-anak sekarang lebih mengenal Doraemon, Kungfu
Boy, Inuyasha, dan Samurai X yang terdapat pada komik-komik
Jepang atau Superman, Batman, dan Spiderman yang terdapat
pada komik-komik Amerika ketimbang tokoh Hang Tuah, Sang
Kancil, Putri Sakdung, Dewi Sri, Putri Duyung, Awang Semaun,
Si Tenggang, Bundo Kanduang, dan Cindua Mato yang
kesemuanya itu sangat kaya dengan nilai-nilai kejujuran, kerja
sama, kasih sayang, tanggung jawab, dan keadilan. Nilai-nilai
tersebut sangat berguna sekali dalam membentuk kehidupan
masa depan yang lebih beradab.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 19


Oleh sebab itulah, menghadapi situasi yang demikian, kita
tidak boleh bersikap pasrah saja dan menyalahkan masa lalu saja
dan menyalahkan masa lalu yang tidak menguntungkan atau
sesuatu yang telah terjadi. Yang perlu dilakukan ke depan
menurut saya adalah mencarikan solusi terbaik agar kegagalan
masa lalu tidak terus terjadi. Yang perlu dilakukan ke depan
adalah (1) guru yang mengajarkan sastra di sekolah idealnya
adalah guru sastra (lulusan fakultas sastra) atau memiliki
pengalaman baca sastra yang kaya, (2) pengajaran sastra
hendaknya tidak hanya penggalian bahasa melainkan juga pada
penggalian nilai-nilai sastra, (3) disarankan yang dibaca siswa
bukan buku sinopsi sastra melainkan langsung karya sastra
aslinya, (4) siswa hendaknya lebih banyak diperkenalkan dengan
karya-karya sastra yang berkualitas, baik lokal maupun nasionl
agar mereka mendapatkan informasi yang baik, dan (5) mem-
perbanyak penyebaran karya-karya sastra yang berkualitas di
sekolah-sekolah.
Seorang guru sastra hendaknya memiliki jam terbang dalam
membaca karya sastra yang tinggi. Baik sastra lokal, nasional,
maupun karya sastra mancanegara. Selama ini yang terjadi di
beberapa sekolah adalah tingkat pengalaman baca sastra guru
sastra rendah. Bahkan ada guru sastra yang tidak hobi membaca
karya sastra. Bagaimana mungkin ia bisa menyentuh dan
menyelami nilai-nilai yang ada atau tersembunyi dalam karya
sastra tersebut. Padahal sasaran dalam pembelajaran adalah
penyelaman nilai-nilai sastra sehingga mampu membentuk
pribadi siswa menjadi manusia beradab.
Jakob Sumardjo dan Saini KM (1987) mengatakan bahwa
salah satu manfaat membaca dan mengapresiasi karya sastra
adalah untuk membentuk pembacanya menjadi manusia yang

20 SUHARDI
tinggi nilai rasanya, kepekaan, peradaban, dan lebih berbudaya.
Pembelajaran sastra di sekolah hendaknya tidak hanya
membahas aspek bahasa yang ada dalam karya sastra saja
melainkan juga penggalian nilai-nilai sastra yang terdapat dalam
karya sastra tersebut, seperti nilai etika, estetika, dan nilai moral.
Caranya adalah dengan menggali nilai instrinsik dan ekstrinsik
yang ada dalam karya sastra, misalnya tentang tema, amanat,
alur, latar, tokoh, watak tokoh, dan gaya bahasa. Baik dengan
menggunakan pendekatan mimesis, obyektif, pragmatik,
maupun ekspresif. Yang dibaca siswa hendaknya jangan buku
synopsis sastra melainkan karya sastra itu langsung. Hanya
dengan membaca karya secara langsunglah sentuhan batin
pembaca dapat terjadi.
Untuk dapat siswa menanggapi tentang sikap tokoh Datuk
Maringgih, pembaca harus dihadapkan dulu dengan novel Siti
Nurbaya. Tanpa demikian, mustahil respon baik siswa muncul.
Kelemahan yang terjadi selama ini adalah yang dibaca siswa lebih
banyak dalam bentuk buku-buku sinopsis karya sastra. Untuk
meningkatkan pengalaman baca sastra siswa ke depan juga perlu
dilakukan penyebaran buku-buku sastra yang berkualitas ke
berbagai sekolah. Hal ini agar siswa dapat mengenal dan
menangkap makna yang tersembunyi dalam karya tersebut.
Dalam hal ini diharapkan pihak pemerintah memiliki
perhatian mewujudkan kondisi yang demikian. Baik dalam
bentuk memberikan bantuan dana maupun karya-karya itu
langsung. Selain itu juga diharapkan pihak swasta yang memiliki
perhatian untuk memajukan dunia pendidikan nasional saat ini
yang sedang terpuruk. Selain itu, agar lahirnya karya sastra
berkualitas maka perlu ditingkatkan kesejahteraan para
sastrawan dan penyairnya sehingga mereka lebih bergairah
dalam melahirkan karya sastra.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 21


Dengan demikian, para penerbit akan tertarik untuk
menerbitkan karya sastra dalam jumlah yang besar. Selama ini
yang menyebabkan kurangnya perhatian pihak penerbit dalam
menerbitkan karya sastra adalah karena rendahnya daya beli
masyarakat terhadap karya sastra. Penerbit tidaklah mau bila
buku-buku sastra yang telah diterbitkannya tersebut lama terjual
sehingga modalnya tersedot dalam waktu yang lama.

Harian Umum Sijori Mandiri, 7 Oktober 2004

22 SUHARDI
Realitas dan Imajina si
dalam Sastra

B erhadapan dengan hal yang berkaitan dengan karya sastra


terkadang pembaca sering terkecoh.Terutama terhadap
permasalahan yang dikemukakannya. Pembaca terkadang
mengira bahwa peristiwa yang ditampilkan di dalam sebuah
karya sastra memang demikian realitasnya.
Oleh sebab itu, ketika sastra berbicara pada hal-hal yang agak
jauh dari realitas maka dapat terjadinya pertentangan pendapat,
kadangkala malah muncul sikap yang memvonis yang
menyudutkan karya sastra itu sebagai kreativitas pengarang saja.
Beranjak dari permasalahan ini, timbul pertanyaan: Haruskah
hal yang dikemukakan oleh sebuah karya sastra sama dengan
realitas? Apakah faktor yang menentukan perbedaan antara
karya sastra dengan karya yang nonsastra sesungguhnya
(misalnya karya sejarah)? Pertanyaan tersebut perlu dicarikan
jawabannya guna meredam pandangan yang sinistis terhadap
karya sastra.
Mursal Esten dalam bukunya Pengantar Teori dan Sejarah
Sastra menulis bahwa sastra adalah seni. Sebuah karya sastra
merupakan sebuah karya seni yang dapat dinikmati oleh
masyarakat pembacanya dalam bentuk hiburan (pengisi waktu
luang) maupun dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman.
Dengan kata lain, seorang penikmat sastra akan memiliki
beberapa keuntungan dalam membaca karya sastra. Pertama,
penikmat karya sastra akan mendapatkan hiburan khusus dari

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 23


pengarang atau sastrawan melalui peran tokoh yang ditampilkan
dalam karya sastranya. Kedua, penikmat karya sastra akan men-
dapatkan sebuah amanah (amanat) tentang bagaimana menyikapi
sebuah persoalan hidup dengan baik. Bagaimana permasalahan
yang sama tidak terjadi pula dalam hidup penikmat itu sendiri.
Inilah unsur pendidikan yang dapat diperoleh penikmat secara
langsung setelah ia membaca karya sastra. Unsur pendidikan
inilah nantinya yang akan menjadi pegangan penikmat jika
permasalahan yang sama terjadi pada dirinya. Penikmat
biasannya lebih arif dan lebih bijaksana.
Seseorang yang memiliki hobi membaca karya sastra
berkualitas tidak akan berefek negatif terhadap mentalnya.
Bahkan sebaliknya. Pembaca tersebut akan semakin menjadi
manusia yang lebih beradab, manusia yang arif, manusia yang
mencintai kebenaran, dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini akan berbeda tentunya jika yang dibaca itu
adalah karya sastra yang tidak berkualitas, seperti karya yang
suka membangkitkan alam bawah sadar atau mengundang nafsu
birahi. Oleh sebab itu, pembaca atau penikmat sastra seharusnya
memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam hal mendapatkan
karya sastra yang berkualitas untuk dijadikan konsumsi
bacaannya sehari-hari.
Realitas dalam sebuah cipta sastra adalah deskripsi berkaitan
dengan kondisi yang sesungguhnya, yaitu yang benar-benar
terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan hal
ini, Muhardi dan Hasanuddin WS dalam bukunya Prosedur
Analisis Fiksi menjelaskan mengapa permasalahan dalam sebuah
karya fiksi sejenis novel dan cerpen lebih dekat dengan realitas
adalah karena bahan baku fiksi tersebut sebahagiannya adalah
memang realitas yang ada di masyarakat itu sendiri. Oleh sebab

24 SUHARDI
itulah, sering dalam karya prosa (cerpen dan novel) perma-
salahan yang diangkatnya sering berhubungan dengan realitas
yang pernah terjadi di dalam masyarakat, seperti peristiwa
tenggelamnya kapal Tampomas II milik Pelni di tahun 1980-an
atau tenggelamnya kapal mewah dan tercepat pada masa itu
Titanic yang tenggelam akibat menabrak gunung es, dan
sebagainya.
Berkaitan dengan realitas tersebut maka lahir sebuah drama
keluarga yang berjudul Tampomas II; begitu juga akibat peristiwa
tenggelamnya kapal Titanic lahir film yang berjudul Titanic. Satu
hal yang perlu dicermati di sini adalah yang menjadi realitas hanya
pada kapal Tampomas II dan Titanic, sementara kisah sebuah
keluarga atau percintaan dua anak muda di kapal tersebut adalah
fiktif belaka.
Di dalam karya sastra yang berbentuk novel lainnya, juga
dapat dijumpai unsur-unsur realitas. Contohnya pada novel Siti
Nurbaya karangan Marah Rusli. Realitas yang terkandung di
dalamnya adalah di dalam masyarakat Minangkabau dulunya
memang jodoh seorang anak kemenakan ditentukan oleh mamak
(paman). Karena memang di dalam adat Minang itu sendiri
mamak memegang peranan penting. Mamak tidak hanya
bertugas menghidupi anak istrinya melainkan juga memiliki
tanggung jawab untuk memelihara kemenakannya. Hal ini
sebagaimana yang terdapat dalam pepatah adatnya yang
berbunyi, “Kaluak paku kacang balimbiang, timpuruang
lenggang-lenggangkan, dibaok urang ka Saruaso, anak
dipangku kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipateng-
gangkan, tenggang kampuang jaan binaso”. Dalam pepatah adat
tersebut juga terkandung bahwa tugas seorang mamak itu bahkan
tidak hanya membimbing anak-istri dan kemenakan melainkan

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 25


juga membantu masyarakat sekitarnya agar dapat hidup tentram
(tenggang kampuang jaan binaso).
Unsur realitas juga terdapat pada novel Salah Asuhan karya
Abdul Muis. Peran mamak pada novel ini juga terlihat kurang
sehingga si anak memiliki perilaku yang bertentangan dengan
nilai-nilai agama dan adat Minang. Si anak terlalu dibebaskan
bergaul dan hidup di luar rumah, akibatnya mereka memiliki
perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada itu sendiri.
Contohnya dia lebih memilih berpisah dengan kedua orang
tuanya dan hidup menjadi bangsa lain. Ini adalah potret sebuah
kegagalan peran mamak di Minangkabau. Unsur realitas juga
terdapat pada novel Tuti karya Upi. Sebuah potret kehdupan
rumah tangga yang tidak harmonis karena masing-masing
mempertahankan egonya masing-masing. Akibatnya anak-anak
mereka berantakan.
Imajinasi dalam sebuah karya sastra adalah hal-hal yang
berkaitan lukisan sesuatu di dalam pikiran pengarang, yang masih
bersifat ilusi. Realitasnya hanya ada dalam pikiran sendiri.
Imajinasi dalam karya sastra dapat juga diterjemahkan segala
sesuatu yang diinginkan pengarang terjadi. Baik hari ini maupun
masa datang. Unsur imajinasi ini biasanya mempengaruhi
pengarang dari dalam diri pengarang itu sendiri. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah karya sastra
terdapat dua unsur pembangun, yaitu unsur realitas dan
imajinasi. Kedua bersatu membentuk satu kesatuan yang
membangun sebuah karya sastra.Oleh sebab itulah, karya sastra
itu dapat dikatakan karya yang dibangun atas permasalahan
antara realitas dan imajinatif.
Contohnya kisah cinta Hayati dan Zainudin dalam novel
Tenggelamnya Kapal van der Wicjk adalah fiktif atau bersifat

26 SUHARDI
imajinatif. Realitas yang hanya ada dalam pikiran pengarang
semata. Sementara Kapal van der Wicjk adalah kenyataan bahwa
pada zaman penjajajan Belanda dulunya adalah sebuah kapal yang
melayari kepulauan di Indonesia ini; dan kapal tersebut memang
tenggelam di laut Surabaya akibat terbakar.Gabungan unsur
realitas dan imajinasi dalam sebuah karya sastra akan menambah
karya sastra itu semakin indah. Bahkan ada pandangan yang
mengatakan bahwa semakin tinggi unsur imajinatif dalam sebuah
cipta sastra maka semakin bermutu karya sastra tersebut, begitu
juga sebaliknya.
Sementara itu, unsur imajinasi lebih kental dibanding realitas
dapat ditemukan pada novel-novel karya Iwan Simatupang. Saat
membaca karya tersebut pembaca memerlukan kosentrasi yang
tinggi pula karena imajinasi pengarang yang liar membawa
pembaca untuk lebih menghikmatinya . Begitu juga saat kita
membaca novel-novel buah karya Putu Wijaya, seperti Stasiun,
Telegram, Bom, atau Gress. Untuk memahami jalan pikiran Putu
dalam novelnya ini dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman
khusus.
Dengan adanya dua unsur yang mempengaruhi karya sastra,
sebuah karya yang hadir di depan mata kita bukanlah sesuatu
yang berbau unsur sejarah atau fakta saja, namun ada unsur
imajinasi. Oleh sebab itulah, Marah Rusli menuliskan bahwa Siti
Nurbaya dikuburkan di kaki Gunung Padang tidak pernah marah
dan menuntut pengarangnya karena telah membohonginya.
Pembaca sangat sadar bahwa pengarang telah bermain dengan
imajinasi.Pengarang senang sebab telah mampu menghiburnya
walaupun hanya sesaat.
Hal lain juga pernah terjadi, saat lahirnya cerpen yang ditulis
seseorang yang menggunakan nama samaran Ki Pandji Kusmin

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 27


dalam karyanya yang berjudul Langit Makin Mendung. Namun
kondisinya jauh berbeda dengan yang penulis kemukakan tadi.
Karya Ki Pandji Kusmin ini banyak melahirkan reaksi keras.
Bahkan H.B. Jassin sebagai penanggung jawab media yang
menerbitkan cerpen tersebut ini sempat diajukan ke pengadilan
karena memuat karya yang kontroversial itu. Ada kelompok
yang menganggap Ki Pandji Kusmin telah berbuat tidak benar.
Perbuatannya tersebut dianggap telah menghina umat Islam.
Karya Ki Pandji Kusmin ini meceritakan tentang suatu ketika
Nabi Muhammad gerah hidup di surga. Nabi Muhammad
memutuskan untuk ke luar surga untuk jalan-jalan. Dengan
mengendarai Buraq, Nabi Muhammad berkeliling dunia, hingga
sampailah beliau tiba Jakarta. Di Jakarta, Nabi Muhammad
keliling dan kebetulan melewati Monas. Nabi sangat terkejut
sekali melihat perbuatan beberapa umat Islam di bawahnya, yaitu
melakukan hal-hal yang dilanggar pada ajaran Islam, yaitu
berbuat zinah. ”Astagfirullah, Umat-Ku!” dan seterusnya.
Hal serupa sama dengan Ki Pandji Kusmin juga pernah terjadi
dengan keluarnya sebuah novel Ayat-ayat Syetan karya
Shalman Rusdi. Karya Salman ini juga mendapat reaksi keras
dari umat Islam sedunia. Bahkan Ayattollah Khomeini, pimpinan
Iran, mengeluarkan sayembara bahwa siapa saja yang mampu
menangkap atau membunuh Salman Rusdi kepalanya dihargai
satu juta dolar. Salman beberapa lama bahkan hingga kini
mendapatkan kesulitan hidup sebab dimana-mana ada ancaman
kepada dirinya. Akhirnya ia meminta perlinduangan diri (suaka)
ke pemerintah Inggris hingga kini.
Dari contoh di atas terlihat bahwa sebagian kelompok
masyarakat belum bisa membedakan mana karya fiktif dan mana

28 SUHARDI
yang fakta. Andaikan yang ditulis Ki Pandji Kusmin adalah fakta
sejarah (buku sejarah) maka memang benar bahwa Ki Pandji
Kusmin harus diadili sebab telah berani mendustakan
fakta.Namun, sebaliknya jika yang dikemukakan Ki Pandji
Kusmin adalah fiktif (karya novel) maka selayaknya Ki Pandji
Kusmin tidak perlu diadili sebab Ki Pandji Kusmin sedang
menulis mimpi atau angan-angannya belaka. Semua itu
realitasnya hanya di dalam pikiran semata. Bukan realitas
sesungguhnya. Hal ini sama saja dengan orang yang sedang
bermimpi. Adakah larangan orang bermimpi. Undang-undang
negara mana sampai sekarang yang melarang orang bermimpi?
Apa yang dilakukan aparat yang telah mengadili H.B. Jassin
sebagai penanggung jawab ruangan sastra tersebut dari sisi lain
memang ada benarnya juga, mengingat masih banyak masyarakat
kita yang belum mendapat pendidikan yang cukup. Kelompok
inilah dikhawatirkan akan salah dalam memahami maksud karya
sastra karya Ki Panji Kusmin ini. Mereka menyamakan saja
antara karya fiksi dengan karya fakta.Mereka menyamakan saja
antara buku novel atau cerpen dengan buku-buku sejarah. Jika
memang benar demikian, maka sudah selayaknya juga buku
tersebut ditunda penerbitannya.
Oleh sebab itulah, inilah tugas kita kaum terdidik untuk
mencerdaskan mereka-mereka yang belum mendapatkan
pendidikan yang layak sehingga proses berpikir mereka lebih
bak di masa datang. Di sisi lain, mencekal karya sastra juga
merupakan perbuatan yang tidak baik sebab sama saja dengan
perbuatan menghentikan kreativitas seseorang. Bahkan karya
sastra juga merupakan media pendidikan dan pengetahuan yang
dibutuhkan masyarakat. Satu hal yang perlu dicermati di sini

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 29


adalah, walaupun fakta yang ada dalam karya sastra bersifat
imajinatif (impian) akan tetapi impian yang dimaksud adalah
impian yang lebih bersifat positif. Impian yang dapat membentuk
perilaku masyarakat pembacanya untuk menegakkan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan.
Hal yang sangat pantas dilakukan ke depan secara bersama-
sama adalah mendorong peningkatan jumlah produk sastra yang
berkualitas sebagai bacaan masyarakat modern. Bukan
pembunuhan kreativitas dengan berbagai alasan.

Harian Umum Padang Ekspres , 28 Mei 2002

30 SUHARDI
Kritikus Tidak Diperlukan Lagi?

C atatan kecil ini lahir dilatarbelakangi tulisan Arif Bagus


Prasetyo yang dimuat Kompas (Minggu, 19 Desember 2010)
yang mengatakan bahwa kritikus sudah mati. Dasar pemikiran
Arif ini bertolak dari tulisan Ronan MCDonald yang berjudul,
“The Death Of Critic (2007”. Pandangan Arif ini merupakan
makalah utama pada Temu Sastrawan III yang dilaksanakan di
Kota Tanjungpinang beberapa waktu lalu.
Ada enam pandangan Arif yang menurut saya sangat vulgar,
ekstrim, dan terlalu berani sehingga merinding bulu roma saya
sewaktu membawa tulisannya. Pandangan Arif tersebut saya
coba urutkan sebagai berikut.
Pertama, Saudara Arif menyatakan bahwa era kritikus
sebagai penentu selera publik dan konsumsi kultural telah
berlalu. Jika dulu pada masa modernisme abad ke-20, kritikus
seni memang dipandang sebagai orang yang lebih tahu tentang
seni ketimbang orang kebanyakan. Kritikus seni menjadi tokoh
panutan yang sabdanya diyakini berbobot dan layak diimani oleh
khalayak ramai. Namun, pada era postmodernisme abad ke-21
sekarang, aspek hirarkhis tersebut kian pudar ditelan perubahan
dan pergeseran sikap yang terjadi dalam masyarakat terhadap
nilai seni dan penilaian seni.
Kedua, palu penilaian seni kini tidak semata dalam genggaman
kritikus sebab pemirsa/pembaca juga memiliki kuasa untuk

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 31


menilai karya sastra. Bahkan, menurut Saudara Arif, tak jarang
penilaian pemirsa/pembaca lebih berwibawa ketimbang
penilaian kritikus sastra dan pakar seni.
Ketiga, peran kritikus kini telah diambil alih oleh khalayak
umum, seperti: blogger, kelompok diskusi, juri kompetisi sastra,
penerbit, selebriti, pengguna facebook, dan twitter. Internet
sangat berperan besar dalam mendorong demokratisasi kultural
dan memudarkan aura kritikus. Peran facebook dan twitter
menyebabkan kritik gaya lama telah kehilangan audiens dan
relevansi. Kritikus tidak dibutuhkan lagi sebab semua orang dapat
menjadi kritikus. Arif memperkuat pendapatnya dengan
mengutip McDonald yang mengatakan bahwa awal mula kematian
kritikus adalah sejak Roland Barthes mengumumkan mani-
festonya yaitu “Kematian Pengarang”. Menurut Barthes,
membaca adalah proses cair, berujung terbuka dan individual,
yang tidak perlu menyandarkan keabsahannya pada maksud
pengarang. Terpaku pada maksud pengarang berarti mencekik
kesuburan bahasa dan pluralitas makna dalam karya sastra.
Bertolak dari pandangan Saudara Arif tersebut saya mencoba
menanggapinya satu persatu. Pertama, kritikus itu memang
benar dan bukan penentu selera publik, akan tetapi dialah orang
yang memberikan informasi mengenai teori tentang cara menilai
masakan itu enak atau tidak. Pembaca tinggal membuktikan saja
benar atau tidak teori tersebut. Bila dengan dasar teori tersebut
ternyata cocok maka silakan pembaca untuk melahapnya. Begitu
juga sebaliknya, jika tidak enak jangan disantap. Kedua, Jika
kritikus seni dipandang sebagai orang yang lebih tahu memang
benar adanya sebab kritikus itu adalah orang yang sudah dibekali
ilmu yang cukup tentang kritik itu sendiri. Jadi kritikus itu

32 SUHARDI
bukanlah orang sembarangan. Tentulah sangat berbeda bila
dibandingkan dengan orang kebanyakan. Sungguh yang tidak
masuk akal jika kritik yang dihasilkan orang kebanyakan lebih
baik ketimbang dari kritik yang diberikan oleh kritikus. Manalah
mungkin sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu. Saya setuju contoh yang dikemukakan Saudara Damhuri
(Kompas, 2 Januari 2011) bahwa tidaklah akan mungkin sama
emas bila dibandingkan dengan loyang. Tidaklah akan sama
kritik yang ditulis seorang selebiritis dengan kritik yang ditulis
seorang pakar kritik (kritikus). Kalaulah sama dokter umum
dengan dokter spesialis untuk apa dokter umum harus
mengambil spesialis, bukankah ini pekerjaan sia-sia?
Ketiga, akal sehat saya tidak menerima pandangan Saudara
Arif bahwa kritikus tidak dibutuhkan lagi saat ini sebab semua
orang dapat menjadi kritikus. Tunggu dulu! Kritikus seperti apa
yang semua orang dapat menjadi kritikus? Apakah hanya orang
yang dapat menghasilkan kririk saja terlepas berkualitas atau
tidak, atau memang kritik yang dihasilkan tersebut mumpuni.
Saya rasa hanya orang yang memiliki ilmu kritik sajalah yang
mampu menghasilkan kritik yang berkualitas.
Keempat, pembaca/pemirsa dapat diibaratkan seorang
nakhoda kapal yang sedang berlayar. Seorang nakhoda dapat
saja ia mau berlayar kemana saja akan tetapi satu hal yang perlu
diingat jika ia ingin selamat sampai tujuan dia pasti mem-
butuhkan yang namanya navigasi. Kalau tidak bisa-bisa kapalnya
menghantam karang atau tersesat.
Kelima, benarkah kritik sastra tidak perlu berupaya
membangun jembatan antara karya sastra dan pembaca karena
karya sastra tidak ditulis untuk menyembunyikan makna

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 33


pengarang. Pengarang telah menyampaikan maksudnya secara
utuh dan lengkap. Bukankah sejarah telah membuktikan banyak
pembaca yang sulit memahami karya-karya Iwan Simatupang
dikarenakan bahwa yang digunakan Iwan terlalu tinggi. Betapa
banyak saat ini masyarakat yang salah menilai karya sastra yang
bersifat fiktif sehingga disamakan saja dengan karya sejarah yang
lebih bersifat fakta. Betapa banyak pemirsa televisi saat ini yang
tidak bisa lagi membedakan mana sinetron yang berkualitas dan
layak tonton dan tidak.
Dan, keenam, sampai kapan pun keberadaan Kritikus Sastra
dan Seni tetap akan dibutuhkan. Ia tidak akan dapat tergantikan
oleh khalayak ramai, selebitis, penerbit, dan pelaksana seni.

Harian Umum Haluan Kepri, 6 Februari 2011

34 SUHARDI
Krisis Kritik Sastra
dan Sepinya Penonton

M engupas kesusastraan Indonesia, ada tiga aspek yang perlu


mendapat perhatian. Pertama, kehadiran sastra sebagai
hasil reaksi pengarang terhadap realitas yang ada. Kedua, kritikus
sebagai ajudan atau penghubung antara karya sastra dengan
pembaca. Ketiga, pembaca itu adalah penikmat. Ketiga aspek
tersebut merupakan sistem dan memiliki fungsi yang berbeda-
beda pula.
Beberapa waktu yang lalu, sebuah harian di Padang
menerbitkan tulisan Ode Barta Ananda yang berjudul Kritikus
vs Politikus”. Tulisan Ode tersebut berisi kekecewaannya
terhadap dunia kritikus sastra saat ini.
Kekecewaan tersebut meliputi (1) pelatihan kritikus seni yang
telah diberikan tidak membawa hasil yang memuaskan (tidak
banyak melahirkan kritik seni), (2) kritikus seni saat ini lebih
banyak mengeluarkan kritik politik ketimbang seni, (3)
budayawan Mursal Esten lebih bayak memberikan kritik politik
ketimbang kritik seni, (4) acara seni yang ditampilkan di Taman
Budaya Padang tidak ada perubahan (baca: itu ke itu saja), (5)
kinerja Dewan Kesenian Sumatera Barat masih belum tampak,
dan (6) beberapa pergelaran seni yang telah dilakukan sangat
sepi penontonnya. Begitu juga kritik seni saat ini sangat sepi.
Melihat permasalahan tersebut, saya teringat pada pemikiran
sastrawan Budi Darma —yang juga seorang guru besar sastra—
yang mempertanyakan mengapa karya sastra besar saat ini tidak

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 35


lahir. Budi Darma memberikan alasannya, yaitu sastra besar itu
biasanya lahir saat-saat manusia haknya sedang tertindas.
Contohnya pada zaman revolusi dulunya yang melahirkan sastra
besar, seperti Siti Nurbaya. Zaman masa itu sering disebut juga
dengan sebutan “Zaman Siti Nurbaya”. Istilah ini sampai
sekarang masih populer. Kalaulah benar apa yang dikatakan Budi
Darma tersebut, mengapa di saat Indonesia sedang dilanda krisis
ekonomi beberapa waktu lalu yang sangat telak karya sastra
besar juga tidak lahir?
Sebuah cipta sastra lahir tidak lepas dari adanya kontemplasi
dan adaptasi antara pengarang (pencipta) di satu sisi dan
masyarakat di sisi lain. Hal ini sebagaimana juga yang
dikemukakan Mursal Esten bahwa proses penciptaan karya
sastra tidak lepas dari adanya dorongan dari dalam diri pengarang
untuk mengubah situasi yang ada. Terutama ketimpangan yang
terjadi di dalam masyarakat sekitar pengarang berada.
Kepedulian pengarang terhadap realitas yang ada sangat tinggi.
Menurut Muhardi dan Hasanuddin WS, akademisi sastra dari
Universitas Negeri Padang, mengatakan bahwa kualitas sebuah
cipta sastra lebih banyak ditentukan oleh pengarang itu sendiri.
Contohnya kepedulian pengarang terhadap masyarakat yang
sudah mulai kurang atau memang pengarang yang telah beralih
tugas ke bidang lain. Pengarang telah hijrah dari seorang
sastrawan ke politikus, sehingga karya yang dihasilkannya lebih
banyak berbau politik ketimbang sastra.
Di sisi lain, seorang kritikus lebih banyak peranannya
menjembatani antara karya sastra dengan pembacanya sehingga
amanat yang disampaikan pengarang dapat ditangkap dengan
baik oleh pembaca. Oleh sebab itu, orang pertama yang harus
banyak digugah agar mengangkat realitas yang ada di sekitarnya

36 SUHARDI
adalah pengarang itu sendiri. Kritikus sastra tidak terlalu tampak
peranannya di sini karena dia bukan pengarang atau penulis.
Dengan demikian, tidak banyaknya realitas yang ada diangkat
dalam karya sastra kemungkinan disebabkan pengarang itu
sendiri tidak mau atau tidak melihat ketimpangan yang ada di
sekitarnya.
Tentang tidak terlihatnya kontribusi hasil pelatihan kritikus
seni terhadap kuantitas kritik seni saat ini kemungkinan
disebabkan beberapa hal, yaitu (1) peserta pelatihan yang diikut-
sertakan kemungkinan besar bukan orang yang berlatar-
belakang kritikus seni sehingga setelah mereka ikut pelatihan
tidak ada kontribusi positif, seperti lahirnya kritik seni itu sendiri;
(2) ada kemungkinan peserta pelatihan tersebut adalah tokoh
politik sehingga setelah pelatihan kritik yang banyak lahir lebih
berbau politik ketimbang seni; (3) kemungkinan yang mendekati
kesempurnaan adalah pelatih yang dipilih bukan berasal dari latar
belakang kritikus melainkan tokoh politik sehingga yang terjadi
adalah banyak kritik yang muncul lebih berbau politik ketimbang
seni —mohon maaf jika saya keliru sebab saya tidak mengetahui
siapa saja peserta pelatihan dan siapa saja pelatihnya.
Selain itu,mengapa orang seperti Mursal Esten, lebih banyak
memberikan kritik politik ketimbang kritik seni ada kemung-
kinan beliau ingin menyempurnakan dirinya yang tidak hanya
memiliki perhatian terhadap budaya, melainkan juga perpoli-
tikan di Indonesia. Kalaulah berkaitan dengan bidang budaya
beberapa bukunya berkaitan dengan budaya dan kritik sastra
sudah banyak beredar dan digunakan sebagai rujukan penelitian
para mahasiswa di Indonesia. Satu hal positif yang dapat dilihat
pada budayawan Mursal Esten adalah ternyata beliau tidak hanya
menguasai ilmu budaya melainkan juga ahli dalam ilmu politik.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 37


Berkaitan sepinya pengunjung setiap pergelaran seni yang
diadakan di Taman Budaya Padang dan Dewan Kesenian
Sumatera Barat ada kemungkinan program yang disusun tidak
banyak pembahruan sehingga tidak menarik untuk ditonton.
Oleh sebab itu, jika ingin sebuah pertunjukan ditonton orang
secara banyak jumlahnya, lakukanlah pembaruan. Baik
pembaruan tema, judul, maupun tokoh yang ditampilkan sehing-
ga memunculkan keingintahuan masyarakat.
Jika hal tersebut dilakukan dapat dipastikan setiap per-
tunjukan seni yang dilakukan tidak akan sepi dari penonton.
Selain itu yang juga tidak kalah pentingnya adalah fasilitas gedung
pertunjukan yang perlu bagus dan harga karcis yang tidak terlalu
mahal dan terjangkau oleh berbagai kalangan.

38 SUHARDI
Sinetron Tidak Membumi

S inema elektronik —lebih populer dalam akronim “sinetron”—


merupkan istilah untuk serial drama sandiwara bersambung
yang disiarkan oleh stasiun televisi. Dalam bahasa Inggris,
sinetron disebut soap opera (opera sabun), sedangkan dalam
bahasa Spanyol disebut telenovela. Menurut Teguh Karya,
sutradara terkemuka Indonesia, istilah yang digunakan secara
luas di Indonesia ini pertama kali dicetuskan oleh Soemardjono
(salah satu pendiri dan mantan pengajar Institut Kesenian
Jakarta). Disebut sinema elektronik karena disiarkan lewat media
elektronik —khususnya melalui televisi.
Sinetron pada umumnya bercerita tentang kehidupan
manusia sehari-hari yang diwarnai konflik berkepanjangan.
Seperti layaknya drama atau sandiwara, sinetron diawali dengan
perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter masing-masing.
Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang
makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya.
Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih,
tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis
skenario. Sinetron dapat disebut sebagai acara yang diminati
masyarakat saat ini yang ditandai jam penayangannya pada prime
time (jam-jam yang diasumsikan banyak ditonton), yakni sekitar
pukul 19.00-22.00. Sinetron dapat berangkat (diberangkatkan)
dari skenario yang ditulis berdasarkan karya sastra.

***

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 39


Sinetron hendaknya jujur melukiskan realitas yang ada. dan
mampu memberikan efek positif kepada kehidupan masyarakat
yang ada atau masyarakat penikmatnya. Bukankah melalui
sebuah karya sastra dapat diketahui budaya suatu bangsa?
Banyaknya jenis dan judul sinetron yang lahir merupakan
efek dari maraknya dunia pertelevisian Indonesia. Bahkan dunia
pertelevisian Indonesia saat ini berusaha memikat audience-nya
untuk tidak berpindah ke cannel (saluran) televisi yang lain
dengan menjadikan sinetron sebagai suguhan utama di tengah
berbagai acara yang disajikan, mulai berita, dialog, musik, dan
film. Upaya masing-masing stasiun televisi dapat kita lihat di
hampir semua stasiun televisi, khususnya milik swasta seperti
RCTI, SCTV, INDOSIAR, TRANSTV, ANTV, atau TPI. Bahkan
televisi pemerintah (TVRI) dan stasiun televisi daerah melakukan
hal serupa.
Mereka seakan berlomba memikat pemirsanya untuk selalu
setia pada satu saluran saja. Terkadang masyarakat ragu, saluran
mana yang harus ditonton karena masing-masing saluran hampir
menyajikan acara yang kurang lebih sama. Para ibu-ibu rumah
tangga terkadang lupa akan kewajibannya pada keluarga akibat
terlalu larut menonton televisi, khususnya ketika sinetron
ditayangkan.
Pemilihan judul sinetron yang disajikan masing-masing
televisi beragam, tetapi yang disayangan adalah kebanyakan dari
sinetron yang ditayangkan tersebut tidak menggambarkan
kenyataan yang sesungguhnya.Contohnya di dalam sinetron
tersebut selalu ditampilkan kehidupan sebuah keluarga yang kaya
raya.Punya rumah yang bagus, punya mobil yang bagus, punya
pembantu lebih dari satu, dan sebagainya.Padahal dalam
kenyataan sehari-hari, masyarakat seperti ini sangat sulit

40 SUHARDI
dijumpai.Mungkin bila diprosentasekan hanya ada 10%
saja.Sementara yang lainnya, yaitu 30% golongan menengah, dan
60% golongan bawah.Bukankah hal ini merupakan penipuan
atau ketidakjujuran yang dilakukan penulis atau sutradara
sinetron tersebut?Semua itu tidak ada yang membumi, yaitu
berangkat dari kondisi yang sesungguhnya.
Terkadang menyaksikan sebuah sinetron Indonesia tersebut
seolah pemirsa diajak oleh penulis skenario menghayal bebas,
seperti: angan-angan memiliki rumah mewah, mobil bagus, atau
pembantu cantik-cantik. Semua keadaan yang ditampilkan
dirasakan sangat jauh dari kenyataan yang ada di sekitar sebab
yang sering dijumpai hanyalah kehidupan masyarakat yang
prihatin, seperti: rumah yang tidak layak huni, tidak punya mobil
bagus, dan tidak ada pembantu yang cantik, dsb..Dari karya
sastra sejenis sinetron ternyata tidak dapat memperlihatkan
realitas masyaraat Indonesia yang sesungguhnya.
Bertolak dari kenyataan tersebut, para penulis skenario atau
sutradara hendaknya memilih sinetron yang menyajikan
permasalahan yang sangat dekat dengan realitas masyarakat
Indonesia yang sesungguhnya.Jangan masyarakat terlalu banyak
diajak berkhayal. Bukankah sebuah karya sastra yang baik itu
merupakan karya sastra yang mampu menggambarkan realitas
yang ada?Bukan mengada-ada.
Ada beberapa hal yang dapat ditimbulkan di masa datang
bila tidak cepat dilakukan revisi atau penanggulangannya.
Masyarakat Indonesia bukannya menjadi semakin sadar akan
keterpurukannya melainkan bertambah tidak tahu diri. Mereka
semakin berani berhutang untuk mendapatkan kemewahan
sementara kemampuannya tidak ada. Begitu juga mereka akan
melakukan apa saja demi memperoleh kemewahan itu sendiri,

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 41


termasuk dalam hal ini berbuat korup. Mungkin hal ini juga yang
membuat negara kita ini memiliki hutang yang besar ke bank
dunia.Hutang lama belum terbayar hutang baru dibuat lagi.
Oleh sebab itulah, sebuah karya sastra yang baik adalah
karya sastra yang mampu mengajak pembaca atau penikmatnya
ke jalan yang benar. Karya sastra yang mampu mencerdaskan
dan menyadarkan dirinya untuk melakukan sesuatu yang positif
dan kebenaran di mana ia hidup. Inilah yang diharapkan kepada
para penulis skenario dan sutradara sinetron. Di tanganmu sangat
tergantung masa depan bangsa ini!

Harian Umum Singgalang Padang, 24 November 2001

42 SUHARDI
Sinetron: Sekedar Penjual Mimpi

M enyikapi beberapa produksi sinetron yang ditayangkan


oleh televisi Indonesia saat ini dan pernyataan Presiden
Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri tentang penyajian
televisi kita yang cenderung bersifat hiburan semata dan tidak
mendidik, perlu disikapi secara sungguh-sungguh.Hal ini agar
tidak terjadi salah tanggap. Selain itu, diperlukan pikiran jernih
dan pengkajian yang lebih matang.
Sinetron pada umumnya bercerita tentang kehidupan
manusia sehari-hari yang diwarnai konflik berkepanjangan.
Seperti layaknya drama atau sandiwara, sinetron diawali dengan
perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter masing-masing.
Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang
makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya.
Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih,
tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis
skenario. Dibuatnya sinetron menjadi berpuluh-puluh episode
kebanyakan karena tujuan komersial semata-mata sehingga
dikhawatirkan menurunkan kualitas cerita, yang akhirnya
membuat sinetron menjadi tidak lagi mendidik, tetapi hanya
menyajikan hal-hal yang bersifat menghibur. Hal ini banyak
terjadi di Indonesia yang pada umumnya bercerita seputar
kehidupan remaja dengan intrik-intrik cinta segi tiga, kehidupan
keluarga yang penuh kekerasan, dan tema yang akhir-akhir ini
sangat digemari yaitu tentang kehidupan alam gaib.
Dunia pertelevisian kita saat ini sudah cukup maju. Hal itu

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 43


dapat dilihat dari aspek peningkatan jam tayang maupun dari
aspek penyajian acara yang disajikan kepada masyarakatnya,
mulai dari jenis acara yang dipilih, baik penyajian untuk anak-
anak maupun untuk orang dewasa. Kalaulah kita mau
menyaksikan terus, kita akan dapat menghabiskan waktu satu
hari penuh di depan pesawat televisi. Oleh sebab itulah, televisi
merupakan media yang paling banyak mengunjungi dan
dikunjungi masyarakat (sebagai pemirsa), baik tinggal di
perkotaan hingga di pedesaan. Keberhasilan tersebut tidak lain
disebabkan kesuksesan pemilik/pengelola dalam membangun
transmisinya ke berbagai pelosok negeri ini.
Dilihat dari menu acara yang disajikan oleh media televisi
kita tersebut, sinetron merupakan menu yang boleh disebut cukup
mendominasi sebagai acara yang kerap disajikan. Hampir setiap
stasiun televisi yang tayang secara nasional —mulai dari RCTI,
SCTV, TPI (kini MNC TV), ANTV, atau Indosiar— berlomba
menyajikan sinetron sebagai acara utama di jam-jam yang
banyak pentonton (prime time). Namun, dari berbagai tayangan
sinetron yang disajikan, kita dapat menilai, kebanyakan
sinetronnya tersebut hanya bersifat hiburan belaka; dan tidak
banyak memberikan pendidikan yang sangat diperlukan dalam
untuk membentuk bangsa yang berkepribadian. Dengan kata
lain, sinetron yang ditayangkan berbagai media televisi saat ini
lebih banyak bersifat menjual mimpi. Masyarakat sering terbuai
dengan mimpi-mimpi yang ditawarkan, seperti kehidupan yang
serba mewah. Rumah gedongan, mobil mewah, uang banyak,
jabatan tinggi, atau pakaian bagus.
Sangat jarang sinetron Indonesia mengangkat permasalahan
masyarakat lapisan bawah. Sangat jarang sinetron Indonesia
mengajak pemirsanya untuk menyikapi kesulitan hidup dengan

44 SUHARDI
baik. Yang ada lebih banyak mengajak pemirsanya meng-
khayalkan sesuatu yang jauh dari kenyataan yang ada di
sekitarnya. Permasalahan yang diangkat sinetron Indonesia lebih
banyak adalah permasalahan masyarakat lapisan atas sementara
sebagian besar masyarakat Indonesia berada pada lapisan bawah.
Menyaksikan sinetron Indonesia laksana kita diajak bermimpi.
Efek yang dapat ditimbulkan oleh keadaan ini sangat buruk.
Orang akan mau berbuat dan melakukan apa saja untuk dapat
memiliki uang banyak, mobil mewah, dan rumah gedongan. Tak
peduli cara mendapatkan kemewahan itu: apakah dengan cara
mencuri atau melalui korupsi. Dunia sinetron kita tidak banyak
menyentuh sisi-sisi dramatis realitas masyarakat Indonesia yang
sesungguhnya.
Tidak adanya sinetron yang lahir dan mampu mengangkat
sisi dramatis dan realitas masyarakat Indonesia sehari-hari
sesungguhnya tersebut bukan disebabkan oleh tidak adanya
pengalaman dan keterampilan para sutradara dan produser film
TV kita.Hal ini lebih disebabkan oleh tidak adanya perhatian
dan kesadaran mereka ke arah tersebut.Mereka lebih mengejar
materiil ketimbang estetik .Namun, yang anehnya lagi memang
model seperti ini yang banyak disukai masyarakat saat ini.
Apakah masyarakat selaku pemirsa televisi kita memiliki selera
rendah? Hal itu bisa didiskusikan lebih lanjut, karena sinetron
yang berangkat dari realitas sosial juga banyak digemari
masyarakat. Yang jelas, produser dan sutradara sinetron lebih
banyak memproduksi sinetron mimpi ketimbang yang lebih
bermutu tinggi.
Jadi, adanya pernyataan yang mengatakan bahwa ketidak-
mampuan para sutradara, dan produser film TV dalam menyedia-
kan sinetron yang berkualitas (memberikan pengetahuan,

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 45


pendidikan, dan hiburan kepada masyarakat) karena disebabkan
kekurangan pengetahuan dan pengalaman di samping
ketersediaan dana yang cukup sebetulnya kurang tepat. Begitu
juga dengan kecemasan bahwa bila sinetron yang baik itu
dilahirkan akan berdampak kerugian dan efek yang kurang baik
pada negara.
Pengamat dan praktisi televisi Sumita Tobing pernah
menyatakan pendapatnya tentang kekurangan jurnalisme
pertelevisian kita saat ini. Sumita menyatakan bahwa tayangan
berita yang disajikan oleh jurnalisme televisi kita saat ini hanya
tempelan pendapat dari sana sini tanpa ada ujungnya. Hal ini
tidaklah bersifat mendidik.Berdasarkan hasil pengamatannya
beberapa puluh tahun ini, beliau belum menemukan satupun
jurnalisme televisi kita yang mampu menampilkan berita yang
begitu utuh, yaitu dapat menjelaskan kepada masyarakat
mengapa peristiwa itu bisa terjadi.Kebanyakan mereka hanya
memperlihatkan bagaimana berita itu cepat ditayangkan dan
mengejar iklan.
Sementara itu, pengamat politik Andi Malarangeng
menyatakan bahwa tidak mendalamnya berita yang ditampilkan
televisi kita saat ini.Andi mengambil sebuah contoh pada
peristiwa adanya tersiar kabar dari luar negeri bahwa jaringan
Al Qaeda ada di Poso. Tidak satupun tim investigasi dari
jurnalisme televisi dan surat kabar Indonesia yang melakukan
pelacakan ke sana dalam mengklarifikasi kebenaran berita dari
luar tersebut. Bahkan para jurnalis tersebut hanya mampu
melakukan pengutipan dari hasil investigasi jurnalisme asing.
Contohnya dari AFP, Reuter, BBC, dan sebagainya. Bukan suatu
kenaifan?

46 SUHARDI
Berangkat dari beberapa permasalahan di atas maka kalaulah
memang ada perhatian dan keinginan untuk memberikan
pengetahuan, pendidikan, dan hiburan kepada masyarakat
Indonesia di masa datang, tidak ada salahnya memperbaiki segala
kesalahan dan kekurangan masa lalu.Marilah kita bangun bangsa
ini secara bersama-sama guna lebih cepat bangsa ini lepas dari
keterpurukannya.Hal itu dapat dilakukan sesuai dengan
bidangnya masing-masing. Apakah ia sebagai seorang guru,
dosen, pakar politik, maupun para wakil rakyat.

Harian Umum Padang Ekspres , 22 Januari 2002

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 47


Kontroversi Teks Seks
dalam Sastra

B oleh dikatakan, sebahagian besar pertumbuhan dan


perkembangan sastra Indonesia saat ini masih banyak
ditentukan oleh peranan surat kabar. Baik surat kabar lokal
maupun pusat (Jakarta). Surat kabar tersebut hampir tidak
pernah absen setiap minggu untuk menyajikan menu-menu
sastra, seperti cerpen, puisi, esai, hingga teater kepada
pembacanya. Berbagai tema pun disajikan. Memang benar yang
dikemukakan H.B. Jassin melalui bukunya yang berjudul
“Peranan Surat Kabar dalam Perjalanan Kesusatraan Indonesia”.
Menurut Jassin, surat kabar sangat besar jasanya dalam
mengembangkan dan memajukan dunia sastra Indonesia.
Pernyataan tersebut hingga hari ini masih terbukti. Khusus untuk
esai sastra, saya mencatat ada dua tema penting dan hangat. Tema
yang penulis maksud adalah (1) kontroversi sekitar teks seks
dalam sastra Indonesia dan (2) kontroversi sekitar ucapan
Sapardi Djoko Damono saat diadakan Sayembara Mengarang
Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003.

Kontroversi Teks Seks dalam Sastra Indonesia


Tema-tema seks dalam esai sastra Indonesia, seperti esai
yang berjudul “Seks, Sastra, Kita” (Kompas, 4 April 2004),
“Teks-Teks Seks sebagai Resiko dalam Sastra: Sebuah
Dekontruksi untuk Goenawan Muhammad” (Kompas, 28
Nopember 2004), “Novel Seksual Hanya Satu Cara
Berpendapat:Perempuan Penulis Harus Bersikap” (Media
Indonesia, 9 Maret 2004), “Menimbang-nimbang Cerpen

48 SUHARDI
Djenar” (Republika, 28 Nopember 2004), dan sebuah esai sastra
yang diturunkan Sijori Mandiri (17 Oktober 2004) berjudul,
“Sastra Seksual dan Pembusukan Budaya”.
Esai sastra yang berjudul, “Seks, Sastra, Kita” ditulis oleh
Sunaryo Basuki Ks. (novelis dan guru besar Pendidikan Bahasa
dan Seni di IKIP Negeri Singaraja). Menurut Sunaryo judul
esainya ini dikutip dari artikel yang ditulis Goenawan Muhammad
yang berjudul “Seks, Sastra, Kita” —yang kemudian menjadi judul
buku yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, 1980. Menurut
Sunaryo apa yang terjadi hari ini merupakan sebuah efek dari
ucapan Goenawan Muhammad melalui artikelnya tersebut, yang
terkesan menyarankan realisasi deskripsi seks dalam sastra. Di
masa lalu sastrawan dituntut untuk dapat menyebarkan moral
yang baik kepada masyarakat, mendidik masyarakat untuk
menjadi insan yang bermoral, berdasarkan Pancasila. Sepanjang
pengetahuan saya hanya satu sastrawan masa lalu yang berani
keluar dari jalurnya. Dia adalah Montinggo Busye. Montinggo
Busye pada beberapa karyanya mencoba membeberkan masalah
seks secara blak-blakan dalam karyanya. Selanjutnya diikuti oleh
sastrawan Asbari Nurpatria dan Ali Sahab. Menurut Sunaryono,
kasus Montinggo Busye tidak dapat disamakan dengan kasus
yang terjadi pada sastrawan kita saat ini. Terutama bila dilihat
dari latar belakang, pengalaman, dan keterampilan yang dimiliki
Montinggo Busye. Sunaryono sangat menyayangkan mengapa
para sastrawan muda kita tidak mengalihkan saja tema-tema yang
bernuansa eksplorasi tubuh ke tema-tema kemasyarakatan yang
lebih mendesak.
Sejalan dengan Sunaryono, Fadlillah melalui esainya
berjudul “Teks-Teks Seks Sebagai Resiko dalam Sastra: Sebuah
Dekonstruksi untuk Goenawan Muhammad” (Kompas, 28
November 2004) berpandangan lain. Menurutnya, permasalahan

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 49


seks yang diangkat dalam sastra merupakan sebuah keharusan.
Bahkan menurutnya sastra tanpa seks adalah sesuatu yang naif.
Persoalan seks merupakan persoalan masa kini yang perlu
mendapat penanganan secepatnya. Bahkan permasalahan seks
dalam sastra bukanlah hal yang baru sebab dalam karya-karya
sastra sebelumnya juga ditemukan. Fadlillah memberikan contoh
pada kehidupan sastra sebelum merdeka, misalnya pada cerita
Panji di Bali, yaitu Centhini, Darmagandul, Arjunawiwaha, dan
relief-relief di Candi Sukuh yang menggambarkan alat kelamin
laki-laki dan perempuan secara nyata dan wajar.
Hangatnya pembicaraan permasalahan seks dalam sastra
membuat novelis Ayu Utami terpancing untuk mengeluarkan
pendapatnya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakannya lewat
esainya “Novel Seksual Hanya Satu Cara Berpendapat:
Perempuan Penulis Harus Bersikap” (Media Indonesia, 9 Maret
2004). Menurut Ayu, maraknya novel Indonesia yang
bertemakan seksual yang ditulis oleh perempuan akhir-akhir ini
semoga bukan tujuan akhir dari penulisnya. Melainkan hanya
sebuah proses yang baik untuk mencapai keberanian perempuan
dalam menyatakan berbagai pendapatnya. Ia juga tidak
menampik adanya pandangan yang sama terhadap novelnya yang
berjudul “Saman” dan “Larung”.
Menurut Ayu yang dilakukannya adalah mengungkapkan
permasalahan seksual di kalangan perempuan bukan mengangkat
seks itu sendiri. Contohnya pada tokoh yang bernama Yasmin
dan Saman (dalam “Saman”) membicarakan seks dengan rasa
bersalah. Jadi, terdapatnya unsur seks dalam kedua novelnya
itu tidak lain sebagai bahan diskusi, bukan peristiwa.
Bagi Ayu, bila ada yang mengkritik bahwa novel “Saman”
mengumbar seks maka pandangan itu salah. Seks yang terdapat
dalam novelnya yang berjudul “Saman” tidak lebih sebagai

50 SUHARDI
persoalan yang sedang dihadapi kaum perempuan saat ini.
Contohnya kaum lelaki sering mempersoalkan masalah
keperawanan, tetapi apakah hal yang sama juga dipersoalkan
kaum lelaki. Walaupun demikian, Ayu Utami tidak membantah
bahwa saat ini banyak lahir novel-novel bertemakan seksual yang
ditulis oleh kaum perempuan dapat menimbulkan sensasi dan
kontroversi dalam masyarakat. Hal itu, menurut Ayu Utami,
lumrah saja. Memang inilah baru kondisi realitas masyarakat kita
saat ini. Sebuah masyarakat yang masih menganggap tabu dan
kontroversial jika mengupas persoalan seks. Sementara dalam
kehidupannya terjadi berbagai problem.
Selain itu, Ayu berharap pemilihan tema sekitar seks
hendaknya bukan tujuan akhir melainkan lebih merupakan
proses yang baik untuk mencapai keberanian perempuan dalam
menyatakan berbagai pendapatnya. Tokoh lain pun juga tidak
mau ketinggalan. Sastrawan Wan Anwar, sebagaimana dikutip
dari Media Indonesia, 9 Maret 2004, menyatakan bahwa marak-
nya tema-tema seks dalam novel yang ditulis kaum perempuan
semakin mengukuhkan bahwa masyarakat kita memang semakin
latah. Dalam hal ini, Wan Anwar memberikan contoh pada salah
seorang penyanyi dangdut yang namanya cepat naik daun
melalui goyang ngebor-nya.
Dadan Suwarna, dosen di Fakultas Sastra Universitas Pakuan
Bogor, melalu esainya yang berjudul “Menimbang-Nimbang
Cerpen Djenar” mencoba menengahi berbagai kritikan yang
dilontarkan masyarakat terhadap beberapa karya Djenar Maesa
Ayu yang dinilai sangat kontradiktif. Menurut Dadan, cacian dan
makian yang harus diterima sang penulis atas karya-karyanya
adalah sebuah resiko. Cacian itu harus diterima dengan lapang
dada. Selain itu, satu hal yang harus dipahami adalah ternyata
teks tersebut harus ditafsirkan juga sebagai teks yang naratif

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 51


disamping estetik dan artistik. Pemilihan judul pada cerpen
Djenar terkesan provokatif dan sensasional tidak lepas dari gaya
khas yang dimiliki Djenar itu sendiri. Seharusnya diterjemahkan
bahwa inilah gaya Djenar bertutur kata kepada pembacanya.
Dadan juga tidak menutup kemungkinan ini juga sebuah teknik
Djenar agar cepat dikenal pembacanya.
Di mata Dadan, Djenar adalah sosok cerpenis perempuan
Indonesia yang memiliki kemampuan mengeksplorasi dan
mengekspresikan gagasan dengan leluasa. Hal ini mungkin sesuai
dengan mood-nya saat itu. Selain itu, apologi yang diusung Djenar
adalah mengkritisi bobroknya moral manusia sekarang di balik
eksplisitas nama yang disandangnya. Menurut Dadan adanya
pemihakan Djenar bahwa cerpen adalah rekayasa faktual, sebuah
teks yang harus dipresentasikan semodel dan setipikal apapun
sebagai “dunia lain” di luar norma faktual. Maksudnya, cerpen
adalah cerpen bukan norma hitam-putih. Oleh sebab itu,
kewenangan memilih tema adalah kewenangan yang tidak harus
diikat dengan norma tersebut. Karya Djenar, menurut Dadan,
tidak sedang membela norma melainkan mencoba berangkat dari
sudut pandang manusia yang terpinggirkan dalam memandang
subyektivitas apapun tanpa perspektif normatif. Bahkan, cerpen
Djenar cenderung memaparkan fakta, informasi, ikhwal ada
kebenaran, dan pembenaran manusiawi.
Selanjutnya, Aguk Irawan melalui esainya yang berjudul,
“Sastra Seksual dan Pembusukan Budaya” dengan lantang
menyatakan bahwa (1) keberanian menyusupkan adegan-adegan
liar dalam kaya sastra perlu mendapat respon yang serius bila
tidak mau dikatakan membiarkan proses pembusukan budaya
terus berjalan; (2) Media massa menjadi aktor utama terjadinya
kerusakan moral dan budaya; (3) Buku-buku karya sastra jika
terus memunculkan karya sastra yang telanjang dan fulgar jelas

52 SUHARDI
akan menimbulkan efek negatif; (4) Keberanian penulis
perempuan memunculkan adegan-adegan seks dalam karyanya
jelas menjadikan sastra perempuan rendah nilai estetiknya,
jumut, elistis, dan ekslusif; dan, (5) Jangan berharap seksualitas
fiksi perempuan akan mampu hadir sebagai karya sastra besar
dan dapat dibanggakan.
Terlepas dari semua itu, yang jelas munculnya karya sastra
yang berbau seksualitas yang ditulis penulis perempuan
menimbulkan kontroversi yang kuat di kalangan masyarakat.
Hal ini disebabkan masyarakat selama ini, harus diakui, masih
menganggap tabu membicarakan daerah sekitar selangkangan.
Apalagi untuk konsumsi seluruh pembaca dari berbagai jenis
umur. Padahal, masih banyak tema-tema sosial lain yang cukup
penting untuk dibicarakan dan diangkat menjadi tema sastra.
Memang ada benarnya juga yang dikemukakan Aguk bahwa niat
para penulis perempuan untuk mengangkat derajat kaum
perempuan yang selama ini terpinggirkan bisa berbalik menjadi
semakin terpinggirkan, tenggelam, dan hina sebab karya-karya
yang mereka hasilkan merusak budaya Timur kita yang begitu
santun dan bermartabat tinggi. Barangkali, para penulis
perempuan kita tersebut perlu banyak belajar lagi pada karya-
karya sastra yang ditulis sastrawan dunia agar mereka tidak
menjadi latah.
Selain permasalahan teks seks dalam karya sastra, seperti
novel dan cerpen, tema sastra penting lainnya yang juga terjadi
pada tahun 2004-an adalah permasalahan yang terjadi sekitar
pernyataan Sapardi Djoko Damono pada Sayembara Menulis
Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003 (yang kebetulan tiga
orang pemenangnya adalah kaum perempuan), bahwa masa
depan novel Indonesia berada di tangan perempuan karena lelaki
lebih bodoh, dan malas membaca. Pada tahun sebelumnya,

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 53


terutama pada saat publikasi pemenang sayembara penulis
Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998, yang saat itu
dimenangkan juga oleh kaum perempuan, yaitu Ayu Utami
melalui karyanya yang berjudul “Saman”. Selanjutnya Sapardi
juga menyatakan “Dahsyat…memamerkan teknik komposisi yang
sepanjang pengetahuan belum pernah dicoba pengarang lain di
Indonesia, bahkan mungkin di luar negeri.” Akibat pernyataan
yang disampaikan Sapardi tersebut, salah seorang penyair kita
tersentak. Ia menyatakan tidak menduga sama sekali bahwa
Sapardi sebagai seorang sastrawan senior Indonesia menge-
luarkan pernyataan seperti itu.
Mereka yang tersentak tersebut adalah Saut Sitomorang.
Saut adalah seorang penyair Indonesia yang kini tinggal di
Yogyakarta. Saut melalui esainya yang berjudul, “Politik
Sayembara Sastra” (Kompas, 9 Mei 2004) mempertanyakan
letak keabsahan pernyataan yang disampaikan Sapardi.
Terutama berkaitan dengan pernyataan bahwa masa depan novel
Indonesia ada di tangan perempuan, karena lelaki lebih bodoh,
dan malas membaca. Sementara dua dari pemenang sayembara
itu berjenis kelamin laki-laki (Gus tf Sakai dan Pandu
Abdurrahman Hamzah). Seandainya kelima pengarang
sayembara tersebut adalah perempuan juga belum bisa dikatakan
bahwa masa depan novel Indonesia terletak di tangan penulis
perempuan. Belum tentu naskah pemenang yang ditulis kaum
perempuan tersebut mampu dengan pasti mengubah peta sastra
kontenporer Indonesia. Terlepas benar atau salah yang jelas
inilah tema-tema sastra yang muncul pada tahun 2004. Inilah
hasil pemotretan atau pengamatan penulis selama ini.

Harian Umum Sijori Mandiri , 16 Januari 2005

54 SUHARDI
Mitos dan Kontra Mitos
dalam Sastra

D alam sebuah masyarakat yang sedang berkembang sering


terjadi pergeseran pandangan atau pemikiran. Sesuatu yang
hari ini dipandang baik belum tentu untuk beberapa waktu yang
akan datang dianggap baik. Sebaliknya, sesuatu yang hari ini
dipegang teguh oleh suatu masyarakat belum tentu untuk
beberapa waktu yang akan datang juga demikian. Hal ini jugalah
yang memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan yang dimiliki
suatu masyarakat terus bertambah. Akibatnya, sering terjadi
penolakan terhadap realitas atau sebaliknya.
Soeharto sewaktu masih menduduki kursi presiden banyak
sebutan atau julukan yang yang diberikan kepada beliau. Mulai
sebagai Bapak Pembangunan Indonesia, Ahli Ekonomi
Indonesia, dan sebagainya. Namun, setelah ia turun dari kursi
kekuasaan keadaan berubah 180 derajat. Julukan yang begitu
menggema selama ini hilang seiring hilangnya kursi kedudukan
tersebut.Beliau dicaci-maki. Keluarganya dihina dan ditekan.
Bahkan diseret dengan berbagai persoalan, mulai dari korupsi
hingga penyelewengan lainnya.
Hal yang sama juga terjadi pada mantan Presiden RI ke-3,
yaitu B.J. Habibie, yang sebelumnya selalu menjadi Menteri Riset
dan Teknologi (Menristek). Sewaktu masih menjadi menteri,
namanya begitu diagungkan. Bahkan, di masyarakat muncul
ungkapan “seperti otaknya Habibie”, yang maksudnya adalah
kecerdasannya seperti B.J. Habibie. Bukti nyata memang
memperlihatkan, sewaktu beliau menjadi Menristek kemajuan
teknologi Indonesia cukup pesat. Indonesia yang selama ini

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 55


hanya merupakan konsumen berubah sedikit-demi sedikit
menjadi negara produsen. Indonesia sudah bisa menciptakan
teknologi mulai dari bentuknya yang kecil-kecil hingga yang lebih
besar. Mulai dari berbagai alat pertanian hingga pesawat terbang.
Bahkan sewaktu beliau menjabat presiden yang cukup singkat,
kemampuannya terbukti bagus, yaitu mampu menurunkan kurs
rupiah di hadapan dolar US. Dari yang sebelumnya hampir
pencapai Rp 20.000/per dolar US hingga level terbawah, yaitu
Rp 10.000 /dolar US. Namun, politik berbicara lain.
Keberhasilan beliau selalu ditutup-tutupi. Akhirnya beliau
menjadi tumbal politik. Kebijakannya berkaitan pelepasan daerah
Timor-Timor dari wilayah NKRI selalu ditonjolkan sebagai
sebuah kesalahan fatal.
Beberapa contoh tersebut merupakan contoh mitos dan
kontra mitos yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia.Hal
ini merupakan sebuah gejala bahwa dalam masyarakat Indonesia
telah terjadi pergeseran nilai-nilai budaya. Mursal Esten salah
seorang budayawan Sumatera Barat dan nasional dalam bukunya
yang berjudul Kajian Transformasi Budaya menyatakan bahwa
terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat
tidak lain karena akibat peristiwa sejarah. Selain itu, pergeseran
nilai-nilai budaya tersebut juga sebagai tuntutan kemajuan
zaman.Walaupun demikian, yang diharapkan tentulah per-
geseran nilai-nilai budaya ke arah yang lebih baik tanpa
menghilangkan identitas diri sesungguhnya.

***

Banyak ahli yang telah mengemukakan pandangannya


tentang apa itu mitos dan kontra mitos. Salah satunya adalah
Esten (1999) mengemukakan pandangannya bahwa yang

56 SUHARDI
dimaksud dengan mitos adalah sesuatu yang diyakini secara
umum oleh kelompok masyarakat tertentu dan kemudian
memberikan pengaruh terhadap pola tingkah laku dan pandangan
hidup masyarakat tersebut.
Berdasarkan rumusan tersebut maka dalam sebuah mitos
terkandung 3 unsur penting, yaitu (1) Segala sesuatu yang telah
menjadi keyakinan atau dipercayai oleh masyarakat dalam
kehidupan sehari-harinya; (2) Segala sesuatu yang telah diyakini
oleh kelompok masyarakat tersebut kemudian teraplikasi dalam
kehidupan masyarakat tersebut, baik secara individu maupun
kelompok; (3) Segala sesuatu yang telah diyakini tersebut
tercermin dalam pola tingkah laku sehari-harinya. Maksudnya,
bentuk-bentuk tingkah laku yang diperlihatkan sekelompok
masyarakat tersebut memperlihatkan adanya pengaruh mitos
tersebut. Contohnya, setiap malam ke-27 bulan Ramadhan setiap
rumah harus terang, termasuk di luar rumah. Karena munurut
mitosnya, pada malam tersebut akan turun para malaikat
mengecek dan mencatat segala amal baik umat Islam pada malam
itu. Rumah yang akan dikunjungi tersebut adalah rumah yang
terang di dalam dan luar rumah. Berdasarkan mitos ini juga maka
selalu setiap malam yang ke-27 umat Islam selalu menghiasi
rumahnya dengan berbagai bentuk penerangan, mulai dari
menyalakan pelita di sekeliling rumah sampai lampu-lampu
lainnya.
Bentuk mitos lainnya adalah keyakinan bahwa Malin Kundang
adalah memang anak durhaka. Ia telah durhaka terhadap ibunya
sendiri. Akibat kedurhakaannya tersebut ia dikutuk menjadi batu.
Mitos ini telah menjadi keyakinan yang menyerupai realitas
sesungguhnya. Umumnya masyarakat telah menerima cap buruk
terhadap Malin Kundang tersebut. Selalu saja kalau ada orang
tua bila anaknya agak nakal ditakut-takuti nanti dikutuk bisa

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 57


menjadi batu. Sudah menjadi kenyakinan bahwa kutukan dari
orang tua sungguh begitu makbul. Pendoktrinan ini sampai hari
ini masih berlangsung.
Sebaliknya, yang dimaksud dengan kontra mitos adalah
bentuk pengejawantahan atau lawan dari konsep mitos itu
sendiri. Kontra mitos sama dengan perbuatan menolak mitos atau
peniadaan mitos itu sendiri. Umar Junus dalam bukunya
berjudul Mitos dan Komunikasi menyatakan bahwa adanya
unsur mitos dan kontra mitos dalam sebuah karya sastra
merupakan sesuatu yang wajar.Hal ini memperlihatkan bahwa
telah terjadinya pergeseran pandangan dan nilai-nilai di dalam
masyarakat itu sendiri, yaitu dari masyarakat tradisional ke
modern.Pergeseran dari masyarakat tradional ke berkembang
dan kemudian ke masyarakat maju.

***

Dalam masyarakat Minangkabau banyak sekali dijumpai


bentuk-bentu mitos, seperti Malin Kundang, Batu Menangis,
Rawangtingkuluk, Batu Belah, dan sebagainya. Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari juga dapat dijumpai mitos kecil-kecil,
seperti: jangan duduk di bantal, nanti pantat bisa bisulan; jangan
duduk di depan pintu, nanti rezekinya susah masuk; jangan tidur
telengkup nanti meninggal orang tuanya, dan sebagainya. Mitos-
mitos itu menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut.
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan ilmu
pengetahuan, maka kemampuan berpikir di kalangan anak muda
pun semakin maju pula. Bila mereka disuguhi dengan beberapa
bentuk mitos di atas sering melakukan penolakan. Baik secara
langsung maupun tidak langsung.Hal ini disebabkan mereka

58 SUHARDI
memandang mitos tersebut tidak benar dan perlu diluruskan
maknanya. Dengan kata lain, terjadi bentuk kontra mitos.
Namun banyak mitos yang masih terjaga sapai sekarang,
termasuk yang berasal dari dunia sastra Indonesia. Cerita Malin
Kundang misalnya, diyakini masyarakat sebagai tokoh yang
durhaka, tokoh yang tidak berbalas budi, atau tokoh yang
dilaknat. Akibatnya, nama Malin Kundang menjadi mitos dalam
masyarakat. Tokoh ini sering digambarkan kepada anak-anak
agar jangan, seperti Malin Kundang si anak durhaka yang dikutuk
oleh ibunya sehingga menjadi batu. Bentuk mitos Malin Kundang
ini memang ampuh dalam mendidik anak-anak Minang
dahulunya.Mereka begitu yakin bahwa Malin Kundang tersebut
memang anak durhaka.
Begitu juga terhadap mitos Cinduamato.Cinduamato yang
dikenal sebagai tokoh yang jujur dan tidak memiliki nafsu birahi.
Begitu juga terhadap tokoh yang bernama Bundo Kanduang
sebagai tokoh yang maha sakti. Cinduamato berhasil membawa
Puti Bungsu dari Sungai Ngiang Pagaruyuang tanpa cacat. Bundo
Kanduang yang hanya disebabkan meminum air kelapa gading
dapat hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Dang
Tuangku. Bahkan Rasyid Manggis (1990:10) menyatakan bahwa
mitos Cinduamato sebgai mitos utama kerajaan Minangkabau,
menjadi rujukan dan acuan sejumlah nilai dan tingkah laku yang
ideal anggota masyarakat.
Seiring perkembangan zaman, beberapa bentuk mitos
tersebut sekarang ditolak keberadaannya.Wisran Hadi dengan
beberapa bentuk karya parodinya melakukan kontra mitos
terhadap mitos Malin Kundang. Melalui teks sandiwara yang
ditulisnya, berjudul “Malin Kundang” yang di dalamnya mengi-
sahkan tentang tokoh Malin Kundang. Wisran berusaha
meyakin-kan ibunya bahwa ia masih hidup. Ia tidak mungkin

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 59


menyalahkan tokoh ibu Malin Kundang yang sampai hati
mengutuk anaknya sendiri hingga menjadi batu. Selain itu,
Wisran Hadi juga menyatakan secara tersirat, sesalah-salah anak
lebih salah juga orang tuanya sendiri.Bukankah si anak
dibesarkan orang tuanya? Kalaulah anak menjadi durhaka maka
bukankah itu artinya si ibu juga telah gagal mengasuh anaknya
sendiri?
Kalaulah si anak diasuh dan didik dengan baik, tidak akan
mungkin si anak akan menjadi anak durhaka. Bukankah ada
pepatah Minang yang menyatakan bahwa “Kalaulah padi yang
ditanam, tidaklah akan mungkin ilalang nan tumbuah”.
Maksudnya, kalau si anak dididik dengan baik maka tidak akan
mungkin si anak akan menjadi anak durhaka. Inilah amanat yang
mau disampaikan Wisran Hadi melalui teks dramanya Malin
Kundang itu kepada pembaca atau penikmat sastra Indonesia.
Begitu juga dalam naskah teksnya yang kedua berjudul
“Cinduamato”. Wisran Hadi juga mempertanyakan kejujuran
tokoh Cinduamato.Seorang anak muda bersama gadis cantik di
tengah hutan menempuh perjalanan begitu lama, tidak memiliki
hasrat apa-apa? Mungkinkah Cinduamato sama dengan malaikat
yang tidak memiliki nafsu? Pertanyaan berikutnya juga diajukan
Wisran berkaitan dengan tokoh Bundo Kanduang yang hamil
hanya karena meminum air kelapa gading?Apakah mungkin air
kelapa dapat menyebabkan seseorang hamil? Wisran melalui
karyanya ini melakkan kontra mitos terhadap mitos yang ada di
dalam masyarakat.
Inilah beberapa bentuk mitos dan kontra mitos yang telah
mewarnai perjalanan kesusastraan Indonesia, khususnya sastra
Minang.
Harian Umum Singgalang,27 Januari 2003

60 SUHARDI
Menghidupkan Sanggar Sastra
di Sekolah

M embaca pemikiran sastrawan kita Bung Tarmizi A. Sultan


yang berjudul Sastra, Minat Siswa, dan Kelemahan Guru
Bahasa (Haluan Kepri, Minggu, 6 Maret 2011) dari satu sisi
memang ada benarnya juga. Pandangan yang sama juga pernah
saya kemukakan di koran ini beberapa waktu lalu dengan judul
Menggairahkan Pengajaran Sastra di Sekolah. Cuma bedanya
sudut pandang saja. Bila Bung Tarmizi berangkat dari peng-
amatannya saat diadakan acara bimbingan penulisan cerpen,
sementara saya berangkat dari hasil pengamatan dan pengalaman
saya selama menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia di
beberapa jenjang pendidikan menengah dulunya.
Menurut pandangan sastrawan kita ini, ada empat
problematika pembelajaran sastra di sekolah saat ini. Keempat
hal tersebut adalah: (1) Pengajaran sastra yang dilakukan guru
di sekolah sedikit sekali terkait dengan perkembangan cipta
sastra dari dulu hingga sekarang. Mulai dari angkatan duapuluhan
hingga sastra modern (mutakhir), baik dalam cerpen, puisi, drama
maupun esai; (2) Pengajaran sastra yang dilakukan guru di
sekolah hanya sebatas memberikan teori-teori sastra ketimbang
membawa siswa masuk langsung ke dunia kepenulisan sastra;
(3) Umumnya guru yang mengajarkan mata pelajaran sastra di
sekolah tidak hobi menulis sastra. Buktinya sampai hari ini belum
ada ditemukan buku antologi sastra karya guru bahasa; dan (4)
Pengajaran sastra yang dilakukan guru di sekolah tidak

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 61


memberikan umpan balik kepada peningkatan motivasi siswa
untuk menulis karya sastra.
Keempat aspek problematika pengajaran sastra yang
dikemukakan sastrawan kita tersebut benar adanya. Namun
untuk mengatasi kondisi tersebut ada beberapa dilema yang
dihadapi para guru, yaitu; pertama, guru sastra kita yang ada di
sekolah-sekolah saat ini umumnya bukan penikmat cipta sastra.
Kalaupun penikmat, pengalaman baca sastra mereka sangat
terbatas. Terutama berkaitan dengan perkembangan cipta sastra
yang terjadi akhir-akhir ini. Mungkin kalau ditanyakan siapa itu,
Taufik Ismail, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan
HAMKA mereka sangat mengenal, akan tetapi jika ditanyakan
siapa itu Gus tf Sakai, Sitok Srengenge, Afrizal Malna, Yusrizal
KW, Agus Noor, dan Ahmadun Yose Herfanda kondisinya sangat
berbeda. Banyak di antara mereka terheran-heran dan
mengatakan tidak mengenal nama-nama tersebut. Padahal karya-
karya mereka sering menghiasi dunia sastra Indonesia saat ini.
Bahkan karya-karya mereka sering mengisi halaman persurat-
kabaran nasional, seperti Kompas, Media Indonesia, dan
Republika. Kondisi ini pulalah yang menyebabkan dalam proses
pembelajaran sastra di kelas guru sangat sedikit sekali mampu
mengkaitkannya dengan perkembangan cipta sastra dari dulu
hingga hari ini. Kondisi ini juga berdampak terhadap pengalaman
baca sastra para siswa.
Kedua, umumnya guru sastra yang mengajarkan pelajaran
sastra di berbagai sekolah saat ini adalah lulusan fakultas
keguruan (FKIP) program studi pendidikan bahasa dan sastra
Indonesia. Bukan lulusan fakultas sastra. Pengajaran sastra hanya
ditempelkan dalam pengajaran bahasa. Oleh sebab itulah, agar
pengajaran sastra maksimal, sastrawan Taufik Ismail pernah

62 SUHARDI
mengusulkan agar pengajaran sastra tidak digabungkan dengan
pengajaran bahasa. Maksudnya, pengajaran sastra terpisah
dengan pengajaran bahasa. Selain itu, Taufik menyarankan guru
sastra sebaiknya adalah mereka lulusan fakultas sastra atau
mereka dari kalangan maniak sastra. Namun dilematika yang
akan terjadi adalah siswa sekolah menengah tidak dipersiapkan
untuk menjadi seorang penulis. Mereka lebih dipersiapkan untuk
mampu masuk perguruan tinggi. Oleh sebab itulah, pengajaran
di sekolah menengah lebih banyak bersifat teoritis ketimbang
aplikatif. Selain itu juga, siswa di jenjang sekolah menengah lebih
dipersiapkan untuk sukses menghadapi Ujian Nasional yang
memang lebih banyak berhubungan dengan teori ketimbang
praktek.
Ketiga, karena guru kita saat ini bukan berlatar belakang
penulis sastra, maka sampai saat ini sangat langka kita jumpai
buku-buku antologi sastra buah karya para guru sastra kita.
Kondisi ini tentunya di masa datang pasti akan berubah sebab
saat ini saya sudah melihat perkembangan terbaru. Beberapa
cipta sastra buah karya para mahasiswa calon guru yang telah
menghiasi halaman sastra dan budaya koran ini. Merekalah yang
akan mengubah kondisi yang ada saat ini.
Dan, keempat, beberapa indikator problematika pengajaran
sastra yang terjadi sekolah saat ini berdampak langsung pada
rendahnya motivasi penulisan sastra di kalangan siswa.
Walaupun demikian, tidak ada juga salahnya memang jika
para siswa kita saat ini tidak hanya dibekali dengan teori sastra
melainkan juga dibekali dengan pengalaman menulis karya
sastra. Apalagi di beberapa sekolah saat ini telah memiliki sanggar
sastra. Untuk memaksimalkan peranan sanggar sastra yang ada
di sekolah tersebut sudah saatnya pihak pimpinan sekolah (baca:

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 63


kepala sekolah) membuat terobosan baru. Salah satunya adalah
mendatangkan sastrawan ke sekolah. Hal ini pernah dilakukan
sekolah-sekolah di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan
Sulawesi melalui kegiatan “Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab
(SBSM)”. Caranya, sekolah mendatangkan sastrawan terkenal
dari Jakarta, seperti Taufik Ismail, Hamid Jabbar, Putu Wijaya,
Sutardji Calzoum Bacri, Agus R. Sardjono, Jamal D. Rahman,
Acep Zamzam Noor, dan lain-lain.
Selain itu juga dapat dilakukan dengan cara menjalin kerja
sama dengan bengkel sastra terdekat. Contohnya untuk sekolah-
sekolah yang ada di Batam melakukan kerja sama dengan komu-
nitas seni Rumahitam Batam, untuk membina kegiatan sanggar
sastra di sekolah atau dengan cara mengirim para siswa
mengikuti pelatihan penulisan sastra di Rumahitam Batam.
Bahkan kalau bisa tidak hanya siswa yang dilibatkan, para guru
pun hendaknya juga diikutsertakan agar para guru juga memiliki
keterampilan dalam menulis karya sastra.
Semuanya memang sangat tergantung dengan niat baik semua
pihak (siswa, guru, dan kepala sekolah).

Harian Umum Haluan Kepri, 20 Maret 2011

64 SUHARDI
Kongres Cerpen Indonesia Mutakhir III
Upaya Pembongkaran Ideologi

B erdasarkan hasil pantauan penulis dari beberapa kliping


koran atas cerpen Indonesia —yang diterbitkan surat kabar
Kompas, Media Indonesia, Republika, Padang Ekspres,
Singgalang, Mimbar Minang, Haluan, dan Canang— dari tahun
1992 hingga tahun 2003 sekarang, perkembangan dunia cerpen
Indonesia mutakhir cukup pesat. Baik dari segi gaya penulisan,
bentuk tema yang dipilih, maupun dari segi pertumbuhan jumlah
cerpenisnya.
Pandangan yang sama dikemukakan oleh S. Prasetyo Utomo
salah seorang sastrawan yang tinggal di Semarang. Menurut
Prasetyo cerpen Indonesia mutakhir telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat terutama dalam pemanfaatan
unsur musik (bunyi), seni lukis (dekorasi), dan unsur puisi.
Pemanfaatan itu amat tampak terutama karya yang ditulis oleh
Danarto, Seno Gumira Ajidarma , dan Afrizal Malna. Gejala yang
sama juga terjadi pada cerpen-cerpen terbitan surat kabar
Sumatera Barat (Padang Ekspres, Singgalang, Haluan, Mimbar
Minang, dan Mingguan Canang) terutama karya-karya cerpenis,
seperti Yusrizal KW., Gus tf Sakai, Haris Effendi Thahar, Darman
Moenir, dan Wisran Hadi.
Adanya indikasi bahwa telah terjadi perkembangan dan
pertumbuhan dalam dunia cerpen Indonesia Mutakhir
sebagaimana terlihat melalui tema-tema cerita yang disajikan
penulis di dalam karyanya. Boleh dikatakan tema-tema cerita

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 65


yang disuguhkan penulis kepada pembacanya saat ini adalah
realitas masa kini. Darmanto Jatman pada pengantar antologi
cerpen berjudul Jejak Tanah (2002) mengatakan bahwa cerpen
Indonesia Mutakhir saat ini hadir tanpa konflik yang mendasar.
Ia lahir laksana melodrama. Cerpen jenis ini hanya cocok
dikonsumsi dalam suasana sambil lalu saja.
Sementara itu, Goenawan Muhammad memandang bahwa
tema-tema cerpen Indonesia mutakhir yang lahir saat ini (sudah
dibukukan) cenderung terperangkap pada tema-tema faktualitas
yang dekat dengan berita yang disampaikan media massa sehari-
hari. Hal ini memang benar adanya. Lihat saja judul-judul cerpen
yang lahir akhir-akhir ini, seperti lacur, korup, selingkuh, aborsi,
prostitusi, perselingkuhan, dan lain sebagainya. Itu merupakan
masalah-masalah yang sering terjadi dalam masyarakat
Indonesia saat ini. Masalah-masalah tersebut merupakan
problematika yang sering menjadi berita utama di berbagai media
surat kabar Indonesia saat ini.
Kontribusi surat kabar dalam memajukan dunia sastra
Indonesia, khususnya cerpen sangat tinggi. Baik itu surat kabar
terbitan lokal maupun pusat. Hampir setiap minggunya,
khususnya di hari Minggu, berbagai surat kabar lokal dan pusat
menyajikan menunya berupa cerpen, puisi, dan esai sastra. Baik
yang ditulis oleh cerpenis senior maupun yunior. Oleh sebab
itulah, tingginya rasa kepedulian para pengasuh surat kabar
dalam memajukan dunia sastra Indonesia, sudah selayaknya
mereka diberikan penghargaan yang pantas. Apalagi di tengah-
tengah daya beli masyarakat terhadap buku-buku sastra yang
sangat rendah, surat kabar menjadi sebuah solusi. Harganya yang
sangat terjangkau mengakibatkan para cerpenis dan penikmat
sastra beralih publikasi dari buku ke surat kabar.

66 SUHARDI
Sebagaimana juga yang dikemukakan S. Prasetyo Utomo
bahwa surat kabar telah memberikan kontribusi yang cukup
besar dalam memajukan dunia sastra Indonesia. Surat kabar telah
berfungsi sebagai media ekspresi sastra, membentuk resepsi
estetika pembaca, mensponsori penerbitan buku kumpulan
cerpen terbaik (seperti yang dilakukan Kompas) dan telah
menjadi media komunikasi masyarakat.
Tingginya jumlah pertumbuhan karya cerpen Indonesia
mutakhir selama ini tidak diimbangi oleh pertumbuhan kritikus
sastra. Sejak tiadanya kritikus handal Indonesia HB Jassin, dunia
kritik sastra Indonesia seolah-olah sedang terjadi kevakuman.
Hal ini sebagaimana terbukti dengan tidak lahirnya hingga hari
ini kritikus handal yang menyamai HB Jassin. Kondisi ini
mengakibatkan, antara pengarang, karya sastra dan pembaca
tidak terjadi komunikasi yang mesra. Kondisi seperti ini tentu
tidak boleh dibiarkan berlalu begitu lama. Secepatnya perlu
dicarikan solusinya. Sayang jika berbagai karya sastra indah yang
telah dilahirkan oleh para penulis atau sastrawan tidak sampai
ke pembacanya. Sangat disayangkan juga bila berbagai cipta
sastra yang telah lahir tersebut tidak dibaca para penikmatnya
hanya disebabkan kurangnya peran kritikus sasra dalam
menjembatani antara karya sastra dengan pembacanya.
Kongres Cerpen Indonesia Mutakhir III yang dilaksanakan
di Lampung telah melakukan pembongkaran terhadap ideologi
cerpen Indonesia mutakhir. Dari pembongkaran ideologi
tersebut, ditemukan beberapa hal. Pertama, cerpen Indonesia
Mutakhir saat ini sering berbenturan secara langsung dengan tiga
kepentingan, yaitu (1) kritikus merindukan teks yang berkadar
literer, (2) penerbitan surat kabar yang lebih mementingkan
tema, dan (3) pembaca yang memiliki cakrawala estetika

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 67


tertentu. Hal ini sebagaimana yang diperlihatkan oleh cerpenis
Seno Gumira Adjidarma melalui beberapa karya cerpennya,
diantaranya adalah Negeri Kabut, Saksi Mata, dan cerpen yang
berjudul Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Selanjutnya, dari
pembongkaran ideologi cerpen yang ditulis Afrizal Malna
memperlihatkan bahwa Afrizal telah memperlihatkan konstruksi
narasi dengan cara penyampaian yang kritis, imajinatif, simbolik,
sebuah penafsiran yang kaya, dan memperlihatkan adanya
peleburan antara puisi, narasi, dan esai.
Kedua, perseteruan antara Manifes Kebudayaan yang
disponsori sastrawan senior Mochtar Lubis bersama kawan-
kawannya dengan LEKRA yang diprakarsai sastrawan senior
Pramoedya Ananta Toer yang masih berlanjut. Terutama
berkaitan dengan ideologi dan kekuasaan. Hal ini sebagaimana
terlihat pada karya-karya Satyagraha Hoerip berupa teks-teks
cerpen yang melawan pembusukan birokratis pada masa Orde
Baru yang serba korup.
Selain itu juga tampak pada beberapa karya cerpen Seno
Gumira Adjidarma. Salah satunya adalah cerpen yang berjudul
Saksi Mata. Pada cerpennya tersebut, Seno memperlihatkan
perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru dan militerisme
melalui kekuatan dongengnya yang humanistik. Bahkan
beberapa karya cerpen yang lahir akhir-akhir ini, juga
memperlihatkan perlawanan terhadap kekuasaan pemerintahan
Megawati Soekarno Putri. Salah satunya adalah cerpen yang
berjudul Sepotong Kepala yang diterbitkan Republika beberapa
waktu lalu. Inilah bentuk-bentuk pembongkaran ideologi cerpen
Indonesia mutakhir.

Harian Umum Padang Ekspres , 20 Juli 2003

68 SUHARDI
Literary Award “Sari A nggrek”
Sumbangan Penting bagi Dunia Sa stra

U ntuk lebih menggairahkan sastrawan Indonesia dalam


berkarya perlu dukungan semua pihak. Baik oleh peme-
rintah, kalangan penguasa, maupun lembaga swasta lainnya.
Kehadiran mereka sangat diperlukan untuk menjawab
kekecewaan tentang tidak lahirnya karya sastra besar saat ini.
Tulisan ini turun setelah penulis membaca tulisan Darman
Munir yang berjudul “ Hadiah Sastra Sari Anggrek”. (Singgalang,
Minggu 29 Februari 2004). Dari tulisan tersebut ada beberapa
catatan penting yang menurut penulis perlu mendapat perhatian,
khusus semua pihak. Pertama, gagasan Haji Azhar Muhammad
sebagai pemerhati dan punya kepedulian tinggi terhadap
sastrawan yang berdomisili di Sumatera Barat yang berkeinginan
memberikan rangsangan berupa hadiah kepada para sastrawan
agar terus berkiprah menghasilkan karya-karya terbaiknya.
Terutama dalam rangka memajukan dunia sastra Indonesia di
masa datang. Kedua, sambutan, harapan dan sekaligus luapan
kegembiraan dari salah seorang sastrawan senior Darman Moenir
atas gagasan Pak Haji tersebut. Ketiga, efek dari pemberian
hadiah tersebut terhadap kehidupan kesusastraan Indonesia di
masa datang. Dan, keempat, perlunya melahirkan haji Azhar_haji
Azhar yang baru di masa datang.
Memang tidak banyak pengusaha-pengusaha yang memiliki
perhatian khusus pada dunia kesusastraan Indonesia. Begitu juga
pada sastrawan yang melahirkannya. Padahal Sumatera Barat

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 69


sejak dahulu telah berhasil melahirkan sastrawan besar dan
beberapa karya besarnya. Sebut saja diantaranya adalah Marah
Rusli dengan karya spektakulernya Siti Nurbaya; Abdul Muis
dengan Salah Asuhan; AA Navis dengan karya Robohnya Surau
Kami; Muhammad Yamin dengan Bahasa, Bangsa, dan Anak
Gembala; Darman Moenir dengan Bako; Khairul Harun dengan
Warisan; Mochtar Lubis dengan Jalan Tak Ada Ujung; dan
Wisran Hadi dengan karyanya Puti Bungsu, Anggun nan Tongga,
dan Tamu. Mereka itu merupakan sastrawan-sastrawan besar
yang lahir di Sumatera Barat yang telah mengukir namanya di
dunia sastra nasional dan internasional. Mereka itu selama ini
tidak banyak mendapat sentuhan dari pengusaha sukses
Sumatera Barat, Indonesia, dan —bahkan— pemerintah.
Sungguh naif memang, dari satu sisi sastrawan diharapkan
mampu melahirkan karya besar, akan tetapi di sisi lain kehidupan
mereka tidak pernah ada jaminan nyata. Sementara sastrawan
itu adalah manusia yang butuh sandang, pangan, dan papan serta
kehidupan yang layak. Mereka memiliki tanggung jawab untuk
menghidupi istri, anak, dan keluarganya. Hasil kreativitasnya
ternyata tidak cukup untuk menopang biaya hidupnya. Kondisi
ini tentunya jauh berbeda dengan kehidupan sastrawan di luar
negeri, misalnya kehidupan sastrawan di negara jiran Malaysia.
Pemerintah Malaysia sangat mendukung dan menghargai
sastrawan. Bentuknya: pemerintah memberikan tunjangan
bulanan pada setiap sastrawan. Kemudian setiap lahir karya dari
mereka, pemerintah akan memberikan bonus tambahan. Fasilitas
juga mereka berikan kepada sastrawannya, mulai dari bantuan
dana untuk pelaksanaan kegiatan sampai transportasi untuk
mereka yang akan ke luar negeri.
Kehidupan sastrawan di negeri jiran Malaysia sangat
diperhatikan pemerintahnya. Termasuk dalam hal ini terhadap

70 SUHARDI
karya-karya yang mereka hasilkan. Mungkin hal ini juga yang
membuat salah seorang sastrawan dan budayawan Indonesia
Umar Junus memilih hidup dan berkarya di negeri jiran Malaysia
ini ketimbang di Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi pada sastrawan senior Indonesia
Subagio Sastrowardoyo yang sebagian besar umurnya
dihabiskan di Australia ketimbang di Indonesia. Begitu juga Ajip
Rosidi yang lebih banyak berkiprah di negara samurai Jepang.
Sastrawan lainnya adalah penyair dan teaterawan yang mendapat
julukan sebagai “Si Burung Merak” yaitu WS Rendra yang
menghabiskan sebagian umurnya di Australia. Wisran Hadi
sepertinya juga akan mengikuti jejak seniornya Umar Junus,
yang akan hijrah juga ke Malaysia. Kondisi ini jika tidak cepat
diantisipasi, Indonesia akan kehilangan banyak sastrawan besar.
Pemerintah sebaiknya cepat mengambil langkah-langkah agar
mereka tidak hijrah ke berbagai negara lain. Jika tidak bagaimana
Indonesia nantinya?
Munculnya pertanyaan berbagai pihak tentang mengapa saat
ini tidak lahir karya sastra besar seperti dulu penyebabnya
adalah karena kurangnya perhatian dan penghargaan pemerintah
terhadap sastrawan Indonesia. Sastrawan masih dianak tirikan.
Pemerintah masih sibuk mengurusi dirinya sendiri. Seni budaya
masih dilirik sebelah mata, yaitu sesuatu yang belum penting,
atau tidak penting. Pemerintah Indonesia saat ini sepertinya sibuk
mengurusi jual-menjual aset negara melalui istilah privatisasi
dengan dalih menyelamatkan negara yang ternyata malah
kekayaan menguras negara. Mana mungkin sastrawan akan
melahirkan sastra besar bila hidupnya selalu dilecehkan.
Sastrawan itu bukan robot yang tidak memiliki keinginan apa-
apa.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 71


Oleh sebab itulah, lahirnya ide dan perhatian Haji Azhar untuk
memberikan hadiah melalui penyisihan keuntungan dari usaha
untuk sastrawan berprestasi cemerlang perlu diacungkan jempol.
Tidak banyak memang pengusaha yang memiliki kepedulian
terhadap sastrawan hingga kini. Padahal Indonesia memiliki
beberapa pengusaha sukses di bidangnya. Tidak perlu memang
dilihat dari aspek besar atau kecilnya hadiah yang diberikan.
Adanya ide tersebut sudah merupakan sesuatu yang luar biasa.
Andaikan banyak pengusaha yang memiliki ide seperti Haji Azhar
ini entah apa yang akan terjadi di dunia sastra Indonesia,
khususnya daerah Sumatera Barat. Mungkin tidak kalah dengan
zaman Angkatan ‘20, ‘30, atau ‘45.
Lahirnya gagasan Pak Haji Azhar Muhammad ini laksana
tanaman merindukan hujan bagi sastrawan. Pertama, sastrawan
merasa mulai diperhatikan hidupnya dan karyanya. Kedua,
sastrawan merasa dihargai karyanya oleh orang lain atau
masyarakat. Akibat lebih lanjutnya adalah sastrawan semakin
percaya diri bahwa kreativitas yang dilakukannya tidak sia-sia.
Sastrawan sebagai manusia tentunya akan merasa puas dan
sedikit bangga. Walaupun sastrawan itu berkreativitas tidak
mengharapkan pujian dan untuk dibanggakan. Namun bila ada
orang lain yang menghargai dan memujinya tentu sesuatu yang
sangat surprise. Sastrawan semakin terpacu kreativitasnya untuk
menghasilkan karya-karya berkualitas atau besar.
Efek lain yang dilakukan Haji Azhar ini adalah akan menjadi
catatan sejarah bahwa pengusaha Sumatera Barat telah
memberikan sumbangan besar terhadap dunia sastra Indonesia
melalui pemberian hadiah sastra cemerlang yang ada di Sumatera
Barat. Betapa tidak? Belum pernah terdengar atau terbaca oleh
penulis selama ini ada seorang pengusaha memberikan hadiah

72 SUHARDI
sastra, khususnya di Sumatera Barat kepada sastrawan
cemerlang di Sumatera Barat. Padahal daerah Sumatera Barat
telah membuktikan berhasil melahirkan sastrawan penting dalam
khasanah sastra Indonesia seperti Marah Rusli, Abdul Muis,
HAMKA, Muh. Yamin, AA Navis, Asroel Sani, Chairil Anwar,
Mochtar Lubis, dan Marzuki Satria. Bahkan saat ini telah lahir
para sastrawan muda Sumatera Barat yang karya-karyanya telah
banyak berbicara di kancah nasional. Sebut saja diantaranya
adalah Gus tf Sakai, Yusrizal KW, atau Haris Effendi Thahar.
Atas gagasan yang dilakukan Haji Azhar ini tidak tertutup
kemungkinan akan lahir beberapa sastrawan muda yang
cemerlang di daerah Sumatera Barat ini. Pandangan terhadap
kehidupan sastrawan semakin baik. Dengan demikian, Sumatera
Barat kembali akan melahirkan sastrawan tangguh sehingga
slogan yang mengatakan Sumatera Barat sumber gudangnya
sastrawan dan pemikir besar memang ada benarnya.
Kita berharap ke depan, sikap yang ditunjukkan Haji Azhar
tersebut diakui oleh para pengusaha lainnya. Baik yang berada
di daerah Sumatera barat maupun yang berada di luar Sumatera
Barat. Dengan kata lain, ke depan akan lahir Pak Haji Azhar-Pak
haji Azhar yang baru. Pak Haji yang memiliki perhatian dan peduli
terhadap sastrawan dan dunia kesusastraan Indonesia. Selain itu
juga dihimbau agar pihak Dewan Pimpinan Harian Dewan
Kesenian Sumatera Barat cepat merespon sinyal yang dipancar-
kan Pak Haji Azhar Muhammad tersebut.
Tidak lupa juga kita berharap, hendaknya proses penilaian
yang dilakukan nantinya oleh dewan juri betul-betul jujur dan
bertanggung jawab dalam menentukan sastrawan yang berhak
menerima hadiah sastra “Sari Anggrek Group” tersebut sehingga
niat baik terhadap sastrawan dan dunia sastra Sumatera Barat

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 73


khususnya tidak menjadi sebuah kekecewaan. Jangan hendaknya
nanti laksana pepatah “masjid yang dibuat, gereja yang tumbuh”
atau “minyak habis, sambal tak enak”. Terutama akibat adanya
perbuatan kong kalingkong dewan juri. Oleh sebab itulah,
kredibilitas dewan juri betul-betul dapat diuji, sehingga dalam
memberi penilaian akhirnya memang sastrawan yang betul-betul
sastrawan yang layak menerimanya.
Kepada Haji Azhar Muhammad kita harapkan acara seperti
ini dapat dilaksanakan setiap tahunnya. Kalau tidak mungkin
barangkali dapat dilakukan sekali lima tahunnya.

Harian Umum Singgalang, 11 April 2004

74 SUHARDI
Ha sil SidangDewan Kurator Ternate
Pemberian Ruang bagi Peserta Lokal

H arian Haluan Kepri (Jumat, 25 Maret 2011) menurunkan


sebuah tulisan berjudul, “Minimalisir Kelemahan TSI 3
Tanjungpinang”. Tulisan ini lahir dilatarbelakangi atas hasil
evaluasi Dewan Kurator (DK) Temu Sastrawan Indonesia (TSI)
di Ternate 19-20 Maret 2011 setelah tiga kali melaksanakan helat
besarnya di beberapa daerah. Langkah yang dilakukan DK ini
tentunya sangat tepat. Tepat tidak hanya dipandang dari segi
besarnya dana yang telah dihabiskan, juga tepat untuk melihat
kekurangan apa yang ada guna diperbaiki sehingga pelaksanaan
helat berikutnya yang direncanakan akan dilangsungkan di
Ternate, yaitu 25-29 Oktober 2011 akan lebih berhasil.
Berdasarkan hasil evaluasi DK di Ternate terhadap pelaksa-
naan TSI 1, TSI 2, dan TSI 3 ditemukakan beberapa kekurangan
dan diharapkan pada pelaksanaan TSI 4 di Ternate nanti tidak
terulang kembali. Khusus untuk pelaksanaan TSI 3 di Tanjung-
pinang beberapa waktu lalu ditemukan DK ada 4 kekurangan.
Pertama, pihak panitia kurang memperhitungkan kelayakan
tempat pelaksanaan acara. Jumlah undangan terlalu banyak
ketimbang peserta sehingga gedung penuh sesak. Kedua,
undangan ibu-ibu terlalu banyak sehingga menimbulkan kesan
acara yang dilaksanakan seakan pengajian kaum ibu-ibu (majelis
taklim) bukan pertemuan sastrawan Indonesia. Ketiga, pem-
berian kesempatan peserta lokal untuk tampil di panggung sangat
terbatas. Keempat, DK tidak diberi Surat Keputusan (SK) sebagai
pegangan dan pedoman kerja.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 75


Bagaimanapun ini adalah hasil evaluasi DK terhadap
pelaksanaan TSI yang telah dilakukan. Setuju atau tidak yang
jelas semua pihak harus berlapang dada untuk menerima hasil
evaluasi tersebut. Bagaimanapun Dewan Kurator (DK) memiliki
wewenang penuh untuk melaksanakan hal tersebut. Karena
semua itu tujuannya adalah untuk kesuksesan pelaksanaan TSI
di masa datang. Ambil nilai positifnya saja. Dengan dilak-
sanakannya TSI 3 di Tanjungpinang, Kota Tanjungpinang dalam
sejarah telah tercatat sebagai salah satu kota yang telah mendapat
kehormatan untuk menjadi tuan rumah dalam helat besar
tersebut.
Selain itu, dengan pelaksanaan TSI 3 tersebut, masyarakat
peminat dan pecinta sastra Kota Tanjungpinang telah mendapat
pengalaman dan hiburan berharga untuk kemajuan dunia sastra
di kota Tanjungpinang, khususnya Sastra Melayu. Satu hal juga
yang harus diingat peran sastrawan kita (Tarmizi A. Sultan) yang
telah berhasil meyakinkan rekan-rekan sastrawan nasional agar
pelaksanaan TSI 3 di laksanakan di Kota Tanjungpinang. Hal ini
perlu dihargai, minimal melalui secarik kertas yang berisi ucapan
terima kasih. Sebagai bangsa yang berbudaya tinggi hal tersebut
tentulah wajar dan biasa serta tidak sulit untuk dilakukan.
Berkaitan dengan pelaksanaan TSI 3 di Tanjungpinang juga,
semua pihak khususnya masyarakat Provinsi Kepulauan Riau
dan Indonesia umumnya mengharapkan adanya dokumen
tertulis dalam bentuk buku sebagai sumber bahan bacaan hasil
TSI tersebut. Buku itu hendaknya jangan hanya bisa dinikmati
oleh orang tertentu saja melainkan juga dapat dinikmati oleh
seluruh pemerhati dan pecinta sastra di seluruh tanah air ini.
Bagai-manapun semua itu merupakan sumber pengetahuan dan

76 SUHARDI
informasi yang perlu diketahui oleh masyarakat. Sampai hari ini
memang sangat sulit diperoleh informasi hasil TSI 3 lalu dalam
bentuk buku di pasaran. Sepertinya hasil TSI 3 tersebut sudah
menjadi menara ‘gading’ yang sulit untuk disentuh.
Mengingat tema yang diangkat pada TSI 4 di Ternate sangat
bagus, yaitu berkaitan dengan perkembangan Sastra Indonesia
abad ke-21, saya sebagai pemerhati dan pecinta sastra di daerah
ini juga sangat berharap kepada panitia pelaksana TSI agar hasil
TSI tersebut dapat dibukukan dan dicetak banyak serta
disebabarkan di beberapa toko buku nasional.
Saat ini sangat sulit diperoleh buku-buku yang mengangkat
permasalahan sastra Indonesia abad ke-21, sementara materi
perkuliahan yang berhubungan dengan kajian sastra abad ke-21
ini sangat dibutuhkan. Baik di kalangan mahasiswa maupun dosen
dalam kajian sastra. Kondisi seperti ini sudah lama terjadi
semenjak beberapa penerbit buku sastra ternama selama ini tidak
lagi menerbitkan buku-buku sastra. Termasuk dalam hal ini
adalah majalah Horizon yang antara hidup dan mati.
Selain itu, kehadiran buku-buku sastra yang jumlahnya
cukup besar sangat membantu sekali para mahasiswa di Provinsi
Kepulauan Riau, khususnya mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Mengingat masih terbatasnya ketersediaan buku-buku bahasa
dan sastra Indonesia di toko-toko buku yang ada di Kota Batam
dan Tanjungpinang. Semoga semua ini menjadi perhatian
bersama.

Harian Umum Haluan Kepri, 10 April 2011

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 77


Pusat Dokumenta si Sastra H.B. Ja ssin
Budaya Literatur & Perjalanan Bangsa

B udaya literatur di kalangan masyarakat Indonesia memang


harus dipupuk dan dikembangkan terus. Mengapa tidak,
dengan membudayakan tersebutlah perjalanan bangsa ini dari
waktu ke waktu dapat diketahui dan dilihat. Apa yang sudah
terjadi di masa lalu akan dapat diketahui oleh generasi berikutnya
melalui dokumen (literatur) yang tersedia. Hal ini sebagaimana
yang telah dilakukan tokoh kita, H.B. Jassin yang selain dikenal
sebagai penulis dan penyunting beliau juga juga dikenal sebagai
kritikus ulung Indonesia.
Usaha-usaha yang telah dilakukan Jassin itu sudah mem-
berikan kontribusi yang banyak kepada berbagai pihak. Tidak
hanya telah membantu menyediakan referensi tertulis para
sarjanawan dan doktoran dalam dan luar negeri juga telah ikut
memperkaya khazanah koleksi sastra terlengkap di Indonesia.
Sungguh sangat disayangkan kalau harus ditutup. Krisis
keuangan yang sedang melanda Pusat Dokumen Sastra H.B.
Jassin ini perlu dicarikan solusinya bila tidak ingin pemerintah
kita kehilangan muka.
Ada beberapa alasan pokok mengapa Pusat Dokumentasi
Sastra H.B. Jassin ini harus dipertahankan dan diselamatkan.
Pertama, PDS HB. Jassin merupakan pusat dokumentasi yang
mencatat perjalanan karya sastra Indonesia yang ditulis oleh
sastrawan Indonesia. Melalui dokumentasi yang tersedia maka
dapat dilihat dinamika kehidupan para pelaku sastra di negeri

78 SUHARDI
ini dari waktu ke waktu. Kumpulan tulisan tangan, catatan kecil,
dan surat-surat yang ditulis tangan oleh para penulis sastra selalu
dikumpulkan Jassin. Dari beberapa sumber juga menyebutkan
bahwa H.B. Jassin telah melakukan pengumpulan dokumen
sastra tersebut sejak beliau berumur 13 tahun. Mulai dari
penyimpanan buku-buku harian, sekolah, karangan yang pernah
ditulis di kelas hingga surat dan foto pribadi. Apakah dengan
kerja keras yang sudah dilakukan Jassin tersebut kini harus
dibiarkan begitu saja?
Kedua, PDS HB. Jassin telah menjadi rujukan para peneliti
sastra dalam dan luar negeri yang sedang menyelesaikan
penulisan skripsi, tesis, dan disertasinya dalam bidang sastra
Indonesia. Ketiga, PDS H.B. Jassin juga menjadi pilihan para
pengamat dan peneliti sastra asing dalam mencatat perjalanan
sastra Indonesia sebagai bahagian sastra dunia. Keempat, PDS
H.B. Jassin adalah salah satu asset bangsa Indonesia, yaitu pusat
dokumentasi sastra terlengkap. Baik dalam bentuk fiksi dan non
fiksi, buku referensi, naskah drama, biografi pengarang, kliping,
foto pengarang, makalah, skripsi, disertasi, kaset rekaman suara
hingga rekaman video para sastrawan besar Indonesia.
Dengan demikian, PDS H.B. Jassin harus diselamatkan agar
tidak sampai tutup. Ini adalah harga mati.
Untuk itu perlu dukungan semua pihak. Sebagai aset bangsa
Indonesia yang kini sedang bermasalah maka semua pihak perlu
memikirkannya. Semua pihak perlu memberikan dukungan
dana. Jika selama ini hanya dibebankan kepada pihak Gubernur
DKI Jakarta saja maka ke depannya perlu dilibatkan pemerintah
daerah termasuk perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Bahkan
bila perlu meminta sumbangan dari luar negeri. Dengan demikian,
pekerjaan rumah (PR) yang cukup berat yang tidak terselesaikan
selama ini tentunya menjadi ringan karena dipikulkan secara

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 79


bersama-sama
PR berat tersebut tidak hanya untuk PDS H.B. Jassin, namun
juga melanda perpustakaan Proklamator Indonesia Bung Hatta.
Perpustakaan Bung Hatta yang terletak di Jalan Adisucipto
Yogyakarta. Perpustakaan ini berdiri sejak tahun 1953 dan kini
dikabarkan telah tutup sejak tahun 2006 karena krisis keuangan.
Gedungnya telah bocor di sana sini dan seperti rumah tua. Pada
perpustakaan ini terdapat 40.000 buku-buku penting. Hal yang
sama juga melanda museum di berbagai daerah, seperti di Kendari
dan Bali (Kompas, Minggu, 27 Maret 2011).
Ada apa dengan bangsa ini? Bukankah semua ini merupakan
pertaruhan identitas dan martabat bangsa ini?
Tampaknya selama ini kita telah terperangkap dalam
paradigma berpikir yang salah. Para pengelola perpustakaan
sering dianggap sebagai penjaga buku. Padahal tidaklah
demikian. Pandangan yang dikemukakan Ninis Agustini
Damayanti —seorang doktor ilmu komunikasi dan perpustakaan
dari Universitas Padjadjaran Bandung— bahwa pengelolaan
perpustakaaan dan dokumen perlu ditangani oleh ahlinya
memang ada benarnya juga. Karena untuk merawat dokumen
tersebut tentu sangat dibutuhkan pengetahuan dan keahlian yang
cukup.
Semoga bangsa ini ke depan tetap memiliki kepedulian
terhadap kebudayaannya sendiri dengan cara selalu menghargai
usaha dan kerja keras yang telah dilakukan para pendahulunya.
Bahkan bila perlu terus menambah koleksi literarur yang sudah
ada tersebut seiring perkembangan yang terjadi.

Harian Umum Haluan Kepri, 15 Mei 2011

80 SUHARDI
Bintan Arts Festival,
Sebuah Catatan

M asyarakat Propinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang lebih


dikenal dengan masyarakat Kepulauan Riau, baru saja
menyelesaikan sebuah perhelatan besar, yaitu Bintan Arts
Festival (BAF) yang pelaksanaannya dipusatkan di Kota
Tanjungpinang. Tetamu berupa para pelaku dan penikmat seni
yang datang melimpah ruah memadati Kota Tanjungpinang. Baik
para pelaku dan penikmat seni dari dalam maupun luar kota
Tanjungpinang. Gegap gempita hentakan tari Zapin pada acara
pembukaan festival dan merdunya suara gendang saat ditabuh
seakan kota Tanjungpinang bergoncang. Sebuah kesuksesan
dalam mengangkat seni budaya Melayu Riau telah diraih. Event
besar itupun ditutup secara resmi.
Ada beberapa cacatan penting dari pelaksanaan festival
tersebut. Pertama, dilihat dari aspek latar belakang event
tersebut dilaksanakan, yaitu sebuah kepedulian para seniman
Kepri terhadap kesenian daerahnya. Hal ini sebagaimana yang
terungkap dari pertemuan Hoesnizar Hood (Ketua Umum Dewan
Kesenian Provinsi Kepulauan Riau) dengan mantan bupati Kepri
Abdul Manan Saiman. Abdul Manan Saiman saat itu mengkritik
Hoesnizar Hood dengan mengatakan, “Kau ini sibuk mengurus
orang lain, sementara kesenian daerahmu tidak terurus” (Batam
Post, 28 Nopember 2004).
Ucapan mantan bupati tersebut memiliki kesan yang
mendalam di dalam diri seniman Hoesnizar Hood sehingga ia
terpacu untuk mengadakan event seni budaya Melayu. Alhasil,

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 81


dari pertemuan tersebut adalah lahirnya sebuah gagasan untuk
melaksanakan event seni yang bernama Bintan Zapin Festival
(BZF). BZF I berhasil dilaksanakan pada tanggal 14-15 Oktober
2000. BZF II berhasil dilaksanakan 19-21 Oktober 2001. Pada
BZF II ini diikuti oleh seluruh kabupaten dan kota se-Provinsi
Kepulauan Riau. Bahkan juga daerah lain yang mewakili Zapin,
seperti DKI, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan,
Singapura, dan Malaysia. BZF I dan II hanya diikuti bidang tari
dan musik. Sedangkan untuk BZF berikutnya lebih diperluas
dengan mengikutsertakan bidang sastra, teater, dan seni rupa di
samping tari dan musik. Untuk BAF 2004 ini langsung ditangani
Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, H Ismet Abdullah. Alhasil,
pelaksanaan acara sangat meriah dan sukses.
Walaupun pelaksanaan acara sangat berhasil, tentu satu hal
yang perlu kita perhatikan adalah sebuah festival bukanlah pucak
segala-galanya. Berakhirnya BAF 2004 dilaksanakan di Kota
Tanjungpinang bukanlah berarti berakhir sudah kerja dan
tanggung jawab seniman, sastrawan, musisi, budayawan, dan
pemerintah daerah. Hal yang sangat penting digarisbawahi sebab
festival hanyalah salah satu dari sebuah tanggung jawab yang
harus dilakukan oleh seniman dan pemerintah. Sementara masih
banyak tugas/tanggung jawab lain yang tidak kalah pentingnya
sedang menunggu sentuhan semua pihak (seniman, budayawan,
musisi, sastrawan, dan kelompok masysrakat lainnya). Contoh-
nya saja bagaimana usaha untuk melakukan pembinaan secara
terus menerus pada kantong-kantong seni budaya Melayu Riau
yang ada di daerah ini, yang selama ini mereka sangat berjasa
melahirkan karya-karya seni budaya terbaik. Mereka perlu
diperhatikan dengan seksama.

82 SUHARDI
Mereka janganlah dilihat dan diperhatikan saat akan ada
sebuah event seni berskala besar saja. Namun, yang lebih penting
lagi adalah bagaimana mereka dapat melestarikan dan terus
mengembangkan seni budaya masyarakatnya ke depan dengan
tidak melupakan jaminan kesejahteraan hidupnya.
Hal ini sebagaimana yang pernah disampaikan “Si Burung
Merak” W.S. Rendra beberapa tahun lalu, saat karcis masuk
untuk pertunjukan teaternya dirasakan mahal oleh salah seorang
penikmatnya sehingga ia tidak dapat masuk untuk menyaksikan
pergelaran tersebut. Saat itu muncul pernyataan dari peserta
yang tidak dapat masuk tersebut dan menuduh Rendra telah
mengkomersilkan seni. Pernyataan itu langsung dijawab Rendra
dengan santai bahwa seniman atau sastrawan itu adalah manusia
biasa juga sebagaimana manusia lainnya yang butuh kehidupan
yang layak. Ia butuh makan dan kebutuhan hidup lainnya yang
semuanya memerlukan uang. Seniman dan sastrawan itu juga
memiliki istri dan anak yang perlu dihidupinya. Seniman dan
sastrawan itu tidak pegawai negeri yang setiap bulannya
menerima gaji tetap.
Selama ini di Indonesia umumnya yang terjadi adalah
seniman, sastrawan, dan budayawan dituntut selalu untuk dapat
menghasilkan karya-karya terbaik mereka. Sementara kehidupan
mereka tidak diperhatikan. Seniman dan sastrawan itu tidak
ubahnya pekerja rodi zaman penjajahan dulu yang dituntut untuk
selalu bekerja siang malam memeras otaknya tanpa diberikan
makanan yang cukup. Mungkin faktor ini juga yang menye-
babkan beberapa sastrawan dan budayawan senior Indonesia
lebih memilih hidup di luar negeri daripada di Indonesia, seperti
Malaysia, Australia, Jepang, maupun Jerman. Kehidupan
seniman dan sastrawan di sana lebih diperhatikan oleh

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 83


pemerintahnya. Bahkan karya-karya sastra yang telah mereka
hasilkan akan diberikan bonus oleh pemerintah atau negara.
Sebut saja di antaranya adalah seniman dan budayawan Umar
Junus yang telah lama melakukan aktivitasnya di Malaysia atau
Ajip Rosidi hampir sebahagian uurnya di habiskan di Negara
Jepang. Juga sastrawan Subagio Sastrowardoyo yang
menghabiskan waktunya di Australia; Dami N Toda yang hingga
kini menghabiskan waktunya di Jerman. Sebuah kondisi yang
tidak kondusif terhadap perkembangan dan kemajuan dunia
sastra Indonesia. Sebuah potret juga yang memperlihatkan bahwa
seniman, sastrawan, bahkan budayawan di negeri ini tidak
mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintahnya. Mereka
hanya dipandang sebelah mata saja.
Kedua, ke depan diperlukan usaha pembinaan seni budaya
daerah yang telah ada (seni tari, musik, teater, puisi, pantun,
dongeng, cerpen, hingga seni rupa) secara lebih serius, misalnya
dengan sentuhan-sentuhan terbaru (sesuai perkembangan
zaman). Bahkan yang tidak kalah pentingnya adalah sebuah
keharusan atau sepantasnya Provinsi Kepulauan Riau memiliki
gedung kesenian yang bergengsi. Hal ini sejalan dengan citra yang
telah muncul selama ini bahwa Provinsi Kepulauan Riau
merupakan negeri yang kaya dengan seni dan senimannya.
Sangatlah naïf jika citra yang telah berkembang itu menjadi
luntur hanya dikarenakan ketiadaan kepemilikan sarana berupa
gedung kesenian yang mapan. Ketersediaan gedung kesenian
yang mapan atau bergengsi akan memberikan kontribusi positif
ke depan dalam melahirkan karya-karya sastra bergengsi.
Gedung kesenian yang dibangun ini akan dapat dimanfaatkan
sebagai sarana latihan dan mengasah imajinasi guna melahirkan
karya sastra yang terbaik.

84 SUHARDI
Ketiga, siapapun yang memimpin Kepri hendaknya tidak
memiliki pandangan yang picik bahwa pembangunan seni budaya
tidak penting sehingga tidak perlu dialokasikan dalam APBD.
Manusia tidak cukup dididik melalui sains saja, sebab dapat
menjadikan manusia robot. Yang baik itu adalah memadukan
sains dan pengetahuan budaya sehingga lahir manusia yang
memiliki sikap yang baik (dan berbudaya). Untuk itu pemerintah
Kepri hendaknya dapat terus mengalokasikan dananya untuk
perkembangan seni budaya daerah. Ketersediaan dana tersebut
sehingga tidak mengganggu bahkan akan memperlancar
terlaksananya event-event seni budaya masyarakat (Melayu
Riau), seperti BAF setiap tahunnya.
Bila perlu event-event seni budaya, seperti BAF dimasukkan
dalam salah satu program pengembangan seni budaya Provinsi
Kepulauan Riau. Kegiatan seperti ini tentunya sangat besar
nilainya dalam memperkenalkan seni budaya Melayu Provinsi
Kepulauan Riau kepada masyarakat di luar Provinsi Kepulauan
Riau tentunya.
Seiring dengan pengembangan seni budaya Melayu Provinsi
Kepulauan Riau tersebut, satu hal juga yang sangat diharapkan
perhatian pemerintah Provinsi Kepulauan Riau adalah pem-
berian fasilitas yang cukup kepada para seniman dan sastrawan
untuk menyalurkan karya-karya terbaik mereka. Baik dalam
bentuk seni pertunjukan maupun publikasi dalam bentuk buku
seni budaya lainnya. Contohnya, buku-buku tentang seni Melayu
Provinsi Kepulauan Riau (tari, musik, pantun, dongeng, puisi/
sajak, syair, cerpen, maupun seni pertunjukan lainnya).
Keempat, sudah saatnya seni budaya Melayu Provinsi
Kepulauan Riau dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 85


sekolah yang berada di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi
Kepulauan Riau. Mulai dari jenjang sekolah dasar, menengah
hingga perguruan tinggi. Tujuannnya tidak lain adalah
memperkenalkan sejak dini kekayaan nilai seni budaya nenek
moyangnya sehingga timbul rasa cinta dan rasa memiliki serta
rasa tanggung jawab untuk melestarikan dan mengem-
bangkannya. Hal ini juga sejalan dengan semangat otonomi
daerah yang sedang hangat-hangatnya saat ini. Banyak daerah-
daerah lain yang telah melakukannya, misalnya daerah Sumatera
Barat. Dengan dukungan pihak legislatif dan eksekutif
memasukkan mata pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau)
dalam kurikulum jenjang sekolah dasar (SD), SMP, dan SMA.
Bahkan pihak pemerintah daerah bersama legislatifnya sedang
mengusahakan BAM masuk dalam kurkulum perguruan tinggi
yang ada di Sumatera Barat.
Tidak ada salahnya juga pihak pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau melakukannya juga, seperti adanya mata
peajaran Budaya Melayu (BM) sebagai mata pelajaran muatan
lokal pada sekolah dasar dan menengah. Kesulitan terhadap
sarana pendukung kesuksesan mata pelajaran tersebut tidak
perlu dicemaskan. Contohnya penyediaan buku ajarnya. Semua
itu dapat diatasi dengan cara mengundang tokoh-tokoh adat,
intelektual, seniman, sastrawan, dan budayawan Provinsi
Kepulauan Riau melalui kegiatan yang bernama Research and
Development. Yang penting pihak eksekutif dan legislatif mau
menganggarkan dalam APBD dan para tokoh adat Melayu dan
rakyat Provinsi Kepulauan Riau mendukung niat baik tersebut.
Buku Ajar Budaya Melayu Provinsi Kepulauan Riau yang
berkualitas akan mampu dilahirkan. Termasuk dalam hal ini

86 SUHARDI
adalah pengadaan guru-guru yang akan mengajarkan materi BM
tersebut.
Kelima, kalau memang ada tekad untuk menjadikan Pulau
Penyengat sebagai pusat kebudayaan Melayu ke depan, sejak
sekarang sudah dipikirkan infrastruktur pendukungnya.
Mungkin dalam bentuk pembangunan fasilitas seni
pertunjukannya, seperti sanggar-sanggar seni Melayu dan
pembangunan pasar seni Melayu yang menyediakan souvenir
khas Melayu, seperti batik Gonggong atau aksesori lainnya. Di
samping kesiapan dukungan masyarakat pulau Penyengat
melaksanakan hajatan tersebut, barangkali juga diperlukan
sebuah penataan lokasi yang baik sehingga terlihat pulau
Penyengat betul-betul asri dan mengundang selera turis manca
Negara untuk datang berkunjung ke pulau Penyengat.
Berikut yang juga tidak kalah pentingnya adalah adanya
program pertunjukan seni budaya Melayu Provinsi Kepulauan
Riau yang permanen. Bila hal ini dapat diwujudkan, pulau
Penyengat dapat menyaingi Bali sebagai pulau Dewata.

Harian Umum Sijori Mandiri, 5 Desember 2004

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 87


Kepergian Maestro AA Nav is

A li Akbar Navis —kerap disingkat AA Navis— telah memain-


kan peranan penting dalam perkembangan dunia kesusas-
traan Indonesia. Beberapa karyanya telah memperkaya
khazanah dunia sastra Indonesia. Sapardi Djoko Damono dalam
pengantar novel AA Navis yang berjudul Kemarau menulis
bahwa “karya-karya sastra yang ditulis Navis memberikan warna
baru sastra Indonesia. Hal ini diawali lahirnya sebuah cerpen
karya Navis yang cukup heboh dan menjadi best seller, yaitu
Robohnya Surau Kami pada tahun 1955.”
Sebagai sastrawan pembaharu, Navis memiliki pandangan
tersendiri dalam melihat realitas yang ada di sekelilingnya.Hal
ini dapat ditemukan dalam beberapa karya novel dan cerpennya.
Dalam Kemarau, Navis mengemukakan pandangannya tentang
pentingnya kerja keras di samping berzikir. Tantangan yang ada
hanya dapat diatasi melalui kerja keras, bukan memperbanyak
mengobrol di kedai kopi, pergi ke dukun, dan main domino.
Pandangan Navis ini dapat dilihat melalui watak tokoh yang
bernama Sutan Duano. Duano selalu bekerja keras untuk
mengairi lahan pertaniannya di musim kemarau dengan cara
mengangkat air dari danau. Kerja keras yang dilakukan Duano
ini sering mendapat ejekan dari masyarakat, yaitu Sutan Duano
dianggap telah gila dan melakukan pekerjaan yang sia-sia. Duano
tidak marah mendapat ejekan tersebut, bahkan bertambah
semangat bahwa ia akan membuktikan pekerjaan yang

88 SUHARDI
dilakukannya itulah yang benar. Apa yang dilakukan Duano
ternyata benar, lahan persawahannya menjadi subur. Padinya
tumbuh dengan sempurna.Sementara yang lainnya gagal.

***

Dunia kesusatraan Indonesia saat ini sedang berduka. Salah


seorang sastrawan besar asal Sumatera Barat (Ranah Minang)
telah dipanggil sang Maha Kuasa (wafat). Satu-demi satu
sastrawan besar Indonesia telah menghadap Sang Maha
Pencipta. Mulai dari HB. Jassin, Subagio Sastrowardoyo, Umar
Khayam, dan —kini— AA Navis. Semua itu memang adalah
kehendak Allah yang tidak mungkin ditolak. Namun, yang perlu
dilakukan hanyalah berdoa dan mendoakan semoga segala amal
baik beliau diterima Allah SWT. Dilepaskan dari azab kubur, dan
keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dalam
menerima ujian ini. Amin!
AA Navis lahir pada 17 Nopember 1924 di Padang Panjang.
Navis adalah lulusan pendidikan INS Kayutanam Sumatera Barat
tahun 1945. Jabatan yang pernah dipegangnya adalah Ketua
Yayasan Ruang Pendidikan Kayutanam tahun 1969.Kepala
Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat
tahun 1955-1957. Pemimpin redaksi Harian Semangat di Padang
tahun 1971-1972.Anggota DPRD Sumatera Barat tahun 1971-
1982. Jabatan terakhir yang pernah dipegangnya adalah staf ahli
di Harian Umum Singgalang (hingga 2003). Beberapa karyanya
pun telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti
Inggris, Jerman, Perancis, dan Jepang.Contohnya kumpulan
cerpennya yang berjudul Robohnya Surau Kami telah diter-

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 89


jemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Jepang.
Novelnya yang berjudul Datang dan Perginya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sedangkan novelnya
yang lain, Angin Gunung, telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman. Cerpennya yang berjudul Orang dari Luar dan Pak
Mentri Mau Datang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Perancis. Begitu juga dengan cerpennya yang berjudul Orde
Lama telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.
Berbagai penghargaan pun pernah diraih Navis. Tahun 1955,
Navis memperoleh penghargaan dari majalah ‘Kisah’ atas
cerpennya yang berjudul Robohnya Surau Kami sebagai cerpen
terbaik.Tahun 1968, beroleh penghargaan internasional dari
UNESCO/IKAPI atas novelnya yang berjudul Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi sebagai novel remaja terbaik. Pada tahun 1976, AA
Navis memperoleh penghargaan atas cerpennya yang berjudul
“Jodoh” sebagai cerpen terbaik Kincir Emas dari pemerintah
Belanda pada Sayembara Menulis Cerpen pada Radio Nederland.
Pada tahun 1994, AA Navis kembali menerima penghargaan
Hadiah Sastra SEA Write Award dari pemerintah Thailand.
Semasa hidupnya pun AA Navis aktif dalam berbagai forum
penting, seperti mengikuti seminar kesusastraan di Malaysia
tahun 1973, Konfrensi Pengarang ASEAN tahun 1977, Seminar
Pengkajian Melayu tahun 1982 di Singapura, Pertemuan
Sastrawan Nusantara VII tahun 1990 di Brunai, dan sederet
kegiatan lainnya.

***

90 SUHARDI
Berbagai tokoh pun memberikan pandangannya tentang
sosok AA Navis sebagai sastrawan besar, humanis, dan peka
terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang ada. Di antaranya
adalah Gubernur Sumatera Barat, H. Zainal Bakar dalam kata
sambutannya saat melayat ke rumah duka mengatakan bahwa
AA Navis adalah orang yang telah berjasa membawa nama harum
Sumatera Barat di berbagai pentas nasional dan dunia.
Rusli Marzuki Saria salah seorang sastrawan Sumatera Barat
juga mengatakan bahwa AA Navis adalah sosok sastrawan yang
sangat produktif di zamannya.Walaupun umurnya sudah tiga
perempat abad tetapi beberapa karya sastra terbaik tetap lahir
dari tangannya. Bahkan Hasril Chaniago menambahkan bahwa
Navis adalah sastrawan besar, humanis, dan sangat peka dengan
masalah kemanusiaan. Tak kalah pandangan yang sama juga
disampaikan budayawan Yulizal Yunus dari IAIN Imam Bonjol
Padang yang menyebutkan bahwa Navis tidak hanya sastrawan
berpendirian, juga seorang otodidak kreatif dan produktif
bahkan mengagumkan sebagai sejarawan yang berhasil
menyingkap sejarah Minangkabau yang penuh misteri, ditulis
dengan gaya bahasa yang khas, di antaranya tercermin pada
bukunya yang berjudul Alam Takambang Jadi Guru. Bahkan
dalam berbagai novelnya sarat dengan esensi sejarah lokal.
Bahkan tidak ketinggalan adik kandung Navis yang bernama
Anas Navis mengatakan bahwa AA Navis merupakan tokoh yang
gigih, ulet, dan produktif. Tokoh yang selalu memanfaatkan
waktu dengan kegiatan yang berarti, seperti membaca, menulis,
atau memahat patung.
Kini AA Navis telah meninggalkan kita. Namun, khazanah
hidupnya tetap menyemangati hidup kita.Sebagai seorang tokoh

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 91


hidup mengagumkan dan wafatnya meninggalkan berbagai jasa
dan prestasi terbaik. Selamat jalan Navis! Namamu akan selalu
terukir di sanubari kami anak bangsa ini.
Dari catatan sejarah kepengarangannya, AA Navis telah
membuktikan bahwa sastra tidak bisa dilepaskan dari sejarah.

Harian Umum Padang Ekspres, 30 Maret 2003

92 SUHARDI
Geliat Sastra Koran Kita

K eberadaan sastra koran saat ini perlu diperhitungkan. Sastra


koran telah ikut menyemarakkan berbagai media surat kabar
saat ini. Munculnya sastra koran tersebut telah ikut memberikan
warna tersendiri, terutama dalam sejarah perjalanan sastra
Indonesia hingga hari ini. Kehadirannya perlu dilihat secara lebih
serius. Mengapa media cetak saat ini menyediakan sebuah
ruangan khusus untuk karya sastra.Apa sasarannya yang ingin
dicapai dan apa yang perlu dilakukan ke depan.
Sastra koran merupakan karya sastra yang berada pada
sebuah kolom bacaan di koran. Contoh sastra koran adalah puisi,
cerpen, atau novel (yang dibuat cerita bersambung) dan biasanya
muncul di koran-koran edisi Minggu di seluruh Indonesia. Untuk
bisa meloloskan suatu teks sastra di sebuah media cetak, paling
tidak harus lolos dari pagar selera sang redaktur. Ini berarti,
tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat
yang ditetapkan oleh sang redaktur. Sastra koran memiliki
batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi
dan selera pasar. Selain itu, koran juga mengenal batasan dimensi
ruang dan waktu. Pembacanya hanya kebetulan mereka yang
berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik
sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa sastra koran hanya sebatas penghibur
bagi pembaca dalam ruang yang sempit.
Pada umumnya media cetak yang ada saat ini, baik media
cetak terbitan Jakarta maupun daerah telah serentak
menyediakan ruangan khusus untuk sastra dan budaya.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 93


Contohnya Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara
Pembaharuan, Pelita, Suara Karya, Berita Buana, Singgalang,
Mimbar Minang, Padang Ekspres, dan Haluan Padang. Masing-
masing media tersebut seakan telah sepakat menerbitkan karya
sastra setiap edisinya di hari Minggu.Baik karya sastra berupa
cerpen, puisi, cerbung, maupun dalam bentuk esai sastra.
Karya-karya sastra yang telah diterbitkan tersebut sering
mendapatkan respon dari para pembacanya.Respon tersebut
bahkan dilanjutkan dengan sebuah polemik menarik.Contohnya
saja polemik yang sempat mencuat atas esai yang ditulis
budayawan Budi Darma dalam Republika beberapa waktu lalu
tentang mengapa saat ini tidak lahir karya sastra besar. Tulisan
tersebut ditanggapi sastrawan Danarto bersama rekan-rekan
yang lainnya.Tanggapan tersebut dimuat pula di koran yang sama
selama beberapa minggu dan dimuat di Rubrik Sastra dan
Budaya.Polemik yang juga cukup hangat juga pernah dimuat di
Republika tentang Puisi Gelap dan Puisi Terang. Selain itu, harian
ini juga pernah memuat polemik berkaitan pemberian hadiah
Magsaysay dari pemerintah Filipina kepada sastrawan
Pramoedya Ananta Toer antara Mochtar Lubis bersama kawan-
kawannya—bahkan baru-baru ini juga terjadi polemik berkaitan
pemberian hadiah buku sastra terbaik oleh Dewan Kesenian
Jakarta.
Peran koran dalam mempublikasikan gonjang-ganjing
perjalanan sastra Indonesia di era globalisasi saat ini sudah tidak
diragukan lagi. Peran positif media koran dalam perkembangan
sastra Indonesia ini tidak hanya berlangsung hari ini saja bahkan
sudah lama, yaitu sejak tahun 1070-an.
Ada beberapa alasan mengapa pihak media surat kabar
(khususnya koran) menyediakan ruangan khusus sastra.
Pertama, di saat masa sulit sekarang ini, karya sastra haruslah

94 SUHARDI
maju ke depan, yaitu sebagai solusi terbaik. Hal ini pernah
dikemukakan Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama bahwa
sastra harus maju ke depan di masa-masa keadaan masyarakat
sedang sulit hari ini. Kedua, umumnya pengasuh ruang sastra
dan budaya di beberapa surat kabar adalah sastrawan sehingga
mereka memiliki pandangan bahwa ruangan sastra perlu ada di
dalam surat kabar. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan
redaktur sastra Media Indonesia, Djajat Sudrajat, bahwa sastra
dan budaya sangat penting bagi kehidupan manusia. Selain itu,
rubrik sastra sangat digemari oleh pembaca koran. Menurut
Djajat, dunia sastra adalah dunia yang tidak pernah silau dengan
gemerlapnya profesi-profesi baru yang muncul di dunia yang
telah menyatu berkat kecanggihan komunikasi lain. Dunia sastra
adalah dunia yang tidak pernah kapok dengan kemiskinan
materi. Dunia sastra adalah dunia yang tidak pernah merepotkan
pemerintah, akan tetapi pemerintahlah yang acapkali
merepotkan dunia sastra. Contohnya saja adanya kebijakan
berkaitan dengan pencekalan. Namun, sastra adalah dunia
dengan logikanya sendiri. Diperlukan atau tidak, sastra akan
tetap hadir menemui pembacanya.
Dalam sebuah kesempatan, Afrizal Malna menyatakan bahwa
koran adalah media massa yang isinya dimuat umum dan isinya
enak dibaca. Cerpen adalah satu-satunya genre sastra yang
memiliki keluwesan untuk memenuhi kategori umum itu dan
mengisi hari Minggu setelah hari-hari sibuk. Di saat wilayah publik
telah terbagi-bagi dalam berbagai wilayah kerja dan komunikasi,
sastra hadir untuk memberikan pencerahan dan refresing. H.B.
Jassin dalam bukunya yang berjudul “Koran dan Sastra
Indonesia” menyatakan bahwa koran telah mengambil bagian
dalam perkembangan sastra Indonesia.Di saat penerbitan buku-

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 95


buku sastra sedang lesu, koran telah mengambil alih untuk
melanjutkan kerja penerbit.
Karya sastra yang terbit di koran tersebut bukanlah karya
sastra rendahan alias tidak bermutu, melainkan karya sastra
yang telah melalui seleksi dan beberapa sensor.Buktinya saja,
Kompas menerbitkan kembali karya sastra yang pernah
dimuatnya di ruang sastra dan budaya dalam bentuk buku; hal
yang sama juga dilakukan Republika. Bahkan buku-buku sastra
yang telah dicetak buah karya Putu Wijaya, Danarto, Umar
Kayam, Panusuk Eneste, Seno Gumira Adjidarma adalah karya-
karya yang sebelumnya telah terbit di koran.
Ketika penerbitan buku lesu, beberapa sastrawan senior
memilih surat kabar (koran) sebagai media publikasi karya-karya
terbarunya. Kondisi ini tentunya sangat menguntungkan para
peminat sastra Indonesia yang tidak lagi harus mengeluarkan
uang banyak untuk membeli buku-buku sastra, tetapi cukup
merogoh sedikit koceknya untuk membeli koran pada hari
Minggu saja. Karena harga surat kabar di Indonesia sangat
terjangkau, sehingga sangat membantu para penikmat dan
pencinta sastra untuk memuaskan dirinya dengan bacaan sastra
yang berkualitas.
Para guru sastra hendaknya juga tidak harus ketinggalan
dengan siswanya. Guru sastra harus mampu menjadikan koran
sebagai media pembelajaran sastra di sekolah. Contohnya
meminta siswa untuk mencari karya sastra dalam koran terbitan
Minggu sebagai bahan analisis sastra di sekolah. Bisa juga
meminta siswa untuk membuat kliping beberapa karya sastra
yang telah dibaca siswa. Dengan demikian, analisis apresiasi sastra
sebagaimana yang diharapkan kurikulum akan dapat dicapai,
sehingga kemampuan apresiasi sastra siswa juga meningkat.

96 SUHARDI
Para peneliti sastra juga dapat menjadikan karya sastra yang
telah diterbitkan koran sebagai obyek penelitiannya. Baik
tinjauan dari aspek, sosial, politik, budaya, maupun tinjauan dari
aspek agama. Kegiatan seperti ini tentunya juga akan
memperkaya hasil-hasil penelitian sastra di Indonesia. Hingga
hari ini bentuk penelitian sastra koran memang sangat sedikit
jumlahnya. Sementara kehidupan sastra Indonesia saat ini banyak
ditentukan sastra koran. Bahkan banyak karya sastra terbaru —
khususnya puisi dan cerpen— banyak diterbitkan melalui koran
ketimbang dalam bentuk buku.
Para mahasiswa program studi bahasa dan sastra Indonesia
juga dapat menjadikan karya sastra koran sebagai obyek
penulisan skripsinya. Beberapa bentuk sastra yang ada dan
dipublikasikan media koran dapat dilakukan peninjauan dari
beberapa sudut pandang. Apakah dari segi intrinsiknya maupun
ekstrinsiknya.Apakah dengan menggunakan metode mimesis,
obyektif, pragmatik, maupun ekspresif. Tergantung minat yang
bersangkutan. Jika hal ini dapat diwujudkan maka dunia
pendidikan kita akan kaya dengan berbagai hasil riset sastra.
Kehadiran cipta sastra akan terlihat bernilai positif terhadap
pengetahuan dan pengalaman baca sastra masyarakat umumnya.
Mudah-mudahan, di masa mendatang, koran tetap berperan
melanjutkan perjalanan sastra Indonesia hingga penerbitan buku
sastra bergairah. Koran dapat terus memberi warna dan mampu
hadir sebagai sosok yang mampu meningkatkan kenyamanan
hidup umat manusia khususnya masyarakat Indonesia yang
berbudaya.

Harian Umum Singgalang, 4 Maret 2002)

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 97


Penelitian Sastra Koran

P aus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, dalam esai sastranya


yang berjudul “Peran Surat Kabar dalam Perkembangan
Sastra Indonesia” mengungkapkan kekecewaannya atas
minimnya penelitian terhadap sastra koran. Padahal, sebagian
besar sastra Indonesia saat ini diterbitkan melalui surat kabar
ketimbang diterbitkan dalam bentuk buku. Jassin lebih lanjut
menyatakan bahwa peneliti yang hanya memfokuskan dirinya
pada penelitian sastra buku hasilnya tidak akan memuaskan dan
memberikan informasi yang sesungguhnya tentang kehidupan
sastra Indonesia saat ini.
Pandangan yang dikemukakan Jassin memang ada benarnya.
Apalagi kalau kita melihat jumlah karya sastra yang diterbitkan
melalui buku-buku sastra jauh kalah banyak dengan jumlah
karya yang diterbitkan melalui surat kabar. Baik surat kabar
diterbitkan Jakarta maupun di luar Jakarta. Sebut saja adalah
surat kabar terbitan Kepulauan Riau, seperti Haluan Kepri dan
Batam Post.
Haluan Kepri yang sebelumnya bernama Sijori Mandiri
sangat eksis mempublikasikan beberapa genre sastra dari
berbagai golongan penulis, baik senior maupun yunior (pemula).
Kehidupan sastra di Provinsi Kepulauan Riau sangatlah terasa
geliatnya atas kepedulian kedua media surat kabar ini. Namun,
diakhir-akhir ini sangat disayangkan, Batam Post agak menurun
dan kurang geregetnya, terutama setelah ruang esai sastra
ditiadakan. Padahal inilah satu-satunya ruang yang dapat

98 SUHARDI
dimanfaatkan peneliti sastra untuk mempublikasikan hasil
penelitiannya terhadap berbagai cipta sastra yang lahir saat ini.
Kondisi ini sangat berbeda dengan kebijakan yang terdapat
pada Haluan Kepri. Harian ini masih mempertahankan ruang
esai sastra di setiap edisi minggu. Acungan jempol perlu diberikan
kepada pihak redaksi Haluan Kepri edisi Minggu (sebagai
penanggung jawab ruang sastra dan budaya). Semoga Haluan
Kepri menjadi acuan sumber informasi kehidupan sastra
Indonesia, khususnya sastra Indonesia di Provinsi Kepulauan
Riau.
Sastra, satrawan, dan peneliti sastra adalah tiga komponen
utama yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain.
Ketiganya merupakan satu sistem yang terpadu dengan utuh.
Sejarah telah membuktikan hal tersebut. Novel legendaris
Merahnya Merah karya Iwan Simatupang pada saat kemuncul-
annya kurang diminati pembaca karena banyak kalangan
peminat sastra menilai karya ini sulit dipahami bahasanya.
Namun, berkat peran aktif kritikus H.B. Jassin yang terus
menjembatani antara karya dengan pembaca, akhirnya novel
tersebut disukai banyak kalangan. Novel Merahnya Merah ini
akhirnya diterima masyarakat. Bahkan, kini, novel ini merupakan
bahan penelitian dan studi yang wajib dilakukan mahasiswa
jurusan bahasa dan sastra Indonesia.
Jasa H.B. Jassin lain juga tercatat dalam sejarah sastra
Indonesia adalah mengetengahi perdebatan yang terjadi pada
Chairil Anwar atas karya puisinya yang berjudul Kerawang-
Bekasi dan Aku yang pernah dinilai dan dituduh sebagai karya
plagiat. Namun, H.B. Jassin lagi-lagi membantah pernyataan
tersebut melalui bukti-bukti yang dihasilkan melalui
penelitiannya. Chairil terbebas dari tuduhan tersebut. Hal yang

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 99


sama juga terjadi pada sastrawan HAMKA dengan karya
spektakulernya , Tenggelamnya Kapal van der Wicjk. HAMKA
pernah dituduh sebagai plagiat dari karya salah seorang sastrawan
Arab. Lagi-lagi H.B. Jassin maju melakukan pembelaan dengan
menyatakan hasil penelitiannya terhadap karya HAMKA
tersebut. HAMKA pun akhirnya terbebas dari tuduhan yang tidak
benar tersebut.
Kehidupan penelitian sastra sedikit mundur memang setelah,
Indonesia kehilangan salah seorang kritikus HB Jassin. Gaung
penelitian sastra Indonesia seakan sepi. Tidak banyak informasi
kegiatan penelitian sastra dapat diperoleh. Apalagi penelitian
sastra koran. Sementara publikasi karya sastra, baik cerpen
maupun puisi setiap minggu muncul. Baik yang dipublikasikan
melalui buku-buku sastra maupun media massa (khusunya
koran). Namun, peneliti yang setia melakukan kajian dan
mempublikasikan hasilnya sangatlah langka. Akibatnya,
informasi kehidupan sastra Indonesia pun sangatlah terbatas.
Gairah penelitian sastra, khususnya sastra koran ke depan perlu
ditingkatkan agar informasi tentang kehidupan sastra dari waktu
ke waktu dapat diketahui. Generasi muda Indonesia perlu
disediakan informasi yang cukup agar mereka mengetahui dan
menghargai bahwa sastrawan itu sebetulnya juga adalah
pahlawan.

Harian Umum Haluan Kepri, 5 Desember 2010

100 SUHARDI
Media Massa dan Identitas Penyair

J umlah penyair belakangan ini makin bertambah saja. Hal ini


ditandai dengan makin banyaknya puisi yang dimuat di
berbagai media massa ibu kota (Jakarta) maupun daerah. Bisa
jadi, jumlah penyair yang muncul saat ini lebih banyak dari
jumlah media massa yang ada, maka pihak swasta dan pemerintah
diharapkan berpartisipasi aktif untuk menampung karya mereka
sebagai ruang sosialisasinya.
Remy Novaris DM sewaktu mengadakan refleksi Sastra
Indonesia pada tahun 1994 menyatakan bahwa saat ini tidak
kurang dari 450 orang penyair telah mempublikasikan
(mensosialisasikan) karya-karya mereka di sejumlah surat kabar.
Mereka itu masih eksis sampai sekarang. Berhubung jumlah
media massa yang ada tidak sebanding dengan jumlah penyair
yang tumbuh maka terjadi kompetisi yang ketat dalam perebutan
ruang publikasi karya-karya mereka. Berbagai usaha pun telah
dilakukan, termasuk melakukan politisasi sastra. Politisasi sastra
yang mereka lakukan berhasil mengalihkan pandangan pengamat
secara sesaat kepada mereka.Berhubung mereka tidak memiliki
pendalaman identitas kedaerahannya secara lebih baik, akhirnya
mereka juga tersingkir oleh yang lain.Mereka kalah bersaing dari
segi estetis dan tema yang disajikan.
Peran pemerintah dan swasta sangat dibutuhkan terutama
dalam membina para penyair muda yang masih mencari identitas
dirinya.Peran tersebut, seperti memberikan ruang publikasi
untuk karya-karya mereka sehingga mereka termotivasi untuk

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 101


terus memproduksi karya-karya terbaiknya, terutama karya
yang mampu memperlihatkan perkembangan peradaban
bangsanya. Melalui karya yang berkualitas seperti inilah para
penikmat sastra Indonesia memperoleh pencerahan jiwa.

***

Dari banyak penyair pemula yang ada saat ini, mereka masih
banyak yang belum menampakkan identitasnya masing-
masing.Mereka banyak yang terbius dengan penyair seniornya.
Wajah yang terlihat melalui karya-karya mereka masih banyak
memperlihatkan wajah orang lain. Contohnya memperlihatkan
wajah penyair Afrizal Malna, Sutardji Calzoum Bachri, Yose Rizal
Manua, dan sebagainya. Hal ini mungkin disebabkan adanya
anggapan bagi mereka bahwa hanya dengan meniru gaya penyair
senior itulah karya mereka nanti akan berhasil dimuat di
beberapa media massa. Akibatnya, beberapa karya puisi yang
mereka hasilkan kurang bermakna.Mereka dalam penulisan
puisinya seakan mereka-reka bahasa untuk mendapatkan unsur
estetik. Oleh sebab itulah, karya yang mereka lahirkan laksana
busa sabun yang hanya mampu bertahan beberapa saat saja.
Tingginya keinginan para penyair untuk memperoleh ruang
sosialisasi di media massa, disebabkan adanya pandangan bahwa
dengan dipublikasikannya karya-karya mereka di media massa
maka berdampak pada peningkatan motivasi kreativitas, rasa
percaya diri, dan pembangunan citra yang positif di masa datang.
Dengan dimuatnya karya mereka di media massa maka sebuah
nilai yang cukup tinggi. Tingginya motivasi kreativitas dan
perebutan ruang sosialisasi di kalangan penyair juga berdampak

102 SUHARDI
negatif, yaitu sering terjadi konflik yang tidak sehat, seperti
adanya sikap saling menjelekkan antar sesama penyair.Realitas
ini akhirnya melahirkan sebuah sikap atau pandangan di
kalangan pengurus seni bahwa mengurus para penyair lebih sulit
daripada mengurus sebuah negara.
Walaupun demikian, sudah ada juga di antara para penyair
muda kita yang ada saat ini telah menemukan identitasnya
sendiri. Sebutlah, mislanya, penyair muda Ayu Oka Rusmini
dengan warna lokal yang kental (Bali), Sitok Srengenge dalam
bahasa cintanya yang personal dan komunikatif. Begitu juga
penyair Abidah Al Khalieqy dengan idiom-idiom Islamnya dan
sederet penyair muda lainnya.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan para penyair muda
kita ke depan agar mereka memperoleh peluang eksistensi yang
mudah, yaitu: Pertama, mereka harus menguasai metode-metode
puisi dengan baik, misalnya diksi, pengimajinasian, majas,
tipografi, ritme, dan rima. Hal ini sesuai juga dengan yang
dikemukakan Alton C. Morris, bahwa kegagalan para penyair
sering disebabkan oleh ketidakpedulian mereka terhadap
penguasaan metode-metode puisi yang baik. Alhasil, mereka
sering gagap atau gagal dalam melahirkan karya puisi yang indah
dan baik.Bahkan Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa
puisi yang baik tidak ditentukan oleh “apa” adanya melainkan
oleh “bagaimana” adanya.
Kedua, para penyair muda perlu bekerja keras guna memper-
oleh peluang eksistensialis. Caranya adalah bekerja dengan
sungguh-sungguh dan berusaha menghasilkan karya yang
berkualitas secara tematik.Hanya puisi yang baiklah yang
mampu memberikan makna pada sejarah peradaban manusia.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 103


Sejarah juga yang akan menguji mana karya puisi yang berkualitas
dan tidak.
Ketiga, para penyair muda harus terus meningkatkan kualitas
karyanya dengan cara terus menimba ilmu dan menambah
pengalaman dari beberapa penyair senior yang telah sukses.
Contohnya dengan sering membaca karya mereka atau sering
melakukan dialog dengan beberapa penyair sukses.
Keempat, agar karya para penyair muda tersebut tidak
digolongkan sebagai “karya topeng”, maka karya-karya yang
dilahirkannya harus memiliki warna yang lain, yaitu identitas
dirinya sendiri.
Dan, kelima, para penyair muda harus menjadikan kegiatan
penulisan puisi merupakan kegiatan serius dan rutinitas.
Kegiatan penulisan puisi tidak hanya sekedar pengisi waktu
kemudian berhenti.Perlu penguasaaan teori-teori dan metode
penulisan puisi yang luas. Alhasil, ke depan karya yang dihasilkan
lebih berbobot.
Bila kelima aspek ini dapat diperhatikan maka tidaklah
sesuatu yang mustahil jika beberapa tahun mendatang karya
mereka menjadi karya-karya yang menjanjikan bagi perkem-
bangan sastra Indonesia. Karya-karya yang mendapat perhatian
dan diperhitungkan. Dengan demikian, kecemasan akan media
publikasi tidak akan terjadi lagi sebab karya-karya mereka akan
dicari dan diminta pihak media untuk diterbitkan.

Harian Umum Singgalang , 11 Februari 2002

104 SUHARDI
Surat Kabar dan Ruang Sastra

P erkembangan dunia persuratkabaran yang terjadi di


Indonesia saat ini membawa angin segar terhadap
perkembangan sastra Indonesia. Baik itu dalam bentuk puisi,
prosa, maupun hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan
dunia teater Indonesia. Sebut saja untuk daerah Provinsi
Kepulauan Riau yang salah satunya ditampilkan oleh surat kabar
Sijori Mandiri.
Setiap minggu para penikmat sastra selalu diberi suguhan
berbagai menu sastra. Mulai dari menu ketimpangan sosial, krisis
budaya, krisis ekonomi, krisis politik, hingga tulisan tentang
hukum dan peradilan (yang tentun saja disertai dengan berbagai
ketimpangannya). Akibat dari semua itu lahir di dalam diri
pembaca sebuah kesan bahwa tanpa membaca halaman sastra
terasa kurang lengkap. Kejenuhan bekerja selama satu minggu
yang begitu menyita pikiran akan menjadi segar kembali saat
pembaca menikmati ruang sastra ini.
Perhatian, partisipasi, dan peranan surat kabar Sijori Mandiri
dalam melestarikan, mengembangkan dunia sastra (termasuk
sastra Melayu) cukup tinggi. Hal ini tentunya perlu diberikan
penghargaan oleh pihak pemerintah daerah, terutama kepada
redaktur yang mengasuh ruang ini. Tidak hanya penyediaan
ruang sastra, surat kabar Sijori Mandiri juga aktif meliput
berbagai peristiwa sastra, baik yang dilaksanakan di tingkat lokal,
nasional, bahkan mancanegara Hal ini mungkin juga disebabkan
redaktur sastra yang mengasuh ruang ini adalah sastrawan yang

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 105


namanya sudah cukup dikenal, baik dalam bidang puisi, cerpen
maupun teater, baik secara nasional maupun internasional, yakni
Bung Tarmizi Asultan. Berdasarkan informasi yang penulis
peroleh, Bung Tarmizi A. Sultan dalam waktu dekat ini akan
mewakili Provinsi Kepulauan Riau dalam pertemuan sastrawan
Nusantara di Brunai Darusalam.
Apa yang dilakukan Sijori Mandiri tentunya tidak jauh
berbeda dengan yang dilakukan oleh beberapa koran nasional
(terbitan Jakarta, seperti Kompas, Media Indonesia, dan
Republika). Ketiga media surat kabar tersebut secara rutin setiap
hari minggu juga menyajikan berbagai bentuk karya sastra,
seperti puisi, cerpen, kritik teater, dan esai sastra. Bahkan juga
berlanjut ke penerbitan buku kumpulan puisi dan cerpen,
sebagaimana yang dilakukan Kompas. Buku-buku itu tersebut
telah beredar di berbagai toko buku.
Selain itu, Republika juga pernah membuat sensasi dengan
lahirnya polemik, yakni antara Budi Darma dengan Danarto
berkaitan sebab musabab tidak lahirnya karya besar saat ini.
Polemik itu di-setting pengasuh ruang sastra Republika sendiri,
yaitu Ahmadun Yosi Herfanda. Polemik bermula dari sebuah
esai yang ditulis Budi Darma (seorang akademisi yang juga
seorang sastrawan yang karya-karyanya mendapatkan
penghargaan sastra baik di dalam dan luar negeri) tentang
“Mengapa Saat ini Tidak Lahir Karya Besar?”
Budi Darma dalam tulisannya mengemukakan alasan bahwa
karya sastra besar itu lahir ketika masyarakat mengalami
kehidupan dengan penuh masa-masa sulit. Dengan kondisi yang
ada saat ini karya besar tidak mungkin lahir. Pandangan Budi
Darma ini kemudian ditentang oleh Danarto dan Mochtar Lubis.

106 SUHARDI
Mereka berdua menyatakan bahwa pandangan Budi Darma itu
keliru.
Polemik yang juga cukup hangat pernah ditampilkan
Republika adalah polemik berkaitan dengan “Puisi Gelap dan
Puisi Terang.” Selain itu, polemik berkaitan dengan pemberian
hadiah sastra ’Magsasay’ oleh pemerintah Filipina kepada
seorang sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Mochtar Lubis dan
kawan-kawan memprotes kebijakan pemerintah Filipina tersebut
yang dinilai keliru. Hal ini memuncak dengan tindakan
pengembalian hadiah yang pernah diterimanya tersebut ke
pemerintah Filipina.
Besarnya peranan media surat kabar dalam perjalanan sastra
Indonesia sebetulnya sudah berlangsung cukup lama. H.B. Jassin
melalui bukunya yang berjudul Koran dan Sastra Indonesia
mengatakan bahwa adanya ruang sastra di berbagai media surat
kabar tersebut akan membawa efek positif yaitu semakin
maraknya kehidupan sastra Indonesia di masa datang (1994:vi).
Namun yang tidak kalah pentingnya dari semua itu adalah
tumbuhnya sastrawan-sastrawan muda dari berbagai daerah
dengan warna kedaerahannya.
Munculnya ruang sastra dan budaya di surat kabar menurut
Djajat Sudrajat dikarenakan sastra dan budaya merupakan aspek
yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia. Dunia sastra
adalah dunia yang tidak pernah silau dengan gemerlapnya
profesi-profesi baru yang muncul di dunia dan menyatu berkat
kecanggihan komunikasi lainnya. Dunia sastra adalah dunia yang
tidak pernah kapok dengan kemiskinan materi. Dunia sastra
adalah dunia yang tak pernah merepotkan pemerintah. Namun
pemerintahlah yang sering merepotkan dunia sastra melalui

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 107


pisau cekalnya. Sastra adalah dunia yang amat cuek, diperlukan
atau tidak, sastra akan tetap hadir menemui pembacanya.
Sementara menurut penyair Afrizal Malna, pada suatu
kesempatan, koran adalah media massa yang isinya dibuat umum
dan enak dibaca. Cerpen adalah salah satu genre sastra yang
mampu memenuhi kritia tersebut. Dengan keluwesan yang
dimilikinya, Cerpen mampu mengisi hari-hari libur (santai)
setelah hari-hari lain disibukan dengan berbagai hal. Alasan lain
yang tidak kalah pentingnya adalah rubrik sastra sangat digemari
para pembaca surat kabar saat ini. Terutama mereka yang setiap
harinya sibuk dan jenuh sehingga di hari minggu perlu suatu obat
penenang yang tidak banyak memiliki efek samping, yaitu cipta
sastra.
Sehubungan besarnya peranan media surat kabar dalam peta
perjalanan sastra Indonesia, ada beberapa catatan penting yang
perlu dipahami bersama, yaitu berkaitan dengan (1) sejarah
pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia, khususnya
sastra koran, (2) surat kabar dipandang sebagai media efektif
penyampaian misi sastra sebab mampu menjangkau ke seluruh
lapisan masyarakat, baik yang berekonomi kuat,sedang maupun
rendah, dan (3) menjadi rujukan pembelajaan apresiasi sastra
siswa di sekolah.

Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia


Hampir dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan sastra Indonesia saat ini lebih lebih banyak
ditentukan oleh media massa, khusunya surat kabar. Banyak para
sastrawan senior lebih memilih publikasi karya sastranya di
media surat kabar ketimbang buku dan majalah. Khususnya
karya-karya sastra berbentuk cerpen dan puisi. Sebut saja di
antaranya adalah karya-karya puisi, seperti Taufik Ismail,
Sutardji Calzoum Bachri, WS. Rendra, Afrizal Malna, Hamid

108 SUHARDI
Jabbar, Emha Ainun Najib, A. Mustofa Bisri, dan para penyair
muda lainnya seperti Yusrizal KW, Isbedy Setiawan ZS, F. Rahadi,
Nirwan Dewanto, Raudal Tanjung Banua, dan masih banyak lagi
lainnya. Dalam bidang tulis menulis cerpen, dunia surat kabar
Indonesia juga sering memuat cerpen-cerpen buah karya
Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, A. Mustofa Bisri, Danarto, Seno
Gumira Ajidarma, Mardi Luhung, dan lain-lain.

Media Efektif Misi Sastra


Dipilihnya media surat kabar oleh para sastrawan sebagai
sarana publikasi karya-karyanya dilatarbelakangi adanya sebuah
pandangan bahwa surat kabar adalah media yang paling efektif
untuk menyampaikan misi sastra kepada masyarakat yang berada
di berbagai tempat. Apalagi dengan adanya istilah “Koran Masuk
Desa” yang terjadi saat ini. Selain itu juga dipandang mampu dibeli
hingga masyarakat lapisan bawah. Kondisi ini tentunya jauh
berbeda dengan yang namanya buku sastra dan majalah sastra.

Rujukan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah


Beberapa bentuk karya sastra yang sudah dipublikasikan
melalui media surat kabar sering dijadikan rujukan oleh para
guru di sekolah, khususnya dalam pembelajaran apresiasi sastra.
Baik dalam bentuk puisi maupun cerpen. Baik dalam kajian unsur
instrinsik (seperti tema, amanat, alur, latar, penokohan, sudut
pandang penulis, maupun gaya bahasa yang digunakan penulis)
maupun unsur ekstrinsik( seperti politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan, olah raga, dan lain-lain).

***

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 109


Keberadaan ruang sastra Sijori Mandiri perlu tetap diper-
tahankan. Selain untuk media publikasi sastrawan muda juga
sebagai media pendidikan sastra generasi muda, khususnya
masyarakat Provinsi Kepulauan Riau. Sastrawan muda dapat
meningkatkan kemampuan kreativitas sastranya melalui ruang
ini. Sehingga, di masa mendatang, Kepulauan Riau melahirkan
sastrawan-sastrawan yang tidak hanya mampu berbicara di
tingkat lokal atau nasional. Tapi tidak tertutup kemungkinan di
wilayah ini ke depan mampu melahirkan kritikus-kritikus sastra
yang handal. Mengapa tidak.
Selain itu, pihak pimpinan Sijori Mandiri ke depan juga
diharapkan mampu menyediakan ruang khusus yang mengulas
cerpen dan puisi yang pernah dimuat. Hal ini untuk membantu
membaca menangkap makna puisi dan cerpen yang pernah
dimuat minggu lalu sehingga pembaca dapat memahami misi
kedua genre sastra itu. Jika berkenan, saya sendiri menyiapkan
diri untuk itu. Bentuk ini sudah pernah dilakukan surat kabar di
Sumatera Barat seperti Singgalang dan Padang Ekspres, hal
serupa dilakukan koran Republika. Ruang baru ini tentunya
sangat berguna bagi para sastrawan muda dan peminat sastra
koran khususnya.
Akhirnya kekhawatiran berbagai pihak tentang rendahnya
pengalaman sastra generasi muda kita saat ini akan teratasi.
Kondisi ini sekaligus membantah pernyataan penyair Taufik
Ismail tentang rendahnya minat baca sastra siswa saat ini.
Selanjutnya juga akan menjadi sebuah nilai tambah yang cukup
tinggi terhadap eksistensi surat kabar Sijori Mandiri di tengah-
tengah masyarakat, khsususnya di Provinsi Kepulauan Riau yang
sedang membangun sumber daya manusianya.

Harian Umum Sijori Mandiri, 8 Agustus 2010

110 SUHARDI
Domina si Tema Sosial Cerpen
dalam Koran

S ebagaimana yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya,


Harian Kompas, Republika, Media Indonesia, dan Sijori
Mandiri selama tahun 2004 masih menerbitkan karya-karya
cerpen yang ditulis oleh para cerpenis Indonesia, baik senior
maupun yunior. Cerpen-cerpen tersebut umumnya mengandung
tema-tema yang yang tidak jauh dari realitas kehidupan
masyarakat masa kini. Subagio Sastrowardoyo menyebutnya
sebagai manusia perbatasan, yaitu manusia yang hidup dalam
dua sikap. Satu sisi memperlihatkan sebagai manusia modern,
sementara dari sisi lain terlihat laksana manusia tradisional.
Dengan demikian, benarlah pandangan yang menyatakan bahwa
sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat.
Namun, terlepas dari semua itu, yang jelas peranan surat
kabar sangat tinggi dalam membesarkan nama sastrawan/
sastrawati Indonesia. Semua itu tidak terlepas dari tersedianya
sebuah ruang khusus dalam surat kabar sebagai awal berkarya
sastrawan muda (cerpenis, penyair, dan teaterawan) Indonesia.
Khusus dalam genre cerpen, besarnya peranan surat kabar dalam
melahirkan cerpenis besar Indonesia dapat dilihat melalui Kilas
Balik Perjalanan Cerpen Koran Tahun 2004. Cerpen yang
berjudul, “Belatung” karya Gus tf Sakai (Kompas, 28 Maret
2004) menceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Warni
bersama anaknya yang bernama Suci. Warni harus menjalani
hidupnya sebagai kupu-kupu malam demi memperoleh uang

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 111


untuk menghidupi anak-anaknya. Permasalahan yang diangkat
cerpen “Belatung” karya Gus tf Sakai ini dimulai dengan adanya
dialog antara Warni dengan anaknya yang bernama Suci.
“Belatung itu seperti ulat, ya Bu? “ Tanya Suci kepada ibunya.
“Ya, seperti ulat” jawab Warni. Hal ersebut sebagaimana terlihat
melalui cuplikan dialog berikut:
“Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu?” Warni
menjawab, “Tidak, belatung tak bisa menjadi kupu-kupu”. Suci
kemudian melanjutkan pertanyaannya, “Kenapa tidak bisa,
Bu?”. Warni menjawab, “Entahlah, Ibu tidak tahu.” Suci berkata,
“Kasihan ya, Bu”. “Aku, ingin melihat dia bisa menjadi kupu-
kupu” Warni menjawab, “Tetapi kita tidak bisa”. Suci berkata,
“Tapi aku ingin, Bu”. “Tidak bisa” jawab Warni. “Tapi aku
ingin….”.
Dialog antara Warni dengan anaknya yang bernama Suci
tentang mengapa belatung tidak bisa menjadi kupu-kupu tidak
lain sebuah simbol yang mengandung makna tentang mengapa
seseorang yang telah terlanjur ke lembah kelam tidak bisa
kembali menjadi baik? Tokoh Wani dalam cerpen, “Belatung”
karya Gus tf Sakai ini melukiskan sosok tokoh wanita pasrah
dalam menghadapi realitas. Sedangkan anaknya yang bernama
Suci adalah sosok tokoh yang masih bersih, sesuai dengan
namanya (Suci). Tokoh yang belum mengenal dosa. Pikirannya
masih bersih, sesuai dengan umurnya yang masih kecil. Tokoh
Suci adalah tokoh yang selalu optimis bahwa hidup ini dapat
diubah melalui keinginan yang kuat. Perbedaan watak kedua
tokoh tesebut terlihat jelas melalui dialog yang terjadi antara
mereka. “Belatung itu seperti ulat ya, Bu?”. “Ya, seperti ulat”.
“Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu”. “Tidak, belatung
tak bisa jadi kupu-kupu”. “Kenapa tidak bisa, Ibu?” “Entahlah,

112 SUHARDI
Ibu tidak tahu”. “Kasihan, ya Bu?” “Aku ingin melihat ia jadi
kupu-kupu.” “Tetapi kita tidak bisa”. “Tetapi aku ingin”. “Tak
bisa”. “Aku, ingin…”
Ucapan Warni yang mengatakan bahwa belatung tidak akan
menjadi kupu-kupu mengisyaratkan bahwa manusia tidak
mampu mengubah keadaan yang ada. Sementara pembuktian
Suci di akhir cerita bahwa belatung dapat menjadi kupu-kupu
tidak lain sebuah simbol bahwa manusia mampu mengubah
realitas yang ada, asalkan ia memiliki keinginan untuk meng-
ubahnya. “Betulkan, Bu?” “Lihatlah belatung bisa berubah
menjadi kupu-kupu”.
Cerpen, “Seperti Angin Berlalu” karya Wilson Nadeak
(Kompas, 2 Mei 2004) bercerita tentang adanya pandangan
bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan selama hidup tidak
ada gunanya sebab setelah kita meninggal dunia nanti tidak akan
dikenang orang. Beberapa kebaikan yang telah kita lakukan
kepada orang lain semuanya akan sirna seiring angin berlalu.
Cerpen ini memulai ceritanya dari kematian seorang usahawan
kaya dengan berlimpah ruahnya para pelayat memenuhi ruangan
rumah. Usahawan ini semasa hidupnya sangat berjasa pada
masyarakat. Ia selalu membantu orang-orang yang hidup dalam
kesempitan dengan cara meminjami uang seberapa yang
diperlukan tanpa pamrih. Namun, sewaktu usahanya bangkrut,
banyak orang yang memalingkan diri untuk mau membantunya.
Termasuk keluarganya sendiri. Usahawan tersebut akhirnya
meninggal dunia pada sebuah rumah kontrakan seorang diri.
Cerpen “Kyai Sepuh dan Maling” karya Sandy Tyas (Kompas,
30 Mei 2004) bercerita tentang seorang maling yang berhasil
memasuki rumah kyai termashur. Maling tersebut tidak berhasil
membawa kabur peralatan elektronik curiannya disebabkan sang

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 113


kyai keburu bangun. Sang Kyai tidak menghajar maling tersebut
hingga babak belur melainkan menginsyahkannya agar tidak
maling lagi. Sang maling berjanji kepada sang kyai tidak akan
maling lagi dan akan bekerja keras. Sang Kyai berjanji jika sang
maling mau meninggalkan tugasnya merampok sang kyai akan
memberikan modal usaha. Namun, sebelum sang kyai
memberikan uangnya, maling tersebut telah meninggalkan
rumahnya pergi entah kemana.
Cerpen “Biji Mata untuk Seorang Lelaki” karya Timbul
Nadeak (Kompas, 6 Juni 2004) bercerita tentang dosa-dosa yang
pernah dilakukan oleh seorang tokoh agama kepada beberapa
wanita. Dosa-dosa tersebut, seperti memperkosa wanita
beberapa kali dengan cara memberikan sebelumnya bubuk
haram (narkoba). Begitu juga atas perbuatannya membunuh
istrinya sendiri dengan cara membayar seseorang untuk
mencelakai mobil yang dikendarai Rosi. Rosi meninggal bersama
anak yang dikandungnya. Roh para wanita yang telah dibunuhnya
kini menjelma menjadi biji mata yang selalu mengawasinya
kemana ia pergi. Biji mata tersebut selalu memandangnya dengan
sorotan tajam sehingga sang tokoh menjadi kecut nyalinya. Sang
tokoh telah berusaha mengatasi keadaan akan tetapi tidak
berhasil. Di akhir cerita diceritakan kini sang tokoh telah tidak
normal lagi cara berpikirnya. Ia selalu berjalan dengan arah yang
tidak tentu dan selalu menunjuk-nunjuk ke berbagai bangunan
serta berucap, “Ada biji mata, ada biji mata, ada biji mata”.
Cerpen “Kereta Senja” karya Putu Fajar Arcana (Kompas,
10 Oktober 2004) bercerita tentang halusinasi buruk yang selalu
mengganggu pikiran tokoh aku. Seperti bayangan suara bom yang
meledak sehingga menghancurkan kaca-kaca jendela gedung,
bayangan keretaapi yang tebrakan dan pekikan manusia yang

114 SUHARDI
berada di dalam gerbong, serta bayangan kereta api yang
menabrak mobil pengantin yang memakan korban seluruh
penumpangnya. Semua itu terjadi saat ia menunggu kedatangan
istri dan anak-anaknya di sebuah stasiun kereta api. Tak
beberapa lama kemudian, anaknya Reta menelepon bahwa ia
tidak jadi beangkat sebab nenenya di rawat di rumah sakit.
Cerpen “Bilal” karya K Usman (Republika, 17 Oktober 2004)
bercerita tentang rasa kecemburuan dan sakit hati terhadap
sesama. Walaupun mereka adalah golongan orang yang sangat
mengerti dengan ilmu agama. Cerita dimulai permintaan para
santri agar kakek (panggilan kepada Bilal) mau menceritakan
kisah Bilal bin Rabah al Habsyi. Kemudian berlanjut pada latar
belakang Kakek Bilal yang nama aslinya adalah Bilal bin Abu
Yani. Umurnya telah 60 tahun, pernah berjasa pada akhir
revolusi mengusir penjajahan Belanda. Kemudian ia nyantri,
mengajarkan anak-anak mengaji dan dakwah dari desa ke desa
serta kota hingga beliau sampai ke masjid Al Ikhlas. Kedatangan
Bilal sangat disambut baik pengurus masjid. Bilal di masjid Al
Ikhlas sangat disenangi masyarakat. Suara adzannya sangat indah
dan pintar mengaji. Jabir mengakui keunggulan Bilal. Bilal pun
sebenarnya sangat sayang pada Jabir. Ia rela mengajarkan teknik
adzan yang baik dan membaca al Quran yang baik pada Jabir
tetapi Jabir menolaknya. Ia lebih senang menjauhi Bilal.
Rasa dengki dan iri yang dimiliki Jabir memuncak. Jabir
berniat melakukan sesuatu hal yang dapat mengakibatkan nama
Bilal ternoda dan diusir dari masjid. Rencana tersebut dilakukan
Jabir dengan cara mencuri sebuah jam dinding pemberian Pak
RT yang sedang terpasang di dinding. Kejadian itu dilakukan
Jabir saat Bilal pergi ke puskesmas yang sebelumnya meminjam
kunci masjid ke Bilal. Jabir mencak-mencak dan menuduh Bilal

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 115


pencurinya. Bilal berjanji akan mengganti dengan uangnya
sendiri. Puncak semua itu adalah Bilal memutuskan untuk
melanjutkan pengembaraannya. Masyarakat sangat terharu
melepas kepergian Bilal, termasuk para santrinya. Tak lama
setelah Bilal pergi Jabir menjerit-jerit kesurupan. Ia mengaku
bahwa ia lah pelakunya yang mencuri jam masjid tersebut. Hal
ini dilakukan Jabir untuk menodai nama Bilal.
Cerpen “Pemintal Kegelapan” karya Intan Paramaditha
(Kompas, 31 Oktober 2004) bercerita tentang tokoh aku
bersama ibunya. Tokoh aku sejak kecil sangat suka cerita misteri,
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan menganggap dirinya
seorang detektif. Makanya saat ibunya membacakan dongeng
tentang misteri gadis pemintal kegelapan yang ada di loteng
rumahnya, tokoh aku langsung mengimajinasikan dengan
berbagai bentuk, seperti tentang harta karun yang dijaga laba-
laba besar dan ular raksasa sehingga siapa saja yang akan
mengambil harta karun tersebut akan sia-sia. Begitu juga dengan
berbagai tengkorak manusia yang bergelantungan. Di akhir cerita
dikatakan bahwa gadis pemintal kegelapan tersebut tidak lain
adalah ibunya sendiri.
Cerpen, “Anak Buangan” karya Humam S. Chudori
(Republika, 7 Nopember 2004) bercerita tentang sebuah rumah
tangga yang gagal. Ayah dan ibu sibuk di kantor sementara si
anak diurus pembantu. Eman anak Abu dan Lis terlibat narkoba.
Eman ditangkap polisi saat mengedarkan narkoba dan dijatuhi
hukuman penjara oleh pengadilan. Abu dan Lis terkejut dan tidak
menyangka mendengar kabar tersebut. Bahkan Askar paman
Eman seakan tidak percara memperoleh kabar tersebut. Abu dan
Lis berencana setelah anaknya Eman menyelesaikan
hukumannya dimasukkan saja ke pesantren. Sementara Askar

116 SUHARDI
paman Eman melarangnya sebab lulusan pesantren susah
mendapatkan lapangan kerja. Namun kedua orang tua Eman
tetap ngotot dengan keinginannya tersebut.
Cerpen “Persahabatan Sunyi” karya Harris Effendi Thahar
(Kompas, 21 Nopember 2004) bercerita tentang lelaki tua
gelandangan bersama anjing kecilnya yang saat pergi kemana-
mana selalu menemaninya. Lelaki tua ini selalu berjalan dengan
gerobak kecilnya ke arah yang tidak jelas dan kembali setelah
malam hari. Rumah yang dijadikan tempat tinggalnya adalah di
bawah jembatan tol, tidur dengan beralaskan kardus bekas dan
makan dari hasil mengais makanan di rumah makan. Tidak
seorangpun yang peduli dengannya. Bahkan saat lelaki tua itu
berpapasan dengan orang lain selalu orang lain itu menutup
hidungnya dan menghindar. Cerpen “Persahabatan Sunyi” karya
Harris ini lebih banyak melukiskan suasana ibu kota (Jakarta)
yang banyak dipenuhi kaum gelandangan.
Dari beberapa cerpen yang menghiasi dunia persuratkabaran
Indonesia selama tahun 2004 tersebut terlihat jelas bahwa tema-
tema yang hadir meliputi tema yang berkaitan dengan tema sosial,
yaitu realitas masyarakat masa kini. Contohnya tema-tema yang
berkaitan dengan melacur, merampok, membunuh, iri hati,
narkoba, dan pengemis/gelandangan.

Harian Umum Sijori Mandiri, 2 Januari 200

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 117


Cerpenis dan
Jurnal Cerpen Indonesia

P ertumbuhan cerita pendek (cerpen) Indonesia akhir-akhir


ini sungguh membanggakan.Hal itu membuktikan bahwa
semangat kreativitas para cerpenis kita cukup tinggi.Karya-karya
cerpen Indonesia mengalir bak anak sungai.Baik yang dilahirkan
oleh cerpenis pemula maupun cerpenis yang cukup telah malang-
melintang dalam kesustraan Indonesia.
Tingginya kreativitas yang ditunjukkan cerpenis Indonesia
sampai-sampai karya mereka banyak yang tidak tertampung
(alias tidak dapat diterbitkan) di berbagai media yang sudah ada
saat ini. Akhirnya mereka mencari media publikasi baru untuk
mempublikasikan karya-karya mereka. Mereka menganggap
media publikasi yang sudah ada saat ini masih terbatas kemam-
puannya sehingga mereka perlu mencari media baru. Wujud
keinginan tersebutlah yang akhirnya melahirkan sebuah media
publikasi baru yang bernama “Jurnal Cerpen Indonesia” (JCI).
JCI dibidani sebuah yayasan yang bernama Yayasan Cerita
Pendek Indonesia (YCPI). YCPI berinisiatif memberi wadah
khusus untuk memberi solusi kepada para cerpenis Indonesia
yang karya-karya terbaik mereka selama ini belum dipublikasi
berbagai media massa yang ada saat ini. Menurut Joni Adrianata,
salah seorang inisiator YCPI, latar belakang kelahiran YCPI
merupakan cermin eksistensi cerpen dalam keberagaman dunia
seni. Dia membutuhkan dunia lain selain media massa. Hal itu
dipertegas oleh Hudan Hidayat —juga salah seorang anggota

118 SUHARDI
penggagas YCPI— yang menyatakan bahwa JCI merupakan
wadah bagi para cerpenis Indonesia yang karyanya tidak sempat
dipublikasikan di media massa, majalah, atau jurnal sastra, baik
disebabkan tidak memenuhi sebagian persyaratan tema, maupun
penulisannya. Akibatnya, banyak karya cerpen yang berkualitas
tidak mendapatkan kesempatan untuk dimuat (diterbitkan).
Dalam hal ini, Hudan memberikan beberapa contoh, yaitu cerpen
yang berjudul Tamlika yang berisi kritik pedas terhadap peme-
rintah tidak pernah dimuat media massa dan majalah sastra
lainnya. Begitu juga dengan beberapa karya cerpen Danarto yang
berjudul Menjaring Malaikat, Godlop, dan Adam Makrifat yang
juga tidak pernah diterbitkan. Selain itu, ada juga puisi dari
Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang
berjudul Hujan Menulis Ayam yang tidak pernah diterbitkan.
Padahal karya-karya tersebut termasuk karya terbaik. Hal itulah
yang mendorong dan melatarbelakangi lahirnya jurnal tersebut.
Hudan Hidayat lebih lanjut menjelaskan bahwa JCI akan
berupaya memberi ruang bagi bentuk pengucapan yang baru
kepada peminat cerpen Indonesia. JPI akan menjadi sebuah
bacaan baru. Bahkan, JPI ke depan diharapkan akan menjadi
juru bicara bagi cerpen Indonesia kepada generasi muda cerpenis
Indonesia, bahwa generasi cerpen Indonesia tidak hanya terhenti
pada generasi Danarto dan Seno Gumira Adjidarma saja
melainkan masih berlanjut pada generasi berikutnya.
Tentunya, kelahiran JPI perlu disambut gembira.
Kelahirannya tersebut diharapkan mampu memberikan warna
tersendiri dalam dunia cerpen Indonesia. Oleh karenanya, JPI
hendaknya (1) mampu menyajikan karya-karya cerpen yang
bermutu kepada peminatnya, (2) mampu menjadi media rekreasi
dan pengembangan diri bagi cerpenis Indonesia, dan (3)mampu

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 119


menjadi pusat perhatian para peminat cerpen Indonesia,dan (4)
mampu meningkatkan daya apresiasi sastra, membentuk lebih
berbudaya, serta mampu membentuk pembacanya menjadi
manusia yang lebih bermoral. JPI hendaknya jangan bernasib
sama dengan media sastra lainnya. Baik itu yang berbentuk
antologi maupun majalah sastra. Contoh Majalah Sastra Horison
yang hidupnya antara ada dan tiada. Baik dalam hal kualitas
maupun kuantitas pembacanya.
Hal yang dapat dilakukan oleh para pengurus JCPI agar tetap
eksis adalah meningkatkan kualitas pengelolaannya.Tujuan
pendirian awal harus tetap diperhatikan semua pihak. Dr. Riris
Thoha Sarumpaet, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
mengatakan bahwa agar JPI tetap langgeng maka media ini harus
tetap mempertahakan kualitasnya dan jangan menjadi letupan
sesaat. Agar kelanggengan tersebut tetap terjadi maka caranya
adalah mengelolanya dengan benar, perencanaan yang matang,
dan ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas.
Pandangan tersebut memang ada benarnya juga karena banyak
media sastra yang sama selama ini terbit tidak mampu menjaga
kelanggengannya tersebut akhirnya ditinggalkan oleh
pembacanya. Hanya bertahan beberapa saat saja kemudian
tenggelam. Awalnya berdiri begitu wah, akan tetapi tak lama
kemudian berjalan keteteran. Belum lagi karena kompetisi antar
media yang kini cukup tinggi. Siapa yang kurang berkualitas akan
tersisih dengan sendirinya.
Saat ini sangat susah kita membedakan mana karya cerpen
terbaik. Apakah yang diterbitkan surat kabar (koran) ataukah
yang diterbitkan oleh jurnal sastra. Lihat saja beberapa karya
sastra yang diterbitkan berbagai media surat kabar setiap hari
Minggu, baik terbitan Jakarta maupun daerah. Hal inilah yang

120 SUHARDI
perlu diperhatikan pengelola JPI. Ia jangan lengah. Persaing-
annya cukup berat di luar.
Penyair Beni R. Budiman (Republika, 3 Maret 2002) menulis,
bahwa ada beberapa sebab menurunnya kualitas sebuah majalah.
Di antaranya adalah (1) pertumbuhan pembacanya tidak
sebanding dengan pertumbuhan penduduk kita saat ini. Dengan
kata lain, hanya sebahagian kecil saja pembaca majalah tersebut;
(2) para penulis cerpen senior telah banyak yang mengalihkan
karya cerpen terbaiknya ke media lain yang lebih mapan,
sehingga kebanyakan karya sastra yang dimuat diisi oleh para
penulis baru; (3) cerpenis yang mengisi ruang sastra tersebut
hanya penulis yang itu-itu saja; dan (4) kualitas karya sastra yang
dimuat semakin menurun dan ringan. Kalah dengan media surat
kabar yang ada saat ini dengan berbagai karya sastra terbaiknya.
Berbagai hal yang dikemukakan Beni R. Budiman di atas perlu
dijadikan masukan agar JPI tetap eksis.Pengelola harus berusaha
bagaimana pembaca JPI terus bertambah. Bukankah dengan
pertambahan jumlah pembaca tersebut juga akan memberikan
dampak terhadap keuangan JPI sendiri. Grafik pertumbuhan
pembaca JPI hendaknya terus bergerak naik, jangan naik turun
yang akhirnya tenggelam.Pembaca hendaknya dapat membaca
selera pembacanya.Hal ini ibarat sebuah rumah makan, yang
pengelolanya harus menyediakan berbagai macam jenis
menu.Baik yang berbentuk komedi maupun tragedi.
Pengurus jangan bersikap menunggu bola baru bergerak.
Sesekali ia juga perlu melakukan jeput bola. Maksudnya
pengelola tidak hanya menerima segala cerpen yang datang atau
masuk ke ruang redaksi.Ia juga harus mampu menyeleksi kualitas
beberapa cerpen yang dikiimkan cerpenis. Begitu juga variasi
publikasinya, kalau dapat memvariasikan kuantitas publikasi

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 121


cerpen buah karya cerpenis senior dan yunior agar tidak
membosankan. Satu hal yang juga tidak kalah pentingnya perlu
diperhatikan adalah pemberian honor kepada cerpenis yang
karyanya sudah diterbitkan dengan layak.
Kerja keras, sikap kritis, dan wawasan yang luas sangat
dituntut para pengelola. Untuk mewujudkan JPI tetap eksis tidak
mudah.Banyak tantangan yang harus dilalui di persaingan yang
demikian keras saat ini. Hanya orang-orang yang memiliki
kemauan keras sajalah yang akan mampu bertahan.

Harian Umum Mimbar Minang, 6 April 2002

122 SUHARDI
Kila s Balik Sa stra
Koran Sijori Mandiri 2010

H arian Sijori Mandiri —yang kini berubah nama menjadi


Haluan Kepri— merupakan media yang sangat peduli
untuk memelihara dan menumbuhkan dan mengembangkan
sastra Indonesia, khususnya di Provinsi Kepulauan Riau. Baik
cipta sastra berbentuk cerpen, puisi, esai sastra, maupun pantun.
Selanjutnya diikuti oleh media surat kabar Batam Post. Namun,
akhir-akhir ini Batam Post telah menghilangkan ruang esai sastra.
Entah apa sebabnya yang jelas ruang esai sastra kini tidak ada
lagi. Padahal ruang ini sangat diperlukan oleh kalangan kritikus
sastra Indonesia untuk memberikan kritik terhadap cipta sastra
yang sedang tumbuh dan berkembang sehingga para penikmat
sastra nemiliki informasi beharga berkaitan dengan beberapa
cipta sastra berkualitas dan membantu menjembatani antara
sastrawan, cipta sastra, dan pembacanya.
Berdasarkan hasil pengamatan saya selama tahun 2010, Sijori
Mandiri telah berhasil mempersembahkan kepada kalangan
penikmat sastra Indonesia beberapa cipta sastra berkualitas.
Pihak pengasuh ruang sastra dan budaya ini boleh dikata telah
berhasil menyajikan karya-karya sastra terbaik, baik karya sastra
yang ditulis senior maupun yunior. Baik yang berbentuk cerpen,
puisi, maupun esai sastra.
Pada kesempatan ini saya hanya menyampaikan cerpen-
cerpen dan puisi yang menurut saya sangat bagus. Hal tersebut
akan saya kemukakan berikut ini.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 123


Cerpen
Khusus dalam hal genre sastra cerpen, saya hanya memilih
lima cerpen terbaik yang berhasil disuguhkan pihak pengasuh
ruang Sastra dan Budaya Sijori Mandiri selama tahun 2010.
Cerpen-cerpen tersebut adalah:
• Pertama, cerpen Aroma Bangka Depan Rumah Mantan
Penghulu” karya Tarmizi A. Sultan (Minggu, 5 Agustus 2010).
Cerpen ini menyuguhkan tema tentang sikap pejabat yang
korup. Pejabat yang tidak mau menerima nasehat bawah-
annya. Pejabat yang memiliki sifat sombong. Di mata masya-
rakat, pejabat seperti ini tak lebih seperti bangkai, yang
aromanya sangat mengganggu masyarakat sekitarnya.
• Kedua, cerpen Rumah Tak Berpintu karya Tarmizi A. Sultan
(Minggu, 5 September 2010). Tema yang disuguhkan
pengasuh melalui cerpen ini adalah ajakan bahwa rumah
megah itu tidak akan kelihatan pintunya bagi orang-orang
akar rumput yang tidak memiliki nyali untuk berurusan ke
rumah tersebut. Nyali sangat dibutuhkan untuk dapat masuk
ke dalam rumah megah tersebut. Pengarang menyampaikan
secara implisit kepada para penikmatnya bahwa nyali sangat
dibutuhkan dalam hidup.
• Ketiga, cerpen “Berebut Kursi Penghulu Barebarelanglang”
karya Tarmizi A. Sultan (3 Oktober 2010). Cerpen ini meng-
angkat tentang sikap pejabat yang haus kekuasaan. Pejabat
yang ingin selalu disanjung-sanjung. Pejabat yang hanya
mengunjungi rakyat saat akan ada pemilu sementara di lain
waktu tak demikian. Pejabat yang suka mengumbar janji
seakan masyarakat bodoh dan suka dibodoh-bodohi. Padahal
tidaklah demikian sesungguhnya.

124 SUHARDI
• Keempat, cerpen Gadis Pelantai karya Riki Utomi (Minggu,
28 Nopember 2010). Cerpen ini menyuguhkan tema tentang
sosok guru masa depan. Sosok guru yang sangat disukai dan
disegani para siswanya. Kehadirannya sangat ditunggu siswa
dan sosoknya laksana orang tua para siswa. Hangat di kelas
dan mampu memotivasi semangat belajar siswa. Inilah model
guru yang perlu ditiru semua guru di Indonesia.
• Kelima, cerpen Surau Kami karya Fatih Muftih (Minggu, 5
Desember 2010). Cerpen ini mengangkat tema tentang kepe-
dulian seorang anak muda terhadap surau tua yang sudah
ditinggalkan para jamaahnya. Surau ini terlihat tidak terurus,
jarang digunakan, dan dindingnya sudah terlihat lusuh.
Bahkan terdengar informasi bahwa surau ini akan digeser
karena beberapa meter dari surau ini telah berdiri sebuah
masjid yang gagah. Seorang anak muda yang bernama David
berhasil mengatasi krisis yang dialami pengurus surau dengan
cara mencari dana ke luar. David berhasil merehabilitasi
surau dan menghidupkan surau dengan kegiatan-kegiatan
keagamaan seperti wiridan dan mengajar anak-anak mengaji.
Tema yang disuguhkan pengasuh melalui cerpen ini sangat
bagus di saat para anak muda saat ini mulai kurang perha-
tiannya terhadap hal-hal yang berbau agama. Di saat sebagian
besar anak muda saat ini mengalami krisis akhlak akibat jauh
dari nilai-nilai agama.

Puisi
Khusus dalam hal genre sastra puisi atau sajak, saya hanya
memilih lima puisi atau sajak terbaik yang berhasil disuguhkan
pihak pengasuh ruang Sastra dan Budaya Sijori Mandiri selama
tahun 2010. Puisi atau sajak-sajak tersebut adalah:

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 125


• Pertama, puisi atau sajak karya Delvi Yandra. Ada 6 judul
sajak karya Delvi Yandra yang dimuat Sijori Mandiri,
Minggu, 8 Agustus 2010. Keenam sajak tersebut adalah
“Mata”, “Bunga Tanjung”, “Dendam”, “Sebelum Badai
Datang”, “Pria Bermata Api”, dan puisi yang berjudul “Rumah
Batu”. Delvi dalam sajaknya tersebut menyuguhkan tema
tentang harapan atau cita-cita, kasih sayang, perjuangan
hidup, kekesalan, hawa-nafsu, dan bisu.
• Kedua, puisi karya Riki Utomi (26 September 2010). Riki
menyuguhkan 5 puisnya berjudul “Menggiring Hati”,”Harum
Mempelam”, “Menanti Sebuah Elegi”, “Sepucuk Kisah”, dan
“Masjid Sultan Lingga”. Riki dalam puisinya tersebut menyu-
guhkan tema-tema tentang kepercayaan diri, hasrat/
keinginan/nafsu, semangat perjuangan, tentang masa lalu,
dan mencari jejak tuhan.
• Ketiga, puisi karya M.R. Sihaloho (Minggu, 17 Oktober 2010).
Sihaloho menyuguhkan 5 puisi dengan judul “Ironi di Ufuk
Maghrib”, “Satu Ketika, di Sini”, “Tanpa”, “Syair Anyir”, dan
“Sugesti”. Adapun tema-tema yang disuguhkan Sihaloho
berkaitan dengan ketegaran, wahyu tuhan, puisi dan cinta,
kejahatan, dan bekerja keras.
• Keempat, puisi karya Husny Lashitta Rampales (Minggu, 7
November 2010). Husny menyuguhkan 2 puisi yang cukup
panjang. Judulnya adalah “Berita-Berita Kepada Yunney” dan
puisi yang berjudul “Angin Fitrih”. Adapun tema-tema yang
disuguhkan Husny dalam puisinya ini berkaitan dengan kisah
seorang kepala keluarga yang harus meninggalkan anak istri
dalam mencari nafkah demi membahagiakan keluarga dan
tema yang suasana hari yang fitri, manusia telah kembali
kefitrahnya sebab telah menunaikan ibadah puisi selama
Ramadhan.

126 SUHARDI
• Kelima, puisi karya Kedung Darma Ramansyah. Ada 7 judul
sajak karya Kedung Darma Ramansyah yang dimuat Sijori
(Minggu, 5 Desember 2010). Sajak tersebut adalah “Sajak
Bangun Tidur” “Setelah Bertemu Kamu”, “Kabar Hari Di Saku
Dadamu”, “Seonggok Puisi”, “Sajak Sentimentil bagi Kesepian
yang Berlobang”, “Sajak Pancaroba yang Gagal Dibaca”, dan
“Sajak berjudul di Suatu Malam”. Kedung Darma Ramansyah
dalam sajaknya tersebut menyuguhkan tema tentang kepura-
puraan, ketidakpedulian terhadap umur yang berlalu,
kegagalan, rasa, keputusasaan, dan hawa-nafsu.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah saya lakukan


tersebut, peran media Sijori Mandiri dalam memajukan sastra
Indonesia sangat besar. Terutama dalam menyediakan sarana
bacaan sastra berkualitas untuk masyarakat penikmat sastra
khususnya di daerah Provinsi Kepulauan Riau. Ruang Sastra dan
Budaya yang Sijori Mandiri telah berhasil dimanfaatkan oleh
para sastrawan muda dan senior serta kritikus sastra di daerah
ini. Oleh sebab itulah ruang sastra dan budaya ini perlu tetap
dipertahankan. Sasaran akhir yang diharapkan adalah
tersedianya sarana publikasi cipta sastra dan tersedianya kritik
sastra.

Harian Umum Haluan Kepri, 19 Desember 2010

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 127


128 SUHARDI
BAGIA N II.
LOKA LITAS

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 129


130 SUHARDI
Siti Nurbaya Hidup
di Minangkabau?

S astra adalah lukisan kehidupan masyarakat. Melalui karya


sastra, kita dapat melihat bagaimana kondisi situasi sosial
dan budaya suatu masyarakat. Dan dari karya sastra pula, kita
akan memahami apa yang diresapi dan diprotes pengarang atas
realitas sosial yang ada saat pengarang tersebut menuliskan
karyanya.
Tidak salah para ahli sastra mengatakan bahwa sastra
merupakan gambaran gagasan yang disampaikan pengarangnya
terhadap realitas yang ada. Antara karya sastra dengan pengarang
terdapat hubungan yang sangat erat. Esten (1984) mengatakan
bahwa karya sastra itu lahir dari keinginan sastrawan mengubah
ketimpangan yang ada di sekitarnya (realitas). Sastrawan melihat
ada realitas yang sudah tidak wajar lagi untuk dipertahankan
sebab telah dimakan zaman. Bukankah novel Siti Nurbaya lahir
akibat adanya protes sastrawan terhadap realitas yang ada pada
masa itu, khususnya protes terhadap perilaku tokoh atau
kelompok masyarakat yang masih mempertahankan sikap
apatisnya. Contohnya adanya pandangan bahwa kawin atau
mengawini seseorang yang di luar Minang adalah hina. Alasan
yang kurang dapat diterima akal sehat, yaitu pandangan yang
menyatakan “Kemana anak akan berbako nantinya?”.
Pandangan seperti itulah yang ditentang Marah Rusli, sang
penulis novel Siti Nurbaya. Hal yang sama juga disampaikan oleh
Darman Munir dalam novelnya berjudul “Bako”. Di zaman

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 131


kehidupan modern seperti ini peran Bako tidaklah begitu
dominan. Umumnya Bako hanya dibutuhkan saat akan pesta
perkawinan atau kematian saja. Sehari-harinya lebih banyak
ditentukan oleh eksistensi orang tua.Apalagi kalau pesta
perkawinannya dilaksanaka di luar daerah, boleh dikatakan
peranan bako tidak begitu terlihat.Termasuk kritik yang
disampaikan Marah Rusli dalam karyanya tersebut adalah
penentuan jodoh yang harus ditentukan mamak (paman).
Padahal permasalahan jodoh sudah tidak zamannya lagi seperti
itu, melainkan lebih diserahkan kepada anak itu sendiri untuk
memilih mana yang baik dan mana yang tidak.Toh nantinya
kehidupan rumah tangga mereka lebih banyak ditentukan
mereka sendiri, bukan mamak atau orang tua.
AA Navis melalui cerpennya berjudul, “Robohnya Surau
Kami” juga mengritik terhadap perilaku masyarakat yang tidak
peduli lagi dengan keberadaan surau sebagai aset yang harus
dipelihara untuk pendidikan agama masyarakat sekitarnya.
Sebagai aset selayaknya surau itu dipelihara dengan baik. Bukan
sebaliknya, dindingnya dicopoti untuk dijadikan bahan kayu
bakar. Realitas yang ada di dalam cerpen ini sangat dekat dengan
kondisi yang ada saat cerpen ini ditulis.Globalisasi meng-
akibatkan masyarakat tidak peduli lagi dengan nilai-nilai agama.
Jika dulu sebuah keluarga akan malu jika anak-anaknya tidak
pandai mengaji, akan tetapi kini tidak. Mereka akan malu jika
anak-anaknya tidak pintar berbahasa Inggris atau tidak pandai
matematika. Oleh sebab itu, mereka berlomba memasukkan
anak-anaknya ke tempat-tempat les bahasa Inggris, yang
tentunya dengan ongkos yang mahal. Sementara uang les mengaji
anak-anaknya sering menunggak bahkan ada yang tidak mau
bayar. Terkadang ditambah lagi dengan sikap sinis “Kok

132 SUHARDI
mengajarkan agama pada orang lain minta upah?” Sungguh sifat
yang sangat tidak terpuji.

***

Kritik terhadap sosial budaya yang sedang berkembang


dalam masyarakat Minangkabau juga terlihat dalam novel
HAMKA yang berjudul “Tenggelamnya Kapal van der Wicjk”.
Putusnya hubungan cinta dan kasih sayang antara tokoh yang
bernama Zainuddin dengan Hayati karena Zainuddin bukan orang
Minang melainkan Menado. Orang tua Hayati lebih memilih Azis
sebab dia orang Minang dan keturunan kaya. Alasan ketidak-
setujuan orang tua Hayati juga sama dengan yang penulis
sampaikan di atas yaitu kemana anak akan ber-bako nantinya.
Efek dari sebuah keputusan yang keliru tersebut adalah Hayati
tidak bahagia hidup dengan Azis.Rumah tangga mereka
berantakan.
Kembali ke tokoh Siti Nurbaya sebagaimana terdapat pada
novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli merupakan gambaran
penolakan sang penulis terhadap kenyataan yang ada saat itu,
khususnya protes terhadap lemahnya peranan seorang mamak.
Peranan mamak sebagaimana tertuang dalam adat memiliki
tanggung jawab penuh terhadap kehidupan anak-kemenakannya,
dalam novel tersebut tidak tampak. Yang terlihat hanya peranan
ayah Siti Nurbaya yang terjerumus dalam kubangan hutan di
tangan Datuk Maringgih. Mamak saat itu dimana? Katanya
mamak itu akan melindungi anak kemenakannya sebagaimana
pepatah adat mengatakan: “Kaluak paku kacang balimbiang,
timpuruang lenggang-lenggangkan, dibaok urang ka Saruaso,

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 133


anak dipangku kamanaken dibimbiang, uarang kampuang
dipatenggangkan, tenggang kampuang jaan binaso” (Hakimi,
2000). Maka jelas, dalam novel ini, peran mamak sama sekali
tidak kelihatan. Bahkan yang terjadi, ayah dan ibu Siti Nurbaya,
harus menanggung resiko akibat dia berhutang dengan Datuak
Maringgih, sehingga mengakibatkan penderitaan Siti Nurbaya.
Cerpen AA Navis yang berjudul, “Robohnya Surau Kami”
juga berisi sindiran terhadap peranan mamak di Minangkabau.
Terutama sindiran terhadap tokoh ‘Garin”. Anak laki-laki di
Minangkabau kalau sudah besar akan menjadi mamak bagi anak
kemenakannya. Sebagai seorang mamak yang akan mengayomi
anak-kemenakan, seharusnya tokoh Garin ini tidak hanya selalu
berzikir belaka di masjid atau surau. Karena selain kewajiban
melaksanakan ibadah, ada tugas lain yang juga wajib
dilaksanakan, yaitu menghidupi keluarga dan membantu
kehidupan anak kemenakan. Perilaku yang diperlihatkan Garin
memperlihat sebagai tokoh mamak yang tidak bertanggung
jawab, baik terhadap anak dan istrinya juga kepada anak
kemenakannya.
Hal yang sama juga terjadi pada novel HAMKA yang berjudul
“Tenggelamnya Kapal van der Wicjk”. HAMKA melalui novelnya
ini mencoba menyentil sifat mamak, terutama sifat jahat mamak
dari kekasihnya itu (Hayati) yang tega mengusir tokoh yang
bernama Zainuddin dari Batipuh Padang Panjang karena dianggap
telah menghina dirinya, yaitu berani-beraninya memacari anak
kemenakannya yang bernama Hayati. Sementara Zainuddin
adalah orang pendatang yang tidak jelas asal-usulnya. Sentilan
pengarang disampaikan melalui tokoh yang bernama Zainuddin
ketika Hayati mohon izin mau pulang kampung ke Batipuh

134 SUHARDI
Padang Panjang dari Jakarta setelah beberapa lama tinggal di
rumah Zainuddin di Jakarta. Zainuddin menitipkan salam khusus
untuk mamak Hayati yang dulunya telah tega mengusir dan
memutuskan hubungan cintanya dengan Hayati.

***

Dari beberapa contoh karya sastrawan dari Minangkabau


tersebut memperlihatkan karya sastra yang lahir rata-rata
berangkat dari protes terhadap realitas yang tidak sesuai lagi
dengan kondisi zaman yang ada. Pengarang melalui tokoh dan
karyanya ingin memperbaiki situasi yang ada. Maksudnya,
masyarakat perlu megubah pemikiran yang tidak sesuai lagi
dengan zamannya.
Selain itu, pemilihan nama tokoh dalam sebuah cerita sastra
sangat dekat dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya, yaitu
masyarakat yang diangkat dalam cerita tersebut. Contoh nama
Siti Nurbaya dipilih pengarang ada hubungannya dengan
permasalahan yang akan diangkat dalam karyanya. Karena
Marah Rusli mau mengangkat permasalahan yang ada dalam
masyarakat Minangkabau maka dicarilah nama-nama yang
identik dengan nama-nama orang Minang, seperti: Siti, Datuak,
Ajo, dan sebagainya. Akhirnya hadirlah nama Siti Nurbaya,
Datuak Maringgih, dan Ajo Sidi. Namun yang perlu dicermati di
sini adalah kata kedua dari nama tersebut yang lebih berimplikasi
pada kritikan, seperti kata ‘Maringgih’ yang dalam kenyataan
sehari-hari tidak akan dijumpai. Yang ada hanyalah Datuak Rajo
Ameh, Datuak Malin Batuah, Datuak Rajo Sati, dam sebagainya.
Menurut Umar Junus salah seorang sastrawan dan budayawan

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 135


terkenal Indonesia mengatakan bahwa kata ‘Maringgih’ lebih
dekat dengan bunyi kuda. Jadi, Datuak Maringgih disini
mengisyaratkan sosok seorang Datuak yang memiliki nafsu
seperti kuda.Begitu juga adanya penamaan tokoh Datuak
Malenggang di Langik juga berimplikasi pada perilaku seorang
Datuak yang mabuk dengan kesenangan saja tanpa memikirkan
kehidupan anak kemenakannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemilihan nama
tokoh identik dengan perilaku yang dimiliki atau diperankan
tokoh dan permasalahan yang akan ditulis di dalam sebuah
cerita. Contoh lain adalah prosa liris yang berjudul “Pengakuan
Pariyem” karya Linus Suryadi sangat identik dengan
permasalahan masyarakat etnis Jawa yang akan diangkat dalam
karya tersebut. Tidak hanya pemilihan nama tokoh saja
sebetulnya, pemilihan latar dan nama tempat juga memiliki
maksud tertentu dari penulisnya terutama dalam membangun
cerita yang akan ditulis.

136 SUHARDI
Spirit Rebab
dan Upaya Pelestariannya

M asyarakat Sumatera Barat kaya akan seni budaya. Mulai


dari seni musik, suara, tari, hingga seni teater. Dalam
bidang seni musik, masyarakat Sumatera Barat memiliki alat
musik, seperti: rebab, saluang, sarunai, dan talempong. Semua
alat musik tersebut merupakan aset kebudayaan masyarakat
Minangkabau (Sumatera Barat) yang perlu terus dipelihara dan
dipertahankan agar tidak hilang di telan waktu.
Alat musik tersebut merupkan kekayaan seni dan budaya
yang perlu dikenalkan dan dilestarikan kepada generasi kini,
maka diperlukan: pertama, sebagai pengetahuan apa saja alat
musik yang digunakan para lelulur dulunya dalam bermusik;
kedua, nilai-nilai apa yang terkandung dari permainan alat musik
tersebut; dan, ketiga, spirit apa yang terkandung di dalamnya.
Dengan belajar mengenal dan memahami nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya diharapkan tumbuh rasa cinta dan
tumbuh kepedulian untuk tetap memelihara serta mengem-
bangkannya sebagai aset budaya. Hal ini laksana bunyi pepatah:
“Tak kenal maka tak tahu, tak tahu maka tak cinta, tak cinta
maka tak sayang”.
Salah satu alat musik yang akan dikupas adalah rebab.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa pertanyaan yang
perlu dicarikan jawabannya. Pertama, apa itu rebab? Kedua, apa
spirit yang terkandung di dalamnya?

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 137


Dua pertanyaan ini merupakan pokok persoalan penting yang
bila dilakukan kajian secara serius akan berimplikasi kepada
tumbuhnya rasa bangga terhadap para nenek moyang kita sendiri
yang telah berhasil melahirkan sebuah kreativitas dengan
melahirkan alat musik yang khas. Selain kesadaran bahwa para
lelulur kita ternyata memiliki jiwa seni yang tidak kalah hebatnya
dengan berbagai suku bangsa maju di dunia ini.
Pengenalan dan pelestarian itu perlu dilakukan untuk
menolak statement yang menyalahkan para generasi muda saat
ini yang lebih mencintai seni dari luar (asing). Pendapat seperti
ini sebetulnya kurang tepat. Ada kemungkinan mereka tidak
mencintainya karena selama ini mereka kurang diberikan
pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang nilai-nilai seni
yang terkandung pada seni bangsanya sendiri. Peranan kritikus
seni selama ini masih kurang, terutama kritikus seni rebab.
Sementara tidak demikian yang terjadi pada seni luar (asing).
Peranan kritikus seni asing selama ini dalam memberikan
pengetahuan dan pemahaman tentang kekayaan nilai seni yang
dimilikinya sangat gencar. Baik melalui media surat kabar,
majalah, video, maupun melalui media internet. Akibatnya
banyak di kalangan generasi muda kita tertarik untuk mendalami
berbagai seni musik asing tersebut.
Pepatah Minang ada mengatakan yang bunyinya kira-kira
sebagai berikut “Jaan katokan anak nan indak panggalak,
barangkali urang nan manjujainyo nan tak pandai”. Maksunya,
jangan terlalu cepat dituduh bahwa anak muda Minang kini tidak
mencintai seni budaya nenek moyangnya sendiri, jangan-jangan
orang yang tua-tua dulu tidak mau memperkenalkannya selama
ini. Para generasi muda kita miskin pengetahuan dan penga-
lamannya tentang budaya bangsanya sendiri sehingga mereka

138 SUHARDI
tidak mencintai seni budaya nenek moyangnya. Coba diberikan
pengetahuan dan pemahaman yang cukup pada mereka. Tidak
tertutup kemungkinan akan tumbuh rasa cinta mereka terhadap
kekayaan seni budaya bangsanya.
Permasalahan yang sama juga pernah dinyatakan Wisran
Hadi, sastrawan dan budayawan nasional asal Sumatera Barat,
melalui karya parodinya berjudul “Malin Kundang”. Dalam
karyanya ini, Wisran Hadi mencoba mengajak para pembacanya
untuk berpikir kembali, yaitu: “Layakkah Malin Kundang dicap
sebagai anak durhaka?” Bukankah buruk baiknya seorang anak
sangat tergantung dari didikan yang diberikan kedua orang
tuanya? Orang tua mana yang begitu tega menyumpahi anaknya
sendiri menjadi batu? Harimau saja tidak pernah memakan
anaknya sendiri. Pandangan Wisran Hadi tersebut merupakan
cerminan pandangan yang dikemukakan tokoh psikologi
Sigmund Freud tentang teori ‘tabularasa’-nya. Menurut Freud,
anak itu ibarat kertas putih, kosong, dan masih suci. Orang
tuanyalah yang mewarnainya. Bagi Wisran Hadi, yang membuat
Malin Kundang itu durhaka adalah orang tuanya sendiri. Oleh
sebab itu, Malin Kundang tidak salah, yang salah adalah kedua
orang tuanya sendiri.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan sebelumnya
bahwa kajian ini akan mencoba mencari jawaban, yaitu (1) apa
itu rebab dan (2) apa spirit yang terkandung dalam seni rebab itu
sendiri. Baik dilihat dari aspek etos kerja maupun ekonomi.
Untuk menjawab apa itu rebab, Umar Junus —salah seorang
sastrawan dan budayawan asal Sumatera Barat yang kini
menghabiskan sebagian besar umurnya di negara jiran
Malaysia— dalam bukunya Kaba dan Sistem Sosial Minang-
kabau: Suatu Problematika Sosiologi Sastra mengatakan bahwa

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 139


yang dimaksud dengan ‘rebab’ adalah alat musik yang dimainkan
dengan cara digesek. Orang yang memainkannya disebut “tukang
rebab”. Pertunjukan permainan rebab dalam masyarakat
Minangkabau disebut “Barabab”.
Sama halnya dengan seni lainnya, yaitu randai yang
dimainkan dengan diiringi tarian dan muasik talempong serta
cerita maka rebab dimainkan juga dengan cara bercerita. Cerita
yang disampaikan diiringi bunyi gesekan gesekan rebab disebut
“Bakaba”. Kaba dalam masyarakat Minang memiliki arti cerita
atau penyampaian cerita kepada audience. Barabab biasanya
dilakukan masyarakat Minangkabau pada acara-acara tertentu,
misalnya pada helat perkwinan, helat nagari, atau helat lainnya.
Barabab biasanya dilakukan malam hari hingga masuk waktu
subuh. Cerita yang disampaikan dalam Rabab ada yang berkaitan
dengan cerita sejarah Minangkabau atau konflik kehidupan
masyarakat masa kini. Sama halnya dengan jenis karya sastra
lainnya, bakaba juga memiliki amanat kepada penikmatnya yaitu
menjadi pelajaran agar masalah yang sama tidak terulang lagi.
Jenis rebab yang paling terkenal di kalangan masyarakat
Sumatera Barat adalah “Rabab Pasisie”. Nama ini sejalan dengan
asal mula seni ini bermula, yaitu dari daerah Kabupaten Pesisir
Selatan. Walaupun jenis Rebab Pasisie ini memiliki kesamaan
juga dengan jenis rebab yang dimiliki masyarakat Pariaman, akan
tetapi dilihat dari jumlah snar dan model bodi atau bentuk
rebabnya keduanya jauh berbeda.
Bila dilakukan pengamatan pengamatan secara cermat,
kesenian rebab yang dimainkan masyarakat Pesisir Selatan
memiliki spirit postitif terhadap etos kerja dan ekonomi
masyarakat. Rebab di samping berfungsi sebagai unsur hiburan
juga memiliki unsur pendidikan. Masyaraat di samping terhibur

140 SUHARDI
mendengarkan rebab juga memperoleh pendidikan langsung,
terutama melalui amanat yang disampaikan dalam kaba (cerita).
Selain itu, rebab juga dapat memiliki spirit terhadap etos kerja
masyarakat Minang. Ibu-ibu dan bapak-bapak saat mem-
bersihkan ladang atau sawahnya biasanya memutar kaset rebab.
Spirit rebab tersebut mampu membangkitkan semangat dan
tenaga mereka dalam bekerja. Mereka tanpa merasa bosan dan
cukup terhibur sehingga mereka tahan bekerja hingga sore
harinya.
Sambil mendengarkan cerita yang disampaikan si tukang
rebab tersebut, para pekerja terkadang mengiringinya dengan
sorak sorainya dan tertawa gembira karena mereka merasakan
sesuatu yang menggelitik diri mereka dari si tukang cerita (tukang
kaba). Bahkan dalam acara-acara gotong royong pengerjaaan
jalan atau lainnya yang sifatnya kerja sama membersihkan
kampung, tak jarang masyarakat juga memutar kaset rebab.
Rebab sudah menjadi bahagian kehidupan masyarakat Minang,
terutama masyarakat pesisir selatan Sumatera Barat.
Jika kondisi tersebut dapat dipertahankan, dampak dari spirit
rebab tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi
masyarakat. Hasil pangan akan melimpah ruah sebab dikerjakan
secara baik dan bersama-sama. Kehidupan ekonomi rakyat akan
semakin baik. Bahkan dengan spirit rebab, menyebabkan rasa
persatuan dan kesatuan di kalangan masyarakat semakin tinggi
sebab segala sesuatu dikerjakan secara bersama-sama (gotong
royong).

Harian Umum Singgalang Padang,26 Mei 2003

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 141


Nilai Moral, Religi, dan Estetika
dalam Legenda Pulau Pilang

K epulauan Riau kaya dengan berbagai bentuk sastra lisan.


Kekayaan tersebut kini tersebar di berbagai kabupaten dan
kota yang ada di Provinsi Kepulauan Riau. Sebut saja diantaranya
adalah Kabupaten Lingga. Sebagai sebuah kabupaten yang
umurnya masih muda (yang dulunya termasuk wilayah
Kabupaten Kepulauan Riau atau Bintan saat ini), Kabupaten
Lingga memiliki bentuk-bentuk sastra lisan, seperti Legenda
Pulau Pilang, Gunung Daik Bercabang Tiga (di daerah Daik),
Meriam Tegak (di daerah Dabo), Batu Berdaun, Legenda Pulau
Bakung, dan seterusnya.
Beberapa bentuk legenda tersebut belum banyak dikenal
khalayak ramai. Hal ini mungkin disebabkan beberapa dari
legenda tersebut masih banyak berbentuk lisan (belum
dibukukan) sehingga penyebarannya sangat terbatas. Perlu ke
depan adanya tindakan pentranskripsian, yaitu pengubahannya
dari bentuk lisan ke bentuk tulisan. Tujuannya adalah agar
beberapa bentuk kekeyaan sastra lisan yang ada di kabupaten
Lingga tersebut dapat dinikmati oleh para peminat sastra lisan
(di luar Kabupaten Lingga). Selain itu juga, untuk membantu
pemerintah daerah kabupaten Lingga dalam mengamankan
bentuk kekayaan sastra lisannya dari kepunahan di masa datang.
Sebagai sebuah aset budaya yang perlu diselamatkan dari
kepunahannya, Pemerintah Daerah Kabupaten Lingga melalui
Dinas Pariwisata dan Budayanya perlu menjalin kerja sama

142 SUHARDI
dengan perguruan tinggi yang ada di daerah ini untuk bersama-
sama melakukan kajian, penelitian, pendokumentasian, hingga
publikasi melalui penerbitan dalam bentuk buku-buku. Jika
kegiatan ini dapat diwujudkan maka manfaatnya juga dapat
dinikmati oleh sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Lingga
ini. Terutama para guru pengampu mata pelajaran budaya
Melayu yang tidak perlu susah lagi untuk mendapatkan materi
ajarnya. Buku ini dapat dijadikan sebagai sumbernya. Mengingat
salah satu kelemahan penyebaran sastra lisan itu karena hanya
dikuasai seseorang atau kelompok orang saja maka ke depan
tentunya tidak lagi. Siapapun dapat menikmati legenda ini karena
sudah dapat dibaca dalam bentuk buku.
Sastra (lisan) selain memiliki fungsi hiburan, juga memiliki
unsur pendidikan (moral, estetika, budaya). Penikmat sastra lisan
akan memiliki kekayaan (moral, esteti, dan budaya) setiap
mengkonsumsi jenis sastra ini. Hal inilah yang dimaksud Nurgani
(1990) bahwa membaca cipta sastra akan membuat penikmatnya
menjadi bangsa yang beradab. Bangsa yang sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai (moral, etika, estetika, dan budaya).
Pulau Pilang merupakan pulau kecil yang letaknya di
Kabupaten Lingga (lebih kurang 40 menit jika ditempuh dengan
mengendarai motor dari kota Dabo). Asal mula nama pulau ini
bernama Pilang dapat diuraikan berdasarkan cerita yang masih
hidup di masyarakat berikut ini.

***

Di sebuah gubuk tua di tepi pantai Dabo, hiduplah sebuah


keluarga yang hanya terdiri seorang ibu dan anak laki-kali semata
wayangnya. Memang semenjak suaminya wafat, sang ibu me-

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 143


mutuskan tidak menikah lagi. Baginya, bersuami itu cukup satu
kali. Semenjak suaminya itu wafat, si ibu bersama anak laki-
lakinya menjalani hidup sehari-hari dengan cara mencari kayu
api kemudian menjualnya ke penduduk-penduduk di sekitarnya.
Hasil penjualan kayu api inilah ia gunakan untuk membeli
kebutuhan sehari-hari, seperti beras, cabe, bawang, garam, dan
kebutuhan lainnya.
Hari berlalu, bulanpun datang, dan tahun pun berganti.
Dewasalah sang anak laki-laki ini. Kepahitan hidup yang sudah
sekian lama ia rasakan mengakibatkan timbul pikiran dalam
dirinya untuk merantau. Tujuan meninggalkan kampung
halaman tanah kelahirannya menuju rantau seberang adalah
untuk memperbaiki hidup dan dapat menolong ekonomi orang
tuanya.
Setelah Pilang makan malam bersama ibunya, dan duduk-
duduk di beranda depan rumah sambil makan singkong rebus ia
berkata, “Ibu izinkan besok pagi Pilang pergi merantau ke negeri
seberang! Tak mungkin kita hidup selamanya seperti ini. Mudah-
mudahan di rantau Pilang mendapatkan rezki yang cukup. Pilang
akan kirimkan uang untuk ibu”.
Mendengar perkataan sang anak, ibu terkejut.
“Pilang! Mengapa terbesit dipikiranmu untuk meninggalkan
ibu? Siapa yang telah mempengaruhimu, Nak? Ibu ini sudah
semakin tua, dengan siapa ibu nantinya akan berunding lagi? Jika
selama ini kamu sebagai teman ibu untuk membagi suka dan duka
kalau kamu pergi bagaimana ibu Nak? Bagaimana kalau
seandainya ibu sakit di tengah malam sementara tetangga kita
nun jauh tinggalnya di sana, siapa yang akan menolong ibu? Kalau
ada kamu tentu kamu tidak akan tega membiarkan saja, pastilah
cepat tertolong.

144 SUHARDI
Sambil meneteskan air mata, Pilang menjawab, “Ibu
kepergian Pilang bertujuan untuk mengubah keadaan kita selama
ini, mudah-mudahan dengan doa ibu, Pilang berhasil di negeri
orang. Kalau Pilang berhasil di sana, Pilang berjanji akan
menjemput ibu dan membawa ibu hidup bersama”.
Si ibu kemudian menjawab, “Dengan siapa nantinya kamu di
sana Nak?” Kamu nanti tinggal di mana, Nak? Ibu pun tak punya
uang untuk bekal kamu nantinya di sana. Kita tak punya siapa-
siapa di sana, Nak. Pikirkanlah dulu matang-matang, Nak! Dari
pada kamu sengsara nantinya di sana, lebih baik kita di sini saja
hidup bersama Ibu.”
Pilang tampaknya sudah bulat niatnya untuk merantau.
Pilang tidak terpengaruh saran ibunya itu. Akhirnya melihat
keras-nya hati sang anak untuk tetap pergi merantau, walaupun
dengan rasa berat hati, si ibu akhirnya mengalah juga, dan
mengijinkan anaknya merantau.
Pagi-pagi sekali sang ibu sudah bangun. Ia mempersiapkan
beberapa nasi yang dibungkus dengan daun lengkap dengan
sambalnya sebagai bekal di perjalanan buat Pilang. Sebelum Sang
mentari keluar dari ufuknya begitu jauh, Pilang bersama ibunya
pergi menuju pantai tempat kapal yang akan membawa anaknya
Pilang. Air mata ibunya laksana hujan lebat keluar dari kelopak
matanya, sedih karena ditinggal sang anak satu-satunya.
Terbayang dalam pikirannya, ke depan hanya dialah lagi tinggal
di gubuk tua itu. Hari-hari ke depan kesendirianlah yang akan
dijalaninya. Lain rasanya sewaktu ia ditinggal suaminya dulu,
lain pula saat anak satu-satunya harapan hari tuanya, yang akan
merawat dan membantunya menapak kehidupan ini, kini harus
meninggalkannya sendiri. Kesunyian itu begitu suram dan
menyakitkan rasanya, tetapi apa boleh buat. Sebagai seorang

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 145


manusia ia hanya bisa berencana, Allahlah yang menentukan.
Tak lama berjalan, akhirnya sampailah Pilang bersama
ibunya di tepi pantai tempat kapal yang akan ditumpanginya
berlabuh.
Pilang menggenggam tangan ibunya lalu berkata, “Ibu doakan
Pilang selamat sampai di tujuan! Hati-hati ibu menjaga kesehatan,
jangan lupa makan. Doakan pilang cepat mendapat pekerjaan,
Pilang akan pulang menjenguk Ibu kalau sudah berhasil.”
Sang ibu tidak menjawab, hanya air mata yang kembali
menetes membasuh pipinya yang sudah mulai berkerut tersebut.
Melihat kesedihan ibunya itu, Pilang pun meneteskan air
matanya. Tak lama kemudian, berlayarlah kapal yang ditumpangi
Pilang ke tengah. Sang ibu masih belum mau meninggalkan pantai
itu untuk kembali ke rumahnya. Ia terus memandangi kapalnya
anaknya hilang hilang jauh di ufuk sana. Setelah ia tidak melihat
lagi kapal itu, barulah ia mencoba melangkahkah kakinya menuju
rumahnya. “Terasa berat kaki ini aku langkahkan. Mengapa aku
tidak ikut saja? Mengapa aku harus bertahan sendiri di sini? Lebih
baik aku ikut saja, ada atau tidak ada sama-sama ditahan saja”.
Pikiran tersebut selalu bergelut di dalam pikiran sang ibu.
Setelah sekian lama Pilang berlayar, hari demi hari telah
berlalu, sudah satu pekan Pilang berlayar. Dari kejauhan
tampaklah sebuah pulau kecil yang dihempas-hempas ombak.
Semakin dekat, pulau itu semakin besar dan merapatlah kapal
Pilang di pelabuhan. Selama di pelayaran kapal, Pilang bertemu
dengan seorang saudagar kaya. Karena budi bahasa Pilang yang
begitu lembut, sang saudagar ini kasihan. Sang saudagar telah
berniat bahwa anak ini bagus untuk dijadikan anak buahnya
membantu pekerjaannya mengurus barang-barang yang akan
dikirimnya ke berbagai daerah.

146 SUHARDI
“Hai anak muda, apakah kamu baru sekali ini berlayar?”
Tanya sang saudagar kepada Pilang.
“Ya tuan, selama ini pekerjaan saya hanya membantu ibu
mencari kayu api untuk mendapatkan uang.”
“Oh, jadi sekarang kamu mau kemana?” tanya sang saudagar
kembali.
“Entahlah tuan, belum tahu entah kemana, aku mengikut saja
kemana kapal ini mau berlayar” jawab Pilang.
“Tidak ada saudara yang akan kamu tuju?” tanya saudara
itu.
“Tidak, tuan!”
“Kalau begitu, kamu ikut saya saja. Nanti di rumah saya saja
kamu tinggal”.
“Terima kasih Tuan, atas kebaikannya tapi apakah mungkin
orang seperti saya ini pantas tinggal di rumah Tuan?”
“Sudahlah, kamu saya angkat sebagai anak buah saya dan
akan saya berikan gaji. Kebetulan saya sedang mencari anak buah
untuk membantu pekerjaan saya.”
Sebagai seorang anak yang sudah biasa di ajar sang ibu kerja
keras, kerja dari pagi hingga malam tidaklah menjadi suatu beban
bagi Pilang. Hal ini pula jualah yang membuat sang majikan
semakin sayang dengannya. Walaupun demikian, Pilang tidak
lupa diri. Tugas dan tanggung jawabnya dilaksakanakn dengan
baik. Pilang yang awalnya diangkat sebagai pegawai biasa, yaitu
tukang hitung dan rapikan barang di gudang kini dipercayakan
lagi sebagai kasir. Segala upah buruh, ialah yang mengaturnya.
Gaji yang diperolehnya pun semakin tinggi sebab sudah menjadi
orang kepercayaan tuannya. Kini kantongnya semakin tebal.
Pilang telah bermandikan uang. Sebaliknya, Pilang semakin lupa

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 147


diri juga kepada orang tuanya yang sangat mengharapkan
bantuannya di kampung. Janji-janji yang diucapkan dengan
ibunya dulu sudah dilupakannya. Bahkan di dalam dirinya sudah
tertanam sifat yang malu memiliki ibu miskin dan reot seperti
ibunya itu. Oleh sebab itulah, setiap teman-temannya bertanya
apakah ia masih memiliki ibu-bapak atau tidak ia selalu menjawab
ibunya telah tiada.
Seiring usia sang majikan semakin lanjut, Pilang dipinang sang
majikan menjadi menantunya sekaligus sebagai pewaris tunggal
harta kekayaan sang majikan.
“Pilang, Bapak berencana akan meminangmu, bagaimana?
Sudikah kamu saya jodohkan dengan putri tunggal saya yang
bernama Intan Sari?” tanya sang majikan. “ Rasanya sangat cocok
jika kamu berpasangan dengannya. Kami sangat percaya bahwa
kamulah pendamping anak saya Intan Sari sangat pantas”.
“Jangan tuan, hamba sangat tidak cocok. Hamba ini adalah
orang yang tidak jelas asal usulnya. Tak pantas jika saya
bersanding dengan anak tuan, Intan Sari,” jawab Pilang.
“Sudahlah terima saja, bagi kami yang penting kau bersedia
menerimanya” jawab sang majikan.
Intan Sari sebagai seorang putri tunggal sang majikan,
kecantikannya tidak alang kepalang. Ia menjadi kembang desa
di negeri itu. Intan tidak hanya bermodalkan cantik juga
berlimpah harta. Banyak para pemuda yang jatuh hati
kepadanya. Banyak pula pemuda yang ditolak cintanya. Para
pemuda di kampung itu banyak yang segan kepada orang tua
Intan. Selain sebagai saudagar sukses di kampung itu, ayah Intan
suka menyantuni anak yatim bahkan juga orang miskin di
sekitarnya.

148 SUHARDI
“Pilang, besok kami mau datang ke rumah orang tuamu untuk
meminangmu.” Tolong kami diantarkan ke sana. “Tuan, mohon
maaf, hamba sudah tidak ada lagi memiliki kedua orang tua.
Kedua orang tua hamba sudah lama tiada,” jawab Pilang.
Pilang sengaja berbohong sebab selain ia malu karena orang
tuanya di kampung hanya memiliki gubuk reot, ia malu memiliki
orang tua miskin. Menurutnya mengantarkan sang majikan untuk
menjumpai orang tuanya sama saja membukakan aib keluarga.
Lebih baik tidak usah. Baginya urusan bekeluarga cukup dengan
dirinya saja tidak usah melibatkan orang tua. Toh juga tidak akan
mengurangi maknanya. Sikap yang diperlihatkan Pilang ini
memang sungguh telah berubah seratus persen. Terutama
semenjak keadaan ekonominya semakin baik.
“Pilang apakah kamu juga tidak memiliki saudara?” tanya
sang majikan.
“Tidak tuan, semuanya sudah meninggal,” jawab Pilang
meyakinkan sang majikan.
“Baiklah kalau begitu, besok kita laksanakan akad nikah.”
Kita akan sebarkan undangan dan kita buat acara perkawinanmu
semeriah-meriahnya”.
Pilang hanya mengangguk bahagia. Terbayang dipikirannya
hidup sebagai seorang menantu konglomerat. Tidur di rumah
dengan kasur besar dan ruangan mewah. Terbayang dialah yang
akan mewarisi semua kekayaan sang majikan! Memang benar,
acara perkawinan Pilang dengan Intan Sari berlangsung selama
satu minggu. Tamu melimpah ruah memenuhi rumah dan halaman
rumah.
Tibalah saatnya Pilang melaksanakan tugasnya kembali.
Sambil berbulan madu bersama sang istri cantiknya, Pilang terus

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 149


melaksanakan usaha dagang mertuanya. Setalah berkeliling dari
satu pelabuhan ke pelabuhan berikutnya, kapal Pilang singgah
di sebuah pelabuhan yang tempat itu tidak asing lagi baginya.
Tanah kelahirannya, tanah tumpah darahnya sendiri. Orang
kampung berdatangan ke pelabuhan menyaksikan kapal mewah
yang begitu besar dan indah. Tersiar di kampung itu bahwa
seorang putra negeri itu kini telah kaya raya. Ia bersama istrinya
yang sangat cantik. Namanya dulu adalah Pilang tetapi kini
dipanggil Tuan Pilang.
Kabar itu sampai juga ke telinga Ibu Pilang. Alangkah besar
hati sang ibu, anaknya yang sudah lama hilang kini telah datang.
Bahkan disebut-sebut sudah kaya raya. Tetapi baginya kaya atau
miskin sama saja. Dia tetap anaknya. Dibuatlah berbagai
makanan kesukaan anaknya. Siang itu ibu Pilang berangkat
dengan membawakan makanan kesukaan Pilang menuju ke
palabuhan tempat Kapal Pilang berlabuh. Dengan membongkok-
bongkok bersama tongkatnya sang ibu menelusuri jalan tanah
yang bebatuan itu. Keringat yang mengucur, kaki yang letih
seakan tidak masalah asalnya bisa jumpa dengan sang buah hati
yang telah lama hilang.
Sebelum menaiki tanggal kapal sang anak buah kapal
bertanya, “Nenek mau kemana? Mau jumpa siapa?”
Sang nenek menjawab, “Saya mau jumpa anak saya. Katanya
ini kapal anak saya, Pilang.
“Pilang, jadi nenek ibunya Pilang? Tak mungkin, nenek tak
boleh naik!” hardik anak buah kapal. Mendengar ada keributan
di bawah, turunlah Putri Cantik, Instan Sari, istri Tuan Pilang.
“Ada apa ribut-ribut, tuan lagi tidur. Nanti beliau terbangun
dan marah, ada apa?” Intan Sari bertanya.

150 SUHARDI
Anak buah kapal itu langsung menjawab, “Nenek tua ini
mengaku-ngaku ibunya Tuan Pilang.”
Alangkah terkejut dan herannya Intan Sari bahwa yang di
hadapannya mengaku ibu suaminya. “Kalau memang ia
mertuaku, mengapa selama ini suaminya mengatakan bahwa
ibunya telah meninggal dunia?” Intan Sari bertambah bingung.
Untuk memastikannya Intan Sari berlari menaiki tangga menuju
ruang suaminya beristirahat. Ia membangunkan suaminya bahwa
ada orang di bawah sana sedang mencarinya dan mengaku
sebagai ibunya. “Bang, bangunlah Bang. Ada orang yang cari
Abang”.
Setelah beberapa kali dibangunkan, Pilang bangun juga dan
berjalan menuruni tangga diiringi istri tercinta kemudian
menghampirinya.
“Ibu mencari siapa?” tanya Pilang.
Tanpa pikir panjang sang nenek langsung memeluk, “Pilang,
aku ini ibumu”. Ibumu yang sudah lama merindukan
kedatanganmu.”
“Bukan-bukan, kau bukan ibuku. Mana mungkin ibuku setua
dan seburuk ini,” jawab Pilang. “Bukan-bukan, kau bukan ibuku!”
“Benar nak, aku ibumu. Ini aku bawakan makanan
kesukaanmu masa kecil”.
“Sudah bawa ke sana saja, aku tidak mau makan!”
Sang istri menjadi bertambah curiga mengapa nenek tua ini
tahu makanan kesukaan suaminya. Tak mungkin kalau tidak
orang yang sudah kenal tahu dengan makanan kesukaan
suaminya. “Bang, kalau memang beliau adalah ibumu, akui
sajalah Bang!”
“Aku tak apa-apa.”

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 151


“Akui sajalah Bang, kalau memang ia ibumu aku terima!”
sang istri menimpali.
Pilang yang malu memiliki seorang ibu yang ronta dan buruk
itu tetap melontarkan kata-kata: “Tidak, Tidak, ia bukanlah
ibuku! Usir saja sana, aku mau istirahat.”
Pilang berlari kembali ke atas kapal, diikuti sang istri
cantiknya. Sang nenek lantas ditarik-tarik tangannya oleh sang
penjagal dan diusir agar secepatnya menjauh dari lokasi kapal.
Karena tidak tahan ditarik-tarik dan dimaki-maki, akhirnya sang
nenek tua itu pergi juga menjauh dari lokasi kapal anaknya
tertambat. Pilang memutuskan untuk berangkat meninggalkan
pelabuhan itu. Ia memerintahkan anak buahnya untuk meng-
hidupkan mesin dan melanjutkan perjalanan. Tak lama kapal itu
menjauhi pelabuhan.
Nenek tua itu menagis terceguk-ceguk, “Tega-teganya
anakku berbuat seperti ini kepadaku” “Susah senang aku
membesarkannya. Kini kamu membalasnya dengan perbuatan
seperti itu kepadaku. Karena aku telah buruk dan miskin,
sehingga malu mengakui aku ibunya. Ya Tuhan, berikanlah
siksaan yang setimpal kepada anakku itu. aku tidak akan
memaafkannya. Biarlah ia menjadi batu”.
Tak lama kemudian, datanglah angin ribut. Ombak ber-
gulung-gulung tinggi. Kapal Pilang yang sedang berlayar
terhempas kembali ke pelabuhan semula ia tertambat. Petir dan
guntur sela menyela. Akhirnya, kapal pilang beserta semua isinya
berubah menjadi tidak berapa jauh dari tepi pantai. Masya-
rakatnya sekitar menyebutnya Pulau Pilang. Kini masyarakat
setempat juga menyebutnya “Pulau Emas”.
Legenda Pulau Pilang kaya dengan nilai-nilai budaya.
Sangatlah menarik jika nilai-nilai budaya tersebut digali dengan

152 SUHARDI
serius. Baik berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan maupun
pesan moral yang terkandung di dalamnya.

***

Legenda merupakan salah satu media komunikasi dan


pembentuk jati diri bangsa.Waiho (dalam Pudetia, 1998:169)
mengatakan bahwa wacana lisan adalah landasan kesadaran diri
dan otonomi sebuah suku bangsa,baik verbal maupun non
verbal. Melalui kesadaran diri itu pula,kita menemukan
kepercayaan diri yang kemudian membentuk jati diri dan
eksistensinya di tengah-tengah masyarakat. Pandangan Waiho
ini kemudian juga diperkuat Alber yang mengatakan bahwa
tradisi lisan merupakan totalitas wacana yang tidak tertulis,
konsep dasar yang melandasi pola pikir, perkataan, dan perilaku
pemeliharanya.
Pandangan yang sama juga disampaikan JJ. Kusni (1994)
yang mengatakan bahwa tradisi lisan bisa dipandang sebagai
rangkaian berkesinambungan dari dokumen sejarah, yang
kemudian dapat dijadikan sebagai bahan bukti sejarah; sejarah
keberlangsungan hidup, dan kehidupan sebuah suku bangsa.
Maksud pandangan Kusni ini adalah wacana lisan dapat menjadi
sebuah rujukan sejarah tentang kehidupan suatu bangsa.
Satu hal yang sangat perlu lagi dipahami adalah legenda kaya
dengan nilai-nilai, seperti: nilai moral, estetika, etika, dan
relegius. Hal ini sebagaimana yang dikemuakakan Pudentia
(1998:169) yang mengatakan bahwa dalam kerangka besar,
corpus tradisi lisan terdapat filsafat, sejarah, nilai-nilai moral,
etika, relegius, hukum adat, struktur dan organisasi sosial, sastra
dan estetika. Jakob Sumardjo dan Saini KM juga menyatakan

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 153


pandangannya bahwa salah satu misi sastra adalah memberikan
nilai-nilai kemanusiaan kepada pemelihara dan penikmatnya.
Nilai-nilai sastra adalah sesuatu yang perlu diajarkan,
dipertahankan, dan disebarluaskan ke tengah-tengah
masyarakat.
Oleh sebab itulah, menggali nilai-nilai moral, estetika, dan
nilai-nilai relegius pada Legenda Pulau Pilang merupakan sebuah
usaha untuk menemukan, kemudian memberikannya ke
masyarakat sehingga terjadi perubahan tingkah laku kearah yang
lebih baik. Perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma-norma
yang dianut/dijunjung tinggi masyarakat. Selanjutnya, apa nilai
moral, estetika, dan nilai religius yang terkandung dalam Legenda
Pulau Pilang. Berikut hasil analisisnya.

Nilai Etika/Moral
Legenda Pulau Pilang ini mengandung nilai-nilai etika atau
moral yang cukup tinggi. Cerita ini memberikan tuntunan kepada
para penikmatnya agar selalu berbuat baik kepada kedua orang
tua. Bila tidak maka hidup dan kehidupan kita akan mendapat
laknat, kesusahan, bahkan kesengsaraan. Jika mau selamat dunia
dan akhirat maka muliakanlah kedua orang tua. Betapa tidak,
sejak dalam kandungan hingga kita dilahirkan ke permukaan
bumi ini, susah senang mereka alami demi anak-anaknya. Belum
lagi susahnya saat dia mengandung kita selama sembilan bulan.
Jasa orang tua/ibu tidak akan bisa dibalas dengan apapun.
Lihat saja, Pilang karena keangkuhan dan kesombongannya
harus menerima ganjaran, yaitu menjadi batu. Ia sombong karena
telah kaya dan memiliki istri cantik. Ia malu beribukan seseorang
tua peot dan lusuh. Ia merasa hina beribukan kakek tua orang
miskin. Ia tega menghardik dan mengusir dengan kasar ibunya.

154 SUHARDI
Nilai Estetika
Selain nilai etika/moral, Legenda Pulau Pilang juga
mengandung nilai-nilai estetika/keindahan. Baik dilihat dari segi
pilihan kata, alur penyajian, tema maupun amanat yang disam-
paikan. Pilihan kata yang tidak sulit memudahkan siapapun untuk
memahaminya. Alur cerita yang begitu runut dan gaya bahasa
yang digunakan si pencerita yang begitu baik membuat pendengar
meneteskan air mata. Keindahan Legenda Pulau Pilang tidak
kalah dengan Legenda Malin Kundang dari Sumatera Barat.
Hanya saja latar dan nama tokoh yang membedakannya.

Nilai Etika
Nilai etika (perilaku) tokoh, terutama tokoh Pilang adalah
tokoh yang tidak menjunjung tinggi sopan santun. Terutama
sopan santun berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau
orang lain yang dianggapnya tidak sederjat dengannya (tua,
buruk, miskin, dan hina). Perilaku ini tentunya dalam masyarakat
Indonesia —khususnya masyarakat Melayu— tidak bisa diterima.
Budaya Melayu tidak menerima perilaku buruk seperti ini.
Terutama jika dilihat pada Gurindam XII karya Raja Ali Haji.
Bagi masyarakat Melayu, tokoh Pilang adalah contoh tokoh yang
berperilaku buruk. Pilang menjadi model tokoh yang tidak perlu
dicontoh atau diteladani.

Nilai Religius
Masyarakat Melayu Provinsi Kepulauan Riau, khususnya
Dabo Kabupaten Lingga, dominan beragama Islam. Ajaran Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu memuliakan kedua
orang tua (ayah dan ibu). Bahkan Hadist Nabi Muhammad SAW

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 155


pun menyatakan bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu.
Ada sebuah cerita pada zaman Nabi, seseorang bertanya dengan
pertanyaan yang sama sampai 4 kali, yaitu: “Siapa orang pertama
yang harus dimuliakan?” Nabi Muhammad Saw menjawab,
“Ibumu!”, “Ibumu!”, “Ibumu!”, dan “Bapakmu!” Maksudnya
adalah orang pertama adalah ibu dan berikutnya adalah Bapak.
Berdasarkan nilai moral, estetika, etika dan religius yang
terdapat pada Legenda “Pulau Pilang” tersebut dapat disimpul-
kan bahwa legenda yang berasal dari Kabupaten Lingga ini
memiliki daya tarik yang cukup tinggi. Legenda ini kaya dengan
nilai-nilai sehingga perlu terus dipelihara dan dikaji agar nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya dapat dipahami sehingga
timbul rasa cinta dan tanggung jawab untuk terus memeliharanya
sebagai kekayaan budaya nenek moyang bangsa Indonesia. Rasa
cinta itu biasanya timbul setelah kita memahami arti pentingnya.
Kajian-kajian seperti ini perlu terus ditingkatkan di tengah
banjirnya budaya asing masuk ke Indonesia. Jika tidak cepat
diatasi maka permasalahan yang terjadi pada masyarakat
Singapura sebentar lagi juga terjadi pada masyarakat Indonesia.
Seringnya dimanjakan anak-anak dengan budaya asing
mengakibatkan generasi muda Singapura hanya mengenal
budaya asing ketimbang budaya Melayu. Kondisi seperti itu
tentunya tidak kita harapkan bukan?

156 SUHARDI
Antara Pilang dan Malin Kundang
Apa Kesamaan atau Perbedaannya?

K abupaten Lingga ternyata memiliki kekayaan seni sastra


yang menarik. Salah satunya adalah legenda. Salah satu
legenda yang cukup menarik untuk diamati dan dianalisis adalah
“Legenda Pulau Pilang’”. Pulau Pilang sebetulnya hanyalah
sebuah pulau kecil akan tetapi memiliki nilai historitical sastra
yang pantas untuk dilirik. Nilai tersebut akan semakin terasa
bila dikompilasikan dan dilakukan studi komparatif dengan
sebuah legenda dari Ranah Minang (Sumatera Barat), “Malin
Kundang”.
Apakah mungkin, dua daerah yang berbeda memiliki
kesamaan legenda? Apakah mungkin Pilang adalah Malin
Kundang, atau sebaiknya Malin Kundang adalah Pilang? Mung-
kinkah cerita ini disebarkan dan dikembangkan oleh orang yang
sama dulunya? Manakah yang lebih dahulu lahir, Pilang atau
Malin Kundang? Untuk menjawabnya dibutuhkan analisis
instrinsik kedua legenda tersebut secara cermat. Analisis
intrinsik yang dimaksud seperti, tema cerita, amanat, alur, latar,
tokoh, dan watak tokoh yang terdapat pada kedua cerita
dimaksud.

Tema
Tema yang terkandung pada Legenda Pilang adalah tentang
seorang anak lelaki Melayu yang durhaka terhadap orang tuanya
(ibu). Karena merasa malu beribukan ibu tua yang sudah reot,

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 157


kumuh, dan miskin tega tidak mengakui ibu kandung sendiri di
depan istri cantik yang berlatarbelakang kaya. Tega menghardik
ibu kandung sendiri dan mengusir tanpa sedikitpun merasa hiba
walaupun sang ibu telah menyembah-nyembah bahwa ia (Pilang)
memang anaknya.
Tema yang terkandung pada cerita ‘Malin Kundang’ juga
sama dengan Pilang, yaitu tentang seorang anak lelaki Minang
yang durhaka terhadap orang tuanya (ibu). Karena merasa malu
beribukan ibu tua yang sudah reot, kumuh, dan miskin tega tidak
mengakui ibu kandung sendiri di depan istri cantik anak seorang
saudagar kaya dari tanah seberang. Kemungkinan yang dimaksud
seberang di sini adalah Jakarta. Malin tega menghardik dan tidak
mengakui bahwa perempuan tua yang sedang dihadapannya
adalah ibu kandungnya sendiri. Walaupun sang perempuan tua
itu telah menyembah-nyembah dan meyakinkan bahwa benar
Malin adalah anak lelakinya yang dulu pergi merantau kini telah
kembali. Cerita Pilang dan Malin Kundang sama-sama diakhiri
sang tokoh (Pilang dan Malin Kundang) dikutuk menjadi batu.
Kedua tokoh sama-sama terkena laknat dan harus menanggung
akibat perbuatannya.

Amanat
Amanat yang terkandung pada cerita Pilang dan Malin
Kundang memiliki kesamaan, yaitu (1) jangan durhaka terhadap
orang tua (ibu atau bapak); (2) jangan lupa diri, sombong, dan
angkuh; (3) anak harus mengabdi kepada orang tua, jika memiliki
reski yang lebih wajib membantu orang tua; (4) ingat dan sadarlah
kegagahan yang dimiliki hari ini adalah berkat ketulusan hati
orang tua; dan (5) dekatkanlah diri selalu kepada Allah, agar tidak

158 SUHARDI
lupa diri dan sombong. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada
orang yang memiliki sikap sombong.

Alur Cerita
Cerita Pilang menggunakan alur maju. Maksudnya, cerita
bergerak dari awal hingga akhir. Cerita dimulai dari kehidupan
Pilang bersama ibunya semasa kecil. Setelah dewasa, Pilang
memohon izin ibunya untuk merantau guna memperbaiki
kehidupan ekonomi dan membantu orang tuanya. Di rantau
Pilang berhasil menjadi saudagar kaya dan mempersunting gadis
cantik. Di waktu berlayar kapal pilang terdampar ke tanah
kelahirannya sendiri. Ibu Pilang mendapat informasi bahwa
anaknya yang bernama Pilang kini telah menjadi orang yang kaya
raya, kini kapalnya sedang berlabuh di pelabuhan. Pilang tidak
menerima kehadiran sang ibu, ia malu memiliki ibu miskin dan
lusuh. Pilang murka kepada ibunya. Ibunya kecewa dan sedih.
Pilang dikutuk menjadi batu.
Model alur yang sama juga terjadi pada cerita Malin Kundang.
Malin masa kecilnya hidup dengan ibunya di sebuah gubuk tua
di tepi pantai Air Manis Padang. Setelah dewasa Malin minta izin
untuk pergi merantau guna mengubah nasib. Di rantau Malin
berhasil menjadi seorang saudagar kaya. Malin juga berhasil
mempersunting seorang gadis cantik. Saat berniaga, kapal Malin
terdampar di Pantai Air Manis tempat tanah kelahirannya. Ibu
Malin mendapat berita dari tetangganya bahwa Malin telah
datang dengan kapalnya dan didampingi sang istri cantik. Sang
ibu sangat berharap Malin menerima kedatangannya. Malin
menolak dan tidak mengakui nenek tua itu adalah ibunya. Sang
ibu putus asa. Saat kapal Malin mau meninggalkan pelabuhan
Pantai Air Manis, kapalnya diterjang badai dan terdampar ke

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 159


tempat semula. Ibu Malin sedih sekali karena anaknya telah
melupakannya. Ibu Malin mengutuk dan memohon kepada
Tuhan agar kapal anaknya itu menjadi batu. Tak lama kemudian,
kapal Malin tersebut berubah menjadi batu.
Latar Cerita
Cerita Pilang dan Malin Kundang sama-sama menggunakan
latar pantai, gubuk tua, kehidupan masyarakat pantai. Bedanya,
Pilang latarnya adalah kabupaten Lingga, sementara Malin
Kundang latarnya adalah Pantai Air Manis Padang.

Tokoh Utama
Tokoh utama kedua cerita sama-sama ibu dengan satu orang
anaknya. Pilang dengan ibunya dan Malin Kundang dengan
ibunya.

Watak Tokoh
Watak tokoh yang dimiliki kedua cerita juga memiliki kesa-
maan. Ibu Pilang memiliki watak suka mengutuk sementara ibu
Malin Kundang juga demikian. Kutukannya juga sama, yaitu
menjadi batu. Tokoh Pilang juga memiliki watak seorang yang
lupa diri, sombong, dan jauh dari nilai-nilai agama. Ia tega tidak
mengakui orang tuanya sendiri. Watak tokoh yang sama juga
dimiliki Malin Kundang.

***

Berdasarkan kesamaan yang dimiliki kedua cerita, tidaklah


mungkin Pilang adalah Malin Kundang, begitu juga sebaliknya.

160 SUHARDI
Pilang lebih berbau masyarakat Melayu Kepulauan Riau
sementara Malin Kundang lebih berbau Padang.Tidak ada
sumber yang ditemukan menyatakan pengembang kedua cerita
tersebut sama. Tidak ada juga data-data yang memperkuat mana
yang lebih dahulu kedua cerita tersebut lahir. Hal ini mungkin
disebabkan kedua cerita tersebut bersifat anonim. Namun yang
jelas kedua cerita tersebut telah menjadi sebuah mitos dalam
masyarakat penganutnya. Dipercaya hingga sekarang.

Harian Umum Sijori Mandiri , 5 September 2010

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 161


A manah “Untung Sabut”
Penuh Motivasi dan Teladan

B aru-baru ini di Grand Ballroom Harmoni One Hotel Batam,


Sabtu 14 Mei 2011 diluncurkan otobiografi orang nomor
satu di Provinsi Kepulauan Riau ini, yaitu Gubernur Provinsi
Kepulauan Riau H.M. Sani. Dua prestasi gemilang berhasil diraih
Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, H.M. Sani, yaitu
memperoleh Gelar Datu Setia Amanah dan peluncuran buku
otobiografi karya beliau sendiri berjudul Untung Sabut.
Penabalan (penganugerahan) gelar “Datuk Setia Amanah”
kepada Gubernur Provinsi Kepulauan Riau H.M. Sani tentunya
sebuah hasil evaluasi terhadap tugas-tugas yang telah beliau
jalankan selama ini. Pihak Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi
Kepulauan Riau memandang H.M. Sani sebagai sosok yang
amanah dalam menjalankan tugas-tugasnya selama ini. Oleh
sebab itu, pihak Ketua LAM Provinsi Kepulauan Riau
memandang H.M. Sani sudah layak dianugerahkan gelar
kehormatan Melayu. Niat baik tersebut, syukur alhamdulillah,
dapat dilaksanakan dengan lancar.
Dari penganugerahan gelar kehormatan tersebut tersirat
harapan rakyat atau masyarakat terhadap beliau, yaitu semoga
amanah yang telah diberikan dapat selalu terjaga dan
dilaksanakan untuk mensejahterakan masyarakat Provinsi
Kepulauan Riau ke depan. Harapan tersebut tentunya sangat
sesuai dengan filosofis adat Melayu yang berbunyi “Apa tanda
pimpinan yang amanah? Teliti dalam berjanji/ Amanah dalam

162 SUHARDI
bersumpah/ Tahu membela segala rakyatnya/ Tahu menjaga
kampung halamannya. Rela berlapang di dalam sempit/ Rela
berbagi walau sedikit. Menjalankan tugas tahan beragas/
Menjalankan amanah tahan dilapah/ Menjalankan yang hak
tahan diinjak/ Menunaikan janji tahan dikeji. Membela rakyat
tahan dikerat/ Membela bangsa tahan binasa/ membela negeri
tahan mati (H. Huzrin Hood, Batam Post, 10 Mei 2011).
Selanjutnya, filosofis adat Melayu juga menyatakan bahwa
jabatan itu adalah sebuah tanggung jawab dan beban yang harus
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh serta akan diminta
pertanggung jawabannya di kemudian hari.
Melekatnya sebuah tanggung jawab seiring penerimaan gelar
tersebut sangat disadari oleh orang nomor satu di Provinsi
Kepulauan Riau ini. Kesadaran akan sebuah tanggung jawab
sebagaimana pernyataan beliau bahwa gelar yang diterimanya
merupakan amanah yang wajib dijaga dan dijalankan, demi
menjaga marwah masyarakat Melayu. “Duduk saya semoga
berpegang iman, tegak saya semoga berpegang pada adat.
Sebagaimana saya menjaga hati dan jiwa di dalam tubuh, saya
akan menjaga dan memegang penuh gelar Datuk Setia Amanah
yang saya terima. Saya mohon do’a dan dukungan dari semua
pihak, agar bisa memangku dan menjalankan gelar ini dengan
baik. Semoga, kami mendoakan, semoga niat baik tersebut dapat
diwujudkan. Amin!
Kesuksesan berikutnya yang juga diproleh Gubernur Provinsi
Kepulauan Riau H.M. Sani adalah terbitnya sebuah buku yang
berisi tentang liku-liku perjalanan hidup masa kecilnya hingga
saat ini, yaitu menjadi Gubernur Provinsi Kepulauan Riau. Buku
tersebut berjudul Untung Sabut. Tidak banyak gubernur yang

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 163


sempat menulis hingga menerbitkan buku biografi dirinya sendiri
sebagaimana yang dilakukan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau
H.M. Sani. Sebuah prestasi yang membanggakan dan menjadi
motivasi untuk dapat diikuti para gubernur lainnya. Buku Untung
Sabut karya H.M. Sani ini kaya dengan mutiara kehidupan yang
perlu dimiliki, dibaca, digali, dan dijadikan contoh oleh para
pemuda Kepri sebagai calon pimpinan masa depan. Terutama
ketegaran beliau dalam menghadapi realitas yang ada, ketegaran
dalam cita-cita, dan berbagai ketegaran lainnya.
Memang perjalanan hidup anak manusia itu tidak ada yang
sama. Ada yang mulus da nada juga yang harus melalui berbagai
rintangan. Dari pilihan tersebut, ternyata beliau harus menerima
pilihan kedua, yaitu tantangan yang cukup berat. Namun, beliau
berhasil mengatasi rintangan tersebut dan kini menjadi orang
gubernur Kepri. Siapa sangka anak yang dulunya biasa-biasa saja
kini menjadi seorang gubernur. Kesuksesan demi kesuksesan
terus beliau raih. Mulai dari kesuksesan beliau membangun
Karimun hingga kini dipercayakan pula membangun Provinsi
Kepulauan Riau
. Gejala tersebut sangat terasa melalui gebrakan beliau dalam
pembangunan di segala bidang. Salah satunya adalah perhatian
beliau dalam penyediaan dan peningkatan sumber daya menusia
pada sektor pendidikan di Provinsi Kepulauan Riau. Mulai dari
pengalokasian beasiswa hingga pembangunan sarana pendidikan
lainnya, mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Selamat Pak Gubernur, rakyat Provinsi Kepulauan Riau
selalu mendukung Program Bapak.

Harian Umum Haluan Kepri, 29 Mei 2011

164 SUHARDI
BAGIA N III.
KRITIK & ULASA N

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 165


166 SUHARDI
Dari Chairil A nwar hingga
Sutardji Calzoum Bachri

B ila dilakukan penelusuran terhadap tokoh yang telah


berhasil membawa pembaharuan dalam dunia perpuisian
Indonesia maka akan ditemukan dua nama penting, yaitu Chairil
Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri.
Apa yang telah dilakukan oleh kedua penyair besar tersebut
terhadap dunia perpuisian Indonesia? Berikut dapat dilihat.
Banyak hal yang telah dilakukan kedua penyair besar
Indonesia itu. Baik dalam bentuk pembaharuan gaya penulisan
maupun dalam bentuk visi yang disampaikannya. Chairil Anwar
telah berhasil melakukan pembaharuan gaya penulisan
perpuisian Indonesia dari angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan
Pujangga Baru dan Angkatan Siti Nurbaya (Angkatan 30-an dan
Angkatan 20-an). Hal ini sebagaimana terlihat dari gaya bahasa
yang digunakan. Bahasanya lebih hidup dan berjiwa, yaitu bahasa
sehari-hari yang memiliki nilai sastra tinggi.Kenyataan ini sangat
berbeda dengan yang terjadi pada Angkatan Pujangga Baru yang
lebih banyak menggunakan bahasa Melayu (Rosidi, 1994:84)
mengklaim bahwa pada masa Chairil Anwar inilah awal mula
sastra Indonesia lahir.

***

Chairil Anwar lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di


Medan.Chairil wafat pada tanggal 28 April 1949.Pendidikan

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 167


tertinggi yang pernah diperolehnya adalah MULO (setingkat
SLTP).Chairil merupakan anak yang sejak kecil memiliki minat
baca dan belajar yang tinggi. Oleh sebab itu, ia memiliki
kematangan dalam hal penulisan. Beberapa karya yang
dilahirkannya memiliki kualitas yang sangat baik. Chairil pun
dijuluki sebagai sastrawan pendobrak zaman. Cita-citanya untuk
dapat hidup seribu tahun lagi (sebagaimana tertuang dalam judul
puisinya yang legendaris: Aku) telah terbukti. Walaupun ia telah
tiada, namanya selalu hidup dalam sanubari bangsa Indonesia.
Setiap tahun selalu diperingati dan dikenang melalui berbagai
kegiatan sastra, mulai dari lomba baca puisi, penulisan puisi,
hingga seminar-seminar, baik yang dilakukan di berbagai
perguruan tinggi hingga sanggar-sanggar sastra lainnya.
Dimanakah letak keberhasilan Chairil Anwar di dunia
perpuisian Indonesia? Siapa tokoh yang dapat menyainginya saat
ini? Agus R. Sarjono dalam sebuah diskusi sastra pernah
menyatakan bahwa keberhasilan Chairil Anwar tidak lain
disebabkan beberapa hal, yaitu (1) kualitas puisi yang
dilahirkannya memang baik. Baik dalam hal diksi (pilihan
katanya) maupun gaya bahasanya. Hal ini jugalah yang
menyebabkan lahirnya statement di kalangan ahli dan
masyarakat bahwa pada masa Chairil Anwar inilah awal mula
bahasa Indonesia lahir dan (2) keberhasilan Chairil Anwar juga
ditunjukkan kemampuannya dalam menulis sastra mimbar dan
sastra kamar.Dua hal inilah yang membuat Chairil Anwar
menjadi penyair besar.
Asrul Sani (penyair dan sastrawan) Chairil Anwar berhasil
menjadi penyair besar Indonesia disebabkan (1) rasa bahasa yang
dimiliki Chairil Anwar sangat luar biasa, (2) Chairil Anwar telah
mampu melepaskan bahasa dari kungkungan kaidah, yang di satu

168 SUHARDI
sisi menyalahi aturan yang sebenarnya tetapi di sisi lain telah
menjadi sarana ekspresi yang sangat fungsional, dan (3) bahasa
yang digunakan dalam sajak-sajak Chairil Anwar mampu mem-
bangkitkan suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekaan, dan
kelincahan yang sangat mengagumkan, khususnya dalam dunia
sastra Indonesia. Untuk itu, H.B. Jassin —kritikus sastra
Indonesia yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia—
menyatakan keberhasilan Chairil Anwar menjadi sastrawan
terkenal disebabkan keseriusannya dalam menekuni dunia
kesusastraan Indonesia.
Nama Chairil Anwar muncul di khasanah sastra Indonesia
sejak zaman Jepang. Chairil Anwar dikenal melalui beberapa
karya sajaknya yang cukup revolusioner dan reformis. Dalam
beberapa sajaknya terlihat jelas sikap individualis yang
dimilikinya. Sikap yang menghendaki kebebasan atau
memberontak terhadap kungkungan yang ada. Hal ini sebagai-
mana terlihat dalam sajaknya yang berjudul Aku berikut ini: kalau
sampai waktuku/ ku mau tak seorang pun kan merayu/ tidak
juga kau/tak perlu sedu sedan itu/ aku ini binatang jalang/ dari
kumpulan yang terbuang/ biar peluru menembus kulitku/ aku
tetap meradang menerjang/ luka dan bisa kubawa berlari
berlari/ hingga hilang pedih dan peri/ dan aku lebih tak peduli/
aku mau hidup seribu tahun lagi.
Sajak tersebut sudah memperlihat sikap penyair yang
sesungguhnya. Sebuah sikap tegar dan pantang menyerah karena
memiliki keinginan untuk hidup lebih lama (seribu tahun lagi).
Kata ‘binatang jalang’ merupakan kata kunci yang menggam-
barkan bahwa penyair adalah orang yang pantang menyerah
dengan keadaan.Penyair bukan orang yang cengeng, yaitu yang
suka bersedih-sedih karena disakiti dan disisihkan dalam

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 169


kehidupannya.Ia akan tetap berjuang menggapai cita-citanya
sampai batas terakhir sebab ia berharap nanti setelah ia tiada
tetap dikenang orang. Inilah makna kata ‘seribu tahun lagi’, yaitu
dengan batas waktu yang tak terhingga.
Chairil Anwar juga memiliki rasa cinta terhadap negara dan
bangsa yang tinggi. Hal ini sebagaimana tersirat dalam sajakya
berjudul Diponegoro, Kerawang dan Bekasi, Persetujuan
dengan Bung Karno, Siap Sedia, dan Cerita Buat Dien Tamaela.
Selain rasa cinta terhadap bangsa dan negara, ternyata Chairil
Anwar juga memiliki rasa cinta terhadap sang maha pencipta
(Tuhan). Hal ini sebagaimana terlihat melalui kutipan sajak yang
berjudul Kepada Pemeluk Teguh: Tuhanku berikut ini dalam
termangu/aku masih menyebut nama-Mu/biar susah sungguh/
mengingat-Mu penuh seluruh/cahaya-Mu panas suci/Tinggal
kerdip lilin di kelam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/
tuhanku/aku mengembara di negeri asing/tuhanku/ dipintu-
Mu aku mengetuk/ aku tidak bias berpaling.
Beberapa karya Chairil Anwar tersebut memperlihatkan
bahwa sajak itu merupakan hasil perenungan yang dalam Chairil
Anwar terhadap realitas kehidupannya, sebuah hasil penyelaman
yang intens, lukisan perasaan manusia, cita-cita, dan alam bawah
sadar (birahi). Sebuah sikap penting yang tidak boleh dilupakan
adalah pandangannya yang menolak akan bentuk-bentuk
kolonialisme, pertentangan ideologi, dan bagaimanakah
kebudayaan itu harus disikapi dengan baik. Hal ini tersirat
melalui pernyataan Chairil Anwar melalui “Surat Kepercayaan
Gelanggang” yang diproklamirkan kawan-kawannya (Asrul Sani
dan Rivai Afin) setelah ia wafat.
Bagi Chairil Anwar, kebudayaan nasional bukanlah suatu
pekerjaan melap-lap kebudayaan lama yang sudah lapuk.

170 SUHARDI
Kebudayaan bukanlah sintesis yang dicampur-baur. Namun
kebudayaan adalah cara suatu bangsa mengatasi masalah yang
lahir dari situasi zaman dan tempat.
Dalam sejarah perjalanan sastra Indonesia, Chairil Anwar
dikenal dengan tokoh “Angkatan 45”.Istilah Angkatan 45
pertama kali dilontarkan Rosihan Anwar tahun 1948. Kelompok
lain menjuluki Chairil Anwar dengan sebutan “Angkatan Chairil
Anwar”. Sementara kelompok lainnya, menjuluki Chairil Anwar
dengan sebutan “Angkatan Kemerdekaan”. Namun, istilah yang
hingga hari ini tetap melekat adalah “Angkatan 45”.
Pemberian nama ini pun juga menimbulkan pro-kontra di
beberapa kalangan. Armijn Pane dan Sutan Takhdir Alisyahbana
menolak pemberian nama tersebut. Menurutnya, Chairil Anwar
juga merupakan hasil dari sebuah pohon yang telah ditanam
selama ini.Maksudnya, Chairil Anwar merupakan penerus
kepenyairan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru. HB
Jassin, Sitor Situmorang, dan Aoh K. Hadiadmaja mencoba
membela dengan mengatakan Chairil Anwar tidak dapat
digolongkan lagi ke angkatan sebelumnya sebab telah memiliki
perbedaan yang cukup signifikan, terutama terlihat dari segi gaya
penulisan dan visi yang diembannya. Hal ini juga diperkuat lagi
H.B. Jassin melalui sebuah esainya yang berjudul “Angkatan 45”.
Sebagai tokoh penyair yang telah berhasil melakukan
pembaharuan dunia perpuisian Indonesia, namanya sangat
terkenal. Baik di kancah nasional maupun internasional. Hal ini
tidak lain karena beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke
berbagai bahasa (Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Rusia,
Jepang, dan Jerman). Burton Raffel telah menterjemahkan
beberapa sajak Chairil Anwar ke dalam bahasa Inggris.Burton
Raffel menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 171


Chairil Anwar: Selected Poems (New York, 1963) dan The
Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (New York, 1970).
Kemudian Liaw Yock Fang dengan judul The Complete Poems of
Chairil Anwar (Singapura, 1974).
Tidak hanya dalam bahasa Inggris, sajak-sajak Chairil Anwar
juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman, sebagaimana yang
dilakukan Walter Karwath dengan judul Feuer und Asche (Wina,
1978).Terjemahan Burton tersebut dapat dijumpai pada
bukunya yang berjudul Selected Poems (of) Chairil Anwar yang
diterbitkan tahun 1962. Buku ini telah menjadi salah satu nomor
The World Poets Series yang diterbitkan New Direction di New
York.
Sajak-sajak Chairil Anwar juga pernah dijadikan bahan kajian
berbagai kalangan, seperti (1) S.U.S Nababan dengan judul A
Linguistics Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil
Anwar (Ithaca, NY, 1966), (2) Boen S. Oemarjati dengan judul
Chairil Anwar: the Poet and His Language (Den Haag, 1972),
(3) Sutan Takdir Alisyahbana dengan judul Penilaian Chairil
Anwar Kembali (Budaya Jaya, Maret 1976), (4) Subagio
Sastrowardoyo dengan judul Sosok Pribadi dalam Sajak (1980).
Lantas, siapakah tokoh penyair saat ini yang mampu
mensejajarkan diri dengan Chairil Anwar? Tokoh tersebut tidak
lain adalah Sutardji Calzoum Bachri. Dami N Toda (Republika, 9
Maret 2003) menyebutkan Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum
Bachri laksana dua mata. Chairil Anwar adalah mata kanan,
sedangkan Sutardji Calzoum Bachri adalah mata kirinya.Hal ini
mungkin disebabkan keduanya merupakan tokoh yang telah
banyak mengukir dan melakukan pembaharuan dunia perpuisian
Indonesia. Pada kedua tokoh inilah arah dunia perpuisian
Indonesia dapat dilihat.

172 SUHARDI
Pandangan itu memang ada benarnya juga sebab dalam dunia
perpuisian modern Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri telah
banyak melakukan perubahan dan perombakan.Hal ini sebagai-
mana terlihat melalui kredonya, yaitu “mengembalikan kata
kepada akarnya, yaitu mantra.” Menurut Sutardji dengan
pembebasan tersebut akan dicapai kreativitas yang baik. Bahkan
secara spontanitas ia telah memproklamirkan dirinya sebagai
presiden penyair Indonesia.
Seperti halnya Chairil Anwar, beberapa karya Sutardji juga
telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Harry Aveling
telah menterjemahkan karya Sutardji ke dalam bahasa Inggris.
Terjemahan tersebut termuat dalam buku antologi puisinya yang
berjudul Arjuna in Meditation (Calcuta, India), Writing from The
World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia),dan dua
antologi berbahasa Belanda.

***

Sampai hari ini tampaknya belum ada record yang dapat


menandingi kedua tokoh penyair tersebut. Dengan demikian,
penobatan yang dilakukan Sutardji atas dirinya sebagai Presiden
Penyair Indonesia sangat layak. Ke depan juga diharapkan akan
lahir Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri yang baru
sehingga dunia perpuisian Indonesia lebih maju dan semarak.
Dunia perpuisian Indonesia tidak hanya mampu berbicara di
kancah nasional, bahkan juga di dunia internasional.
Guna mengingat selalu jasa-jasa Chairil Anwar, Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) mencetuskan sebuah program yang
sering disebut dengan “Anugerah Sastra Chairil Anwar”, yaitu

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 173


sebuah program pemberian penghargaan kepada para sastrawan
dan penyair yang telah berjasa dalam mengembangkan sastra
Indonesia.Program ini sudah cukup lama digulirkan dan masih
berlanjut hingga saat ini.
Para sastrawan dan penyair yang pernah mendapatkan
anugerah tersebut diantaranya adalah sastrawan Mochtar Lubis
(tahun 1992) dan Sutardji Calzoum Bacri (1998). Begitu besarnya
jasa-jasa Chairil Anwar dalam dunia kepenyairan Indonesia,
sangatlah wajar jika ia dijuliki sebagai Legendaris Sastra
Indonesia dan Penyair Pendobrak Zaman, disamping sebutan
yang melekat sebagai Pelopor Angkatan 45 dalam kesusastraan
Indonesia.

Harian Umum Padang Ekspres, 26 April 2003

174 SUHARDI
“Peradilan Rakyat”-nya Putu Wijaya
Potret Buram Dunia Hukum

I Gusti Ngurah Putu Wijaya —atau lebih dikenal Putu Wijaya—


adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa dan
produktif menulis. Sampai sekarang, ia sudah lebih dari 30 novel,
40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel
lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis skenario film dan sinetron.
Sebagai seorang dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak
1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun
di luar negeri. Atas dedikasinya itu, Putu Wijaya memperoleh
berbagai penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario
sinetron, baik dari dalam maupun luar negeri. Penghargaan itu
antara lain Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977), tiga
buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992),
tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ, empat kali
pemenang sayembara penulisan lakon DKJ; hadiah buku terbaik
Depdikbud (novel Yel), SEA Write Award di Bangkok (1980),
Pemenang penulisan esei Harian Kompas, Anugerah Seni dari
Menteri P & K (1991), penerima Profesional Fellowship dari The
Japan Foundation Kyoto (1991-1992), anugerah Seni dari
Gubernur Bali (1993), dan Tanda Kehormatan Satyalancana
Kebudayaan Presiden RI (2004).
Sebagai sastrawan, banyak buku yang telah dihasilkannya
dan —kemudian— diperbincangkan adalah Bila Malam
Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam,
Sobat, Nyali, dan masih banyak lagi. Kepiawaian Putu Wijaya

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 175


dalam merangkai realitas sosial menjadi obyek penciptaan
karyanya tentunya tidak diragukan lagi. Berbekal dengan
produktivitasnya dalam berkarya telah lahir berbagai cipta sastra
yang berkualitas. Salah satunya adalah cerpen yang akan penulis
analisis adalah “Pengadilan Rakyat”.
Berbicara tentang unsur realitas dalam cipta sastra, Prof. Dr.
Mursal Esten dalam bukunya yang berjudul, “Pengantar Teori
dan Sejarah Sastra” mengatakan bahwa cipta sastra terbentuk
karena di dalam diri pengarang terdapat dua daya, yaitu daya
kreatif dan modifikatif. Daya kreatif adalah kemampuan
pengarang menjadikan realitas sosial yang ada di sekitarnya
menjadi karya berharga dan bernilai bagi penikmatnya.
Sementara yang dimaksud dengan daya modifikatif adalah
kemampuan yang terdapat dalam diri pengarang untuk memo-
difikasi unsur imajinasi dan pengalamannya. Kedua, unsur ini
didominasi dan menjadi inspirasi lahirnya cipta sastra, baik
cerpen, novel, maupun puisi.
Berkaitan realitas sosial itu, seperti penegakan hukum yang
terjadi hari ini, soal busung lapar, demam berdarah, dan lain
sebagainya. Bahkan di mata seorang penulis pembantunya pun
bisa dijadikan obyek penciptaan. Di mata sastrawan, apapun
dapat dijadikan sebagai sumber penciptaannya, contohnya
cerpen yang berjudul Pembantu karya Harris Effendi Thahar
yang dimuat di Kompas. Cerpen tersebut terinspirasi dari
kehidupan seorang pembantu tetangga di depan rumahnya.
Berdasarkan hasil dialog saya dengan Bung Harris, Bung Harris
menyatakan bahwa cerpen tersebut obyeknya dari kehidupan
pembantu tetangga depan rumahnya dalam melaksanakan tugas
sehari-harinya. Hal yang sama juga dilakukan Bung Haris pada
cerpennya yang berjudul Tukang Kasur.

176 SUHARDI
Walaupun demikian, realitas yang dijadikan pengarang dalam
karyanya tentulah bukan realitas murni. Melainkan modifikasi
antara imajinasi dan realitas yang ada. Konsep ini sejalan dengan
yang dikemukakan Rene Wellek dan Austin Warren melalui
bukunya yang berjudul Teori Kesusastraan bahwa cipta sastra
diciptakan pengarang dengan maksud membebaskan penulisnya
dari tekanan emosi di dalam dirinya. Melalui pengekspresian
emosi tersebut maka beban batin berkurang bahkan hilang.
Dengan kata lain, cipta sastra adalah ungkapan perasaan
pengarang terhadap kenyataan atau kritik sosial yang disampai-
kan pengarang terhadap kenyataan. Dalam kaitan inilah, cerpen
Putu Wijaya yang berjudul Pengadilan Rakyat menjadi contoh
menarik.
Cerpen ini merupakan potret dunia hukum kita saat ini.
Cerpen yang mengisahkan pertemuan seorang anak dengan
ayahnya. Si anak dideskripsikan seagai seorang Pengacara Muda
yang cukup terkenal karena kasus-kasus yang ditanganinya
selalu berakhir sukses dengan kemenangan di pengadilan.
Sementara si ayah yang juga seorang pengacara juga telah
memiliki reputasi besar. Apa yang dilakukan oleh kedua orang
pengacara ini? Berikut dapat dilihat melalui dialog berikut:
“Aku datang bukan sebagai putramu melainkan sebagai seorang
pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri
yang sedang kacau ini. Aku datang kemari ingin mendengarkan
suaramu, aku mau berdialog. Belum lama ini negara menu-
gasiku untuk membela seorang penjahat besar tetapi aku tolak
sebab aku curiga negara hanya ingin menunjukkan sebuah
teater spektakuler bahwa di negeri ini sudah terjadi kebangkitan
baru dari dunia hukum. Menurutku pencarian keadilan harus
mutlak bukan sebuah teater. Aku tak mau menjadi pecundang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan harus-
lah melalui pengadilan yang bersih.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 177


Setelah aku menolak tawaran negara itu, penjahat besar itu
datang kepadaku untuk minta tolong menjadi pembelanya. Per-
mintaannya saya terima sebab aku seorang professional. Aku
tidak bisa menolak siapapun yang meminta aku sebagai pembela.
Sebagai pembela aku harus mengabdi kepadanya dan membantu
kelancaran proses pengadilan sehingga melahirkan kepuasan
yang seadil-adilnya”.

Pengacara Senior (ayah pengacara muda itu) menjawab:


“Bagus! Kamu memang telah menunjukkan keprofesionalanmu.
Kau tolak tawaran negara dan menerima dari tawaran seorang
penjahat besar serta membelanya dari praktek-praktek
pengadilan kotor. Semua itu bagus asal semua itu dilakukan
tanpa ancaman dan tanpa sogokan”.

Pengacara Muda mengatakan bahwa itu dilakukannya tanpa


pamrih. Di akhir cerita dikatakan bahwa Pengacara Muda ter-
nyata memang memenangkan kasus yang ditanganinya. Si
Penjahat Besar terbebas dari hukumannya. Namun, efek yang
terjadi berikutnya adalah Pengacar Muda diculik dan diadili oleh
rakyat hingga mati sebab rakyat tak puas atas keputusan yang
dilahirkan pengadilan.
Cuplikan dialog antara pengacara muda dengan pengacara
senior pada cerpen “Pengadilan Rakyat” karya Putu Wijaya ini
sama dan sebangun dengan rendahnya kepercayaan masyarakat
pada dunia peradilan. Cerpen ini dengan tepat memotret
penegakan keadilan dilakukan dunia peradilan selama ini. Sikap
masyarakat tentunya tidak lepas buah dari kekecewaan terhadap
keputusan hukum. Akibatnya, masyarakat melakukan
peradilannya sendiri. Kasus yang sama sering kita lihat melalui
berbagai media massa, seperti kasus pembakaran terhadap
pencuri oleh massa; menghajar perampok hingga babak belur;
atau melempari telur busuk kepada koruptor yang divonis bebas.
Semua itu merupakan potret dari ketidakpercayaan masyarakat
terhadap dunia peradilan.

178 SUHARDI
Walaupun demikian, tentunya kita sepakat hal ini tidak bisa
dibiarkan. Kepercayaan masyarakat terhadap sebuah keputusan
hukum perlu ditingkatkan. Caranya adalah dengan menghapus
praktek-praktek pengadilan yang kotor. Yang lebih penting lagi
melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat agar mereka
mengerti hukum. Inilah tugas kita semua ke depan, termasuk
tugas sastrawan untuk menghasilkan karya yang dapat
menjunjung peradilan bersih.

Harian Umum Batam Pos , 29 Maret 2009

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 179


Kritik Sosial dalam
Cerpen “Rumah Tak Berpintu”

C ipta sastra jika dilihat dari latar belakang kelahirannya


memiliki dua unsur utama, yaitu (1) unsur hiburan dan (2)
unsur kritik sosial pengarang terhadap realitas yang terjadi di
sekelilingnya. Sebagai unsur hiburan, cipta sastra mampu
memberikan rasa puas atau senang kepada para penikmatnya.
Baik yang berbentuk cerpen, novel, maupun drama. Baik yang
disajikan dalam bentuk buku, tayangan media elektronik,
maupun dalam bentuk pertunjukan.
Yang tak kalah pentingnya lagi adalah cipta sastra (baik
cerpen, puisi, maupun drama) mengandung kritik terhadap
kondisi masyarakat yang ada dan dipandang sastrawan tidak
sesuai lagi dengan norma-norma sosial masyarakat yang berlaku.
Pengarang (sastrawan) melalui daya kreatif dan imajinasinya
melakukan sesuatu tindakan untuk dapat memperbaiki keadaan
yang ada tersebut. Cara dan media yang digunakan pengarang
biasanya adalah menulis cipta sastra karena inilah wadah yang
paling cocok dan efisien. Cipta sastra yang mengandung kritik
sosial tersebut biasanya pengarang tujukan kepada penguasa
sebab hanya penguasalah yang memiliki kekuasaan untuk
mengubah ketimpangan yang ada. Kritik tersebut adalah sebuah
masukan atau perhatian seorang warga masyarakat dan negara
terhadap kondisi bangsanya yang sudah tidak normal lagi menuju
ke arah yang lebih baik di masa mendatang.
Cerpen Rumah Tak Berpintu karya Tarmizi A. Sultan (Sijori
Mandiri, Minggu 5 September 2010) tidak hanya mem-

180 SUHARDI
perlihatkan kepiawaian sang penulis dalam bermain imajinasinya
melainkan juga mengandung kekayaan kritik sosial terhadap
realitas yang terjadi saat ini. Kritik sosial tersebut sebagaimana
bila diselami mulai dari judul yang dipilih, latar cerita, hingga
watak tokoh. Hal tersebut sebagaimana dapat dikemukakan
berikut ini.

Permainan Imajinasi
Umar Junus (salah seorang kritikus sastra dan budayawan
nasional Indonesia) dalam sebuah seminar sastra di Universitas
Bung Hatta Padang pernah mengatakan bahwa kekuatan sebuah
cipta sastra adalah pada kemampuan pengarang (sastrawan)
dalam mempermainkan daya imajinasinya. Bahkan Mursal Esten
(budayawan nasional Indonesia) dalam bukunya “Pengantar
Teori dan Sejarah Sastra” memperkuat pandangan Junus dengan
mengatakan berkualitas tidaknya sebuah cipta sastra sangat
ditentukan kekuatan imajinasi yang digunakan pengarang di
dalam karyanya. Permainan imajinasi yang dimaksud adalah
ilusi-ilusi atau angan-angan positif yang timbul dan bergejolak
di dalam pikiran pengarang untuk mewujudkan sesuatu yang
lebih baik di masa datang. Saini KM mengatakan bahwa beda
cipta sastra dengan cipta sejarah hanyalah karena cipta sastra
memasukkan unsur imajinasi sementara cipta sejarah tidak.
Salah satu contoh permainan imajinasi dalam cerpen Rumah
Tak Berpintu karya Tarmizi Asultan adalah pilihan judul dari
cerpen tersebut. Pembaca atau penikmat sastra akan berkerut
keningnya, sebab mana mungkin ada rumah tidak memiliki pintu.
Kira-kira rumah apakah itu? Dari mana penghuni rumah akan
masuk jika rumah itu tak berpintu? Ini rumah atau sebuah kotak
yang bersegi empat, semua bagiannya tertutup rapat.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 181


Permainan imajinasi yang dilakukan pengarang berikutnya
adalah informasi tentang sebuah rumah megah di kota yang tidak
memiliki pintu. Kata ‘megah’ dan ‘pintu’ yang digunakan atau
dipilih pengarang jelas lebih dekat kepada imajinasi sebab sang
tokoh cerita hanya mendengarkan langsung dari cerita orang-
orang yang pernah masuk ke rumah megah tersebut. Sang tokoh
tidak melihat secara langsung bagaimana sesungguhnya rumah
megah yang dimaksud. Begitu juga dengan penyebutan kata
‘pintu’. Pintu yang dimaksud pengarang disini tidaklah pintu yang
sesungguhnya yang terdapat pada rumah megah tersebut
melainkan sebuah lebih ke hakikat pintu itu sendiri. Sebuah
rongga yang dapat digunakan oleh siapa saja untuk masuk dan
keluar rumah.

Latar Cerita
Permainan imajinasi berikutnya yang dilakukan pengarang
adalah penyebutan ‘kota’ sebagai tempat yang wah. Tempat yang
sangat menjanjikan untuk semua orang yang datang memperoleh
kehidupan yang lebih baik. Keberhasilan tokoh (saya) dalam
cerpen ini menjadi saudagar kaya sebetulnya hanyalah kebetulan
sebab betapa banyak di kota orang-orang yang hidupnya morat
marit. Jangankan menjadi saudagar kaya raya hidup serba
berkecukupan saja susah. Lihat saja realitas yang ada di kota-
kota besar, seperti Jakarta atau Batam. Batam misalnya, betapa
banyak kita jumpai rumah-rumah kumuh yang tak layak huni di
sepanjang jalan. Begitu juga Jakarta, betapa banyak masyarakat
yang hidup di bawah kolong jembatan. Jadi, kota dan desa
realitasnya adalah sama. Siapa saja yang mau bekerja keras,
memiliki ilmu dan keterampilan yang cukup, serta selalu

182 SUHARDI
mendekatkan diri kepada Allah, insya allah akan sukses. Yang
susahnya itu adalah bila hidup serba menanggung (serba kurang,
yaitu kurang ilmu, kurang keterampilan, kurang keyakinan, dsb).
Hal ini sebagaimana kata pepatah “ berburu ke padang datar,
rapat rusa belang kaki, berguru kepalang ajar, laksana bunga
kembang takjadi.”

Watak Tokoh
Tokoh-tokohyang terdapat di dalam cerpen Rumah Tak
Berpintu adalah tokoh-tokoh yang tegar, memiliki keyakinan
yang tinggi, dan pekerja keras. Salah satu tokohnya adalah Ramli.
Ramli karena pendidikannya yang cukup, pekerja keras,
memiliki keyakinan yang tinggi dan dekat dengan Allah, ia
berhasil diterima disebuah kantor pemerintah (walikota). Tokoh
saya juga demikian. Sejak kecil sudah dipercaya orang tuanya
untuk mengolah kelong milik keluarga. Melalui kelong inilah
keluarga tokoh “saya” menggantungkan kehidupannya. Tidaklah
heran jika tokoh saya ini setelah pindah ke kota berhasil (menjadi
saudagar kaya). Sebetulnya, tokoh saya sewatu di desa juga telah
berhasil. Melalui hasil kelong yang diolahnya, tokoh saya berhasil
memenuhi kebutuhan ekonomi orang tua dan adik-adiknya.
Walaupun itu atas nasehat yang selalu diberikan temannya
(Ramli). Siapa saja yang mau bekerja keras, memiliki ilmu yang
cukup, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah pasti
kehidupannya baik.
Kritik sosial yang cukup pedas terdapat di dalam cerpen ini
terdapat pada paragraf terakhir, yaitu “Ternyata rumah megah
itu tidak memiliki pintu bagi orang-orang akar rumput yang tidak
memiliki nyali untuk berurusan ke rumah tersebut. Nyali besar

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 183


sangat dibutuhkan dalam hidup bahkan untuk membuka sebuah
pintu rumah megah.
Pengarang melalui tokoh Ramli dan saya menyatakan dengan
nyali yang dimiliki berhasil menemukan pintu rumah megah itu.
Tiada nyali berarti pintu tak bisa dibuka bahkan pintu tidak bisa
ditemukan.

Harian Umum Sijori Mandiri, 19 September 2010

184 SUHARDI
Bau Busuk dalam Cerpen
“A roma Bangkai Depan Rumah
Mantan Penghulu”

C ipta sastra, baik itu cerpen, novel, maupun puisi sarat


dengan pesan moral. Pesan yang berhubungan dengan sifat-
sifat luhur kemanusiaan atau upaya memperjuangkan hak dan
martabat manusia. Yang jelas, pesan yang dikandung dimaksud-
kan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan
bermartabat.
Semua itu tentunya juga tidak lepas dari kepedulian para
sastrawan terhadap lingkungan tempat ia berada. Segala bentuk
yang berbau kejahatan, kekejian, keasusilaan, ketidakadilan, dan
sebagainya akan menjadi daya dorong yang cukup kuat agar
pengarang menarik pelatuk sehingga melahirkan ledakan yang
cukup dasyat. Ledakan tersebut biasanya diwujudkannya dalam
bentuk kritik moral atau sosial yang disampaikannya di dalam
cipta sastranya, apakah dalam bentuk cerpen, puisi maupun
novel. Sasaran yang diinginkan pengarang adalah adanya
perbaikan oleh pihak penguasa terhadap kondisi yang kurang
baik hari ini agar di masa datang lebih baik.
Kenny (1966:89) mengatakan, “Biasanya unsur moral di
dalam cipta sastra dimaksudkan sebagai saran yang berhubungan
dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat
diambil melalui cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia
merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang
tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah
kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 185


pergaulan.” Namun yang lebih utama hadirnya cipta sastra
adalah sebuah penawaran yang dilakukan pengarang kepada
pembaca tentang kehidupan yang ideal. Kehidupan yang dapat
diterima oleh kelayak ramai. Hal ini sesuai dengan pandangan
yang dikemukakan Plato bahwa manusia adalah makhluk sosial,
yaitu makhluk yang hidup bersama-sama (bermasyarakat).

***

Penyair dan cerpenis Tarmizi A. Sultan dalam dunia cipta


sastra Indonesia tentunya tidak asing lagi. Selain dikenal sebagai
penyair piawai, Tarmizi A. Sultan juga dikenal sebagai tokoh
pendiri dan Pembina komunitas seni Rumahitam di Batam.
Sering mewakili Provinsi Kepulauan Riau dalam ajang pentas
baca puisi tingkat nasional. Dan, baru-baru ini, ia mewakili
Provinsi Kepulauan Riau dalam pertemuan sastrawan nusantara
di Brunei Darussalam. Bahkan pada ajang baca puisi di Brunai
Darussalam, Tarmizi A. Sultan berhasil memperoleh
penghargaan sebagai pembaca puisi terbaik. Tidaklah
mengherankan karena sebahagian besar hidup Tarmizi A. Sultan
sepertinya telah dihabiskan untuk pengembangan dunia seni
sastra.
Cerpen yang berjudul “Aroma Bangkai Depan Rumah Mantan
Penghulu” (ABDRMP) merupakan salah satu karya Tarmizi A.
Sultan yang cukup baik. Cerpen ini mengisahkan tokoh aku yang
sewaktu melewati rumah megah seorang mantan penghulu
mencium bau yang tidak sedap. Bau itu sepertinya adalah bau
bangkai. Namun saat dicari-cari bangkai apakah gerangan tidak
berjumpa. Namun dari asal pelacakan, sumber bau tersebut
sepertinya berasal dari depan rumah mantan penghulu yang

186 SUHARDI
rumahnya sangat megah di Kampung Barebarelanglang. Mantan
penghulu kota tersebut bernama Haji Mansyor. Tokoh aku sangat
heran, mengapa orang lain yang sering melewati jalan tersebut
sepertinya tidak mencium bau busuk tersebut. Apakah indra
penciuman mereka tidak normal lagi sehingga tidak bisa
merasakan bau yang tidak sedap tersebut.
Tokoh aku berikutnya memperoleh informasi bahwa
sesungguhnya salah seorang dari penjaga keamanan rumah
megah itu ada yang mencium bau tak sedap itu. Kemudian ia
melaporkannya kepada sang majikan. Namun apa yang terjadi
berikutnya? Penjaga keamanan tersebut diberhentikan (dipecat)
dari tugasnya. Sang majikan menuduh bahwa penjaga keamanan
tersebut telah berbuat lancung sehingga perlu diberikan sanksi,
yaitu diberhentikan. Awalnya sang majikan mencoba mencari
kebenaran yang disampaikan penjaganya tersebut akan tetapi ia
tidak menemukannya sehingga sang majikan mengartikan
perbuatan sang penjaganya sebagai perbuatan penghinaan
terhadap dirinya. Oleh sebab itulah, ia memberikan sanksi, yaitu
memecat salah seorang anggota penjaga keamanannya tersebut.
Sejak peristiwa tersebut, anggota penjaga keamanan yang lain
tidak berani melakukan perbuatan yang sama dilakukan
sahabatnya. Walaupun sebetulnya ia juga mencium bau busuk
tersebut tetapi ia mengabaikannya saja, sehingga hari-hari
berikutnya menjadi sesuatu yang sudah biasa. Mereka tidak mau
menerima sanksi dipecat sebab saat ini untuk memperoleh kerja
sangat sulit. Apalagi bekerja di rumah seorang pejabat terkenal.
Dengan apa anak-anaknya nanti akan dibiayai penghidupannya.
Dengan apa nantinya mereka beli beras, bayar uang sekolah anak,
dan lain sebagainya.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 187


***
Cerpen yang berjudul, “Aroma Bangkai Depan Rumah
Mantan Penghulu” memiliki pesan moral yang layak untuk
dimaknai pembaca atau penikmatnya. Dalam cerpen tersebut
banyak terkandung kode-kode (saya meminjam istilah yang
dikemukakan kritikus sastra berkebangsaan Belanda, Prof. A.
Teeuw dalam bukunya Membaca dan Menilai Sastra), baik kode
sastra maupun kode budaya. Semua itu akan mudah dijumpai
bila para penikmat sastra, khususnya cerpen mampu menangkap
kode-kode yang terdapat di dalam cerpen tersebut.
Kode sastra yang saya maksud seperti bau bangkai, penjaga
yang dipecat hanya disebabkan ia menyampaikan ada bau busuk
dirumah sang majikannya, penghulu kota, dan sebagainya. Bau
bangkai yang dimaksud pengarang disini pastilah bukan makna
denotatif (sesungguhnya) melainkan makna konotatif (kiasan).
Seorang sastrawan yang piawai tentu tidak akan menyatakan
sesuatu dengan lugas. Biasanya meyatakannya dalam bentuk
lain. Hal ini dilakukan pengarang untuk meloloskan karyanya
dari seleksi sang penguasa (baca: pencekalan). Hal ini juga yang
dilakukan para pengarang Indonesia pada masa-masa penjajahan
dulu, agar karyanya lolos dan bisa diterbitkan. Lihat saja penyair
besar, seperti Chairil Anwar yang memilih simbol “binatang
jalang” dalam puisinya yang berjudul Aku untuk menyampaikan
ketegaran hatinya untuk maju terus pantang mundur. Seterusnya
juga dapat dilihat pada beberapa karya sastra Putu Wijaya, seperti
Stasiun, Telegram, dan sebagainya.
Bau busuk yang dimaksud pengarang disini adalah indikasi
korupsi yang telah dilakukan sang penghulu kota saat ia
menjabat. Hal ini pulalah yang menyebabkan sang mantan

188 SUHARDI
penghulu memecat salah seorang penjaga keamanannya karena
telah berani menuduhnya sebagai koruptor.
Kode budaya yang terkandung di dalam cerpen ini adalah
potret para penguasa saat ini yang selalu cenderung korup. Saat
sebelum menjadi penguasa selalu berkoar-koar, “Mari basmi
korupsi!”, akan tetapi menjadi sebaliknya ketika yang bersang-
kutan sudah menduduki kursi kekuasaan. Semuanya menjadi
halal. Lupa diri. Namun masyarakat pada umumnya tidak akan
melupakan janji itu.
Keistimewaan lain dari cerpen Aroma Bangkai Depan Rumah
Mantan Penghulu” adalah pesan moral yang disampaikan
pengarang kepada pembacanya. Pesan moral tersebut adalah
terimalah nasihat yang baik, walaupun dari bawahan sekalipun.
Karena itulah teman yang baik, yaitu teman yang selalu
menasehati kita. Jangan sombong, mentang-mentang punya
jabatan orang lain mau dilecehkan saja. Ingat jika kelak tidak
lagi menjabat (jadi rakyat biasa). Jabatan itu hanyalah sementara,
tidak dipakai selamanya. Berperilakulah sebagai pengayom agar
selalu dicintai dan disenangi seluruh masyarakat.

Harian Umum Sijori Mandiri, 3 Oktober 2010

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 189


Saya dalam Cerpen “Berebut Kursi
Penghulu Berebarelanglang”

C ipta sastra memang tidak bisa lepas dari realitas. Hal ini
karena bahan baku yang akan dijadikan produk cipta sastra
selalu berkaitan dengan realitas yang ada. Sejarah telah banyak
membuktikan bahwa pada umumnya karya sastra besar selalu
berkaitan dengan realitas masa itu. Sebut saja diantaranya novel,
Tenggelamnya Kapal van der Wicjk karya HAMKA; drama
keluarga berjudul Tampomas II; begitu juga dengan film yang
cukup sukses, yaitu Titanic yang dibintangi Leonardo de Caprio
dengan sutradara James Cameron. Saking dekatnya dengan
realitas, sering para penonton dan pembaca ragu: apakah yang
disajikan itu realitas atau imajinasi? Padahal, semua itu lebih
banyak unsur fiktifnya ketimbang dari faktanya. Di sinilah
memang terlihat kepiawaian pengarang atau penulis dalam
memadu dua unsur tersebut sehingga terkesan fakta semua yang
disajikannya.
Kepiawaian pengarang dalam meramu unsur fiktif dan fakta
tidak lain disebabkan di dalam diri pengarang tersebut sudah
terdapat dua daya (kemampuan), yaitu daya kreatif dan daya
imajinatif. Dengan daya kreatif yang dimiliki, seorang pengarang
dapat saja menjadikan segala yang ada di sekitarnya menjadi
bahan dahan penciptaan karyanya. Apakah dalam bentuk cerpen,
novel, drama, maupun puisi. Pengarang yang piawai sangat jarang
mengalami kekurangan stok/bahan cerita. Berbeda tentunya
dengan pengarang yunior atau pemula. Sementara daya

190 SUHARDI
imajinatif adalah kemampuan pengarang mengimajinasikan
sesuatu yang tampak (realitas) tersebut sehingga hadir sosok yang
lain (realitas dalam imajinasi) yang lebih sempurna bahkan
melampaui sesuatu yang ada. Besar-kecil dan kuat lemahnya
permainan imajinasi yang dilakukan pengarang sangat menen-
tukan pula berkualitas tidaknya cipta sastra yang dilahirkan.
Budi Darma (sastrawan yang juga guru besar sastra
Universitas Negeri Surabaya) dalam sebuah diskusi sastra
mengatakan bahwa semakin sedikit kadar imajinasi dalam cipta
sastra maka semakin dekatlah cipta sastra itu dengan realitas
alias semakin kurang berkualitas. Begitu juga sebaliknya, semakin
kuat kadar imajinasi dalam cipta sastra maka semakin
berkualitaslah cipta sastra tersebut. Namun yang jelas adalah
realitas (fakta) dan imajinasi (fiktif) adalah dua unsur yang harus
ada dalam sebuah cipta sastra.
Sebagai mahluk sosial, pengarang hidup bersama-sama
masyarakat. Sama-sama merasakan susah, senang, sakit, duka,
dan sebagainya bersama-sama masyarakat sekitarnya. Baik atas
kebijakan penguasa yang berpihak pada masyarakatnya atau
sebaliknya, yaitu para penguasa yang zalim terhadap rakyatnya.
Kelebihan pengarang dibanding anggota masyarakat lainnya
adalah pengarang mampu menyampaikan keluh kesahnya (kritik)
kepada penguasa melalui wadah yang disebut cipta sastra.
Apakah bersifat cacian, makian, kutukan, maupun bentuk-
bentuk emosi lainnya. Baik langsung maupun tidak langsung
(sindiran). Namun yang jelas dari semua itu, pengarang sebagai
anggota masyarakat ingin menggugah para penguasa untuk selalu
memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Jangan bersikap
korup, zalim, dan sombong. Semuaya adalah masukan kepada
penguasa agar bekerja lebih baik lagi dan jangan lupa diri.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 191


Cerpen berjudul, “Berebut Kursi Penghulu Barebarelanglang”
karya Tarmizi A. Sultan (Sijori Mandiri, Minggu 3 Oktober 2010)
menceritakan sikap istri tokoh (dalam cerita menyebut dirinya
“saya”) kesal atas hingar-bingar media massa (surat kabar) yang
hampir setiap hari menyajikan berita para kandidat yang telah
mengatur langkah dan bersiasat menuju kursi penghulu kota
Barebarelanglang. Padahal waktu pemilihan penghulu kota yang
baru masih lama. Ada kandidat yang telah memiliki kendaraan
politik untuk maju; ada pula yang berusaha dengan cara
mengajukan lamaran ke partai lain agar dapat diusung menuju
kursi penghulu kota yang baru. Di antara kandidat itu, memang
ada yang sudah dikenal sebagai tokoh dalam masyarakat dan
ada pula sebagai tokoh karbitan. Terutama kandidat yang
memiliki kantor besar. Mereka, pada bulan puasa, turun
memberikan sumbangan ke masjid-masjid melalui kedok buka
puasa bersama serta polesan slogan berbuat amal.
Cara-cara seperti itu sangat tidak disukai tokoh ‘saya’, bahkan
menyebabkan dirinya semakin dongkol. Menurut tokoh ‘saya’,
dalam ajaran agama (Islam) jelas-jelas dinyatakan jika ingin
segala amal baik yang telah dilakukan mendapatkan berkah dari
Allah SWT, maka janganlah dilakukan secara ria (sombong).
Bahasa filosofinya, “Jika ingin tangan kanan memberikan sesuatu
maka jangan sampai tangan kiri tahu!”.
Tokoh ‘saya’ sangat dongkol kepada para kandidat yang selalu
menyatakan bahwa bagi-bagi sembako yang dilaksanakannya
adalah suatu kewajibannya sebagai hamba Tuhan kepada
sesamanya. Kalau memang benar demikian, kok baru sekarang
dilakukan? Kemana mereka selama ini?
Dari beberapa kandidat yang ada, ternyata ada satu kandidat
yang mampu menarik simpati tokoh ‘saya’ sebab kandidat
tersebut tidak abu-abu. Tanpa diduga ternyata pilihan tokoh

192 SUHARDI
‘saya’ sama dengan pilihan istrinya, yaitu salah satu kandidat
terbaik, tidak korup, dan layak menduduki penghulu kota
periode berikutnya. Tokoh ‘saya’ sangat kagum kepada istrinya
sebab memiliki kepekaan politik yang cukup brilian. Harapan
tokoh ‘saya’ dan istrinya adalah tokoh yang diidolakannya
tersebut menang dalam pemilu yang akan dilaksanakan beberapa
bulan nanti.
Sosok tokoh ‘saya’ yang terdapat pada cerpen ini memper-
lihatkan sosok seorang suami yang baik. Suami yang ingin
membahagiakan sang istri tercintanya. Ia rela terusik tidurnya
demi mendengarkan keluhan istrinya. Ia rela ikut terlibat
memikirkan calon penghulu kota Barebarelanglang yang akan
memimpin ke depan demi menyenangkan hati istrinya. Walaupun
sesungguhnya ia tidak terlalu tertarik. Bahkan tokoh ‘saya’
diakhir cerita juga ikut mendoakan semoga pilihan istrinya itu
berhasil memperoleh kemenangan bersaing dengan kandidat
lainnya.
Karakter tokoh ‘saya’ dalam cerpen ini memperlihatkan sosok
tokoh yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Tidak hanya
itu, tokoh ‘saya’ juga memiliki karakter tokoh yang tidak ambil
pusing terhadap realitas yang ada di sekitar lingkungannya alias
tokoh yang tak mau usil. Siapapun yang akan jadi asalnya melalui
proses yang benar, akan diterimanya dengan baik. Nilai positif
lainnya, tokoh ‘saya’ merupakan tokoh yang rela berkorban demi
sang istri. Sungguh sosok lelaki (suami) yang susah dicari, sebab
tidak semua suami memiliki kepedulian yang tinggi kepada
istrinya. Sebuah sikap yang perlu ditiru para suami.

Harian Umum Sijori Mandiri, 18 Oktober 2010

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 193


Novel “Ra sa Memang Tak Pernah Bisa Dipaksa”
Nilai Ra sa di Mata Pengarang

D unia kepengarangan novel Indonesia, khususnya daerah


Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) baru-baru ini, disema-
rakkan dengan lahirnya sebuah novel yang berjudul Rasa
Memang Tak Pernah Bisa Dipaksa . Novel ini ditulis oleh seorang
novelis muda dari Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yaitu
Muhammad Candra.
Dari sosok penulisnya, Muhammad Candra, yang berpe-
nampilan sederhana, ramah dan sopan, ternyata di dalam dirinya
juga tersimpan sejuta keistimewaan. Selain dikenal sebagai sosok
dosen muda, dia juga dikenal sebagai seorang penyair yunior
yang berbakat. Telah beberapa kali diundang membacakan
puisinya di beberapa tempat di Kepri. Bahkan baru-baru ini juga
diundang untuk membacakan beberapa sajaknya di Taman
Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Dia juga tergabung dalam
Kelompok Komunitas Penyair Kota (KPK).
Novel ini mendapat sambutan baik dari kalangan penikmat
sastra golongan muda di Kepri. Terbukti novel ini laris manis di
pasaran. Guna memenuhi permintaan peminatnya, novel ini
berencana untuk mencetak ulang. Keistimewaan novel ini adalah
warna baru dalam tema. Ada beberapa hal yang dapat dicermati
pada novel RMTBD karya Muhammad Candra ini.
Pertama, dari judul yang ditawarkan. Pilihan kata yang
membangun judul novel ini berimplikasi besar terhadap
keingintahuan pembaca terhadap isi novel ini. Judulnya menjadi

194 SUHARDI
daya dorong tersendiri bagi para pencinta novel Indonesia untuk
cepat-cepat memilikinya. Kedua, dari segi warna sampul yang
disajikan. Warna pink (merah muda) yang berpadu dengan warna
putih menimbulkan sebuah kesan tersendiri. Bahkan menurut
sebuah ilmu percintaan warna pink mengantarkan makna cinta
yang sedang bergelora. Warna ini tentunya juga memiliki
hubungan yang erat dengan judul dan isi novel. Ketiga, dari segi
ilustrasi kulit muka novel. Sosok lelaki dan warna muda yang
sedang memegang bunga tentunya menimbulkan kesan
tersendiri. Cuma saja di dalam ilustrasi sampul novel RMTB ini
warna bunganya tidak ditampilkan. Akan tetapi jika dilihat dari
segi bentuknya, seperti bunga yang dipegang sang wanita adalah
bunga ros. Sejenis bunga yang selalu digunakan seseorang untuk
menyatakan rasa sayang dan cintanya kepada sang kekasih yang
dicintainya.
Dari sisi lain, sebagaimana yang dikemukakan Prof. Dr.
Mursal Esten dalam sebuah bukunya yang berjudul Pengantar
Teori & Sejarah Sastra Indonesia bahwa karya itu lahir karena
adanya reaksi atas kondisi masyarakat, hal itu biasanya
disampaikan pengarang dengan menggunakan gaya bahasa yang
cukup halus agar masyarakat tidak merasa tersinggung. Akan
tetapi mampu menangkap dengan tepat pesan-pesan yang disam-
paikan pengarang didalam karyanya.
Oleh sebab itulah, guna menangkap pesan-pesan apa yang
disampaikan pengarang dalam novel ini kepada pembaca/
penikmatnya, novel RMBTBD perlu dilakukan semacam
pembedahan. Abrams —salah seorang kritikus sastra dunia—
menawarkan beberapa pendekatan yang dapat digunakan sebagai
pisau pembedah sastra, yaitu: (1) pendekatan ekpresif, yaitu
pendekatan yang lebih menitik beratkan pada hubungan karya

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 195


sastra dengan pengarangnya sendiri; (2) pendekatan mimesis,
yaitu pendekatan yang lebih menitik beratkan hubungan karya
sastra dengan realitas masyarakat yang ada; (3) pendekatan
pragmatik, yaitu pendekatan yang lebih memfokuskan diri pada
hubungan teks sastra dengan pembaca sebagai penikmat dan (4)
pendekatan obyektif, yaitu pendekatan yang lebih menitik
beratkan teks sebagai sesuatu yang otonom.
Dengan meminjam pendekatan yang ditawarkan Abrams
tersebut, novel ini dapat dilihat dari beberapa sisi, yaitu dari
aspek sensitivitas yang dimiliki seorang pengarang, pemanfaatan
imajinasi oleh pengarang, intelektualitas pengarang dan realitas
yang ada disekitar pengarang.

Sensitivitas Pengarang
Dengan daya kreativitas dan kekuatan daya sensitivitas yang
dimiliki pengarang terhadap realitas yang ada di sekitarnya,
menyebabkan pengarang tidak pernah kekurangan obyek
penulisan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Prof. Dr.
Hasanuddin W.S. —salah seorang budayawan Nasional
Indonesia asal Kepri — pada dalam salah bukunya yang berjudul
Analisis Fiksi Indonesia bahwa sebuah karya akan lahir jika sang
penulis memiliki dua modal pokok, yaitu kreativitas dan
sensitivitas.
Sejalan dengan pandangan itu, sensitivitas yang dimiliki
pengarang dapat ditandai dari kepekaannya dalam menangkap
realitasya yang ada di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Terutama mereka-mereka yang sedang dipermainkan oleh “rasa”
(suka, sayang, cinta, atau cemburu); bahkan —kalau mau berkata
jujur setiap orangpun pernah mengalaminya. Bahkan dimata

196 SUHARDI
sang penulis, sesuatu yang disebut “rasa” ini bisa dikembangkan
menjadi sesuatu yang berharga (karya). Tokoh-tokoh yang
dihadirkan pengarang dalam novel RMTBD ini adalah tokoh yang
sedang dipermainkan oleh sesuatu yang disebut rasa tersebut.
Terutama tokoh utama yang bernama Guru Zack dan Anggie.
Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah dosakah bila
di dalam diri ini memiliki rasa (sayang, cinta) itu? Jawabnya
tentunya tidak ada suatu larangan atau dosa menyayangi dan
mencintai lawan jenisnya.

Imajinasi Pengarang
Walaupun realitas yang disajikan pengarang di dalam novel
Rasa Memang Tak Pernah Bisa Dipaksa ini begitu dekat akan
tetapi sesuatu yang tidak dapat dibantah adalah realitas yang
disajikan itu bukanlah realitas murni. Melainkan hasil perpaduan
realitas yang ada di sekitar pengarang dengan realitas yang ada
di dalam diri pengarang (imajinasi pengarang). Sejalan dengan
hal tersebut, pemanfaatan unsur imajinasi dalam novel RMTBD
ini terlihat jelas masih belum sempurna. Banyak terdapat ruang-
ruang kosong yang dibiarkan begitu saja oleh pengarang di dalam
cerita ini. Hal ini juga yang menyebabkan konflik yang terjadi
antar tokoh kurang begitu hidup.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 197


Cerpen Riki Utomi “Gadis Pelantai”
Potret Guru Ma sa Depan

S urat kabar Haluan Kepri edisi Minggu, 28 Nopember 2010


memuat cerpen buah karya Riki Utomi berjudul Gadis
Pelantai. Cerpen ini menurut saya sangat bagus karena isinya
sarat dengan pesan-pesan moral. Cerpen ini perlu dibaca oleh
para guru untuk dicermati amanat yang terkandung di dalamnya.
Bahasa yang digunakan penulis dalam cerpen ini lugas dan sedikit
bermain dengan gaya ironinya. Cerpen Gadis Pelantai karya
Riki Utomi pilihan sang redaktur sangat tepat, terutama dalam
ruang memperingati hari guru saat ini.
Jika dicermati dengan hikmat, tugas seorang guru sebetulnya
tidak hanya mengajar (menyampaikan materi pelajaran kepada
siswa); melainkan juga di pundak guru terbeban tugas untuk
mendidik (mengubah perilaku anak didik dari tidak baik menjadi
baik). Mental anak didik hasil kegiatan belajar mengajar disebut
berhasil bila terjadi perubahan dari yang tidak baik menjadi baik,
bukan sebaliknya. Keberhasilan kegiatan mendidik dan mengajar
yang dilakukan guru tidak hanya ditunjukkan meningkatnya
pengetahuan (knowlege atau cognitive) dan keterampilan
(psikomotor/skill) anak didik, melainkan juga diikuti perbaikan
mentalnya (affective). Dalam ranah pendidikan sering disebut
dengan trilogi pendidikan, yaitu cognitive, affective, dan
psicomotor.
Namun, dalam pelaksanaannya yang lebih menonjol adalah
aspek cognitive-nya saja, sementara yang dua ranah lagi sering

198 SUHARDI
terabaikan. Akibatnya, lahirlah produk pendidikan yang kaya
ilmu pengetahuan tapi miskin akhlak. Kalau mereka mendapat
kesempatan menjadi pimpinan maka mereka akan menjadi
pimpinan yang cenderung korup.
Mengajar bagi seorang guru bukanlah tugas yang sulit sebab
semua orang dapat melakukannya, asalkan ia memiliki ilmu
pengetahuan yang cukup. Namun, yang sulit itu adalah mendidik.
Hanya guru yang memiliki ilmu mendidik yang dapat melaku-
kannya. Bukti kepemilikan ilmu mendidik ini ditunjukkan dalam
bentuk semacam SIM, yaitu “Akta Mengajar”. Hal ini jugalah
yang menyebabkan mengapa guru yang belum memperoleh akta
mengajar tersebut diwajibkan untuk mengambilnya. Mereka
yang telah memperoleh akta mengajar tersebut biasanya dapat
menempatkan dirinya dengan baik di tengah-tengah anak
didiknya dan menjalankan tugasnya dengan baik (mengajar dan
mendidik). Bahkan mereka sering dijadikan model oleh para anak
didiknya. Hal inilah yang terjadi pada sosok Guru Azmi (yang
sering di sapa Kak Azmi) sebagai potret guru masa depan.
Potret yang ideal tersebut dipaparkan tokoh aku dalam
cerpen Gadis Pelantai karya Riki Utomi berikut ini.
Pertama, sang guru selalu tampil ceria. “ Dia perempuan yang
kami senangi. Perawakannya sederhana dan gayanya pun
sederhana. Ia selalu tampil ceria, nyaris tak ada secuil pun
masalah hinggap pada wajahnya yang masih remaja itu.”
Kedua, bersahaja dan mengundang simpati siswa. “Kami
senang dengannya karena sikapnya yang bersahaja atau
perangainya yang mengundang simpati siapa saja.”.
Ketiga, penuh senyum kepada siapa saja. “... aku melihatnya
penuh senyum kepada siapa saja”.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 199


Keempat, tidak senang dipuji melainkan lebih mengajak untuk
saling menghargai. “... ia tidak senang dipuji tapi hanya senang
mengajak kami sama-sama untuk saling menghargai”.
Kelima, memiliki sikap mengayomi dan mendidik (dirasakan
siswa laksana orang tuanya sendiri). “Tak tampak muka
marahnya atau rasa jengkelnya kepada kami. Ia tetap cair,
bening, lembut, dan penuh senyum kepada kami. Ia seperti ibuku
di rumah. Ia selalu memberikan pesona lain di kelas.
Keenam, mampu memotivasi semangat belajar siswa. “...Di
siang yang letih ini sebenarnya aku tak dapat berbuat lebih giat
dalam belajar dan tak mudah untuk lebih fokus menanggapi
mata pelajaran akhir. Tapi pada pelajaran Bu Azmi, entah
mengapa aku dapat lebih sedikit kosentrasi... Bu Azmi, Gadis
Pelantai itu diam-diam telah memberikan spirit yang
menendang-nendang dalam hati kami. Diam-diam aku mencuri
semangatnya dalam belajar, meski dia selalu tampak bersahaja
dengan sikap jalannya yang khas itu...”
Dan, ketujuh, ia disenangi para siswa. “ Aku senang dengan
Bu Azmi. Dia dewasa. ... teman-temanku sangat senang
dengannya”.
Ketujuh indikator tersebut dapat dijadikan alat evaluasi oleh
setiap guru untuk mengukur bagaimanakah sosoknya di mata
siswa. Ketujuh indikator tersebut juga merupakan indikator yang
sangat penting untuk diperhatikan sekaligus potret guru masa
depan yang dibutuhkan.

Harian Umum Haluan Kepri, 12 Desember 2010

200 SUHARDI
Tema Cinta dalam Cerpen Indonesia

S ebagaimana yang telah saya sampaikan juga pada tulisan saya


lalu (Surat Kabar dan Ruang Sastra) bahwa peran surat
kabar (baca: koran) dalam memajukan dan mengembangkan
sastra Indonesia sangat besar. Tersedianya halaman sastra dan
budaya yang berisi cerpen, puisi, dan esai sastra sangat besar
dampaknya. Terutama dalam melahirkan sastrawan-sastrawan
besar Indonesia. Sebut saja diantaranya adalah Gus tf Sakai,
Yusrizal KW, Haris Effendi Thahar, Dorothea Rosa Herliany,
Afrizal Malna, dan sederet nama lain yang telah dibesarkan
namanya oleh surat kabar. Bahkan penyair yang sudah besar
pun kini lebih memilih surat kabar sebagai media publikasi karya-
karyanya, sebut saja diantaranya adalah Hamid Jabbar, Putu
Wijaya, Taufik Ismail, W.S. Rendra, atau —Presiden Penyair
Indonesia— Sutradji Calzoum Bachri.
Melalui peran surat kabar ini, juga telah lahir berbagai buku
antologi sastra Indonesia. Baik itu antologi puisi, cerpen,
maupun novel Indonesia. Hal ini sebagaimana yang mudah kita
temui saat ini di berbagai toko buku. Paus Sastra Indonesia HB.
Jassin dalam bukunya, “Koran dan Sastra Indonesia” juga
mengakui bahwa adanya ruang sastra dan budaya pada surat
kabar telah membawa angin segar terhadap perkembangan sastra
Indonesia ke depan. Jassin mengatakan bahwa ruangan semacam
ini sangat berguna untuk melatih bakat menulis para penulis
pemula. Jika tidak, bakat-bakat terpendam semacam itu tidak
pernah mendapat kesempatan untuk mempublikasikan diri

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 201


sehingga sulit munculnya pengarang-penagarang besar di
kemudian hari. Bahkan Jassin menjelaskan lagi bahwa sebahagian
besar pengarang Indonesia yang ada sekarang memulai karir
kepengarannya pada masa remaja di surat kabar.
Mencermati tema-tema yang disuguhkan cerpen Indonesia,
umumnya didominasi oleh tema-tema cinta. Salah satunya
adalah cerpen yang berjudul Elegi Santriwati karya Fatih Muftih
(Haluan Kepri, Minggu, 13 Februari 2011. Bahkan tidak hanya
cerpen, sebahagian tema-tema novel Indonesia juga bertemakan
cinta. Sebut saja diantaranya adalah Siti Nurbaya, Salah Asuhan,
Layar Terkembang, Belenggu, Tenggelamnya Kapal van der
Wicjk, dan sederet lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa permasalahan cinta di dalam sastra Indonesia sampai hari
ini ternyata masih belum tuntas. Bahkan saya melihat juga pada
jenis lagu-lagu yang lahir saat ini dan berhasil membumi juga
masih bertemakan cinta. Apakah yang berjenis dangdut, pop,
rock, maupun keroncong.
Dunia cerpen Indonesia saat ini sudah memperlihatkan
perkembangan baru yang cukup berbeda dengan sebelumnya.
Terutama bila dilihat dari segi latar cerita, tokoh, dan tema cinta
yang dipilih. Salah satunya dapat dilihat melalui cerpen Elegi
Santriwati ini.
Pertama, ditinjau dari sudut latar, cerpen karya Fatih Muftih
ini menggunakan latar sebuah lingkungan pesantren yang ada di
kota Tanjungpinang. Sepanjang pengetahuan saya, tidak banyak
cerpen-cerpen Indonesia sebelumnya yang mau mengangkat dan
memilih lingkungan pesantren, kecuali puisi-puisi karya Mustofa
Bisri, Acep Zamzam Noor, dan Ainun Najib. Latar yang sering
muncul umumnya adalah glamour masyarakat kota, gunung,
pantai, dan gedongan. Inilah cerpen satu-satunya sepanjang

202 SUHARDI
pengetahuan saya yang berani memilih latar, yaitu ‘pesantren’.
Suasana yang lazim di lingkungan pesantren adalah suasana santri
yang hampir setiap hari sebahagian besar kehidupannya
dihabiskan untuk memperdalam ilmu agama dan lebih
mendekatkan diri kepada Allah, Sang Maha Pencipta alam
semesta.
Kedua, tokoh cerita yang dihadirkan dalam cerpen Elegi
Santriwati ini adalah tokoh-tokoh pesantren yang biasanya
memiliki nama sapaan “ustad”. Di antara nama sapaan tersebut
adalah Ustad Imron, Ustad Bobby, dan Ustad Ahmad.
Kelembutan dan perhatian yang tulus diberikan Ustad Bobby
ternyata menumbuhkan bibit cinta di hati seorang santri yang
bernama “Met”. Rasa cinta ini ternyata mendapat sambutan atau
respon baik dari Ustad Bobby. Akhirnya percintaan mereka
terjalin dengan hangat. Keadaan menjadi lain saat teman Met
yang bernama Fadilah membaca buku Bear yang sering digunakan
Met untuk berkomunikasi. Fadilah marah, ia menyuruh Met
untuk memutuskan hubungan dengan Ustad Bobby. Met tidak
mau menuruti nasehat Fadilah. Fadilah melaporkan Met ke
Ustazah Mutia (salah satu keamanan pesantren). Ustazah Mutia
membentak tokoh Met dan mengancam akan memanggil orang
tuanya. Ustad Bobby atas pelanggaran disiplin dikeluarkan oleh
pihak yayasan.
Ketiga, tema cinta yang disuguhkan cerpen karya Fatih
Muftih ini adalah tema cinta yang tumbuh di kalangan dua anak
muda di lingkungan pesantren. Berupa rasa ingin disayang, ingin
diperhatikan, dan ingin dimanja oleh lawan jenis. Perasaan
seperti ini tentunya sangat wajar dimiliki oleh dua insan muda
(baik oleh santriwan maupun santriwati, baik di kalangan ustad
maupun ustazah). Terutama mereka yang sudah beranjak balik.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 203


Wajar yang saya maksud di sini adalah wajar dalam batas-batas
yang masih dapat ditolerir. Keduanya belum sampai melakukan
hal-hal yang melanggar hukum. Selain itu, wajar yang saya
maksud adalah wajar bila dua anak muda (bujang dan dara)
memiliki keinginan untuk memadu kasih sayang. Cinta yang
terbangun keduanya saya melihat masih dalam bentuk sebatas
cinta monyet, yaitu cinta anak ingusan.
Mencintai lawan jenis adalah sikap yang biasa ditunjukkan
oleh anak-anak yang berangkat dewasa. Menurut ilmu psikologi
munculnya sifat ini tidak lepas karena di dalam diri manusia itu
ada libido yang menstimulasi lahirnya dorongan atau keinginan
untuk melakukan sesuatu (ego dan super ego).
Namun yang jelas, dunia ini pun menjadi indah karena adanya
rasa cinta. Cinta untuk memeliharanya. Cinta untuk menjaga dari
ancaman dan sebagainya. Mudah-mudahan ke depan, cerpen-
cerpen yang lahir lebih banyak mengangkat latar lingkungan
keagamaan guna mengimbangi lajunya cerpen-cerpen yang
berlatar belakang non religius.

Harian Umum Haluan Kepri, 27 Februari 2011

204 SUHARDI
Cita-Cita, Realita s, dan Izin A llah

P eran Harian Haluan Kepri —yang dulu bernama Sijori


Mandiri— memang sangat besar dalam menyajikan menu-
menu bergizi kepada pembacanya, salah satunya adalah menu
sastra yang hadir tiap hari Minggu. Apakah menu yang berkaitan
dengan cerpen, puisi, pantun, maupun esai sastra. Baik yang
ditulis kalangan senior maupun penulis muda. Pembaca telah
dimanjakan dengan santapan lezat dan menyegarkan berupa
cerpen, puisi, pantun, dan esai sastra. Applaus perlu diberikan
kepada harian ini, khususnya kepada Bung Tarmizi sebagai
pengasuh ruang sastra dan budaya.
Hadirnya ruang ‘Sastra & Budaya’ pada Haluan Kepri juga
telah melahirkan sederet nama-nama cerpenis berbakat yang ada
di daerah ini. Sebut saja diantaranya adalah Gusmarni Zulkifli,
Fatih Muftih, Riki Utomi, dan yang lainnya. Begitu juga dengan
penyair muda berbakat lainnya, seperti Tarmizi A. Sultan,
Muhammad Candra, Delvi Yandra, M.R. Sihaloho, Husny
Lashitta Rampales, Kedung Darma Ramansyah, dan sederet nama
lainnya.
Sebagai pengamat sastra koran, saya hampir tanpa absen
mengamati warna-warni cipta sastra koran yang hadir setiap
minggunya. Baik itu koran nasional terbitan Jakarta (seperti
Kompas, Media Indonesia, dan Republika) maupun koran
terbitan lokal (Haluan Kepri, Batam Post, dan sebagianya). Ada
sesuatu yang kurang lengkap rasanya bila setiap Minggu pagi
tidak menikmati menu sastra koran. Kebiasaan seperti ini sudah

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 205


saya jalani lebih kurang 20 tahunan. Satu hal yang juga tidak
bisa saya tinggalkan sampai hari ini adalah kebiasaan setelah
membaca saya akan lanjutkan dengan kegiatan mengkliping.
Cipta sastra koran, seperti cerpen, puisi, dan esai sastra yang
menurut saya bagus akan saya gunting dan kliping. Niat saya
adalah di suatu hari nanti sangat berguna sebagai sumber data
dalam menulis buku sejarah sastra koran Indonesia. Mudah-
mudah niat saya tersebut dapat terwujud, amin!
Salah satu cerpen terbaik yang disuguhkan Haluan Kepri
Minggu adalah cerpen yang berjudul Mak Long karya cerpenis
muda yaitu Gusmarni Zulkifli (Minggu, 6 Februari 2011).
Membaca cerpen Mak Long ini seakan saya membaca biografi
diri saya sendiri. Lingkungan sosial masyarakat desa yang jauh
dari hingar bingar dan aktivitas masyarakatnya dalam memenuhi
kebutuhan hidup dan tak pernah menyerah dari tantangan hidup.
Semasa kecil dulu saya juga memiliki cita-cita yang sama
dengan tokoh yang bernama Zal, yaitu ingin menjadi seorang
dokter. Namun cita-cita tersebut berubah setelah saya dewasa
dan menyadari bahwa cita-cita saja tidak cukup tanpa didukung
faktor lain, yaitu keuangan yang cukup. Cita-cita akan
berantakan di tengah jalan. Apalagi memang benar adanya bahwa
biaya untuk menyelesaikan kuliah di kedokteran cukup tinggi.
Hanya mereka yang golongan beruang saja yang akan mungkin
mengenyam bangku kuliah di kedokteran. Oleh sebab itulah,
setelah saya duduk di bangku SMU (SMA), saya mulai menyadari
bahwa saya harus mengubah cita-cita dari menjadi seorang
dokter ke guru. Tanpa disangka ternyata jadi dosen. Semuanya
di luar yang direncanakan.
Memang dalam hidup ini ada tiga hal yang tidak boleh tidak

206 SUHARDI
harus dipahami dengan baik. Pertama, untuk dapat hidup lebih
baik, manusia perlu bercita-cita. Cita-cita ingin menjadi dokter,
guru, dosen, pilot, dan lainnya. Dengan adanya cita-cita tersebut
kita termotivasi untuk beriktiar sungguh-sungguh untuk
mencapainya. Kedua, di balik cita-cita yang telah direncanakan,
manusia juga harus siap menghadapi realitas yang terjadi. Ada
kemungkinan apa yang dicita-citakan memang demikian realitas
yang terjadi. Akan tetapi banyak pula lain yang dicita-citakan
lain pula realitas yang terjadi. Kondisi seperti ini harus siap untuk
dihadapi agar tidak sampai prustasi. Ketiga, realitas yang terjadi
itu sangat erat kaitannya dengan izin Allah. Firman Allah dalam
Al-Quran Surat Kursyi, “Wassia Qursihussamawati wal ardhi”
(Segala yang ada di langit dan di bumi merupakan kuasa Allah).
Manusia hanya bisa merencanakan akan tetapi apakah rencana
itu kesampaian atau tidak semua izin Allah. Sejak lahir manusia
itu telah ditentukan tiga hal, yaitu (1) Umur, (2) rezeki, dan (3)
jodoh. Sadarilah bahwa cita-cita tersebut bukanlah sesuatu yang
harus diwujudkan.
Boleh saja sesuatu yang akan terjadi ke depan adalah sesuatu
yang di luar yang direncanakan manusia. Dunia ini memang
laksana panggung sandiwara, kita adalah aktor dan aktris yang
akan menjalankan tugas sesuai dengan skenario yang telah ditulis
Allah.

Harian Umum Haluan Kepri, 13 Februari 2011

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 207


Alam dan Kritikan Peda s atas
Pengrusakan Hutan dalam Sajak

S urat kabar Haluan Kepri edisi Minggu, 27 Februari 2011


menurunkan kumpulan sajak-sajak buah karya Hasrizal.
Karya yang dimuat sebanyak lima sajak dengan judul “Rimba
Kepungan Sialang”, “Cerita Mak”, “Halangi Mereka”, “Semut
Api”, dan “Dengarlah [Jembalang]”. Kelima sajak tersebut
menurut saya merupakan sajak-sajak yang cukup baik dan
berkualitas dan tema yang di angkat pun lumayan khusus, yaitu
soal alam. Jarang-jarang ada sajak-sajak yang bernafaskan alam
atau lingkungan. Umumnya lebih banyak mengangkat perma-
salahan cinta, rindu, ketidakadilan, korup, dan lain sebagainya.
Sajak karya Hasrizal ini memang agak berbeda dari beberapa
sajak yang pernah diterbitkan koran ini.
Perbedaan tersebut terlihat terutama pada pilihan obyek dan
permainan imajinasi. Hal inilah menurut Prof. Mursal Esten yang
menyebabkan sajak itu berbeda dengan prosa. Melalui proses
pengimajinasian segenap unsur sajak (musikalitas, kores-
pondensi, dan bahasa) menyatu menciptakan citraan tertentu.
Bunyi dan rima, hubungan satu larik dengan larik yang lain atau
satu bait dengan bait yang lain, dan pilihan kata serta idiom-
idiom bersatu membangun gambaran tertentu. Dari unsur
imajinasi ini juga melahirkan makna utuh sebuah sajak. Jika
sebuah kata di dalam prosa cenderung mengikuti makna
denotatif, tidak demikian pada sajak. Sebuah kata di dalam sajak
cenderung membentuk makna konotatif.

208 SUHARDI
Perbedaan lain yang terlihat pada sajak-sajak karya Hasrizal
ini adalah pada pandangannya yang intens bahwa alam adalah
bahagian dari dirinya. Jika dirinya mau tetap sehat dan segar
maka alam itu perlu dipelihara dari tangan-tangan manusia yang
tidak bertanggung jawab. Tangan-tangan manusia yang memiliki
sifat rakus, yang lebih mementingkan saat ini saja tanpa
memikirkan dosa yang harus ditanggung anak cucunya di
kemudian hari. Padahal Tuhan telah menciptakan alam ini
dengan sempurna. Ulah tangan-tangan manusia yang tidak
bertanggung jawab itu juga telah diturunkan beberapa bencana
agar manusia insyaf akan dosa-dosanya. Mulai dari banjir, tanah
longsor, gempa bumi, hingga angin kencang yang memporak-
porandakan rumah dan fasilitas umum.
Kritikan pedas yang disampaikan penyair muda ini terhadap
ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab,
beresiko terhadap hilangnya kelestarian alam sebagaimana
terlihat melalui sajak yang berjudul Cerita Mak berikut ini: “
…Nak! Pungguk tak lagi menyalak ‘Ug’…’Ug’… ’Ug’…’Ug’ karena
tempatnya bertengger telah lengser lantaran kalah suara di
pemilihan umum kemarin. Dan digantikan lolongan mesin
pemotong dan pengeruk lahan dari pasangan yang kata mereka
pilihan.” Bait sajak ini mendeskripsikan bahwa hutan sudah mulai
gundul karena mesin potong yang selalu digunakan manusia
hingga burungpun tidak ada tempat bertengger lagi sebab semua
pohon telah tumbang.
Perhatikan pula bait berikutnya: “Nak!”…Coba kau lihat!
Kolam besar yang menganga lebar yang kau sebut danau biru
itu, dulu adalah rimba tempat Mak mengambil rotan untuk atap
daun kelapa.” Maksudnya hutan yang dulunya memiliki berbagai
jenis hasil hutannya (seperti rotan) kini yang tinggal hanyalah

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 209


lubang-lubang besar bekas galian tambang yang menganga cukup
lebar tinggal menunggu korban-korban berikutnya. Tidak
tertutup kemungkinan adalah anak cucu kita. Boleh jadi karena
ter-perosok ke lubang besar itu, atau lubang besar itu menjadi
tempat bersarangnya nyamuk malaria atau demam berdarah
yang sasarannya tidak lain adalah penduduk yang ada di
sekitarnya.
Bandingkan dengan sajak yang berjudul Semut Api yang di
dalamnya memuat tentang protes semut terhadap pengrusakan
habitat hidupnya oleh tangan-tangan manusia. “Kubuat rumah
dalam tanah, kau tambang jadi lubang”. Maksudnya, rumah-
rumah semut yang sudah dibuatnya dengan bersusah payah di
dalam tanah, digali oleh manusia sehingga menjadi lubang.
Berikutnya: “Aku ngalah. Rumah di atas bukit kau kikis
sedikit-sedikit. Kubangun lagi bawah batu, batu kau ambil
jadikan rumah. Aku marah. Rumahku, rumahmu. Rumahmu jadi
rumahku. Kau marah aku gigit.” Maksudnya kini para semut itu
tidak memiliki rumah sebab rumah-rumahnya telah dirusak oleh
manusla. Oleh sebab itu, para semut menjadikan rumah manusia
juga adalah rumahnya. Jika manusia marah dan menyiksanya
maka semut akan melakukan perlawanan, yaitu menggigit.
Penyair sangat geram melihat perilaku manusia yang tidak
bertanggung jawab tersebut. Penyair menyerukan perlawanan.
Hal ini sebagaimana terlihat melalui sajaknya yang berjudul
Halangi Mereka. Sikap perlawanan yang ditunjukkan penyair
terlukis sebagai berikut: “Jangan biarkan mereka merambah
belukar, menoda daun-daun dan rimba dara. Hadang, luapkan
amarahmu, agar mereka tau kita tak buta. Kita melihat, kita
tak diam, kita tak bisu. Tunjukkan kita adalah dahan bukan
ranting. Suara kita bicara daun marah kita amuknya pohon.

210 SUHARDI
Halang jangan biarkan mereka sentuh hijaunya rimbun tambun.
Halau jauhkan dari kita”. Maksud kata halau di sini adalah cegah
para penjarah hutan dan perusakannya. Tunjukkan bahwa kita
memiliki kekuatan bukan lemah.
Membaca sajak-sajak Hasrizal ini membawa kita pada ber-
keliling ke daerah Tanjungpinang dan Bintan yang hutannya di
sana sini sudah mulai punah. Hijau dedaunan dan warna biru
yang dulunya memancar di hutan-hutan tersebut kini berganti
dengan warna kuning tanah akibat galian timah para penambang.
Kicauan burung murai di waktu pagi hampir tidak terdengar
lagi karena pohon dan ranting tempatnya bertengger dan bermain
kini tiada lagi. Yang ada kini adalah galian timah yang begitu luas
dan limbah bekas penambangan yang juga telah dirasakannya
dampaknya oleh nelayan yang hidup di sekitarnya. Entah sampai
kapan ini akan berakhir. Wallahualam. Mungkin setelah
membawa korban yang besar, baru manusia sadar. Nauzubillah
bin zalik.

Harian Umum Haluan Kepri, 13 Maret 2011

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 211


Tiga Langkah Memahami
Sajak Rumahitam 121211

M embaca karya sastra itu banyak manfaatnya. Selain untuk


memberikan unsur hiburan, membaca karya sastra juga
bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran para pembacanya
untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran. Nilai-nilai yang
dijunjung tinggi di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Nilai-nilai yang lebih mengedepankan kebajikan dan mencegah
sesuatu yang berbau mungkar.
Untuk menentukan bermutu atau tidaknya karya sastra yang
akan dipilih sebagai bahan bacaan dapat dilihat dari tiga aspek,
yaitu isi, bahasa, dan ekspresi. Dari segi isi, karya sastra dapat
dikatakan bermutu jika mengandung ajakan untuk menegakkan
nilai-nilai kebenaran. Dilihat dari aspek bahasa, sebuah karya
sastra dikatakan bermutu jika dilihat dari segi bahasa
menggunakan gaya bahasa yang baru dan menggelitik. Selanjut-
nya, sebuah karya sastra dapat dikatakan bermutu jika dari aspek
ekspresi, menyajikan pemikiran sastrawannya secara lancar.
Ketigas aspek ini dapat dijadikan acuan dalam memilih cipta
sastra yang berkualitas.
Haluan Kepri hampir setiap minggunya menyajikan cipta
sastra bermutu. Baik dalam bentuk sajak, cerpen, maupun
pantun. Baik yang ditulis oleh sastrawan senior maupun yunior.
Namun dari beberapa yang sudah diterbitkan tersebut belum
banyak direspon oleh pembaca. Buktinya hingga hari ini belum
ada yang menanggapinya. Jika hal ini dibiarkan begitu saja

212 SUHARDI
sungguh sangat disayangkan tentunya, sebab sesuatu yang
bermutu akan berlalu begitu saja.
Berikut ini saya coba pilihkan salah satu dari sajak-sajak yang
telah diterbitkan tersebut, yaitu sajak-sajak Rumahitam (Haluan
Kepri, Minggu, 6 Maret 2011). Memang untuk menangkap makna
yang dikandung dalam sebuah sajak tidak semudah menangkap
makna dalam cerpen atau novel. Dibutuhkan persiapan awal,
berupa langkah-langkah pemahaman yang benar.
Langkah-langkah tersebut adalah: Pertama, amati kata-kata
yang dominan digunakan penyair di dalam sajaknya. Yang
dimaksud dengan kata-kata yang dominan adalah kata-kata yang
sering diulang penyair di dalam sajaknya. Kata-kata yang
dominan ini biasanya berimplikasi terhadap situasi yang
dilukiskan sajak. Secara tidak langsung akan membuka celah
dalam menangkap makna sajak secara keseluruhan. Contoh:
sajak Rumahitam 121211, yaitu:
Bismillahirrahmanirrahim/salam pada alam langit dan bumi/
kutulis sajak ini ketika masih tetap setia menanak nasib di bahu
jalan dan perempatan,/ketika matahari menua,/kita berteduh
di bawah balliho sepasang calon walikota,/satu di antara dua
wajah itu lebat kumisnya,/dua-duanya menyapa dengan
senyuman ranum,/aku menyaksikannya:melihat nganga singa
siap melumat nasib kita/kita masih setia menanak nasib
dipabrik-pabrik/ ketika datang dan pulang,/kita sempat jua
menatap sepasang wajah yang lain di balliho yang lain pula,/
sama:sepasang wajah itu juga menawarkan senyum ranum,/
para ibu-ibu banyak juga yang terkagum-kagum,/sedang para
suami menahan miris hati/ketikakita masih tetap saja setia
menanak nasib di atas ayun gelombang dan dingin udara
malam,/sekebaran-selebaran dengan wajah-wajah senyum
ranum menemani,/dan kita penuh harap: akankah nasib dapat
berubah,/atau kita semakin hanyut menanak nasib sendiri,/
ketika nanti sepasang dari mereka jadi,/kita tetap dibuai mimpi
dan janji-janji/ketikakita tetap setia menanak nasib di jalan-
jalan kegusarisauan/tiba jua hari penentuan itu,/lalu kita

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 213


sempatkan ke bilik-bilik suara,/menitipkan keberuntungan
menghantar nasib mereka jadi penguasa:/sepasang dari mereka
mengumpulkan suara terbanyak dari kita,/menumpukkannya
ke kursi goyang,/lalu bersenang-senang,/sedang nasib kita tetap
saja di tarikan gelombang,/kita diminta lagi memungut dusta/
lalu kita coba mengeja kata,/menerjemahkan jadi angka-
angka,/memahat birahi mereka yang liar,/mengguratkan
harap pada kedalaman tusukan paku-kaku itu,/memintanya
berkata yang sesungguhnya sedang berlaku,/siapa sepatutnya
dari mereka yang mendapat amanah,/siapa pula yang latah,
tamak ingin tetap memeluk kita.

Kata-kata yang dominan dalam sajak Rumahitam 121211 di


atas adalah ‘ketika’ dan ‘kita’. Kata ‘ketika’ merupakan jenis kata
yang termasuk kata keterangan waktu atau kapan suatu peristiwa
itu berlangsung. Penggunaan kata ‘ketika’ yang dominan di dalam
sajak ini melukiskan tentang suasana masa-masa kampanye
pasangan walikota. Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya kata-
kata seperti ‘balliho’ dan ‘bilik suara’. Sementara kata ‘kita’ adalah
kata ganti orang kedua jamak, yang dimaksud penyair di sini
adalah massa pemilih.
Kedua, selami makna konotasi yang terkandung di dalam
sajak. Makna konotatif ini biasanya dibentuk dengan cara
penggunaan majas. Baik yang berbentuk majas perbandingan
(metafora, personifikasi, maupun analogi), pertentangan (ironi,
hiperbola, litotes) maupun pertautan (metonimia, sinedoke,
eufemisme). Contoh: menanak nasib di bahu jalan (kemiskinan
atau kelaparan), matahari menua (usia yang sudah mulai tua),
nganga singa siap melumat (korup atau memakan hak rakyat),
semakin hanyut menanak nasib sendiri (derita berkepanjangan),
dibuai mimpi dan janji-janji (janji palsu), menanak nasib di
jalan-jalan kegusarisauan (kecemasan menghadang masa
datang), kursi goyang (kekuasaan), nasib kita tetap saja di
tarikan gelombang (selalu jadi tumbal), memungut dusta

214 SUHARDI
(kebohongan belaka), memahat birahi mereka yang liar
(memberikan peluang pada sifat rakus),mengguratkan harap
pada kedalaman tusukan paku-kaku itu (menambah
ketidakpastian dan menyakitkan).
Ketiga, usut kata ganti yang digunakan dalam sajak tersebut.
Perhatikan kutipan sajak tersebut:
Bismillahirrahmanirrahim/salam pada alam langit dan bumi/
kutulis sajak ini ….kita berteduh di bawah balliho sepasang
calon walikota,…. melihat nganga singa siap melumat nasib
kita….kita masih setia menanak nasib dipabrik-pabrik…kita
sempat jua menatap sepasang wajah yang lain di balliho…sedang
para suami menahan miris hati… kita masih tetap saja setia
menanak nasib di atas ayun gelombang dan dingin udara
malam,… kita penuh harap: … kita semakin hanyut menanak
nasib sendiri…kita tetap dibuai mimpi dan janji-janji..kita tetap
setia menanak nasib di jalan-jalan kegusarisauan,lalu kita
sempatkan ke bilik-bilik suara, mereka mengumpulkan suara
terbanyak dari kita, lalu bersenang-senang,/sedang nasib kita
tetap saja di tarikan gelombang,kita diminta lagi memungut
dusta/lalu kita coba mengeja kata,/menerjemahkan jadi angka-
angka,/memahat birahi mereka yang liar, siapa sepatutnya dari
mereka yang mendapat amanah,/siapa pula yang latah, tamak
ingin tetap memeluk kita.

Sajak rumahitam 121211 di atas menggunakan kata ganti


‘kita’. Kita yang dimaksud penyair dalam sajak ini adalah rakyat.
Rakyat yang selalu dijadikan obyek untuk memuluskan meraih
kursi kekuasaan. Rakyat yang selalu diberikan janji palsu, dan
rakyat juga yang selalu ditindas setelah kursi kekuasaan itu
diraih. Sajak ini sepertinya mengajak rakyat untuk dewasa dan
cerdik agar tidak selalu dijadikan tumbal sang penguasa atau sang
rakus kekuasaan.Mudah-mudahan langkah yang saya tawarkan
ini bermanfaat untuk menggali makna yang tersirat pada sajak-
sajak lainnya.

Harian Umum Haluan Kepri, 27 Maret 2011

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 215


Permainan Personifikasi dalam Sajak

S ajak merupakan ungkapan perasaan yang dituangkan penyair


dalam bentuk kata-kata atau kalimat melalui gaya bahasa
yang estetik (indah). Kepiawaian seorang penyair dalam memilih
gaya pengungkapan menjadikan karya yang dihasilkanya menjadi
sesuatu yang indah. Baik dilihat dari segi bacaan maupun makna
yang disampaikan kepada pembaca atau penikmatnya.
Setiap penyair biasanya memiliki gaya pengungkapan yang
tidak sama. Bandingkan saja gaya penulisan penyair senior kita
Sapardi Djoko Damono dengan Afrizal Malna. Begitu gaya
penulisan penyair yang berjuluk “Burung Merak” W.S. Rendra,
atau gaya dalam karya penyair yang mendapat julukan “Presiden
Penyair Indonesia”, Sutardji Calzoum Bachri. Semuanya
memiliki gaya pengungkapan yang tidak sama. Mereka memiliki
ciri masing-masing. Begitu juga ciri yang terlihat pada diri penyair
muda kita, yaitu Gusmarni Zulkifli melalui sajak-sajaknya yang
berjudul “Terbuai Janji Bulan”, “Abak dan Sawah”, “Nyanyian
Rindu Untuk Mak”, dan “Nyanyian Rindu Untuk Mak 2” (Harian
Kepri, Minggu, 27 Maret 2011).
Sajak-sajak buah karya Gusmarni Zulkifli tersebut sangat
kaya dengan unsur-unsur personifikasi. Lihat saja kutipan bait-
bait sajaknya melalui sajaknya yang berjudul “Terbuai Janji
Bulan” berikut ini: Malam/ terlelap dalam pelukan bulan/
awan menyelimuti dingin menggigit tulang/ angin
menahan hatiku agar tak jatuh berkecai di bumi.
Pada bait pertama sajak tersebut terdapat bentuk-bentuk

216 SUHARDI
permainan personifikasi yang membuat kalimat-kalimat yang
disajikan menjadi hidup, seperti adanya frase pelukan bulan,
menyelimuti dingin, menggigit tulang, dan menahan hatiku.
Semua bentuk-bentuk frase tersebut merupakan bentuk-bentuk
permainan personifikasi yang dilakukan penyair terhadap benda
mati (bulan, awan, dan angin) yang seolah-olah benda hidup
(manusia).
Perhatikan juga bait berikutnya: indahnya janji/membuatku
betah merajut mimpi/ tapi kenyataan membuatku terjaga/
aku wanita/terbuai janji bulan / memamah malam
bersamanya / tapi mendung mendendam / memekatkan
warna malam/bulan berlayar menjauh/hingga aku
terkulai/ di tepi telaga duka/ sangsai menahan pedih luka/
harapkan berkecai pada malam. Frase merajut mimpi, janji
bulan, memamah malam dan mendung mendendam juga
merupakan permainan personifikasi yang begitu indah.
Bentuk-bentuk permainan personifikasi juga dapat dijumpai
pada sajak “Abak dan Sawah”, yaitu aku iba denganmu abak/
tapi miskin mengikat kuat pada langkah…/ kau lelaki
perkasa abak/ mampu menari bersama lumpur dan
badai…. puisi ini makin sarat dengan makna.
Selanjutnya bandingkan juga pada sajak yang berjudul
“Nyanyian Rindu Untuk Mak”, yaitu: Mak/ fajar merekah/ tak
seindah senyummu/ angin mendesau/ menyapa hatiku
yang risau kian galau/ mak / hari ini masih seperti kemarin/
wajahmu menari di kelopak mata/ menyentuh jiwa resah/
hingga gelora terpancar hati membara/ pada jarak yang
membentang sayapnya/ mak/ rindu mengaliri ngarai
jiwa/ menyisakan robekan luka/ rantau ini/ tak sehangat
pelukmu/ tak seramah kasihmu/ gamang aku menitinya/

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 217


gambar usangmu mencencang sepi/ mak/ aku bertahan
walau bayang wajah tuamu/ membuat perigi di mataku
meluap/ rindu begitu payah kutekuk rebah.
Kekayaan permainan personifikasi juga terdapat pada sajak
yang berjudul “Nyanyian Rindu Untuk Mak 2”, yaitu: Mak/ tak
dapat kukayuh biduk rindu/ pulang ke pelukmu tahun ini/
badai merejau laut hidupku/ mak/ meskipun tak dapat
kurebahkan penat/ menunggu waktu itu datang/ aku tetap
tegar/ aku bukan gadis kecil yang cengeng menangisi nasib/
mak/ serupa aku/ tahanlah mata air, air mata itu/waktu
kan penat jua/ menyangga timbunan rindu/ dan kembali
aku meringkuk dipeluk hangatmu. Dalam sajak ini, permainan
personifikasi menjadikan pembaca akan merasakan kepuasaan
yang luar biasa.
Keempat sajak buah karya Gusmarni Zulkifli tersebut
merupakan sajak-sajak yang menyajikan nuansa kedekatan
seorang anak dengan kedua orang tuanya. Di saat senang dan
susah, orang tua selalu menjadi pilihan tempat berbagi rasa.
Semua itu tentu diakibatkan jalinan bathin seorang anak dan
orang tuanya yang memang selama ini sudah terjalin dengan erat.
Selamat Gusmarni Zulkifli, kami tunggu karya berikutnya.

Harian Umum Haluan Kepri, 1 Mei 2011

218 SUHARDI
Daftar Pustaka

Arcana, PutuFajar. 2004. KeretaSenja. Kompas.Cerpen


B-S. 2004. Novel Seksual Hanya Satu Cara Berpendapat :
Perempuan Penulis Harus Bersikap. Media Indonesia.
Essay
Candra, Muhammad. 2002. Rasa Memang Tak Pernah Bisa
Dipaksa. Tanjungpinang: PT Milaz Grafika
Chudori, Humam S. 2004. Anak Buangan. Republika.Cerpen
Djamaris, Edwar. (Ed.).1994. Sastra Daerah Di Sumatera:
AnalisisTema, Amanat, danNilaiBudaya. Jakarta: Balai
Pustaka
Endah, Syamsuddin St. R. Gadih Ranti. Bukitinggi: Pustaka
Indonesia. Kaba
________. Tuangku Lareh Simawang. Bukittinggi:
PustakaPelajar. Kaba
________. Rambun Pamenan. Bukittinggi: Pustaka Pelajar.
Kaba
Esten, Mursal. 1984. Pengantar Teori dan Sejarah Sastra
Indonesia. Bandung: Angkasa
Fadlillah. 2004. Teks-teks Seks sebagai Resiko dalam Sastra:
Sebuah Dekontruksi untuk Goenawan Mohamad.
Kompas.Esai
Hadi, Wisran. 1982. Anggun Nan Tongga. Jakarta: Balai
Pustaka

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 219


Hakimy, Idrus. 1991. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang,
dan Pidato Alua Pasambahan Adat Minangkabau.
Bandung: Rosda Karya
HAMKA. 1996. Tenggelamnya Kapal van der Wick. Jakarta:
Gramedia
Hasrizal. 2011. Cerita Mak. Haluan Kepri. Sajak
________. 2011.SemutApi. HaluanKepri.Sajak
Jassin, H.B. 1994. Koran dan Sastra Indonesia. Jakarta:
Penebar Swadaya
Basuki K.S, Sunaryono. 2004. “Seks, Sastra, Kita”. Kompas.
Essay
Mochtar Lubis. 1987. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Pustaka
Jaya. Novel
Moenir, Darman.2004. Hadiah Sastra Sari Anggrek. Harian
Umum Singgalang, Padang. Essay
Muftih, Fatih.2010. Surau Kami. Sijorimandiri. Cerpen
________. 2011. Elegi Santriwati. HaluanKepri. Cerpen
MuhardidanHasanuddin WS. 1999. Analisis Fiksi. Padang:
FPBS IKIP Padang
Nadeak, Timbul. 2004. Biji Mata untuk Seorang Lelaki.
Kompas. Cerpen
Navis, AA. 1996. RobohnyaSurau Kami. Jakarta: Gramedia
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Paramaditha, Intan. 2004. Pemintal Kegelapan. Kompas.
Cerpen

220 SUHARDI
Pudentia M.P.S.S.(ed.). 1998. Metodologi Kajian Tradisi
Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa
Situmorang, Saut. 2004. Politik Sayembara Sastra. Kompas.
Essay
Sultan, Tarmizi A. 2010. Rumah Tak Berpintu. Sijorimandiri.
Cerpen
________. 2010. Aroma Bangkai Depan Rumah Mantan
Penghulu. Sijorimandiri. Cerpen
________. 2010. Berebut Kursi Penghulu Berebarelanglang.
Sijorimandiri. Cerpen
Sumardjo, Jakob dan Saini KM. 1986. Apresiasi Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia
Suwarna, Dadan. 2004.Menimbang-Nimbang Cerpen Djenar.
Republika. Essay
Tf, Sakai. 2004. Belatung. Kompas. Cerpen
Thahar, Harris Effendi. 2004. Persahabatan Sunyi. Kompas.
Cerpen
Tyas, Sandy. 2004. Kyai Sepuh dan Maling. Kompas. Cerpen
Usman, K.2004. Bilal. Kompas.Cerpen
Utomi, Riki.2010. Gadis Pelantai.Sijorimandiri. Cerpen
Wijaya, Putu. 2009. Peradilan dalan Peradilan Rakyat.
BatamPos. Cerpen
Wilson, Nadeak. 2004. Seperti Angin Berlalu. Kompas.
Cerpen

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 221


Zulkifli, Gusmarni. 2011. Mak Long. Haluan Kepri. Cerpen
________. 2011. Terbuai Janji Bulan.HaluanKepri.Sajak
________. 2011. Abak dan Sawah. Haluan Kepri. Sajak
________. 2011. Nyanyian Rindu untuk Mak. Haluan Kepri.
Sajak
________. 2011. Nyanyian Rindu untuk Mak 2. Haluan
Kepri. Sajak

222 SUHARDI
Indeks

A
A. Teeuw 8, 188
AA Navis 70, 73, 88, 89, 90, 91, 92, 132, 134
Abdul Muis 12, 26, 70, 73
Abidah Al Khalieqy 103
Acep Zamzam Noor 64, 202
Adorno 10
Afrizal Malna 18, 62, 65, 68, 95, 102, 108, 201, 216
Agus R. Sarjono 168
Ajip Rosidi 5, 71, 84
Alton C. Morris 103
Angkatan 45 171, 174
Anugerah Seni 175
Asroel Sani 73
Austin Warren 177

B
Batam Pos 17, 81, 98, 123, 163, 205, 230
Batu Belah 58
Batu Menangis 58
Baudelaire 10
Beni R. Budiman 121
Budi Darma 17, 35, 36, 94, 106, 107, 191

C
cerita rakyat 4
cerpen 24, 25, 27, 28, 29, 48, 52, 53, 61, 65, 66, 67, 68,
84, 85, 88, 89, 90, 93, 94, 97, 100, 105, 106, 108, 109,
110, 111, 112, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124,
125, 132, 175, 176, 177, 178, 180, 181, 182, 183, 185,
186, 188, 189, 190, 193, 198, 199, 201, 202, 203,
204, 205, 206, 212, 213, 229

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 223


Chairil Anwar 62, 73, 99, 167, 168, 169, 170, 171, 172,
173, 174, 188
Cinduamato 59, 60

D
Dami N Toda 84, 172
Danarto 65, 94, 96, 106, 109, 119
Darman Moenir 65, 69, 70
Datuk Maringgih 21, 133
Daya kreatif 176
daya kreatif 176, 180, 190
denotatif 188, 208
Dewan Kesenian Jakarta 48, 53, 54, 94, 173
Djamaris 4, 5, 219
dongeng 3, 5, 68, 84, 85, 116
drama 25, 39, 43, 45, 60, 61, 66, 79, 175, 180, 190

E
Eka Budianta 16
eksistensi manusia 10
Emha Ainun Najib 109
estetika 8, 21, 67, 143, 153, 154, 155, 156

F
Ferdinand de Saussure 8
fiktif 25, 26, 28, 29, 34, 190, 191
Filsuf 9
filsuf 10

G
Gadih Ranti 13, 219
gaya bahasa 21, 91, 109, 155, 167, 168, 195, 212, 216
gelar kehormatan 162
Goenawan Muhammad 48, 49, 66
Gubernur 175

224 SUHARDI
guru sastra 20, 62, 63, 96
Gus tf Sakai 54, 62, 65, 73, 111, 112, 201
Gusmarni Zulkifli 206, 216, 218

H
H.B. Jassin 3, 28, 29, 48, 78, 79, 80, 95, 98, 99, 100,
107, 169, 171
H.M. Sani 162, 163, 164
Haluan 61, 65, 75, 94, 98, 99, 123, 198, 202, 205, 206,
208, 212, 213, 220, 222, 230
Hamid Jabbar 64, 108, 201
HAMKA 12, 62, 73, 100, 133, 134, 190, 220
Hang Tuah 6, 19
Haris Effendi Thahar 65, 73, 117, 176, 201
Harry Aveling 173
Hasanuddin WS 24, 36, 220
Hasril Chaniago 91
Hasrizal 208, 209, 211, 220
Humam S. Chudori 116
Huzrin Hood 163

I
imajinasi 6, 7, 26, 27, 84, 103, 116, 176, 177, 180, 181,
181, 182, 190, 191, 196, 197, 208
Imam Budi Utomo 6

J
Jakarta 12, 28, 39, 48, 53, 54, 64, 79, 93, 94, 98, 101,
106, 117, 120, 135, 158, 173, 182, 194, 205, 219, 220, 221
Jakob Sumardjo 20, 154
Jamal D. Rahman 64

K
karya sastra 8, 12, 13, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,
2 5 , 26, 27, 2 9 , 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40,
41, 42, 50, 52, 53, 58, 62, 63, 64, 67, 69, 71, 78,

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 225


84, 88, 91, 93, 94, 96, 97, 98, 100, 106, 108, 109,
111, 120, 121, 123, 131, 135, 140, 175, 188, 190,
195, 196, 212
Kepulauan Riau 5, 76, 77, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 98,
99, 105, 106, 110, 123, 127, 142, 155, 160, 162,
163, 164, 186, 194, 229
kiasan 13, 188
kitab suci 9
Kompas 31, 33, 48, 49, 54, 62, 65, 67, 80, 94, 95, 96, 106,
111, 113, 114, 116, 117, 175, 176, 205, 219, 220, 221
Kongres Bahasa Indonesia 5
konotasi 214
konotatif 188, 208, 214
konsepsi estetik 11
Koran Masuk Desa 109
Kritikus 31, 32, 33, 34, 35, 37
kritikus 16, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 67, 78, 99, 100, 110,
123, 127, 138, 169, 181, 188, 195

L
latar cerita 160, 181, 182, 202
Layar Terkembang 6, 18, 202
legenda 3, 6, 99, 142, 143, 153, 156, 157, 168, 174
LEKRA 68
Les Fleur du Mal 10

M
majas 103, 214
Makyong 4
Malaysia 70, 71, 82, 83, 84, 90, 139
Malin Kundang 57, 58, 59, 60, 139, 155, 157, 158, 159,
160, 161
Marah Rusli 12, 25, 27, 70, 73, 131, 132, 133, 135
Media Indonesia 48, 50, 51, 62, 65, 94, 95, 106, 111,
205, 219
Melayu Klasik 11
metafora 214

226 SUHARDI
Mimbar Minang 65, 94, 122, 230
mimesis 9, 21, 97, 196
Minangkabau 4, 25, 26, 58, 59, 86, 91, 133, 134, 135, 137,
140, 220, 230
mitologi 4
mitos 3, 4, 56, 57, 58, 59, 60, 161
Mochtar Lubis 68, 70, 73, 94, 106, 107, 174, 220
modern 8, 10, 18, 30, 31, 58, 61, 111, 132, 173
Muhammad Candra 194, 205
Muhardi 24, 36
Mursal Esten 12, 23, 35, 36, 37, 56, 176, 181, 195, 208
Mustofa Bisri 109, 202

N
NH Dini 12
novel 18, 21, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 39, 88, 90, 91, 93,
99, 131, 133, 1q34, 175, 176, 180, 185, 190, 194, 195, 196,
197, 201, 202, 213
novelis 194

O
Oka Rusmini 103
Orde Baru 68
otodidak 91

P
Padang 27, 35, 36, 38, 65, 89, 91, 94, 110, 134, 135, 159,
160, 161, 181, 220, 230
Padang Expres 230
panca indera 11
Panusuk Eneste 96
penokohan 109
penyair 4, 11, 21, 54, 71, 101, 102, 103, 104, 108, 109,
109, 110, 111, 167, 168, 169, 171, 172, 173, 174,
186, 188, 194, 201, 205, 209, 210, 213, 214, 215, 216, 217
personifikasi 216

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 227


Pertemuan Sastrawan Nusantara 90, 106, 186
Pilang 6, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151,
152, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161
Plato 9, 186
politik 35, 36, 37, 46, 47, 56, 97, 105, 109, 192, 193
pramagtik 11
Pramoedya Ananta Toer 68, 94, 107
Pudentia 4, 153, 221
Puti Bungsu 59, 70
Putu Wijaya 12, 27, 64, 96, 109, 175, 177, 178, 188, 201

R
Rambun Pamenan 13, 14
Ranah Minang 89, 157
Rawangtingkuluk 58
Remy Novaris DM 101
Rendra 71, 83, 108, 201, 216
Rene Wellek 177
Republika 17, 49, 62, 65, 68, 94, 96, 106, 107, 110,
111, 115, 116, 121, 172, 205, 219, 221
Rien T Seger 8
Roland Barthes 32
Rousseau 9, 10
Rumahitam 64, 186, 212, 213, 214
Rusli Marzuki Saria 91

S
Saini KM 20, 153, 181, 221
Salah Asuhan 6, 18, 26, 70, 202
Sapardi Djoko Damono 12, 48, 53, 62, 88, 103, 216
sastra Indonesia 11, 16, 48, 59, 60, 61, 62, 66, 67, 69, 72,
73, 77, 78, 79, 84, 88, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 104,
105, 107, 108, 123, 127, 167, 169, 171, 174, 186,
201, 202, 230
sastra lisan 3, 4, 5, 142, 143
SEA Write Award 90, 175

228 SUHARDI
sekolah dasar 86, 164
Seno Gumira Adjidarma 65, 68, 96, 119
Sijori Mandiri 6, 49, 98, 105, 106, 110, 111, 123, 124,
125, 127, 230
sinetron 34, 39, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 175
Singgalang 65, 69, 89, 94, 110, 220, 230
siswa 18, 19, 20, 21, 37, 61, 62, 63, 64, 77, 96, 97,
99, 108, 110, 125, 164, 198, 199, 200
Siti Nurbaya 6, 18, 21, 25, 27, 36, 70, 131, 133, 134,
135, 167, 202
Sitok Srengenge 62, 103
Subagio Sastrowardoyo 71, 84, 111, 172
Sumatera Barat 35, 38, 56, 65, 69, 70, 72, 73, 86, 89, 91,
110, 137, 139, 140, 141, 155, 157, 230
Sunaryo Basuki Ks. 49
Sutan Takdir Alisyahbana 172
Sutardji Calzoum Bachri 12, 102, 108, 119, 167, 172,
173, 216

T
Taman Ismail Marzuki 194
Tampomas II 25, 190
Tanjungpinang 31, 75, 76, 77, 81, 82, 202, 211, 219, 230
Tarmizi A. Sultan 61, 76, 106, 124, 180, 186, 192, 205
Tata Bahasa Struktural 8
Taufik Ismail 4, 12, 62, 64, 108, 110, 201
Teater Mandiri 175
Teguh Karya 39
teks 9, 11, 13, 48, 51, 52, 53, 59, 60, 67, 68, 93, 196, 219
Tenggelamnya Kapal van der Wicjk 26, 100, 133, 134,
190, 202
Titanic 25, 190
tokoh adat Melayu 86
tradisi 11, 58, 111, 153
Tuanku Lareh Simawang 13

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 229


U
Umar Junus 58, 71, 84, 135, 139, 181
Umar Kayam, 96
Universitas Bung Hatta 181, 230
Universitas Negeri Padang 36, 230

V
Verdenius 9

W
wacana 153
watak tokoh 21, 88, 157, 160, 181
Wisran Hadi 59, 60, 65, 70, 71, 139

Y
Yulizal Yunus 91
Yusrizal KW 62, 65, 73, 109, 201

Z
Zapin 81, 82

230 SUHARDI
Tentang Penulis

Drs. Suhardi, M.Pd. lahir di Padang pada


tanggal 15 Agustus 1965. Lulus Sarjana (S.1)
dari Jurusan Bahasa dan Seni, Pro-gram Studi
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas
Bung Hatta Padang (1992). Selanjutnya
menyelesaikan dan meraih gelar Magister (S.2)
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri
Padang tahun 2001. Saat ini, ia menjadi dosen
tetap Yayasan Pendidikan Provinsi Kepulauan
Riau di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang.
Pengalaman mengajar antara lain sebagai dosen Luar Biasa
Universitas Mahaputra Muhammad Yamin, S.H., Solok (1992-
1998); dosen luar biasa IAIN Imam Bonjol Padang (1998-2004);
dosen penuh waktu Politeknik Batam (2004-2007); dan dosen tetap
di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjung-pinang
(2007-sekarang).
Penulis juga pernah menjadi anggota tim peneliti Pusat
Penelitian Islam Minangkabau Sumatera Barat sejak tahun 2004.
Anggota Peneliti Lembaga Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang
(sejak 2004), Konsultan Monitoring dan Evaluasi (Monev) di Dinas
Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau (2006-)2007), dan sejak tahun
2009 menjadi Ketua Lembaga Penjaminan Mutu Akademik (LPMA)
UMRAH. Ia pun kerap menjadi dewan juri lomba penulisan cerpen
dan puisi tingkat SMP dan SMA oleh Dinas Pendidikan Provinsi
Kepulauan Riau.
Sebagai akademisi, Suhardi telah menulis sejumlah modul untuk
mata kuliah bahasa dan sastra Indonesia, antara lain Pengantar Teori
Sastra, Pengantar Morfologi Bahasa Indonesia, Pengantar Semantik,
Pengantar Linguistik, dan Dasar-dasar Sintaksis Bahasa Indonesia.
Selain itu, ia pun rajin menulis menulis artikel/opini kritik sastra di
berbagai surat kabar seperti di Harian Umum Padang Expres,
Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Sijori Mandiri dan Batam Pos.

SASTRA KITA, KRITIK, DAN LOKALITAS 231

Anda mungkin juga menyukai