Anda di halaman 1dari 5

Etika & Kepemimpinan : Dua Aspek Penunjang Jiwa Berkarakter Farmasis

Etika dan kepemimpinan merupakan aspek yang sangat krusial pada setiap individu. Pada
dunia pekerjaan, kedua hal ini menjadi hal yang tidak pernah terlupakan dan wajib dimiliki
oleh seorang pekerja yang profesional. Para penyedia lapangan pekerjaan tidak jarang
memasukkan dua hal ini sebagai bagian dari persyaratan pekerjaan. Etika dibutuhkan dalam
kerja atau bisnis ketika manusia mulai menyadari bahwa kemajuan di dunia pekerjaan atau
bidang bisnis telah mengakibatkan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaannya
(humanistik) (Redi, 1995). Dalam persaingan dunia pekerjaan yang ketat dan tentunya
kompetitif, perusahaan yang unggul tidak hanya perusahaan yang memiliki kriteria bisnis
manajerial yang baik, melainkan juga perusahaan yang menjunjung etika kerja yang baik.
Secara etimologi, kata “etika” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yakni
Ethos dan Ethikos. Ethos mempunyai arti berupa sifat, watak kebiasaan, dan tempat yang
biasa. Ethikos memilki arti berupa susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik
(Lorens, 2000). Etika sejatinya memiliki isi berupa ajaran yang mengandung perintah dan
larangan tentang baik dan buruknya perilaku manusia, yang berarti perintah yang harus
ditaati dan larangan yang harus dihindari (Keraf, 2002).

Selain memegang nilai etika dengan kuat, kepemimpinan juga menjadi bagian dari tolak
ukur para pekerja dalam memasuki dunia pekerjaan yang profesional. Mc. Farlan dalam buku
Sudarwan Danim mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses di mana seorang
pemimpin digambarkan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses
mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Sudarwan, 2003). Kepemimpinan dibutuhkan pada dunia pekerjaan untuk
mempengaruhi dan mengarahkan perasaan dan pikiran orang lain, agar bersedia melakukan
sesuatu yang diinginkan pemimpin untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
Jika suatu organisasi pekerjaan tidak memiliki pemimpin, hal utama yang mungkin terjadi
adalah tujuan dalam organisasi pekerjaan tersebut tidak jelas dan berakhir dengan tidak
terarah. Kepemimpinan dapat dikatakan sebagai cara dari seorang pemimpin dalam
mengarahkan, mendorong dan mengatur unsur-unsur didalamnya, dalam suatu kelompok atau
organisasinya dalam mencapai suatu tujuan organisasi yang diinginkan sehingga
menghasilkan kinerja karyawan yang maksimal. Dengan meningkatkan kinerja karyawan, hal
ini dapat mewujudkan tercapainya hasil kinerja seseorang atau karyawan dalam mewujudkan
tujuan organisasi.
Dewasa ini, banyak orang yang mungkin masih asing atau bahkan belum memahami
secara utuh makna di balik kedua kata ini. Kasus-kasus terkait etika dan kepemimpinan tidak
jarang menjadi buah bibir di kalangan masyarakat, bahkan terkadang menjadi headline berita
nasional dan internasional. Salah satu kasus terkait etika dan kepemimpinan yang mungkin
masih menjadi perhatian di Indonesia adalah korupsi, kulusi, dan nepotisme. Berdasarkan
Badan Pusat Statistik Indonesia (2021), Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2021
sebesar 3,88 dari skala 0 sampai 5. Nilai indeks yang semakin mendekati 5 menunjukkan
bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, sebaliknya nilai indeks yang semakin
mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat cenderung semakin permisif terhadap korupsi.
Kasus yang mungkin masih hangat di telinga khalayak adalah Juliari Batubara, Menteri
Sosial Kabinet Indonesia Maju sejak 23 Oktober 2019 yang kemudian terjerat kasus korupsi
dana Bantuan Sosial Covid-19 pada tanggal 6 Desember 2020. (CNN Indonesia, 2020).

Kasus-kasus serupa juga banyak terjadi pada kalangan farmasis. Kasus yang saat ini masih
merajalela adalah obat-obat yang tidak memilki ijin edar, obat yang sudah kadaluarsa, dan
tidak jarang obat-obat yang tidak layak diperjualbelikan tersebut masih dijadikan bahan
dagangan oleh apoteker yang tidak bertanggung jawab. Kasus yang lain berkaitan dengan
etika dan kepemimpinan pada masa pandemi ini adalah penimbunan obat Covid-19 dan
masker, harga obat Chloroquin melampaui HET yang dilakukan oleh apoteker, obat keras
yang dijual bebas di e-commerce, resep-resep tidak resmi yang tersebar di broadcast
Whatsapp Group masyarakat oleh apoteker palsu, dan masih banyak lagi. Kasus-kasus ini
terjadi dalam rentang 2016-2021, yang artinya nilai etika dan kepemimpinan masih banyak
menyeleweng pada pendidikan karakter farmasis di Indonesia.

Seorang farmasis wajib memiliki 2 aspek ini. Seorang farmasis adalah seorang profesional
kesehatan yang mengetahui komposisi, sifat, interaksi, dan penggunaan obat yang tepat.
Untuk memahami komposisi, sifat, interaksi, dan penggunaan obat yang tepat, seorang calon
farmasis perlu menempuh pendidikan khusus untuk memperoleh kemampuan tersebut.
Kemampuan tersebut yang nantinya akan dipadu dengan etika sehingga menghasilkan
farmasis yang memiliki jiwa profesionalisme yang tinggi. Dari pengertian farmasis sendiri,
kita dapat mengambil kesimpulan bahwa farmasis merupakan suatu pekerjaan yang
membutuhkan profesionalitas. Suatu profesionalitas tidak pernah lepas pada aspek ini.
Menurut Dr. apt. Nanang Munif Yasin. M.Pharm, profesional adalah seseorang yang
melakukan suatu kegiatan, aktivitas, usaha, pekerjaan yang dilakukan untuk mendapatkan
nafkah, kesenangan atau memberi kontribusi dengan mengandalkan keahlian, keterampilan,
atau kemahiran yang tinggi dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam.
Profesionalisme yaitu lebih mengarah pada spirit, jiwa, sikap, karakter, semangat, dan nilai
yang dimiliki dari seorang yang profesional. Sikap dan tindakan profssional merupakan
tuntutan terhadap berbagai bidang profesi, tidak terkecuali farmasis atau apoteker.
Profesionalisme pada seorang farmasis atau apoteker dibutuhkan agar farmasis atau apoteker
dapat melakukan kegiatan pelayanan dengan mengandalkan keterampilan atau ilmu
farmasinya dalam menyesuaikan indikasi, efektifitas, keamanan, dan kepatuhan pasien atau
klien ke dalam penilaian adanya resiko masalah terkait obat yang akan diberikan (Suhartono,
dkk, 2015). Hal tersebut jika kita berbicara di ranah farmasi klinik. Intinya, profesionalisme
pada seorang farmasis dibutuhkan untuk mengimplementasikan ilmu kefarmasian yang sesuai
dengan bidangnya dengan menyelaraskan nilai-nilai kemanusiaan demi kesejahteraan di
muka bumi.

Pendidikan mengenai etika dan kepemimpinan di Indonesia mungkin masih dianggap


belum mencapai titik puncak. Pendidikan di sekolah lebih memprioritaskan pendidikan
intelek atau akademis yang lebih mengembangkan dan mementingkan kemampuan berpikir
logika kognitif belaka. Kita tidak jarang menemukan murid lebih disanjung jika pintar dalam
hal akademis, namun kita jarang menemukan apresiasi yang tinggi terhadap moral seorang
murid. Pada faktanya, pendidikan tanpa memperhatikan masalah moral akan menimbulkan
bahaya yang besar bagi negara. Theodore Roosevelt dalam Ratna Megawangi (2010) pernah
menyatakan bahwa mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral
adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat. Ajaran mengenai etika dan kepemimpinan
di Indonesia sampai saat ini belum berada di titik yang jelas. Hal ini dibuktikan adanya
degradasi nilai-nilai etika dan kepemimpinan dari tingkat masyarakat hingga para pejabat
tinggi di Indonesia. Buktinya sudah terdeskripsikan dengan jelas dari kasus-kasus korupsi,
pelayanan pemerintah untuk masyarakat yang buruk, dan kasus-kasus yang berkaitan dengan
penyelewengan jabatan. Sinyal-sinyal seperti ini seharusnya cepat ditangkap oleh pemerintah
Indonesia.

Nilai-nilai moral, termasuk etika dan kepemimpinan, harusnya sudah ditanamkan sejak
pendidikan pertama seorang anak. Usia dini (4-5 tahun) merupakan masa peka bagi anak-
anak. Pada masa ini, anak mulai sensitif menerima berbagai upaya perkembangan seluruh
potensi mereka, maka dari itu, usia ini merupakan masa yang tepat untuk merangsang
kepekaan mereka dengan stimulus dan kondisi yang sesuai dengan kebutuhannya agar
perkembangan anak tercapai secara optimal, terutama dalam tahap pembentukan perilaku.
Pada usia anak 4-5 tahun, seorang pengajar dan tentunya orang tua di rumah dapat
memberikan gambaran kepada anak-anak mengenai etika dan kepemimpinan. Namun,
kembali lagi, masih banyak para pengajar dan orang tua yang lebih fokus mengajarkan
anaknya lihai berhitung dan membaca daripada pendidikan moral. Sejatinya, pemimpin yang
bermoral bukan dilahirkan, namun dibentuk. Orang tua bisa memulai pendidikan disiplin
pada anak-anak. Orang tua bisa mengajak anak pergi ke suatu tempat yang membutuhkan
antrean, misalnya bank atau ke stasiun kereta api yang membutuhkan antrean panjang untuk
mendapatkan tiket. Untuk melatih kepemimpinan, anak – anak dapat diajarkan tanggung
jawab, kejujuran, percaya diri, dan sikap berani. Contoh ajaran yang dapat diwejangkan
adalah memberikan tugas rumah seperti merapikan tempat tidur setelah bangun pagi, atau
membersihkan ruang bermain setelah selesai bermain, mengajari anak-anak untuk berani
mengakui kesalahan, berani tampil di depan kelas, menghargai pendapat teman-temannya,
dan masih banyak hal positif lainnya yang dapat diajarkan untuk menumbuhkan etika dan
kepemimpinan yang baik pada seorang anak.

Pemerintah seharusnya juga tidak hanya sekadar merumuskan kurikulum pendidikan


karakter dan sejumlah aturan kesiswaan, tetapi juga harus menyediakan sarana dan
prasarananya, manajemen pendidikannya, dan adanya perilaku kepemimpinan yang baik dari
kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf sesuai fungsinya masing-masing untuk
menciptakan budaya sekolah yang mendukung terwujudnya pendidikan berkarakter . Kita
tidak jarang menemukan pola pikir orang awam yang lebih khawatir anaknya tidak mampu
menangkap pelajaran dengan baik daripada tidak memiliki karakter yang mulia. Sehingga,
saat sudah duduk di bangku perkuliahan atau saat sudah bekerja di suatu lapangan pekerjaan,
ilmu terkait etika dan kepemimpinan belum dapat diimplementasikan secara praktik,
melainkan hanya teori yang cenderung mudah dilupakan.

Untuk menjadi seorang farmasis yang beretika dan memiliki jiwa kepemimpinan yang
tinggi harus sudah ditanam dari kecil. Kesadaran mengenai etika dan kepemimpinan bisa
hadir kapan saja, namun itu menjadi hal yang fatal ketika kesadaran baru mulai muncul saat
sudah merugikan suatu pihak. Jika sudah merugikan suatu pihak, maka tidak jarang akan
berurusan dengan pihak berwajib. Oleh sebab itu, etika dalam profesi apoteker diperlukan
karena etika ini bertugas untuk menilai apa yang harus dilakukan manusia. Etika akan
memberikan 2 penilaian terhadap tindakan manusia, yaitu baik dan buruk. Seorang farmasis
wajib menerapkan keilmuannya dengan tindakan yang baik dan mulia. Selain itu, farmasis
juga dituntut untuk memilki jiwa kepemimpinan yang apik. Kepemimpinan yang apik tentu
harus dibarengi dengan etika. Etika akan memberikan pedoman pada seorang pemimpin
untuk mengambil keputusan, berfikir rasional, dan memberikan pengaruh positif bagi orang-
orang yang dipimpinnya.

Oleh sebab itu, aspek etika dan kepemimpinan merupakan fondasi yang utuh pada
sesorang yang berprofesi, tak terkecuali profesi farmasis atau apoteker. Pendidikan karakter,
seperti etika dan kepemimpinan, sudah seharusnya digalakkan sejak dini, bukan hanya teori
belaka, serta pemerintah dan pihak berwajib yang juga tanggap dalam kasus penyelewangan
etika dan kepemimpinan oleh farmasis. Dengan meningkatkan sistem pendidikan dan
penegakan hukum seperti itu, niscaya prospek profesi farmasis atau apoteker di Indonesia
akan semakin cerah dan jauh dari penyelewengan.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Indonesia, 2021, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Menurut
Dimensi 2019-2021, https://www.bps.go.id/indicator/34/635/1/indeks-perilaku-anti-
korupsi-ipak-menurut-dimensi.html , diakses pada 24 Juli 2021.
CNN Indonesia, 2020, KPK Tetapkan Menteri Sosial Juliari Tersangka Bansos Covid-19,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201205210711-12-578456/kpk-tetapkan-
menteri-sosial-juliari-tersangka-bansos-covid-19, diakses pada 25 Juli 2021.
Keraf. A. S., 2002, Etika Lingkungan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Lorens B., 2000, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Ratna M., 2004, Pendidikan Karakter, Solusi Tepat Untuk Membangun Bangsa, IHF dan BP
Migas, Jakarta.
Redi P., 1995, Komunikasi Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudarwan, D., 2003, Riset Keperawatan Sejarah dan Metodologi, EGC, Jakarta.
Suhartono, Umi, A., & Whayu, U., 2015, Analisis Hubungan Profesionalisme Apoteker
dengan Praktek Asuhan Kefarmasian: Studi pada Kasus Terapi Diabetes di Apotek
Wilayah Kabupaten Sidoarjo, JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA.

Anda mungkin juga menyukai