Anda di halaman 1dari 11

Nama : Sri Wahyuningsih

NIM : 20201221110

Prodi : Manajemen

1. Apa saja tugas seorang kurator dan pengawas ?


Jawaban :
Tugas yang paling fundamental untuk kurator adalah melakukan pengurusan
atau pemberesan harta pailit. Tugas kurator dapat dilihat pada job description dari kurator
pengurus, karena setidaknya ada 3 jenis penugasan yang dapat diberikan kepada kurator
pengurus dalam hal proses kepailitan, yaitu:
A. Sebagai Kurator Sementara
Kurator sementara ditunjuk dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan debitur
melakukan tindakan yang mungkin dapat merugikan hartanya, selama jalannya proses
beracara pada pengadilan sebelum debitur dinyatakan pailit. Tugas utama kurator
sementara adalah untuk mengawasi :
- pengelolaan usaha debitur; dan
- pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur yang
dalam rangka kepailitan memerlukan kurator.

B. Sebagai Pengurus
Pengurus ditunjuk dalam hal adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(“PKPU”). Tugas pengurus hanya sebatas menyelenggarakan pengadministrasian
proses PKPU, seperti misalnya melakukan pengumuman, mengundang rapat-rapat
kreditur, ditambah dengan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan usaha yang
dilakukan oleh debitur dengan tujuan agar debitur tidak melakukan hal-hal yang
mungkin dapat merugikan hartanya. Pengurus yang diangkat harus independen dan
tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitur atau kreditur. Yang dapat
menjadi pengurus, adalah :
- orang perseorangan yang berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia, yang
memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta Debitor;
dan
- terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
hukum dan peraturan perundang-undangan.

Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam


melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta debitor.

C. Sebagai Kurator
Kurator diangkat pada saat debitur dinyatakan pailit. Sebagai akibat dari keadaan
pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, maka debitur kehilangan
hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta
pailit, dan oleh karena itu kewenangan pengelolaan harta pailit jatuh ke tangan
kurator.

Dari berbagai jenis tugas bagi kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan,
maka dapat disarikan bahwa kurator memiliki beberapa tugas utama, yaitu:

• Tugas Administratif
Dalam kapasitas administratif-nya, kurator bertugas untuk mengadministrasikan
proses-proses yang terjadi dalam kepailitan, misalnya melakukan pengumuman
(Pasal 15 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU); mengundang rapat-rapat kreditur
(Pasal 82 UU Kepailitan dan PKPU); mengamankan harta kekayaan debitur pailit
(Pasal 98 UU Kepailitan dan PKPU); melakukan inventarisasi harta pailit (Pasal
100 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU); serta membuat laporan rutin kepada
hakim pengawas (Pasal 74 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU).

Dalam menjalankan kapasitas administratifnya, kurator memiliki kewenangan


untuk melakukan penyegelan, bila perlu (Pasal 99 ayat (1) UU Kepailitan).

• Tugas Mengurus/Mengelola Harta Pailit


Berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 69 UU Kepailitan dan PKPU, sejak putusan pailit
diucapkan semua wewenang debitur untuk menguasai dan mengurus harta pailit
termasuk memperoleh keterangan mengenai pembukuan, catatan, rekening bank,
dan simpanan debitur dari bank yang bersangkutan beralih kepada kurator.
• Tugas Melakukan Penjualan-Pemberesan
Tugas yang paling utama bagi kurator adalah melaksanakan tugas pengurusan
dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Maksudnya pemberesan di sini adalah penguangan aktiva untuk membayar atau
melunasi utang.

Sementara untuk hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta
pailit. Dalam putusan pernyataan pailit, selain kurator, harus juga diangkat seorang hakim
pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan. Pengadilan wajib mendengar pendapat
hakim pengawas, sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau
pemberesan harta pailit.

Hakim pengawas berwenang untuk mendengar keterangan saksi atau memerintahkan


penyelidikan oleh para ahli untuk memperoleh kejelasan tentang segala hal mengenai
kepailitan. Tugas hakim pengawas juga dapat dilihat dalam rapat kreditur, yaitu bertindak
sebagai ketua. Hakim pengawas menentukan hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat
Kreditor pertama, yang harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal putusan pailit diucapkan.

Dalam hal pencocokan piutang, paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan
pernyataan pailit diucapkan, hakim pengawas harus menetapkan :

1. batas akhir pengajuan tagihan;


2. batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
3. hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat Kreditor untuk mengadakan pencocokan
piutang.
2. Apakah Kurator dapat menyelenggarakan RUPS, mengubah anggota Dewan Direksi dan
Dewan komisaris?
Jawaban :
Mengenai mengubah (penggantian atau pemberhentian) anggota Direksi dan Dewan
Komisaris diatur dalam Pasal 105 dan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Pengaturan dalam Pasal 105 ayat (1) UUPT (yang
juga berlaku bagi pemberhentian Dewan Komisaris), dikatakan bahwa anggota Direksi
(maupun Dewan Komisaris) dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan
RUPS dengan menyebutkan alasannya.

Keputusan RUPS untuk memberhentikan anggota Direksi dapat dilakukan dengan alasan
yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi yang
ditetapkan dalam UUPT. Antara lain melakukan tindakan yang merugikan Perseroan atau
karena alasan lain yang dinilai tepat oleh RUPS.

Pemberhentian Direksi dan Dewan Komisaris didasarkan pada keputusan RUPS, maka
perlu dilihat kuorum yang harus dipenuhi agar keputusan tersebut dapat diambil.
Berdasarkan Pasal 86 ayat (1) UUPT, RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih
dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau
diwakili, kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum
yang lebih besar.

Keputusan RUPS pada dasarnya diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Akan
tetapi dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai,
keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah suara
yang dikeluarkan kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa
keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar.

Jadi berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita lihat bahwa pihak yang berhak mengubah
(penggantian atau pemberhentian) anggota Direksi dan Dewan Komisaris adalah
RUPS. RUPS, adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan
kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UUPT
dan/atau anggaran dasar.

Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas (hal. 316), yang
dapat atau berhak meminta kepada Direksi supaya diadakan dan diselenggarakan RUPS
tahunan atau RUPS Luar Biasa adalah:
A. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu
persepuluh) atau lebih jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali AD
menentukan suatu jumlah yang lebih kecil, atau
B. Dewan komisaris, jika berpatokan pada ketentuan Pasal 79 ayat (2) huruf a UUPT,
yang berhak meminta adalah pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) jumlah seluruh saham dengan hak suara. Namun ketentuan itu
sendiri membolehkan AD menentukan jumlah yang lebih kecil dari itu.

Maka berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa pihak yang berhak
mengubah (penggantian atau pemberhentian) anggota Direksi dan Dewan Komisaris
adalah RUPS. RUPS tersebut hanya berhak diselenggarakan oleh pemegang saham atau
dewan komisaris. Kurator sebagai pihak yang melakukan pengurusan dan/atau
pemberesan harta pailit tidak memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan RUPS.

3. Apakah BUMN dapat dipailitkan?


Jawaban :
Kepailitan BUMN tidak boleh dibedakan antara kepailitan terhadap badan hukum privat
dan badan hukum publik seperti BUMN. Baik BUMN yang berbentuk Persero, maupun
Perum dapat dipailitkan sebagaimana layaknya badan hukum privat dapat dipailitkan.
Pertama, karena UU Kepailitan tidak membedakan antara kapasitas badan hukum publik
BUMN dengan badan hukum privat. Kedua, karena dalam pengaturan mengenai BUMN
sendiri, dimungkinkan terjadinya kepailitan bagi BUMN baik Persero (lihat Penjelasan
ps. 7 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998), maupun Perum (lihat ps. 25 Peraturan
Pemerintah No. 13 Tahun 1998).
Dari hal itu, maka tidak ada masalah dalam mempailitkan suatu BUMN yang berbentuk
badan hukum persero, karena memang UU Kepailitan juga tidak
memberikan privilege terhadap BUMN pada umumnya (perhatikan privilege yang
berlaku bagi Bank, dan Perusahaan efek, yang dengan sendirinya berlaku mutatis
mutandis bagi BUMN yang merupakan Bank dan perusahaan efek), dan oleh karenanya
kepailitan BUMN harus dipandang sebagaimana kepailitan suatu Badan Hukum biasa.

Praktis tidak ada hal spesifik yang perlu diperhatikan dalam mengajukan kepailitan bagi
BUMN, namun untuk memberi contoh pendapat pengadilan mengenai kepailitan BUMN,
maka agak sulit, karena sampai saat ini belum ada satupun BUMN di Indonesia
dinyatakan pailit. Meskipun beberapa kali permohonan pailit diajukan antara lain
terhadap PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari (Persero), PT Hutama Karya (Persero), dan
PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero), namun tidak ada hal penting yang dapat dicatat
dari pendirian hakim mengenai kepailitan BUMN tersebut, karena kesemua permohonan
tersebut tidak didasarkan atas kapasitas termohon sebagai BUMN, namun karena alasan-
alasan lain yang bersifat prosedural.

4. Aspek-aspek hukum apa saja yang perlu di perhatikan atau terkait pada peristiwa
kepailitan BUMN?
Jawaban :
a. Kewenangan pengajuan permohonan pailit terhadap BUMN. Apabila BUMN yang
akan dipailitkan adalah Bank, maka akan terjadi benturan dalam Pelaksanaan ketentuan
Pasal 2 ayat (3) dengan ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Ketentuan Pasal
2 ayat (3) menyatakan bahwa Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan
pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya Pasal 2 ayat (5) yang
berhak mengajukan permohonan pailit terhadap BUMN adalah Menkeu. Bank-bank
BUMN tidak ada yang berbentuk yang berbentuk BUMN perum tapi semua berbentuk
BUMN persero, jadi bukan Menteri Keuangan yang berwenang mengajukan tetapi tetap
Bank Indonesia. dengan demikian yang berlaku adalah Pasal 2 ayat 3, yakni yang
berwenang mengajukan kepailitan bank BUMN adalah tetap BANK INDONESIA. Jadi,
seandainya ada terdapat Bank BUMN yang berbentuk Perum pun, tetap yang berlaku
adalah Pasal 2 ayat 3 yang berwenang mengajukan adalah Bank Indonesia, hal ini karena
kepailitan bank adalah ketentuan lex specialis.
b. Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa Debitor yang mempunyai
dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya. Bunyi
Pasal 2 ayat (1) tersebut bersifat kumulatif, yang artinya syarat-syarat Debitor untuk
dapat dinyatakan pailit harus memenuhi semua unsur di atas. Apabila syarat-syarat
terpenuhi, Hakim ”harus menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga
dalam hal ini kepada Hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang
luas seperti pada perkara lainnya.
c. Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Kepailitan memungkinkan diletakkannya sita
jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Kreditor. Prosedur permintaan dan
penetapan sita jaminan dalam kepailitan memang mengacu pada ketentuan Pasal 10
UndangUndang Kepailitan. Dalam prakteknya, pemohon pailit biasanya memang
meminta kepada Pengadilan Niaga terhadap kekayaan Termohon pailit diletakkan sita
jaminan. Namun dalam prakteknya pula, permintaan sita jaminan tersebut tidak pernah
dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.

5. Pasal 7 UU Kepailitan mengatur tentang sita jaminan dalam kepailitan, tapi tata cara dan
prosedurnya tidak ada peraturan pelaksanannya. Menurut pasal 284 UU Kepailitan
dikatan bila tidak ada ketentuan yang mengaturnya, maka yang digunakan adalah
ketentuan dalam hukum acara perdata. Tapi nantinya akan banyak ketentuan yang tidak
sinkron dengan UU Kepailitan, contohnya soal jangka waktu, pengadilan yang
berwenang, soal jaminan dari kreditur (ps 7 ayat 3 UUK), dll Dapatkah Kreditur
mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga bila dalam perjanjian yang telah
disepakati terdapat klausula Arbitrase ?
Jawaban :
Dalam prakteknya, pemohon pailit biasanya memang meminta kepada Pengadilan Niaga
terhadap kekayaan Termohon pailit diletakkan sita jaminan. Namun dalam prakteknya
pula, permintaan sita jaminan tersebut tidak pernah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.
Karena, pertama, acara pemeriksaan di Pengadilan Niaga berlangsung dengan acara
sumir (sederhana) dan waktunya singkat (dalam 30 hari harus sudah ada putusan). Tanpa
prosedur sita jaminan saja, proses persidangan dan pemeriksaan perkara kepailitan sudah
sangat mepet timeline-nya.

Kedua, hakekat dari pernyataan pailit sendiri adalah sitaan umum terhadap harta benda
debitur yang ada sekarang maupun di masa yang akan datang. Oleh karena itu, tanpa
meminta sita jaminan pun, apabila debitur dinyatakan pailit maka otomatis pernyataan
tersebut merupakan sitaan umum dan tidak perlu lagi meminta sita jaminan ke pengadilan
negeri.

Jadi permohonan pailit yang disertai permintaan sita jaminan selama ini tidak pernah ada
yang dikabulkan oleh Majelis Pengadilan Niaga karena mereka beranggapan seandainya
nanti debitur dinyatakan pailit, maka otomatis seluruh harta benda debitur menjadi sitaan
umum yang digunakan untuk melunasi utangnya kepada kreditur-krediturnya.

Adanya pemilihan forum arbitrase dalam suatu perjanjian secara otomatis menghilangkan
kewenangan pengadilan negeri dalam mengadili sengketa yang timbul terkait perjanjian
tersebut. Baik sengketa tersebut termasuk perkara wanprestasi ataupun perbuatan
melawan hukum. Namun hal tersebut tidak berlaku dalam ruang lingkup pengadilan
niaga, khususnya dalam perkara kepailitan.

Dalam Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”), ditentukan sebagai berikut:
“Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan
pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang
utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pihak yang melakukan wanprestasi berdasarkan


perjanjian dengan klausula arbitrase tetap dapat diajukan permohonan pailit. Adanya
klausula arbitrase tersebut tidak menghilangkan kompetensi pengadilan niaga sebagai
peradilan khusus dalam menangani perkara kepailitan. Pengajuan permohonan pailit
tersebut tetap harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 UU Kepailitan. Yaitu terhadap
seorang debitor dapat diajukan permohonan pailit ketika:
A. Mempunyai dua atau lebih kreditor; dan
B. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih.

Sehingga, pengadilan niaga tetap berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
pailit tersebut, tanpa perlu diselesaikan terlebih dahulu melalui forum arbitrase. Namun
harus memenuhi syarat permohonan pailit dan dapat dibuktikan utang tersebut secara
sederhana.

6. Apakah adanya klausula arbitrase dalam perjanjian dapat menjadi dasar bagi pengadilan
untuk menolak permohonan pailit ?
Jawaban :
“ Adanya klausula arbitrase tidak menghilangkan kompetensi pengadilan niaga untuk
memeriksa permohonan pernyataan pailit.”

Adanya pemilihan forum arbitrase dalam suatu perjanjian secara otomatis menghilangkan
kewenangan pengadilan negeri dalam mengadili sengketa yang timbul terkait perjanjian
tersebut. Baik sengketa tersebut termasuk perkara wanprestasi ataupun perbuatan
melawan hukum. Namun hal tersebut tidak berlaku dalam ruang lingkup pengadilan
niaga, khususnya dalam perkara kepailitan.

Dalam Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”), ditentukan sebagai berikut:
“Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan
pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang
utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pihak yang melakukan wanprestasi berdasarkan
perjanjian dengan klausula arbitrase tetap dapat diajukan permohonan pailit. Adanya
klausula arbitrase tersebut tidak menghilangkan kompetensi pengadilan niaga sebagai
peradilan khusus dalam menangani perkara kepailitan. Pengajuan permohonan pailit
tersebut tetap harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 UU Kepailitan. Yaitu terhadap
seorang debitor dapat diajukan permohonan pailit ketika:
C. Mempunyai dua atau lebih kreditor; dan
D. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih.

Sehingga, pengadilan niaga tetap berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
pailit tersebut, tanpa perlu diselesaikan terlebih dahulu melalui forum arbitrase. Namun
harus memenuhi syarat permohonan pailit dan dapat dibuktikan utang tersebut secara
sederhana.

7. Apakah sanksi administraif yang berupa denda yang dijatuhkan oleh suatu instansi wajib
didahulukan pembayarannya dari piutang preferen dan piutang konkuren ?
Jawaban :
Jika sanksi administratife tersebut diberikan oleh instansi yang mempunyai ha katas kas
negara, kantor lelang, dan badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah , didahulukan
piutangnya dari piutang preferen dan konkuren (Pasal 1137 KUHPerdata). Berdasarkan
ketentuan tersebut, kedudukan instansi-instansi tersebut lebih tinggi jika dibandingkan
dengan piutang-piutang lainnya. Seperti piutang preferen yang diberikan hak istimewa
oleh undang-undang. Meskipun piutang preferen diberikan hak istimewa, hak dari kas
negara, kantor lelang, dan badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah tetap
didahulukan.

Undang-Undang yang telah mengakomodasi ketentuan dari pasal 1137 KUHPerdata


adalah UU No. 28 Tahun 2007 yentang ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP). Dalam Pasal 21 ayat (1) UU KUP dinyatakan bahwa negara mempunyai hal
mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggugung pajak.
Namum, ketentuan dalam KUHPerdata tersebut dalam praktiknya masih menjadi
perdebatan, karena pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
masih belum diatur secara tegas. Dalam Pasal 1137 KUHPerdata, hanya dikatakan bahwa
tagihan atau hakl dari kas negara, kantor lelang dan badan hukum lainnya. Namun, pasal
yang sama menyatakan bahwa tertib pelaksanaannya, jangka waktu hak tersebut akan
diatur dalam undang-undang khusus.

Anda mungkin juga menyukai