Oleh
Nurmala :200020009
Argentien Mardian : 200020042
Dosen Pengampu : Nuraini, S.H, M.H
SUMTERA UTARAMEDAN
MEDAN
2021
KATA PENiGANTAR
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda
demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………….………………………………….………….......... i
DAFTAR ISI ………………………..…………………..……………..………........... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ………………………………………………..… 1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………...…………...…… 3
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………………………... 4
1.4. Manfaat Penulisan………………………..…………………..…………….. 4
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan …………………………...………….……………………… 14
4.2. Saran …………………..………………………...……………………… 14
DAFTAR PUSTAKA ……………..…………………………………….…… 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara hukum, dimana tatanan hukum yang beroperasi
dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang
dianut dalam masyarakat diberbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum
dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan masyarakat). Paham Negara Hukum
Indonesia mendudukan kepentingan orang perorang secara seimbang dengan
kepentingan umum. Negara mengakui hak dan kewajiban asasi warga negara serta
membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminnya kehidupan
masyarakat yang aman, tentram dan damai.
Usaha untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memang memerukan ikut
sertanya semua manusia dalam semua bidang kehidupan seperti ekonomi, politik,
hukum dan sosial budaya. Salah satu cara agar bisa terwujud kesejahteraan bagi seluruh
rakyat indonesia ialah dengan cara mempergunakan hukum sebagai alatnya. Dengan
kata lain hukum hukum dipakai sebagai sarana untuk menciptakan keadilan dan
kemakmuran khususnya dibidang agraria. Pada jaman kolonial tujuan politik hukum
pemerintah penjajah jelas berorientasi pada kepentingan penguasa sendiri. Sedang
politik hukum indonesia, dalam hal ini politik hukum agraria nasional merupakan alat
bagi pembangunan masyarakat yang sejahtera, bahagia, adil dan makmur.
Di dalam usaha untuk mewujudkan tujuan tersebut, politik hukum agraria nasional
memberikan kedudukan yang penting pada hukum adat. Hukum adat dijadikan dasar
dan sumber dari pembentukan hukum agraria nasional. Pengambilan hukum adat
sebagai dasar merupakan pilihan yang paling tepat karena hukum adat merupakan
hukum yang sudah dilaksanakan dan dihayati oleh sebagian besar masyarakat indonesia.
Pengambilan hukum adat sebagai sumber memang mengandung kelemahan-kelemahan
tertentu. Hal ini berkaitan dengan sifat pluralistis hukum adat itu sendiri. Untuk
menghilangkan kelemahan-kelemahan itu harus dicari dan dirumuskan asas-asas,
konsepsi-konsepsi, lembaga-lembaga dan sistem hukunya. Hal inilah dijadikan sebagai
dasar dan sumber bagi pembentukan hukum agraria nasional.
1
Pembahasan mengenai struktur hukum tanah nasional tidak dapat dilepaskan dari
fakta sejarah tentang perkembangan hukum agraria di Indonesia pernah mengalami
jaman penjajahan yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi
perkembangan hukumnya. Secara garis besar sejarah hukum agraria dikelompokkan
menjadi dua yaitu pada jaman sebelum berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan setelah berlakunya Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang
mengalami berbagai penempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga
sekarang ini. Jadi riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana juga bidang hukum
lainnya mulai lahir dan berkembang melalui suatu evolusi yang lama dan panjang, sejak
mulai adanya pengetahuan dan inisiatif manusia untuk menciptakan kehidupan serasi
melalui hokum yang berkenaan dengan pertanahan, yang dalam hal ini dapat kita
anggap sebagai “embrio” Hukum Agraria itu sendiri.
Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda, Hukum Agraria dibentuk berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan Belanda dahulu yang merupakan dasar politik
Agraria Pemerntah Hindia Belanda dengan tujuan untuk mengembangkan penanaman
modal asing lainnya diperkebunan-perkebunan .Utuk mencapai tujuan ini pemerintah
Hindia Belanda telah menciptakan pasal 51 dari Indische Staatregeling dengan 8 ayat.
Ke-8 ayat ini kemudian dituangkan ke dalam undang-undang dengan nama “Agrariche
Wet” dan dimuat dalam Stb. 1870-55. Kemudian dikeluarkan keputusan Raja dengan
nama “Agrarisch Besluit” yang dikeluarkan tahun 1870.
2
1.3. Tujuan Penulisan
Yang menjadi tujuan penulisan makalah saya sebagai berikut :
1 Memberikan pengertian hukum agraria ?
2. Menjelaskan reformasi hukum agraria yang telah mengalami berbagai perubahan
dari masa kolonial sampai pada reformasi sekarang ?
3. Memberi informasi bahwa banyaknya persoalan yang dihadapi masyarakat dalam
bidang pertanahan yang kadang kala menuju pada konflik pertanahan yang dapat
merugikan dan jatuhnya korban jiwa seperti yang telah terjadi sebelumnya ?
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
4
3. Pengertian agraria dalam UUPA
Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak
memberikan batasan secara tegas pengertian agraria, tetapi istilah agraria ditemukan
diberbagai bidang ketentuan dalam UU tersebut yaitu : Konsideran huruf a21 dan
penjelasan UU22.
Dari beberapa rumusan ini maka dapat disimpulkan :
a. Kata agraris dipergunakan untuk menggambarkan corak kehidupan dari susunan
kehidupan, termasuk perekonomian rakyat indonesia.
b. Materi yang diatur menyangkut pengelolahan bumi, air, ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
c. Hak-hak yang diatur meliputi hak-hak atas tanah, hak guna air, pemeliharaan dan
penangkapan ikan serta hak guna ruang angkasa
Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud
dengan hukum agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.
Menurut Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan
ketentuan yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan
antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan
mengatur pula wewenang yang bersumber pada huungan tersebut.
· Menurut Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah
menjadai bagian dari hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan
hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang meliatakan pejabat yang
bertugas mengurus masalah agraria.
· Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil
hutan; Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan
space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
· Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup
Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah
permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh
bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan
5
yang langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA,
dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.
6
BAB III
PEMBAHASAN
Pada awal penjajahan Belanda, tanah tidak diatur secara sistematis. Barulah
pada masa penjajah Inggris, tanah untuk pertama kali diatur. Penjajah Inggris di bawah
Stamford Raffles (1811) membentuk Komisi McKenzie untuk menelaah masalah
agraria dan merekomendasi cara untuk memaksimalkan penggunaan lahan. Komisi ini
menetapkan bahwa seluruh tanah hanya dimiliki raja atau pemerintah. Ketika Belanda
kembali menjajah menggantikan Inggris, pada 1830 diperkenalkan Cultuurstelsel atau
Tanam Paksa. Seperlima dari tanah petani harus menanam tanaman yang telah
ditentukan pemerintah kolonial Belanda, antara lain: tembakau, tebu, teh, kopi dan
berbagai tanaman untuk ekspor. Pada masa ini, pihak swasta Belanda memperjuangkan
hak milik tanah pribumi (eigendom). Lalu, pada 1870 lahirlah Agrariche Wet yang
mengatur tentang tanah hak milik mutlak (eigendom) bagi pribumi dan tanah negara.
Masa ini sering disebut sebagai periode liberal (1870-1900). Sejak itu modal swasta
Belanda dan Eropa masuk ke sektor perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Mereka
menyewa tanah rakyat dengan skala tak terbatas. Pengelolaan liberal ini justru membuat
petani hanya menjadi buruh tani, sementara raja-raja cenderung memberi konsesi lahan
kepada pihak asing. Berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Di masa penjajahan
Jepang, banyak perkebunan besar terlantar. Ironisnya, petani malah diwajibkan
membayar pajak hingga 40% dari hasil produksi.
7
hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum
adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
4. Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya
dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Sebelum tahun 1870.
b. Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan sebagai
upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak
mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi.
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang
ditetapkan oleh VOC, antara lain;
1. Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial
(kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni
tanpa dibayar sepeser pun.
2. Verplichte leveranten.
ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban
meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah
ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa
berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3. Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat
Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
· Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
· Masa Pemerintahan Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
· Masa Pemerintahan Johanes van den Bosch (1830- )
Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government
dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan
pahaj bumi. Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di
8
Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai
dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris,
maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna
sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai
dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris. Oleh karena
itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana
sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri. Beberapa jenis hak atas tanah barat
yang dikenal yaitu:
1. Tanah eigendom, yaitu suatu hak atas tanah ang pemiliknya mempunyai kekuatan
mutlak atas tanah tersebut;
2. Tanah hak opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk memiliki sesuatu yang di atas tanah eigendom, pihak lain yang
dapat berbentuk rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya di samping hak opstal
tersebut memberikan wewenang terhadap benda-benda tersebut kepada pemegang
haknya juga diberikan wewenang-wewenang yaitu :
a. Memindah-tangankan benda yang menjadi haknya kepada pihak lain;
b. Dapat dijadikan jaminan utang;
c. Dapat diwariskan.
Dengan catatan hak opstal tersebut belum habis waktunya menurut perjanjian
yang telah ditetapkan bersama.
1 Tanah hak erfacht, yaitu hak untuk dapat diusahakan/mengolah tanah orang lain dan
menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut, keweangangan
pemegang hak erfacht hampir sama dengan kewewnangan hak opstal.
2. Tanah hak gebruis, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.
Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
1. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan pemanfaatana
tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
2. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
3. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
4. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
5. Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah melampaui
batas kemampuannya.
9
Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria Indonesia menurut
hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain, perangkat
hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung.
Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal peristilahan yang lain ;
1. Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayat
2. Hak perorangan atas tanah :
a. Hak milik, hak yayasan; d. Hak pakai;
b. Hak wenang pilih, hak mendahulu; e. Hak imbal jabatan;
c. Hak menikmati hasil; f. Hak wenang beli.
10
kembali hukum pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
· Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan
Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
· Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap
Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
· Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan
Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
· Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda
yang kembali ke negerinya.
11
Karno menyebut, “Land-reform adalah bagian mutlak dari Revolusi kita.” Pada 26
Agustus 1963, melalui Keputusan Presiden RI No. 169 Tahun 1963, tanggal 24
September, tanggal lahirnya UUPA, ditetapkan sebagai Hari Tani. Sayangnya pada
masa Orde Lama, UUPA ini tidak dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.
12
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dengan adanya perkembangan politik hukum agraria di Indonesia telah memberi
pecerahan kepada masyarakat akan pentingnya kepemilikan tanah yang sah yang diakui
oleh SK Camat, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan Badan Pertahanan Nasional.
Dimana masyarakat dikedepankan akan pentingnya kesejahteraan rakyat luas yang
secara tegas diatur dalam ketetuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu ; “bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagai titik awal dasar
politik hukum agraria di Indonesia. Kita sebagai warga negara sangat merindukan
upaya-upaya untuk menghadirkan Pancasila, Konstitusi dan paham konstitusionalisme
yang sanggup memberi arah dan inspirasi bagi usaha-usaha mewujudkan keadilan
agraria yaitu; kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi yang berarti dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam dan wilayah hidup
warga pedesaan dan pedalaman, dan terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian
lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam dan wilayah hidupnya.
4.2. SARAN
Kesemua hal ini selayaknya dijadikan alas bagi kehadiran upaya-upaya dan
sungguh-sungguh mengerjakan dan membentuk kembali birokrasi agraria dalam rangka
mewujudkan keadilan sosial yang harus ditempatkan seiring sejalan dengan upaya
sungguh-sungguh mengubah posisi rakyat miskin pedesaan dari penduduk menjadi
warga negara serta menjamin hak-hak atas kepunyaan kepemilikan tanah milik rakyat
dalam hal ini diberikan kemudahan dari Badan Pertanahan Nasional untuk mendata
serta mengeluarkan sertifat tanah warga negara dengan harga terjangkau.
13
DAFTAR PUSTAKA
John Gilissen , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar,
Refika Aditama, Bandung, 2005.
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema
Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain
yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan
Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996
14