Anda di halaman 1dari 1

STRUGGLER

The start of everything

“Aku ingin menjadi polwan”, itulah mimpi dari seorang gadis kecil bernama Ridita.
Begitu banyak mimpi, tapi menjadi polwan adalah sesuatu yang sangat ia inginkan. Ketika awal
masuk sma, setiap murid diperintahkan untuk menulis mimpi mereka. Kala itu, dengan penuh
hati ia menulis POLWAN pada papan namanya dan dengan bahagia maju kedepan kelas untuk
memperkenalkan mimpinya. Hingga setelah tiga bulan awal kelas dua belas, ia tiba-tiba dengan
perintah ayahnya dipindahkan ke satu desa terpencil bernama Talaga di Pulau Seram, Maluku.
Saat itu, tanpa berpikir panjang gadis remaja tujuh belas tahun itu menyetujui dan berkenan
untuk tinggal di desa itu.

Bersama pamannya, hari pertama tinggal disana ia merasa sangat sedih. Karena harus
tinggal jauh dari orang tuanya dan belum memiliki teman sama sekali. Awalnya ia merasa ingin
kembali ke kampung halamannya di Pasarwajo, Sulawesi tenggara. Karena perbedaan bahasa,
intonasi berbicara dan budaya yang berbeda. Membuat ia merasa tertekan dan sedih ketika
mengingat apa yang ia biasa lakukan di kampung halamannya. Meskipun tiba-tiba, tapi alasan ia
di pindahkan adalah untuk berlatih dan mempersiapkan mimpinya yaitu menjadi polwan dan di
bantu oleh pamannya yang merupakan seorang Brimob. Alasan lain ia dipindahkan bukan hanya
karena ingin berlatih tetapi ia juga akan berdomisili selama dua tahun. Kenapa?, karena ia ingin
menjadi polwan disana. Agar dapat diterima sebagai putri daerah yang mana, lebih di utamakan
dalam penerimaan polwan di sana. Lulus sma dengan usia tujuh belas tahun memaksakan ia
harus menganggur selama setahun. Karena untuk mendaftar kepolisisan harus diusia delapan
belas tahun dan juga karena tinggi badan yang belum mencukupi batas minimum menjadikan ia
harus nganggur pada saat itu.

Di tahun ia menganggur, ia melakukan kegiatan-kegiatan yang membantu proses


penerimaan kepolisisan seperti berenang, pull up, chinning up, sit up dan lainnya. Ia juga sempat
membeli dan membaca buku-buku penerimaan kepolisian . Sebulan menjelang tes penerimaan,
ia pergi ke rumah sakit untuk melakukan check up seperti pengecekan buta warna, penglihatan,
tes darah, tinggi badan dan lainnya. Pada saat itu hasil check upnya bagus dan yang paling
penting adalah tinggi badan yang diukur mencapai seratus enam puluh tiga centi meter. Tetapi
ada yang mengganjal di lubuk hatinya, ia ingin mengukur kembali tinggi badannya karena
merasa tidak yakin dengan hasil pengukuran di rumah sakit. Akhirnya ia memutuskan untuk
mengukur kembali dan hasilnya adalah seratus lima puluh tujuh yang mana sangat berbeda jauh
dari pengukuran awal. Dengan hasil itu, tentunya ia merasa sedih dan berkecil hati. Saat itu, ia
menelpon ayahnya untuk mengabari bahwa ia tidak bisa mengikuti tes kepolisian karena tinggi
yang tidak memenuhi kriteria penerimaan. Mendengar itu ayahnya tentu merasa sangat sedih dan
hanya bisa berkata “sabar nak masih ada mimpi lain yang terbaik untuk kamu nak”.

Anda mungkin juga menyukai