Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menyadari pentingnya gizi bagi kehidupan balita untuk menunjang

pertumbuhan dan perkembangannya, maka pola konsumsi seimbang perlu

diterapkan ibu ataupun pengasuh anak. Rendahnya konsumsi pangan atau tidak

seimbangnya gizi makanan yang dikonsumsi mengakibatkan pertumbuhan fisik

dan perkembangan otak anak terganggu. Hal ini menyebabkan mereka menjadi

generasi yang hilang dan Negara kehilangan sumber daya yang berkualitas.

Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 adalah Program

Indonesia Sehat dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi

masyarakat. Dalam mempersiapkan peningkatan kualitas sumber daya manusia

yang sehat, cerdas, terampil, produktif dan kreatif yang akan meneruskan

pembangunan bangsa harus lebih memperhatikan aspek tumbuh kembang balita,

sehingga dalam jangka panjang tercipta kesehatan bangsa Indonesia secara nyata

(Kemenkes RI, 2015).

Dua tahun pertama anak, gizi yang optimal mendorong pertumbuhan dan

meningkatkan perkembangan kognitif. Pada masa ini juga dapat mengurangi

risiko terjadinya berat badan lebih atau obesitas dan perkembangan penyakit

menular di kemudian hari (WHO, 2015). Kasus anak usia bawah 5 tahun yang

mengalami gizi kurang di dunia pada tahun 2015 sebanyak 50 juta, anak dengan

stunting sekitar 156 juta. Sedangkan anak dengan kelebihan berat badan sebanyak

42 juta (WHO, 2016).


Prevalensi gizi kurang di Indonesia pada tahun 2013 diketahui pada

balita (BB/U<-2SD) mempunyai gambaran fluktuatif yakni dari 18,4% (2007) dan

kemudian menurun menjadi 17,9% (2010), serta meningkat lagi menjadi 19,6%

(2013) (Kemenkes RI, 2013). Data tersebut menunjukkan bahwa masalah gizi

kurang, sulit untuk di cegah bahkan dihilangkan. Melalui penerapan gizi seimbang

diharapkan kejadian gizi kurang tidak semakin bertambah.

Masalah gizi seimbang di Indonesia masih merupakan masalah yang

cukup berat. Pada hakikatnya berpangkal pada keadaan ekonomi yang kurang dan

terbatasnya pengetahuan tentang nilai gizi dari makanan. Pola makan merupakan

perilaku paling penting yang dapat memengaruhi keadaan gizi. Agar tubuh tetap

sehat dan terhindar dari berbagai penyakit tidak menular (PTM) terkait gizi, maka

pola makan masyarakat perlu ditingkatkan ke arah konsumsi gizi seimbang. Gizi

yang optimal sangat penting untuk pertumbuhan normal serta perkembangan fisik

dan kecerdasan balita (Kemenkes RI, 2014).

Perilaku suatu individu dapat dilihat dari pengetahuan, sikap dan tindakan

nyata. Pengetahuan tentang gizi baik secara langsung maupun tidak langsung

dapat memengaruhi sikap dan tindakan gizi (Notoatmodjo, 2012). Menurut

Friedman yang dikutip oleh Nurharlinah (2006), Keluarga sebagai tempat yang

memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang

balita. Pengetahuan dan sikap ibu akan memengaruhi asupan makanan yang ada di

dalam keluarga terutama anak (Rakhmawati, 2014).

Kurangnya pengetahuan orang tua, khususnya ibu merupakan salah satu

penyebab terjadinya kekurangan gizi pada balita (Frost & Michelle, 2005).

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal

dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, petugas
kesehatan, keluarga dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012). Pengetahuan ini

diharapkan dapat membantu ibu dalam memperoleh pengetahuan tentang gizi

seimbang yang lebih baik. Seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya

menyiapkan makanan bagi anggota keluarganya haruslah mempunyai

pengetahuan dan keterampilan tentang menu sehat dan seimbang. Hasil penelitian

yang dilakukan Pertiwi (2012) menyatakan bahwa ada hubungan antara

pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu

dapat memengaruhi rendahnya tingkat konsumsi energi dan protein pada balita.

Ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik cenderung memilih makanan yang lebih

baik dari pada ibu yang berpendidikan rendah.

Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang beranekaragam, maka akan

timbul ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang

diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Seorang ibu yang memiliki peran

penting untuk memberikan gizi seimbang untuk anaknya, hal ini berhubungan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawatti (2016) mengenai pengetahuan

ibu tentang gizi seimbang didapat sekitar 51,3% pengetahuan ibu termasuk dalam

kategori kurang.

Rendahnya konsumsi energi dan protein balita di Indonesia dibuktikan dengan

adanya Survei Diet Total (SDT) 2014 mendapatkan bahwa 55,7% balita

mendapatkan asupan energi yang kurang dari Angka Kecukupan Energi (AKE)

dan 17,1% balita mendapatkan asupan energi melebihi Angka Kecukupan Gizi

(AKG) yang dianjurkan, yaitu ≥130% AKE. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh (Hermina, 2011) menunjukkan bahwa tidak semua anak balita

mengkonsumsi sayuran, yaitu hanya 56,1% yang mengkonsumsi sayuran, baik

pada anak yang normal maupun pada anak yang pendek. Buah termasuk makanan

yang sedikit sekali dikonsumsi oleh anak, yaitu hanya 13,7% anak normal yang
makan buah, dan hampir sama dengan anak pendek (12,4%). Padahal sayuran dan

buah sebaiknya dikonsumsi oleh anak-anak setiap hari agar konsumsi

makanannya sesuai dengan anjuran pedoman gizi seimbang (PGS).

Kaitannya dengan gizi balita, maka pendidikan merupakan suatu upaya

yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan keluarga khususnya ibu. Menurut

Green (1980) faktor predisposisi (predisposing factor) yang memengaruhi

perilaku kesehatan seseorang di antaranya adalah pengetahuan dan sikap yang

dimilikinya. Selain faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat

(reinforcing factor), jika ibu memiliki pengetahuan tentang gizi balita diharapkan

ibu akan mempunyai sikap dan keterampilan yang baik dalam memberikan asupan

gizi pada balitanya.

Data detil untuk Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013, ditemukan fakta

bahwa prevalensi balita gizi buruk dan kurang sebesar 22,4% yang terdiri dari

8,3% gizi buruk dan 14,1% gizi kurang. Angka ini lebih tinggi 2,8% dengan angka

prevalensi gizi berat kurang nasional yaitu 19,6%. Jika dibandingkan angka

provinsi tahun 2007 (22,7%) dan tahun 2010 (21,3%) tidak ada penurunan yang

signifikan. Meskipun ada penurunan sebesar 0,6% dari tahun 2007 ke tahun 2010

namun terjadi kenaikan kembali sebesar 0,5% (gizi buruk) dan 0,6% untuk gizi

kurang pada tahun 2013. Dengan angka sebesar 22,4% prevalensi gizi kurang dan

gizi buruk di Sumatera Utara masih termasuk dalam kategori tinggi (standar

WHO; 5-9% rendah, 10-19% medium, 20-39% tinggi, >40% sangat tinggi)

(Kemenkes RI, 2013).

Pengetahuan ibu mengenai makanan pengganti sumber karbohidrat sangat

kurang. Sekitar 70% Ibu hanya memberikan susu ketika anaknya tidak mau makan

nasi. Kurangnya pengetahuan ibu ini membuat tidak tercukupinya kebutuhan gizi

anak. Selain itu, mengenai sikap ibu dalam memberi makanan seimbang pada
anak, terlihat kurang yaitu sebanyak 50%, ibu memberikan sarapan di atas jam 9

dengan alasan disibukkan dengan pekerjaannya. Beberapa ibu hanya

memberikan makanan pokok saja pada anaknya dan sangat jarang diberikan buah

dan sayur. Sekitar 60% ibu memberikan makan anaknya dalam jumah yang

sedikit, karena ibu takut makanan anaknya bersisa. Mereka juga tidak mengenal

PGS sebagai pedoman gizi seimbang dan lebih mengetahui 4 sehat 5 sempurna.

Sebagian ibu mengetahui informasi mengenai gizi seimbang melalui media

elektronik maupun media cetak.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

yang bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan sikap ibu

tentang gizi seimbang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Cakra Negara tahun

Kota Mataram 2019.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran pengetahuan dan sikap ibu terhadap

gizi seimbang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Cakranegara”.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terbagi dalam dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus.
1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat

pengetahuan dan sikap ibu tentang gizi seimbang pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Cakranegara tahun Kota Mataram 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:


1. Untuk mengetahui mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang

gizi seimbang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Cakranegara

tahun 2019.

2. Untuk mengetahui mengetahui gambaran sikap ibu tentang gizi

seimbang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Cakranegara tahun

2019.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Dalam Bidang Pendidikan

Sebagai sumber informasi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan

kepustakaan serta pembelajaran guna perkembangan ilmu kesehatan dan dapat

pula digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian berikutnya.

1.5.2 Manfaat Bagi Pembaca

Memberikan informasi dan menambah wawasan mengenai gambaran

pegetahuan dan sikap ibu terhadap gizi seimbang pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Cakranegara tahun 2019.

1.5.3 Manfaat Bagi Praktisi Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pelayanan

kesehatan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya

mengenai edukasi kepada orang tua guna meningkatkan pengetahuan dan

sikap oarang tua terhadap gizi seimbang pada balita. Memberikan gambaran

bagi Puskesmas Cakranegara Kota Mataram tentang pengetahuan dan sikap

ibu dalam memberikan asupan makanan bagi anak melalui program

Penyuluhan Gizi Masyarakat guna meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan ibu tentang cara memilih dan mengolah berbagai jenis makanan

bergizi seimbang serta dapat meningkatkan status kesehatan anak.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Zat Gizi

Fungsi zat gizi secara umum adalah sebagai sumber energi, zat

pembangun dan pengatur. Fungsi tersebut dapat berasal dari makanan yang kita

konsumsi. Setiap kelompok gizi memiliki fungsi masing-masing. Berikut fungsi

dari zat-zat gizi dalam makanan:

2.1.1. Karbohidrat

Karbohidrat diperlukan anak-anak yang sedang tumbuh sebagai sumber

energi. Bagi manusia, karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi, bahan

pembentuk asam amino esensial, metabolisme normal lemak serta menghemat

protein (Khomsan, 2010).

Masukan yang dianggap optimal berkisar 40-60% dari jumlah energi.

Sebaiknya karbohidrat yang dimakan bervariasi dari berbagai jenis bahan pangan

seperti, jagung, ubi, kentang, roti, mi dan lain sebagainya (Irianto, 2014).

2.1.2. Lemak

Lemak merupakan sumber energi dan vitamin yang sangat besar bagi

anak-anak dan juga sumber asam lemak esensial. Asam lemak ini tidak dapat

dibuat oleh tubuh, sehingga harus didapatkan dari luar melalui makanan. Sumber

lemak yang paling baik didapat anak dari makanan seperti susu berlemak tinggi

atau keju, yang juga mengandung zat gizi penting lainnya. Makanan

seperti keripik dan biskuit, kaya akan lemak tetapi miskin zat gizi lainnya. Jadi,

batasilah pemberiannya (Almatsier dkk, 2011).

Asam lemak yang penting bagi manusia adalah linoleat dan linolenat, yang

merupakan asam lemak esensial. Sekitar 90% asupan diet lemak tubuh terdiri dari

berbagai asam lemak seperti asam palmitat, asam stearat, asam oleat dan asam

linoleat. Asam linoleat ditemukan dalam minyak nabati, khususnya jagung dan
minyak biji bunga matahari. Ikan megandung asam lemak omega-3 yang dapat

mengurangi resiko penyumbatan pembuluh darah di jantung. Selain itu, asam

lemak omega3 berguna dalam mempertahankan fungsi otak terutama yang

berhubungan dengan daya ingat (Cakrawati, 2012).

2.1.3. Protein

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar

tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, separuhnya ada di

dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam

kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Kebutuhan protein

anak termasuk untuk pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi tubuh dan

pembentukan jaringan baru. Selama pertumbuhan, kadar protein tubuh meningkat

dari 14,6% menjadi 18-19 % pada umur empat tahun, yang sama dengan kadar

protein orang dewasa. Makanan yang banyak mengandung protein dari hewani

terdapat pada daging, ikan dan hasil olahannya, susu, telur, udang, hati dan dari

nabati sumbernya seperti tempe, tahu dan kacang tanah. Ikan mengandung protein

tinggi yang terdiri atas asam amino esensial yang tidak rusak pada waktu

pemasakan (Khomsan, 2010).

2.1.4. Mineral

Pangan merupakan sumber mineral esensial bagi kesehatan tubuh

manusia. Mineral esensial adalah mineral yang harus diperoleh dari diet karena

tubuh tidak dapat membuat atau mendapatkan sendiri. Mineral terbagi menjadi 2

yaitu (Cakrawati, 2012) :

1. Mineral makro

Mineral makro yang terdapat dalam tubuh cukup besar

yaitu natrium, klor, kalsium, fosfor, magnesium dan belerang.

2. Mineral mikro
Mineral mikro yang terdapat dalam tubuh dalam jumlah sedikit

(trace element) yaitu Fe, Cu, Se, Zn, dan F.

Unsur mineral mikro harus selalu terpenuhi, jika kekurangan dapat

menyebabkan gangguan fungsi fisiologis. Beberapa mineral yang penting bagi

pertumbuhan anak diantaranya Zat Besi (Fe) membantu pembentukan hemoglobin

yang berguna dalam pengangkutan oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.

Sumber zat besi terdapat pada hati, daging sapi, kuning telur, dan buah-buahan.

Seng (Zn) juga berfungsi dalam proses pembentukan sel dan membantu otak

menghantarkan informasi genetik dalam sel. Jika kekurangan akan terjadi

kerusakan saraf secara permanen. Sumber Seng bisa didapat dari daging sapi,

kacang-kacangan dan bahan makanan tiram (Khomsan, 2010).

2.1.5. Vitamin

Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah

sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu

vitamin harus dikonsumsi dari makanan. Vitamin yang ada dalam makanan terdiri

atas vitamin larut lemak seperti vitamin A, D, E, K dan juga vitamin larut dalam

air seperti vitamin B dan C. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur pada proses

metabolisme dalam tubuh dan pemeliharaan jaringan tubuh (Adriani, 2014).

Anak balita usia 2-5 tahun sering mengalami kekurangan Vitamin A,B,

dan C, untuk itu anak-anak perlu mendapat 1-1 ½ mangkuk atau 100-150 g sayur

sehari. Pilihlah buah-buahan berwarna kekuning-kuningan atau jingga dan buah-

buahan seperti pepaya, pisang, mangga, nanas dan jeruk. Berikan 1-2 potong

pepaya sehari (100-200 g) atau 1-2 buah jeruk atau buah lain (Muchtadi, 2009).

2.1.6. Air

Asupan air pada anak berkisar antara 10-15 persen dari berat badan. Selain

untuk mengganti air yang keluar melalui pernapasan, keringat dan urin, air pada
anak juga diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal

sehingga keseimbangan air perlu dipertahankan dengan mengatur jumlah masukan

dan keluaran air. Kekurangan air menyebabkan sembelit atau konstipasi pada anak

(Mitayani, 2010).

2.4 Gizi Seimbang

Gizi seimbang merupakan konsumsi makanan dari berbagai anekaragam

pangan yang disesuaikan dengan masukan dan kebutuhan gizi seseorang.

Kementerian Kesehatan R.I (2014) menyebutkan gizi seimbang adalah Susunan

pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai

dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman

pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih dan mempertahankan berat badan

normal untuk mencegah masalah gizi.

Jika seseorang mengalami kekurangan gizi dimana asupan gizi di bawah

kebutuhan, maka ia akan lebih rentan terkena penyakit dan kurang produktif.

Sebaliknya, jika memiliki kelebihan gizi akibat asupan gizi yang melebihi

kebutuhan maka ia akan beresiko terkena berbagai penyakit seperti diabetes,

tekanan darah tinggi dan penyakit jantung (SCCP, 2013). Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Koesbardiati (2014) menyatakan bahwa masyarakat di

kelurahan Pegirian secara umum telah memahami jenis ragam makanan yang

mengandung gizi, namun dalam hal praktik belum sesuai pada pemilihan dan

pengolahan yg sehat.

Pemilihan makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat, kebutuhan asupan

gizi divisualisasikan dalam bentuk Tumpeng Gizi Seimbang (TGS) yang terdiri

atas kelompok zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur. Semakin ke atas

ukuran tumpeng semakin kecil berarti pangan pada lapis paling atas yaitu gula,

garam dan lemak dibutuhkan sedikit sekali atau perlu dibatasi. Setiap kelompok

pangan dituliskan berapa jumlah porsi setiap kelompok pangan yang dianjurkan.
Misalnya pada kelompok sayuran 3-4 porsi sehari, artinya sayuran dianjurkan

dikonsumsi oleh remaja atau dewasa sejumlah 3-4 mangkuk sehari. Satu mangkuk

sayuran beratnya sekitar 75 gram, sehingga perlu makan sayur sekitar 300 gram

sehari. Sebelah kanan tumpeng ada tanda tambah (+) diikuti dengan visual segelas

air putih dan tulisan 8 gelas, artinya dalam sehari setiap orang remaja atau dewasa

dianjurkan untuk minum air putih sekitar 8 gelas sehari. Dalam Pedoman Gizi

Seimbang (PGS) teradapat 10 pesan yang perlu diperhatikan yaitu:

1. Syukuri dan nikmati anekaragam makanan

2. Banyak makan sayuran dan cukup buah-buahan

3. Biasakan mengkonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi

4. Biasakan mengkonsumsi aneka ragam makanan pokok

5. Biasakan minum air putih yang cukup dan aman

6. Biasakan sarapan

7. Batasi konsumsi pangan manis, asin dan berlemak

8. Biasakan membaca label pada kemasan pangan

9. Cuci tangan pakai sabun dengan air bersih mengalir

10. Lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal

Gambar 2.1 Tumpeng Gizi Seimbang


2.4.1 Prinsip Gizi Seimbang

Konsumsi makanan balita harus memperhatikan prinsip 4 pilar yaitu

anekaragam pangan, perilaku hidup bersih, aktivitas fisik dan memantau berat

badan balita secara teratur untuk mencegah masalah gizi (Kemenkes RI, 2014):

1. Mengkonsumsi makanan beragam

Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang beranekaragam, maka akan

timbul ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang

diperlukan untuk sehat dan produktif. Dengan mengkonsumsi makanan sehari-

hari yang beraneka ragam, kekurangan zat gizi pada jenis makanan yang satu akan

dilengkapi oleh jenis makanan yang lain sehingga diperoleh masukan zat gizi

seimbang (Aditianti, 2016).

Tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung semua jenis zat gizi

yang dibutuhkan tubuh untuk menjamin pertumbuhan dan mempertahankan

kesehatannya, kecuali Air Susu Ibu (ASI) untuk bayi baru lahir sampai berusia 6

bulan. Contoh: nasi merupakan sumber kalori, tetapi miskin vitamin dan mineral;

sayuran dan buah-buahan pada umumnya kaya akan vitamin, mineral dan serat,

tetapi miskin kalori dan protein; ikan merupakan sumber utama protein tetapi

sedikit kalori (Kemenkes RI, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan Fauziah

(2009) menunjukkan pola konsumsi pangan sumber protein anak balita terkategori

beranekaragam, yaitu terdiri dari ikan (ikan asin dan ikan segar),

tempe/tahu/kacang-kacangan, telur dan ayam. Pada penelitian tersebut juga

menunjukkan konsumsi makanan pokok anak balita terkategori beranekaragam,

yaitu terdiri dari nasi, jagung, mi dan roti.

Penerapan makan beranekaragam di masyarakat belum begitu baik,

sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Sihotang (2009) bahwa dari 66

keluarga responden, diketahui bahwa kesadaran keluarga terhadap gizi


berdasarkan indikator keanekaragaman makanan sebagian besar dikategorikan

tidak baik yaitu 90,90% dan yang dikategorikan baik hanya 9,10%.

2. Membiasakan perilaku hidup bersih

Kebutuhan zat gizi anak pada usia 2-5 tahun meningkat karena masih

berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi. Disamping itu anak

pada usia ini sering keluar rumah sehingga mudah terkena penyakit infeksi dan

kecacingan, sehingga perilaku hidup bersih perlu dibiasakan untuk mencegahnya

(Kemenkes RI, 2014).

Perilaku hidup bersih merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat

perhatian dalam prinsip gizi seimbang. Salah satu indikator perilaku hidup bersih

yang berkaitan erat dengan makanan adalah perilaku mencuci tangan. Mencuci

tangan adalah kegiatan membersihkan bagian telapak, punggung tangan dan jari

agar bersih dari kotoran dan membunuh kuman penyebab penyakit yang

merugikan kesehatan manusia (Kemenkes RI, 2015).

Cuci tangan merupakan kegiatan yang mudah namun jarang dilakukan.

Hal ini sangat penting dilakukan agar terhindar dari diare dan penyakit lainnya.

Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum menyiapkan makan dan memberi

makan anak, sesudah membersihkan kotoran bayi atau setelah ke toilet dan

mencuci tangan harus dengan sabun dan air mengalir (UNICEF, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian Kasnodihardjo (2013) di Jawa Barat sebanyak

54,1% ibu yang memiliki bayi atau balita tidak mencuci tangan dengan

sabun setelah buang air besar atau setelah pembuangan kotoran bayi.

3. Melakukan aktivitas fisik

Aktivitas fisik yang meliputi segala macam kegiatan tubuh termasuk

olahraga merupakan salah satu upaya untuk menyeimbangkan antara pengeluaran

dan pemasukan zat gizi utamanya sumber energi dalam tubuh. Aktivitas fisik

memerlukan energi. Selain itu, aktivitas fisik juga memperlancar sistem


metabolisme di dalam tubuh termasuk metabolisme zat gizi. Oleh karenanya,

aktivitas fisik berperan dalam menyeimbangkan zat gizi yang keluar dan yang

masuk ke dalam tubuh (Kemenkes RI, 2014).

Anak balita umumnya sedang aktif, mereka juga mulai bersosialisasi

dengan lingkungan sehingga tak sulit bagi ibu untuk mengajaknya berolahraga

minimal 15 menit sehari. Aktivitas luar ruang yang terpapar sinar matahari juga

bermanfaat untuk kesehatan tulang anak karena sinar matahari membantu

pembentukan vitamin D. Aktifitas fisik dan olahraga yang dapat dilakukan

bersama balita diantaranya lempar bola, loncat tali, berenang, bermain bola kaki,

jalan/lari pagi (Farhan, 2014).

4. Mempertahankan dan memantau Berat Badan (BB) normal

Pertumbuhan anak hendaknya dipantau secara teratur. Bagi bayi dan

balita, untuk mengetahui ada tidaknya penurunan atau kenaikan berat badan,

indikator yang digunakan adalah perkembangan berat badan sesuai dengan

pertambahan umur. Pemantauannya dapat dilakukan sendiri di rumah, Posyandu

atau Puskesmas dengan menggunakan KMS (Kemenkes RI, 2014).

Mempertahankan berat badan secara ideal dapat mencegah terjadinya

kegemukan dan gizi buruk. Menurut WHO, berat badan ideal untuk anak laki-laki

usia 2 tahun adalah 12,2 kg dan anak perempuan 11,5 kg. Untuk seterusnya,

setelah usia 2 tahun sampai 5 tahun pertambahan berat badan rata-rata 2-2,5 kg

per tahun (Almatsier dkk, 2011).

2.4.2 Pesan Gizi Seimbang untuk Anak Usia 24-59 Bulan

Masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting dan perlu

perhatian yang serius. Pada masa ini berlangsung proses tumbuh kembang yang

sangat pesat yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik, mental dan

sosial. Stimulasi psikososial harus dilakukan sejak dini dan tepat waktu untuk

tercapainya perkembangan psikososial yang optimal (Kemenkes RI, 2014).


Pertumbuhan fisik balita perlu didukung dengan petunjuk praktis melalui

Pesan Gizi Seimbang untuk anak usia 2 – 5 tahun, yaitu sebagai berikut:

1. Biasakan makan 3 kali sehari (pagi, siang dan malam) bersama keluarga

Pola makan yang tidak teratur membuat hilangnya rangkaian porsi makan

sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan zat gizi selama sehari dianjurkan agar

anak makan secara teratur 3 kali sehari dimulai dengan sarapan, makan siang dan

makan malam. Untuk menghindarkan atau mengurangi anak-anak mengkonsumsi

makanan yang tidak sehat dan tidak bergizi dianjurkan agar selalu makan bersama

keluarga. Sarapan setiap hari penting terutama bagi anak-anak oleh karena mereka

sedang tumbuh dan mengalami perkembangan otak yang sangat tergantung pada

asupan makanan secara teratur (Kemenkes RI, 2014).

Ibu harus menanamkan pola makan seimbang secara bijaksana.

Pengaturan makanan yang sehat untuk balita tidak sama dengan orang dewasa.

Kebutuhan sehari-hari balita akan energi (kalori) dan zat gizi lainnya sangat

tinggi. Di masa ini ia menjadi lebih aktif dan tumbuh dengan pesat. Namun,

karena perut mereka masih kecil, balita tidak dapat makan dalam jumlah besar

dalam sekali makan. Karenanya, mereka juga butuh makanan selingan yang

bergizi di antara tiga kali makanan utama (Thompson, 2003).

2. Perbanyak mengkonsumsi makanan kaya protein seperti ikan, telur,

tempe, susu dan tahu

Pada masa pertumbuhan anak, dibutuhkan pangan sumber protein dan

sumber lemak kaya akan Omega 3, DHA, EPA yang banyak terkandung dalam

ikan. Anak-anak dianjurkan banyak mengkonsumsi ikan dan telur karena kedua

jenis pangan tersebut mempunyai kualitas protein yang bagus. Tempe dan tahu

merupakan sumber protein nabati yang kualitasnya cukup baik untuk

pertumbuhan dan perkembangan anak (Kemenkes RI, 2014).


Anak balita membutuhkan protein sekitar 1 sampai 1,5 kali berat

tubuh, artinya apabila berat badan balita adalah 15 Kg maka protein yang

dibutuhkan adalah sekitar 15-26 gram protein per hari (Mitayani, 2010). Setelah

anak berusia 2 tahun sebenarnya kehadiran susu bukan hal yang wajib dalam

menu sehari-hari (Qanitun, 2009).

3. Perbanyak mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan

Sayuran dan buah-buahan adalah pangan sumber vitamin, mineral dan serat.

Vitamin dan mineral merupakan senyawa bioaktif yang tergolong sebagai

antioksidan, yang mempunyai fungsi antara lain untuk mencegah kerusakan sel.

Serat berfungsi untuk memperlancar pencernaan dan dapat mencegah dan

menghambat perkembangan sel kanker usus besar (Kemenkes RI, 2014). Sumber

zat gizi, termasuk senyawa fitokimia. Fitokimia ini mempunyai mekanisme aksi

saling melengkapi dengan zat gizi lain, termasuk di dalamnya untuk menstimulasi

sistem kekebalan tubuh (Lampe, 1999). Selain itu, sumber karoten berasal dari

sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah-buahan berwarna kuning

jingga, yang sangat mudah didapat seperti bayam, daun singkong, kangkung,

wortel, tomat dan papaya (Almatsier, 2001). Hasil penelitian menyatakan bahwa

gambaran konsumsi buah dan sayur di Indonesia cenderung kurang (<5 porsi/

minggu) (Kemenkes RI, 2013).

Rasa keingintahuan anak yang tinggi menjadi kesempatan bagi ibu untuk

memeperkenalkan berbagai jenis makanan yang beraneka ragam termasuk sayur

dan buah kepada anak sejak dini. Sejalan dengan hasil penelitian Febriana (2014)

menyatakan terdapat hubungan yang signifikan bahwa semakin lama usia anak

diperkenalkan dengan buah, maka anak semakin kurang suka dengan buah

sedangkan usia pengenalan sayur terhadap kesukaan anak memiliki hubungan

yang negatif yang artinya semakin lama anak diperkenalkan dengan sayur maka

anak cenderung tidak menyukai sayuran tersebut. Bahkan sejak anak dalam
kandungan, ibu sudah bisa memperkenalkan buah dan sayur dengan rajin

mengkonsumsinya.

Masyarakat Indonesia terutama balita dianjurkan untuk mengkonsumsi

sayuran dan buah-buahan 300-400 gram per orang per hari. Sekitar dua pertiga

dari jumlah anjuran konsumsi tersebut adalah porsi sayur (Kemenkes RI, 2017).

4. Batasi mengkonsumsi makanan selingan yang terlalu manis, asin dan berlemak

Kebiasaan mengkonsumsi makanan siap saji kini menjadi populer. Sejak

dini anak sudah mengkonsumsi makanan siap saji bukan makanan olahan rumah.

Jajanan yang lewat ataupun di warung-warung telah menjadi menu makan sehari-

hari. Disamping itu, jenis makanan kemasan untuk anak-anak yang mengandung

monosodium glutamate yang tinggi sering dikonsumsi balita, meskipun

orangtuanya menyadari bahaya dari makanan yang dikonsumsi anaknya

(Koesbardiati dkk, 2014).

Kegemukan dan gigi berlubang dapat terjadi pada balita. Penyebabnya

karena banyak mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak, gula dan karbohidrat.

Sejalan dengan hasil penelitian Wilson dkk (2009) konsumsi gula mempunyai

hubungan yang positif dengan masalah karies gigi dan meningkatkan risiko

obesitas pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Gibson dan Boyd (2009)

menunjukkan bahwa kosumsi natrium yang tinggi selama enam bulan mempunyai

hubungan positif dengan peningkatan tekanan darah. Menurut Febri (2008) bahwa

pemberian makanan selingan hanya untuk melengkapi komposisi gizi seimbang

yang mungkin belum terpenuhi lewat menu makan utama. Oleh karena itu, bukan

kandungan kalorinya yang harus ditambah melainkan zat gizi lain seperti vitamin

dan mineral. Pemberian susu dengan kadar gula juga akan membuat selera anak

terpaku pada kadar kemanisan yang tinggi. Begitu pula pada saat memberikan

minuman manis atau soda, lebih baik berikan jus buah tanpa gula (Kemenkes RI,

2014).
5. Minumlah air putih sesuai kebutuhan

Air merupakan kebutuhan vital bagi setiap manusia, terutama pada balita

yang sedang mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Jika tubuh tidak cukup

mendapatkan air atau kehilangan air hanya sekitar 5% dari berat badan pada balita

maka keadaan ini telah membahayakan kehidupan seseorang atau dikenal sebagai

dehidrasi. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kurang air pada tubuh anak

sekolah menimbulkan rasa lelah (fatigue), menurunkan konsentrasi belajar.

Minum yang cukup tidak hanya mengoptimalkan konsentrasi belajar anak tetapi

juga mengoptimalkan memori anak dalam belajar (Rusilanti dkk, 2015).

Kehilangan air melalui kulit dan ginjal pada anak lebih besar daripada

orang dewasa. Anak akan lebih mudah terserang penyakit yang menyebabkan

kehilangan air dalam jumlah banyak. Kebutuhan cairan sehari hari dianjurkan agar

minum air sebanyak 1200 – 1500 mL air/hari (Kemenkes RI, 2014).

Minumlah air bersih, aman dan cukup jumlahnya. Air minum harus bersih

dan bebas kuman. Sehingga metabolisme tubuh anak berjalan lancar mengingat

air sangat dibutuhkan sebagai pelarut unsur gizi.

6. Biasakan bermain bersama dan melakukan aktivitas fisik setiap hari

Berkembangnya teknologi dan kemudahan akses permainan tanpa aktivitas

fisik yang banyak ditawarkan permainan dengan teknologi canggih (electronic

game), menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi para orang tua akan

perkembangan mental serta psikomotorik anak. Permainan tradisional dan

bermain bersama teman penting untuk anak-anak karena dapat melatih

kemampuan sosial, mental serta merangsang perkembangan kreativitasnya. Hal

ini akan mendukung tumbuh kembang dan kecerdasan anak (Kemenkes RI, 2014).

Aktifitas fisik sangat bermanfaat bagi tubuh. Tujuannya agar tubuh bugar,

lebih bersemangat dan optimal dalam belajar. Perilaku sedentary adalah perilaku
santai antara lain duduk, berbaring, kerja di depan komputer, membaca, menonton

televisi, bermain game, tetapi tidak termasuk waktu tidur. Perilaku sedentary

merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit penyumbatan

pembuluh darah dan bahkan mempengaruhi umur harapan hidup (Kemenkes RI,

2016).

2.5 Dampak Gizi yang Tidak Seimbang

Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, 2010, 2013 menunjukkan bahwa

Indonesia masih memiliki masalah kekurangan gizi. Kecenderungan prevalensi

kurus (wasting) anak balita dari 13,6% menjadi 13,3% dan menurun 12,1%.

Sedangkan kecenderungan prevalensi anak balita pendek (stunting) sebesar

36,8%, 35,6%, 37,2%. Prevalensi gizi kurang (underweight) berturut-turut 18,4%,

17,9% dan 19,6%.

Masalah gizi dibagi dalam dua kelompok yaitu masalah gizi kurang (under

nutrition) dan masalah gizi-lebih (over nutrition), baik berupa masalah gizi makro

ataupun gizi mikro. Adapun beberapa masalah gizi yang dapat mengganggu

perkembangan optimal fisik dan mental anak adalah sebagai berikut:

1. Berat Badan Lebih


Masalah ini disebabkan karena konsumsi makanan yang melebihi dari

yang dibutuhkan, terutama konsumsi lemak yang tinggi dan makanan dari gula

murni (Azmi, 2012). Berat badan berlebih pada balita terjadi karena banyak faktor

seperti ketidakseimbangan asupan energi dengan keluaran energi. Ditambah lagi

dengan tidak adanya aktivitas fisik yang dilakukan balita yang akan memperburuk

keadaannya (Arisman, 2014).

Anak yang biasa meminum susu dalam botol, biasanya tidak dapat

menghitung jumlah masukan makanan pada anak, bahkan para orangtua

cenderung membuat susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi yang

dibutuhkan anak. Berat badan lebih dan obesitas yang tidak ditangani secara tepat
akan meningkatkan penyakit degeneratif seperti diabetes melitus tipe 2 yang

timbul pada masa dewasa, dan penyakit degeneratif lainnya (Adriani, 2013).

Pola makan itu dibentuk sejak masa kanak-kanak yang akan terbawa

hingga dewasa. Oleh karena itu, membentuk pola makan yang seimbang penting

dilakukan oleh ibu ataupun pengasuh agar peertumbuhan balita berjalan optimal.

2. Berat Badan kurang


Masalah ini disebabkan karena konsumsi gizi yang tidak mencukupi

kebutuhan dalam waktu tertentu. Kondisi ini mencerminkan kebiasaan makan

yang buruk. Kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan

dan perkembangan fisik dan mental (Arisman, 2014). Jika masalah berat badan

kurang tidak diatasi sedini mungkin, maka akan berakibat semakin berat tingkat

kekurangannya. Pada keadaan ini dapat menjadi kwashiorkhor dan marasmus.

kwashiorkhor disebabkan karena kekurangan protein yang sering diserita pada

usia 1-5 tahun. Sedangkan marasmus adalah kekurangan energi dan protein secara

keseluruhan (kelaparan) yang biasanya disertai dengan penyakit lain seperti diare,

ISPA, penyakit pencernaan dan anemia (Adriani, 2012).

3. Anemia Gizi Besi (AGB)


Penyakit ini lebih dikenal dengan penyakit kurang darah yang disebabkan

kekurangan zat besi dalam jumlah yang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Anemia gizi besi yang berkepanjangan menghambat pertumbuhan fisik,

meningkatkan risiko penyakit infeksi, bahkan menghambat aktivitas kognitif dan

daya tahan fisik. Tanda dan gejala anemia defisiensi besi biasanya tidak khas dan

sering tidak jelas seperti pucat, mudah lelah, pusing, berdebar dan sesak napas.

Kepucatan pada balita bisa diperiksa dari telapak tangan, kuku, dan konjungtiva

palpebra. Kadar Hb normal untuk balita adalah 11 g% (Arisman, 2014).

Rendahnya kadar zat besi dalam makanan sehari-hari, investasi cacing

dalam usus terutama cacing tambang dan penyakit infeksi lain yang memperkuat

timbulnya anemia. Untuk mengatasi keadaan ini, pemberian suplementasi dapat


dilakukan jika dokter menganggap ini perlu, anak juga harus dibiasakan untuk

menyantap aneka ragam makanan yang mengandung zat besi. Sementara itu,

sebagian susu dapat diganti dengan air jeruk yang dapat membantu dalam proses

penyerapan besi (Adriani, 2012).

4. Kekurangan Vitamin A
Kekurangan Vitamin A (KVA) terutama terdapat pada balita. Ditandai dengan

kurangnya pasokan Vitamin A dalam tubuh. Kurang vitamin A dapat terjadi bila

kekurangan primer yaitu kurangnya mengkonsumsi makanan yang

mengandung vitamin A. Sedangkan kekurangan sekunder yaitu karena ada

kekurangan vitamin A berlangsung lama dan terus menerus dapat menyebabkan

buta senja yang bila tidak ditangani sedini mungkin akan menyebabkan xerosis

konjungtiva kemudian berlanjut timbulnya bercak bitot dan pada akhirnya

menderita kebutaan. Selain itu berdampak pada hilangnya nafsu makan pada

balita yang berakibat terjadinya gangguan pertumbuhan dan hal ini berdampak

pada menurunnya daya tahan tubuh. Jika daya tahan tubuh menurun, balita mudah

terserang penyakit infeksi seperti ISPA dan diare (Adriani, 2013).

Upaya pencegahan dapat dilakukan untuk membangun cadangan vitamin

A dengan meningkatkan konsumsi buah dan sayuran hijau sesuai dengan

kebutuhannya dan pemberian kapsul vitamin A sesuai dosis.

5. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)

Gangguan akibat kekurangan yodium merupakan efek kekurangan yodium

pada tumbuh kembang balita. Semakin berat kekurangan yodium yang dialami,

semakin banyak komplikasi yang ditimbulkan. Kekurangan yodium dapat

menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid (gondok) dan kretin. Selain itu,

kekurangan zat yodium yang terdapat dalam garam ini menyebabkan penurunan

IQ (Intelligence Quetiont) anak (Azmi,2012). Kretin merupakan akibat yang


paling berbahaya karena tidak hanya fisik yang terkena, tetapi gangguan otak.

Karena luasnya akibat dari defisiensi zat ini (Arisman, 2014).

Defisit IQ (Intelligence Quetiont) ini akan memengaruhi intelegensia balita.

Selanjutnya akan menyulitkan dalam proses belajar di sekolah karena akan banyak

anak yang drop out dari sekolah sebelum waktunya. Dampak sosial lain akibat

defisiensi Yodium adalah sulitnya mereka dididik dan dimotivasi karena

rendahnya perkembangan mental dan sangat mudah terpengaruh dengan

lingkungan yang buruk (Adriani, 2013).

Yodium merupakan salah satu unsur mineral mikro yang diperlukan tubuh

dalam jumlah kecil. Namun, jika diabaikan akan berdampak buruk bagi

kelangsungan dan kualitas hidup balita. Penderita GAKY akan menjadi beban

semua orang yang ada di sekitar kehidupannya. Oleh karena itu, penting untuk

mensosialisasikan pedoman gizi seimbang sebagai petunjuk praktis dalam

mengkonsumsi makanan.

2. 6 Faktor - faktor Yang Mempengaruhi Status gizi

Menurut Apriaji (1986) faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi

seseorang terdiri dari dua bagian yaitu faktor internal dan faktor ekternal. Faktor

internal terdiri dari a) status kesehatan, b) nilai cerna, c) umur, d) jenis kelamin, e)

kegiatan dan aktivitas. Status kesehatan akan menentukan kebutuhan zat gizi

seseorang, misalnya kebutuhan orang yang baru sembuh dari sakit bebeda

dengan kebutuhan orang yang sehat, hal ini disebabkan karena sel - sel tubuh yang

baru sembu perlu dganti sehingga akan membutuhkan zat gizi lebih banyak.

Nilai cerna suatu bahan makanan tergantung pada beberapa faktor

diantaranya umur bahan makanan, komposisi asam amino suatu bahan makanan,

lamanya pernasakan dan pemakaian bahan pelarut dalam pemasakan. Bahan makanan

yang diambil pada umur mudah akan memiliki nilai cerna yang lebih tinggi,

bahan makanan bersumber dari hewani mempunyai nilai cerna yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bahan makanan sumber nabati, pemasakan dengan waktu

singkat dan suhu yang rendah mempunyai nilai cerna yang lebih tinggi serta

pemakaian bahan pelarut (cuka atau asam) akan mempunyai nilai cerna yang rendah

dalam bahan makanan karena terjadi pengerasan dinding sel makanan dan

penggumpalan protein.

Umur seseorang sangat mempengaruhi kebutunan gizinya. Hal ini dapat

dilihat pada anak usia balita yang berada dalam masa pertumbuhan memerlukan

makanan yang bergizi relatif lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa.

Kebutuhan zat gizi pada pria akan lebih besar dari pada wanita karena

mempunyai kegiatan lebih banyak seperti aktivitas fisik sehingga memerlukan

energi dan protein yang lebih banyak. Sebaliknya wanita akan mernerlukan zat besi

lebih banyak karena wanita secara teratur mengalami menstruasi.

Kegiatan dan aktivitas seseorang sangat menentukan besar atau

kecilnya kebutuhan zat gizi, misalnya seseorang dengan pekerjaan yang berat akan

memerlukan energi dan zat - zat gizi yang lebih besar dibandingkan dengan

orang mempunyai pekerjaan sedang atau ringan. Khusus pada anak balita juga

memerlukan energi yang lebih banyak untuk proses tumbuh kembang.

Faktor eksternal merupakan faktor yang berpengaruh diluar tubuh

seseorang, antara lain: a) tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi, b) latar belakang

sosial budaya, c) daya beli, d) kebersihan lingkungan. Tingkat pendidikan seseorang

tidak menjamin apakah dia mampu atau tidak dalam menyusun makanan yang

memenuhi persyaratan gizi, sedangkan tingkat pengetahuan gizi seseorang

terutama pengetahuan gizi ibu sangat berpengaruh dalam pemeliharaan dan

peningkatan kesehatan serta gizi anak balitanya.

Latar belakang sosial budaya diuraikan sebagai berikut: kebiasaan dalam

suatu keluarga yang lebih mengutamakan bapak, dimana bapak haruslah

mendapat porsi makanan lebih banyak dan lebih baik dengan alasan bapak adalah

pencari nafkah dan sebagai kepala keluarga, hal ini bisa merugikan anggota keluarga
lain karena tidak mendapatkan makanan yang sesuai terutama pada anak balita.

Disamping itu masih ada kepercayaan untuk memantang makanan tertentu

yang dipandang dari segi gizi sebenarnya mengandung zat gizi yang baik.

Kemampuan keluarga untuk membeli makanan dipengaruhi oleh besar

kecilnya tingkat pendapatan keluarga karena jika tingkat pendapatan rendah relatif

akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya apalagi dalam berbagai

jenis makanan yang beraneka ragam. Kebersihan lingkungan secara tidak lansung

berpengaruh terhadap status gizi seseorang, namun faktor lingkungan yang kurang

bersih dapat menyebabkan meningkatnya penyakit pada anak seperti penyakit infeksi

dan kecacingan.

2.6 Pola Makan

Pola makan adalah suatu kebiasaan makan yang dikonsumsi oleh

seseorang menurut jumlah, jenis dan frekuensi yang dimakan setiap hari dan

kebiasaan makan ini memainkan peran penting dalam kesehatan manusia.

Pemberian makan harus teratur waktunya, yaitu selama 3 kali dalam sehari, bila

perlu diberikan makanan selingan. Maka perlu perhatian dari orangtua untuk

membentuk pola makan yang baik yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh

kembang. Pola makan (food pattern) adalah kebiasaan memilih dan

mengkonsumsi bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola makan dapat

memberi gambaran mengenai kualitas makanan masyarakat (Suparlan, 2010).

Globalisasi berpengaruh pada gaya hidup termasuk pola makan yang

salah. Dan kini, banyak orang mengkonsumsi makanan tanpa pertimbangan dan

lebih mengutamakan kesenangan dan kepuasan. Dalam hal ini dibutuhkan

kesadaran tinggi untuk menganut pola makan sehat. Pola makan sehat merupakan

cara atau usaha seseorang dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan. Akibat

pola konsumsi makan yang salah ini cenderung meningkat, seperti kelebihan

makan atau makan yang kurang seimbang (Kemenkes RI, 2016). Kebiasaan
makan yang baik hendaknya dilaksanakan sedini mungkin, hal tersebut akan

membentuk pola makan yang baik.

Ibu harus menanamkan pola makan balita seperti pola makan keluarga,

yakni sarapan, makan siang, makan malam dan diberikan makanan selingan

sebanyak dua kali. Hal yang harus dipikirkan adalah jika sarapan tidak

dilaksanakan akan berakibat pada hilangnya rangkaian porsi makan sehari-hari

(Adriani, 2013).

Pola makan yang seimbang yaitu yang sesuai dengan kebutuhan disertai

dengan pemilihan bahan makanan yang tepat akan melahirkan status gizi yang

baik. Pola makan yang seimbang itu paling tidak ada 3 kriteria yang harus kita

penuhi antara lain:

1. Jumlah makanan

Pada masa ini anak menjadi lebih aktif dan tumbuh dengan pesat. Namun,

karena perut mereka masih kecil, balita tidak dapat makan dalam jumlah besar

dalam sekali makan. Porsi makan untuk balita biasanya sepertiga sampai setengah

dari porsi orang dewasa (Adriani, 2013). Setiap anak adalah unik, banyak

sedikitnya jumlah makanan per porsi bisa disesuaikan dengan kemampuan makan

anak. Porsi yang dianjurkan perhari untuk sayuran 3 porsi, buah 2 porsi, makanan

pokok 3 porsi, makanan tinggi kalsium 3 porsi dan makanan kaya protein 2 porsi

(Arifin, 2015).

Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat digunakan untuk menilai tingkat

kecukupan zat gizi individu. Untuk mengetahui kecukupan gizi anak balita

digunakan AKG tahun 2013, yang disajikan pada Tabel 2.1 Kecukupan gizi

tersebut dianjurkan untuk dipenuhi dari konsumsi pangan anak balita setiap

harinya.

Tabel 2.1 Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) Rata-Rata Per Hari
Jenis Zat Gizi Kelompok Umur
1-3 tahun 4-6 tahun
Karbohidrat (gr) 155 220
Protein (gr) 26 35
Lemak (gr) 44 62
Vitamin A(mcg) 400 450
Besi (mg) 8 9
Seng (mg) 4 5
Sumber : Kementerian Kesehtan RI, 2013

Pengukuran konsumsi makanan sangat penting untuk mengetahui

kenyataan makanan yang dimakan oleh anak. Berikut jumlah bahan makanan

balita rata-rata perhari yang direkomendasikan Kementerian Kesehatan RI:

Tabel 2.2 Jumlah Bahan Makanan Balita Rata-rata Sehari


Bahan Makanan Anak Usia 1-3 Tahun Anak Usia 4-6 Tahun
1/4
Nasi/ Pengganti 2 gelas 3 gelas
Daging / Pengganti 1 potong 2 potong
Tempe/ Pengganti 2 potong 2 potong
1/2
Sayuran 1 mangkuk 2 mangkuk
Buah 3 potong 3 potong
Susu 1 gelas 1 gelas
1/2
Minyak 1 sdm 2 sdm
Gula 2 sdm 2 sdm
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2011

Makanan selingan mempunyai peranan penting, terutama bila anak tidak

cukup mengkonsumsi porsinya dari makanan utamanya yaitu menu makan pagi,

siang dan malam. Makanan selingan diberikan hanya pada waktu antara makan

pagi dan makan siang (jam 9:00-10:00), atau jam makan siang dan makan malam

(jam 15:00-16:00). Jadi fungsi makanan selingan adalah memperkenalkan aneka

jenis bahan makanan untuk melengkapi kebutuhan gizi anak (Damanik, 2015).

Berikut adalah contoh pola menu makanan balita dalam satu hari:

Tabel 2.3 Pola Pemberian Makanan Balita


Pagi Selingan Siang Selingan Malam
(jam 10:00) (jam 16:00)
Nasi / Tim / Bubur Nasi / Tim / Bubur Puding buah Nasi / Tim /
Bubur nasi, kacang nasi Bubur nasi
semur bola- hijau Sop baso ikan+ Opor telur
bola, wortel + buncis Perkedel tahu
Daging giling, Tempe + Sayuran
Tahu isi (wortel, Jeruk Tumis kacang
jagung ,bayam) panjang
Pisang
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2011
2. Jenis makanan

Pesan gizi seimbang yaitu mengkonsumsi lima kelompok pangan setiap

hari atau setiap kali makan. Kelima kelompok pangan tersebut adalah makanan

pokok, lauk-pauk, sayuran, buah-buahan dan minuman. Mengkonsumsi lebih dari

satu jenis untuk setiap kelompok makanan makanan pokok, lauk pauk, sayuran

dan buah-buahan setiap kali makan akan lebih baik (Kemenkes RI, 2014).

Menurut Khomsan (2010), apabila seorang ibu memiliki pengetahuan

yang lebih tinggi, ibu akan mampu merawat anak dengan baik, mampu memilih

gizi yang seimbang dalam jumlah dan jenis yang cukup. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Aidina (2015) pada balita keluarga miskin menunjukkan

bahwa 56,9% pola makan yang tidak lengkap dan konsumsi zat gizi pada kategori

kurang sebagian besar pada umur 37-60 bulan. Pada penelitian ini dikatakan

lengkap jika balita mengkonsumsi makanan pokok, lauk-pauk, buah-buahan dan

sayur-sayuran dalam sekali makan.

Jenis pangan yang beragam dikonsumsi memudahkan untuk memenuhi

kebutuhan gizi. Bahkan semakin beragam pangan yang dikonsumsi semakin

mudah tubuh memperoleh berbagai zat lainnya yang bermanfaat bagi kesehatan

(Kemenkes RI, 2014).

Pemberian beragam bahan makanan terutama sayuran yang biasanya

kurang disukai akan melatih balita untuk memakan makanan yang bervariasi.

Penanaman pola makan yang beraneka ragam harus dilakukan sejak dini. Hasil

studi Aditianti (2016) yang dilakukan di 6 Provinsi mengenai konsumsi

anekaragam makanan, diketahui rata-rata responden mengkonsumsi lauk hewani,

sayur dan buah ≥5 hari dalam seminggu sebanyak 17,5%. Dari hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa kurang dari 20% responden pada semua kelompok

mengkonsumsi makanan beranekaragam selama 5 hari dalam seminggu.


3. Frekuensi makan

Pemberian makan pada anak usia 24-59 bulan merupakan kelanjutan dari

masa bayi dengan sedikit penyesuaian, menjadi sebagai berikut: 3 kali makan

utama (pagi, siang, dan malam/sore), di antaranya diberikan makanan kecil atau

susu. Dengan memperkenalkan anak pada jam-jam makan yang teratur dan variasi

jenis makanan, diharapkan anak akan memiliki disiplin makan yang baik

(Marimbi, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anastasia (2008) mengkategorikan

frekuensi konsumsi menjadi 3 yaitu sering (5-6 kali/minggu), kadang-kadang (3-4

kali/minggu), jarang (1-2 kali/minggu). Penelitian tersebut dilakukan untuk

melihat seberapa sering remaja mengkonsumsi kalsium. Sedangkan menurut

Supariasa (2002) dikatakan sering bila (4-6 kali/minggu), kadang-kadang (1-3

kali/minggu) dan jarang (1 kali dalam sebulan). Menurut damanik (2015), dengan

frekuensi makan yang kurang dari 3 kali akan menimbulkan kekurangan zat gizi

dalam tubuh, sehingga berat badan akan menurun dan tidak sesuai dengan

umurnya.

2.7 Cara Pengukuran Pola Makan

Metode Food Recall 24 jam adalah cara pengumpulan data individu yang

prinsipnya meminta responden mengingat kembali semua makanan yang

dikonsumsi selama sehari kemarin. Teknik metode recall yang digunakan adalah

5 Step Multiple Pass Method (Kemenkes RI, 2014). Lima langkah dalam

melakukan recall 1x24 jam adalah sebagai berikut:

1. Membuat daftar ringkas makanan yang dikonsumsi sehari sebelumnya (Quick

list), daftar hidangan tidak harus berurutan. Hidangan yang sama hanya ditulis

satu kali.

2. Mereview kembali kelengkapan Quick List bersama responden agar tidak ada

hidangan / makanan yang terlewat atau lupa disebutkan oleh responden.


3. Gali hidangan yang dikonsumsi dikaitkan dengan waktu makan atau aktifitas.

4. Tanyakan rincian hidangan menurut jenis bahan makanan, jumlah, berat dan

sumber perolehannya untuk semua hidangan / makanan yang dikonsumsi

responden sehari kemarin.

5. Mereview kembali semua jawaban untuk menghindari kemungkinan masih ada

makanan dikonsumsi tetapi terlupakan.

Gibson (2005) dalam bukunya menyatakan bahwa FFQ adalah

lembar penilaian yang berfungsi untuk menilai frekuensi setiap makanan atau

kelompok makanan yang dikonsumsi selama beberapa periode tertentu. Food

Frequenc Questionnaire (FFQ) dirancang untuk menyediakan informasi

deskriptif kualitatif mengenai pola konsumsi makan sehari-hari. Lembar FFQ

yang sederhana terdiri dari daftar makanan yang disertai dengan kategori

frekuensi konsumsi makanan tersebut. Kategori frekuensi konsumsi dapat

disajikan berupa harian, mingguan, bulanan atau tahunan.

2.8 Anak Usia 24-59 Bulan

Masa balita adalah the point of no return. Perkembangan otak tidak bisa

diperbaiki bila mereka kekurangan gizi pada masa ini. Dalam perkembangan anak

terdapat masa kritis, dimana diperlukan rangsangan/stimulasi yang berguna agar

potensi berkembang, sehingga perlu mendapat perhatian dari ibu dan keluarga

karena hal ini akan menentukan masa selanjutnya (Adriani, 2012).

Anak usia 2-5 tahun sudah mulai bisa meminta sesuatu, termasuk meminta

makanan yang dia inginkan. Maka dalam membiasakan pola makan yang baik dan

benar pada anak balita, sebaiknya mendapat perhatian utama dari orangtuanya,

agar anak tidak mengalami defisit energi dan protein (Hermina, 2011). Gizi anak

usia preschool (2-5 tahun) sangat penting, tidak hanya dalam hal kebutuhan

gizinya dalam tahap ini terjadi perkembangan dan pertumbuhan yang dianggap
memiliki dampak besar yang berlanjut pada perkembangan fisik, mental, status

gizi serta menjadi dewasa produktif (Scrimshaw, 2001).

Usia antara 2-5 tahun sering disebut tahun prasekolah. Selama tahun ini,

mereka berubah dari bayi menjadi balita yang suka bereksplorasi di dunia mereka.

Pada usia ini terjadi beberapa perkembangan, di antaranya (Benaroch, 2016):

1. Perkembangan kognitif

Seorang anak di usia ini mulai mengenal, mengetahui dan menikmati

anekaragam rasa, warna dan bentuk makanan. Selain itu mereka mulai belajar

menulis, menghitung, bernaynyi dan berbicara walau masih terbata-bata.

2. Perkembangan Emosi dan Sosial

Antara umur 2-5 tahun, anak-anak secara bertahap mulai menata

perasaannya. Misalnya pada saat ini anak hanya menyukai satu jenis makanan

tertentu. Sehingga ibu harus memabanntu mengatur perasaan mereka agar mau

makan makanan yang beragam. Anak juga sudah mulai keluar rumah dan

bersosialisasi dengan teman sebaya, penting bagi ibu untuk menjaga kebersihan

anak saat berasa di luar rumah.

3. Perkembangan Fisik

Ciri Pertumbuhan fisik khususnya berat badan mengalami kenaikan rata-

rata pertahunnya adalah 2 kg. Pada pertumbuhan khususnya untuk tinggi badan

anak akan bertambah rata-rata 6,75-7,5 cm tiap bulannya (Rusilanti dkk, 2015).

Masa prasekolah adalah masa peralihan antara masa bayi dan masa anak

sekolah (Almatsier dkk, 2011). Berdasarkan pertumbuhan bayi dan anak menurut

Yuliati (2008) yang mengutip pendapat Hurlock, usia anak prasekolah atau early

childhood adalah anak yang berusia 2-6 tahun. Pada masa ini juga merupakan

periode penyapihan. Dimana anak tidak lagi diberi ASI sehingga jumlah dan

kualitas makanan yang dibutuhkan untuk konsumsi anak penting sekali

dipikirkan, direncanakan dan dilaksankan oleh ibu atau pengasuhnya (Wulandari,


2015).

2.9 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

2.9.1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) merupakan hasil dari tahu

dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek

tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indera

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebelum orang

menghadapi perilaku baru, didalam diri seseorang terjadi proses berurutan

yakni : Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus. Interest (merasa tertarik)

terhadap objek atau stimulus tersebut bagi dirinya. Trail yaitu subjek mulai

mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan

sikapnya terhadap stimulus. Pengetahuan (kognitif) merupakan domain yang

sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

2.9.2 Sikap (Attitude)

Sikap adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable)

maupun perasaan tidak mendukung (unfavorable) pada suatu objek. Sikap

bersifat evaluatif dan berakhir pada nilai yang dianut dan terbentuk kaitannya

dengan suatu objek. Sikap merupakan perasaan positif atau negatif atau

keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui

pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang

terhadap objek, orang dan keadaan. Sikap merupakan reaksi yang masih

tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Newcomb

menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan bertindak.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas , akan tetapi adalah

merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap belum merupakan


suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan

suatu perilaku. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan suatu kesiapan

bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan

terhadap obyek. Allport (cit Notoatmodjo, 2003) membagi sikap dalam tiga

komponen yaitu kepercayaan (keyakinan) terhadap suatu objek, kehidupan

emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, kecenderungan untuk

bertindak. Gambar 2.1 menjelaskan uraian di atas (Notoatmodjo,

2003).

2.9.2. Perilaku (Behavior)

Menurut Notoatmodjo (2003) pengaruh pengetahuan terhadap perilaku

dapat bersifat langsung maupun melalui perantara sikap. Suatu sikap belum

otomatis terwujud dalam bentuk praktek. Untuk terwujudnya sikap agar

menjadi suatu perbuatan yang nyata (praktek) diperlukan faktor pendukung

atau kondisi yang memungkinkan. Perilaku kesehatan merupakan respon

seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,

sistem seseorang terhadap sakit atau penyakit adalah cara manusia

merespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan, mempersepsi

tentang suatu penyakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya) maupun

secara aktif (praktik) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit tersebut.

Perilaku kesehatan di bidang kesehatan menurut Azwar (1995)

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: a) Latar belakang: latar belakang

seseorang yang meliputi norma - norma yang ada, kebiasaan, nilai budaya dan

keadaan sosial ekonomi yang berlaku dalam masyarakat, b) Kepercayaan:

dalam bidang kesehatan, perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh

kepercayaan orang tersebut terhadap kesehatan. Kepercayaan yang dimaksud

meliputi manfaat yang akan didapat, hambatan yang ada, kerugian dan
kepercayaan bahwa seseorang dapat terserang penyakit, c) Sarana : tersedia

atau tidaknya fasilitas kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat

dan d) Cetusan seseorang yang mempunyai latar belakang pengetahuan

yang baik dan bertempat tinggal dekat dengan sarana kesehatan, bisa saja

belum pernah memanfaatkan sarana kesahatan tersebut. Suatu ketika orang

tersebut terpaksa minta bantuan dokter karena mengalami perdarahan ketika

melahirkan bayi kejadiaan itu dapat memperkuat perilaku orang tersebut

untuk memanfaatkan sarana kesehatan yang sudah ada.

2.10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Sikap dan


Perilaku Ibu Mengenai Gizi Seimbang

Beberapa faktor yang memengaruhi pengetahuan dan sikap ibu mengenai

gizi seimbang, antara lain:

2.10.1 . Umur Ibu


Usia memengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir ibu. Semakin

bertambah usia ibu maka semakin banyak pengalaman yang ia dapat khususnya

mengurus anak. Menurut Nazaruddin (2013) yang mengutip pendapat Hurlock,

Faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih

memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga

kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih

berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu

sehingga akan memengaruhi pula terhadap kualitas dan kuantitas

pengasuhan anak. Hasil penelitian yang dilakukan Andini (2015) menunjukkan

bahwa umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena

kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-

hari di luar faktor pendidikannya karena sebagian besar ibu yang masih

muda memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang gizi dan pengalaman dalam

mengasuh anak.
2.10.2 Pendidikan Ibu

Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anaknya.

Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh

kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua dapat

menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak

yang baik. Hal tersebut berkaitan pula dengan wawasan pengetahuan

mengenai sumber gizi dan jenis makanan yang baik untuk konsumsi

keluarga (Adriani, 2014).

Jenjang pendidikan menengah memungkinkan seseorang untuk

berfikir lebih matang dibandingkan jenjang pendidikan di bawahnya. Orang

yang berpendidikan akan mudah menerima dan memberi tanggapan terhadap

informasi yang baru. Jika di nilai informasi tersebut bermanfaat maka akan

diadopsi, demikian pula sebaliknya (Putri, 2016). Menurut hasil penelitian

Hermina (2011) menyebut bahwa Anak balita pendek lebih banyak ditemukan

pada rumah tangga dengan pendidikan kepala keluarga yang rendah yaitu

tamat SD (25,0%).

2.10.3. Pekerjaan Ibu

Kesulitan ekonomi merupakan salah satu faktor penarik yang

membuat ibu rumah tangga dari tingkat ekonomi lemah untuk bekerja.

Dengan bekerja wanita dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga,

bahkan ada kondisi dimana wanita bekerja karena ia merupakan satu-

satunya sumber penghasilan rumah tangga (Oemar, 2015).

Menurut Nazaruddin (2013) yang mengutip pendapat Apriadji, Status

ekonomi rumah tangga dapat dilihat dari pekerjaan yang dilakukan oleh

kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga yang lain. Salah

satu penyebab terjadinya gizi kurang adalah karena status pekerjaan ibu. Ibu
yang bekerja di luar rumah cenderung menelantarkan pola makan

keluarganya.

2.10.4.Pendapatan Keluarga
Menurut Soetjiningsih yang dikutip oleh Adriani (2014), Faktor

ekonomi merupakan akar masalah terjadinya gizi kurang. Kemampuan

keluarga untuk mencukupi kebutuhan makanan yang mempunyai pendapatan

relatif rendah sulit mencukupi kebutuhan makanannya. Keadaan seperti ini

biasanya terjadi pada anak balita dari keluarga berpenghasilan rendah. Hasil

studi Aditianti (2016) menunjukkan bahwa alasan keluarga tidak menyediakan

lauk hewani, sayur dan buah adalah karena daya beli yang rendah. Bagi

keluarga dengan tingkat pendapatan terbatas, umumnya akan

mengutamakan faktor kenyang daripada faktor gizi, kuantitas maupun

kualitas pangan.

2.10.5. Jumlah anggota keluarga


Kasus balita gizi kurang banyak ditemukan pada keluarga dengan

jumlah anggota keluarga yang besar dibandingkan dengan keluarga

kecil. Berdasarkan hasil penelitian Oktarina (2013) mengenai faktor risiko

stunting pada Balita dari keluarga dengan jumlah anggota rumah tangga

banyak lebih berisiko 1,34 kali mengalami stunting dibandingkan dengan

balita dari keluarga dengan jumlah anggota rumah tangga cukup. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan

jumlah anggota rumah tangga memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian

stunting pada balita. Tshwane University (2006) dalam penelitiannya juga

menemukan adanya hubungan besar keluarga dengan kejadian stunting pada

balita.

Penelitian yang dilakukan (Harahap, 2014) menggambarkan bahwa

paling banyak jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah yaitu

5-7 anggota keluarga, bahkan ada yang berjumlah > 7 anggota keluarga.
Keluarga yang sangat miskin dengan anak yang banyak, pemenuhan

kebutuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan dalam

jumlah yang sedikit. Hal tersebut akan memengaruhi kualitas dan

kuantitas asupan makanan keluarga . Harper (2010), mencoba

menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa

keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk

memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah

anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan

yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Nadeak (2011) pada jumlah

anggota keluarga kecil (77,9%) berjumlah ≤ 4 orang memiliki balita dengan

status gizi normal. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga

memiliki keterkaitan dengan pola makan anak.

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan

keluarga. Dan yang paling sering terkena imbasnya adalah anak-anak,

karena sangat rentan terhadap kekurangan gizi.

2.11 Domain Perilaku

Benyamin Bloom (1908) dalam Setiawati (2008), membagi perilaku

manusia ke dalam tiga wilayah yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan. Tapi

pada perkembangannya teori Bloom dimodifikasi menjadi:

2.11.1 Pengetahuan Ibu tentang Gizi Seimbang

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang. Dari berbagai penelitian diketahui suatu perilaku yang didasari

oleh pengetahuan, akan lebih “langgeng” dibandingkan dengan perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).


Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan

perilaku dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan berpengaruh pada

keadaan gizi balita. Pengetahuan gizi yang kurang atau kurangnya

menerapkan pengetahuan gizi dalam kehidupan sehari-hari dapat

menimbulkan masalah gizi. Berdasarkan hasil penelitian Aditianti (2016)

mengenai pengetahuan tentang manfaat makanan pokok terlihat lebih tinggi

40-53% dibandingkan dengan lauk hewani, nabati, sayur dan buah.

Sedangkan dari hasil penelitian Andini (2015) menunjukkan bahwa pada ibu

balita dengan pengetahuan baik, terdapat 45,5% balita dengan status gizi

normal. Secara garis besar pengetahuan dibagi menjadi 6 tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori

yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Oleh sebab

itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

Misalnya: tahu bahwa buah jeruk banyak mengandung vitamin C,

Wortel mengandung vitamin A, wajah yang pucat disertai dengan 5L

maka kita bisa menafsirkan bahwa orang tersebut kekurangan

darah dan sebagainya. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa

orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan

misalnya: apa tanda-tanda anak kurang gizi, apa tanda-tanda

seseorang menderita anemia.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menjelaskan objek tersebut secara benar. Misalnya ibu yang

memahami cara pemberian makanan pada balita, bukan hanya

sekedar menyiapkan nasi dan lauk pauk saja, tetapi juga harus
mampu memberikan makanan yang seimbang, artinya tidak hanya

nasi dan lauk pauk saja tetapi dilengkapi dengan sayur dan buah.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek

yang dimaksud dapat mengaplikasikan atau menerapkan pada kondisi

sebenarnya. Misalnya ibu yang telah paham tentang gizi seimbang

untuk balita, ia harus dapat membuat menu seimbang untuk balitanya

dan biasanya ibu akan mudah untuk memvariasikan jenis makanan

yang bergizi untuk balitanya.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan

atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-

komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang

diketahui. Inidikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai

pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat

membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat

diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya,

dapat membedakan zat-zat gizi apa saja yang menghambat proses

absorbsi dalam tubuh anak seperti tidak memberikan makanan

yang mengandung zat besi sekaligus teh yang mengandung zat tanin

yang dapat menghambat proses absorbsi dalam saluran pencernaan

anak.

5.Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk suatu kemampuan seseorang untuk

merangkum atau meletakkan satu hubungan yang logis dari

komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain

kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian


tertentu menjadi bentuk yang baru. Misalnya dapat membuat atau

meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal- hal yang

telah dibaca atau didengar dan dapat membuat kesimpulan tentang

artikel yang telah dibaca.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.

Misalnya seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak

menderita malnutrsi atau tidak.

2.11.2 Sikap Ibu tentang Gizi Seimbang

Sikap merupakan faktor penentu perilaku, karena sikap

berhubungan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi. Sikap dipelajari

pada satu periode waktu dan diorganisasi oleh pengalaman dan

menimbulkan pengaruh tertentu terhadap perilaku seseorang. Sikap belum

berupa tindakan, tapi baru bisa ditafsirkan. Pendapat Newcomb

mengatakan bahwa sikap adalah kesiapan atau kesediaan untuk bertindak

(Gibson dkk, 1996).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wardah (2014) menunjukkan

bahwa praktik gizi ibu paling tinggi pada kategori kurang yaitu sebesar

50,0%, hanya 10.0% yang praktik gizinya baik, dan sisanya sebesar

40,0% ibu subjek praktik gizi sedang.

Mengingat sikap itu belum berupa tindakan, maka untuk

dapat mewujudkan sikap menjadi tindakan dibutuhkan tingkatan-tingkatan

yaitu:

a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat

dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap informasi apapun

tentang gizi.

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, menegerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan

tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah

berarti bahwa orang menerima ide tersebut. Misalnya, setelah membaca

informasi dari majalah mengenai menu seimbang untuk balita, maka ibu

mencoba untuk mempraktikkan menu tersebut untuk balitanya.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan

suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang

ibu mengajak tetangga ataupun ssaudaranya untuk menimbang anak di

Posyandu atau mendiskusikan tentang gizi seimbang bagi balitanya, adalah

suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap

gizi anak.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya

seorang ibu mengikuti penyuluhan mengenai gizi seimbang balita agar

tidak mudah sakit, setelah dari mengikuti penyuluhan tersebut, ibu

memeperoleh informasi berharga sehingga untuk kedepannya ibu sangat

selektif dalam memberikan makanan untuk balitanya.

2.12 Kerangka teori


- Pengetahuan ibu mengenai
gizi seimbang
- Perilaku ibu tentang gizi
seimbang

Dipengaruhi
- Umur ibu
- Pendidikan ibu
Penyakit - Pekerjaan ibu
Gizi Balita - Pendapatan
infeksi
keluarga
- Jumlah
anggota
keluarga
- Budaya

Pola Makan :
- Jumlah makanan
- Jenis makanan
- Frekuensi makan

Gambar 2.4 Kerangka Teori

Keterangan :

a. : yang diteliti

b. : yang tidak diteliti

2.10 Kerangka Konsep


Kerangka konsep di bawah ini menjelaskan bahwa pengetahuan dan sikap

ibu tentang gizi seimbang akan berhubungan dengan tindakan ibu dalam

memberikan pola makan pada balita mencakup jumlah, jenis dan frekuensi

makan.

Variable Independent Variable Dependent

Pengetahuan ibu
mengenai gizi seimbang
Gizi seimbang balita

Perilaku ibu mengenai


gizi seimbang

Gambar 2.5 Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai