PROBLEMATIKA AGROEKOSISTEM
Disusun Oleh :
NIM : 20200210032
Kelas : Agroteknologi A
FAKULTAS PERTANIAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agroekosistem menurut Karyono (2000) adalah sistem ekologis hasil rekayasa manusia
untuk menghasilkan makanan, serat, atau produk agrikultur lainnya. Agroekosistem, ditopang
oleh dua system yang saling berinteraksi dan mempengaruhi, yakni sistem natural dan sistem
sosial. Beberapa komponen natural dalam agroekosistem antara lain meliputi faktor-faktor
biofisik seperti tanah, air, iklim, tumbuhan, hewan, manusia dan lain sebagainya yang satu sama
lain berinteraksi dalam suatu mekanisme tertentu sehingga perubahan pada komponen yang satu
akan berpengaruh pada keberadaan komponen yang lain. Dalam agroekosistem ini, peranan
manusia sangat dominan karena sistem ini merupakan hasil rekayasa manusia dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak hanya peran manusia saja, namun dalam agroekosistem,
manusia juga berinteraksi dengan komponen-komponen lain. Interaksi antar agroekosistem yang
terdapat pada Desa Brajan, terutama pada lahan pertanian warga sekitar. Produktivitas bahan
pangan di Desa Brajan tinggi karena ditanami padi, jagung, pisang, dan lainnya. Tanaman di
daerah ini ada beberapa yang terserang hama, salah satunya adalah kutu putih.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Definisi Agroekosistem
Agroekosistem atau yang disebut juga dengan ekosistem pertanian adalah berbagai unit dasar
aktivitas pertanian yang terkait secara ruang dan fungsi, yang mencakup komponen biotik dan
abiotik dan interaksinya. Agroekosistem juga diartikan komunitas tanaman dan hewan yang
berhubungan dengan lingkungannya (baik fisik maupun kimia) yang telah diubah oleh manusia
untuk menghasilkan pangan dan produkproduk lainnya. Agroekosistem mempunyai kompoenen
abiotik dan biotik yang saling berinteraksi. Komponen abiotik meliputi air, udara, suhu, sinar
matahari, iklim, tanah. Komponen biotik meliputi makhluk hidup penghasil energi seperti
tanaman yang berperan sebagai produsen, komponen yang berperan sebagai konsumen seperti
herbivora, dan karnivora serta komponen dekomposer yang berperan sebagai pengurai sisa-sisa
jasad hidup yang telah mati. Agroekosistem pada umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut
yaitu tidak stabil, perlu campur tangan manusia sehingga perlu adanya pengelolaan oleh
manusia, keanekaragaman spesies rendah, hal ini dikarenakan agroekosistem cenderung
monokultur (hanya terdiri dari satu jenis tanaman saja), keragaman intra spesifik juga rendah.
Kondisi-kondisi ini yang menyebabkan agroekosistem cenderung tidak stabil.
B. Komponen Agroekosistem
Komponen dalam suatu agroekosistem pada umumnya terdiri dari dua yaitu komponen
abiotik dan komponen biotik. Komponen abiotik yaitu segala sesuatu yang tidak hidup dan
secara langsung berkaitan dengan keberadaan organisme dalam ekosistem. Komponen abiotik
meliputi tanah, air, suhu, cahaya, udara dan salinitas. Komponen biotik merupakan komponen
yang terdiri dari jasad hidup (organisme) seperti serangga penyerbuk, predator, parasitoid,
herbivora, cacing tanah serta mikro dan makro mesofauna dalam tanah. Komponen abiotik dan
biotik di dalam agroekosistem saling berinteraksi untuk mencapai keseibampangan ekosistem
pertanian. Kebutuhan pangan atau sumber nutrisi bagi faktor biotik tersedia dengan adanya
faktor abiotik tanah, air, unsur hara, dan anasir iklim yang mendukung nutrisi dalam tanah
maupun udara menjadi tersedia. Adanya daur unsur atau daur biogeokimiawi di alam
menunjukkan keterkaitan antara faktor biotik dan abiotik.
C. Pengelolaan Agroekosistem
Pengelolaan yang dilakukan manusia pada agroekosistem agar memperoleh produksi yang
tinggi biasanya dilakukan dengan memberikan input yang tinggi seperti pengolahan tanah,
pemupukan kimiawi, dan penggunaan pestisida yang berlebihan. Pengelolaan hama penyakit
yang berlebihan ini dapat menyebabkan perkembangan populasi hama menjadi tidak stabil dan
cenderung meningkat. Keragaman spesies hama yang rendah menyebabkan ekosistem menjadi
tidak seimbang, sehingga mudah terjadi outbreak serangan hama dan populasi cenderung tinggi.
Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat menyebabkan dampak negatif yaitu munculnya
resistensi, resurjensi, matinya musuh alami dan adanya residu pada produkproduk pertanian.
Kerentanan agroekosistem terhadap hama merupakan suatu akibat dari penyederhanaan dari
lanskap, seperti yang terjadi pada sistem pertanian dengan input tinggi di negara-negara maju
dan negara-negara yang mengembangkan ekspor hasil pertanian dengan menerapkan sistem
tanam monokultur. Sistem pertanian monokultur menurunkan jumlah dan aktivitas musuh alami
karena terbatasnya sumber pakan, seperti polen, nektar dan mangsa atau inang alternatif yang
diperlukan oleh musuh alami untuk makan, bereproduksi (Andow, 1991) serta tempat untuk
refugia untuk bertahan pada suatu ekosistem (Jervis et al, 2004).
3. Penggunaan Pestisida
Dampak negatif dari penggunaan insektisida kimia secara intensif dalam jangka panjang
telah banyak dilaporkan, yaitu timbulnya resistensi, resurgensi, munculnya serangga sekunder,
dan polusi. Sedikitnya telah dilaporkan adanya 50 spesies arthropoda yang telah resisten
terhadap insektisida dan akarisida (van Driesche dan Bellows, 1996).
5. Iklim
Cuaca dapat menjadi faktor abiotik penting pemicu peledakan populasi hama. Hal ini tidak
terlepas dari faktor fisiologis herbivora. Komponen iklim yang paling berpengaruh terhadap
perkembangan populasi serangga adalah suhu dan kelembaban udara. Guiterez et al. (1974)
melaporkan bahwa beberapa kondisi suhu dan kelembaban udara dapat menyebabkan perubahan
pada populasi kutu daun, karena adanya perubahan pada perkembangan fisiologi, migrasi dan
pemencaran, sehingga menyebabkan peledakan populasi lokal.
D. Interaksi Agroekosistem
Penanaman dua tanaman pada petak yang sama dalam tahun atau musim tanam yang sama.
Tumpangsari atau tanam campuran – di mana dua atau lebih banyak tanaman ditanam
pada waktu yang sama atau serupa kali (misalnya jagung disertai dengan kacang, kacang
tunggak, ubi jalar, nasi, labu, dll);
Tanam estafet – di mana satu tanaman ditanam plot yang sama menjelang akhir siklus
hidup lain (misalnya kacang sering ditanam setelah bunga jagung dan digandakan di
banyak bagian);
Tanaman berurutan – di mana satu tanaman ditanam setelah panen yang lain.
Interaksi pada tingkat komunitas atau regional:
1. Penggunaan input oleh satu jenis petani dari output dari jenis petani lain (misalnya, peternak
yang membeli sisa jagung dari petani tanaman khusus);
2. Penggunaan yang berbeda dan bersaing dari sumber daya yang sama oleh pemangku
kepentingan yang berbeda:
KESIMPULAN
Kajian, B., & Agroekosistem, M. (2013). Bahan Kajian dalam MK. Manajemen Agroekosistem.
González, F., Gimeno, A., Espinal, I., Sanabria, A. M., Uribe Rodríguez, A. F., Del Valle, N. Q.,
Velázquez, J. A. V., García, F. J., López, M. D. L. G., Buenabad, N. G. A., Icaza, M. E. M.
M., Luz Yolanda Toro Suarez, Eneida, D., Ávila, O., Esthela, L., Hernández, A., Laura, L.,
Yépiz, S., Braun, V., & Clarke, V. (2006). Qualitative Research in Psychology, 0(2), 47–54.
Haryadi, N. T., & Purnomo, H. (2019). Rekayasa Agroekosistem dan Konservasi Musuh Alami.