Anda di halaman 1dari 14

Nama : Sri Wahyuningsih

NIM : 20201221110

Prodi : Manajemen

1. Pengertian "LITIGASI" itu apa? Apakah hanya sebatas proses membawa suatu sengketa
ke meja peradilan saja, atau bagaimana? Apakah proses seperti "Mediasi", "Arbitrase",
dan "Konsiliasi" bisa dikatakan bagian dari "LITIGASI"?
Jawaban :
Tidak ditemukan definisi litigasi secara eksplisit di peraturan perundang-
undangan. Namun, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”) berbunyi :
“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”.

Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Penyelesaian
Sengketa mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia
bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas,
energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses
litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian
sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif
penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil (hal. 1-2).

Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam
bukunya Mediasi di Pengadilan, bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian
sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan
dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa
(hal. 8)
Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian
sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Menurut Pasal 1 angka 10 UU


30/1999, alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.

Frans Winarta dalam bukunya (hal. 7-8) menguraikan pengertian masing-masing


lembaga penyelesaian sengketa di atas sebagai berikut:

a. Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien)
dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan
memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan
kliennya.
b. Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses
pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang
lebih harmonis dan kreatif.
c. Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
d. Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para
pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.
e. Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai
dengan bidang keahliannya.

Akan tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar


pengadilan yang menjadi salah satu proses dalam penyelesaian di dalam pengadilan
(litigasi), yaitu mediasi. Mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Perma 1/2016”). Setiap hakim,
mediator, para pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur penyelesaian
sengketa melalui mediasi.

Semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan termasuk perkara perlawanan


(verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun
pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan berkekuatan hukum tetap,
wajib terlebih dahulu diupayakan mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Perma
1/2016.

Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban mediasi, meliputi:


a. sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu
penyelesaiannya, antara lain:
1. sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga;
2. sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan Industrial;
3. keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
4. keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
5. permohonan pembatalan putusan arbitrase;
6. keberatan atas putusan Komisi Informasi;
7. penyelesaian perselisihan partai politik;
8. sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana; dan
9. sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu
penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat
yang telah dipanggil secara patut;
c. gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara
(intervensi);
d. sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan;
e. sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar
Pengadilan melalui mediasi dengan bantuan mediator bersertifikat yang terdaftar di
Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang
ditandatangani oleh para pihak dan mediator bersertifikat.
Jadi dapat disimpulkan, arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi). Dengan
demikian, alternatif penyelesaian sengketa bukan merupakan bagian dari lembaga litigasi
meskipun dalam perkembangannya adapula yang menjadi bagian dari proses litigasi,
yaitu mediasi. Sedangkan litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang
dilakukan di muka pengadilan.

2. Apa Perbedaan Litigasi Dan Non Litigasi Jelaskan!


Jawaban :
Litigasi adalah persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga
memberikan informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk
mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga.
Sedangkan Jalur litigasi adalah penyelesaian masalah hukum melalui jalur pengadilan.

Umumnya, pelaksanaan gugatan disebut litigasi. Gugatan adalah suatu tindakan


sipil yang dibawa di pengadilan hukum di mana penggugat, pihak yang mengklaim telah
mengalami kerugian sebagai akibat dari tindakan terdakwa, menuntut upaya hukum atau
adil. Terdakwa diperlukan untuk menanggapi keluhan penggugat. Jika penggugat
berhasil, penilaian akan diberikan dalam mendukung penggugat, dan berbagai perintah
pengadilan mungkin dikeluarkan untuk menegakkan hak, kerusakan penghargaan, atau
memberlakukan perintah sementara atau permanen untuk mencegah atau memaksa
tindakan. Orang yang memiliki kecenderungan untuk litigasi daripada mencari solusi
non-yudisial yang disebut sadar hukum.

Non Litigasi berarti menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan. Jalur non-
litigasi ini dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Penyelesaian perkara diluar
pengadilan ini diakui di dalam peraturan perundangan di Indonesia. Pertama, dalam
penjelasan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman disebutkan ” Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian
atau melalui wasit (arbitase) tetap diperbolehkan” . Kedua, dalam UU Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 angka 10 dinyatakan
”Alternatif Penyelesaian Perkara ( Alternatif Dispute Resolution) adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, atau
penilaian para ahli.”

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) merupakan upaya tawar-


menawar atau kompromi untuk memperoleh jalan keluar yang saling menguntungkan.
Kehadiran pihak ketiga yang netral bukan untuk memutuskan sengketa, melainkan para
pihak sendirilah yang mengambil keputusan akhir.

3. Apa yang dimaksud dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa?


Jawaban :
Alternatif Penyelesaian Sengketa (“APS”), Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU
Arbitrase dan APS”) memberikan pengertian sebagai berikut : “Alternatif Penyelesaian
Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”

Lebih lanjut, Pasal 6 UU Arbitrase dan APS berbunyi:


1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh
para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan
dalam suatu kesepakatan tertulis.
3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda
pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator.
4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan
bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak
berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua
belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus
sudah dapat dimulai.
6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang
ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final
dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib
didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatanganan.
8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak pendaftaran.
9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan
ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis
dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase
ad–hoc.

4. Apa yang dimaksud dengan Alternatif?


Jawaban :
Alternatif adalah "pilihan lain", satu dari dua atau lebih cara untuk mencapai tujuan atau
akhir yang sama
5. Sengketa apa saja ditangani Arbitase?
Jawaban :
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, bias dikatakan pilihan terbaik yang
dapat dipilih oleh para pelaku bisnis baik untuk kerjasama di tingkat Nasional maupun
Internasional. Kelebihan arbitrase dari sisi hukum acara terdapat fleksibilitas yang tetap
berada dalam koridor hukum. Di sisi lain, arbiter yang memiliki pengetahuan baik dari
segi hukum maupun dari segi teknis, serta ketepatan waktu persidangan, menjadi
kelebihan arbitrase itu sendiri sehingga sidang dapat berjalan secara efektif. Selain itu,
kelanjutan hubungan bisnis antar para pihak juga diperhatikan. Bahkan tidak menutup
kemungkinan hubungan baik dan kerja sama tetap dapat dilanjutka
Contoh kasus yang ditangani dengan Arbitase:
• Pemerintah Indonesia dan Hesham Al Warraq
Pada 15 Desember 2014, ICSID memenangkan Indonesia terhadap gugatan salah
satu pemegang saham Bank Century, Hesham Al Warraq. Ini merupakan kemenangan
kedua Indonesia dalam kasus terkait, yang sebelumnya berhadapan dengan mantan
pemilik saham bank yang sama, Rafat Ali Rizvi. Pada tahun 2011, Hesham, yang
pernah menjabat Wakil Komisaris Utama Bank Century, menuntut pemerintah karena
tindakan ekspropriasi atas saham di bank tersebut.
Ia meminta ganti rugi senilai US$19,8 juta. Alih-alih memperoleh ganti rugi,
ICSID justru menolak gugatan Hesham terkait tindakan ekspropriasi. Dengan
demikian, kemenangan Indonesia pada dua kasus Bank Century tersebut membuat
pemerintah terhindar dari kewajiban membayar biaya sekitar Rp1,3 triliun atau
US$100 juta.

• Churchill Mining Plc, Planet Mining, dan Pemerintah Indonesia


Tepat pada 6 Desember 2016, Pemerintah Indonesia berhasil menang atas gugatan
dua perusahaan tambang batubara asing. Keputusan lembaga arbitrase internasional,
International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID) yang berbasis di
Washington DC, menolak gugatan kedua perusahaan tersebut.
Gugatan bermula dari pencabutan izin usaha kedua perusahaan oleh Pemerintah
Kutai Timur pada tahun 2010. Churchill Mining Plc dari Inggris pernah mengantungi
izin tambang seluas 350 km2 di Busang, Telen, Muara Wahau, dan Muara Ancalong
dengan mengakuisisi 75% saham PT Ridlatama Group. Sementara, Planet Mining
asal Australia merupakan anak perusahaan Churchill.
Sebelumnya, Churchill telah mengajukan gugatan hukum pada PTUN Samarinda.
Namun, hasilnya sama, pencabutan izin usaha oleh bupati tersebut sudah sesuai
prosedur. Proses banding berlanjut hingga ke MA dan hasilnya tetap sama, hingga
Churchill membawa kasus ini ke arbitrase internasional. Atas putusan ICSID tersebut,
Indonesia berhak memperoleh gugatan senilai US$1,31 miliar atau sekitar Rp17
triliun.

• Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI dan Avanti Communications Ltd.


Pada 6 Juni 2018, pengadilan arbitrase di bawah lembaga London Court of
International Arbitration (LCIA) memutuskan Avanti berhasil memenangkan perkara
melawan Kemenhan RI. Proses arbitrasi ini terkait dengan pembayaran sewa satelit
ARTEMIS Avanti oleh Indonesia.
Kasus ini bermula saat Avanti memosisikan Satelit Artemis di Slot Orbit 123° BT
sejak 12 November 2016 untuk mengantisipasi kehilangan hak spektrum L-band.
Indonesia lebih dulu mengisi slot tersebut lewat Satelit Garuda-1 selama 15 tahun
sampai berhenti mengorbit pada 2015. Menurut informasi, Indonesia sudah
berkomitmen membayar US$30 juta ke pihak Avanti sebagai biaya sewa dan relokasi
satelit. Namun, Indonesia berhenti melakukan pembayaran setelah Avanti menerima
US$13,2 juta.
Akhirnya, Agustus 2017 Avanti menggugat Indonesia melalui jalur arbitrase dan
resmi mematikan ARTEMIS pada November 2017. Atas gugatan tersebut, Indonesia
melalui Kemenhan RI wajib membayar kerugian yang dialami Avanti sebesar
US$20,075 juta selambatnya 31 Juli 2018.
6. Pasal 6 UU no. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan penyelesaian sengketa, bagaimana
peran seorang mediator dalam upaya membantu menyelesaikan sengketa antara para
pihak?
Jawaban :
Mediator dikenal dalam proses mediasi yang mengacu kepada Pasal 1 angka
2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan (“Perma 1/2016”), yaitu hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat
mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Yang dimaksud mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses


perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Selain itu, setiap mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah
mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang
diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi
dari Mahkamah Agung. Hakim tidak bersertifikat juga dapat menjalankan fungsi
mediator dalam hal tidak ada atau terdapat keterbatasan jumlah mediator bersertifikat
dengan syarat adanya surat keputusan ketua Pengadilan.

Tugas mediator tercantum dalam Pasal 14 Perma 1/2016 yakni:

Dalam menjalankan fungsinya, mediator bertugas:

a. memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk saling
memperkenalkan diri;
b. menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat mediasi kepada para pihak;
c. menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan tidak mengambil
keputusan;
d. membuat aturan pelaksanaan mediasi bersama para pihak;
e. menjelaskan bahwa mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu pihak
tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus);
f. menyusun jadwal mediasi bersama para pihak;
g. mengisi formulir jadwal mediasi.
h. memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan permasalahan
dan usulan perdamaian;
i. menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan berdasarkan
skala prioritas;
j. memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk:
1. menelusuri dan menggali kepentingan para pihak;
2. mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak; dan
3. bekerja sama mencapai penyelesaian;
k. membantu para pihak dalam membuat dan merumuskan kesepakatan perdamaian;
l. menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak dapat
dilaksanakannya mediasi kepada hakim pemeriksa perkara;
m. menyatakan salah satu atau para pihak tidak beriktikad baik dan menyampaikan
kepada hakim pemeriksa perkara;
n. tugas lain dalam menjalankan fungsinya

Sehingga dapat diketahui bahwa peran mediator lebih condong kepada membantu
merumuskan kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa dengan posisi
netral dan tidak mengambil keputusan tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Setelah dikeluarkannya kesepakatan perdamaian,
mediator kemudian mengajukannya agar dikuatkan dalam Akta Perdamaian kepada
hakim pemeriksa perkara.
7. Gambarkan dan jelaskan bagaimana proses pelaksanaan putusan arbitrase seusai dengan
UU No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa!
Jawaban :
Pasal 1 Angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, dijelaskan
bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 , pada prinsipnya
mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase adalah melalui tiga tahapan, yaitu :
tahap persiapan atau pra pemeriksaan, tahap pemeriksaan atau penentuan, dan tahap
pelaksanaan. Tahap persiapan adalah tahap untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna
siding pemeriksaan perkara. Tahap persiapan antara lain meliputi :
• Persetujuan Arbitrase dalam dokumen tertulis
• Penunjukan Arbiter
• Pengajuan surat tuntutan oleh termohon
• Jawaban surat tuntutan oleh termohon
• Perintah Arbiter agar para pihak menghadap siding Arbitrase

Tahap kedua adalah tahap pemeriksaan, yaitu tahap mengenai jalannya siding
pemeriksaan perkara, mulai dari awal pemeriksaan perkaranya, proses pembuktian,
sampai dijatuhkannya putusan oleh Arbiter.
Selanjutnya adalah tahap pelaksaan sebagai tahap terakhir, yaitu tahap untuk
merealisasi putusan Arbiter yang bersifat final dan mengikat. Pelaksanaan putusan dapat
dilakukan secara sukarela maupun dengan paksa melalui eksekusi oleh Pengadilan
Negeri.
Adapun mekanisme Arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai
berikut:
a. Permohonan Arbitrase dilakukan dalam bentuk tertulis dengan cara
menyampaikan surat tuntutan kepada Arbiter atau majelis Arbitrase yang
memuat identitas para pihak, uraian singkat tentang sengketa yang disertai
dengan lampiran bukti-bukti dan isi tuntutan yang jelas. Kemudian surat
tuntutan dan surat permohonan tersebut disampaikan kepada termohon yang
disertai perintah untuk memberikan tanggapan dan jawaban dalam waktu 14
hari sejak diterimanya tuntutan oleh termohon, selanjutnya diteruskan kepada
pemohon. Bersamaan dengan itu, Arbiter atau ketua majelis Arbitrase
memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang Arbitrase
dalam waktu 14 hari terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah tersebut.
b. Pemeriksaan sengketa Arbitrase harus dilakukan secara tertulis, kecuali
disetujuai oleh para pihak maka pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan.
Semua pemeriksaan sengketa oleh Arbiter atau majelis Arbitrase dilakukan
secara tertutup. Jumlah Arbiter harus ganjil, penunjukan 2 Arbiter dilakukan
oleh para pihak yang memiliki wewenang untuk memilih dan menunjuk
Arbiter yang ketiga yang nantinya bertindak sebagai ketua majelis Arbitrase.
Arbiter yang telah menerima penunjukan tersebut tidak dapat menarik diri,
kecuali atas persetujuan para pihak.
c. Dalam sidang pertama diusahakan perdamaian, bila dicapai kesepakatan maka
Arbiter atau majelis Arbitrase membuat suatu akata perdamaian yang sifatnya
final dan mengikat para pihak dan memerintahkan untuk memenuhi ketentuan
perdamaian tersebut. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, maka pemeriksaan
terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan. Pemeriksaan atas sengketa harus
diselesaikan dalam waktu 180 hari sejak Arbiter atau majelis Arbitrase
terbentuk. Jangka waktu ini dapat diperpanjang dnegan persetujuan para pihak
apabila diperlukan.
d. Atas perintah Arbiter atau majelis Arbitrase atau atas permintaan para pihak
dapat dipanggil seorang atau lebih saksi atau saksi ahli untuk didengar
kesaksiannya yang sebelumnya disumpah. Saksi atau saksi ahli tersebut dapat
memberikan keterangan tertulis atau didengar keterangannya dimuka sidang
Arbitrase yang dihadiri oleh para pihak atau kkuasanya.
e. Putusan Arbiter atau majelis Arbitrase diambil berdasarkan ketentuan hukum
atau berdasarkan keadilan dan kepatutan, Putusan tersebut harus diucapkan
dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup. Putusan
Arbitrase bersifat final, mempunyai kekeuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak. Selanjutnya putusan tersebut didaftarkan kepada kepaniteraan
Pengadilan Negeri setempat.
Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dapat juga dilakukan dengan
menggunakan Lembaga Arbitrase nasional atau internasioanl berdasarkan
kesepakatan para pihak, yang dilakukan menurut peraturan dan acara dari
lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain.

Anda mungkin juga menyukai